Anda di halaman 1dari 5

LEADERSHIP AND HUMAN CAPITAL MANAGEMENT

MGMT8043

FINAL PROJECT

Case Analysis
“Jerk Bosses Aren't Just An Employee Relations Issue –They Stifle Innovation”

TEAM 1 CLASS LOA2

JENNIFER HIN (2140048803)

DILLA SWAESTYA ANDARIANI (2140052076)

AMIN TEGUH PRAYITNO (2140050940)

SURYA (2140048772)

BINUS BUSINESS SCHOOL

MM BLENDED LEARNING

JWC
“Jerk Bosses Aren't Just An Employee Relations Issue –They Stifle Innovation”

I. Introduction

Artikel berjudul Jerk Bosses Aren't Just An Employee Relations Issue – They Stifle
Innovation ditulis oleh Sunnie Giles pada tahun 2018, berbicara mengenai gaya
kepemimpinan yang sering kali didapatkan pada suatu organisasi atau perusahaan. Sering kali
kita mendapatkan atasan atau pimpinan yang “menyebalkan”. Seorang pimpinan yang
menyebalkan sebenarnya sangat berbahaya bagi organisasi itu sendiri.

Menurut Peter Drucker, peluang suatu organisasi untuk bertahan sangat kecil apabila
tidak adanya dukungan dan stimulus untuk berinovasi oleh para karyawannya. Keadaan yang
sulit didapatkan ini disebabkan pimpinannya adalah seorang yang menyebalkan. Pimpinan
yang menyebalkan dapat menurunkan inovasi dari bawahannya, yaitu hilangnya rasa aman
dari karyawan-karyawannya, menurunnya tingkat kebahagiaan dan pada akhirnya dapat
memicu karyawan yang lainnya karena rasa takut, para karyawan segan untuk melakukan
trial and error, padahal untuk terciptanya inovasi yang lebih baik adanya proses trial and
error sangat penting dan lumrah.

Atasan yang menyebalkan sebenarnya dapat dan harus berubah, karena otak manusia
memiliki kemampuan untuk berubah sesuai dengan kondisi dan pilihan dari orang tersebut.
Perubahan yang lebih baik dari seorang pimpinan akan sangat berpengaruh terhadap dirinya
sendiri dan lebih luasnya terhadap perusahaannya.

II. Discussion

Berdasarkan masalah yang diangkat dalam artikel Jerk Bosses Aren't Just An Employee
Relations Issue – They Stifle dapat dipelajari bahwa budaya dalam organisasi juga
berpengaruh dalam hubungan antar karyawan. Seperti yang telah dijelaskan oleh Noe,
Hollenbeck, Gerhart, dan Wright (2011) bahwa budaya mempengaruhi apa yang orang lain
percaya, sehingga memberi efek terhadap sistem ekonomi dan usaha untuk menginvestasikan
dalam pendidikan. Budaya juga sering menentukan efektif atau tidak praktik dalam Human
Resources Management. Budaya mempengaruhi pengelolaan sumber daya manusia serta
budaya menjadi salah satu sisi keunikan dalam organisasi. Pada kasus Korean Air, dengan
mempunyai budaya kerja yang kurang baik tentu saja akan mempengaruhi karyawan yang
bekerja di organisasi tersebut. Apabila seorang pimpinan dari Korean Air tidak dapat
menghargai karyawannya dengan baik, akan berpengaruh juga terhadap kinerja dari karyawan
Korean Air karena merasa tidak ada nilai yang didapat saat bekerja dalam organisasi. Budaya
kerja juga dapat terbentuk melalui bagaimana pemimpin memberikan contoh etos kerja yang
baik dihadapan karyawannya. Hal ini tidak terjadi pada Korean Air, anak dari pimpinan
Korean Air bahkan melanggar peraturan dan keselamatan penerbangan dengan verbal abused
pramugari yang bertugas. Serta menggunakan hak kekuasaan nya sebagai pemilik Korean Air
dengan mengimpor barang mewah tanpa melakukan deklarasi serta memperalat karyawan
Korean Air untuk menjadi kurirnya. Seperti yang dikatakan oleh Peter Drucker dalam artikel
ini bahwa “Culture eats strategy for breakfast” yang dapat diartikan bahwa tanpa adanya
budaya yang baik sulit untuk membantu perkembangan dan menstimulasi inovasi serta
memberikan peluang untuk organisasi tetap bertahan.

Nilai – nilai yang ada dalam suatu organisasi akan membentuk budaya itu sendiri,
sehingga dengan mempunyai pimpinan yang tidak memberikan nilai baik dalam suatu
organisasi akan menciptakan budaya yang tidak nyaman untuk karyawan. Dijelaskan oleh
French, Rayner, Rees, dan Rumbles (2015) sebagai pemimpin atau team leader seharusnya
memiliki peran besar dalam membangun rencana, memecahkan masalah, tetap fokus dan
mencapai resolusi bersama. Team juga seharusnya mempunyai norma sebagai aturan atau
standar mengenai perilaku yang ditunjukan oleh anggota tim serta diatur didalam kode etik
yang didalamnya mengenai kekuasaan, tugas serta hak karyawan. Pada kasus ini, CEO
Korean Air tidak dapat memberikan contoh sebagai team leader yang baik karena melanggar
kode etik dalam organisasi nya sendiri dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya.

Untuk mengevaluasi kembali apa yang terjadi pada organisasi Korean Air, manajemen
harus melihat kembali apa yang menjadi dasar budaya organisasi Korean Air karena hal
tersebut juga mendasari perilaku di organisasi. Karena dalam menentukan budaya bukanlah
dipicu oleh satu orang namun oleh banyak orang serta dengan sistem yang diyakini secara
bersama. Dari budaya organisasi, dapat diturunkan nilai yang akan dijalankan oleh karyawan
dalam menciptakan komitmen bersama dalam mencapai tujuan.

Kemudian, mengevaluasi kembali jenis leadership yang selama ini diimplementasikan


dalam Korean Air. CEO atau manajer yang tidak baik akan menghambat inovasi karyawan,
terutama dalam lack of safety, contagious culture dan resiliance for trial and error. Pada saat
ini, seharusnya CEO Korean Air menerapkan prinsip-prinsip The New Leadership dengan
baik. Prinsip tersebut antara lain yaitu:
• Charismatic Leadership adalah gaya kepemimpinan dimana pemimpinnya memiliki
kualitas spesial untuk mempengaruhi orang lain dalam hal positif, melalui interaksi
dengan karyawannya menggunakan metode manajemen yang menumbuhkan
hubungan baik.
• Transformational Leadership adalah gaya kepemimpinan yang meningkatkan dan
memperluas tujuan serta meningkatkan kepercayaan diri karyawan untuk melampaui
harapan. Jenis kepemimpinan ini memperlihatkan karisma, inspirasi, stimulasi
intelektual serta dapat mempertimbangkan perbedaan individu.

Dengan memiliki gaya kepemimpinan yang baik diharapkan tiga hal yang dapat
membahayakan organisasi ketika mempunyai atasan yang menyebalkan dapat terhindar,
karyawan dapat lebih merasakan keamanan secara psikis dan kenyamanan dalam bekerja,
merasakan hal yang positif dalam organisasi serta dapat bekerja sesuai dengan target yang
diberikan tanpa berada dibawah tekanan atasan yang menyebalkan.

Penting juga untuk perusahaan membangun budaya perusahaan yang kuat, dengan begitu
akan tercipta suasana kerja yang produktif. Budaya perusahaan lebih spesifik dibandingkan
budaya organisasi dalam beberapa elemen seperti kenyamaan karyawan bekerja dan merasa
aman dalam bekerja karena ada support satu sama lain. Budaya perusahaan juga harus
memenuhi ekspektasi individu. Budaya perusahaan harusnya dapat mendorong seseorang
dengan karakter tertentu untuk dapat membaur dengan budaya perusahaan yang telah
ditetapkan.

III. Closing

Dari artikel di atas dapat disimpulkan bahwa Korean Air tidak menerapkan budaya dan
value perusahaannya dengan baik. Setiap perusahaan harus menerapkan corporate value dan
culture nya dengan baik supaya kinerja karyawan meningkat. Hal ini penting ketika
mengingat orang-orang yang memiliki kesamaan value dan belief akan merasa lebih aman dan
bahagia, kesamaan nilai-nilai ini akan membentuk budaya yang kuat dalam organisasi.
Budaya adalah bibit yang sangat penting untuk perusahaan karena budaya menunjukkan
karakter perusahaan, budaya juga merupakan alasan customer untuk percaya pada perusahaan
dan membangun bisnis dengan perusahaan. Value merupakan kode moral dan etika yang
menentukan hal seharusnya dilakukan perusahaan dalam mewujudkan tercapainya visi dan
misi perusahaan.
References

French, R., Rayner, C., Rees, G., & Rumbles, S. (2015). Organizational Behaviour. New York: John
Willey & Sons.

Noe, R., Hollenbeck, J., Gerhart, B., & Wright, P. (2011). Human Resource Management 4th edition.
New York: McGraw-Hill Companies, Inc.

Anda mungkin juga menyukai