Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Demam adalah peningkatan suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari-

hari yang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di hipotalamus.

Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5–37,2oC. Derajat suhu yang dapat

dikatakan demam adalah suhu rektal 38,0oC atau suhu oral 37,5oC atau suhu

aksila 37,2oC.1

Penyebab demam dapat berupa faktor infeksi dan faktor non infeksi.

Demam akibat infeksi dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur ataupun

parasit. Infeksi bakteri yang pada umumnya menimbulkan demam pada anak-anak

antara lain pneumonia, bronkitis, osteomielitis, apendisitis, tuberkulosis,

bakterimia, sepsis, gastroenteritis, meningitis, ensefalitis, selulitis, otitis media,

infeksi saluran kemih, dan lain-lain.2

Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta

tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan di otak. Kejang demam

adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal

38,0oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Pendapat para ahli

terbanyak kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan sampai 5

1
tahun. Berkisar 2%–5% anak dibawah umur 5 tahun pernah mengalami bangkitan

kejang demam. Lebih dari 90% penderita kejang demam terjadi pada anak berusia

dibawah 5 tahun.

Di Amerika Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2–5%.

Di Asia prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan

Eropa dan di Amerika. Di Jepang kejadian kejang demam berkisar 8,3–9,9%. Di

Indonesia kejadian kejadian kejang demam mencapai 2–5% anak berumur 6 bulan

sampai dengan umur 3 tahun dan 30% diantaranya mengalami kejang demam

berulang.

Kejang demam dikelompokkan menjadi dua, yaitu kejang demam

sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam merupakan salah satu

kelainan saraf tersering pada anak. Faktor-faktor yang berperan dalam etiologi

kejang demam yaitu faktor demam, usia, riwayat keluarga, riwayat prenatal,

riwayat perinatal.

Kejang demam merupakan penyebab kejang paling utama pada anak dan

sering menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran pada orang tua. Diagnosis

kejang demam pada umumnya ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan

deskripsi orang tua. Meskipun sebagian besar kejang demam adalah ringan, sangat

penting anak segera dievaluasi untuk mengurangi kecemasan orang tua dan

mengidentifikasi peyebab demam.3

2
Tindakan pencegahan terhadap bangkitan kejang demam berupa

pemberian antipiretik dan antikonvulsan. Pemberian antipiretik tanpa disertai

pemberian antikonvulsan atau diazepam dosis rendah tidak efektif untuk

mencegah timbulnya kejang berulang.

BAB II

3
ILUSTRASI KASUS

2.1 Identitas pasien

 Nama : An. M.A

 Usia : 2 Tahun 5 Bulan

 Agama : Islam

 Alamat : Bangkinang

 No. MR : 17xxxx

 Tanggal masuk RS : 29 November 2019

 Tanggal pemeriksaan : 29 November 2019

2.2 Anamnesis

a. Keluhan utama

Kejang 40 menit SMRS

b. Riwayat penyakit sekarang

40 menit SMRS pasien tiba-tiba kejang. Kejang muncul tiba-tiba.

Awalnya kaki dan tangan kaku kemudian kelojotan disertai bibir pucat, mata

mendelik ke atas, dan dan tidak mengeluarkan lender dan busa. Pasien

langsung di bawa ke klinik kemudiaan diberikan obat melalui anus. Kejang

terjadi  5 menit kemudian berhenti sendiri. Setelah kejang, pasien sadar dan

menangis dan dirawat. 12 jam SMRS pasien mengalami demam tinggi, ,


4
pasien sempat dibawa ke klinik faskes pertama dan diberi obat paracetamol

untuk menurunkan panas. Batuk (+) sudah 3 hari yang lalu. Batuk disertai

dahak. Gangguan BAK dan BAB disangkal. Pasien tidak mengalami

penurunan nafsu makan. Muntah disangkal.

c. Riwayat penyakit dahulu

Riwayat kejang sebelumnya tidak ada, riwayat trauma kepala tidak ada,

riwayat tumor otak tidak ada, riwayat OMSK tidak ada, riwayat absen otak

tidak ada, riwayat radang otak tidak ada, riwayat gagal ginjal tidak ada.

d. Riwayat penyakit keluarga

 Riwayat kejang pada kakak pasien saat umur 1 tahun

 Riwayat alergi di keluarga tidak ada

e. Riwayat Kehamilan

Ibu rutin memeriksakan kehamilan di puskesmas. Tidak ada keluhan

selama ibu hamil. Selama hamil inu tidak pernah menderita penyakit berat,

tidak mengkonsumsi obat-obatan atau jamu. Hamil cukup bulan.

f. Riwayat kelahiran

5
Lahoir spontan di tolong oleh bidan. Bayi cukup bulan, langsung

menangis dan tidak terdapat cacat bawaan dengan berat badan lahir 3000

gram, panjang badan 47 cm.

g. Riwayat Makanan

 0–6 bulan : ASI Eklusif

 6–12 bulan : MPASI dengan tekstur makanan lunak yang disaring.

 12–24 bulan : MPASI dengan tekstrur makanan lembut dan lembek.

 2 –sekarang : Nasi lembek dengan lauk pauk lunak dan lembut dan

buah-buahan yang dipotong kecil kecil serta sudah diberikan susu

formula.

h. Riwayat Imunisasi

 Hepatitis B : 4x

 Polio : 4x

 BCG : 1x

 DPT : 4x

Kesan : Imunisasi Lengkap

i. Riwayat Tumbuh Kembang

6
 Motorik kasar : usia 3 bulan mengangkat kepala, usia 6 bulan anak

mulai merangkak dan duduk, usia 11 bulan anak sudah mulai berjalan.

Saat ini anak sangat aktif bergerak.

 Motorik halus : usia 3 bulan sudah mulai memegang gerincingan.

Saat ini anak sudah mampu mengenggam botol susu dan memegang

sendok.

 Bicara : usia 3 bulan mulai mengoceh. Saat ini anak sudah dapat

mengucapakn 1-2 kata seperti mama, papa, mamam, kakak.

 Sosial : anak mulai mengenal wajah orangtuanya dan tersenyum usia 3

bulan. Saat ini aktif bermain dengan teman sebaya dan orang dirumah.

 Perkembangan mental : isap jempol (-), gigit kuku (-), sering mimpi

(-), aktif sekali (-), apati (-), ketakutan (-)

Kesan : pertumbuhan fisik dan mental dalam batas normal

j. Riwayat lingkungan dan perumahan

Tinggal di rumah permanen, sumber air minum dari air galon, buang air

besar di WC dalam rumah, sampah dibuang ke TPA, perkarangan cukup

luas.

Kesan : higiene dan sanitasi cukup

2.3 Pemeriksaan Fisik

Kesadaran : Komposmentis

7
Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Tanda–tanda vital

Nadi : 100 x/menit

Nafas : 22 x/menit

Suhu : 38,0°C

Tinggi Badan : 87 cm

Berat Badan : 13 kg

Status Gizi : BB/U :

. TB/U . :

BB/TB :

. Kesan : normal

a. Kepala dan leher

Rambut : Warna hitam, tidak mudah rontok

Konjungtiva : Tidak anemis

Sklera : Tidak ikterik

Pupil : Bulat, isokor kanan dan kiri, refleks cahaya (+/+)

Telinga : Serumen (-), keluar cairan (-)

Mulut : Tonsil T3/T3, hiperemis

. Faring hiperemis

Leher : Tidak terdapat pembesaran KGB

b. Thoraks
8
1. Paru-paru

Inspeksi : Statis : Bentuk dinding dada simetris kanan dan kiri

retraksi (-), jejas (-)

Dinamis : Gerakan dinding dada simetris kanan dan kiri

Palpasi : Vokal fremitus kanan dan kiri sama

Perkusi : Sonor dikedua lapangan paru

Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)

2. Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus cordis teraba

Perkusi : Batas jantung kanan : SIK V linea sternalis dextra

Batas jantung kiri : SIK V linea midclavicula sinistra

Auskultasi : Suara jantung I dan II normal dan reguler, murmur dan


gallop tidak ada

c. Abdomen

Inspeksi : Perut datar, distensi tidak ada, skar tidak ada

Auskultasi : Bising usus normal, frekuensi 10x/menit

Perkusi : Timpani di seluruh lapangan abdomen, shifting dullnes(-)

Palpasi : Supel, nyeri tekan abdomen tidak ada, hepar dan lien tidak

teraba

d. Eksremitas

Akral hangat, capillary refill time <2 detik, edema tidak ada.
9
2.4 Pemeriksaan Penunjang

- Pemeriksaan Laboratorium

Hb : 12,1 gr/dl

Eritrosit : 4,9 juta/ul

Leukosit : 13.000/ul

HT : 38,3 %

Trombosit : 150.000/ul

. GDS : 134 mg/dl

2.5 Resume

An. AM, 2 tahun 5 bulan, datang ke RSUD Bangkinang dengan keluhan

kejang 40 menit SMRS, kejang selama  5 menit kemudian berhenti sendiri.

Kejang awalnya kaki dan tangan kaku kemudian kelonjotan disertai bibir pucat

dan mata mendelik ke atas. Setelah kejang pasien sadar dan menangis. 14 jam

SMRS pasien mengalami demam tinggi. Batuk (+) disertai dahak sejak 2 hari

SMRS. Pada pemeriksaan fisik didapatkan 38,0oC. Pada pemeriksaan tonsil

didapatkan tonsil T3/T3 hiperemis. Dari pemeriksaan penunjang didapatkan

leukosit 13.000.

2.6 Daftar masalah

Diagnosis kerja : Demam Kejang Sederhana

10
Diagnosis banding : Demam Kejang Komplek
. Epilepsi

2.7 Penatalaksanaan

- Non farmakologis

1. Bed rest

2. IVFD RL 40 tpm (mikro)

- Farmakologis

1. Stesolid syr 2 x ½ cth  bila demam

2. Stesolid syr 1 x ½ cth  bila tidak demam

3. Parasetamol syr. 1 x ½ cth

4. Ambroxol syr 3 x ½ cth

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu

tubuh (suhu rektal di atas 38,0oC yang disebabkan oleh proses ekstrakranium.

Kejang demam terjadi pada anak 2–4% anak berumu 6 bulan–5 tahun. Anak yang

11
pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak

termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang

dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak kurang dari 6 bulan

atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan

kemungkinan lain. Misalnya infeksi sistem saraf pusat ataupun epilepsi yang

kebetulan terjadi bersamaan dengan timbulnya demam.

Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta

tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan di otak. Demam adalah

kenaikan suhu tubuh di atas 38,0oC rektal atau di atas 37,8oC aksila. Pendapat para

ahli terbanyak kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan

sampai 5 tahun. Berkisar 2%–5% anak dibawah 5 tahun pernah mengalami

bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% penderita kejang demam terjadi pada

anak berusia dibawah 5 tahun. Terbnayak bangkitan kejang demam terjadi pada

anak berusia antara usia 6 bulan sampai 22 bulan. Insiden bangkitan kejang

demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.

3.2 Epidemiologi

WHO memperkirakan terdapat lebih dari 21,65 juta penderita kejang

demam dan lebih dari 216 ribu diantaranya meninggal. Prevalensi Di Indonesia

kejadian kejadian kejang demam mencapai 2–5% anak berumur 6 bulan sampai

dengan umur 3 tahun dan 30% diantaranya mengalami kejang demam berulang.

12
Anak laki-laki lebih sering daripada anak perempuan dengan perbandingan

2:1. Menurut ras maka kulit putih lebih banyak daripda kulit bewarna.

3.3 Klasifikasi

Kejang demam dapat diklasifikasikan menjadi :

1. Kejang demam sederhana ( simple febrile seizure)

Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, umum

tonik dan atau klonik. Umumnya akan berhenti sendiri, tanpa gerakan

fokal atau berulang dalam waktu kurang dari 24 jam.

2. Kejang demam kompleks ( complex febrile seizure)

Kejang demam dengan ciri ( salah satu dibawah ini ) :

 kejang lamanya >15 menit

 kejang fokal atau parsial; satu sisi, atau kejang umum didahului

kejang parsial

 berulang lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam

3.4 Faktor risiko

Faktor risiko yang dapat menyebabkan kejang demam yaitu :

1. Faktor demam

Demam apabila hasil pengukuran suhu tubuh mencapai di atas

37,8oC aksila atau diatas 38,0oC rektal. Demam dapat disebabkan oleh

berbagai sebab, tetapi pada anak tersering disebabkan oleh infeksi.

13
Demam merupakan faktor utama timbulnya bangkitan kejang demam.

Demam disebabkan oleh infeksi virus merupakan penyebab terbanyak

timbul bangkitan kejang demam sebesar 80%.

Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap

nilai ambang kejang dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu

tubuh berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme seluler serta

produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat

celcius akan meningkatkan metabolisme karbohidat 10-15%,

sehingga dengan adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan

peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen. Pada demam tinggi akan

dapat mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk jaringan otak. Keadaan

ini akan menganggu fungsi normal pompa Na+ dan reuptake asam glutamat

oleh sel glia. Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya ion Na + ke

dalam sel meningkat dan timbunan asam glutamate ekstrasel.

Timbunan asam glutamat akan meningkatkan permeabilitas membran

sel terhadap ion Na+ sehingga semakin meningkatkan masuknya Na+ ke

dalam sel. Masuknya ion Na+ ke dalam sel dipermudah dengan

adanya demam, sebab demam akan meningkatkan mobilitas dan benturan

ion terhadap membran sel. Perubahan konsentrasi ion Na+ intra dan

ekstrasel tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial

membran sel neuron sehingga membran sel dalam keadaan depolarisasi.


14
Disamping itu, demam dapat merusak neuron GABA-ergik

sehingga fungsi inhibisi terganggu.

Kenaikan suhu yang terjadi secara mendadak menyebabkan

kenaikan kadar asam glutamat dan menurunkan kadar glutamin. Tetapi

sebaliknya kenaikan suhu tubuh secara perlahan tidak menyebabkan

kenaikan kadar asam glutamat. Perubahan glutamin menjadi asam

glutamat dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh. Asam glutamat

merupakan eksitator. Sedangkan GABA sebagai inhibitor tidak

dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh mendadak.

2. Faktor usia

Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu :

1) neurulasi

2) perkembangan prosensefali

3) proliferasi neuron

4) migrasi seural

5) organisasi

6) mielinisasi.

Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai fase neurulasi

sampai migrasi neural. Fase perkembangan organisasi dan mielinisasi

masih berlanjut sampai bertahun-tahun pertama pascanatal.

Pembentukan reseptor untuk eksitator lebih awal dibandingkan dengan

15
inhibitor. Pada keadaan otak belum matang reseptor untuk asam

glutamat sebagai reseptor eksitator yang aktif, sedangkan GABA

sebagai inhibitor yang kurang aktif, sehingga eksitasi lebih dominan

dibandingkan inhibisi. Corticotropin releasing hormon (CRH) merupakan

neuropeptide eksitator, berpotensi sebagai prokonvulsan. pada otak

belum matang kadar CRH di hipokampus tinggi sehingga berpotensi

untuk terjadinya bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam.

3. Faktor riwayat keluarga

Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait


dengan kejan demam. Namun pewarisan gen secara autosomal
dominan paling banyak ditemukan. Penetrasi autosomal dominan
diperkirakan sekitar 60% - 80%. Apabila salah satu orang tua
penderita dengan riwayat pernah menderita kejang demam
mempunyai resiko untuk terjadi bangkitan kejang demam sebesar
20%–22% . Dan apabila kedua orang tua penderita tersebut
mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam meningkat
menjadi 59%–64% , tetapi sebaliknya apabila kedua orang tua penderita
tidak pernah mempunyai riwayat kejang demam maka resiko
terjadinya kejang demam hanya 9%.

4. Usia saat ibu hamil

Usia ibu pada saat hamil sangat menentukan status kesehatan bayi

yang akan dilahirkan. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35

tahun dapat mengakibatkan berbagai komplikasi dalam kehamilan dan

persalinan. Komplikasi kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan


16
prematuritas, bayi berat lahir rendah, penyulit persalinan dan partus lama.

Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin dan asfiksia. Pada asfiksia

akan terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia dapat mengakibatkan

rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi,

sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai.

5. Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi

Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan seperti plasenta previa

dan eklamsia dapat menyebabkan asfiksia pada bayi. Eklamsia dapat

terjadi pada kehamilan primipara atau usia pada saat hamil diatas 30

tahun. Penelitian terhadap penderita kejang pada anak sebesar 9%

disebabkan oleh karena adanya riwayat eklamsia selama kehamilan.

Asfiksia disebabkan oleh karena adanya hipoksia pada bayi yang dapat

berakibat timbulnya kejang. Hipertensi pada ibu dapat menyebabkan

aliran darah ke plasenta berkurang sehingga berakibat keterlambatan

pertumbuhan intrauterin dan bayi berat lahir rendah.

6. Kehamilam primipara atau multipara

Urutan persalinan dapat menyebabkan terjadinya kejang. Insiden

kejang ditemukan lebih tinggi pada anak pertama. Hal ini

kemungkinan besar disebabkan pada primipara lebih sering terjadi

penyulit persalinan. Penyulit persalinan yang mungkin terjadi adalah

partus lama, persalinan dengan alat, dan kelainan letak. Penyulit

17
persalinan dapat menimbulkan cedera karena kompresi kepala yang

dapat berakibat distorsi dan kompresi otak sehingga terjadi perdarahan

atau udem otak. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak

dengan kejang sebagai manifestasi klinisnya.

7. Pemakaian bahan toksik

Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin selama

kehamilan ibu, seperti menelan obat-obatan tertentu yang dapat merusak

otak janin, mengalami infeksi, minum alkohol atau mengalami cedera atau

mendapat penyinaran dapat menyebabkan kejang. Merokok dapat

mempengaruhi kehamilan dan perkembangan janin, bukti ilmiah

menunjukkan bahwa merokok selama kehamilan meningkatkan resiko

kerusakan pada janin. Dampak lain dari merokok pada saat hamil adalah

terjadinya plasenta previa. Plasenta previa dapat menyebabkan

perdarahan berat pada kehamilan atau persalinan dan bayi sungsang

sehingga diperlukan seksio sesarea. Keadaan ini dapat menyebabkan

trauma lahir yang berakibat terjadinya kejang.

8. Asfiksia

Trauma persalinan akan menimbulkan asfiksia perinatal atau

perdarahan intrakranial. Penyebab yang paling banyak akibat gangguan

prenatal dan proses persalinan adalah asfiksia, yang akan

menimbulkan lesi pada daerah hipokampus dan selanjutnya

18
menimbulkan kejang. Pada asfiksia perinatal akan terjadi hipoksia dan

iskemi di jaringan otak. Keadaan ini dapat menimbulkan bangkitan

kejang, baik pada stadium akut dengan frekuensi bergantung pada

derajat beratnya asfiksia, usia janin dan lamanya asfiksia berlangsung.

Bangkitan kejang biasanya mulai timbul 6–12 jam setelah lahir dan

didapat pada 50% kasus, setelah 12–24 jam bangkitan kejang menjadi

lebih sering dan hebat. Pada 75%–90% kasus akan didapatkan gejala sisa

gangguan neurologis yaitu diantaranya kejang. Hipoksia dapat

mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi

neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang

memadai.

9. Bayi berat lahir rendah

Bayi berat lahir rendah (BBLR) dapat menyebabkan asfiksia atau

iskemia otak da perdarahan intraventrikular. Iskemia otak dapat

menyebabkan kejang. Bayi dengan BBLR dapat mengalami gangguan

metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipokalsemia. Keadaan ini dapat

menyebabkan kerusakan otak pada periode perinatal. Adanya

kerusakan otak, dapat menyebabkan kejang pada perkembangan

selanjutnya.

10. Kelahiran prematur dan post matur

19
Pada bayi prematur, perkembangan alat-alat tubuh kurang

sempurna sehingga belum berfungsi dengan baik. Pada 50% bayi

premature menderita apnea, asfiksia berat, dan sindrom gangguan

pernapasan sehingga bayi menjadi hipoksia. Keadaan ini menyebabkan

aliran darah ke otak berkurang. Bila keadaan ini sering timbul dan tiap

serangan lebih dari 20 detik maka kemungkinan timbulnya kerusakan otak

yang permanen lebih besar

Pada bayi yang dilahirkan lewat waktu atau postmatur akan terjadi

proses penuaan plasenta, sehingga pemasukan makanan dan oksigen

akan menurun. Komplikasi yang dapat dialami oleh bayi yang lahir

postmatur ialah suhu yang tidak stabil, hipoglikemia, dan kelainan

neurologik.

11. Partus lama

Partus lama yaitu persalinan kala I lebih dari 12 jam dan kala

II lebih dari 1 jam. Pada primigravida biasanya kala I sekitar 13 jam dan

kala II 1,5 jam. Sedangkan pada multigravida , kala I selama 7 jam dan

kala II 1 – 5 jam. Persalinan yang sukar dan lama meningkatkan resiko

terjadinya cedera mekanik dan hipoksia janin. Manifestasi klinis dari

cedera mekanik dan hipoksia dapat berupa kejang.

12. Persalinan dengan alat

20
Persalinan yang sulit termasuk persalinan dengan bantuan alat dan

kelainan letak dapat menyebabkan trauma lahir atau cedera mekanik pada

kepala bayi. Persalinan yang sulit terutama bila terdapat kelainan letak dan

disporsi sefalopelvik dapat menyebabkan perdarahan subdural. Perdarahan

subarachnoid dapat terjadi pada bayi prematur dan cukup bulan karena

trauma. Manifestasi neurologis dari perdarahan tersebut dapat berupa

iritabel dan kejang. Cedera karena kompresi kepala yang dapat berakibat

distorsi dan kompresi otak, sehingga terjadi perdarahan atau udem otak.

Keadaan ini dapat menimbulkan kerusakan otak, dengan kejang sebagai

manifestasi klinisnya.

13. Perdarahan intrakranial

Merupakan akibat trauma atau asfiksia dan jarang diakibatkan oleh

gangguan perdarahan primer atau anomaly kongenital. Perdarahan

subdural biasanya berhubungan dengan persalinan yang sulit terutama

terdapat kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik. Perdarahan dapat

terjadi karena laserasi vena-vena, biasanya disertai kontusio serebral

yang akan memberikan gejala kejang-kejang. Perdarahan subarachnoid

terutama terjadi pada bayi premature yang biasanya bersama-sama

dengan perdarahan intraventrikular. Keadaan ini akan menimbulkan

gangguan struktur serebral dengan kejang sebagai salah satu

manifestasi klinisnya.

21
14. Infeksi sistem saraf pusat (SSP)

Risiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila

serangan berlangsung bersamaan dengan terjadinya SSP seperti

meningitis, ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi lainnya.

Ensefalitis virus berat seringkali mengakibatkan terjadinya kejang. Di

Negara-negara barat penyebab yang paling umum adalah Herpes

Simpleks (tipe 1) yang menyerang lobus temporalis. Kejang yang

timbul berbentuk serangan parsial kompleks dengan sering diikuti

serangan umum sekunder dan biasanya sulit diobati. Infeksi virus ini

dapat juga menyebabkan daya ingat yang berat dan kejang dengan

kerusakan otak dapat berakibat fatal. Pada meningitis dapat terjadi

sequele yang secara langsung menimbulkan cacat berupa cerebral

palsy, retardansi mental, hidrosefalus, dan deficit nervus kranilalis,

serta kejang. Dapat pula cacat yang terjadi sangat ringan berupa

sikatrik pada sekelompok neuron atau jaringan sekitar neuron sehingga

terjadilah focus epilepsy yang dalam kurun waktu 2 -3 tahun kemudian

menimbulkan kejang.

Faktor risiko yang menyebabkan kejang demam berulang adalah :

1. Riwayat kejang demam dalam keluarga

2. Usia kurang dari 15 bulan

22
3. Temperatur yang rendah saat kejan

4. Cepatnya kejang setelah demam

3.5 Etiologi

1. Demam

2. Infeksi

3. Ketidakseimbangan kimiawi

4. Obat-obatan

3.6 Patofisiologi

Sel dikelilingi oleh suatu membran sel yang terdiri dari permukaan dalam

adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran

sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit

dilalui ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali klorida (Cl-). Akibatnya

konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di

luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan

konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang

disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan

potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang

terdapat pada permukaan sel.

23
Gambar 1. (1). Pada fase istirahat, Ion Na+ ada di ekstra sel dan Ion K+ ada di intra sel.
Membran sel bagian dalam bersifat lebih negatif daripada ekstra sel, (2). Pada fase
depolarisasi, pintu ion chanel jadi terbuka, Ion Na+ masuk ke intra sel, tapi membran sel
bagian dalam masih tetap negatif. (3). Karena Ion Na+ masuk terus menerus  membran
sel bagian dalam menjadi lebih positif, dan potensial membran sudah melewati ambang
maka terjadilah potensial aksi. (4). Setelah potensial aksi mencapai ambang batas, maka
Ion Na+ keluar ke ekstra sel  potensial membran kembali ke posisi semula. (5). Setelah
itu terjadilah hiperpolarisasi, dimana Ion K+ ikut keluar ke ekstra sel, setelah itu
kemnbali ke posisi istirahat.

24
Gambar 2. Neurotransmitter. Neurotransmitter – neurotransmitter yang dilepaskan ini
dapat merubah polarisasi membran sel postsinaptik. Diantara neurotransmitter –
neurontransmitter tersebut ada yang mempermudah pelepasan muatan listrik dengan
menurunkan potensial aksi.

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1°C mengakibatkan kenaikan

metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Jadi

pada kenaikan suhu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel

neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion

natrium melalui membran sel tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik.

Lepas muatan listrik demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel

maupun membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut

neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang

yang berbeda.

25
Neurotransmitter dalam jumlah besar

Sel tetangga

K+ Na+

Postsinaps KEJANG
Gambar 3. Post sinaps : terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan
dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui
membran sel tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik
demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun membran sel
tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah
kejang.

26
Gambar 4. Mekanisme terjadinya kejang demam

Kejang demam terjadi pada anak berusia muda, saat ambang batas

terjadinya kejang masih rendah. Saat ini pula anak – anak mudah sekali

mengalami infeksi seperti infeksi saluran pernapasan atas, otitis media,

sindroma virus, dan menyebabkan respon berupa peningkatan suhu tubuh yang

tinggi. Pada penelitian dengan menggunakan binatang percobaan ditemukan

bahwa pirogen endogen, salah satunya yaitu interleukin 1 dapat meningkatkan

aktivitas neuron, dan dapat menghubungkan antara demam dengan terjadinya

kejang. Penelitian sebelumnya yang juga mendukung adalah bahwa cytokin yang

teraktivasi dapat menyebabkan terjadinya kejang demam.

27
3.7 Diagnosis

Dari kriteria Livingston yang telah dimodifikasi sebagai pedoman untuk

membuat diagnosis kejang demam sederhana, yaitu :

a. Dari anamnesa :

 Umur pasien kurang dari 6 tahun

 Kejang didahului demam

 Kejang berlangsung hanya satu kali selama 24 jam dan kurang dari 5

menit

 Kejang umum dan tonik klonik

 Kejanng berhenti sendiri

 Pasien tetap sadar setelah kejang

b. Dari pemeriksaan fisik :

 Suhu tubuh aksila lebih dari 37,8oC

 Tidak ditemukan kelainan neurologis setelah kejang

c. Dari pemeriksaan penunjang :

 Pemeriksaan laboratorium rutin

 Ct scan kepala

 EEG

 Lumbal pungsi

3.8 Diagnosis Banding


28
Diagnosis banding kejang demam adalah :

 Epilepsi

Kejang terjadi karena lepas muatan di sel neuron syaraf pusat.

Manifestasi klinis :

o Tidak ada maupun tidak diawali dengan demam

o Kejang dapat tonik/klonik/absensce

o Setelah kejang terjadi penurunan kesadaran

o Tidak disertai dengan infeksi lain

Pemeriksaan penunjang :

o EEG ditemukan abnormalitas gelombang otak

 Meningitis/ Ensepalitis

Manifestasi klinis :

o Panas

o Gangguan kesadaraan

o Kejang

o Muntah-muntah

o Kaku kuduk (+)

Pemeriksaan penunjang :

29
o Pemeriksaan LCS : ditemukan warnanya keruh, tekanannya

meningkat, bakteri yang meningkat, protein meningkat, glukosa

menurun, sel limfosit meningkat.

3.9 Penatalaksanaan

Gambar 5. Algoritme penatalaksanaan kejang demam dan status epilepticus

Pengobatan Profilaksis Terhadap Kejang Demam Berulang


30
Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan, karena menakutkan

keluarga dan bila berlangsung terus menerus dapat menyebabkan kerusakan otak

yang menetap. Terdapat 2 cara profilaksis, yaitu :

o Profilaksis intermitten pada waktu demam

o Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari

Terapi yang diberikan pada pasien untuk mengatasi kejang demam sudah

sesuai dengan memberikan parasetamol sebagai antipiretik dan diberikan selama

pasien demam dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali dapat diulang setiap 6 jam.

Pemakaian diazepam penting sebagai profilaksis intermiten, dimana diazepam

dapat diberikan pada pasien yang suhunya mencapai 38,5oC untuk mencegah

timbulnya kejang kembali. Pemberian diazepam sebagai profilaksis intermitten

merupakan pilihan tepat dibandingkan pemberian antipiretik saja.

Profilaksis Terus Menerus dengan Antikonvulsan Tiap Hari

Indikasi pemberian profilaksis terus menerut pada saat ini adalah :

o Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan atau

gangguan perkembangan neurologis

o Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik pada

orang tua atau saudara kandung

o Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan

neurologis sementara atau menetap.

31
o Kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau

terjadi kejang multiple dalam satu episode demam.

Antikonvulsan profiklasis terus menerus diberikan selama 1–2 tahun

setelah kejang terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1–2 bulan.

Pemberian profilaksis terus menerus hanya berguna untuk mencegah berulangnya

kejang demam berat, tetapi tidak dapat mencegah timbulnya epilepsy dikemudian

hari.

3.9 Komplikasi

kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam dan kematian

sampai saat ini belum pernah dilaporkan.

Tiga sampai enam persen anak-anak yang mengalami kejang demam akan

mengalami epilepsi. Kejang demam komplek dan kelainan struktural otak

berkaitan dengan peningkatan risiko terjadinya epilepsi.

BAB IV

PEMBAHASAN

32
An MA, datang ke RSUD Bangkinang dengan keluhan kejang.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah

dilakukan, pasien ini didiagnosis sebagai kejang demam sederhana.

Pada anamnesis, gambaran klinik ditandai dengan kejang berlangsung ±5

menit, awalnya kaki dan tangan kaku kemudian kelojotan disertai bibir pucat,

mata mendelik keatas dan tidak mengeluarkan lendir dan busa. Pasien sadar

setelah kejang. Pada pasien didapatkan sebelumnya pasien demam tinggi. Sudah

diberikan parasetamol tapi demam tidak turun. Pasien juga mengeluhkan batuk 2

hari SMRS. Batuk disertai dahak.

Faktor resiko dari kejang demam yaitu usia, riwayat demam, infeksi,

riwayat keluarga. Pasien memiliki demam dan batuk sebelumnya serta dikeluarga

pasien yaitu kakak pasien pernah kejang saat umur satu tahun.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu 38,0oC dan pembesaran tonsil

(T3/T3) dan tonsil hiperemis serta faring hiperemis. Pada pemeriksaan penunjang

didapatkan leukosit 13.000 u/L.

Pasien dibawa ke rumah sakit karena mengalami kejang. Kejang dapat

disertai demam atau dapat pula terjadi tanpa demam. Pada kasus ini pasien datang

dengan kejang yang disertai demam. Kejang disertai demam terjadi karena proses

intracranial atau ekstrakranial. Pasien dicurigai mengalami kejang demam, yaitu

suatu bangkitan yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal > 38oC) yang

33
disebabkan suatu proses ekstrakranial. Hal ini didukung dari usia pasien yang

masih 2 tahun 5 bulan, karena kejang demam sering dialami anak 6 bulan hingga

5 tahun.

Kejang demam dapat disebabkan oleh berbagai kondisi. Berdasarkan

etiologinya penyebab kejang akut (seizure of new onset) dapat dibagi menjadi

kelainan neurologi primer dan kelainan sistemik. Pada kejang demam, dari

pemeriksaan fisik didapatkan suhu >38oC (suhu di IGD 38oC), focus infeksi (+)

ekstrakranial (tonsilofaringitis), dan tidak ada defisit neurologis. Pada anamnesis

didapatkan keluhan berupa batuk sejak 2 hari SMRS dan dari pemeriksaan fisik

didapatkan pembesaran tonsil (T3/T3) dan dinding faring hiperemis, sehingga

fokus infeksi yang diduga terdapat pada pasien adalah tonsilofaringitis akut.

Pada kasus kejang demam, tetap harus dipikirkan diagnosis banding yang

disebabkan oleh proses intracranial seperti meningitis, meningoensefalitis, atau

ensefalitis. Dari anamnesis tidak ditemukan adanya penurunan kesadaran dan dari

pemeriksaan neurologis juga tidak dijumpai adanya kelainan, yang biasanya

dijumpai pada pasien dengan infeksi intracranial.

Dasar diagnosis kejang demam pada kasus ini adalah bangkitan kejang

yang didahului dengan demam (>38oC) yang bukan disebabkan oleh proses

intracranial. Fokal infeksi yang dicurigai pada pasien ini adalah infeksi saluran

34
napas atas karena pasien mengalami batuk, dan dari pemeriksaan fisik adanya

pembesaran tonsil (T3/T3) dan faring hiperemis.

Penatalaksaan kejang terdiri atas pengobatan suportif dan pengobatan

antikonvulsan. Pemberian pengobatan suportif dapat berupa pemberian obat

penurun demam dan obat batuk untuk menghilangkan faktor penyebab kejang.

Pemberian pengobatan antikonvulsan dapat dengan memberikan diazepam sup

untuk mengurangi kejang.

BAB V

KESIMPULAN

Pneumonia secara umum adalah peradangan dari parenkim paru, dengan

karakteristik terdapatnya konsolidasi dari bagian yang terkena dan alveolar yang

terisi oleh eksudat, sel radang, dan fibrin.

35
Pada Provinsi Riau Period prevalence pneumonia pada tahun 2007 adalah

sekitar 1,8%, dan pada 2013 adalah sekitar 1,2%, angka prevalensi pneumonia

dari tahun 2007 sampai 2013 mengalami penurunan.

Penatalaksanaan pneumonia terdiri atas pengobatan suportif dan

pengobatan antibiotik. Pengobatan suportif yaitu perbaikan dari kondisi umum

dengan rehidrasi cairan dan obat-obatan yang meringankan gejala penyerta.

36

Anda mungkin juga menyukai