Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

KEJANG DEMAM SEDERHANA

Oleh :
dr. Andi Amalia Tenry Uleng Yusuf Patoppoi

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS


PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahuwa Ta’ala atas segala rahmat dan
karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini

Dalam laporan kasus ini penulis melakukan pembahasan mengenai “Kejang Demam”.
Kami sangat menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini belum mencapai sebuah
kesempurnaan. Oleh karena itu, kami dengan penuh harap beberapa saran dan kritik saudara
saudari yang dapat memperbaiki penulisan selanjutnya. Baik yang kami tulis sendiri atau orang
lain.

Akhir kata, semoga penulisan ini dapat memberikan sumbangsih bagi keilmuan baik bagi
diri sendiri, institusi terkait, dan masyarakat umum.

Jakarta, Maret 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Kejang demam salah satu penyebab kejang tersering pada anak. 1 dari setiap 25 anak dalam

populasi umum akan mengalami kejang demam setidaknya sekali selama masa kanak-kanak

mereka. Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada suhu rektal diatas 38°C yang

disebabkan oleh proses ekstrakranial tanpa adanya gangguan elektrolit atau riwayat kejang tanpa

demam sebelumnya, umumnya terjadi pada usia 6 bulan sampai 5 tahun. Anak-anak yang

mengalami kejang demam biasanya tidak memiliki kelainan neurologis yang signifikan baik

sebelum dan setelah kejang. 1

Kejang demam dibagi dua yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks.

Sekitar sepertiga dari kasus kejang demam akan mengalami setidaknya sekali berulangnya

kejang demam. Kejang demam berulang di defenisikan sebagai kejang 2 kali atau lebih dalam 1

hari, dan di antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang demam berulang terjadi pada 16% anak

yang mengalami kejang demam. Dari anak-anak yang mengalami kejang demam, 14 - 24%

mengalami kejang demam berulang dalam 24 jam. 1

Kejang atau tidak kejang adalah masalah yang sering terlihat di klinik setiap hari. Praktisi

umum atau dokter anak harus dapat membedakan kejang atau tidak kejang, dan memberikan

perawatan yang benar, Banyak penyakit yang dapat menyebabkan

kejang, contoh ensefalitis, meningitis, cedera otak, neoplasma otak, masalah sirkulasi dara

h ke otak, ketidakseimbangan

elektrolit, gangguan metabolisme, penyakit degeneratif, atau hiperpireksia. Dari banyak pe

nyakit atau kondisi yang bisa

menyebabkan kejang, dalam hal ini yang dibahas adalah kejang demam dan pengobatan k

ejang, kebanyakan kasus menunjukkan pengobatan kejang yang sering tidak memada. 2
BAB II
LAPORAN KASUS
I.Identitas Pasien:
Nama : By. Afsana shumaila a
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 4 bulan
BB : 6kg
TB : 68 cm
Alamat : Jl. Cipinang, RT 05 RW 03, Jakarta Timur
Agama : Islam
Nomor rekam medis : 10-80-63
Pembiayaan : BPJS Kesehatan
Tanggal masuk : 06/03/2022
Waktu : 15.00 wib
II. Pediatric Assessment Triangle (PAT)
Appearance :
 Tone : Tonus otot baik
 Interactiveness : Interaksi dengan orang tua baik
 Consolability : Mampu di tenangkan oleh ibu
 Look/gaze : Kontak adekuat (+)
 Speech/Cry : Berorintasi baik, sesuai umur
Work of breathing :
 Abnormal airway sound : Mengik (-), Stridor (-)
 Abnormal positioning : Tripod position (-)
 Retraction :Retraksi subcostal (-), Intercostal (-), Suprasternal (-)
 Flaring : Napas cuping hidung (-)

Circulation to skin :
 Pallor : Pucat (-)
 Mottling : Tidak ditemukan
 Cyanosis : Cyanosis central (-)
Interpretasi : STABLE
III. Primary Survey :
Airway : Clear: gargling (-), snoring (-), stridor (-)
Breathing : RR 24 kali/menit, tidak ada pernapasan cuping hidung,
retraksi otot dada, Sp02:
Circulation :HR 184 kali/menit, regular, kuat angkat, akral hangat, CRT
<2detik, cyanosis (-), tidak pallor mottling (-)
Disability : Pasien sadar penuh, GCS 15
Exposure :
Allergy : Disangkal
Medication : Paracetamol syr 60 mg pukul 14.30 wib
Past history : tidak pernah
Last meal :-
Environment/exposure : Tidak diketahui oleh ibu pasien
IV. Anamnesis:
Anamnesis diperoleh melalui aloanamnesis terhadap ibu pasien.
A. Keluhan Utama
Kejang
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien anak perempuan, usia 4 bulan dibawa ibunya ke IGD RSU Adhyaksa pukul
15.10 wib dengan keluhan kejang, frekuensi 1x dirumah pukul 14.30 wib, durasi 1-2
menit, kelonjotan (+) seluruh badan, mata mendelik ke atas, tangan dan kaki menjadi
kaku, setelah kejang pasien sadar dan menangis. Sebelum kejang, ada demam (+)
sejak 1 hari yang lalu yang tidak turun dengan obat penurun panas hingga 38oC.
Kejang berhenti dengan sendirinya lalu ibu membawa pasien ke rsu adhyaksa.
Mimisan (-), gusi berdarah (-), Batuk (-), pilek (-), nyeri tenggorokan(-), mual (-),
muntah (-), Riwayat muntah (-), sesak (-)
BAB dan BAK lancar, warna kuning, nyeri bak (-)
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat kejang sebelumnya disangkal oleh ibu pasien, ini merupakan kejang
pertama yang dialami anaknya, DM (-), Asma(-), Jantung (-), Paru (-), Ginjal(-).
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat kejang karena panas pada keluarga : (-)
Riwayat epilepsi : (-)
E. Riwayat Kesehatan Keluarga
Ayah : sehat
Ibu : sehat
F. Pemeliharaan Kehamilan dan Prenatal
Pemeriksaan di : Bidan
Frekuensi : Trimester I : 1x/ 1 bulan
Trimester II : 2x/ 1 bulan
Trimester III : 2x/ 1 minggu
Keluhan selama kehamilan : tidak ada
Obat-obatan yang diminum selama kehamilan : vitamin dan tablet penambah darah.
G. Riwayat Kelahiran :
Pasien lahir di bidan dengan berat badan lahir 2900 gram dan panjang 43 cm, lahir
spontan, langsung menangis kuat segera setelah lahir, usia kehamilan 38 minggu.
H. Riwayat Postnatal
Rutin ke puskesmas setiap bulan untuk menimbang badan dan mendapat imunisasi.
I. Imunisasi

J. Riwayat Petumbuhan dan Perkembangan


Motorik Kasar
Mengangkat kepala : 3 bulan
Bahasa
Bersuara “aah/ooh” : 2,5 bulan
Motorik halus
Memegang benda : 3,5 bulan

Personal sosial
Tersenyum : 2 bulan
Kesan : pertumbuhan dan perkembangan sesuai usia
L. Riwayat Makan Minum Anak
1. Usia 0-6 bulan : ASI diselingi dengan ASB, frekuensi minum ASI dan ASB tiap
kali bayi menangis dan tampak kehausan, sehari biasanya lebih dari 8 kali dan
lama menyusui 10 menit, bergantian kiri kanan.
Kesan : kualitas dan kuantitas cukup
V. Pemeriksaan fisik
Keadaan Umum
Keadaan umum : Sedang
Derajat kesadaran : Kompos mentis
Status gizi : Kesan gizi baik
Tanda vital
BB : 6kg
TB : 68 cm
Nadi : 184 x/menit, reguler, kuat angkat
Pernafasan : 24 x/menit
Suhu : 38,5º c (per axiler)
Kulit : Warna sawo matang, kelembaban cukup.
Kepala : Bentuk normocephal, rambut hitam sukar dicabut, distribusi merata, UUB sudah
menutup.
Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (2mm/2mm),
reflek cahaya (+/+)
Hidung : Bentuk normal, nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-)
Mulut : Bibir sianosis (-), mukosa basah (+)
Telinga : Bentuk normal, sekret(-).
Tenggorok : Uvula ditengah, tonsil hiperemis (-), T -T , faring hiperemis (-)
1 1

Leher : Trakea di tengah, kelenjar getah bening tidak membesar


Lymphonodi : Retroaurikuler : tidak membesar
Submandibuler : tidak membesar
Thorax : normochest, retraksi (-), gerakan simetris kanan kiri
Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan tidak membesar
Kanan atas : SIC II LPSD
Kanan bawah : SIC IV LPSD
Kiri bawah : SIC IV LMCS
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo
Inspeksi : Pengembangan dada kanan =kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan =kiri
Perkusi : Sonor / Sonor di semua lapang paru
Batas paru-hepar : SIC V kanan
Batas paru-lambung : SIC VI kiri
Redup relatif di : SIC V kanan
Redup absolut : SIC VI kanan (hepar)
Auskultasi : SD vesikuler (+/+), RBK (-/-), RBH (-/-)
Abdomen
Inspeksi : dinding dada setinggi dinding perut
Auskultasi : peristaltik (+) meningkat
Perkusi : tympani
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba, turgor
kembali cepat.
Urogenital : dalam batas normal
Ekstremitas :
Akral dingin Sianosis

Oedem Wasting

ADP teraba kuat


CRT <2”
Pemeriksaan Neurologis
Motorik : Koordinasi baik, kekuatan
Sensorik : Baik
Reflek Fisiologis : R. Biseps : (+2/+2)
R. Triseps : (+2/+2)
R. Patella : (+2/+2)
R. Archilles : (+2/+2)
Reflek Patologis : R. Babinsky :(-/-)
R. Chaddock :(-/-)
R. Oppeinheim : ( - / - )
Meningeal Sign : Kaku kuduk :(-)
Brudzinsky I :(-)
Brudzinsky II :(-)
Kernig sign :(-)

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Laboratorium darah tanggal 6 Maret 2022

Rontgen Thoraks
Swab Antigen

VII. Diagnosis:
1. Kejang Demam Sederhana
2. Observasi febris h 1
3. Susp covid 19
VIII. Penatalaksanaan:
Terapi
IGD :
1. Paracetamol supp 60 mg

Lanjutan (Konsul dr. Gitta Sp.A) :


1. IVFD KaEN 1B 6000 ml/24 jam
2. Diazepam 3x1,5 mg/p.o (48 jam)
3. Paracetamol syr 4 x 80ml/p.o (rutin)
4. Apialis drop 1x 1 ml
5. Rawat Pinere
Swab PCR 2 xMonitoring
1. KU dan VS per 4 jam
2. Awasi timbulnya kejang
Edukasi
Kompres hangat jika panas dan menerangkan kondisi pasien terhadap orang tua pasien

X. Prognosis:
Ad vitam : dubia
Ad sanam : dubia
Ad fungsionam : dubia

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada suhu rektal diatas 38°C yang

disebabkan oleh proses ekstrakranial tanpa adanya gangguan elektrolit atau riwayat kejang tanpa

demam sebelumnya, yang umumnya terjadi pada usia 6 bulan sampai 5 tahun. 1

Adapun dalam literatur lain disebutkan kejang demam didefinisikan sebagai kejang pada

anak usia lebih dari 1 bulan, berhubungan dengan kenaikan suhu tubuh lebih dari 38oC yang

tidak disebabkan oleh infeksi sistem saraf pusat (SSP), tanpa adanya riwayat kejang neonatal

atau kejang tanpa sebab sebelumnya, dan tidak memenuhi kriteria kejang simptomatik lainnya. 3

B. Epidemiologi

Epidemiologi kejang demam di Indonesia belum diketahui secara pasti. Namun, di dunia

diperkirakan kejang demam terjadi lebih sering pada anak usia 6 bulan – 5 tahun. Insiden kejang
4

demam 2,2 – 5% pada anak di bawah usia 5 tahun. Anak laki-laki lebih sering dari pada

perempuan dengan perbandingan 1,2-1,6 : 1. Selain itu, ada 62,2%, kemungkinan kejang demam

berulang pada 90 anak yang mengalami kejang demam sebelum usia 12 tahun dan, 45% pada 100

anak yang mengalami kejang setelah 12 tahun. 5

Di Indonesia belum ada data mengenai insiden kejang demam. Beberapa rumah sakit telah

melaporkan jumlah temuan kasus kejang demam, seperti di Rumah Sakit Umum (RSU) Bangli

dari Januari-Desember 2007 sebanyak 47 kasus kejang demam , Rumah Sakit Umum Pusat

(RSUP) dr. Kariadi Semarang pada Januari 2008-Maret 2009 mendapatkan 82 kasus , dan di

Rumah Sakit Anak dan Bunda (RSAB) Harapan Kita Jakarta dari tahun 2008- 2010 sebanyak 86

kasus.4

C. Etiologi
Penyebab kejang demam adalah multifaktorial. Beberapa teori dikemukan mengenai

penyebab terjadinya kejang demam. Secara umum diyakini bahwa kejang demam merupakan

akibat dari kerentanan sistem saraf pusat yang sedang berkembang (SSP) terhadap efek demam,

dalam kombinasi dengan kecenderungan genetik yang mendasari dan faktor lingkungan. Demam

yang memicu kejang berasal dari proses ekstrakranial. virus adalah penyebab utama kejang

demam. Infeksi virus pada saluran napas adalah faktor pemicu yang paling umum. Keberadaan

human herpes simplex virus 6 (HHSV-6) sebagai agen etiologi pada roseola sekitar 20% dari

sekelompok pasien yang mengalami kejang demam pertama mereka. Sekitar 90% akibat dari

infesksi virus seperti Rotavirus dan Parainfluenza.


1

Kejang demam juga disebabkan karena infeksi saluran pernapasan atas akut, otitis media

akut, roseola, infeksi saluran kemih, dan infeksi saluran cerna. Kejang demam juga diturunkan

secara genetik sehingga eksitasi neuron terjadi lebih mudah. Pola penurunan genetik masih

belum jelas, namun menunjukan keterkaitan dengan kromosom tertentu seperti 19p dan 8q13-2,

sementara lainnya menunjukan pola autosomal dominan. 1

D. Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperluakan suatu energi
yang di dapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah
glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantara fungsi
paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskular. Jadi sumber energi otak adalah
glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh suatu
membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik.
Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion Kalium (K+)
dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion Klorida (Cl-).
Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di
luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan potensial yang disebut potensial
membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan
energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan
potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya: 1

1. Perubahan konsentrasi ion diruang ekstraseluler.


2. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi, atau aliran listrik
dari sekitarnya.
3. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme

basal 10% - 15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada soerang anak berumur 3

tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang

hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari

membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion

Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan

listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun ke membran sel

tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap

anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang

kejang seorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang

kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38°C sedangkan pada anak dengan kejang

ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40°C atau lebih. Dari kenyataan ini

dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang

yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan dalam tingkat suhu berapa

penderita kejang. 1

E. Klasifikasi
Kejang Demam diklasifikasikan menjadi 2 yaitu kejang demam sederhana dan kejang
demam kompleks. 1

1. Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure)


Kejang demam yang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit), bentuk kejang umum
(tonik dan atau klonik), serta tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam
sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam. Sebagian besar kejang
demam sederhana berlangsung kurang dari 5 menit dan berhenti sendiri.
2. Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)
Kejang demam dengan lamanya lebih dari 15 menit, kejang fokal dapat juga kejang
parsial atau fokal atau kejang parsial menjadi umum dan berulang atau lebih dari 1 kali
dalam waktu 24 jam.
F. Manifestasi Klinis
Kejang demam biasanya terjadi ketika suhu anak lebih dari 38 C. Tanda dan gejala yang
khas pada kejang demam adalah adanya kehilangan kesadaran, kesulitan bernapas, anak menjadi
pucat, sianosis, mulut berbuasa, mata mendelik ke atas, adanya general seizures atau focal, serta
kaki dan tangan menyentak. Setelah kejang, anak-anak mungkin mudah tersinggung (irritable),
bingung atau mengantuk tetapi akan pulih sepenuhnya setelah kira-kira 30 menit. 6

Biasanya, kejang demam sederhana digeneralisasi dan dikaitkan dengan gerakan tonik-
klonik tungkai dan memutar kembali bola mata. Kejang biasanya berlangsung selama beberapa
detik hingga paling lama 15 menit (biasanya kurang dari 5 menit), diikuti oleh periode singkat
ngantuk, dan tidak kambuh dalam 24 jam. Otot-otot wajah dan pernapasan sering terlibat. mantra
Atonik dan tonik juga telah dijelaskan. Sebaliknya, kejang demam kompleks biasanya
berlangsung lebih dari 15 menit. Kejang biasanya fokal (gerakan terbatas pada satu sisi tubuh
atau satu anggota gerak). Mungkin terulang dalam hari yang sama. Kejang mungkin memiliki
periode kantuk postiktal yang berkepanjangan atau berhubungan dengan hemiparesis transien
postictal (Todd's palsy). Secara umum, anak-anak dengan kejang demam kompleks lebih muda
dan lebih mungkin mengalami keterlambatan perkembangan daripada anak-anak dengan kejang
demam sederhana. Mayoritas anak-anak dengan kejang demam kompleks melakukannya dengan
kejang pertama mereka, tetapi anak-anak dengan kejang demam awal sederhana mungkin
memiliki kejang demam kompleks kemudian. Status demam epilepticus, jenis kejang demam
paling kompleks, merujuk pada kejang demam terus menerus atau intermiten tanpa kesadaran
kembali pada keadaan interiktal selama lebih dari 30 menit. Perlu dicatat bahwa mata yang terus
menerus terbuka atau menyimpang adalah fitur dari aktivitas kejang yang sedang berlangsung. 1

Tabel 1. Perbedaan manifestasi klinis kejang demam sederhana dan kompleks


Kejang Demam Sederhana Kejang Demam Kompleks

 Kejang umum tonik-klonik  Ada fitur fokal di mana, misalnya, hanya satu

tanpa fitur fokal sisi tubuh yang terlibat

 Kejang berlangsung kurang  Kejang berlangsung lebih dari sepuluh menit

dari sepuluh menit  Dua atau lebih kejang terjadi dalam 24 jam

 Kejang secara spontan  Pemulihan penuh tidak diamati setelah satu jam

sembuh  Ada konsekuensi neurologis pasca-iktal

 Tidak ada kekambuhan  Ada periode singkat kelumpuhan, yang

didefinisikan sebagai Todd's palsy setelah


Kejang Demam Sederhana Kejang Demam Kompleks

dalam 24 jam kejang

G. Diagnosis
Diagnosis kejang demam ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan dilakukan untuk memastikan bahwa tidak ada penyebab
kejang di intracranial. Anamnesis yang rinci harus dilakukan untuk mengetahui penyebab
demam, hubungan timbulnya demam dengan kejang, karakteristik demam termasuk suhu puncak
dan durasi kantuk pasca iktal. Anamnesis juga harus mencakup riwayat kejang sebelumnya dan
apakah anak baru saja divaksinasi. Demam sering terjadi pada kelompok usia anak dan dapat
terjadi secara kebetulan dengan penyebab kejang yang lebih serius. Oleh karena itu, penyelidikan
harus dilakukan tentang status imunisasi, potensi paparan infeksi, kejang sebelumnya, dan
riwayat kejang demam dan kejang pada anggota keluarga lainnya. 7

Selain anamnesis, pemeriksaan tanda-tanda vital juga harus di pantau. Pemeriksaan fisik
yang menyeluruh harus dilakukan untuk mengetahui penyebab demam. Adanya infeksi telinga
ataupun infeksi saluran napas dapat memberikan petunjuk untuk sumber penyebab demam.
Pemerikaan lain yang harus dilakukan adalah mencari tanda-tanda mengitis seperti kaku kuduk,
tanda Kernig dan Brudzinski yang positif dengan atau tanpa gejala neurologis fokal.
Pemeriksaan neurologis formal harus dilakukan, termasuk tingkat kesadaran, tonus dan kekuatan
otot, dan refleks perifer. Setiap kelainan fokal harus dicatat. Pemeriksaan fundus harus dilakukan
untuk mencari peningkatan tekanan intrakranial. 7

Pemeriksaan penunjang juga dapat dilakukan untuk mencari sumber infeski yang
menyebabkan demam, seperti pemeriksaan laboratorium. Apabila dokter pemeriksa sudah
meyakini adanya demam disebabkan infeksi virus simpleks, misalnya pada ISPA, maka
diagnosis klinik sudah cukup adekuat. 8

Pungsi Lumbal tidak rutin dilakukan pada saat terjadi kejang demam, kecuali bila ada
indikasi tanda dan gejala adanya meningitis atau pada kondisi-kondisi yang akan dijelaskan pada
poin berikutnya. Pungsi lumbal dilakukan pada anak dengan demam dan kejang yang memiliki
tanda dan gejala meningitis (contoh: kaku kuduk, tanda Kernig dan Brudzinski) atau dengan
riwayat dan pemeriksaan yang mengarah ke meningitis atau infeksi intrakranial. 8

EEG tidak disarankan secara rutin dilakukan pada kejang demam sederhana karena selain
tidak efektif biaya, juga berpotensi menimbulkan kecemasan orang tua. Tidak ada studi yang
kuat yang menyimpulkan EEG bisa memprediksi kemungkinan risiko epilepsi, meskipun EEG
yang abnomal terus menerus memiliki nilai prediksi yang lebih tinggi (hal ini juga masih
membutuhkan studi lanjutan). Tidak banyak studi yang bisa menyimpulkan apakah EEG efektif
dilakukan untuk pasien dengan kejang demam kompleks.
EEG dipertimbangkan pada semua pasien kejang demam kompleks dengan salah satu hal
berikut:
8

 Bangkitan kejang tanpa disertai demam


 Terdapat keterlambatan atau gangguan tumbuh kembang
 Tanda dan gejala neurologis yang tidak normal.
CT-Scan (Computed Tomography Scan) dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) tidak
dianjurkan untuk dilakukan pada pasien dengan kejang demam sederhana karena kerugian tidak
sebanding dengan keuntungan (contohnya: dapat mendeteksi gangguan struktural di dalam otak).
Efek samping dari CT-Scan adalah paparan radiasi yang besar dan efek yang tidak diinginkan
dari MRI adalah biaya yang tinggi dan efek samping sedasi dimana obat-obatan sedatif biasa
diberikan kepada anak-anak sebelum MRI. CT Scan dipertimbangkan dilakukan pada Unit
Gawat Darurat pada kejang demam kompleks bila terdapat indikasi kuat adanya perdarahan
akut/subakut atau lesi struktural dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
8

H. Tatalaksana
Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada waktu pasien datang,
kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien datang dalam keadaan kejang, obat yang paling cepat
untuk menghentikan kejang adalah diazepam intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5
mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 2mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis
maksimal 10 mg. Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuti algoritma kejang pada
umumnya. 9

Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah (prehospital) adalah
diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg unutk
anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12 kg.
9

Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan
cara dan dosis yang sama interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal
masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit untuk diberikan diazepam intravena. Jika kejang
masih berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status epileptikus. Bila kejang telah berhenti,
pemberian obat selanjutnya tergantung dari indikasi terapi antikonvulsan profilaksis.
9
1. Pemberian Obat Pada Saat Demam
a. Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya
kejang demam (level of evidence 1, derajat rekomendasi A). Meskipun demikian,
dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan.
Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam.
Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.
9

b. Antikonvulsan
1. Pemberian obat antikonvulsan intermitten
Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermitten adalah obat antikonvulsan
yang diberikan hanya pada saat demam. Profilaksis intermitten diberikan pada
kejang demam dengan salah satu factor risiko dibawah ini:9

1. Kelainan neurologi berat, misalnya palsi serebral


2. Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
3. Usia <6 bulan
4. Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celcius
5. Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat
dengan cepat.
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oral atau rektal 0,5
mg /kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat badan ≥ 12 kg),
sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam
intermitten diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu diinformasikan pada
orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat menyebabkan anafilaksis,
serta sedasi.
9

2. Pemberian obat antikonvulsan rumatan


Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan
penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan,
maka pengobatan rumatan hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam
jangka pendek. Indikasi pengobatan rumatan: 9

1. Kejang fokal
2. Kejang lama >15 menit
3. Terdapat kelaianan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.
Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan risiko berulang kejang. Pemakaian fenobarbital setiap hari
dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajat pada 40-50%
kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada Sebagian kecil kasus,
terutama yang berumur kurang dari 2 tahun, asam valproat dapat
menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat adalah 15-40
mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg dalam 1-2
dosis. 9

Lama pengobatan rumat


Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan rumat untuk
kejang demam tidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan pada saat
anak tidak sedang demam. 9

2. Pengobatan Profilaksis Terhadap Kejang Demam Berulang


Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan, karena menakutkan keluarga dan
bila berlangsung terus dapat menyebabkan kerusakan otak yang menetap. Terdapat 2 cara
profilaksis, yaitu :
1. Profilaksis intermittent pada waktu demam
2. Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari.
a. Profilaksis intermittent pada waktu demam
Pengobatan profilaksis intermittent dengan anti konvulsan segera diberikan pada
waktu pasien demam (suhu rektal lebih dari 38ºC). Pilihan obat harus dapat cepat masuk
dan bekerja ke otak. Antipiretik saja dan fenobarbital tidak mencegah timbulnya kejang
berulang. Rosman dkk, meneliti bahwa diazepam oral efektif untuk mencegah kejang
demam berulang dan bila diberikan intermittent hasilnya lebih baik karena
penyerapannya lebih cepat. Diazepam diberikan melalui oral atau rektal. Dosis per
rektal tiap 8 jam adalah 5 mg untuk pasien dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10
mg untuk pasien dengan berat badan lebih dari 10 kg. Dosis oral diberikan 0,5 mg/kg
BB perhari dibagi dalam 3 dosis, diberikan bila pasien menunjukkan suhu 38,5o C atau
lebih. Efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk, dan hipotoni. 5

Martinez dkk, dikutip dari Soetomenggolo dkk menggunakan klonazepam sebagai


obat anti konvulsan intermittent (0,03 mg/kg BB per dosis tiap 8 jam) selama suhu diatas
38o C dan dilanjutkan jika masih demam. Ternyata kejang demam berulang terjadi
hanya pada 2,5% dari 100 anak yang diteliti. Efek samping klonazepam yaitu mengantuk,
mudah tersinggung, gangguan tingkah laku, depresi, dan salivasi berlebihan. 5

Tachibana dkk, dikutip dari Soetomenggolo dkk meneliti khasiat kloralhidrat


supositoria untuk mencegah kejang demam berulang. Dosis yang diberikan adalah 250
mg untuk berat badan kurang dari 15 kg, dan 500 mg untuk berat badan lebih dari 15 kg,
diberikan bila suhu diatas 38o C. Hasil yang didapat adalah terjadinya kejang demam
berulang pada 6,9% pasien yang menggunakan supositoria kloralhidrat dibanding
dengan 32% pasien yang tidak menggunakannya. Kloralhidrat dikontraindikasikan pada
pasien dengan kerusakan ginjal, hepar, penyakit jantung, dan gastritis. 5

b. Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari


Indikasi pemberian profilaksis terus menerus pada saat ini adalah:
i. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan atau gangguan perkembangan
neurologis.
ii. Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik pada orang tua atau saudara
kandung.
iii. Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan neurologis sementara
atau menetap.
iv. Kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang
multipel dalam satu episode demam.
Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1 – 2 tahun setelah kejang
terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1 – 2 bulan. Pemberian
profilaksis terus menerus hanya berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam
berat, tetapi tidak dapat mencegah timbulnya epilepsi di kemudian hari. 5

Pemberian fenobarbital 4 – 5 mg/kg BB perhari dengan kadar sebesar 16 mg/mL


dalam darah menunjukkan hasil yang bermakna untuk mencegah berulangnya kejang
demam. Efek samping fenobarbital ialah iritabel, hiperaktif, pemarah dan agresif
ditemukan pada 30–50 % kasus. Efek samping fenobarbital dapat dikurangi dengan
menurunkan dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproat yang memiliki
khasiat sama dibandingkan dengan fenobarbital3,22. Ngwane meneliti kejadian kejang
berulang sebesar 5,5 % pada kelompok yang diobati dengan asam valproat dan 33 %
pada kelompok tanpa pengobatan dengan asam valproat.22 Dosis asam valproat adalah
15 – 40 mg/kg BB perhari. Efek samping yang ditemukan adalah hepatotoksik, tremor
dan alopesia. Fenitoin dan karbamazepin tidak memiliki efek profilaksis terus menerus.
5

I. Komplikasi
Kejang demam dapat menjadi sangat menakutkan dan traumatis secara emosional bagi
orang tua. Kondisi ini dapat menyebabkan kecemasan dan kepanikan yang tidak semestinya bagi
orang tua. Komplikasi yang biasanya muncul akibat kejang demam adalah epilepsy. Anak-anak
dengan kejang demam sederhana memiliki risiko epilepsi berikutnya yang sedikit lebih tinggi
sekitar 1% dibandingkan dengan kejadian pada populasi umum sekitar 0,5%. Risiko epilepsi
masa depan pada anak-anak dengan kejang demam kompleks adalah sekitar 4-6%. Faktor risiko
lain untuk pengembangan epilepsi termasuk durasi demam yang lebih pendek (<1 jam) sebelum
kejang, onset kejang demam sebelum usia 1 tahun atau setelah usia 3 tahun, adanya beberapa
episode kejang demam, kelainan perkembangan saraf yang mendasari, adanya riwayat keluarga
epilepsi dan pelepasan epileptiform pada EEG. 7

Gangguan belajar dan perilaku, retardasi mental, deficit koordinasi dan motoric, status
epileptikus, dan kematian pernah dilaporkan sebagai sekuele kejang demam. Insidensi pastii
sekuele-sekuele tersebut tidak diketahui,dan kejadiannya akan dipengaruhi oleh status pasien
sebelum kejang demam dan tipe kejang itu sendiri. Insidensi penyulit ini sangat rendah pada
anak normal yang mengalami kejang demam. 7

J. Prognosis
Prognosis kejang demam umumnya baik, namun bangkitan kejang demam dapat membawa
kekhawatiran yang sangat besar bagi orang tuanya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
kejadian berulangnya kejang demam pada anak berhubungan dengan riwayat keluarga dengan
kejang demam, usia saat kejang demam pertama, suhu rendah saat kejang demam pertama, jarak
antara munculnya kejang dengan onset demam, atau terdapat kejang demam kompleks. Sekitar
sepertiga dari kasus kejang demam akan mengalami setidaknya sekali rekurensi. Risiko
berulangnya kejang demam sekitar 60% setelah kejang demam pertama, 75% diantaranya terjadi
dalam waktu satu tahun pertama. 1,2 Akan tetapi, masih cukup banyak orang tua yang tidak peka
dengan tanda kejang dan risiko berulangnya kejadian kejang demam. 3

K. Edukasi
Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi setiap orangtua. Pada saat kejang,
Sebagian besar orangtua beranggapan bahwa anaknya akan meninggal. Kecemasan tersebut
harus dikurangi dengan cara diantaranya:
9

1. Meyakinkan orangtua bahwa kejang demam umunya mempunyai prognosis baik.


2. Memberitahukan cara penanganan kejang.
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
4. Pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang memang efektif, tetapi
harus diingat adanya efek samping obat.
BAB IV
KESIMPULAN
Kejang demam adalah jenis kejang yang paling umum pada pasien anak. Sebagian besar
anak memiliki prognosis yang sangat baik, dan hanya sedikit yang mengalami masalah kesehatan
jangka panjang. Diagnosis kejang demam bersifat klinis, dan penting untuk menyingkirkan
infeksi intrakranial, terutama setelah kejang demam kompleks. Penatalaksanaan terdiri dari
pengendalian gejala dan pengobatan penyebab demam. Orang tua dan pengasuh sering ketakutan
setelah kejang demam terjadi dan perlu diberi informasi yang benar tentang prognosis serta
dipandu oleh profesional kesehatan tentang pengelolaan demam anak mereka dan fase akut
kejang demam. Untuk menghindari penyalahgunaan tes diagnostik dan perawatan, maka perlu
dilakukan edukasi yang baik tentang tatalaksana kejang demam.
DAFTAR PUSTAKA

1. Harfizi, Hirda. 2020. Evaluasi Faktor Risiko Kejang Demam Berulang di Rumah Sakit

Umum Haji Medan. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sumatera

Utara.

2. Ismet. 2017. Kejang Demam. Jurnal Kesehatan Melayu. 1(1):41-44. [Disitasi tanggal 10

Desember 2021]. Tersedia di

https://www.researchgate.net/publication/320174428_Kejang_Demam

3. Hardika, Made S., et al. 2019. Faktor- Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian

Kejang Demam Berulang Pada Anak di RSUP Sanglah Denpasar. E-Jurnal Medika.

4. Medscape. 2017. Pediatric Febrile Seizure. . [Disitasi tanggal 10 Desember 2021].

Tersedia di http://emedicine.medscape.com/article/1176205-overview#a1
5. Deliana, Meida. 2002. Tata Laksana Kejang Demam Pada Anak. Sari Pediatri 4(2):59-62.

[Disitasi tanggal 10 Desember 2021]. Tersedia di

https://www.researchgate.net/publication/312175788_Tata_Laksana_Kejang_Demam_pad

a_Anak

6. Laino, Daniela., et al. 2018. Management of Pediatric Febrile Seizures. International

Journal of Environmental Research and Public Health.

7. Leung, Alexander., et al. 2018. Febrile seizures : an overview. [Disitasi tanggal 10

Desember 2021]. Tersedia di https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6052913/

8. Whelan H, Harmelink M, Chou E, Sallowm D, Khan N, Patil R, et al. Complex Febrile

Seizure – A Systematic Review. Disease-a-Month, 2017;63:5-23. [Disitasi tanggal 10

Desember 2021]. Tersedia di

http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S001150291630102X

9. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2016. Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam.

Unit kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai