Anda di halaman 1dari 11

Appendicitis dalam Kehamilan: Bagaimana Menangani dan Kapan Waktu

untuk Melahirkan
Pendahuluan
Seorang pasien hamil dengan curiga appendicitis menyajikan pertanyaan klinis
yang menarik baik untuk dokter ahli obstetri maupun ahli bedah umum (Kotak 1).
Tidak jelas apakah appendicitis akut merupakan indikasi persalinan bayi cukup
bulan atau apakah masuk ke dalam rahim sebaiknya dihindari pada kasus sepsis
intraabdomen. Tentu saja appendectomy mungkin lebih mudah dilakukan setelah
uterus kosong tetapi pada pasien primipara muda apakah ini menjadi indikasi
yang cukup untuk melakukan operasi caesar (CS)? Dan dalam kasus di mana janin
prematur, bagaimana sebaiknya penanganan pasien dilakukan? Tinjauan ini
dilakukan untuk mengklarifikasi tatalaksana kasus seperti ini di masa depan.
Latar Belakang
Appendicitis akut adalah radang usus buntu, dimana dalam bentuk terburuknya
dapat menyebabkan ruptur. Ini adalah penyebab paling umum dari bedah
abdomen akut pada kehamilan. Meskipun demikian, hasil dari studi registri
Swedia yang membandingkan 778 pasien yang menjalani operasi usus buntu pada
kehamilan dengan kelompok kontrol berbasis populasi yang tidak hamil
didapatkan bahwa wanita hamil, pada kenyataannya, lebih kecil kemungkinannya
untuk mengalami appendicitis (odds ratio 78, 95% CI 0,73– 0.82).
Di negara maju, appendicitis akut diduga terjadi pada 1/800 kehamilan dan
dikonfirmasi pada 1/800 hingga 1/1500. Insidensinya paling sering terjadi pada
trimester kedua.
Gejala dan Tanda
Pasien dengan appendicitis pada kehamilan seringkali muncul dengan cara yang
tidak klasik (Tabel 1). Pada presentasi klasik, nyeri abdomen tengah yang
terlokalisir ke fossa iliaca dextra – pada titik McBurney yakni 6 cm pada garis
dari spina iliaca anterior superior menuju umbilicus. Nyeri juga berkaitan dengan
anoreksia, mual, serta demam hingga 39.3oC dengan peningkatan sel darah putih.
Inflamasi tersebut mengiritasi dinding abdomen anterior sehingga menyebabkan
tanda rebound dan guarding; abdomen ‘bedah’. Tanda Rovsing yang merupakan
peningkatan nyeri saat melepaskan penekanan dari abdomen oleh tangan
pemeriksa menunjukkan iritasi peritoneum.
Pasien hamil bisa saja datang dengan gejala heartburn, konstipasi, diare,
gejala saluran kemih atau hanya dengan gejala malaise umum. Nyeri dapat
dirasakan pada titik McBurney atau di tempat lain pada sisi kanan abdomen. Hal
ini terjadi karena setelah 12 minggu uterus yang membesar meregangkan dinding
abdomen anterior dan omentum menjauh dari area inflamasi. Hal ini mencegah
tanda klasik rebound tenderness atau guarding.
Kotak 1. Studi Kasus
SA, berumur 22 tahun, datang ke IGD pada kehamilan pertama dengan usia gestasi 37 + 6
minggu. Dia memberikan riwayat 4 hari sakit perut sisi kanan dan merasa keadaan umumnya
tidak sehat. Dia mengalami mual tetapi tidak ada muntah, gejala pencernaan atau gejala saluran
kemih. Pada pemeriksaan fisis pasien normotensi pada 100/50 mmHg, dengan denyut nadi 80
kali per menit dan suhu 38,1°C. Perutnya lembut, dengan uterus gravid yang sesuai usia
kehamilan dan nyeri tekan pada fossa iliaca dextra dengan guarding terlokalisasi tetapi tidak
ada rebound. Urinalisis ditemukan negatif. Analisis darah menunjukkan C-reactive protein 20
mg / L, jumlah sel darah putih 12x109 / L dengan neutrofilia, tes fungsi hati normal. Pasien
diduga menderita appendicitis, diberikan amoksisilin dan metronidazol intravena dan dirujuk ke
unit kebidanan terdekat dengan penutup bedah. Dia diberi analgesia yang sesuai.
Kardiotokografi (CTG) normal.
Pada saat kedatangan dia diperiksa oleh ahli bedah umum yang sedang berjaga dan merasa
bahwa pasien kemungkinan menderita appendicitis akut. Pasien kemudian dijadwalkan untuk
operasi keesokan paginya. Rencana dari petugas bedah adalah bahwa dia harus menjalani
operasi caesar (CS) sebelum apendektomi sehingga sayatan yang sama dapat digunakan. Hal ini
dijelaskan kepada pasien dan keluarganya. Malam harinya diperiksa oleh tim kebidanan. Tidak
ada indikasi untuk operasi caesar. Rencana tersebut diubah sehingga pembedahan harus dimulai
pada appendix. Jika appendix tampak terinfeksi maka rahim akan dibiarkan utuh, bayi tidak
dilahirkan. Jika appendix tampak normal maka CS akan dipertimbangkan. Alasannya adalah
bahwa jika ada apendisitis akan lebih baik untuk tidak membuka rahim karena risiko infeksi
dengan kemungkinan efek merusak pada fertilitas di masa depan. Sebaliknya pasien dapat pulih
dari operasi, menunggu persalinan spontan dan idealnya mencapai persalinan normal beberapa
minggu kemudian.
Jika tidak ada appendicitis yang ditemukan, sumber sepsis intraabdomen lainnya harus
dikeluarkan. Jika korioamnionitis didiagnosis dengan eksklusi, maka CS mungkin disarankan.
Dalam skenario itu, CS akan lebih aman karena tidak ada infeksi intra-abdominal.
Pasien dan keluarganya sangat tertekan mengetahui bahwa mereka belum tentu melahirkan
bayi mereka hari itu. Mereka menuntut untuk menjalani CS bersamaan dengan operasi usus
buntu. Alasan tersebut diulangi beberapa kali dan akhirnya pasien setuju.
Pasien menjalani apendektomi dengan anestesi spinal. Sayatan Lanz dibuat di atas titik
nyeri tekan maksimal. Appendix retroileal yang membengkak dan berubah warna diidentifikasi
dan dipotong, tunggulnya diikat dengan 2.0 poliglaktin (Vicryl ®, Ethicon Inc. Somerville, NJ,
USA) dan abdomen ditutup lapis demi lapis. Karena appendix jelas meradang, CS tidak
dilakukan. Pasien dan keluarganya diberi tahu bahwa pasien sekarang sebaiknya sembuh total.
CTG dilakukan pasca operasi dan normal. SA pulang ke rumah pada hari kedua pasca operasi.
Dia dirawat di klinik antenatal setiap minggu sampai dia mengalami persalinan spontan pada
aterm plus 8. Persalinan berjalan lancar dan dia melahirkan bayi laki-laki hidup dengan
persalinan yang dibantu vakum dengan anestesi epidural. Dia dipulangkan dengan bayinya 3
hari kemudian dan sangat senang dengan hasilnya.
Tabel 1. Appendicitis pada pasien hamil dan yang tidak hamil
Gejala/Tanda Terlihat pada Terlihat pada pasien
kehamilan yang tidak hamil
Nyeri perut kuadran kanan bawah 75% 95%
Nyeri perut kuadran kanan atas 20% 5%
Mual 85% 90%
Muntah 70% 70%
Anoreksia 65% 90%
Disuria 8% 2%
Rebound tenderness 80% 90%
Guarding pada abdomen 50% 90%
Nyeri tekan pada rektal 45% 45%
Demam yang tidak terlalu tinggi 20% 60%

Pemeriksaan
Pemeriksaan dapat melenceng pada kasus kehamilan. Pada pasien yang tidak
hamil dengan appendicitis akut biasanya mengalami leukositosis ringan, dengan
jumlah leukosit di atas 10x109/L. Namun hal ini merupakan temuan umum pada
kehamilan normal, dimana jumlah leukosit dapat mencapai 29x109/L tanpa adanya
masalah kesehatan. Pada kehamilan, peningkatan leukosit dapat dikaitkan dengan
inflamasi bila kadar C-reactive protein (CRP) juga meningkat. Namun secara
umum, peningkatan CRP merupakan penanda inflamasi yang sangat tidak
spesifik.
Pemeriksaan radiologi diindikasikan bila diagnosis masih belum pasti.
Tujuan utama radiologi ialah untuk mengurangi penghambatan waktu dalam
intervensi bedah. Tujuan sekunder ialah untuk mengurangi angka appendicectomy
negatif.
Ultrasound dapat mengidentifikasi appendix yang membesar (sebuah
struktur tubular dengan ujung tak terlihat yang tidak mengalami kompresi pada
fossa iliaca dextra, dengan diameter lebih dari 6 mm), kista ovarium atau kejadian
kista, fibroid, ataupun penyakit pada kandung empedu. Sensitivitas ultrasound
untuk mendiagnosis appendicitis dalam kehamilan yakni 67-100% dengan
spesifisitas 83-96%, dengan variabilitas disebabkan karena masalah seperti usia
kehamilan, indeks massa tubuh, serta kesalahan dari pemeriksa.
Computed Tomography (CT) untuk appendicitis pada kehamilan memiliki
sensitivitas 86% dan spesifisitas 97%. Kerugian dari CT ialah paparan ibu dan
bayi terhadap radiasi dan berpotensi menimbulkan efek karsinogenik. Masih tidak
jelas selama penelitian apakah CT untuk appendicitis berguna setelah pemeriksaan
ultrasound yang tidak jelas.
Magnetic resonance imaging (MRI) merupakan teknik radiologi alternatif
untuk menyingkirkan appendicitis akut pada kehamilan bila pemeriksaan klinis
dan ultrasound masih tidak jelas. Hal yang menarik dari pemeriksaan ini ialah
terhindar dari paparan radiasi. Evaluasi MRI pada wanita hamil dengan curiga
appendicitis memberikan sensitivitas 91% dan spesifisitas 98%. American
College of Radiology menyatakan bahwa MRI sebaiknya digunakan pada kasus
dimana ultrasound masih tidak jelas dalam mendiagnosis appendicitis pada
kehamilan.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding appendicitis pada kehamilan termasuk semua kemungkinan
pada pasien tidak hamil ditambah dengan kondisi yang berkaitan dengan
kehamilan itu sendiri.
Kehamilan ektopik harus disingkirkan pada wanita dengan hasil tes
hehamilan positif yang mengelukan nyeri perut. Hal ini dapat dilakukan dengan
ultrasound dan hubungannya dengna kadar human chorionic gonadotrophin pada
darah. Pada pasien pingsan dengan tes kehamilan positif serta nyeri abdomen,
laparoskopi diagnostik darurat sebaiknya dilakukan tanpa menghambat hasil
investigasi. Laporan 2011 dari Centre for Maternal and Child Enquiries
mendiskusikan sejumlah kasus dimana pasien dengan kehamilan ektopik
terganggu datang dengan gejala gastrointestinal (kemungkinan karena iritasi usus
oleh darah) dan telah disalahartikan pada instalasi gawat darurat dengan
konsekuensi yang menyedihkan.
Keguguran yang terancam dapat memperlihatkan gejala nyeri abdomen
meskipun gejala gastrointestinal jarang terjadi. Pemeriksaan serviks dengan
pemeriksaan ultrasound dapat mengklarifikasi diagnosis.
Gastroenteritis dapat menyebabkan gejala yang sama seperti appendicitis
meskipun seringkali diare atau muntah dapat terlihat. Kontak erat dapat terjadi,
atau sebuah pemicu ditemukan (contoh, makanan bungkus atau riwayat
bepergian). Pada appendicitis, mual dan muntah biasanya mengikuti onset nyeri
abdomen.
Nyeri muskuloskeletal sangat umum terjadi pada kehamilan. Biasanya
muncul dengan onset yang bertahap, dengan eksaserbasi saat bergerak dan tidak
adanya tanda klinis atau gangguan sistemik. Suplemen zat besi oral dapat
menyebabkan gejala gangguan gastrointestinal tetapi biasanya bersifat ringan,
dapat dikaitkan dengan dimulainya pengobatan zat besi dan feses dapat terlihat
menjadi gelap.
Pielonefritis dapat muncul dengan gejala yang sama seperti appendicitis
tetapi piuria biasanya akan terlihat pada tes urin. Wanita hamil mungkin tidak
menunjukkan gejala disuria dan frekuensi berkemih yang biasa terlihat pada
pasien tidak hamil dengan pielonefritis atau infeksi saluran kemih.
Pada kehamilan lanjut, preeklampsia atau sindrom HELLP (hemolisis,
peningkatan enzim hati, trombosit rendah; varian preeklamsia yang parah) dapat
muncul dengan gejala sakit perut dan muntah. Hipertensi dan proteinuria biasanya
akan terlihat pada saat gejala abdomen berkembang, meskipun perubahan pertama
diagnostik HELLP dapat dilihat pada tes fungsi hati dan hitung darah lengkap.
Solusio plasenta atau ruptur uteri muncul dengan gejala nyeri dan tanda
gawat janin, nyeri tekan uterus, perdarahan atau kolaps vagina. Kondisi ini jarang
terjadi sebelum trimester terakhir.
Korioamnionitis sulit dibedakan dari apendisitis. Mungkin ada nyeri perut
yang menjadi lebih akut, mual, muntah, demam ringan dan diare. Jika terdapat
riwayat pecah ketuban dan/atau keputihan yang mengganggu diagnosisnya lebih
mudah, namun korioamnionitis occult dapat terjadi dengan selaput utuh pada
konteks listeriosis.
Pada wanita pasca bersalin, tromboflebitis vena ovarium dapat terjadi.
Kondisi ini muncul dengan demam, nyeri perut, dan nyeri tekan di perut bagian
bawah. Pasien secara klinis tidak sehat tetapi gejala gastrointestinal tidak biasa.
Diagnosis appendicitis hampir tidak mungkin dilakukan selama persalinan
dan harus ditunda sampai setelah melahirkan.
Tatalaksana
Tatalaksana untuk appendicitis akut adalah pembedahan. Keputusan untuk
melanjutkan operasi pada wanita hamil harus didasarkan pada riwayat klinis,
pemeriksaan fisis dan hasil radiologi. Jika diagnosis sudah pasti, keputusan untuk
melakukan operasi appendix menjadi mudah. Morbiditas ibu setelah operasi
apendektomi langsung rendah, dan sama dengan populasi tidak hamil. Kesulitan
muncul saat diagnosis tidak jelas.
Morbiditas ibu dan janin meningkat secara dramatis dan langsung dalam
kaitannya dengan tingkat keparahan appendicitis. Angka kehilangan janin pada
appendicitis simpleks yakni 1,5%, dengan peritonitis generalisata 6%, dan jika
appendix mengalami perforasi, setinggi 36%. Perforasi appendix yang terinfeksi
dapat menyebabkan nanah serta feses yang menyebar ke rongga intraabdominal.
Hal ini dapat menyebabkan sepsis parah dan pasien sakit kritis. Selain risiko
keguguran, perforasi appendix meningkatkan risiko kelahiran prematur dan
kesulitan adhesi panggul dan subfertilitas di masa mendatang.
Mengingat risiko yang signifikan jika apendiks mengalami perforasi,
indeks kecurigaan yang lebih rendah digunakan untuk pengobatan bedah
apendisitis pada pasien hamil dan penundaan dalam manajemen definitif harus
dihindari. Tingkat laparotomi negatif yang lebih tinggi dianggap dapat diterima.
Hingga 35% laparotomi mungkin negatif. Ini dapat dikurangi sedikit dengan
radiologi preoperatif tetapi dipengaruhi oleh keengganan relatif untuk melakukan
CT. Jika pembedahan menunjukkan appendix yang tampak normal, tetap harus
diangkat. Peradangan akut apendiks mungkin merupakan diagnosis histologis
murni, pengangkatan menghindari intervensi di masa mendatang, dan operasi itu
sendiri berisiko rendah untuk komplikasi.
Teknik yang digunakan untuk operasi appendix pada pasien hamil
tergantung pada kehamilan, seberapa sakit individu tersebut dan keahlian bedah
yang tersedia. Jika dicurigai adanya perforasi appendix, pasien harus segera
menjalani laparotomi, apendektomi, dan irigasi perut yang ekstensif. Jika pasien
sakit kritis, melahirkan bayi (dengan demikian mengosongkan rahim)
memungkinkan resusitasi ibu yang lebih efektif dan pemulihan yang lebih cepat.
Kesejahteraan ibu harus selalu menjadi prioritas dan didahulukan dari janin tanpa
memandang gestasi.
Apendektomi paling baik dilakukan pada pasien hamil melalui sayatan
melintang di atas titik nyeri tekan maksimal. Jika diagnosis tidak pasti,
pendekatan bedah umum yakni membuat sayatan vertikal garis tengah rendah di
perut untuk memungkinkan paparan pada perawatan bedah appendicitis atau
kondisi apapun yang menyerupai. Jika CS diperlukan pada waktunya, sayatan
yang sama ini dapat digunakan namun diperpanjang.
Apendektomi laparoskopi menjadi semakin populer sebagai teknik.
Laporan kasus dan studi kecil menunjukkan bahwa teknik ini aman dan mudah
dilakukan pada semua trimester. Tinjauan retrospektif sistematis dan meta-analisis
dari studi observasi menunjukkan peningkatan risiko kehilangan janin (relative
risk 1,91, 95% CI 1,31-2,77) untuk laparoskopi vs apendektomi terbuka.
Antibiotik tidak boleh digunakan sendiri sebagai tatalaksana tanpa
pembedahan karena tidak cukup untuk pengobatan definitif.
Ada sedikit bukti untuk penatalaksanaan 'appendicitis kronis' pada
kehamilan. Di sinilah appendix telah pecah tetapi menutup sendiri sehingga
membatasi infeksi dan tidak lagi memerlukan tatalaksana operasi. Pada pasien
tidak hamil, appendix 'berdinding' dapat muncul dengan pasien yang relatif baik
tetapi gejala yang berkepanjangan, massa fossa iliaca dextra teraba, dan abses
terlihat pada USG. Pengobatan terdiri dari antibiotik, cairan infus dan
pemantauan. Pasien dapat pulih lebih cepat dengan manajemen konservatif seperti
itu daripada pendekatan bedah. Hampir tidak ada data tentang bagaimana
menangani kondisi ini saat hamil. Jika wanita cukup sehat tampaknya masuk akal
untuk menunda penatalaksanaan definitif sampai setelah melahirkan.
Tatalaksana Anestesi
Wanita hamil yang menjalani laparoskopi atau laparotomi akan
membutuhkan anestesi. Sangat penting bagi ahli bedah dan ahli anestesi untuk
mengetahui perubahan fisiologi terkait kehamilan yang mempengaruhi
manajemen pasien selama operasi.
Anestesi umum memiliki risiko komplikasi 17 kali lipat lebih tinggi pada
wanita hamil daripada anestesi regional. Komplikasi ini termasuk intubasi yang
gagal (pada 3,3% karena edema yang diinduksi kehamilan, leher pendek,
payudara besar yang membengkak), aspirasi isi lambung (Mendelssohn syndrome)
dan hipoksia. Wanita hamil mengalami desaturasi jauh lebih cepat daripada
wanita tidak hamil (3 menit dibandingkan 9 menit) terutama jika indeks massa
tubuh tinggi. Semua agen induksi dan rumatan anestesi melewati plasenta tetapi
efeknya hanya sementara dan dukungan ventilasi untuk neonatus hanya
diperlukan sampai efeknya hilang, jika neonatus lahir selama anestesi umum.
Oleh karena itu, jika anestesi regional memungkinkan maka lebih disukai, satu-
satunya risiko adalah hipotensi maternal setelah blokade simpatis yang diinduksi
oleh anestesi lokal.
Pembedahan pada pasien hamil dengan apendisitis akut harus mencakup
posisi miring ke kiri untuk menghindari kompresi aortocaval, menghindari
manipulasi atau instrumentasi uterus atau serviks, dan membatasi tekanan
intraabdomen hingga kurang dari 12 mmHg.
Tidak terdapat bukti pemberian agen tokolitik sebagai profilaksis selama
operasi. Meminimalkan manipulasi uterus dan stimulasi serviks sebaiknya cukup.
Anestesi umum sendiri memiliki efek tokolitik.
Pemantauan denyut jantung janin harus dilakukan sebelum dan sesudah
operasi setelah janin dianggap layak - usia kehamilan 24 minggu saat ini. Jika
memungkinkan, janin dapat dipantau selama operasi, namun hal ini hanya
berguna jika akan ada intervensi dalam kasus pola detak jantung janin yang tidak
meyakinkan. Jika oksigenasi ibu yang adekuat dan perfusi uterus dipertahankan,
janin harus mentolerir pembedahan dan anestesi dengan baik. Selama anestesi
umum, efek obat pada batang otak janin dapat menyebabkan denyut jantung janin
menunjukkan penurunan variabilitas dan denyut dasar yang lebih rendah.
Vasodilatasi ibu dari penurunan tonus simpatis dan kardiodepresan dalam agen
inhalasi dapat menurunkan tekanan darah yang mengakibatkan penurunan perfusi
uterus. Jika terlihat perubahan kardiotokografi (CTG) yang konsisten dengan
gangguan janin, hal ini biasanya dapat dikembalikan dengan memaksimalkan
oksigenasi ibu, mengoreksi hipovolemia dan hipotensi, serta memastikan miring
ke kiri.
Analgesia opiat dapat digunakan dengan aman untuk mengontrol nyeri
perioperatif. Obat anti inflamasi nonsteroid harus dihindari terutama setelah 32
minggu kehamilan karena dapat menyebabkan penutupan duktus arteriosus secara
prematur.
Pasien hamil mengalami hiperkoagulasi karena perubahan faktor
pembekuan yang bergantung pada vitamin K dan penurunan protein S. Hal ini
mengurangi kemungkinan perdarahan pada waktu persalinan tetapi meningkatkan
risiko kejadian tromboemboli selama operasi. Semua wanita hamil yang dirawat
di rumah sakit untuk operasi harus diberikan stocking tromboemboli meskipun
bukti kuat untuk rekomendasi ini kurang. Keputusan harus dibuat, apakah
tromboprofilaksis low molecular weight heparin diperlukan. Sebagai aturan
umum, setiap pasien hamil yang tidak sehat secara sistemik kemungkinan besar
memerlukan tromboprofilaksis selama masuk rumah sakit.
Antibiotik perioperatif harus mencakup Gram-negatif, Gram-positif dan
anaerob, seperti, sefalosporin ditambah metronidazole. Profilaksis antibiotik harus
diberikan jika pasien menjalani pembedahan. Sefalosporin, penisilin, eritromisin,
metronidazole, azitromisin, dan klindamisin dianggap aman untuk kehamilan.
Aminoglikosida dapat menyebabkan ototoksisitas dan nefrotoksisitas, tetrasiklin
memengaruhi pertumbuhan tulang dan mewarnai gigi, trimetoprim, nitrofurantoin,
dan kuinolon harus dihindari.
Dampak Operasi terhadap Kehamilan
Secara umum, pembedahan selama kehamilan tidak diketahui dapat
meningkatkan risiko keguguran. Sebuah tinjauan literatur tentang luaran
kehamilan setelah operasi melaporkan bahwa 10,5% pasien yang dioperasi pada
trimester pertama mengalami keguguran. Angka ini tidak berbeda dengan risiko
latar belakang (8–16%).
Jika pasien sakit parah dan pembedahan diperlukan segera, itu harus
dilakukan tanpa memandang gestasi. Kesejahteraan ibu harus selalu menjadi
prioritas dan didahulukan daripada janin tanpa memandang gestasi.
Selama trimester pertama diketahui bahwa peristiwa mungkin memiliki
'efek semua atau tidak sama sekali'. Jika kehamilan tidak hilang seluruhnya,
kemungkinan besar tidak akan terpengaruh. Kemungkinan terdapat beberapa
risiko teratogenesis melalui obat-obatan yang diberikan sampai awal trimester
kedua. Tampaknya trimester kedua adalah waktu terbaik untuk melakukan operasi
semi elektif karena organogenesis telah selesai dan angka kelahiran prematur
adalah 1% daripada 9% pada trimester ketiga. Untungnya, prognosis jangka
panjang untuk anak-anak yang lahir setelah operasi usus buntu dalam kehamilan
adalah baik, dengan perkembangan normal pada usia 17 bulan.
Jika ada risiko tinggi kelahiran prematur dan masa gestasi kritis - antara 24
dan 34 minggu, kortikosteroid antenatal dapat diberikan sebelum operasi. Ini
diberikan sebagai dua dosis betametason 11,4 mg terpisah 24 jam. Manfaat
maksimal bagi janin terlihat antara 48 jam hingga 1 minggu setelah dosis kedua,
jadi idealnya pembedahan harus dilakukan pada saat itu. Steroid harus dihindari
pada kasus sepsis maternal yang parah, termasuk appendicitis, karena dapat
mengganggu kerja sistem imun maternal.
Appendicitis yang sedang berlangsung dan sepsis ibu dapat menyebabkan
iritasi uterus dan persalinan prematur. Sesuai penatalaksanaan biasa, persalinan
prematur setelah 34 minggu kehamilan dapat dilanjutkan. Tokolisis untuk
kehamilan sebelum kehamilan ini hanya boleh digunakan jika tidak ada
kontraindikasi untuk memperpanjang kehamilan. Ketakutan bahwa sayatan usus
buntu dapat dibuka kembali selama persalinan tidak berdasar. Adanya sayatan
perut baru-baru ini tidak menghalangi dorongan pada tahap kedua.
Operasi caesar jarang diindikasikan pada saat appendectomy. Kecuali
pasien sakit kritis, mengosongkan rahim tidak akan mempengaruhi pemulihan dari
operasi. Membuka rahim di dalam rongga perut yang terkena peritonitis
meningkatkan risiko infeksi dan perlengketan intrauterin. Ini dapat menyebabkan
masalah sekunder terkait fertilitas. Kecuali pasien berusia kehamilan lebih dari 37
minggu dan mengharapkan CS sebagai indikasi kebidanan, rekomendasinya
adalah tidak dilakukan secara bersamaan.
Pemantauan CTG pada pasien sepsis sering menunjukkan takikardia janin
dan penurunan variabilitas. Hal ini dapat menyulitkan untuk memastikan
kesejahteraan janin. Hidrasi intravena sebelum operasi, pengobatan antibiotik, dan
pereda nyeri harus menghasilkan pemulihan denyut jantung janin yang normal.
Dalam kasus kelainan denyut jantung janin yang menetap, persalinan harus diatur.
Jika CTG tetap tidak normal pada saat apendektomi yang direncanakan, operasi
caesar dapat dilakukan untuk indikasi kebidanan ini. Dalam situasi ini, risiko lebih
besar daripada manfaatnya.
Kesimpulan
Appendicitis pada kehamilan sering terjadi. Luaran janin dan ibu secara
langsung terkait dengan tingkat keparahan peradangan. Manajemen bedah pada
kehamilan adalah satu-satunya pilihan untuk penyembuhan pada semua gestasi.
Tampaknya persalinan simultan hanya diindikasikan dalam kasus gangguan kritis
pada janin atau ibu.

Anda mungkin juga menyukai