Anda di halaman 1dari 10

Nama : Didi Cahyono

NPM : 162878

PERAN PANCASILA DALAM MENANGKAL RADIKALISME AGAMA DI


INDONESIA

PENDAHULUAN

Bangsa dan negara Indonesia merupakan suatu bangsa yang besar dan luas serta
terdiri dari banyak Pulau. Masyarakat Indoensia terdiri dari berbagai keragaman sosial,
kelompok etnis, budaya, agama, aspirasi politik dan sebagainya, sehingga bangsa ini secara
sederhana dapat disebut sebagai masyarakat multicultural. Pancasila yang ditawarkan oleh
Soekarno sebagai philosofische Gronslag (dasar, filsafat, atau jiwa) dari Indonesia mardeka.
Kemauan dan hasrat untuk merdeka menurut Soekarno harus mendahului perdebatan
mengenai dasar negara Indonesia. Menurut Soekarno buat apa membicarakan dasar negara
jika kemerdekaan tidak ada. Dari sini bisa kita mengerti logika berpikirnya Soekarno yang
terlebih dahulu menggelorakan semangat untuk merdeka, bahkan ketika rakyat masih miskin
sekalipun harus punya semangat untuk merdeka. Kehadiran Pancasila sebagai dasar negara
untuk menjadi pemersatu kebegaraman yang ada pada bangsa Indonesia. Namun hal yang
memprihatikan adalah masih ada kelompok dan organisasi tertentu belum menyadari dan
menghayati nilai dan fungsi Pancasila. Selain itu ada kelompok tertentu yang ingin
mengganti Pancasila ini sebagai dasar dan Ideologi bangsa.
Bangsa ini sudah sudah 73 tahun mardeka namun rasanya keutuhan kemerdekaan itu
masih belum sepenuhnya dirasakan bangsa ini. Hasil survey Media Indonesia serta penelitian
Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Media Indonesia 2011:4) menunjukkan bahwa
lembaga pendidikan telah menjadi sumber bertumbuhnya sikap membenci dan intoleransi
terhadap mereka yang berbeda agama. Survey juga menunjukkan bahwa tingkat dukungan
terhadap aksi kekerasan cukup tinggi, begitu juga tingkat kesediaan mereka untuk terlibat
dalam aksi kekerasan terkait isu agama sangat sensitif. Sampai saat ini aksi kekeran masih
menjadi persoalan bagi bangsa ini yang di hadapkan dengan radikalisme agama.
Radikalisme agama merupakan hal tidak bisa di sepelekan oleh bangsa Indonesia.
Radikalisme adalah paham atau gerakan yang menginginkan pembaharuan dengan
mengembalikan diri mereka ke “akar” secara ektrem. Pandangan ini kerap disandingkan
dengan gerakan fundamentalisme. Gerakan radikal biasanya dicapai dengan segala cara,
mulai dari cara yang halus sampai cara yang keras sekalipun.
Realitas radikalisme agama di Indonesia kian hari kian menggelisahkan, khususnya
pasca reformasi. Radikalisme agama ditampilkan dalam tindakan dishumanis (tak manusiawi)
yang memilukan, seperti Bom Bali, tragedy Poso, Ambon, Sambas, Tolikara, Penyerangan di
Gereja St. Lidwina, Bedog, Sleman, Yogyakarta, Minggu (11/02/2018), yang menyebabkan
setidaknya empat orang terluka akibat sabetan senjata tajam, Ledakan bom bunuh diri terjadi
di kawasan Gereja Santa Maria Tak Bercela Surabaya yang terjadi, Minggu (13/5/2018)
pukul 07.00 WIB, dst. Segala apa yang jahat seperti tindakan membunuh, menteror,
membakar, memusnahkan sesama manusia itu anehnya dibingkai atas nama agama. Hal yang
memilukan lagi adalah bahwa ternyata para tokoh, pelaksana, eksponen, pelaku kekerasan itu
adalah orang-orang yang mengaku beragama. Pertanyaan yang muncul adalah : Apakah
agama mengajarkan orang menjadi radikal dan tega menyakiti? Apakah artinya agama jika
tidak melestarikan kehidupan manusia? Apakah agama untuk memusnahkan kehidupan
manusia? Masih terekam dengan jelas bagaimana mencekamnya peristiwa peledakan bom
yang dibingkai oleh motivasi agama. Di berbagai media diutarakan berbagai wawancara dan
tayangan yang berisi alasan mengapa terror bom dilakukan. Motivasi yang amat kentara
adalah alasan agamis. Lagi-lagi agama dibawa-bawa sebagai pengesahan atas suatu tindakan
brutal dan membabi-buta, seakan-akan mati dengan cara demikian akan menjadi tujuan akhir
dan secara otomatis membuka surge bagi para pelakunya. Begitu mudahkah akhirat dicapai
dengan cara demikian? Apakah menghabisi nyawa orang lain menjadi syarat untuk masuk
surge? Apakah dengan demikian agama menjadi biang kejahatan?

1. Radikalisme Agama: Gerakan Membela Tuhan


Gerakan radikal dalam membela Tuhan dan agama menjadi aktivitas yang terus
berulang dalam sejarah manusia. Sejak manusia mengenal agama. Kebenaran agamis dan
iman akan Tuhan menjadi bahan bakar bagi aneka gerakan ini. Ada dua cara dalam
memandang hal ini, yakni secara positif dan negative. Secara positif, manusia dengan gairah
ini hendak mengukuhkan adanya otoritas Allah yang telah diyakininya. Secara negatif, aneka
semangat semacam ini kadang kala berbenturan keras dengan aliran lain, yang kerap kali
memunculkan rasa fanatisme, apologisme, bahkan terorisme yang paling keras sekalipun.
Pencarian otentisitas keagamaan yang sangat bersemangat pada gilirannya ternyata
cenderung berujung pada meningkatnya perjumpaan secara keras dengan pihak lain.
Haedar Nashir dalam disertasinya yang berjudul : Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah
Ideologis di Indonesia (2007) mengatakan bahwa ada beberapa kelompok di Indonesia yang
selalu getol melakukan perubahan secara radikal ketika menginstrumentalisasi keyakinannya.
Pertama, kelompok yang tampil dengan ciri legal-formal yang menuntut perubahan sistem
hukum yang sesuai tata aturan dan tuntutan hukum agama. Kedua, kelompok yang tampil
dengan cirri doktriner dengan cara memahami dan mempraktikkan agama serba mutlak dan
kaku. Ketiga, kelompok yang tampil dengan cara militant yang berhaluan keras, bahkan tak
segana melakukan penolakan frontal terhadap Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan
bersikulah ingin menjadikan syariah sebagai penggantinaya. Paham radikalisme yang selalu
digerakkan dalam berbagai momentum, dan tidak menutup kemungkinan akan dimanfaatkan
pihak-pihak lain, teruma kelompok ektrem yang keberadaannya masih kecil tetapi suaranya
sangat berisik (Noisy minority). Ketika radikalisme agama dijadikan sebagai wadah
pergerakan untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah, sementara barisan mereka
dilingkupi oleh ambisi kekuasaan dan politik, bukan tidak mungkin segala cara hingga yang
paling ektrem akan dilakukan, bahkan dibingkai dalam berbagai aksi yang berjilid-jilid untuk
menekan dan mengintimidasi siapa pun yang dianggap berseberangan.
Iman akan Allah memegang harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Kepercayaan
akan kebesaran Tuhan memang selayaknya menjadi pendorong bagi makin mekarnya
ketakwaan seseorang. Hal ini setidaknya terjadi dalam sejarah Gereja. Perang Salib dan aneka
perang bernuansa agama menjadi penanda bagi perlunya membela kepentingan Allah di
dunia. agama harus di bela, apapun resikonya. Perang dan membunuh kadangkala harus
dikerjakan jika memang itu jalan satu-satunya. Barang siapa menodai agama, dia harus
dihukum berat, bahkan mati jika perlu. Orang sehebat Galileo Galilei pun harus mengalami
eksekusi ketika dituduh telah menista agama.
Membela agama dan pelbagai ajarannya sebenarnya sudah dilakukan pula oleh kaum
Farisi. Mereka merasa begitu mencintai Allah dan adat istiadat Yahudi. Nilai-nilai agama
yang telah diyakini selama berabad-abad dan termasuk dalam Taurat harus di bela mati-
matian. Orang Yahudi sejati bagi mereka adalah mereka yang menjalankan Taurat.
Barangsiapa menista Taurat. Barangsiapa menista Taurat harus dihukum, bahkan orang yang
mengaku sebagai Anak Allah sekalipun. Yesus harus disalib karena telah “mengobrak-abrik”
praktek suci agama Yahudi. Agama bagi mereka, sekali lagi, harus dibela! Di titik ini muncul
pertanyaan besar, yaitu: “Apakah agama harus dibela sedemikian rupa? Apakah Tuhan yang
mahasempurna membutuhkan pembelaan yang maharapuh?”
Teologi dari semua agama mengatakan bahwa agama mereka sendirilah yang paling
benar, dan yang lain salah atau menyimpang. Persis yang dikatakan oleh kaum teroris:
“Kamilah yang paling benar dalam menjalankan ibadah, dan yang lain (penentang kami)
adalah kafir, sehingga sah untuk dilenyapkan!” Di titik lain inilah Charles Kimball
mengatakan “when religions become evil”. Kimball memberi dua tanda yang menjadi
penyebab mengapa agama bisa menjadi jahat: pertama, adanya klaim-klaim kebenaran.
Klaim atas kebenaran ini menuntut kesetiaan dan kesamaan interpretasi. Perbedaan
penafsiran, apalagi perbedaan dalam pemahaman keimanan, mengakibatkan orang-orang
yang berlawanan dicap sebagai sesat dan kafir. Kedua, ada semangat misionarisme yang
militan dengan menggunakan segala macam cara (bahkan yang keji sekalipun) untuk
menyelamatkan “orang kafir yang masih berlumur dosa.” Orang lain yang tidak sepaham
dengannya lalu dianggap sebagai pendosa yang harus ditobatkan. Agama adalah tragedi umat
manusia. Ia mengajak kita kepada kesadaran yang plaing luhur dalam jiwa manusia, tetapi
anehnya hampir tidak ada satu agama pun yang tidak ikut bertanggung jawab atas berbagai
kekerasan, perang aniaya, tirani, dan penindasan akan kebenaran.
Manusia terlalu mengira syarat dan hukum agama adalah tempat menyanangkan bagi
kehadiran Tuhan di dunia. manusia mengira kehebatan pusat-pusat keagamaan adalah
tempat-tempat yang disukai oleh Tuhan. Yang lebih menyesakkan lagi, manusia mengira
fanatisme, radikalisme, jihad dan yang semacamnya identik dengan heroism kepada Tuhan.
Aktivitas egositik pribadi, golongan, maupun kelompok yang kita bungkus dengan aneka
alasan suci, bahkan aneka ayat suci seakan-akan menyenangkan Tuhan. mengapa kita tidak
pernah bertanya apakah Tuhan berkenan dan menyukai segala dan tindakan tersebut?
Ubi caritas Deus ibi ets (di mana ada cinta, disitu Tuhan hadir)! Hanya di mana ada
cinta, disitu Tuhan hadir. Tuhan juga tidak meminta persembahan. Juga tidak segala macam
bentuk korban bakaran. Juga tidak meminta kata-kata indah dalam doa yang keluar dari mulut
kita (sebab mulut kita berbau busuk lantaran seringnya mencerca, memvonis, menjelek-
jelekkan orang lain dan memprovokasi orang lain, mengasut orang lain untuk melakukan
aneka tindakan kekerasan), segala bentuk aktivitas heroisme dangkal berupa tindakan perang,
terorisme, dan aneka macam sikap pembelaan dengan di bungkus istilah-istilah suci,
seperti :jihad,” “martir,” dan seterusnya. Rasanya, apabila konsekuensi dari semuanya itu
berupa kesengsaraan, perseteruan, perpecahan, penderitaan, adalah kehancuran yang jauh dari
karakter manusia-manusia yang beradab, sulit untuk, memahami bahwa Tuhan berkenan
dengan semua aktivitas heroic tersebut. juga bahkan apabila segala aktivitas heroic itu
memiliki justifikasi ayat-ayat Kitab Suci. Ubi caritas Deus ibi est. Tuhan meminta cinta!
Hsnys cinta. Sebab hanya cinta yang melestarikan hidup manusia.
2. Kedudukan Pancasila
Kedudukan pancasila sebagai ideologi negara harus menjadi dasar dari tujuan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila harus menjadi acuan bagi masyarakat
Indonesia dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari ditengah masyarakat. Kita mungkin
bisa melihat bahwa belakangan ini nilai Pancasila mulai pudar karena sedikit demi sedikit
orang kurang mengetahui makna dari Pancasila tersebut, di samping itu muncul beberapa
faktor radikalisme yang dilakukan oleh sebagian orang untuk mencapai tujuan tertentu tetapi
dengan menggunakan cara yang salah dan merugikan orang lain bahkan ada juga yang
menggunakan dengan cara kekerasan.
Peran Pancasila sungguh diperlukan sebagai upaya menyelesaikan masalah
radikalisme yang brutal dan membabi-buta, tetapi untuk menyelesaikan masalah tersebut
tidaklah mudah dan sesederhana yang kita pikirkan. Kita membutuhkan kerja keras dan
konsistensi yang cukup untuk membumikan kembali ideologi Pancasila dalam menangkal
radikalisme. Penanaman nilai-nilai Pancasila harus terus dibumikan dan diterapkan dalam
kehidupan. Karena Pancasila merupakan dasar negara yang harus tertanam dalam pada diri
kita sejak dini. Seseorang sudah seharusnya menanamkan dan menghayati nilai-nilai
pancasila mula dari sejak dini. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia memiliki nilai-nilai
luhur, budi pekerti, etika dan moral bagi setiap umat manusia di Indonesia dalam rangka
merangkai rasa kebangsaan, rasa persatuan, dan kedamaian bukan justru menyebarkan benih
kebencian pada Pancasila.
Selain itu, perlunya memupuk kembali kecintaan terhadap ideologi Pancasila, kembali
pada semangat ideologi Pancasila, melaksanakan pengamalan Pancasila dalam kehidupan
sehari-hari. Pancasila sebagai falsafah negara Indonesia yang sarat dengan budi pekerti,
kearifan, kebijaksanaan dan moralitas harus diimpelementasikan oleh setiap organisasi dan
setiap keorganisasiaan agama-agama dan juga di kampus-kampus. Pancasila harus dijadikan
pedoman dalam proses berorganisasi sebagai upaya benteng pertahanan untuk mencegah
gerakan radikalisme, intoleransi, terorisme. Dengan begitu, Pancasial memiliki relevansi
yang sangat tepat sekali saat ini sebagai upaya dalam merangkai rasa kebangsaan, rasa
keharmonisan. Karena itu, kita hidup di negara Indonesia harus taat pada hukum dan falsafah
bangsa Indonesia yang mengarahkan kita pada kebenaran.
Hukum dan falsafah bangsa Indonesia ini harus menjadi acuan bagi masyarakat
Indonesia. Ketaatan terhadap hukum dan falsah merupakan wujud nyata kita menghayati
nilai-nilai pancasila sebagai Ideologi negara. Negara Indenesia adalah negara yang
multireligi, semua agama boleh masuk, pemersatu, mengajak masuk agama tidak boleh
memaksakan diri dan memaksan orang lain apalagi merugikan dan mengganggu orang lain.
Apalagi Hak kemerdekaan memeluk agama ini diatur pasal 129 ayat (1) dan (2) UUD 1945
ayat (1) berbunyi bahwa: “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Ini berarti
bahwa bangsa Indonesia percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ayat (2) berbunyi:
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Sangat jelas
bahwa keberadaan agama di Indonesia telah disahkan oleh negara dan dijamin oleh negara
sendiri.
Untuk itu tidak ada alasan bagi kelompok dan organisasi mana pun untuk mengancam
melakukan tindakan kejahatan dan kekerasan pada agama tertentu. Pancasila yang memiliki
kedudukan sebagai ideologi nasional berfungsi sebagai cita-cita adalah sejalan dengan fungsi
utama dari sebuah ideologi serta sebagai sarana pemersatu masyarakat sehingga dapat
dijadikan sebagai prosedur penyelesaian konflik pada bangsa ini. Ideologi Pancasila terlahir
bukan tanpa sebab, Ideologi Pancasila terlahir sebagai pemersatu bangsa Indonesia atas
keberagaman. Ideologi Pancasila sebagai pemersatu bangsa Indonesia terutama di antara
dengan adanya banyak agama seperti Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu,
Budha, dan Khung Hucu itu dipersatukan dengan namanya Ideologi Pancasila ini merupakan
hal yang harus disyukri bangsa ini. Masing-masing agama tersebut tentu mempunyai hak
yang sama dalam hal hak untuk beribadat dan merasa aman juga berstatus sebagai warga
negara. Maka seboyan Bhineka Tunggal Ika yang mempunyai arti walau berbeda-beda tetapi
satu sungguh harus diahayati. Artinya perbedaan itulah yang harus kita cintai keberadaannya.
Semua agama pasti punya tujuan yang sama, hanya saja caranya yang berbeda. Jadi
tidak boleh ada yang mengatakan agama saya yang paling benar agamamu sesat.
Pertanyaannya apakah seperti itu perilaku orang yang mengaku beragama. Ideologi Pancasila
merupakan tatanan nilai yang digali (kristalisasi) dari nilai-nilai dasar inilah budaya bangsa
Indonesia. Kelima sila merupakan kesatuan yang bulat dan utuh sehingga pemahaman dan
pengalamannya harus mencakup semua nilai yang terkandung di dalam Pancasila. Ketahanan
ideologi diartikan sebagai kondisi dinamik kehidupan ideologi bangsa Indonesia yang berisi
keuletan dan ketangguha yang mengandung kemampuan kekuatan nasional dalam
menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, kekerasan, hambatan serta gangguan
yang dari luar/dalam, langsung/tidak langsung dalam rangka menjamin kelangsungan
kehidupan ideologi bangsa dan negara Indonesia. Untuk mewujudkannya diperlukan kondisi
mental bangsa yang berlandaskan keyakinan akan kebenaran ideologi Pancasila sebagai
ideologi bangsa dan negara serta pengalamannya yang konsisten terhadap keputusan yang
diambil. Selain itu, semua elemen harus bekerja sama dan saling mendukung supaya ideologi
Pancasila ini sungguh bisa tertanam dalam diri seluruh rakyat Indonesia. Ikut terlibat
mendukung dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pihak dan
kelompok mana pun yang ingin memecah belah keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Selalu menghargai dan menghormati perbedaan di negara Indonesia.

3. Impelementasi Nilai-nilai Pancasila


Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menangkal dan mencegah gerakan
radikalme terorisme adalah dengan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengapa Pancasila? Karena Pancasila ini merupakan
ideologi dan dasar negara yang bersumber dari kearifan lokal (budaya bangsa) dan
mengakomodir keragaman bangsa Indonesia. Nilai-nilai Pancasila sangat sarat makna terhdap
perdamaian, keadilan dan religiusitas.
Menurut Romo Franz Magnis Suseno (2011:116-117), arti Pancasila sangatlah
mendasar karena dua hal. Pertama karean kekhasan nasionalisme bangsa Indonesia, dan
kedua karena pluralitas (kebhinekaan) bangsa Indonesia. Persatuan bangsa Indonesia tidak
bersifat eknik (tidak hanya satu bahasa seperti Jerman datu satu wilayah seperti Korea)
melainkan etis (memiliki pengalaman yang sama hingga timbul hasrat untuk membangun
masa depan). Sementara pluralitas di Indonesia sangatlah besar dan luas. Pluralitas budaya,
bahasa, geografis, agama, dan penghayatan terhadap keagamaan. Maka kebangsaan Indonesia
jangan pernah diterima begitu saja dalam kehidupan. Tetapi juga perlu dipelihara. Jika
hakekat Indonesia dalah plural, maka persatuannya hanya tangguh jika semua pihak ingin
bersatu dan bekerjasama. Dan dasar dari pluralisme Indonesia adalah kemampuan untuk
menerima dalam perbedaan, menghormati identitas cultural, etnik, dan agama yang ada
dalam setiap komponen bangsa. Pancasila harus benar-benar menjadi pandangan dan perilaku
hidup sehari-hari bagi setiap orang. Bagaimana nilai-nilai Pancasila terimpelementasi dalam
kehidupan sehari-hari. Sehingga Pancasila tidak berhenti pada tataran wacana semata saja.
Perlu kita ingat setiap sila Pancasila menyiratkan nilai-nilai yang penting untuk sungguh
dilihat.
Sila pertama, mengajarkan kita untuk menghargai orang yang berbeda keyakinan
dengan kita. kebebasan memeluk agama. Sila kedua, mengajak kita untuk memuliakan
manusia. Kita semua adalah saudara meskipun berbeda suku, ras dan etnis. Hingga akhirnya
menjadi masyarakat yang beradab. Sila ketiga, menunjukkan pentingnya persatuan.
Menekankan kekeluargaan gotong royong dan nasionalisme. Sila keempat, mengandung
sebuah nilai tentang arti penting sebuah musyawarah sebagai sarana untuk memecahkan
masalah demi mencapai mufakat atau arti penting dari demokrasi. Sila kelima, bermakna bila
sebuah keadilan dan kesejahteraan sosial adalah hak setiap warga negara. Kesewenang-
wenangan dan penindasan suatu pihak terhadap pihak lain harus dihapuskan. Untuk itu semua
pihak-pihak harus memperjuangkannya.
Sangat penting bagi kita untuk memahami nilai-nilai Pancasila tersebut kemudian
mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika Pancasila sudah menjadi karakter
dan etika sosial dengan otomatis ideologi radikal dan teroris akan bisa di cegah. Karena nilai-
nilai Pancasila adalah tameng untuk menangkis ideology radikal dan teroris. Dan Pancasila
juga merupakan kristalisasi dari kearifan local dan budaya bangsa yang tidak berseberangan
dengan agama.

4. Pancasila Sebagai Dasar Menolak Radikalisme Agama Di Indonesia


Boelars (2009:147) mencatat bahwa meskipun UUD 1945 sudah menetapkan
Pancasila sebagai dasar negara, masih juga ada juga pihak yang hendak mengganti Pancasila
dengan dasar lain. Fait (1988:15) dalam pengantarnya untuk pidato Soekarno di depan
BPUPKI berargumentasi bahwa Pancasila adalah usaha keras Soekarno untuk menentang
gagasan didirikannya negara agama dan sekaligus mendamaikan perbedaan pendapat antara
kaum nasionalis dan kaum agama. Hal ini tampak dalam pidato Soekarno berikut ini:
“Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat
semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo
buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitiesmito yang kaya buat Indonesia,
tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua! Jika saya peras yang lima menjadi tiga
menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan
‘gotong royong.’ Negara yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong! “ (Sekretariat
Negara Republik Indonesia, 1995:82.)
Sejak awal pembentukan negara ini, banyak terjadi kontroversi tentang bentuk negara
mengenai apakah negara ini didirikan atas dasar agama atau berbentuk negara secular.
Setidaknya ada dua golongan besar yang saling berhadapan, yaitu antara kekuatan agamis
dan kekuatan nasionalis. “Semua buat semua” serta “tiada egoism agamis,” demikian
Soekarno berbicara. Darmaputera (i989:291) di titik ini menyimpulkan bahwa Indonesia
merdeka ‘bukanlah Negara Islam dan bukan Negara secular,’ tetapi negara Pancasila.
Soekarno memimpikan terwujudnya ”Indonesia bagi semua,” maka semua warga harus
merasa sebagai orang Indonesia dan membangun Indonesia yang sama:
Peran Pancasila sebagai dasar negara dalam mengatasi masalah radikalisme itu
sendiri bisa di upayakan dengan cara:
1. Memperkuat ketahanan nasional dalam bidang ideology, yaitu dengan cara
menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
2. Mengkaji pola pikir yang paling dalam dari ideologi radikalisme global dan
membuktikan kekeliruan dan kelemahan dalil-dalil yang dianutnya, bukan saja dari
aspek internal tetapi juga dari aspek eksternal.
3. Meniadakan kondisi yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya ideology
tersebut, antara lain dengan menegaskan keadilan kebenaran, menghargai harkat dan
martabat manusia, mencegah terjadinya diskriminasi dan mencegah pelanggaran hak
asasi manusia.
4. Mengambil tindakan yang tepat dan cepat terhadap adanya aksi-aksi radikalisme
didalamnya.

5. Penutup
Paham bahwa Indonesia adalah bangsa yang multicultural dan ber-Pancasila harus
terus disadari dan diperjuangkan bersama. Pemanaman dan penghayatan terhadap nilai-nilai
Pancasila perlu ditanamkan dalam diri dari sejak dini. Sehingga pemahaman tehadap
Pancasila sebagai Ideologi bangsa telah melekat pada diri seseorang. Kesatuan bangsa ini
dibangun di atas dasar keberagaman budaya, agama, suku, ras dsb. Ancaman mendasar
terhadap negara demokratis yang multicultural ini adalah munculnya budaya sektarian. Salah
satu perwujudan sektarian adalah sikap antitoleran terhadap “yang lain” itulah pintu menjadi
radikal. Keberagaman bangsa ini seharunya tidak menjadi pemincu adanya permusuhan.
Melainkan mewujudkan hidup dalam damai dan toleransi. Kehadiran Pancasila merupakan
sebagai dasar untuk mempersatukan keberagaman bangsa Indonesia. Radikalisme adalah
tindak yang merusak kemanusiaan. Sebagai sesama ciptaan manusia harus menghargai
martabat hidup. Memperlakukan sesasamanya secara manusiawi, sebagaimana dia
memperlakukan dirinya atau mengharapkan orang lain memperlakukannya sama.
DAFTAR PUSTAKA

Wisnu Dewantar Agustinus, Diktat Kuliah Ilmu Kewarganegaraan Agama. 2019


Dewantara, Agustinus. "Pancasila Dan Multikulturalisme Indonesia." (2018).
https://www.academia.edu/37357814/
PERAN_PANCASILA_DALAM_MENANGKAL_RADIKALISME
https://jalandamai.org/mengapa-pancasila-ampuh-tangkal-radikalisme-dan-terorisme.html
https://jalandamai.org/pancasila-sebagai-pencegahan-radikalisme.html
http://husadakaryajaya.ac.id/2017/11/02/implementasi-nilai-nilai-pancasila-menghadapi-
radikalisme/

Anda mungkin juga menyukai