Anda di halaman 1dari 303

IKHTISAR EKSEKUTIF

Laporan Kinerja Kementerian Kesehatan Tahun 2019 merupakan sarana untuk


menyampaikan pertanggungjawaban kinerja Menteri Kesehatan beserta jajarannya
kepada Presiden Republik Indonesia dan seluruh pemangku kepentingan, baik yang
terkait langsung maupun tidak langsung. Selain itu Laporan Kinerja Kementerian
Kesehatan merupakan wujud dari pertanggungjawaban atas kinerja pencapaian visi dan
misi yang dijabarkan dalam tujuan/sasaran strategis. Tujuan/sasaran strategis tersebut
mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019
dan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019.

Secara keseluruhan capaian kinerja Kementerian Kesehatan, dari 36 Indikator


Kinerja pada 12 Sasaran Strategis Kementerian Kesehatan yang dijanjikan oleh Menteri
Kesehatan pada dokumen Perjanjian Kinerja Tahun 2019 dinyatakan “sangat baik’ karena
capaiannya rata-rata diatas 85% dari target. Capaian indikator tersebut adalah sebagai
berkut:

1. Persentase persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan tercapai 91,83% dari target


85% atau 108,04% dari yang ditargetkan
2. Persentase ibu hamil kurang energi kronik tercapai 9,9% dari target 18,2% atau
183,8% dari yang ditargetkan
3. Persentase kab/kota yang memenuhi kualitas kesehatan lingkungan tercapai
78,02% dari target 40% atau 195,05% dari yang ditargetkan
4. Persentase cakupan keberhasilan pengobatan pasien TB/Succes Rate (SR) tercapai
90,78% dari target 90% atau 100,90% dari yang ditargetkan
5. Prevalensi HIV tercapai 0,32% dari target <0,5% atau 136% dari yang ditargetkan
6. Jumlah kabupaten/kota mencapai eliminasi malaria tercapai 300 dari target 300
atau 100% dari yang ditargetkan
7. Jumlah kabupaten/kota dengan eliminasi filariasis tercapai 56 dari target 35 atau
160% dari yang ditargetkan
8. Penurunan kasus Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) tertentu
tercapai 42,80% dari target 40% atau 107% dari yang ditargetkan
9. Kab/Kota yang mampu melaksanakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan
kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah tercapai 100% dari
target 100% atau 100% dari yang ditargetkan
10. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok
(KTR) minimal 50% sekolah tercapai 50,2% dari target 50% atau 100,40% dari yang
ditargetkan
11. Jumlah kabupaten/kota yang memiliki Puskesmas yang menyelenggarakan upaya
kesehatan jiwa tercapai 407 dari target 280 atau 145,40% dari yang ditargetkan
12. Jumlah kecamatan yang memiliki minimal 1 Puskesmas yang terakreditasi tercapai
6.212 dari target 5.600 atau 111,00.% dari yang ditargetkan
13. Jumlah kabupaten/kota yang memiliki minimal 1 RSUD yang terakreditasi tercapai
486 dari target 481 atau 101,00% dari yang ditargetkan
14. Persentase Puskesmas dengan ketersediaan obat dan vaksin esensial tercapai
96,34% dari target 95% atau 101,41% dari yang ditargetkan
15. Jumlah bahan baku sediaan farmasi yang siap diproduksi di dalam negeri dan
jumlah jenis/varian alat kesehatan yang diproduksi di dalam negeri (kumulatif)
dengan rincian, jumlah realisasi bahan baku sediaan farmasi tercapai 50 dari target
45 atau 111,11% dari yang ditargetkan, dan jumlah realisasi jenis/varian alat
kesehatan tercapai 28 dari target 28 atau 100% dari yang ditargetkan
16. Persentase produk alat kesehatan dan PKRT di peredaran yang memenuhi syarat
tercapai 95,67% dari target 90% atau 106,31% dari yang ditargetkan
17. Persentase RS kabupaten/kota kelas C yang memiliki 4 dokter spesialis dasar dan 3
dokter spesialis penunjang tercapai 62% dari target 60% atau 103,33% dari yang
ditargetkan
18. Jumlah SDM Kesehatan yang ditingkatkan kompetensinya tercapai 110.120 dari
target 56.910 atau 193,49% dari yang ditargetkan
19. Jumlah kementerian lain yang mendukung pembangunan kesehatan tercapai 53%
dari target 50% atau 106,00% dari yang ditargetkan
20. Jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang menyampaikan laporan capaian SPM
tercapai 458 dari target 494 atau 92,71% dari yang ditargetkan
21. Jumlah dunia usaha yang memanfaatkan CSR untuk program kesehatan tercapai
21 dari target 20 atau 105,00% dari yang ditargetkan
22. Jumlah organisasi kemasyarakatan yang memanfaatkan sumber dayanya untuk
mendukung kesehatan tercapai 17 dari target 15 atau 113,33% dari yang ditargetkan
23. Jumlah kesepakatan kerjasama luar negeri di bidang kesehatan yang
diimplementasikan tercapai 8 dari target 8 atau 100% dari yang ditargetkan
24. Jumlah provinsi yang memiliki rencana lima tahun dan anggaran kesehatan
terintegrasi dari berbagai sumber tercapai 34 dari target 34 atau 100% dari yang
ditargetkan
25. Jumlah rekomendasi monitoring evaluasi terpadu tercapai 34 dari target 34 atau
100% dari yang ditargetkan
26. Jumlah hasil Riset Kesehatan Nasional (Riskesnas) bidang kesehatan dan gizi
masyarakat tercapai 1 dari target 1 atau 100% dari yang ditargetkan
27. Jumlah rekomendasi dan kebijakan berbasis penelitian dan pengembangan
kesehatan yang diadvokasikan ke pengelola program kesehatan dan atau
pemangku kepentingan tercapai 24 dari target 24 atau 100% dari yang ditargetkan
28. Jumlah hasil penelitian yang didaftarkan HKI tercapai 25 dari target 4 atau 625%
dari yang ditargetkan
29. Persentase satuan kerja yang dilakukan audit memiliki temuan kerugian negara
≤1% tercapai 99,00% dari target 100% atau 99,00% dari yang ditargetkan
30. Persentase Pejabat Pimpinan Tinggi, Administrator dan Pengawas di lingkungan
Kementerian Kesehatan yang kompetensinya sesuai persyaratan jabatan tercapai
91,18% dari target 90% atau 101,31% dari yang ditargetkan
31. Persentase pegawai Kementerian Kesehatan dengan nilai kinerja minimal baik
tercapai 99,81% dari target 94% atau 106,18% dari yang ditargetkan
32. Jumlah kabupaten/kota yang melaporkan data kesehatan prioritas secara lengkap
tercapai 413 dari target 463 atau 89,20% dari yang ditargetkan
33. Jumlah kabupaten/kota dengan jaringan komunikasi data untuk pelaksanaan e-
kesehatan tercapai 258 dari target 257 atau 100,39% dari yang ditargetkan
34. Jumlah kabupaten/kota yang melaksanakan pemetaan keluarga sehat tercapai
502 dari target 514 atau 97,67% dari yang ditargetkan
Terdapat juga indikator yang pencapaiannya “baik” indikator tersebut, diataranya:
1. Jumlah provinsi dengan eliminasi kusta tercapai 26 dari target 34 atau 76,50% dari
yang ditargetkan
2. Jumlah Puskesmas yang minimal memiliki 5 jenis tenaga kesehatan tercapai 4.485
dari target 5.600 atau 80,08% dari yang ditargetkan

Pencapaian kinerja lainnya oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2019


diantaranya adalah 1) implementasi e-government administrasi perjalanan luar negeri
(PDLN), 2) terlaksananya pertemuan kerja sama luar negeri, 3) penanggulangan bencana,
4) The 1st Technofarmalkes 2019: Indonesian Health Tech Innovation, 5) Pengembangan
sistem informasi akuntabilitas kinerja, 6) layanan perpustakaan kementerian, layanan
pengaduan dan sarana informasi publik, 7) SPGDT 119, 8) Pengembangan telemedicine, 9)
Layanan klinik hibah di indonesia Islamic Centre, Afganistan, 10) Pembangunan klinik
kesehatan haji baru di Madinah dan Makkah, 11) Sehatpedia, 12) Inisiatif Pencegahan
Korupsi, 13) Pembiayaan peserta PBI-JKN, 14) Inovasi di bidang Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, 15) Pelayanan Rumah Sakit Terakreditasi Internasional, dan 16) FKTP
Berakreditasi.

Untuk kinerja keuangan pada tahun 2019, realisasi anggaran menggunakan online
monitoring SPAN untuk semua jenis belanja mencapai 94,61% atau sebesar Rp
67.288.277.271.120 dari total pagu sebesar Rp 71.121.938.640.000. Total anggaran
tersebut bersumber dari Rupiah Murni, Pinjaman Luar Negeri, Penerimaan Negara Bukan
Pajak, Badan Layanan Umum, Hibah Luar Negeri dan Hibah Langsung Luar Negeri
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

PERNYATAAN TELAH DIREVIU

IKHTISAR EKSEKUTIF

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………… i

DAFTAR TABEL …………………………………………………………………………. iii

DAFTAR GRAFIK ………………………………………………………………………… vi

DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………………… ix

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………… 1

A. Latar belakang…………………………………………………………………… 1

B. Tugas, Fungsi dan Struktur Organisasi…………………………………………... 2

C. Isu Strategis ………………………………………………………………………. 3

D. Sistematika Laporan Kinerja……………………………………………………… 6

BAB II PERENCANAAN KINERJA………………………………………………………… 8

A. Rencana Strategis Kementerian kesehatan Tahun 2015-2019…………………... 8

B. Perjanjian Kinerja Tahun 2019……………………………………………………. 16

BAB III AKUNTABILITAS KINERJA……………………………………………………….. 20

A. Capaian Kinerja Organisasi……………………………………………………….. 20

1) Sasaran Strategis 1: Meningkatnya Kesehatan Masyarakat........................... 20

2) Sasaran Strategis 2: Meningkatnya Pencegahan dan Pengendalian


Penyakit........................................................................................................... 44

3) Sasaran Strategis 3: Meningkatnya Akses dan Mutu Fasilitas Pelayanan


Kesehatan....................................................................................................... 98

4) Sasaran Strategis 4: Meningkatnya Akses, Kemandirian, dan Mutu


Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan............................................................. 131
i
5) Sasaran Strategis 5: Meningkatnya Jumlah, Jenis, Kualitas, dan
Pemerataan Tenaga Kesehatan..................................................................... 149

6) Sasaran Strategis 6: Meningkatnya Sinergitas antar Kementerian/


Lembaga.......................................................................................................... 175

7). Sasaran Strategis 7: Meningkatnya Daya Guna Kemitraan Dalam dan Luar
Negeri.............................................................................................................. 179

8). Sasaran Strategis 8: Meningkatnya Integrasi Perencanan, Bimbingan


Teknis, dan Pemantauan Evaluasi................................................................... 199

9). Sasaran Strategis 9: Meningkatnya Efektivitas Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan............................................................................. 202

10). Sasaran Strategis 10: Meningkatnya Tata Kelola Kepemerintahan yang


Baik dan Bersih................................................................................................ 216

11). Sasaran Strategis 11: Meningkatnya Kompetensi dan Kinerja Aparatur


Kementerian Kesehatan.................................................................................. 223

12). Sasaran Strategis 12: Meningkatnya Sistem Informasi Kesehatan


Integrasi........................................................................................................... 230

B. Realisasi Anggaran ………………………………………………………………. 241

C. Capaian Kinerja Lainnya ………………………………………………………….. 244

D. Penghargaan/prestasi yang dicapai oleh Kementerian Kesehatan Tahun 2019... 268

BAB IV PENUTUP…………………………………………………………………………. 283

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perjanjian Kinerja Kementerian Kesehatan Tahun 2018…………………. 16


Tabel 3.1 Capaian IKU pada Sasaran Strategis 1: Meningkatnya Kesehatan
Masyarakat ………………………………………………………….......... 20
Tabel 3.2 Target dan Capaian Indikator Kinerja Kesehatan Lingkungan Tahun 2019. 35
Tabel 3.3 Realisasi Per Propinsi Indikator Persentase Kabupaten/Kota yang
memenuhi Kualitas Kesehatan Lingkungan tahun 2019......................... 37
Tabel 3.4 Capaian IKU pada Sasaran Strategis 2: Meningkatnya Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit …………………………………………………… 45
Tabel 3.5 Estimasi Beban TB tahun 2019………………………………...………….. 47
Tabel 3.6 Jumlah Kab/Kota dengan Eliminasi Malaria sampai tahun 2019………... 58
Tabel 3.7 Kabupaten/Kota dengan Eliminasi Filariasis Tahun 2019………………... 75
Tabel 3.8 Capaian IKU pada Sasaran Strategis 3: Meningkatnya Akses dan Mutu
Fasilitas Pelayanan Kesehatan………………………………................... 98
Tabel 3.9 Target dan Capaian Kecamatan Yang Memiliki Minimal 1 Puskesmas
Tersertifikasi Akreditasi Tahun 2019........................................................... 99
Tabel 3.10 Perbandingan Target dan Capaian Kecamatan Yang Memiliki Minimal 1
Puskesmas Tersertifikasi Akreditasi Tahun 2019 dan Tahun 2018……… 101
Tabel 3.11 Capaian Jumlah Kecamatan yang memiliki minimal 1 Puskesmas
tersertifikasi akreditasi……………………………………………………………………………… 102
Tabel 3.12 Jumlah Jam Honor Surveior per Hari…………………………………………………………. 105
Tabel 3.13 Pencapaian Kabupaten/Kota yang Memiliki Minimal 1 RSUD yang
Tersertifikasi Akreditasi Nasional................................................................ 116
Tabel 3.14 Pencapaian Kabupaten/Kota yang Memiliki Minimal 1 RSUD yang
tersertifikasi Akreditasi Nasional Tahun 2018-2019……………………….. 119
Tabel 3.15 Capaian IKU pada Sasaran Strategis 4: Meningkatnya Akses,
Kemandirian, dan Mutu Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan………….. 132
Tabel 3.16 Target, Realisasi dan Capaian Indikator Persentase Puskesmas dengan
Ketersediaan Obat dan Vaksin Esensial Tahun 2019…………………….. 134
Tabel 3.17 Daftar Obat dan Vaksin Indikator............................................................... 136
Tabel 3.18 Target, Realisasi dan Capaian Indikator Jumlah Bahan Baku Sediaan
Farmasi yang Siap Diproduksi di Dalam Negeri dan Jumlah Jenis/Varian
Alat Kesehatan yang Diproduksi di Dalam Negeri (Kumulatif) Tahun
2019………………………………………………………………………… 138
Tabel 3.19 Daftar Nama Bahan Baku Sediaan Farmasi yang Siap Diproduksi di Dalam
Negeri Tahun 2015-2019…………………………………………… 140
Tabel 3.20 Daftar Nama Jenis/Varian Alat Kesehatan yang Diproduksi di Dalam
Negeri Tahun 2015-2019………………………………………… 143
Tabel 3.21 Target, Realisasi dan Capaian Indikator Persentase Produk Alat
Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) di
Peredaran yang Memenuhi Syarat Tahun 2019......................................... 147
Tabel 3.22 Analisis Efisiensi Indikator Meningkatnya Akses, Kemandirian dan Mutu
Sediaan Farmasi dan Alkes……………………………………………………………………….. 149
Tabel 3.23 Capaian IKU pada Sasaran Strategis 5: Meningkatnya Jumlah, Jenis,
Kualitas, dan Pemerataan Tenaga Kesehatan…….................................. 149
iii
Tabel 3.24 Akumulasi capaian IKU Kesatu Tahun 2015-2019…………………………………….. 151
Tabel 3.25 Jenis Rumpun Tenaga Kesehatan………………………………………………………………. 154
Tabel 3.26 Penempatan Nusantara Sehat Tim 2015-2019…………………………………………… 158
Tabel 3.27 Penempatan Nusantara Sehat Individu 2017-2019……………………………………. 158
Tabel 3.28 Sandingan Target, Capaian IKU Kedua Persentase RS Kabupaten/Kota kelas
C yang Memiliki 4 dokter spesialis dasar dan 3 dokter spesialis penunjang
Tahun 2015 – 2019……………………………………………………………………………………. 162
Tabel 3.29 Perbandingan Capaian Indikator Kedua Tahun 2016 – 2019………………………. 163
Tabel 3.30 Capaian Residen 2016-2019……………………………………………………………………….. 165
Tabel 3.31 Capaian PGDS 2015-2019………………………………………………………………………….. 166
Tabel 3.32 Distribusi Penempatan Wajib Kerja Dokter Spesialis TA 2019…………………….. 167
Tabel 3.33 Komposit Kenaikan Capaian Indikator Ketiga 2018-2019…………………. 168
Tabel 3.34 Komposit Indikator IKU Ketiga Jumlah SDM Yang Ditingkatkan
Kompetensinya………………………………………………………………………………………….. 170
Tabel 3.35 Sebaran Capaian Indikator Pelatihan Teknis dan Fungsional Terakreditasi
Berdasarkan Jenis Pelatihan……………………………………………………………………… 171
Tabel 3.36 Sebaran Capaian Indikator Pelatihan Teknis dan Fungsional Terakreditasi
Berdasarkan Unit Pelaksana Pelatihan……………………………………………………… 171
Tabel 3.37 Capaian IKU pada Sasaran Strategis 6: Meningkatnya Sinergitas antar 175
Kementerian/Lembaga.................................................................................
Tabel 3.38 Kementerian yang mendukung Pembangunan Kesehatan....................... 176
Tabel 3.39 Perbandingan capaian indikator Jumlah Kementerian Lain Yang
Mendukung Pembangunan Kesehatan Tahun 2015-2019………………………….. 177
Tabel 3.40 Capaian IKU pada Sasaran Strategis 7: Meningkatnya Daya Guna
Kemitraan Dalam dan Luar Negeri............................................................... 180
Tabel 3.41 Dunia Usaha untuk CSR Kesehatan………………………………………... 181
Tabel 3.42 Organisasi Kemasyarakatan yang Mendukung Kesehatan……………… 184
Tabel 3.43 Capaian Target Kinerja Tahun 2015 – 2019 Kegiatan Peningkatan Kerja
Sama Luar Negeri………………………………………………………....... 186
Tabel 3.44 Capaian Kinerja Kesepakatan Kerja Sama Luar Negeri, Tahun 2019…….. 186
Tabel 3.45 Capaian IKU pada Sasaran Strategis 8: Meningkatnya Integrasi
Perencanan, Bimbingan Teknis, dan Pemantauan Evaluasi…..………….. 199
Tabel 3.46 Provinsi dengan Rencana Lima Tahun dan Anggaran Kesehatan yang 200
Terintegrasi………………………………………………………………….
Tabel 3.47 Capaian IKU pada Sasaran Strategis 9: Meningkatnya Efektivitas 203
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan………………………………...
Tabel 3.48 Capaian Kinerja Indikator Jumlah Hasil Riset Kesehatan Nasional 203
(Riskesnas) Bidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat……...………………
Tabel 3.49 Capaian Kinerja Indikator Hasil Rekomendasi Kebijakan Tahun 2019….. 208
Tabel 3.50 Judul Rekomendasi Kebijakan yang telah di advokasikan pada Tahun 209
2019…………………………………………………………………………..
Tabel 3.51 Capaian Indikator Jumlah Penelitian yang Didaftarkan HKI Tahun 2019…. 211
Tabel 3.52 Capaian Indikator Jumlah Penelitian yang Didaftarkan HKI Tahun 2019
(Paten)………………………………………………………………………. 211
Tabel 3.53 Capaian Indikator Jumlah Penelitian yang didaftrakan HKI Tahun 2019 212
(Hak Cipta).....................................................................................................
iv
Tabel 3.54 Capaian IKU pada Sasaran Strategis 10: Meningkatnya Tata Kelola 217
Kepemerintahan yang Baik dan Bersih …………………………………….
Tabel 3.55 Perbandingan Capaian Kinerja Tahun 2019 dan Tahun 2018……………… 218
Tabel 3.56 Capaian IKU pada Sasaran Strategis 11: Meningkatnya Kompetensi dan
Kinerja Aparatur Kementerian Kesehatan……………..………………….. 223
Tabel 3.57 Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi, Administrator, dan Pengawas
Tahun 2019………………………………………………………………….. 225
Tabel 3.58 Trend Realisasi Indikator Persentase Pejabat Pimpinan Tinggi, Administrator dan
Pengawas di lingkungan Kementerian Kesehatan yang kompetensinya sesuai 227
persyaratan jabatan...................................................................................................
Tabel 3.59 Capaian IKU pada Sasaran Strategis 12: Meningkatnya Sistem Kesehatan
Integrasi……………………………………………………………………... 231
Tabel 3.60 Alokasi dan Realisasi Anggaran Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019 241
Tabel 3.61 Jumlah Alokasi dan Realisasi Belanja Tahun 2019…………………………. 242
Tabel 3.62 Jumlah Alokasi dan Realisasi Belanja Berdasarkan Kewenangan Tahun
2019………………………………………………………………………….. 243
Tabel 3.63 Rekapitulasi Kejadian Krisis Kesehatan Tahun 2019…………………... 250
Tabel 3.64 Daftar Pemenang FKTP Berprestasi Tahun 2019……………………… 267

v
DAFTAR GRAFIK

Grafik 3.1 Target, Cakupan, dan Capaian Kinerja Renstra Indikator Persalinan di
Fasyankes Tahun 2018 dan 2019…..……………………………............ 22
Grafik 3.2 Cakupan Kabupaten/Kota Melaporkan Indikator Pelayanan
Persalinan di Fasyankes Tahun 2019 Berdasarkan Provinsi…………... 23
Grafik 3.3 Target dan Cakupan Persalinan di Fasilitas Kesehatan menurut
Renstra 2015-2019 dengan Target Jangka Menengah…..……………. 23
Grafik 3.4 Persentase Target dan Cakupan Program Persalinan di Fasilitas
Kesehatan menurut Renstra 2015-2019 Per Propinsi ............................ 24
Grafik 3.5 Persentase Cakupan Ibu Hamil Kekurangan Energi Kronik (KEK) per
Provinsi Tahun 2019…………………………………………………….. 30
Grafik 3.6 Target, Cakupan, dan Capaian Kinerja Renstra Indikator ibu Hamil
Kurang Energi Kronis (KEK) Tahun 2018 dan 2019…………………… 31
Grafik 3.7 Perbandingan Persentase Ibu Hamil Kekurangan Energi Kronis (KEK) 31
Tahun 2018 dengan Target Jangka Menengah......................................
Grafik 3.8 Target, Cakupan dan Capaian Kinerja Indikator Persentase
Kabupaten/Kota yang Memenuhi Kualitas Kesehatan Lingkungan
Tahun 2018 dan 2019…………………………………………………… 36
Grafik 3.9 Realisasi Th 2019 dan Target Jangka Menengah Indikator Persentase
Kabupaten/Kota yang Memenuhi Kualitas Kesehatan Lingkungan…. 37
Grafik 3.10 Realisasi Per Propinsi Indikator Persentase Kabupaten/Kota yang
memenuhi Kualitas Kesehatan Lingkungan tahun 2019……………… 39
Grafik 3.11 Target dan Realisasi Indikator Persentase Kabupaten/Kota yang
Memenuhi Kualitas Kesehatan Lingkungan Tahun 2015-2019……. 40
Grafik 3.12 Target dan Capaian Kinerja Indikator Persentase Kabupaten/Kota
yang Memenuhi Kualitas Kesehatan Lingkungan Tahun 2015-2019….. 41
Grafik 3.13 Target dan Capaian Persentase Cakupan Angka Keberhasilan
Pengobatan TB Tahun 2015 – 2019 …………………….…………….... 46
Grafik 3.14 Target dan Capaian Prevalensi HIV Tahun 2019 (%)…..………………. 51
Grafik 3.15 Target dan Capaian Prevalensi HIV Tahun 2015-2019 (%)………........... 51
Grafik 3.16 Jumlah Kasus HIV dan Kasus AIDS Tahun 2015 – 2019 (September*).. 52
Grafik 3.17 Capaian Eliminasi Malaria di Indonesia tahun 2015-2019……………… 59
Grafik 3.18 Proporsi Kasus Malaria Vivax di wilayah SEARO…..…………………... 60
Grafik 3.19 Persentase Pemeriksaan Sediaan Darah ……………………………… 61
Grafik 3.20 Persentasi Malaria Positif diobati sesuai standar……………...…….... 61
Grafik 3.21 Target dan Capaian Jumlah Provinsi dengan Eliminasi Kusta Tahun 67
2014-2019.......................................................................................…….
Grafik 3.22 Proporsi Penemuan Kasus Kusta Baru Tanpa Cacat Tahun 2014 –
2019……………………………………………………………………... 69
Grafik 3.23 Jumlah Kabupaten/kota dengan Eliminasi Filariasis Tahun 2015-2019.. 74
Grafik 3.24 Persentase Penurunan Kasus Penyakit yang Dapat Dicegah
dengan Imunisasi (PD3I) Tahun 2015-2019…………………….............. 80
Grafik 3.25 Perbandingan Kasus PD3I tertentu Tahun 2013 dan Tahun 2019 81
Grafik 3.26 Target dan Capaian Kab/Kota Yang Mempunyai Kebijakan
Kesiapsiagaan Dalam Penanggulangan KKM Tahun 2015-2019………. 85
vi
Grafik 3.27 Persentase Kab/Kota yang melaksanakan kebijakan KTR minimal di
50% sekolah Tahun 2019…………………………….......……................ 88
Grafik 3.28 Persentase Kab/Kota yang melaksanakan kebijakan KTR Per Provinsi
di Indonesia Tahun 2019……………………………………………….. 89
Grafik 3.29 Target dan Realisasi Kab/Kota yang melaksanakan KTR minimal 50%
Sekolah Tahun 2015-2019…………….………………............................ 90
Grafik 3.30 Target dan Capaian Jumlah Kab/Kota yang menyelenggarakan upaya
kesehatan jiwa/napza Tahun 2015-2019……………………………….. 95
Grafik 3.31 Distribusi Status Kelulusan Akreditasi Puskesmas Tahun 2019………. 100
Grafik 3.32 Capaian Akreditasi Puskesmas Per Provinsi Tahun 2019….................... 100
Grafik 3.33 Perbandingan Capaian Puskesmas, Kecamatan, Kabupaten/Kota dan
Provinsi Tersertifikasi Akreditasi Tahun 2019 dan Tahun 2018…… 101
Grafik 3.34 Trend Capaian Akreditasi PuskesmasTahun 2015-2019.......................... 102
Grafik 3.35 Distribusi Status Kelulusan Akreditasi Tahun 2015 - 2019……………... 103
Grafik 3.36 Trend Survei Akreditasi Puskesmas Tahun 2016 - 2019…….................. 113
Grafik 3.37 Distribusi Jumlah Kabupaten/Kota yang Memiliki Minimal 1 RSUD 117
terakreditasi Berdasarkan Provinsi Tahun 2019....................................
Grafik 3.38 Tingkat Kelulusan Akreditasi 712 RSUD Tahun 2019 ……….. 117
Grafik 3.39 Tingkat Kelulusan Akreditasi RS di Indonesia Tahun 2019……………. 118
Grafik 3.40 Peningkatan Capaian Akreditasi RS pada Tahun 2016 – 2019............... 118
Grafik 3.41 Tingkat Kelulusan Akreditasi RS pada Tahun 2016-2019……………… 119
Grafik 3.42 Pencapaian Kabupaten/Kota yang Memiliki Minimal 1 RSUD yang
Tersertifikasi Akreditasi Nasional Tahun 2015-2019………………… 120
Grafik 3.43 Target dan Realisasi Indikator Persentase Ketersediaan Obat dan
Vaksin di Puskesmas Tahun 2015-2019.................................................... 133
Grafik 3.44 Target dan Realisasi Indikator Persentase Puskesmas dengan
Ketersediaan Obat dan Vaksin Esensial Tahun 2017-2019.…... 134
Grafik 3.45 Puskesmas dengan Ketersediaan Obat dan Vaksin Esensial Tahun
2019 per Provinsi ………................................................................. 135
Grafik 3.46 Analisis atas Efisiensi Penggunaan Sumber Daya Terhadap Capaian
Indikator Kinerja Program Persentase Puskesmas dengan Ketersediaan
Obat dan Vaksin Esensial Tahun 2019…………………………………………………. 137
Grafik 3.47 Target dan Realisasi Indikator Jumlah Bahan Baku Obat dan Obat
Tradisional serta Alat Kesehatan (Alkes) yang Diproduksi di Dalam
Negeri (Kumulatif) Tahun 2015-2019…………………………………... 138
Grafik 3.48 Target dan Realisasi Indikator Jumlah Bahan Baku Sediaan Farmasi
yang Siap Diproduksi di Dalam Negeri dan Jumlah Jenis/Varian Alat
Kesehatan yang Diproduksi di Dalam Negeri (Kumulatif) Tahun 2015-
2019.......................................................................................................... 139
Grafik 3.49 Pertumbuhan Industri Alat Kesehatan dalam Negeri per 31
Desember 2019……................................................................................. 142
Grafik 3.50 Analisis atas Efisiensi Penggunaan Sumber Daya Terhadap Capaian
Indikator Kinerja Program Jumlah Bahan Baku Sediaan Farmasi yang
Siap Diproduksi di Dalam Negeri, dan Jumlah Alat Kesehatan yang
Diproduksi di Dalam Negeri (kumulatif) Tahun 2019……………………………. 145
Grafik 3.51 Target dan Realisasi Indikator Persentase Produk Alat Kesehatan
vii
dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) di Peredaran
yang Memenuhi Syarat Tahun 2015-2019………………………........... 146
Grafik 3.52 Analisis atas Efisiensi Penggunaan Sumber Daya Terhadap Capaian
Indikator Kinerja Program Persentase Produk Alat Kesehatan dan
Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) di Peredaran yang
Memenuhi Syarat Tahun 2019……………………………………………………………. 148
Grafik 3.53 Sandingan Target Dan Capaian IKU Kesatu Jumlah Puskesmas Yang
Minimal Memiliki 5 Jenis Tenaga Kesehatan………………………………………. 151
Grafik 3.54 Sandingan Target Dan Capaian IKU Kedua Persentase RS
Kabupaten/Kota kelas C yang Memiliki 4 dokter spesialis dasar dan
3 dokter spesialis penunjang Tahun 2015-2019……………………………… 163
Grafik 3.55 Target dan Capaian Indikator Jumlah SDM Kesehatan yang
Ditingkatkan Kompetensinya tahun 2015-2019……………………………………. 169
Grafik 3.56 Target dan Capaian Indikator Jumlah Dunia Usaha yang
Memanfaatkan CSR-nya untuk Mendukung Kesehatan Tahun 2015-
2019……………………………………………………………………... 181
Grafik 3.57 Target dan Capaian Indikator Jumlah Organisasi Kemasyarakatan
yang Memanfaatkan Sumber Dayanya Untuk Mendukung
Kesehatan Tahun 2015- 2019……………………….............................. 183
Grafik 3.58 Perbandingan Target dan Capaian Tahun 2015-2019………………….. 200
Grafik 3.59 Perbandingan Realisasi Kinerja Tahun 2019 dengan Target Jangka
Menengah Renstra 2015-2019…………………….………………......... 205
Grafik 3.60 Perbandingan Realisasi Kinerja Tahun 2019 dengan Target Jangka 208
Menengah Renstra 2015-2019………………………………………….
Grafik 3.61 Perbandingan Realisasi Kinerja Tahun 2019 dengan Target Jangka
Menengah Renstra 2015-2019……………………………….………… 215
Grafik 3.62 Perbandingan Realisasi Kinerja s.d Tahun 2019 dengan Target Jangka 218
Menengah Renstra 2015 – 2019…………………………….…………..
Grafik 3.63 Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi, Administrator, dan Pengawas 225
Tahun 2019………………………………………………………………
Grafik 3.64 Persentase pejabat struktural di lingkungan Kementerian Kesehatan
yang kompetensinya sesuai persyaratan jabatan…………………………………. 226
Grafik 3.65 Persentase Pegawai Kementerian Kesehatan dengan Nilai Kinerja 228
Minimal Baik Tahun 2015-2019………………………………………….
Grafik 3.66 Capaian Indikator |Jumlah Kabupaten Kota yang Melaporkan Data 234
Kesehatan Prioritas Tahun 2019
Grafik 3.67 Alokasi dan Realisasi Kementerian Kesehatan Menurut Jenis Belanja 242
Tahun Anggaran 2019…………………………………………………...
Grafik 3.68 Alokasi dan Realisasi Anggaran Kementerian Kesehatan Menurut 243
Jenis Kewenangan Tahun Anggaran 2019………………………...

viii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Bagan Struktur Organisasi Kementerian kesehatan………………..... 2


Gambar 2.1 Peta Strategi Kementerian Kesehatan……………………………… 8
Gambar 3.1 Peta Realisasi Per Propinsi Indikator Persentase Kabupaten/Kota
yang Memenuhi Kualitas Kesehatan Lingkungan Tahun 2018............ 40
Gambar 3.2 Skrining TB di Pondok Pesantren Darussalam Perempuan Gontor… 48
Gambar 3.3 High Level Meeting on Tuberculosis……………………………………. 49
Gambar 3.4 Peta Prevalensi HIV di Indonesia Tahun 2019…………………..…… 52
Gambar 3.5 Media KIE HIV AIDS…………………………………………………… 54
Gambar 3.6 Penerimaan Rekor MURI untuk Pembentukan Pita Merah
Terbanyak pada Peringatan Hari Aids Sedunia (HAS) 2019.................. 55
Gambar 3.7 Pertemuan Penyusunan Rencana Aksi Malaria Tahun 2020-2024…… 64
Gambar 3.8 Peta Eliminasi Kusta Tingkat Provinsi di Indonesia Tahun 2017 – 2019 68
Gambar 3.9 Intensifikasi Penemuan Kasus Kusta dan Frambusia di Kabupaten
Paniai, Provinsi Papua…………………………………………………. 71
Gambar 3.10 Pemberian Serifikat Eliminasi Filariasis oleh Menteri Kesehatan RI..... 76
Gambar 3.11 Pemberian penghargaan Gubernur/Bupati/ Walikota dalam acara 92
HTTS……………………………………………………………………
Gambar 3.12 Peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia…………………………… 96
Gambar 3.13 Rapat Kerja Komisi Akreditasi FKTP Tahun 2019………………………………… 106
Gambar 3.14 Pelatihan Calon Surveior Akreditasi FKTP Angkatan I dan II Tahun
2019……………………………………………………………………………………………………. 107
Gambar 3.15 Pelatihan Pelatih Pendamping Akreditasi Klinik Tahun 2019……………. 107
Gambar 3.16 Lokakarya Standar dan Instrumen Akreditasi Edisi I Kepada Surveior 108
Angkatan I s.d IV Tahun 2019……………………………………………………………….
Gambar 3.17 Lokakarya Standar dan Instrumen Akreditasi Edisi I Kepada Pelatih 108
Pendamping Tahun 2019……………………………………………………………………
Gambar 3.18 Pertemuan Teknis Percepatan Upaya Peningkatan Mutu dan
Akreditasi di Puskesmas dan Klinik Bagi Dinas Kesehatan Tahun 2019… 109
Gambar 3.19 Pertemuan Pembahasan Implementasi Pembinaan Terpadu
Oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota……………………………………………… 109
Gambar 3.20 Kegiatan Penyusunan Indikator Mutu Pelayanan Kesehatan di FKTP 110
Tahun 2019………………………………………………………………………………………
Gambar 3.21 Kegiatan Uji Coba Indikator Mutu Pelayanan Kesehatan di FKTP Tahun 110
2019…………………………………………………………………………………………………..
Gambar 3.22 Bimtek Pelaksanaan Mutu dan Akreditasi di Daerah Prioritas Tahun 111
2019……………………………………………………………………………………………………
Gambar 3.23 Kegiatan Koordinasi Percepatan Akreditasi Klinik Tahun 2019………… 111
Gambar 3.24 Kegiatan Bimtek Pelaksanaan Mutu dan Akreditasi Klinik di Provinsi
Terpilih Tahun 2019…………………………………………………………………………….. 112
Gambar 3.25 Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan………………………… 114
Gambar 3.26 Pakta Integritas Surveior Akreditasi FKTP……………………………………………. 115
Gambar 3.27 Pendampingan Akreditasi RSUP dr. M. Hoesin oleh Tim RSUPN dr.
Cipto Mangunkusumo………………………………………………… 122
Gambar 3.28 Workshop Pembimbing Teknis Mutu dan Akreditasi di RS Prioritas
yang diikuti perwakilan RS terakreditasi paripurna………………….. 122

ix
Gambar 3.29 Peserta Lokakarya Percepatan Akreditasi RS foto bersama Dirjen
Yankes………………………………………………………………… 123
Gambar 3.30 Peserta Lokakarya Implementasi Akreditasi RS untuk Regional
Tengah foto bersama Direktur Mutu dan Akreditasi Yankes………... 123
Gambar 3.31 Peserta Lokakarya Penyusunan Rencana Aksi Implementasi
Kebijakan dan Strategi Mutu Nasional di Wilayah Tengah foto
bersama Direktur Mutu dan Akreditasi Yankes……………………… 124
Gambar 3.32 Pendampingan evaluasi RSUD Undata Palu………………………….. 124
Gambar 3.33 Rapat koordinasi Direktorat Mutu dan Akreditasi Yankes dengan
stake holder dalam upaya percepatan akreditasi RS…………………. 125
Gambar 3.34 Kegiatan Penyusunan Regulasi di Bidang Mutu Pelayanan Rumah
Sakit……………………………………………………………………. 126
Gambar 3.35 Kegiatan Revisi Permenkes 11/2017 tentang Keselamatan Pasien….. 126
Gambar 3.36 Penyempurnaan Pedoman Penyelenggara Mutu di Rumah Sakit….. 127
Gambar 3.37 Penyusunan Pedoman Pemantauan dan Evaluasi Mutu Pelayanan
RS…………………………………………………………………….. 127
Gambar 3.38 Kunjungan ke Instalasi Perinatologi dalam rangka Monev POCQI
Pelayanan Maternal dan Neonatal di RSUD Manokwari…………….. 128
Gambar 3.39 Supporting Aplikasi Sistem Informasi Sumber Daya Manusia
Kesehatan (SI SDMK) ……………………………………………...… 152
Gambar 3.40 Pembekalan Nusantara Sehat…………………………………………………………….. 157
Gambar 3.41 Pelatihan Nusantara Sehat Individu …………………………………………………… 158
Gambar 3.42 Tampilan salah Satu Laporan Capaian SPM Kabupaten/Kota
pada Aplikasi Komunikasi Data............................................................. 179
Gambar 3.43 Penandatanganan MoU RI - RDTL Di Jenewa, Swiss Pada tanggal 24
Mei 2017………………………………………..................................... 188
Gambar 3.44 2nd Joint Working Group on Health Cooperation (JWG) RI-KAS Di
Riyadh, Arab Saudi Pada tanggal 4 Maret 2019………………………. 189
Gambar 3.45 Penandatanganan PoA RI – Iran Di Jenewa, Swiss Pada tanggal 21
Mei 2019……………………………………………………………… 191
Gambar 3.46 Penandatanganan Minutes of Meeting JWG RI –Iran Di Iran Pada
tanggal 14 September 2019.................................................................. 192
Gambar 3.47 Pertemuan ASEAN Migrant Health Di Surabaya Pada tanggal 10-12
September 2019……………………………......................................... 194
Gambar 3.48 The 44th Meeting of the Programme Coordinating Board (PCB)
UNAIDS Di Jenewa, Swiss pada tanggal 25-27 Juni 2019….………… 195
Gambar 3.49 The 6th Lead Country Coordinators’ Group (LCCG) OKI Di Abu Dhabi,
Persatuan Emirat Arab Pada tanggal 7 Oktober 2019………………. 196
Gambar 3.50 Kegiatan Rifaskes Tahun 2019…...…………………………………… 204
Gambar 3.51 Tampilan Muka Aplikasi Komunikasi Data ………………………….. 232
Gambar 3.52 Tampilan Absensi Keterisian Data/Variabel Bulanan pada Aplikasi
Komunikasi Data …………..………………………………………… 233
Gambar 3.53 Tampilan Laporan Data Bulanan pada Aplikasi Komunikasi Data..… 233
Gambar 3.54 Tampilan Muka Aplikasi SIKDAGenerik Akses Puskesmas…………. 236
Gambar 3.55 Tampilan Muka Aplikasi SIKDA Generik Akses Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota ……………………………………………………… 236
Gambar 3.56 Pojok Informasi Keluarga Sehat pada Website Kementerian

x
Kesehatan……………………………………………………………… 239
Gambar 3.57 Website Informasi Program Keluarga Sehat dengan Pendekatan
Keluarga……………………………………………………………… 240
Gambar 3.58 Registrasi PDLN Secara Online………………………………………... 244
Gambar 3.59 Pertemuan Bilateral RI-PNG Di Jayapura Pada tanggal 19 Maret 2019. 245
Gambar 3.60 Pertemuan Youth Town Hall tingkat Regional WHO SEAR Di Jakarta
Pada tanggal 20 Maret 2019………………………………………….. 246
Gambar 3.61 Pembukaan Pertemuan Youth Town Hall tingkat Nasional Di Jakarta
Pada tanggal 21 Maret 2019………………………………………… 247
Gambar 3.62 Kunjungan National Ambulance ke Jakarta Di Jakarta Pada tanggal
22 – 24 April 2019……………………………………………………… 248
Gambar 3.63 Contoh Infografis Kejadian Bencana tahun 2019……………………. 251
Gambar 3.64 The 1st Technofarmalkes 2019: Indonesian Health Tech Innovation….. 252
Gambar 3.65 Sertifikat ISO 9001-2015 Perpustakaan Kementerian Kesehatan……. 253
Gambar 3.66 Pelayanan Informasi Publik……………….………………………….. 254
Gambar 3.67 Ruang Informasi Publik……………….…………………………….. 255
Gambar 3.68 Ruang Unit Layanan Terpadu (ULT) …….............................................. 256
Gambar 3.69 Implementasi Telemedicine di Puskesmas dan Rumah Sakit............... 258
Gambar 3.70 Indonesia Islamic Center (IIC) Kabul – Afghanistan………………… 259
Gambar 3.71 KKHI Madinah………………………………………………………… 259
Gambar 3.72 Tautan untuk mengunduh aplikasi Sehatpedia………………………. 261
Gambar 3.73 e-Fornas………………………………………………………………. 265
Gambar 3.74 e-Post Border Alkes dan PKRT………………………………………… 265
Gambar 3.75 Pendampingan Akreditasi RSUP dr. M. Hoesin oleh Tim RSUPN dr. 266
Cipto Mangunkusumo…………………………………………………………………………
Gambar 3.76 Penyelenggaraan Lomba FKTP Berprestasi Tahun 2019……………………… 268
Gambar 3.77 Penghargaan Gold Winner Mediakom edisi 94………………….…… 268
Gambar 3.78 Penghargaan Silver Winner Mediakom edisi 100.................................. 269
Gambar 3.79 Penghargaan Penghargaan Holmes Lecture......................................... 269
Gambar 3.80 Penghargaan Silver Campaign Category Public Relation...................... 270
Gambar 3.81 Penghargaan Kategori Terpopuler di Media .…………....................... 270
Gambar 3.82 Penghargaan Silver Winner Kategori E Magazine Kementerian
Mediakom Edisi 92 Maret 2018……...................................................... 271
Gambar 3.83 Penghargaan Silver Winner Kategori Media Cetak Kementerian
Mediakom Edisi 95 Juli 2018……………………..………………......... 271
Gambar 3.84 Penghargaan Silver Winner Kategori Media Cetak Kementerian
Mediakom Edisi 100 November 2018……………………..................... 272
Gambar 3.85 Penghargaan Silver Winner Kategori Media Sosial Kementerian........ 272
Gambar 3.86 Penghargaan dari Yayasan Kanker Anak Indonesia.............................. 273
Gambar 3.87 Penghargaan dari INASGOV.................................................................. 273
Gambar 3.88 Penghargaan dari Direktur Health Edukasi........................................... 274
Gambar 3.89 Penghargaan Divisi Kesehatan Muasasah di Mekkah........................... 274
Gambar 3.90 Penghargaan dari Direktur Pelayanan Kesehatan Haji Mekkah........... 275
Gambar 3.91 Penghargaan Kementerian Kesehatan Mekkah…................................ 275
Gambar 3.92 Penghargaan Halokemenkes 1500567………....................................... 276
Gambar 3.93 Penghargaan Widyaiswara Ahli Utama Kehormatan ........................... 276
Gambar 3.94 Penghargaan Opini WTP …………….……………............................... 277

xi
Gambar 3.95 Penghargaan dari Kementerian ESDM.................................................. 277
Gambar 3.96 Penghargaan ASIAN GAMES dan ASIAN PARA GAMES …….………. 278
Gambar 3.97 Penghargaan dari Komisi Informasi Pusat …………………………… 278
Gambar 3.98 Penghargaan dari It Works……………………………………………. 279
Gambar 3.99 Penghargaan dari It Works…………………………………………… 279
Gambar 3.100 Penghargaan Halokemenkes 1500567……………………………… 280
Gambar 3.101 Penghargaan dari Kementerian PAN dan RB…………………………. 280
Gambar 3.102 Penghargaan dari Kementerian PAN dan RB…………………………. 281
Gambar 3.103 Penghargaan dari Kementerian PAN dan RB…………………………. 281
Gambar 3.104 Penghargaan Inspektorat Jenderal…………………………………… 282
Gambar3.105 Penghargaan Indeks Integritas……………………………………… 282

xii
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kementerian Kesehatan dibentuk dalam rangka membantu Presiden Republik Indonesia


dalam menyelenggarakan pemerintahan Negara di bidang kesehatan. Dalam Peraturan
Presiden Nomor 35 tahun 2015 tentang Kementerian Kesehatan dinyatakan bahwa
tugas kepada Kementerian Kesehatan adalah menyelenggarakan urusan pemerintahan
bidang kesehatan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan
negara. Dalam pelaksanaan tugas tersebut, sebagai bagian dari pemerintahan Republik
Indonesia, Kementerian Kesehatan dituntut untuk menyelenggarakannya sesuai prinsip-
prinsip good governance. Sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, salah
satu azas penyelenggaraan good governance adalah azas akuntabilitas. Azas ini
bermakna bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari penyelenggara negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah
satu wujud akuntabilitas tersebut adalah melalui penyusunan Laporan Kinerja.

Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibidang kesehatan di tengah tantangan


pembangunan kesehatan yang semakin kompleks, tantangan tersebut diantaranya
semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat pada pelayanan kesehatan yang
bermutu, beban ganda penyakit (disatu sisi, angka kesakitan penyakit infeksi masih
tinggi namun di sisi lain penyakit tidak menular mengalami peningkatan yang cukup
bermakna), disparitas status kesehatan antar wilayah cukup besar, terutama di wilayah
timur (daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan/DTPK), peningkatan kebutuhan
distribusi obat yang bermutu dan terjangkau, jumlah SDM Kesehatan kurang disertai
kebutuhan yang tidak merata, adanya potensi masalah kesehatan akibat bencana dan
perubahan iklim, serta integrasi pembangunan infrastruktur kesehatan yang melibatkan
lintas sektor di lingkungan pemerintah, Pusat-Daerah dan Swasta.

Laporan kinerja ini disusun sebagai bentuk pertanggungjawaban Kementerian


Kesehatan atas pelaksanaan tugas dan fungsi selama Tahun 2019 Di samping
merupakan pelaksanaan amanat peraturan perundang-undangan terkait, yakni
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja
Instansi Pemerintah, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2014
tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, serta Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negera dan Reformasi Birokrasi Nomor 53 Tahun 2014
tentang Petunjuk Teknis Perjanjian Kinerja, Pelaporan Kinerja, dan Tata Cara Reviu atas
Laporan Kinerja Pemerintah. Laporan Kinerja ini juga sekaligus menjadi alat atau bahan
evaluasi guna peningkatan kinerja Kementerian Kesehatan di masa depan.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 1


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

B. Tugas, Fungsi, dan Struktur Organisasi

Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tugas Kementerian


Kesehatan adalah menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan dalam pemerintahan
untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam
melaksanakan tugas tersebut, Kementerian Kesehatan mempunyai fungsi: 1)
perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang kesehatan masyarakat,
pencegahan dan pengendalian penyakit, pelayanan kesehatan, dan kefarmasian dan
alat kesehatan; 2) koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan
administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Kesehatan; 3)
pengelolaan barang milik negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan;
4) pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang kesehatan; 5) pelaksanaan
pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia di bidang kesehatan serta
pengelolaan tenaga kesehatan; 6) pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas
pelaksanaan urusan Kementerian Kesehatan di daerah; 7) pengawasan atas
pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Kesehatan; dan 8) pelaksanaan dukungan
substantif kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Kesehatan.

Dalam melaksanakan tugas dan fungsi tersebut, Menteri Kesehatan dibantu oleh 8 unit
eselon I, 4 Staf Ahli, dan 5 Pusat. Selain itu, Menteri Kesehatan juga mengelola
dukungan administrasi pada Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang dijalankan oleh
Sekretariat KKI. Bagan struktur organisasi Kementerian Kesehatan dapat dilihat pada
gambar berikut:

Gambar 1.1
Bagan Struktur Organisasi Kementerian Kesehatan

Struktur organisasi Kementerian Kesehatan sebagaimana tergambarkan di atas


didukung oleh sumber daya manusia sebanyak 49.274 orang pegawai yang memiliki

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

kompetensi di bidang kesehatan maupun bidang lain yang diperlukan seperti ekonomi,
manajemen, keuangan, hukum, dan sebagainya. Pegawai tersebut ditempatkan di
seluruh unit eselon I baik di kantor pusat maupun daerah. Selanjutnya pegawai
Kementerian Kesehatan tersebar ke dalam Unit Eselon I sebagai berikut: 1) Sekretariat
Jenderal sebanyak 1.008 orang; 2) Inspektorat Jenderal sebanyak 279 orang; 3) Ditjen
Pelayanan Kesehatan sebanyak 32.168 orang; 4) Ditjen Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit sebanyak 4.343 orang; 5) Ditjen Kesehatan Masyarakat sebanyak 518 orang; 6)
Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan sebanyak 236 orang; 7) Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan sebanyak 1.252 orang; dan 8) Badan PPSDM Kesehatan
sebanyak 9.470 orang.

C. Isu Strategis

Dalam pelaksanaan rencana kerja Kementerian Kesehatan, terdapat beberapa isu


strategis atau permasalahan yang perlu mendapat perhatian, yaitu:
Perkembangan Penduduk. Pertumbuhan penduduk Indonesia ditandai dengan adanya
window opportunity di mana rasio ketergantungannya positif, yaitu jumlah penduduk
usia produktif lebih banyak dari pada yang usia non-produktif, yang puncaknya terjadi
sekitar tahun 2030. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2017 adalah 261.890.900
orang. Dengan laju pertumbuhan sebesar 1,19% pertahun, maka jumlah penduduk pada
tahun 2019 diperkirakan naik menjadi 268.074.600 orang.

Jumlah wanita usia subur akan meningkat dari tahun 2015 yang diperkirakan sebanyak
68,1 juta menjadi 71,2 juta pada tahun 2019. Dari jumlah tersebut, diperkirakan ada 5
juta ibu hamil setiap tahun. Angka ini merupakan estimasi jumlah persalinan dan jumlah
bayi lahir, yang juga menjadi petunjuk beban pelayanan ANC, persalinan, dan
neonatus/bayi. Penduduk usia kerja yang meningkat dari 120,3 juta pada tahun 2015
menjadi 127,3 juta pada tahun 2019. Penduduk berusia di atas 60 tahun meningkat,
yang pada tahun 2015 sebesar 21.6 juta naik menjadi 25,9 juta pada tahun 2019.
Jumlah lansia di Indonesia saat ini lebih besar dibanding penduduk benua Australia
yakni sekitar 19 juta. Implikasi kenaikan penduduk lansia ini terhadap sistem kesehatan
adalah (1) meningkatnya kebutuhan pelayanan sekunder dan tersier, (2) meningkatnya
kebutuhan pelayanan home care dan (3) meningkatnya biaya kesehatan. Konsekuensi
logisnya adalah pemerintah harus juga menyediakan fasilitas yang ramah lansia dan
menyediakan fasilitas untuk kaum disable mengingat tingginya proporsi disabilitas pada
kelompok umur ini.

Masalah penduduk miskin yang sulit berkurang akan masih menjadi masalah penting.
Secara kuantitas jumlah penduduk miskin bertambah, dan ini menyebabkan
permasalahan biaya yang harus ditanggung pemerintah bagi mereka. Tahun 2014
pemerintah harus memberikan uang premium jaminan kesehatan sebanyak 86,4 juta
orang miskin dan mendekati miskin. Data BPS menunjukkan bahwa ternyata selama
tahun 2013 telah terjadi kenaikan indeks kedalaman kemiskinan dari 1,75% menjadi
1,89% dan indeks keparahan kemiskinan dari 0,43% menjadi 0,48%. Hal ini berarti
tingkat kemiskinan penduduk Indonesia semakin parah, sebab semakin menjauhi garis

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 3


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

kemiskinan, dan ketimpangan pengeluaran penduduk antara yang miskin dan yang tidak
miskin pun semakin melebar.

Tingkat pendidikan penduduk merupakan salah satu indikator yang menentukan Indeks
Pembangunan Manusia. Di samping kesehatan, pendidikan memegang porsi yang besar
bagi terwujudnya kualitas SDM Indonesia. Namun demikian, walaupun rata-rata lama
sekolah dari tahun ke tahun semakin meningkat, tetapi angka ini belum memenuhi
tujuan program wajib belajar 9 tahun. Menurut perhitungan Susenas Triwulan I tahun
2013, rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas di Indonesia adalah 8,14
tahun. Keadaan tersebut erat kaitannya dengan Angka Partisipasi Sekolah (APS), yakni
persentase jumlah murid sekolah di berbagai jenjang pendidikan terhadap penduduk
kelompok usia sekolah yang sesuai.

Disparitas Status Kesehatan. Meskipun secara nasional kualitas kesehatan masyarakat


telah meningkat, akan tetapi disparitas status kesehatan antar tingkat sosial ekonomi,
antar kawasan, dan antar perkotaan-pedesaan masih cukup tinggi. Angka kematian bayi
dan angka kematian balita pada golongan termiskin hampir empat kali lebih tinggi dari
golongan terkaya. Selain itu, angka kematian bayi dan angka kematian ibu melahirkan
lebih tinggi di daerah pedesaan, di kawasan timur Indonesia, serta pada penduduk
dengan tingkat pendidikan rendah. Persentase anak balita yang berstatus gizi kurang
dan buruk di daerah pedesaan lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan.

Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) adalah suatu tindakan yang sistematis dan
terencana yang dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh komponen bangsa dengan
kesadaran, kemauan dan kemampuan berperilaku sehat untuk meningkatkan kualitas
hidup. Germas ini dilaksanakan melalui tatanan terendah di masyarakat yaitu keluarga
melalui pendekatan keluarga. Tujuan dari Gerakan Masyarakat Hidup Sehat adalah
perubahan perilaku masyarakat menuju hidup sehat, sehingga pada akhirnya akan
berdampak pada kesehatan. Dengan kondisi sehat, produktivitas masyarakat
meningkat. Perilaku hidup sehat ditunjukkan dengan menciptakan lingkungan yang
bersih. Dengan berperilaku hidup sehat, biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk
berobat berkurang. Seluruh lapisan masyarakat harus terlibat dalam Germas termasuk
akademisi (universitas), dunia usaha (Swasta), organisasi masyarakat (Karang Taruna,
PKK, dsb), organisasi profesi sehingga dapat menggerakkan institusi dan organisasi
masing-masing untuk berperilaku sehat. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah
menyiapkan sarana dan prasarana seperti : kurikulum pendidikan, Usaha Kesehatan
Sekolah (UKS), fasilitas olah raga, sayur dan buah, ikan, fasilitas kesehatan, transportasi,
Kawasan Tanpa Rokok (KTR), taman untuk beraktivitas warga, dukungan iklan layanan
masyarakat, car free day, air bersih, uji emisi kendaraan bermotor, keamanan pangan,
pengawasan terhadap iklan yang berdampak buruk terhadap kesehatan (rokok,
makanan tinggi gula, garam, lemak) dsb, menjadi tugas bersama pemerintah dan
masyarakat untuk memantau dan mengevaluasi pelaksanaannya.

Disparitas Status Kesehatan Antar Wilayah. Beberapa data kesenjangan bidang


kesehatan dapat dilihat pada hasil Riskesdas 2013. Proporsi bayi lahir pendek, terendah
di Provinsi Bali (9,6%) dan tertinggi di Provinsi NTT (28,7%) atau tiga kali lipat

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 4


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

dibandingkan yang terendah. Kesenjangan yang cukup memprihatinkan terlihat pada


bentuk partisipasi masyarakat di bidang kesehatan, antara lain adalah keteraturan
penimbangan balita (penimbangan balita >4 kali ditimbang dalam 6 bulan terakhir).
Keteraturan penimbangan balita terendah di Provinsi Sumatera Utara (hanya 12,5%)
dan tertinggi 6 kali lipat di Provinsi DI Yogyakarta (79,0%). Ini menunjukkan kesenjangan
aktivitas Posyandu antar provinsi yang lebar. Dibandingkan tahun 2007, kesenjangan ini
lebih lebar, ini berarti selain aktivitas Posyandu makin menurun, variasi antar provinsi
juga semakin lebar.

Diberlakukannya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Menurut peta jalan menuju
Jaminan Kesehatan Nasional ditargetkan pada tahun 2019 semua penduduk Indonesia
telah tercakup dalam JKN (Universal Health Coverage - UHC). Diberlakukannya JKN ini
jelas menuntut dilakukannya peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan, baik
pada fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun fasilitas kesehatan tingkat lanjutan,
serta perbaikan sistem rujukan pelayanan kesehatan. Untuk mengendalikan beban
anggaran negara yang diperlukan dalam JKN memerlukan dukungan dari upaya
kesehatan masyarakat yang bersifat promotif dan preventif agar masyarakat tetap
sehat dan tidak mudah jatuh sakit. Perkembangan kepesertaan JKN ternyata cukup
baik.

Kesetaraan Gender. Kualitas SDM perempuan harus tetap perlu ditingkatkan, terutama
dalam hal: (1) perempuan akan menjadi mitra kerja aktif bagi laki-laki dalam mengatasi
masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik; dan (2) perempuan turut mempengaruhi
kualitas generasi penerus karena fungsi reproduksi perempuan berperan dalam
mengembangkan SDM di masa mendatang. Indeks Peningkatan IPG pada hakikatnya
disebabkan oleh peningkatan dari beberapa indikator komponen IPG, yaitu kesehatan,
pendidikan, dan kelayakan hidup.

Berlakunya Undang-Undang Tentang Desa. Pada bulan Januari 2014 telah disahkan UU
Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Sejak itu, maka setiap desa dari 77.548 desa yang
ada, akan mendapat dana alokasi yang cukup besar setiap tahun. Dengan simulasi APBN
2015 misalnya, ke desa akan mengalir rata-rata Rp 1 Miliar. Kucuran dana sebesar ini
akan sangat besar artinya bagi pemberdayaan masyarakat desa. Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat (PHBS) dan pengembangan Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat
(UKBM) akan lebih mungkin diupayakan di tingkat rumah tangga di desa, karena cukup
tersedianya sarana-sarana yang menjadi faktor pemungkinnya (enabling factors).

Menguatnya Peran Provinsi. Dengan diberlakukannya UU Nomor 23 tahun 2014


sebagai pengganti UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Provinsi
selain berstatus sebagai daerah juga merupakan wilayah administratif yang menjadi
wilayah kerja bagi gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Standar Pelayanan
Minimal (SPM) bidang Kesehatan yang telah diatur oleh Menteri Kesehatan, maka UU
Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang baru ini telah memberikan
peran yang cukup kuat bagi provinsi untuk mengendalikan daerah-daerah kabupaten
dan kota di wilayahnya. Pengawasan pelaksanaan SPM bidang Kesehatan dapat
diserahkan sepenuhnya kepada provinsi oleh Kementerian Kesehatan, karena provinsi

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 5


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

telah diberi kewenangan untuk memberikan sanksi bagi Kabupaten/Kota berkaitan


dengan pelaksanaan SPM.

Berlakunya Peraturan Tentang Sistem Informasi Kesehatan. Pada tahun 2014 juga
diberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 tentang Sistem Informasi Kesehatan
(SIK). PP ini dimaksudkan untuk memperkuat tata kelola data dan informasi dalam
sistem informasi kesehatan terintegras, PP ini salah satunya mensyaratkan agar data
kesehatan terbuka untuk diakses oleh unit kerja instansi Pemerintah dan Pemerintah
Daerah yang mengelola SIK sesuai dengan kewenangan masing-masing.

Dilaksanakannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)


Pemberlakukan ASEAN Community yang mencakup total populasi lebih dari 560 juta
jiwa, akan memberikan peluang (akses pasar) sekaligus tantangan tersendiri bagi
Indonesia. Implementasi ASEAN Economic Community, yang mencakup liberalisasi
perdagangan barang dan jasa serta investasi sektor kesehatan. Perlu dilakukan upaya
meningkatkan daya saing (competitiveness) dari fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan
dalam negeri. Pembenahan fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan yang ada, baik dari
segi sumber daya manusia, peralatan, sarana dan prasarananya, maupun dari segi
manajemennya perlu digalakkan. Akreditasi fasilitas pelayanan kesehatan (Rumah Sakit,
Puskesmas, dan lain-lain) harus dilakukan secara serius, terencana, dan dalam tempo
yang tidak terlalu lama.
Hal ini berkaitan dengan perjanjian pengakuan bersama (Mutual Recognition
Agreement - MRA) tentang jenis-jenis profesi yang menjadi cakupan dari mobilitas.
Dalam MRA tersebut, selain insinyur, akuntan, dan lain-lain, juga tercakup tenaga
medis/dokter, dokter gigi, dan perawat. Tidak tertutup kemungkinan di masa
mendatang, akan dicakupi pula jenis-jenis tenaga kesehatan lain.
Betapa pun, daya saing tenaga kesehatan dalam negeri juga harus ditingkatkan.
Institusi-institusi pendidikan tenaga kesehatan harus ditingkatkan kualitasnya melalui
pembenahan dan akreditasi.

D. Sistematika Laporan Kinerja

1. Bab I Pendahuluan
Pada bab ini disajikan penjelasan umum organisasi, dengan penekanan kepada aspek
strategis organisasi serta permasalahan utama (strategic issue) yang sedang dihadapi
organisasi.

2. Bab II Perencanaan Kinerja


Bab ini menguraikan ringkasan/ikhtisar perjanjian kinerja Kementerian Kesehatan
Tahun 2019.

3. Bab III Akuntabilitas Kinerja


a. Capaian Kinerja Organisasi
Sub bab ini menyajikan capaian kinerja organisasi untuk setiap pernyataan kinerja
sasaran strategis organisasi sesuai dengan hasil pengukuran kinerja organisasi.
b. Realisasi Anggaran

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 6


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Sub bab ini menguraikan tentang realisasi anggaran yang digunakan dan telah
digunakan untuk mewujudkan kinerja organisasi sesuai dengan dokumen
Perjanjian Kinerja.

4. Bab IV Penutup
Bab ini menguraikan simpulan umum atas capaian kinerja organisasi serta langkah di
masa mendatang yang akan dilakukan organisasi untuk meningkatkan kinerjanya.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 7


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

BAB II
PERENCANAAN KINERJA

A. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019

Kementerian Kesehatan telah menetapkan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan


Tahun 2015-2019, dan dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64
Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan pada tanggal 29
September 2015, berdampak pada terjadinya perubahan nomenklatur dan atau
perubahan posisi sejumlah unit kerja

Sebagai langkah penyesuaian, Kementerian Kesehatan telah melakukan perubahan atau


revisi dokumen Renstra Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019 guna menyesuaikan
dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tersebut. Perubahan yang
dilakukan tidak bersifat fundamental dan berskala makro namun lebih pada penyesuaian
nomenklatur dan kedudukan indikator-indikator kinerja dalam Renstra agar lebih selaras
dengan struktur organisasi yang baru.

Dengan tetap memperhatikan visi dan misi Presiden, Kementerian Kesehatan kemudian
menetapkan dua tujuan Kementerian Kesehatan pada Tahun 2015-2019, yaitu: 1)
Meningkatnya status kesehatan masyarakat; dan 2) Meningkatnya daya
tanggap (responsiveness) dan perlindungan masyarakat terhadap risiko sosial dan
finansial di bidang kesehatan. Kedua tujuan indikator Kementerian Kesehatan bersifat
dampak (impact atau outcome).

Dalam rangka mencapai tujuan Kementerian Kesehatan, telah ditetapkan strategi


Kementerian Kesehatan seperti dalam gambar berikut:

Gambar 2.1
Peta Strategi Kementerian Kesehatan

PETA STRATEGI KEMENTERIAN KESEHATAN 2015-2019


T2. MENINGKATNYA RESPONSIVENESS &
T1. MENINGKATNYA STATUS KESEHATAN VISI PERLINDUNGAN MASYARAKAT THD
MASYARAKAT PRESIDEN RISIKO SOSIAL & FINANSIAL DI BIDANG
KESEHATAN

ARAH SASARAN STRATEGIS KERANGKA


KEBIJAKAN REGULASI:
& STRATEGI 8 9 10
NASIONAL Meningkatnya Meningkatnya Meningkatnya • Percepatan
PROGRAM GENERIK & TEKNIS KEMENTERIAN

Kesehatan Pengendalian Akses & Mutu Regulasi


(RPJMN 2015-
Masyarakat Penyakit Fasyankes • Penyempur-
2019) naan Sistem
JKN
11 12
ARAH Meningkatnya Jumlah, Jenis, Meningkatnya Kemandirian,
KEBIJAKAN Kualitas, dan Pemerataan Akses & Mutu Sediaan Farmasi KERANGKA
KEMENKES: Tenaga Kesehatan (Obat, Vaksin, Biosimilar) & Alkes PENDANAAN
• Peningkatan
•Penguatan
Pendanaan
primary 5 Preventif &
health care
4 Meningkatnya Dayaguna 7
Meningkatnya Kemitraan (DN & LN) Promotif
(UKP dan Meningkatnya • Peningkatan
Sinergitas Antar
UKM) 6 Efektivitas Efektivitas
K/L Pusat & Meningkatnya Integrasi
Litbangkes Pembiayaan
•Continum of Daerah Perencanaan, Bimtek &
care thru life Monev Kesehatan
cycle KERANGKA
KERANGKA
•Intervensi 1 2 3 KELEMBAGAAN
KELEMBAGA
Meningkatnya Meningkatnya
berbasis Meningkatnya AN:
tata kelola Kompetensi &
health risk Sistem Informasi Peningkatan
kepemerintahan yang Kinerja Aparatur
Kes. Terintegrasi Efektivitas
baik dan bersih Kemenkes
Organisasi

LINGKUNGAN STRATEGIS: GLOBAL, REGIONAL, NASIONAL

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 8


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Strategi Kementerian Kesehatan disusun sebagai jalinan strategi dan tahapan-tahapan


pencapaian tujuan Kementerian Kesehatan baik yang tertuang dalam Tujuan Satu (T1)
maupun Tujuan Dua (T2). Kedua tujuan tersebut diarahkan dalam rangka pencapaian visi
dan misi Presiden.

Guna mencapai kedua tujuan tersebut, ditetapkanlah 12 Sasaran Strategis Kementerian


Kesehatan yang harus diwujudkan sebagai arah dan prioritas strategis dalam lima tahun
mendatang. Kedua belas Sasaran Strategis tersebut membentuk suatu hipotesis jalinan
sebab-akibat untuk mewujudkan tercapainya T1 dan T2.

Dua belas Sasaran Strategis Kementerian Kesehatan dikelompokkan menjadi tiga bagian,
yaitu: 1) Kelompok Sasaran Strategis pada aspek input (organisasi, sumber daya
manusia, dan manajemen); 2) Kelompok Sasaran Strategis pada aspek penguatan
kelembagaan; dan 3) Kelompok Sasaran Strategis pada aspek upaya strategic.

A. Kelompok Sasaran Strategis (SS) pada aspek input adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan Tata Kelola Kepemerintahan yang Baik dan Bersih
Strategi untuk meningkatkan tata kelola pemerintah yang baik dan bersih
meliputi:
a. Mendorong pengelolaan keuangan yang efektif, efisien, ekonomis dan
ketaatan pada peraturan perundang-undangan.
b. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dengan memperhatikan rasa
keadilan dan kepatutan.
c. Mewujudkan pengawasan yang bermutu untuk menghasilkan Laporan Hasil
Pengawasan (LHP) sesuai dengan kebutuhan pemangku kepentingan.
d. Mewujudkan tata kelola manajemen Inspektorat Jenderal yang transparan
dan akuntabel.

2. Meningkatkan Kompetensi dan Kinerja Aparatur Kementerian Kesehatan


Strategi ini akan dilakukan melalui berbagai upaya, antara lain:
a. Menyusun standar kompetensi jabatan Pimpinan Tinggi, Administrator,
Pengawas, dan Jabatan Fungsional
b. Mengembangkan sistem kaderisasi secara terbuka di internal Kementerian
Kesehatan, misalnya dengan lelang jabatan untuk Jabatan Pimpinan Tinggi.
c. Menyusun bezeeting kebutuhan SDM Aparatur Kesehatan yang sesuai
jabatan.

3. Meningkatkan Sistem Informasi Kesehatan Terintegrasi


Strategi ini akan dilakukan melalui berbagai upaya antara lain:
a. Menata data transaksi di fasilitas pelayanan kesehatan
b. Mengoptimalkan aliran data dan mengembangkan bank data.
c. Mengembangkan “real time monitoring” untuk seluruh Indikator Kinerja
Program (IKP) dan Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) Kementerian Kesehatan.
d. Meningkatkan kemampuan SDM pengelola informasi di tingkat kab/kota dan
provinsi sehingga profil kesehatan bisa terbit setiap bulan April.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 9


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

B. Kelompok Sasaran Strategis (SS) pada aspek penguatan kelembagaan:


4. Meningkatkan Sinergitas Antar Kementerian/Lembaga
Strategi ini akan dilakukan melalui berbagai upaya antara lain:
a. Menyusun rencana aksi nasional program prioritas pembangunan kesehatan.
b. Membuat forum komunikasi untuk menjamin sinergi antar
Kementerian/Lembaga (K/L).
c. Meningkatkan advokasi dengan lintas sektor untuk melaksanakan SPM di
daerah.
d. Melakukan monitoring pelaksanaan SPM di daerah.

5. Meningkatkan Daya Guna Kemitraan (Dalam dan Luar Negeri)


Strategi ini akan dilakukan melalui berbagai upaya antara lain:
a. Menyusun roadmap kerjasama dalam dan luar negeri.
b. Membuat aturan kerja sama yang mengisi roadmap yang sudah disusun.
c. Membuat forum komunikasi antar stakeholders untuk mengetahui efektivitas
kemitraan baik dengan institusi dalam maupun luar negeri.

6. Meningkatkan Integrasi Perencanaan, Bimbingan Teknis dan Pemantauan


Evaluasi
Strategi ini akan dilakukan melalui berbagai upaya antara lain:
a. Penetapan fokus dan lokus pembangunan kesehatan.
b. Penyediaan kebijakan teknis integrasi perencanaan dan monitoring dan
evaluasi terpadu.
c. Peningkatan kompetensi perencana dan pengevaluasi Pusat dan Daerah.
d. Pendampingan perencanaan kesehatan di daerah.
e. Peningkatan kualitas dan pemanfaatan hasil monitoring dan evaluasi terpadu.

7. Meningkatkan Efektivitas Penelitian dan Pengembangan Kesehatan


Strategi ini akan dilakukan melalui berbagai upaya antara lain:
a. Memperluas kerjasama penelitian dalam lingkup nasional dan internasional
yang melibatkan Kementerian/Lembaga lain, perguruan tinggi dan
pemerintah daerah dengan perjanjian kerjasama yang saling menguntungkan
dan percepatan proses alih teknologi.
b. Menguatkan jejaring penelitian dan jejaring laboratorium dalam mendukung
upaya penelitian dan sistem pelayanan kesehatan nasional.
c. Aktif membangun aliansi mitra strategic dengan Kementerian/Lembaga Non
Kementerian, Pemda, dunia usaha dan akademisi.
d. Meningkatkan diseminasi dan advokasi pemanfaatan hasil penelitian dan
pengembangan untuk kebutuhan program dan kebijakan kesehatan.
e. Melaksanakan penelitian dan pengembangan mengacu pada Kebijakan
Kementerian Kesehatan dan Rencana Kebijakan Prioritas Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Tahun 2015-2019.
f. Pengembangan sarana, prasarana, sumber daya dan regulasi dalam
pelaksanaan penelitian dan pengembangan.

C. Kelompok Sasaran Strategis (SS) pada aspek upaya strategic

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 10


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

8. Meningkatkan Kesehatan Masyarakat


Strategi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat mencakup
pelayanan kesehatan bagi seluruh kelompok usia mengikuti siklus hidup sejak
dari bayi sampai anak, remaja, kelompok usia produktif, maternal, dan
kelompok usia lanjut (Lansia), yang dilakukan antara lain melalui:
a. Melaksanakan penyuluhan kesehatan, advokasi dan menggalang kemitraan
dengan berbagai pelaku pembangunan termasuk pemerintah daerah.
b. Melaksanakan pemberdayaan masyarakat dan meningkatkan peran serta
masyarakat dalam bidang kesehatan.
c. Meningkatkan jumlah dan kemampuan tenaga penyuluh kesehatan
masyarakat/dan tenaga kesehatan lainnya dalam hal promosi kesehatan.
d. Mengembangkan metode dan teknologi promosi kesehatan yang sejalan
dengan perubahan dinamis masyarakat.
e. Meningkatnya kesehatan lingkungan, strateginya adalah:
- Penyusunan regulasi daerah dalam bentuk peraturan Gubernur,
Walikota/Bupati yang dapat menggerakkan sektor lain di daerah untuk
berperan aktif dalam pelaksanaan kegiatan penyehatan lingkungan seperti
peningkatan ketersediaan sanitasi dan air minum layak serta tatanan
kawasan sehat.
- Meningkatkan pemanfaatan teknologi tepat guna sesuai dengan
kemampuan dan kondisi permasalahan kesehatan lingkungan di masing-
masing daerah.
- Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam wirausaha sanitasi.
- Penguatan POKJA Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) melalui
pertemuan jejaring AMPL, Pembagian peran SKPD dalam mendukung
peningkatan akses air minum dan sanitasi.
- Peningkatan peran Puskesmas dalam pencapaian kecamatan/kabupaten
Stop Buang Air Besar Sembarangan (SBS) minimal satu Puskesmas memiliki
satu Desa SBS.
- Meningkatkan peran daerah potensial yang melaksanakan strategi
adaptasi dampak kesehatan akibat perubahan iklim.

9. Meningkatkan Pengendalian Penyakit


1) Untuk mengendalikan penyakit menular maka strategi yang dilakukan
melalui:
a. Perluasan cakupan akses masyarakat (termasuk skrining cepat bila ada
dugaan potensi meningkatnya kejadian penyakit menular seperti Mass
Blood Survey untuk malaria) dalam memperoleh pelayanan kesehatan
terkait penyakit menular terutama di daerah-daerah yang berada di
perbatasan, kepulauan dan terpencil untuk menjamin upaya memutus
mata rantai penularan.
b. Untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan penanggulangan penyakit
menular dibutuhkan strategi innovative dengan memberikan otoritas
pada petugas kesehatan masyarakat (Public Health Officer), terutama
hak akses pengamatan faktor risiko dan penyakit dan penentuan langkah
penanggulangannya.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 11


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

c. Mendorong keterlibatan masyarakat dalam membantu upaya


pengendalian penyakit melalui community base surveillance berbasis
masyarakat untuk melakukan pengamatan terhadap hal-hal yang dapat
menyebabkan masalah kesehatan dan melaporkannya kepada petugas
kesehatan agar dapat dilakukan respon dini sehingga permasalahan
kesehatan tidak terjadi.
d. Meningkatkan kompetensi tenaga kesehatan dalam pengendalian
penyakit menular seperti tenaga epidemiologi, sanitasi dan laboratorium.
e. Peningkatan peran daerah khususnya kabupaten/kota yang menjadi
daerah pintu masuk negara dalam mendukung implementasi
pelaksanaan International Health Regulation (IHR) untuk upaya cegah
tangkal terhadap masuk dan keluarnya penyakit yang berpotensi
menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.
f. Menjamin ketersediaan obat dan vaksin serta alat diagnostik cepat untuk
pengendalian penyakit menular secara cepat.

2) Untuk pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular maka strategi


nasional pencegahan dan pengendalian PTM di Indonesia, terdiri dari 4 pilar,
yaitu:
a. Meningkatkan Advokasi dan Kemitraan dalam upaya meningkatnya
komitmen politik dan berfungsinya mekanisme koordinasi lintas
kementerian yang secara efektif dapat menjamin tersedianya sumber
daya yang cukup bagi pelaksanaan program secara berkesinambungan
b. Meningkatkan Promosi Kesehatan dan Penurunan Faktor Risiko dengan
menumbuhkan budaya perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) pada
komunitas melalui penerapan perilaku “CERDIK” yang merupakan
akronim dari “Cek kesehatan secara berkala, Enyahkan asap rokok,
Rajin aktifitas fisik, Diet sehat dengan kalori seimbang, Istirahat yang
cukup dan Kelola stres”, dan meningkatkan Upaya-upaya kesehatan
berbasis masyarakat seperti Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) PTM
untuk mengendalikan faktor-faktor risiko PTM
c. Menguatkan Sistem Pelayanan Kesehatan secara efektif dalam
pengendalian penyakit kronik melalui deteksi dini, diagnosa dini serta
pengobatan dini, termasuk penguatan tata-laksana faktor risiko
memperkuat penanganan kegawat-daruratan dan kasus-kasus yang perlu
dirujuk dengan sinkroisasi sesuai pola pelayanan Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN).
d. Menguatkan Surveilans, Monitoring dan Evaluasi serta Riset bidang PTM
dalam peningkatan ketersediaan data faktor risiko dan determinan lain
PTM, angka morbiditas dan mortalitas, serta penguatan sistem
monitoring untuk mengevaulasi kemajuan program dan kegiatan PPTM.
Riset kebijakan dan kesehatan masyarakat dalam bidang PTM amat
dibutuhkan untuk menilai bagaimana dampak dari berbagai kegiatan
yang dirancang, mulai dari advokasi, kemitraaan, promosi kesehatan dan
penguatan sistem layanan kesehatan primer terhadap berbagai indikator

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 12


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

antara sebelum mengukur outcome seperti penurunan prevalensi


merokok di kalangan penduduk usia 15-18 tahun
3) Untuk mendukung upaya pencegahan dan pengendalian penyakit menular
dan tidak menular juga dilakukan dukungan laboratorium dalam sistem
surveilans nasional dan pelaksanaan pengendalian penyakit melalui
pemeriksaan kesehatan terhadap orang, barang dan alat angkut di
Pelabuhan Bandara Lintas Batas

10. Meningkatkan Akses dan Mutu Fasilitas Pelayanan Kesehatan


Untuk meningkatkan akses dan mutu Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
(FKTP), maka upaya yang akan dilakukan adalah:
a. Mewujudkan ketepatan alokasi anggaran dalam rangka pemenuhan sarana
prasarana dan alat kesehatan yang sesuai standar.
b. Mewujudkan penjaminan akses dan mutu pelayanan FKTP melalui akreditasi
minimal satu Puskesmas di tiap kecamatan
c.Mewujudkan inovasi pelayanan, misalnya dengan flying health care (dengan
sasaran adalah provinsi yang memiliki daerah terpencil dan sangat terpencil
dan kabupaten/kota yang tidak memiliki dokter spesialis), telemedicine, RS
Pratama, dan lain-lain.
d. Mewujudkan dukungan regulasi yaitu melalui penyusunan kebijakan dan
NSPK FKTP.
e. Mewujudkan sistem kolaborasi pendidikan nakes antara lain melalui
penguatan konsep dan kompetensi Dokter Layanan Primer (DLP) serta nakes
strategis.
f. Mewujudkan penguatan mutu advokasi, pembinaan dan pengawasan ke
Pemerintah Daerah dalam rangka penguatan manajemen Puskesmas oleh
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
g. Mewujudkan sistem manajemen kinerja FKTP melalui instrumen penilaian
kinerja.
Untuk meningkatkan akses dan mutu fasilitas pelayanan kesehatan rujukan,
maka strategi yang akan dilakukan adalah:
a. Mewujudkan ketepatan alokasi anggaran dalam rangka pemenuhan sarana
prasarana dan alat kesehatan di RS yang sesuai standar.
b. Mewujudkan penjaminan akses dan mutu pelayanan kesehatan rujukan
melalui akreditasi minimal satu RS Pemerintah di tiap kabupaten atau kota,
c. Mewujudkan penerapan sistem manajemen kinerja RS sehingga terjamin
implementasi Patient Safety, standar pelayanan kedokteran dan standar
pelayanan keperawatan.
d. Mewujudkan penguatan mutu advokasi, pembinaan dan pengawasan untuk
percepatan mutu pelayanan kesehatan serta mendorong RSUD menjadi
BLUD.
e. Optimalisasi peran UPT vertikal dalam mengampu Fasyankes daerah.
f. Mewujudkan berbagai layanan unggulan (penanganan kasus tersier) pada
Rumah Sakit rujukan nasional secara terintegrasi dalam academic health
system.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 13


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

g. Mewujudkan penguatan sistem rujukan dengan mengembangkan sistem


regionalisasi rujukan pada tiap provinsi (satu rumah sakit rujukan regional
untuk beberapa kabupaten/kota) dan system rujukan nasional (satu Rumah
Sakit rujukan nasional untuk beberapa provinsi).
h. Mewujudkan kemitraan yang berdaya guna tinggi melalui program sister
hospital, kemitraan dengan pihak swasta, dan lain-lain.
i. Mewujudkan sistem kolaborasi pendidikan tenaga kesehatan.

11. Meningkatkan Jumlah, Jenis, Kualitas dan Pemerataan Tenaga Kesehatan


Strategi ini akan dilakukan melalui berbagai upaya antara lain:
a. Penugasan khusus tenaga kesehatan berbasis tim (Team Based)/Nusantara
Sehat.
b. Penugasan khusus tenaga kesehatan secara perseorangan dan calon dokter
spesialis (residen).
c. Wajib Kerja dokter spesialis.
d. Peningkatan distribusi tenaga yang terintegrasi, mengikat dan lokal spesifik.
e. Pengembangan insentif baik material dan non material untuk tenaga
kesehatan dan SDM Kesehatan.
f. Peningkatan produksi SDM Kesehatan yang bermutu.
g. Penerapan mekanisme registrasi dan lisensi tenaga dengan uji kompetensi
pada seluruh tenaga kesehatan.
h. Peningkatan mutu pelatihan melalui akreditasi pelatihan.
i. Pengendalian peserta pendidikan dan hasil pendidikan.
j. Peningkatan pendidikan dan pelatihan jarak jauh.
k. Peningkatan pelatihan yang berbasis kompetensi dan persyaratan jabatan.
l. Pengembangan sistem kinerja.
m. Penataan SDM Aparatur Kesehatan sesuai dengan jabatan

12. Meningkatkan Akses, Kemandirian dan Mutu Sediaan Farmasi dan Alat
Kesehatan.
Untuk meningkatkan akses, kemandirian, dan mutu sediaan farmasi dan alat
kesehatan dibutuhkan komitmen yang tinggi. Strategi yang perlu dilakukan dari
berbagai upaya antara lain:
a. Regulasi perusahaan farmasi memproduksi bahan baku dan obat tradisional
dan menggunakannya dalam produksi obat dan obat tradisional dalam
negeri, serta bentuk insentif bagi percepatan kemandirian nasional.
b. Regulasi penguatan kelembagaan dan sistem pengawasan pre dan post
market alat kesehatan.
c. Pokja Academy Business Government and Community (ABGC) dalam
pengembangan dan produksi bahan baku obat, obat tradisional dan alat
kesehatan dalam negeri.
d. Regulasi penguatan penggunaan dan pembinaan industri alat kesehatan
dalam negeri.
e. Meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat dan tenaga kesehatan
tentang pentingnya kemandirian bahan baku obat, obat tradisional dan alat
kesehatan dalam negeri yang berkualitas dan terjangkau.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 14


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

f. Mewujudkan Instalasi Farmasi Pusat sebagai center of excellence manajemen


pengelolaan obat, vaksin dan perbekkes di sektor publik.
g. Memperkuat tata laksana HTA dan pelaksanaannya dalam seleksi obat dan
alat kesehatan untuk program pemerintah maupun manfaat paket JKN.
h. Percepatan tersedianya produk generik bagi obat-obat yang baru habis masa
patennya.
i. Membangun sistem informasi dan jaringan informasi terintegrasi di bidang
kefarmasian dan alat kesehatan.
j. Menjadikan tenaga kefarmasian sebagai tenaga kesehatan strategis berbasis
tim.
k. Meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional
melalui penguatan manajerial, regulasi, edukasi serta sistem monitoring dan
evaluasi.
l. Menjalankan program promotif preventif yang berdasarkan pemberdayaan
masyarakat, termasuk yang ditujukan untuk meningkatkan penggunaan obat
rasional di masyarakat, dan melibatkan lintas sektor.
m. Law enforcement pengawasan alat kesehatan dan PKRT.

Sasaran Strategis Kementerian Kesehatan akan dicapai melalui 9 (sembilan) program,


yaitu:
1. Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya;
2. Program Penguatan Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)/Kartu
Indonesia Sehat (KIS);
3. Program Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Kementerian
Kesehatan;
4. Program Penelitian dan Pengembangan Kesehatan;
5. Program Kesehatan Masyarakat;
6. Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit;
7. Program Pelayanan Kesehatan;
8. Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan;
9. Program Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan.

Setiap Unit Eselon I akan bertanggung jawab terhadap satu program tersebut, kecuali
Sekretariat Jenderal yang akan melaksanakan dua program. Pembagian tanggung jawab
pelaksanaan program untuk setiap eselon I adalah sebagai berikut:
1. Sekretariat Jenderal bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Program
Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya serta Program
Penguatan Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)/Kartu Indonesia Sehat
(KIS);
2. Inspektorat Jenderal bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Program
Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Kementerian Kesehatan;
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan Program Penelitian dan Pengembangan Kesehatan;
4. Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan Program Kesehatan Masyarakat. ;

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 15


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

5. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit bertanggung jawab


terhadap pelaksanaan Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit;
6. Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan Program Pelayanan Kesehatan;
7. Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan;
8. Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Program Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan.

B. Perjanjian Kinerja Tahun 2019

Perjanjian Kinerja merupakan amanat dari Peraturan Presiden Republik Indonesia


Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP)
dan sesuai dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi Nomor 53 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Perjanjian Kinerja, Pelaporan
Kinerja dan Tata Cara Reviu atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah. Dokumen
Perjanjian Kinerja merupakan dokumen yang berisikan penugasan dari pimpinan instansi
yang lebih tinggi kepada pimpinan instansi yang lebih rendah untuk melaksanakan
program/kegiatan yang disertai dengan indikator kinerja.

Penjabaran Renstra Kementerian Kesehatan ke dalam Perjanjian Kinerja Tahun 2019


sesuai dengan indikator pada Renstra revisi 1 yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK. 01.07/Menkes/422/2017 tentang
Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019. Adapun rincian indikator
dan targetnya adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1.
Perjanjian Kinerja Kementerian Kesehatan Tahun 2019

No Sasaran Strategis Indikator Kinerja Target


(1) (2) (3) (4)
1 Meningkatnya Kesehatan 1 Persentase persalinan di fasilitas 85%
Masyarakat kesehatan
2 Persentase ibu hamil kurang energi 18,2%
kronik
3 Persentase Kab/Kota yang memenuhi 40%
kualitas kesehatan lingkungan
2 Meningkatnya Pencegahan 1 Persentase cakupan keberhasilan 90%
dan Pengendalian Penyakit pengobatan pasien TB/Succes Rate
(SR)
2 Prevalensi HIV <0,5%
3 Jumlah kabupaten/kota mencapai 300
eliminasi malaria
4 Jumlah provinsi dengan eliminasi 34

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 16


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

No Sasaran Strategis Indikator Kinerja Target


(1) (2) (3) (4)
kusta
5 Jumlah kabupaten/kota dengan 35
eliminasi filariasis
6 Penurunan kasus Penyakit yang 40%
Dapat Dicegah Dengan Imunisasi
(PD3I) tertentu
7 Kab/Kota yang mampu melaksanakan 100%
kesiapsiagaan dalam
penanggulangan kedaruratan
kesehatan masyarakat yang
berpotensi wabah
8 Persentase kab/kota yang 50%
melaksanakan kebijakan Kawasan
Tanpa Rokok (KTR) minimal 50%
sekolah
9 Jumlah kabupaten/kota yang 280
memiliki Puskesmas yang
menyelenggarakan upaya kesehatan
jiwa
3 Meningkatnya akses dan 1 Jumlah Kecamatan yang memiliki 5.600
Mutu Fasilitas Pelayanan minimal 1 puskesmas yang (700)
Kesehataan terakreditasi
2 Jumlah kab/kota yang memiliki 481
minimal 1 RSUD yang terakreditasi (47)
4 Meningkatnya akses, 1 Persentase Puskesmas dengan 95%
kemandirian, dan mutu ketersediaan obat dan vaksin
sediaan farmasi dan alat esensial
kesehatan 2 Jumlah bahan baku sediaan farmasi
yang siap diproduksi di dalam negeri
dan jumlah jenis/varian alat
kesehatan yang diproduksi di dalam
negeri (kumulatif):
a. Target bahan baku sediaan farmasi 45
b. Target alat kesehatan 28
3 Persentase produk alat kesehatan 90%
dan PKRT di peredaran yang
memenuhi syarat
5 Meningkatnya Jumlah, 1 Jumlah Puskesmas yang minimal 5.600
Jenis, Kualitas dan memiliki 5 jenis tenaga kesehatan
Pemerataan Tenaga 2 Persentase RS kab/kota kelas C yang 60%
Kesehatan memiliki 4 dokter spesialis dasar dan
3 dokter spesialis penunjang

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 17


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

No Sasaran Strategis Indikator Kinerja Target


(1) (2) (3) (4)
3 Jumlah SDM Kesehatan yang 56.910
ditingkatkan kompetensinya
6 Meningkatnya sinergitas 1 Jumlah kementerian lain yang 50%
antar mendukung pembangunan
Kementerian/Lembaga kesehatan
2 Jumlah provinsi dan kabupaten/kota 494
yang menyampaikan laporan capaian
SPM
7 Meningkatnya daya guna 1 Jumlah dunia usaha yang 20
kemitraan dalam dan luar memanfaatkan CSR untuk program
negeri kesehatan
2 Jumlah organisasi kemasyarakatan 15
yang memanfaatkan sumber dayanya
untuk mendukung kesehatan
3 Jumlah kesepakatan kerjasama luar 8
negeri di bidang kesehatan yang
diimplementasikan
8 Meningkatnya integrasi 1 Jumlah provinsi yang memiliki 34
perencanaan, bimbingan rencana lima tahun dan anggaran
teknis dan pemantauan- kesehatan terintegrasi dari berbagai
evaluasi sumber
2 Jumlah rekomendasi monitoring 34
evaluasi terpadu
9 Meningkatnya efektivitas 1 Jumlah hasil Riset Kesehatan 1
penelitian dan Nasional (Riskesnas) bidang
pengembangan kesehatan kesehatan dan gizi masyarakat
2 Jumlah rekomendasi dan kebijakan 24
berbasis penelitian dan
pengembangan kesehatan yang
diadvokasikan ke pengelola program
kesehatan dan atau pemangku
kepentingan
3 Jumlah hasil penelitian yang 4
didaftarkan HKI
10 Meningkatnya tata kelola Persentase satuan kerja yang dilakukan 100%
kepemerintahan yang baik audit memiliki temuan kerugian Negara
dan bersih ≤ 1%
11 Meningkatnya kompetensi 1 Persentase pejabat Pimpinan Tinggi, 90%
dan kinerja aparatur Administrator dan Pengawas di
Kementerian Kesehatan lingkungan kementerian Kesehatan
yang kompetensinya sesuai
persyaratan jabatan
2 Persentase pegawai Kementerian 94%

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 18


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

No Sasaran Strategis Indikator Kinerja Target


(1) (2) (3) (4)
Kesehatan dengan nilai kinerja
minimal baik
12 Meningkatnya sistem 1 Jumlah kabupaten/kota yang 463
informasi kesehatan melaporkan data kesehatan prioritas
terintegrasi 2 Jumlah kabupaten/kota dengan 257
jaringan komunikasi data untuk
untuk pelaksanaan e-kesehatan
3 Jumlah kabupaten/kota yang 514
melaksanakan pemetaan keluarga
sehat

Jumlah anggaran yang dialokasikan pada Tahun 2019 sebesar Rp. 58.746.540.744.000
(Lima Puluh Delapan Triliun Tujuh Ratus Empat Puluh Enam Milyar Lima Ratus Empat
Puluh Juta Tujuh Ratus Empat Puluh Empat Ribu Rupiah).

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 19


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

BAB III
AKUNTABILITAS KINERJA

A. Capaian Kinerja Organisasi

Tahun 2019 merupakan tahun terakhir dalam pelaksanaan Rencana Strategis


Kementerian Kesehatan 2015-2019. Pengukuran kinerja dilakukan dengan membandingkan
antara realisasi kinerja dengan target kinerja dari masing-masing indikator kinerja yang telah
ditetapkan dalam perjanjian kinerja. Melalui pengukuran kinerja diperoleh gambaran
pencapaian masing-masing indikator sehingga dapat ditindaklanjuti dalam perencanaan
kegiatan di masa yang akan datang agar setiap kegiatan yang direncanakan dapat lebih
berhasil guna dan berdaya guna. Capaian kinerja Kementerian Kesehatan pada tahun 2019
akan diuraikan menurut Sasaran Strategis Kementerian Kesehatan. Sebagaimana disebutkan
dalam Renstra Kemenkes Tahun 2015-2019 dan Revisinya sesuai dengan Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/422/2017 tentang Rencana
Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019. Terdapat 12 Sasaran Strategis yang
akan dicapai oleh Kementerian Kesehatan dalam kurun waktu lima tahun. Uraian capaian
kedua belas Sasaran Strategis tersebut adalah sebagai berikut:

1) Sasaran Strategis 1: Meningkatnya Kesehatan Masyarakat

Tujuan pembangunan kesehatan pada tahun 2015-2019 yaitu meningkatkan status


kesehatan masyarakat. Dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang
ditandai dengan menurunnya angka kematian ibu, angka kematian bayi, prevalensi
kekurangan gizi dan prevalensi stunting, Kementerian Kesehatan telah menetapkan langkah-
langkah yang selanjutnya dirumuskan menjadi indikator - indikator yang relevan dalam
mengukur capaian kinerjanya sebagai berikut:
1. Persentase persalinan di fasilitas kesehatan
2. Persentase ibu hamil Kurang Energi Kronik (KEK)
3. Persentase kab/kota yang memenuhi kualitas kesehatan lingkungan
Adapun uraian target dan realisasi IKU pada Sasaran Strategis 1 sebagai berikut:

Tabel 3.1.
Capaian IKU pada Sasaran Strategis 1:
Meningkatnya Kesehatan Masyarakat
SS1: Meningkatnya Kesehatan Masyarakat

Indikator Kinerja Target Realisasi % Realisasi


1a. Persentase persalinan di fasilitas kesehatan 85% 91,83% 108,04%
1b. Persentase ibu hamil Kurang Energi Kronik 18,2% 9,9% 183,8%
(KEK)
1c. Persentase kab/kota yang memenuhi kualitas 40% 78,02% 195,05%
kesehatan lingkungan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 20
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Cakupan persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan menggambarkan akses ibu hamil


terhadap pelayanan persalinan sesuai standar yang dilakukan di fasilitas pelayanan
kesehatan (PF). Indikator PF menjadi penting karena penyebab kematian ibu di Indonesia
sebagian besar disebabkan oleh karena perdarahan dan infeksi pada saat persalinan, yang
seharusnya dapat dicegah bila ibu mendapatkan pelayanan persalinan sesuai dengan
standar di fasilitas pelayanan kesehatan.
Cakupan ibu hamil Kurang energi Kronik (KEK) menggambarkan permasalahan gizi ibu
hamil yang disebabkan karena kekurangan asupan makanan dalam waktu yang cukup lama,
dan dapat berdampak terhadap kesehatan dan keselamatan ibu dan bayi serta kualitas bayi
yang dilahirkan.
Cakupan kabupaten/kota yang memenuhi kualitas kesehatan lingkungan
menggambarkan bahwa kontribusi lingkungan yang sehat sebagai faktor determinan
terbesar dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat sesuai dengan teori Bloom.

Uraian tentang ketiga IKU tersebut adalah sebagai berikut:


a. Persentase persalinan di fasilitas kesehatan
Persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan merupakan indikator yang ada pada
Renstra 2015–2019. Pada Renstra sebelumnya indikator yang digunakan adalah
”persalinan oleh nakes” (Pn). Cakupannya adalah persalinan yang ditolong oleh tenaga
kesehatan baik di fasilitas pelayanan kesehatan maupun di di rumah Perubahan
indikator ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan
bagi ibu dan bayi baru lahir dalam kerangka penurunan AKI dan AKB. Apabila setiap ibu
melakukan persalinan di fasilitas kesehatan, maka ketika terjadi komplikasi dan atau
kegawatdaruratan maternal neonatal dapat segera ditangani oleh tim yang kompeten
dengan fasilitas medis yang sesuai dengan standar. Dengan komitmen ini maka akses
ibu hamil dan bersalin terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu menjadi sasaran
penting dalam mencapai sasaran Renstra ”meningkatnya akses dan kualitas pelayanan
kesehatan ibu dan reproduksi”. Dengan tujuan akhir adalah setiap ibu bersalin
mendapat pelayanan sesuai standar sehingga kematian ibu dan bayi baru lahir dapat
diturunkan.
Pertolongan persalinan merupakan proses pelayanan persalinan yang dimulai
pada kala I sampai dengan kala IV persalinan. Pada Tahun 2015 sampai dengan 2017
capaian program persalinan di fasyankes (PF) diukur dari jumlah ibu bersalin yang
mendapatkan pertolongan sesuai standar oleh tenaga Kesehatan di fasilitas pelayanan
kesehatan dibandingkan dengan jumlah sasaran ibu bersalin dalam setahun dikali
100%. Tetapi pada tahun 2017 terjadi revisi Renstra Tahun 2015 -2019, hasil midterm
reviu Renstra Kementerian Kesehatan yaitu indikator dan target pada Renstra tidak
boleh berubah tetapi definisi operasional berubah sesuai dengan tupoksi Kementerian
Kesehatan. Perubahan terjadi pada definisi operasional indikator PF menjadi (jumlah
kab/kota yang melaporkan pelaksanaan pelayanan persalinan di fasilitas pelayanan
kesehatan tepat waktu dibagi jumlah seluruh Kab/Kota) dikalikan 100%. Oleh karena
itu untuk persentasi persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan masih mengikuti hasil
midterm reviu Renstra Kementerian Kesehatan tahun 2017.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 21


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Adapun definisi operasional persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan


berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2016 adalah suatu alat dan/atau
tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan baik
promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Adapun jenis fasilitas pelayanan kesehatan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2016 ini terdiri atas tempat
praktik mandiri tenaga kesehatan, pusat kesehatan masyarakat, klinik, rumah sakit,
apotek, unit transfusi darah, laboratorium kesehatan, optikal, fasilitas kesehatan untuk
kepentingan hukum dan fasilitas pelayanan kesehatan tradisional.
Cakupan indikator pelayanan persalinan di fasilitas kesehatan tahun 2019
adalah 91,83%. Dengan target indikator kinerja pada tahun 2019 sebesar 85% maka
capaian kinerja menjadi 108,04%. Pada Tahun 2018 cakupan PF sebesar 98,64% dari
target 82% sehingga capaian kinerja sebesar 120,29 seperti tergambarkan dalam grafik
berikut.
Grafik 3.1.
Target, Cakupan, dan Capaian Kinerja Renstra Indikator Persalinan di Fasyankes
Tahun 2018 dan 2019

140
120,29
120 108,04
98,64
100 91,83
82,00 85,00
80
60
40
20
0
Target Cakupan Capaian
2018 2019

Meskipun secara nasional indikator pelayanan persalianan di fasyankes sudah mencapai


target, tetapi masih ada enam provinsi yang belum mencapai target kinerja tahun 2019,
yaitu Papua, Maluku, Nusa Tenggara Barat, Kalimanatan Utara, Riau dan Nusa Tenggara
Timur seperti terlihat dalam grafik berikut.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 22


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Grafik 3.2.
Cakupan Kabupaten/Kota Melaporkan Indikator Pelayanan Persalinan di Fasyankes
Tahun 2019 Berdasarkan Provinsi

Target: 85%

Sementara, kecenderungan cakupan indikator Persalinan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan


dapat dilihat dalam grafik berikut.

Grafik 3.3.
Target dan Cakupan Kinerja Persalinan di Fasilitas Kesehatan
menurut Renstra 2015-2019 dengan Target Jangka Menengah

110
98,64
100 91,83
90 82,79 85
78,4 77,3 82
80
70 81
75 77
Revisi 1. Renstra 2015-2019
60
50
2015 2016 2017 2018 2019
Renstra

Sumber: Data Evaluasi Direktorat Kesehatan Keluarga Tahun 2019

Cakupan program persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan berdasarkan Riskesdas


menunjukkan kecenderungan peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Riskesdas
2007, cakupan persalinan di fasilitas kesehatan menunjukan angka sebesar 41,6%, tahun
2010 sebesar 56,8%, pada tahun 2013 sebesar 70,4% dan pada tahun 2018 sebesar 79,3%.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 23
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Sementara berdasarkan data rutin komdat kesga, cakupan program PF tahun 2019 adalah
sebesar 88.35% dengan rincian masing-masing provinsi sesuai dengan grafik dibawah ini.

Grafik 3.4
Persentase Target dan Cakupan Program Persalinan di Fasilitas Kesehatan menurut
Renstra 2015-2019 Per Provinsi

Sumber: Data Evaluasi Direktorat Kesehatan Keluarga Tahun 2019

Di sisi lain, meskipun secara nasional trend cakupan PF menunjukkan kecenderungan yang
meningkat, masih terdapat kesenjangan capaian antar wilayah di Indonesia. Grafik di atas
menggambarkan disparitas cakupan PF di 34 provinsi di Indonesia. Bila dibandingkan
dengan target nasional sebesar 85%, maka masih ada 20 provinsi yang belum mencapai
target nasional, sehingga agar cakupannya naik, diperlukan pendekatan khusus dalam upaya
memperbaiki cakupan program.

Terdapat beberapa hal yang dapat menjadi faktor penghambat pencapaian kinerja
pelaporan tepat waktu, indikator pelayanan persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan,
antara lain:
1. Sistem pengumpulan data yang tidak sesuai dengan cara perhitungan Renstra
2. Kurangnya pemahaman pengelola program tentang cara perhitungan indikator menurut
Renstra
3. Kesenjangan antar provinsi dalam pelaporan cakupan, salah satunya disebabkan karena
kondisi geografis yang menjadi hambatan bagi kabupaten/kota dalam melaporkan
cakupannya
4. Kurangnya kepatuhan Puskesmas dalam melaporkan cakupan pelayanan tepat waktu
5. Kapasitas tenaga kesehatan dan pemegang program dalam melaporkan cakupan
pelayanan ke Puskesmas belum optimal sesuai waktu yang ditentukan.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 24
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

6. Belum dimanfaatkannya IT yang mendukung sistem pencatatan dan pelaporan baik


yang dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan maupun yang dikembangkan sendiri
oleh daerah.

Sementara itu, beberapa hal yang dapat menghambat pencapaian program persalinan di
fasilitas pelayanan kesehatan, antara lain:
1. Pemahaman tentang standar pertolongan persalinan baik tentang standar fasilitas,
tenaga dan jenis pelayanan pada ibu bersalin pada pengelola program di setiap
tingkatan belum merata
2. Perbedaan kondisi geografis, terutama di daerah-daerah terpencil, perbatasan, dan
kepulauan yang menyebabkan sulitnya akses ke fasilitas pelayanan kesehatan.
3. Faktor Sosial Budaya di kelompok masyarakat tertentu, menyebabkan ibu hamil lebih
memilih untuk bersalin di rumah atau masih kuatnya kepercayaan sebagian masyarakat
dengan dukun/paraji sehingga lebih memilih persalinan ditolong non tenaga kesehatan
4. Tingkat pengetahuan ibu, keluarga dan masyarakat yang bervariasi, bahkan cenderung
banyak yang masih rendah
5. Peran Perempuan atau Ibu hamil dalam pengambilan keputusan masih rendah.
6. Kondisi Ekonomi keluarga/ masyarakat masih rendah, sehingga membuat masyarakat
ragu untuk datang ke fasyankes.
7. Distribusi ketersediaan tenaga kesehatan terutama di daerah-daerah terpencil,
perbatasan, dan kepulauan belum merata.
8. Belum semua Puskesmas siap dalam memberikan pelayanan persalinan karena
9. ketersediaan ruangan, alat, dan tenaga kesehatan yang harus siap 24 jam jika ada ibu
yang sewaktu-waktu akan bersalin.
10. Lembar pernyataan Menyambut Persalinan di dalam Buku KIA yang mencantumkan
tempat persalinan yang direncanakan tidak dipatuhi oleh keluarga
11. Masih adanya ibu hamil miskin yang belum memiliki jaminan kesehatan
12. Pemanfaatan dana Non Kapitasi JKN dan dana Jampersal yang kurang optimal
13. Pemanfaatan Rumah Tunggu Kelahiran yang kurang optimal
14. Tidak semua fasyankes swasta yang memberikan layanan persalinan bekerjasama
dengan BPJS, sehingga tidak dapat melayani ibu peserta JKN
15. Koordinasi dan integrasi lintas program dan lintas sector masih kurang optimal
16. Dukungan dan komitmen pemangku kepentingan yang masih berbeda-beda di setiap
daerahnya

Keberhasilan pencapaian indikator pelayanan persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan


tidak terlepas dari penguatan manajemen data dan program kesehatan keluarga, yang
antara lain:
1. Penguatan manajemen data kesehatan keluarga
Untuk meingkatkan manajemen data kesehatan keluarga, dilaksanakan sosialisasi dan
peningkatan kapasitas pengelola program kesehatan keluarga. Kegiatan ini dilakukan
secara terintegrasi dengan berbagai kegiatan di lingkup Direktorat Kesehatan Keluarga.
2. Supervisi Fasilitatif kesehatan keluarga

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 25


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Melalui kegiatan supervisi fasilitatif kesehatan keluarga, dapat diketahui permasalahan


yang terjadi di tingkat provinsi, maupun kabupaten/kota dan puskesmas dalam
pelaksanaan program kesehatan keluarga, termasuk dalam hal pencatatan dan
pelaporan, sehingga dapat secara langsung didiskusikan solusi untuk memecahkan
masalah tersebut.
3. Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA)
Dalam rangka meningkatkan kemampuan pengelola dan pelaksana program KIA pada
tingkat kabupaten/kota dan Puskesmas, dan karena pengelola program KIA harus mampu
mengolah data KIA guna memperkuat manajemen program sebagai bahan perencanaan
dan monitoring program KIA di Kabupaten/ Kota maka PWS KIA merupakan alat
manajemen program KIA, juga sebagai alat untuk memantau cakupan pelayanan KIA di
suatu wilayah kerja secara terus-menerus agar nantinya dapat dilakukan tindak lanjut
secara cepat dan tepat terhadap wilayah kerja yang cakupan pelayanan KIA-nya masih
rendah
4. Audit Maternal Perinatal (AMP)
Pada kajian kasus kematian ibu dibahas penyebab terjadinya kematian. Untuk kematian
ibu yang terjadi di luar fasyankes dibahas faktor-faktor yang menghambat akses ibu
mendapatkan pelayanan persalinan di fasyankes dan rekomendasi tindak lanjut
mengatasi permasalahannya.

Untuk meningkatkan cakupan program Persalinan di Fasyankes, dilakukan beberapa


kegiatan yang mendorong meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan
anak, kesehatan reproduksi. Kegiatan yang dilakukan dalam mendukung persalinan di
fasilitas pelayanan kesehatan antara lain:
1. Puskesmas melaksanakan kelas ibu hamil.
Kelas Ibu Hamil merupakan sarana untuk belajar bersama tentang kesehatan bagi ibu
hamil, dalam bentuk tatap muka dan berkelompok yang bertujuan untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan ibu mengenai kehamilan, persalinan, nifas, KB pasca
persalinan, pencegahan komplikasi, perawatan bayi baru lahir dan aktivitas fisik/senam
ibu hamil.
Jumlah peserta pada Kelas Ibu Hamil maksimal 10 orang peserta. Di kelas ini ibu hamil
akan belajar bersama, berdiskusi dan tukar menukar pengalaman tentang kesehatan
Ibu dan anak (KIA) secara menyeluruh dan sistematis, yang dilaksanakan secara
terjadwal dan berkesinambungan. Kelas ibu hamil difasilitasi oleh bidan/tenaga
kesehatan dengan menggunakan paket Kelas Ibu Hamil yaitu Buku KIA, lembar balik,
Pedoman Pelaksanaan Kelas Ibu Hamil, dan Pegangan Fasilitator Kelas Ibu Hamil.
2. Puskesmas yang melakukan Orientasi Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan
Komplikasi (P4K)
Orientasi P4K menitikberatkan pada kegiatan monitoring terhadap ibu hamil dan
bersalin. Pemantauan dan pengawasan merupakan salah satu upaya deteksi dini dalam
menghindari risiko pada ibu hamil dan bersalin dalam ruang lingkup kerja Puskesmas.
Puskesmas mendorong dan membangun potensi masyarakat agar ada kepedulian
masyarakat untuk persiapan dan tindakan dalam menyelamatkan ibu dan bayi baru
lahir. Dengan P4K tenaga kesehatan bersama dengan ibu hamil dan keluarga

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 26


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

mempersiapkan fasyankes mana yang akan menjadi tempat persalinan, termasuk


kesiapan untuk dirujuk apabila terjadi komplikasi atau kegawatdaruratan.
Dalam pelaksanaan P4K, bidan diharapkan berperan sebagai fasilitator yang dapat
membangun komunikasi persuasif dan setara diwilayah kerjanya, agar dapat terwujud
kerjasama dengan ibu, keluarga dan masyarakat, sehingga pada akhirnya dapat
meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap upaya peningkatan kesehatan ibu dan
bayi baru lahir.
3. Ibu hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal minimal 4 kali (K4).
Indikator ini memperlihatkan akses pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil dan
tingkat kepatuhan ibu hamil dalam memeriksakan kehamilannya ke tenaga kesehatan
minimal 4 kali selama kehamilan sesuai dengan ketetapan waktu kunjungan. Disamping
itu, indikator ini menggambarkan tingkat perlindungan ibu hamil di suatu wilayah dan
melalui kegiatan ini diharapkan ibu hamil dapat dideteksi secara dini jika terdapat
masalah, gangguan atau kelainan dalam kehamilannya, serta dapat segera dilakukan
penanganan secara cepat dan tepat.
Pada saat ibu hamil melakukan pemeriksaan kehamilan, tenaga kesehatan memberikan
pelayanan antenatal secara lengkap (10 T) yang terdiri dari: timbang badan dan ukur
tinggi badan, ukur tekanan darah, nilai status gizi (ukur LiLA), ukur tinggi fundus uteri,
tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin, skrining status imunisasi TT dan bila
perlu pemberian imunisasi TT, pemberian tablet besi (90 tablet selama kehamilan), test
lab sederhana (Golongan Darah, Hb, Glukoprotein Urin) dan skrining terhadap Hepatitis
B, Sifilis, HIV, Malaria, TBC, tata laksana kasus, dan temu wicara/ konseling termasuk
P4K serta KB PP.
Melalui konseling yang aktif dan efektif, diharapkan ibu hamil dapat melakukan
perencanaan kehamilan dan persalinannya dengan baik, serta memantapkan keputusan
ibu hamil dan keluarganya untuk melahirkan ditolong oleh tenaga kesehatan di fasilitas
kesehatan.
4. Dukungan regulasi pelayanan KIA dan persalinan di Fasyankes oleh Pemerintah Daerah.
5. Dukungan lintas program, lintas sektor, dan organisasi profesi dalam pelayanan KIA
yang komprehensif.
6. Peningkatan akses persalinan di fasilitas kesehatan melalui JKN, BOK maupun melalui
Jampersal, (Rumah Tunggu Kelahiran (RTK), tranportasi rujukan dan pembiayaan
persalinan).
7. Persalinan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan merupakan indikator Standar Pelayanan
Minimal (SPM) Bidang Kesehatan yang harus dipenuhi oleh Pemerintah Daerah dengan
target 100% ibu bersalin.
8. Intervensi kesehatan yang komprehensif yang dilaksanakan mulai dari masa remaja,
calon pengantin dan terintegrasi dalam upaya penurunan AKI, AKB dan stunting.

Beberapa alternatif solusi untuk meningkatkan cakupan kabupaten/kota yang melaporkan


pelayanan persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan, antara lain:
1. Memetakan standar apa saja dalam pelayanan persalinan di fasilitas pelayanan
kesehatan (termasuk standar fasilitas, tenaga, jenis pelayanan) serta pencapaiannya,
sehingga dapat dilakukan perbaikan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 27


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

2. Meningkatkan pemahaman pengelola program tentang indikator pada Renstra


Kementerian Kesehatan 2015-2019 revisi tahun 2017
3. Melakukan perhitungan indicator dengan mengacu pada Renstra Kementerian
Kesehatan 2015-2019 revisi tahun 2017
4. Melakukan update petunjuk teknis pengumpulan data agar sesuai dengan Renstra
Kementerian Kesehatan 2015-2019 revisi tahun 2017
5. Meningkatkan kapasitas tenaga kesehatan dan pengelola program KIA dalam
manajemen data kesehatan keluarga, termasuk dalam pelaporan berjenjang.
6. Meningkatkan komitmen Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Provinsi tentang
pentingnya data untuk analisis program kesehatan keluarga.
7. Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dalam mendukung cakupan persalinan di
fasilitas pelayanan kesehatan
8. Pemberdayaan masyarakat dalam mendorong peningkatan persalinan di fasyankes
menjadi salah satu upaya deteksi dini resiko tinggi dan menghindari keterlambatan
pertolongan persalinan pada ibu hamil.
9. Memperbaharui system aplikasi pengumpulan data agar sesuai dengan Renstra
Kementerian Kesehatan 2015-2019 revisi tahun 2017
10. Memperkuat sistem informasi (pencatatan dan pelaporan) dengan pemanfaatan IT dan
mekanisme umpan balik terhadap ketepatan dan kelengkapan laporan.

Beberapa upaya dilakukan untuk mengatasi hambatan dalam pencapaian cakupan


persalinan di fasilitas kesehatan diantaranya adalah:
1. Untuk daerah-daerah dengan kondisi geografis sulit yang menyebabkan akses ke
fasilitas pelayanan kesehatan menjadi kendala, Direktorat Kesehatan Keluarga
menerapkan program Kemitraan Bidan dan Dukun serta Rumah Tunggu Kelahiran. Para
Dukun diupayakan bermitra dengan Bidan, sehingga tidak ada lagi persalinan oleh
dukun. Apabila dukun mendapat kasus ibu hamil yang akan bersalin, maka wajib dirujuk
ke bidan. Selain itu, untuk mempermudah akses terhadap fasilitas kesehatan,
pemerintah mendorong penyediaan Rumah Tunggu Kelahiran yang dapat dimanfaatkan
oleh ibu hamil dan keluarga selama menunggu proses persalinan berlangsung sebelum
ke fasilitas kesehatan.
2. Untuk meningkatkan akses ibu bersalin ke fasilitas pelayanan kesehatan, pemerintah
juga melakukan penguatan pemanfaatan dana Jampersal di kabupaten/kota. Pada
tahun 2017 terdapat dana dari pusat melalui mekanisme DAK non fisik yaitu Jaminan
Persalinan (Jampersal) dengan ruang lingkup kegiatan tranportasi rujukan dan sewa
serta operasional Rumah Tunggu Kelahiran (RTK). Pada tahun 2018, Jampersal masih
tetap diberikan dengan penambahan ruang lingkup pembiayaan persalinan di fasilitas
kesehatan bagi ibu bersalin miskin yang tidak mempunyai jaminan persalinan (JKN/KIS,
dll). Upaya tersebut ditindaklanjuti pula hingga tahun 2019.
3. Meningkatkan pengetahuan, peran, dan dukungan keluarga dan masyarakat melalui
kegiatan kelas ibu hamil dan Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan
Komplikasi (P4K).

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 28


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

4. Distribusi buku KIA dan pemanfaatannya, sebagai sarana pencatatan pelayanan


kesehatan dan media KIE kesehatan ibu dan anak untuk ibu dan keluarga sampai ke
masyarakat.
5. Pelaksanaan Kelas Ibu. Hasil analisa Badan Litbangkes menyebutkan bahwa Ibu Hami
yang mengikuti Kelas Ibu sampai 4 kali, 2,5% lebih tinggi untuk bersalin di fasyankes
dibanding Ibu hamil yang tidak mengikuti Kelas Ibu Hamil.
6. Untuk meningkatkan kompetensi tenaga kesehatan (Dokter, Bidan dan perawat) dalam
pelayanan kesehatan maternal dan neonatal khusunya penanganan kegawat daruratan,
maka dilakukan Pelatihan Penanganan Kegawat Daruratan Maternal dan Neonatal.
7. Pelaporan kematian Ibu dan perinatal dapat dilakukan melalui MPDN. Sementara
kegiatan penelusuran dan pengkajian penyebab kematiannya dilakukan Audit Maternal
dan Perinatal Surveilans dan Respons (MPDSR)
8. Meningkatkan kerja sama lintas sektor. Salah satu contohnya adalah kerja sama dengan
Kementerian Agama dalam meningkatkan pengetahuan calon pengantin tentang
kesehatan reproduksi untuk mendorong calon pengantin memeriksakan kesehatannya
ke fasilitas kesehatan.
9. Meningkatkan dukungan dan komitmen Pemda dalam pencapaian SPM Bidang
Kesehatan
10. Penguatan Promosi dan advokasi persalinan di fasyankes di setiap level pemerintahan
daerah
11. Integrasi dan sinkronisasi pelayanan pelayanan persalinan di fasyankes dengan upaya
pencegahan stunting dan penguatan akreditasi fasyankes

b. Persentase ibu hamil Kurang Energi Kronik (KEK)


Status gizi ibu hamil merupakan salah satu faktor penentu dari kondisi bayi yang
dilahirkan. Ibu hamil yang mengalami masalah gizi memiliki risiko tinggi untuk melahirkan
bayi dengan berat lahir rendah serta meningkatkan risiko kematian baik pada ibu maupun
bayi yang dilahirkan. Kondisi ibu hamil KEK berisiko menurunkan kekuatan otot yang
membantu proses persalinan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kematian janin
(keguguran), prematur, lahir cacat, bayi berat lahir rendah (BBLR) bahkan kematian bayi. Ibu
hamil dengan risiko KEK dapat mengganggu tumbuh kembang janin yaitu pertumbuhan fisik
(stunting), otak dan metabolisme yang menyebabkan penyakit menular di usia dewasa.
Kekurangan energi kronik (KEK) adalah masalah gizi kurang yang dialami oleh ibu
hamil disebabkan oleh kekurangan asupan makanan dalam waktu yang cukup lama. Hasil
Pemantauaan Status Gizi (PSG) tahun 2016 menunjukkan bahwa sekitar 53% ibu hamil di
Indonesia mengalami kekurangan asupan energi karena tingkat kecukupan energinya kurang
dari 70% angka kecukupan energi (AKE). Sementara proporsi ibu hamil dengan tingkat
kecukupan protein kurang dari 80% angka kecukupan protein (AKP) juga cukup tinggi, yaitu
sekira 51,9%, yang berarti separuh ibu hamil di Indonesia mengalami defisit protein.
Kurangnya asupan energi yang berasal dari zat gizi makro (karbohidrat, protein dan
lemak) maupun zat gizi mikro terutama vitamin A, vitamin D, asam folat, zat besi, seng,
kalsium dan iodium serta zat gizi mikro lain pada wanita usia subur yang berkelanjutan
(remaja sampai masa kehamilan), mengakibatkan terjadinya kurang energi kronik (KEK)
pada masa kehamilan. Umumnya kondisi tersebut diawali dengan kejadian ‘risiko’ KEK yang

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 29


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

ditandai oleh rendahnya cadangan energi dalam jangka waktu cukup lama dan dapat diukur
dengan lingkar lengan atas (LiLA).
Masalah ibu hamil KEK merupakan salah satu fokus perhatian dan menjadi salah satu
indikator kinerja program Kementerian Kesehatan, karena berdasarkan Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi risiko KEK pada ibu hamil (15-49 tahun) masih
cukup tinggi yaitu sebesar 24,2%. Prevalensi tertinggi ditemukan pada usia remaja (15-19
tahun) sebesar 38,5% dibandingkan dengan kelompok lebih tua (20-24 tahun) sebesar
30,1%. Indikator persentase ibu hamil KEK diharapkan turun sebesar 1,5% setiap tahunnya.
Pada awal periode tahun 2015, persentase ibu hamil KEK ditargetkan tidak melebihi 24,2%,
dan diharapkan di akhir periode pada tahun 2019, maksimal ibu hamil dengan risiko KEK
adalah sebesar 18,2%. Dasar penetapan persentase bumil KEK mengacu kepada hasil
Riskesdas tahun 2013.
Definisi operasional dari indikator tersebut adalah proporsi ibu hamil yang diukur
lingkar lengan atasnya (LiLA) menggunakan pita LiLA dengan hasil ukur kurang dari 23,5 cm
terhadap jumlah ibu hamil yang diukur LiLA-nya pada periode tertentu dikali 100%. Sumber
data persentase ibu hamil kurang energi kronik tahun 2015 – 2019 diperoleh dari survey dan
laporan rutin. Data tahun 2015 – 2017 menggunakan data Pemantauan Status Gizi (PSG)
dengan capaian masing-masing 13.3%, 16.2%, dan 14.8%. Indikator Ibu Hamil Risiko KEK di
tahun 2018 diukur menggunakan data Riskesdas, dengan capaian 17.3%. Pada tahun 2019,
sumber data untuk indikator ibu hamil risiko KEK didapatkan dari laporan rutin 34 Provinsi,
dengan capaian 9.9%. Cakupan indikator ibu hamil risiko KEK tahun 2019 dapat dilihat pada
grafik di bawah ini:

Grafik 3.5
Persentase Cakupan Ibu Hamil Kekurangan Energi Kronik (KEK)
per Provinsi Tahun 2019

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 30


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Grafik 3.6.
Target, Cakupan, dan Capaian Kinerja Renstra
Indikator Ibu Hamil Risiko Kurang Energi Kronis (KEK) Tahun 2019

Sumber data: Direktorat Gizi Masyarakat Tahun 2019

Grafik diatas menggambarkan capaian indikator ibu hamil risiko KEK tahun 2019 yang
sudah melampaui target yang ditetapkan dimana target sebesar 18,2%, cakupan persentase
ibu hamil kek sebesar 9,9% dan capaian 183,8%.

Grafik 3.7
Perbandingan Persentase Ibu Hamil Kekurangan Energi Kronis (KEK)
Tahun 2019 dengan Target Jangka Menengah
30 24,2 24,2 22,7 21,2 19,7
16,2 18,2
20 13,3 14,8
17,3
10
9,9
0
2013 2014Riskesdas
2015 2016 2017 Target
2018 2019

Sumber data: Pemantauan Status Gizi (PSG) Tahun 2015, 2016 ,2017 dan Laporan Rutin
2019

Jika melihat capaian indikator Ibu Hamil KEK dari tahun 2015 sampai 2019 terlihat
kecenderungan yang cukup fluktuatif. Dari tahun 2015 ke 2016 dan dari 2017 ke 2018
peningkatan persentase ibu hamil KEK sebesar 2,5%. Namun demikian, persentase ibu hamil
KEK yang diperoleh baik melalui PSG tahun 2015-2017, Riskesdas 2018, dan laporan rutin
2019 menunjukkan hasil yang lebih baik dari target yang ditetapkan setiap tahunnya.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 31


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Persentasi ibu hamil risiko KEK pada akhir Renstra 2015 – 2019 sudah melampaui
target yang ditetapkan, 9,9 % dibanding dengan target 18.2%. Namun demikian, terdapat
beberapa kendala dalam mencapai target yang diharapakan tersebut, yaitu
1. Kegagalan cara pengukuran keberhasilan setiap tahun karena adanya perubahan
sumber data yang digunakan untuk mengukur keberhasilan capaian indikator ibu hamil
risiko KEK setiap tahunnya.
2. Tingkat kepatuhan dalam melaporkan capaian indikator ibu hamil KEK secara rutin
setiap bulan masih rendah. Hal ini terjadi karena proses pelaporan yang lambat dari
mulai tingkat posyandu sampai tingkat provinsi juga karena kurangnya pemahaman
petugas terkait cara pengukuran indikator tersebut.
3. Masih kurangnya koordinasi antara petugas gizi dan bidan dalam proses pengumpulan
data ibu hamil risiko KEK.

Sementara itu, secara program kegiatan, keberhasilan pemerintah sehingga persentase ibu
hamil KEK selalu di bawah target yang ditetapkan, dapat didukung melalui:
1) Program Nasional Intervensi Gizi terintegrasi untuk Pencegahan Stunting. Program ini
menggunakan konvergensi lintas sektor mulai di tingkat nasional sampai tingkat desa
fokus pada sasaran kelompok 1000 HPK. Ibu hamil terutama ibu hamil yang berisiko
tinggi adalah salah satu penerima manfaat dari program ini. Selain mendapatkan
manfaat dari intervensi spesifik yang dilakukan oleh sektor kesehatan seperti pemberian
suplementasi gizi dan pemeriksaan kehamilan, kelompok ibu hamil juga menjadi
penerima manfaat dari program non kesehatan seperti perlindungan sosial, penyediaan
sanitasi dan air bersih, program peningkatan ketahanan pangan, dan intervensi gizi
senstitif lainnya.
Dalam rangka mengoptimalkan dampak intervensi, mulai tahun 2017 ditetapkan lokasi-
lokasi prioritas untuk implementasi program intervensi gizi terintegrasi. LOkasi prioritas
tersebut jumlahnya bertambah setiap tahun. Tahun 2017 dimulai dengan 100
kabupaten/kota, kemudian tahun 2018 dan 2019 bertambah menjadi 160 dan 200
Kabupaten/Kota. Harapannya di tahun 2024 akan mencakup seluruh kabupaten/kota
yang ada di Indonesia, yaitu 514 Kabupaten/Kota.
2) Dukungan DAK dan BOK tahun 2019 meyajikan menu kegiatan yang memprioritaskan
kelompok 1000 HPK sejalan dengan prioritas nasional, salah satunya adalah penurunan
stunting dengan sasaran kelompok 1000 Hari Pertama Kehidupan. Penyediaan Makanan
Tambahan dan Suplementasi Tablet Tambah Darah untuk lokus stunting ditargetkan
menjangkau seluruh ibu hamil yang ada di wilayah tersebut. Dana BOK juga mendorong
daerah untuk memanfaatkan pangan lokal sebagai makanan tambahan bagi ibu hamil.
3) Penguatan koordinasi pusat dan daerah dalam meningkatkan sinergitas pelaksanaan
program gizi. Salah satu kegiatan yang dilaksanakan adalah Pertemuan Persiapan
Suplementasi Gizi antara Pusat dan Daerah.
4) Orientasi Proses Asuhan Gizi Puskesmas untuk meningkakan kapasitas tenaga gizi dalam
melakukan asuhan gizi untuk individu maupun masyarakat dalam rangka meningkatkan
kulaitas pelayanan gizi di puskesmas.
5) Peningkatan kerjasama lintas program dan lintas sector dalam meningkatkan kualitas
intervensi dan cakupan kegiatan gizi, salah satunya adalah kerjasama dengan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 32


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

universitas. Pada tahun 2019 terdapat 15 universitas yang melakukan perjanjian


kerjasama dengan direktorat gizi, yaitu:
1. Universitas Syiah Kuala
2. Universitas Andalas
3. Unversitas Sriwijaya
4. Universitas Padjadjaran
5. Institut Pertanian Bogor
6. Universitas Diponegoro
7. Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
8. Universitas Gadjah Mada
9. Universitas Indonesia
10. Universitas Brawijaya
11. Universitas Airlangga
12. Universitas Udayana
13. Universitas Lambung Mangkurat
14. Universitas Hasanudin
15. Universitas Nusa Cendana
Diantara kegiatan yang dilaksanakan oleh universitas-universitas ini adalah intervensi
gizi pada ibu hamil termasuk pendampingan ibu hamil KEK. Intervensi gizi yang
dilakukan meliputi pemantauan konsumsi suplementasi gizi (makanan tambahan dan
tablet tambah darah), cek haemoglobin darah dan konseling.
6) Penguatan surveilans gizi termasuk memantau secara rutin jika ditemukan ibu hamil KEK
baru agar bisa ditindaklanjuti dengan pelayanan gizi yang dibutuhkan untuk
memperbaiki kondisi gizi ibu hamil KEK tersebut.
7) Inovasi Daerah dalam menanggulangi masalah gizi termasuk Ibu Hamil Kurang Energi
Kronik. Di era desentralisasi dan kemajuan teknologi, banyak sekali daerah yang
membuat kegiatan yang bersifal lokal spesifik untuk meningkatkan status kesehatan dan
gizi masyarkatnya. Nganjuk adalah salah satu kabupaten di Jawa Timur yang memiliki
kegiatan untuk mengurangi risiko kesakitan dan kematian pada ibu hamil yang berisiko
tinggi, termasuk ibu hamil KEK. Nama kegiatannya adalah GERDARISTI, yaitu kegiatan
pendampingan pada ibu hamil yang berisiko tinggi. Kader kesehatan melakukan
pendampingan intensif pada ibu hamil segera setelah diketahui ibu hamil tersebut
berisiko tinggi sampai ibu hamil melahirkan.
8) Integrasi pendidikan gizi ibu hamil di kelas ibu. Kelas ibu hamil digunakan sebagai sarana
untuk meningkatkan kapasitas ibu hamil dari segi pengetahuan, perubahan sikap dan
perilaku terkait kesehatan dan gizi selama kehamilan melalui kegiatan tatap muka dalam
kelompok. Kegiatan konseling untuk hamil berisiko juga dapat dilakukan pada kelas ini.
Data laporan rutin Direktorat Kesehatan keluarga menunjukkan terdapat 92.41%
puskesmas yang menyelenggarakan kelas ibu hamil pada tahun 2019.
9) Penyelenggaraan kegiatan pelayanan antenatal di puskesmas (ibu hamil mendapatkan
pelayanan antenatal minimal 4 kali)
Kegiatan ini merupakan akses pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil dan tingkat
kepatuhan ibu hamil dalam memeriksakan kehamilannya ke tenaga kesehatan minimal 4
kali, sesuai dengan ketetapan waktu kunjungan. Melalui kegiatan ini diharapkan ibu

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 33


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

hamil dapat dideteksi secara dini adanya masalah, gangguan atau kelainan dalam
kehamilannya, dan dilakukan penanganan secara cepat dan tepat.

Pada saat ibu hamil melakukan pemeriksaan kehamilan, tenaga kesehatan memberikan
pelayanan antenatal secara lengkap, salah satunya adalah nilai status gizi dengan cara
mengukur LiLA.

10) Gerakan Pekerja Perempuan Sehat Produktif (GP2SP) adalah upaya pemerintah,
masyarakat maupun pengusaha untuk menggalang dan berperan serta, guna
meningkatkan kepedulian dalam upaya memperbaiki kesehatan dan status gizi pekerja
perempuan, sehingga dapat meningkatkan produktivitas kerja dan meningkatkan
kualitas generasi penerus. Kegiatan utama GP2SP diantaranya adalah perusahaan
menyediakan ruang ASI, mengadakan kelas ibu hamil, cek kesehatan secara berkala dan
memperhatikan gizi pekerja hamil dan menyusui di tempat kerja. Pada tahun 2018, dari
3.041 perusahaan dengan pekerja perempuan lebih dari 100 orang, sudah sekitar 448
(14,7%), naik sekitar 2% dari tahun sebelumnya, perusahaan yang sudah melaksanakan
GP2SP.

Dalam mengatasi hambatan pencapaian kinerja pada tahun 2020 solusi yang akan dilakukan
yaitu:
1. Penguatan manajemen data rutin mulai dari pengumpulan, analisis, dan pemanfaatan
data/informasi.
2. Penguatan integrasi kegiatan penyuluhan/konseling gizi bagi ibu hamil di kelas ibu.
3. Peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dan gizi dalam meningkatkan kualitas dan
cakupan pelayanan gizi di puskesmas.
4. Penyediaan materi edukasi gizi untuk ibu hamil, termasuk keberagaman dan jumlah yang
dianjurkan bagi ibu hamil
5. Peningkatan edukasi gizi pada remaja putri agar memahami pentingnya gizi baik pada
usia mereka. Remaja putri yang kurang gizi cenderung akan mengalami KEK pada masa
kehamilannya nanti. Direktorat Gizi dan UNICEF sedang mengembangkan program gizi
pada remaja dan sudah melakukan piloting di Klaten dan Lombok.
6. Peningkatan pemanfaatan pangan lokal untuk Makanan Tambahan ibu hamil KEK.
dengan memanfaatkan pangan lokal, sehingga tidak bergantung kepada pangan jadi atau
pangan pabrikan.

c. Persentase kab/kota yang memenuhi kualitas kesehatan lingkungan

Kabupaten/Kota dinyatakan memenuhi kualitas kesehatan lingkungan jika


memenuhi minimal 4 kriteria dari 6 kriteria yaitu :
1. Memiliki Desa/kel melaksanakan STBM minimal 20%
2. Menyelenggarakan kab/kota sehat
3. Melakukan pengawasan kualitas air minum minimal 30%
4. TPM memenuhi syarat kesehatan minimal 8 %
5. TTU memenuhi syarat kesehatan minimal 30%
6. RS melaksanakan pengelolaan limbah medis minimal 10%
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 34
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Justifikasi penetapan target dan kriteria tersebut berdasarkan analisa data realisasi
indikator pada tahun 2013 yang dilakukan di tahun 2014. Berdasarkan data pada tahun
tersebut, target tahun 2015 ditetapkan sebesar 20% dengan peningkatan 5% setiap
tahunnya sampai akhir tahun 2019 sebesar 40%. Sedangkan untuk kriteria minimal yang
memenuhi kualitas kesehatan lingkungan berdasarkan data analisa tersebut, hanya
terdapat 2 kab/kota saja yang memenuhi kualitas kesehatan lingkungan jika ditetapkan
keenam kriteria. Kemudian dilakukan analisis kembali untuk mendapatkan jumlah
kab/kota yang lebih besar yang dapat memenuhi kriteria yang ditetapkan. Jika ditetapkan
2 kriteria maka terdapat 130 kab/kota yang memenuhi kriteria. Sedangkan jika
ditetapkan 3 kriteria maka terdapat 119 kab/kota yang dapat memenuhi kriteria.
Penetapan 2 dan 3 kriteria diasumsikan belum memenuhi seluruh aspek kesehatan
lingkungan. Sehingga kemudian dilakukan perhitungan 4 kriteria maka terdapat 76
kabupaten/kota yang memenuhi kriteria dan dianggap sesuai untuk dijadikan data dasar
untuk tahun 2015.

Tabel 3.2
Target dan Capaian Indikator Kinerja Kesehatan Lingkungan Tahun 2019

Target Realisasi/Capaian
Capaian
No Indikator
% Absolut Realisasi (Realisasi/
Target*100)
1 45.000 desa/kel 57.935
Jumlah
dari desa/kel
desa/Kelurahan yang 55,6% 128,75%
80.930 (71,59%)
melaksankan STBM
desa/kel
2 Persentase RS yang
melakukan 42,64 %
36% 118,45%
pengelolaan limbah 1.030 RS dari (1.220 RS)
medis sesuai standar 2.861RS
3 Persentase Tempat -
62,00%
Tempat Umum (TTU)
58% (129.178 106,89%
yang memenuhi syarat 120.849 TTU dari
TTU)
kesehatan 208.361 TTU
4 Persentase Tempat
Pengelolaan Makanan 36,25 %
32% 133,28%
(TPM) yang memenuhi 49.054 TPM dari (55.570 TPM)
syarat kesehatan 153.292 TPM
5 Jumlah
386 Kab/Kota
Kabupaten/Kota yang 366 Kab/kota
75,1% Dari 94,82%
menyelenggarakan (71,21%)
514
tatanan kawasan sehat

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 35


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Target Realisasi/Capaian
Capaian
No Indikator
% Absolut Realisasi (Realisasi/
Target*100)
6 55.431
SAM yang 50,2 %
Persentase sarana air
dilakukan IKL (55.631)
minum yang dilakukan 50% 100,36 %
110.862 SAM yang di
pengawasan
SAM IKL)

Pada tabel diatas disajikan target dan capaian keenam indikator kesehatan lingkungan tahun
2019 yang merupakan dasar perhitungan capaian indikator kinerja utama kabupaten kota
yang memenuhi kualitas kesehatan lingkungan. Secara nasional, hampir seluruh indikator
kinerja kesehatan lingkungan memenuhi target, hanya indikator Kabupaten Kota Sehat saja
yang belum memenuhi target. Namun, unit analisa pengukuran indikator kabupaten kota
yang memenuhi kualitas kesehatan lingkungan adalah kabupaten/kota sehingga meskipun
secara nasional terdapat satu indikator yang belum mencapai 100%, namun apabila 4
indikator dari 6 indikator telah memenuhi kriteria minimal maka kabupaten tersebut masuk
kedalam kategori kabupaten kota yang memenuhi kualitas kesehatan lingkungan.

Grafik 3.8
Target, Cakupan dan Capaian Kinerja Indikator Persentase Kabupaten/Kota yang Memenuhi
Kualitas Kesehatan Lingkungan Tahun 2018 dan 2019
250

195,05
200
165,14
150

100 78,02
57,80
50 35,00 40

0
Target Cakupan Capaian

2018 2019

Sumber data: Direktorat Kesehatan Lingkungan Tahun 2019

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 36


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Cakupan indikator persentase kab/kota yang memenuhi kualitas kesehatan lingkungan pada
tahun 2018 sebesar 57,80% (297 kab/kota dari 514 kab/kota) memiliki target 35% (180
kab/kota dari 514 kab/kota) sehingga capaian kinerja nya sebesar 165,14%. Pada Pada Th
2019, target indikator Persentase Kabupaten/Kota yang Memenuhi Kualitas Kesehatan
Lingkungan sebesar 40 % (206 kab/kota dari 514 kab/kota). Sedangkan realisasi indikator
tersebut sebesar 78,02 % (401 kab/ kota). Itu berarti realisasi indikator tersebut sudah
mencapai target indikator dengan capaian kinerja sebesar 195,05%.

Grafik 3.9
Realisasi Th 2019 dan Target Jangka Menengah Indikator Persentase Kabupaten/Kota
yang Memenuhi Kualitas Kesehatan Lingkungan
90 *) dalam persen

78,02
80

70

60

50
40
40 35
30
30 25
20
20

10

0
Realisasi 2018 Target 2015 Target 2016 Target 2017 Target 2018 Target 2019

Sumber data: Direktorat Kesehatan Lingkungan Tahun 2019

Jika menyandingkan realisasi 2019 dengan terget jangka menengah 2015-2019 maka
diketahui bahwa realisasi 2019 sudah melewati target 2015-2019.

Tabel 3.3
Realisasi Per Provinsi Indikator Persentase Kabupaten/Kota yang memenuhi Kualitas
Kesehatan Lingkungan tahun 2019

JUMLAH KAB/
JML KAB/KOTA
KOTA YG
NO PROVINSI (VERSI PUSDATIN/ %
MEMENUHI
BPS)
KUALITAS KESLING
1 ACEH 23 12 52.17
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 37
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

2 SUMATERA UTARA 33 23 69.70


3 SUMATERA BARAT 19 18 94.74
4 RIAU 12 12 100.00
5 JAMBI 11 11 100.00
6 SUMATERA SELATAN 17 15 88.24
7 BENGKULU 10 9 90.00
8 LAMPUNG 15 15 100.00
KEPULAUAN BANGKA
9 BELITUNG 7 7 100.00
10 KEPULAUAN RIAU 7 7 100.00
11 DKI JAKARTA 6 6 100.00
12 JAWA BARAT 27 27 100.00
13 JAWA TENGAH 35 35 100.00
14 DI YOGYAKARTA 5 5 100.00
15 JAWA TIMUR 38 35 92.11
16 BANTEN 8 8 100.00
17 BALI 9 9 100.00
18 NUSA TENGGARA BARAT 10 9 90.00
19 NUSA TENGGARA TIMUR 22 12 54.55
20 KALIMANTAN BARAT 14 9 64.29
21 KALIMANTAN TENGAH 14 14 100.00
22 KALIMANTAN SELATAN 13 12 92.31
23 KALIMANTAN TIMUR 10 10 100.00
24 KALIMANTAN UTARA 5 4 80.00
25 SULAWESI UTARA 15 4 26.67
26 SULAWESI TENGAH 13 13 100.00
27 SULAWESI SELATAN 24 24 100.00
28 SULAWESI TENGGARA 17 7 41.18
29 GORONTALO 6 6 100.00
30 SULAWESI BARAT 6 6 100.00
31 MALUKU 11 0 0.00
32 MALUKU UTARA 10 7 70.00
33 PAPUA BARAT 13 6 46.15
34 PAPUA 29 4 13.79
Sumber data: Direktorat Kesehatan Lingkungan Tahun 2019

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 38


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Grafik 3.10
Realisasi Per Provinsi Indikator Persentase Kabupaten/Kota yang Memenuhi Kualitas
Kesehatan Lingkungan Tahun 2019

Sumber data: Direktorat Kesehatan Lingkungan Tahun 2019

Pada tahun 2019, dari 514 kab/kota terdapat 401 kab/kota telah memenuhi kualitas kesling.
Terdapat 24 provinsi (70,59%) yang berada di zona hijau (80-100% kab/kota di provinsi
tersebut memenuhi kualitas kesling) yaitu Riau, Jambi, Lampung, Kepulauan Bangka
Belitung, kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Banten, Bali,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Gorontalo,
Sulawesi Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat,
Bengkulu, Sumatera Selatan, Kalimantan Utara. Terdapat 5 provinsi (14.70%) berada di zona
kuning (52-70% kab/kota di provinsi tersebut memenuhi kualitas kesling yaitu Maluku Utara,
Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Aceh.

Tiga provinsi (8,82 %) berada di zona oranye (26-50 % kab/kota di provinsi tersebut
memenuhi kualitas kesling) yaitu Papua Barat, Sulawesi tenggara, Sulawesi Utara; dan
terakhir 2 provinsi (5,88 %) masih berada di zona merah (0-25 % kab/kota di provinsi
tersebut memenuhi kualitas kesling) yaitu Papua dan Maluku. Sumber data diperoleh dari
Dashboard Kesling (kesling.kesmas.kemkes.go.id) Berbagai instrument pelaporan indikator
baik secara manual maupun elektronik (online).

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 39


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Gambar 3.1
Peta Realisasi Per Provinsi Indikator Persentase Kabupaten/Kota yang Memenuhi Kualitas
Kesehatan Lingkungan Tahun 2019

Grafik 3.11.
Target dan Realisasi Indikator Persentase Kabupaten/Kota yang Memenuhi Kualitas
Kesehatan Lingkungan Tahun 2015-2019

Sumber data: Direktorat Kesehatan Lingkungan Tahun 2019

Pada tahun 2019, target indikator Persentase Kab/Kota yang memenuhi kualitas
lingkungan sebesar 40 % dan realisasi indikator tersebut sebesar 78,02 %. Tahun 2018
target indikator Itu berarti pada tahun 2018, realisasi indikator tersebut telah mencapai
target indikator 35 % dan realisasi indikator tersebut sebesar 57.8 %. Tahun 2017 target
indikator tersebut sebesar 30% dan realisasinya sebesar 53.89%, hal ini menunjukkan
realisasi telah mencapai target yang ditentukan. Tahun 2016 target indikator tersebut
sebesar 25 % dan realisasinya sebesar 33,46 %, hal ini menunjukkan bahwa realisasi telah
mencapai target yang ditentukan. Pada tahun 2015, target indikator tersebut sebesar 20
% dan realisasinya sebesar 27.63 %. Itu berarti pada tahun 2015, realisasi indikator

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 40


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

tersebut juga telah mencapai target indikator yang ditetapkan. Jadi dapat disimpulkan
bahwa trend realisasi indikator tersebut senantiasa mencapai target indikator setiap
tahunnya.

Grafik 3.12
Target dan Capaian Kinerja Indikator Persentase Kabupaten/Kota yang Memenuhi
Kualitas Kesehatan Lingkungan Tahun 2015-2019

250

200 195,05
165.14
150 138,13 179,63
133,85
100 100 100 100 100 100

50

0
2015 2016 2017 2018 2019

Capaian Kinerja Realisasi Indikator


Sumber data: Direktorat Kesehatan Lingkungan Tahun 2019

Pada tahun 2019, capaian kinerja indikator Persentase Kabupaten/Kota yang Memenuhi
Kualitas Kesehatan Lingkungan sebesar 195,05%. Pada Tahun 2018, capaian kinerja indikator
tersebut sebesar 165.14 %. Pada Tahun 2017, capaian kinerja indikator tersebut sebesar
179.63 %. Pada tahun 2016, capaian kinerja indikator tersebut sebesar 133.85 %. Pada
tahun 2015, capaian kinerja indikator tersebut sebesar 138.1 %. Jadi dapat disimpulkan
bahwa trend capaian kinerja indikator tersebut di atas 100 % setiap tahunnya. Itu berarti
setiap tahunnya capaian kinerja sudah mencapai target capaian kinerjanya yang adalah 100
%.

Analisis penyebab/ program/ kegiatan yang menunjang keberhasilan antara lain :


1. Sumber Daya Manusia
Peningkatan kapasitas sumber daya manusia (petugas dan masyarakat) baik di pusat
maupun dekonsentrasi melalui kegiatan (a) Training of Trainer (TOT) dalam
Implementasi 5 pilar STBM; (b) Orientasi natural leader, STBM, penjamah makanan dan
kader kesling lainnya; (c) TOT Pengamanan Limbah medis RS Bagi Pelatih; (d) Orientasi
PHAST Pasar; (e) Orientasi STBM dan Sosialisasi 5 pilar STBM di 24 Poltekes; (f)
Workshop HSP untuk KKP dalam pencapaian target TPM; (g) Uji Coba Pelaksanaan
Surveilans Kualitas Air Minum; (h) Pelatihan Pelatih (TOT) Adaptasi Perubahan Iklim
Bidang Kesehatan Bagi Tenaga Kesehatandi Wilayah Kerjanya.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 41


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

2. Pembiayaan
Dalam rangka memenuhi kebutuhan kegiatan Kesehatan Lingkungan pembiayaan
berasal dari berbagai sumber. Pembiayaan pusat pendanaan berasal dari rupiah murni
sebesar Rp 166,886,632,000,- kemudian dana dekonsentrasi berupa Rp.
27,883,999,000,- untuk kegiatan peningkatan kapasitas dan Pengembangan
jejaring/koordinasi lintas program/lintas sektor dalam bentuk pertemuan antar
stakeholder terkait untuk menyamakan persepsi dalam mewujudkan dan mendukung
pelaksanaan kegiatan penyehatan lingkungan. Selain itu, dialokasikan Dana Alokasi
Khusus Fisik dan Non Fisik untuk mendukung pelaksanaan kegiatan penyehatan
lingkungan ditingkat puskesmas dan kabupaten.
3. Sistem dan Metode
Pengembangan Sistem dan Metode dilakukan melalui Penyusunan Norma Standar
Prosedur dan Ketentuan dan Pengembangan Monitoring dan Evaluasi berbasis internet.
Untuk penyusunan Norma Standar Prosedur dan Ketentuan berupa (a) Permenkes No.
7 tahun 2019 tentang Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, (b) Permenkes No. 41 tahun
2019 tentang Penghapusan dan Penarikan Alat kesehatan Bermerkuri di Fasyankes, (c)
Draft Permenkes Pengelolaan Limbah medis Berbasis Wilayah, (d) Penyusunan draft
Pedoman Radiasi, (e) Pedoman Kesehatan Lingkungan Shalter Pekerja Migrasi Indonesia
(PMI), (f) Penyusunan draft Pedoman Desa Sehat Iklim, (g) Penyusunan draft Permenkes
Keamanan Pangan Siap Saji, (h) Penyusunan draft Pedoman Keamanan Pangan Siap Saji
di Pondok Pesantren dengan Metode Partisipatori, (i) Penyusunan draft Perpres KKS, (j)
Review Permenkes No. 3 tahun 2014,(k) Penyusunan Pedoman Pemicuan STBM 5 Pilar
STBM, (l) Review Permenkes No. 736 tahun 2010, (m) Penyusunan finalisasi Pedoman
Surveilans Kualitas Air Minum.
Sebagian besar Sistem Monitoring dan Evaluasi Indikator Kesehatan Lingkungan telah
berjalan dengan baik. Indikator seperti desa yang melaksanakan STBM, persentase TPM
yang memenuhi syarat kesehatan dan Jumlah RS yang melakukan Pengelolaan Limbah
Medis telah memiliki perangkat pendukung yang memungkinkan sanitarian ditingkat
Puskesmas dapat mengisi data dengan baik dan petugas Kesling Kabupaten juga telah
memiliki kapasitas yang mumpuni menjalankan sistem tersebut. Selain itu, sistem
monitoring tersebut telah terintegrasi dengan baik kedalam sistem monitoring kesling
yang dapat di akses pada laman situs kesling.kesmas.go.id sehingga dapat dengan
mudah diakses pihak terkait yang dapat langsung ditindaklanjuti apabila terjadi
permasalahan terhadap capaian indikator.Realisasi Angaran ditingkat pusat dan
provinsi (dekonsentrasi) dapat terpantau melalui aplikasi OMSPAN (Online Monitoring
Sistem Perbendaharaan dan Anggaran) dan secara berkala dilakukan evaluasi dan
tindak lanjut untuk percepatan realisasi anggaran.
4. Sarana dan Prasarana
Percepatan program STBM melalui program Intervensi Kesehatan Lingkungan dalam
bentuk Padat Karya Tunai Desa (PKTD) di 530 desa lokus Stunting dan 12 desa lokus DAS
Citarum. Kemudian dialokasikan juga peralatan Sanitarian Kit sebanyak 633 unit dan
Alat Pembersih Pasar sebanyak 134 unit.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 42


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Namun demikian upaya-upaya tersebut belum sepenuhnya maksimal dan masih terdapat
beberapa kendala seperti :
1. Sumber Daya Manusia
Meskipun peningkatan kapasitas petugas kesling dan kader (masyarakat) telah
dilakukan secara masif dan terstruktur. Namun kuantitas dan kualitas petugas
kesehatan lingkungan dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan terkait
kesling masih kurang hal ini serta mutasi petugas yang terjadi di daerah.
2. Pembiayaan
Meskipun sumber pembiayaan (pusat dan dekonsentrasi) Kegiatan Kesehatan
Lingkungan telah mencukupi untuk mencapai target. Lebih dari itu, apabila
dibandingkan dengan tahun sebelumnya maka terjadi penurunan sebesar 80,67% yaitu
Rp. 241.429.445.000,- di tahun 2018 menjadi Rp. 194.770.631.000,- di tahun 2019.
Begitu juga dengan realisasi anggaran meningkat dari 93.56% di Tahun 2018 menjadi
94,66% di Tahun 2019.
3. Sistem dan Metode
Meskipun sebagian besar Sistem Monitoring dan Evaluasi Indikator Kesehatan
Lingkungan telah berjalan dengan baik. Namun terdapat indikator yang masih
menggunakan metode manual seperti Pengawasan Pasar dan Tempat-Tempat Umum,
Pesar Sehat dan Kabupaten Kota Sehat yang memenuhi Syarat sehingga monitoringnya
tidak secepat indikator lainnya. Selain itu, adanya pengembangan system aplikasi
menyebabkan error system sehingga penginputan data dari daerah terkendala.
4. Sarana dan Prasarana
Peralatan yang diperlukan dalam pengawasan kesehatan lingkungan seperti Kit Kesling
Kab/Kota, dan Sanitarian Kit telah dialokasikan ke daerah melalui anggaran pusat dan
DAK. Kemungkinan penggunaan dana DAK dalam memenuhi kebutuhan peralatan
kesehatan lingkungan belum optimal. Selain itu alokasi Alat Pembersih Pasar sebanyak
134 unit belum memenuhi seluruh pasar yang telah dilakukan perbaikan oleh
Kemendag sebagai basis data Pasar Sehat.

Alternatif solusi yang dilakukan meliputi :


• Memaksimalkan pembinaan penyelenggaraan kesehatan lingkungan secara terintegrasi
dan terfokus pada daerah sasaran yang aktif kepada seluruh pengelola kesehatan
lingkungan di daerah dalam percepatan pencapaian target indikator kesehatan
lingkungan.
• Memaksimalkan komunikasi aktif baik melalui media elektronik maupun surat
menyurat kepada seluruh pimpinan daerah dalam rangka implementasi serta
monitoring evaluasi data dan pelaporan tepat waktu.
• Memaksimalkan advokasi kepada pejabat daerah agar diperoleh dukungan terhadap
pelaksanaan kegiatan kesling khususnya dalam hal pendanaan penyelenggaraan
kesehatan lingkungan. Selain itu, agar diperoleh dukungan operasional berupa
penyediaan jaringan internet yang lebih stabil. Diperlukan juga penyediaan fasilitas
input offline pada aplikasi elektronik oleh Pusat, jika terjadi penurunan koneksi jaringan
internet di daerah dan pengembangan sismtem aplikasi.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 43


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

• Pelaksanaan peningkatan kapasitas di tingkat provinsi harus sudah menggunakan


kurikulum modul yang terakreditasi yang telah disusun oleh Pusat.
• Pelaksanakan orientasi kesehatan lingkungan secara terintegrasi kepada seluruh
pengelola kesehatan lingkungan (sanitarian) tingkat Puskemas dan Kabupaten/Kota
untuk penyelenggaraan kesehatan lingkungan yang terstandar dan pelaporan tepat
waktu melalui sistim monitoring elektronik.
• Melanjutkan pemberian sarana dan prasarana pengawasan kesehatan lingkungan
sampai tingkat Puskesmas yang menjadi sasaran prioritas Kementerian Kesehatan
(sasaran lokus Puskesmas untuk program Keluarga Sehat) dan pada puskesmas yang
tersedia tenaga sanitarian aktif.
• Melanjutkan pendampingan dana dekon dan DAK yang optimal untuk percepatan
capaian kesehatan lingkungan secara menyeluruh.
• Memperluas sosialisasi seluruh program kesehatan lingkungan kepada masyarakat di
seluruh kab/kota.
• Melanjutkan kemitraan dengan Pramuka, PKK, TNI dan Tokoh Agama/Majelis Ulama
Indonesia dalam pelaksanaan kegiatan kesling sampai dengan basis keluarga.
• Melanjutkan pelaksanaan berbagai penilaian untuk mendukung pelaksanaan kesling
seperti penilaian kab/kota sehat, lingkungan bersih sehat, kantor sehat, sekolah sehat,
kantin sehat, pelabuhan/bandara sehat, toilet sehat dll.

2). Sasaran Strategis 2: Meningkatnya Pencegahan dan Pengendalian Penyakit

Saat ini, Indonesia tengah menghadapi tantangan besar yakni masalah kesehatan triple
burden, dimana angka kesakitan penyakit menular masih tinggi namun di sisi lain penyakit
tidak menular mengalami peningkatan yang cukup bermakna dan penyakit penyakit yang
seharusnya sudah teratasi muncul kembali. Data Global Burden of Disease 2010 dan Health
Sector Review 2014 bahwa menyebutkan kematian yang diakibatkan PTM, yaitu stroke
menduduki peringkat pertama. Padahal 30 tahun lalu, penyakit menular seperti infeksi
saluran pernafasan atas (ISPA), tuberkulosis dan diare merupakan penyakit terbanyak dalam
pelayanan kesehatan. Pergeseran pola penyakit ini, ditengarai disebabkan perubahan gaya
hidup masyarakat. Guna menjawab tantangan permasalahan tersebut, maka Kementerian
Kesehatan telah menetapkan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian penyakit.
Langkah-langkah pencegahan tersebut selanjutnya dirumuskan menjadi sejumlah indikator-
indikator untuk mengukur capaian kinerjanya.

Dalam kaitan dengan Sasaran Strategis ini, Kementerian Kesehatan mengidentifikasi


sembilan Indikator Kinerja Utama (IKU) dengan hasil capaiannya sebagaimana tergambar
dalam tabel berikut:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 44


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Tabel 3.4
Capaian IKU pada Sasaran Strategis 2:
Meningkatnya Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
SS2: Meningkatnya Pencegahan dan Pengendalian Penyakit

Indikator Kinerja Target Realisasi % Realisasi


2a. Persentase cakupan keberhasilan pengobatan pasien 90% 90,78% 100,90%
TB/Success Rate (SR)
2b. Prevalensi HIV <0,5% 0,32% 136%
2c. Jumlah kabupaten/kota mencapai eliminasi malaria 300 300 100%
2d. Jumlah provinsi dengan eliminasi kusta 34 26 76,5%
2e. Jumlah kabupaten/kota dengan eliminasi Filariasis 35 56 160%
2f. Penurunan kasus Penyakit yang Dapat Dicegah 40% 42,80 107%
Dengan Imunisasi (PD3I) tertentu
2g. Kab/Kota yang mampu melaksanakan kesiapsiagaan 100% 100% 100%
dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan
masyarakat yang berpotensi wabah
2h. Persentase kab/kota yang melaksanakan kebijakan 50% 50,2% 100,40%
Kawasan Tanpa Rokok (KTR) minimal 50% sekolah
2i. Jumlah kabupaten/kota yang memiliki Puskesmas 280 407 145,40%
yang menyelenggarakan upaya kesehatan jiwa

Uraian tentang kesembilan IKU tersebut adalah sebagai berikut:


a. Persentase cakupan keberhasilan pengobatan pasien TB/Success Rate
Indikator persentase cakupan keberhasilan pengobatan TB/Success Rate merupakan
indikator yang memberikan gambaran kualitas pengobatan TB yaitu seberapa besar
keberhasilan pengobatan pada pasien TB yang sudah mendapat pengobatan dan
dilaporkan. Angka ini menggambarkan besaran pasien TB yang berhasil dalam
pengobatannya baik dengan kategori sembuh maupun kategori pengobatan lengkap.
Pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang menjadi indikator
kinerja program P2TB adalah Prevalensi TB. Prevalensi TB adalah indikator yang
memberikan gambaran beban penyakit TB dan dapat memberikan petunjuk seberapa
besar penularan yang sedang berlangsung di populasi. Angka ini menggambarkan jumlah
kasus TB di populasi, tidak hanya kasus TB yang datang ke pelayanan kesehatan dan
dilaporkan ke program. Persentase cakupan keberhasilan pengobatan TB adalah jumlah
semua kasus TB yang sembuh dan pengobatan lengkap di antara semua kasus TB yang
diobati dan dilaporkan dalam satu tahun. Indikator ini dihitung berdasarkan rumus:

Persentase cakupan Jumlah semua kasus TB yang sembuh dan


keberhasilan pengobatan = pengobatan lengkap
x 100%
TB Jumlah semua kasus TB yang diobati dan
dilaporkan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 45
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Persentase cakupan keberhasilan pengobatan TB (Success Rate) mencapai target dari


tahun 2015-2019. Tahun 2015 tercapai 84% dari target 84%, tahun 2016 tercapai 85%
dari target 85%, tahun 2017 sebesar 87% dari target 87%, tahun 2018 sebesar 89,32%
dari dari target 89% dan tahun 2019 sebesar 90,78% dari target 90%. Secara lengkap
dapat dilihat pada grafik berikut:
Grafik 3.13
Target dan Capaian Persentase Cakupan Angka Keberhasilan Pengobatan TB
Tahun 2015 – 2019

Sumber data : Laporan Subdit TB per 21 Januari Tahun 2020

Indikator ini adalah indikator positif yang artinya jika semakin besar capaian maka
semakin baik kinerjanya dan sebaliknya jika semakin kecil capaian maka semakin
buruk kinerjanya. Bila dibandingkan dengan indikator RPJMN yakni Prevalensi
Tuberkulosis (TB) dengan target sebesar 245 per 100.000 penduduk, telah tercapai
sebesar 245 per 100.000 penduduk pada tahun 2019. Prevalensi TB dengan angka
keberhasilan memiliki hubungan negatif yang artinya jika angka keberhasilan
pengobatan semakin tinggi, maka prevalensi TB akan menurun dan sebaliknya angka
keberhasilan pengobatan semakin tinggi berarti penderita TB yang sembuh semakin
banyak dan kemungkinan untuk menularkan akan berkurang. Jika penularan
berkurang maka jumlah penderita TB di populasi juga berkurang, dengan demikian
prevalensi juga menurun.

Bila dibandingkan capaian indikator angka keberhasilan pengobatan TB per regional


didunia, Indonesia sebagai bagian dalam Regional Asia Tenggara dengan angka
keberhasilan pengobatan TB di Asia Tenggara sebesar 83%, selanjutnya Regional Timur
Tengah 91%, Pasifik Barat 91%, Afrika 82%, PAHO Amerika 76%, Eropa 78% dan
capaian global sebesar 85% (TB Global Report, 2019). Indonesia menduduki peringkat
ke-3 untuk insiden TB setelah India dan China. Angka kejadian (insidensi) TB tahun
2018 adalah 316 per 100.000 (sekitar 845.000 pasien TB), dan 7,9% di antaranya
dengan TB/HIV. Angka kematian TB adalah 93 per 100.000 penduduk (tidak termasuk
angka kematian akibat TB/HIV). WHO memperkirakan ada 24.000 kasus MDR di
Indonesia. Secara lengkap terlihat dalam tabel berikut ini:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 46


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Tabel 3.5
Estimasi Beban TB tahun 2019

Sumber data : Global TB Report Tahun 2019

Tantangan yang perlu diperhatikan saat ini adalah TB DM, TB pada anak, dan TB pada
masyarakat kelompok khusus atau kelompok rentan lainnya. Dengan angka estimasi
kasus TB sebesar 845.000 kasus pertahun dan notifikasi kasus TBC sebesar 564.000
kasus maka masih ada sekitar 281.000 kasus (33%) yang belum ternotifikasi baik yang
belum terjangkau, belum terdeteksi maupun belum terlaporkan.

Indikator persentase cakupan keberhasilan pengobatan TB tahun 2019 telah mencapai


target, disebabkan karena berbagai ekspansi yang sudah dilaksanakan seperti ekspansi
DOTS (Directly Observed Treatment Short-course), ekspansi laboratorium pemeriksaan
TB, ekspansi fasilitas pelayanan TB RO sehingga mendukung meningkatnya kasus TB
yang ditemukan dan diobati, peran pengawas menelan obat dan fasilitas layanan
kesehatan yang semakin baik, serta telah dilaksanakannya mopping up/ penyisiran
kasus ke RS yang ada di Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Selain itu, dilakukan perubahan
strategi penemuan pasien TB tidak hanya “secara pasif dengan aktif promotif” tetapi
juga melalui “penemuan aktif secara intensif dan masif berbasis keluarga dan
masyarakat“ dengan tetap memperhatikan dan mempertahankan layanan TB yang
bermutu sesuai standar. Guna mempercepat penemuan kasus TB tersebut, maka
diperlukan upaya khusus penemuan kasus secara aktif pada kelompok khusus untuk
deteksi dini TB di lokasi-lokasi tertentu seperti pondok pesantren dan lapas/rutan
serta dilakukan skrining TB dan pemeriksaan chest x-ray (rontgen dada) pada orang
terduga TB.

Untuk mencapai indikator dilakukan beberapa upaya indikator antara lain:


1. Ekspansi laboratorium dan distribusi alat Tes Cepat Molekuler (TCM). Pada tahun
2019 telah terdistribusi sebanyak 916 unit TCM yang tersebar pada 478 kab/kota
dengan penyebaran di pulau Sumatera sebanyak 228 unit, Jawa sebanyak 377 unit,
Bali dan Nusa Tenggara sebanyak 51 unit, Kalimantan sebanyak 72 unit, Sulawesi
sebanyak 119 unit, Maluku dan Maluku Utara sebanyak 26 unit, Papua dan Papua
Barat sebanyak 43 unit. Keseluruhan TCM tersebut didistribusikan pada 878
fasilitas pelayanan kesehatan yang terdiri dari 619 Rumah Sakit, 16 laboratorium
dan 243 puskesmas.
2. Penerapaan sistem transportasi spesimen dengan menggunakan aplikasi Sistem
Informasi Trekring Untuk Spesimen Transpor (SITRUS) yaitu aplikasi android mobile
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 47
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

yang sudah diimplementasikan pada 4432 fasilitas kesehatan di 203 kabupaten dan
16 provinsi.
3. Pelaksanaan investigasi kontak berdasarkan panduan yang telah didiseminasi ke
seluruh provinsi.
4. Pelaksanaan penemuan kasus TB pada populasi risiko tinggi seperti pada pasien
diabetes di puskesmas dan faskes rujukan sesuai panduan yang telah didiseminasi
ke seluruh provinsi.
5. Sejak bulan November tahun 2019, telah dilaksanakan skrining TB pada populasi
risiko tinggi di 5 provinsi yaitu Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Target skrining sebanyak 150.000 orang dari rumah
tahanan/lembaga pemasyarakatan dan sekolah berasrama/pondok pesantren
dengan menggunakan mesin X-ray sebanyak 15.000 dan penggunaan mesin cepat
molekuler sebanyak 4.500 orang.

Gambar 3.2
Skrining TB di Pondok Pesantren Darussalam Perempuan Gontor

6. Adanya sistem informasi TB yang baru (Sistim Informasi TB/SITB), yang telah
menyambungkan jejaring sistem rujukan internal dan eksternal yang sudah
mengintegrasikan puskesmas, rumah sakit dan laboratorium rujukan.
7. Ekspansi pelaksanaan Mopping Up/ penyisiran kasus ke rumah sakit-rumah sakit
baik rumah sakit pemerintah maupun swasta.
8. Pengiriman umpan balik hasil entri SITT dan hasil penyisiran kasus ke rumah sakit
yang ada di provinsi dan kabupaten/ kota.
9. Keterlibatan Stop TB Partnership Indonesia (STPI) dalam STP global yang berperan
dalam penanggulangan tuberkulosis untuk pelayanan yang berkualitas dan
terjangkau. Keterlibatan STPI sudah dimulai sejak awal pembentukan forum STPI
antara lain Indonesia pernah menjadi tuan rumah pertemuan Stop TB Partnership
wilayah Asia Pasifik dan Mediterania pada 2014, pelaksanaan 2 side event pada
pekan ‘UN High Level Meeting on Tuberculosis’ pada September 2018. Kerja sama
multilateral antara STP dan Indonesia dipercayai dapat membawa dampak positif
kepada komunitas TB di tingkat global sehingga Indonesia dipilih sebagai tuan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 48
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

rumah untuk serangkaian acara Board Meeting STP 2019 yang berlangsung pada
tanggal 9-13 Desember 2019. Pertemuan ini menghasilkan 2 hal penting yakni
pertama, pernyataan komitmen bersama untuk aksi multi-sektor mengakhiri
tuberculosis dan kedua, arahan strategis Presiden untuk K/L untuk mengakhiri TB di
Indonesia.

Gambar 3.3
High Level Meeting on Tuberculosis

Dalam pelaksanaan program dan kegiatan ditemukan beberapa kendala/masalah


yakni:
1) Sebanyak 36 Kab/Kota belum memiliki alat TCM untuk mendukung diagnosa TB
dan TB resisten obat.
2) Laboratorium kultur TB standar hanya tersedia di 13 provinsi.
3) Pengelolaan sumber daya program TB yang belum memadai, yaitu adanya rotasi
petugas laboratorium TB dan tidak adanya penambahan jumlah petugas pada
laboratorium rujukan (Balai Besar Laboratorium Kesehatan /BBLK) sejak tahun
2017.
4) Belum semua kasus TB berhasil dijangkau, investigasi kontak belum maksimal dan
minimnya pemahaman pentingnya pengobatan pencegahan pada anak di bawah
umur 5 tahun yang merupakan kontak serumah dari pasien TB.

Alternatif pemecahan masalah yang dilakukan adalah melaksanakan kegiatan yang


berdasarkan 6 strategi yaitu:
1) Penguatan Kepemimpinan Program TB di Kabupaten/Kota.
- Promosi: Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial.
- Regulasi dan peningkatan pembiayaan.
- Koordinasi dan sinergi program.
2) Peningkatan Akses Layanan “TOSS-TB” yang Bermutu.
- Peningkatan jejaring layanan TB melalui PPM (public-private mix)
- Penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 49


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

- Peningkatan kolaborasi layanan melalui TB-HIV, TB-DM, MTBS, PAL, dan lain
sebagainya.
- Inovasi diagnosis TB sesuai dengan alat / saran diagnostik yang baru.
- Kepatuhan dan Kelangsungan pengobatan pasien atau case holding.
- Bekerjasama dengan asuransi kesehatan dalam rangka Cakupan Layanan
Semesta (health universal coverage).
3) Pengendalian Faktor Risiko.
- Promosi lingkungan dan hidup sehat.
- Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TB.
- Pengobatan pencegahan dan imunisasi TB.
- Memaksimalkan penemuan TB secara dini, mempertahankan cakupan dan
keberhasilan pengobatan yang tinggi.
4) Peningkatan Kemitraan melalui Forum Koordinasi TB.
- Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di pusat.
- Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di daerah.
5) Peningkatan Kemandirian Masyarakat dalam Penanggulangan TB.
- Peningkatan partisipasi pasien, mantan pasien, keluarga dan masyarakat.
- Pelibatan peran masyarakat dalam promosi, penemuan kasus, dan dukungan
pengobatan TB.
- Pemberdayan masyarakat melalui integrasi TB di upaya kesehatan berbasis
keluarga dan masyarakat.
6) Penguatan Sistem kesehatan
- Sumber Daya Manusia yang memadai dan kompeten.
- Mengelola logistic secara efektif.
- Meningkatkan pembiayaan, advokasi dan regulasi.
- Memperkuat Sistem Informasi Startegis, surveilans proaktif termasuk
kewajiban melaporkan (mandatory notification).
- Jaringan dalam penelitian dan pengembangan inovasi program.

b. Prevalensi HIV (persen) < 0,5 %


Prevalensi dalam epidemiologi mengandung pengertian jumlah orang dalam populasi
yang mengalami penyakit, gangguan atau kondisi tertentu pada suatu tempoh waktu
dihubungkan dengan besar populasi dari mana kasus itu berasal. Prevalensi biasanya
digunakan untuk mengukur besaran beban suatu wilayah (dalam hal ini Indonesia) dalam
penanggulangan penyakit/masalah kesehatan tersebut. Prevalensi HIV dihitung
menggunakan modeling matematika yakni Asean Epidemiology Modelling (AEM). Angka
pada laporan terakhir estimasi dan proyeksi prevalensi HIV penduduk Indonesia di atas
15 tahun. AEM adalah model proses lengkap yang secara matematis mereplikasi proses
utama yang mendorong penularan HIV di Asia. Karenanya memiliki persyaratan input
epidemiologis dan perilaku yang lebih luas. AEM menawarkan kemampuan untuk
mensimulasi skenario masa depan di mana upaya pencegahan dan perawatan
mendorong perubahan perilaku.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 50


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Dari hasil pemodelan terakhir di tahun 2018 (berdasarkan update data pemodelan 2016)
diketahui bahwa prevalensi dalam populasi umum masih rendah. Namun dari hasil
Surveilens Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) pada populasi berisiko tahun 2015
diketahui bahwa prevalensi HIV diatas 5%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
pola epidemi HIV AIDS di Indonesia masih terkonsentrasi pada kelompok-kelompok
tertentu. Data Pemodelan akan diperbaharui pada STBP 2019 dan akan dibukukan pada
tahun 2020. Target dan capaian prevalensi HIV di Indonesia terlihat dalam grafik berikut
ini:
Grafik 3.14
Target dan Capaian Prevalensi HIV Tahun 2019 (%)

Sumber data : Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS di Indonesia Tahun 2015-2020

Grafik 3.15
Target dan Capaian Prevalensi HIV Tahun 2015-2019 (%)
0,6
0,5 0,5 0,5 0,5 0,5
0,5

0,4
0,3309 0,3306 0,3285 0,3253 0,3210
0,3 Capaian
Target
0,2

0,1

0
2015 2016 2017 2018 2019

Sumber data : Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS di Indonesia Tahun 2015-2020

Perhitungan estimasi dan pemodelan matematika dilakukan dengan bantuan software


AEM dan Spectrum. Semenjak tahun 2009 sampai 2016 telah dihasilkan 4 laporan
estimasi dan pemodelan matematika yaitu laporan tahun 2009, 2012, 2014, dan 2016.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 51


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Capaian prevalensi pada tahun 2015-2019 menggunakan laporan terbaru di tahun 2016
yaitu masing-masing 0.33%-0.32%. Prevalensi HIV dikalangan populasi berusia 15 tahun
keatas adalah 0,33 pada tahun 2015-2018 dan menurun sedikit menjadi 0,32% pada
tahun 2019. Angka Prevalensi HIV yang tetap tidak menggambarkan dari tahun ke tahun
tidak semata-mata menggambarkan keberhasilan atau kegagalan pengendalian HIV AIDS
di Indonesia. Peningkatan prevalensi HIV menunjukkan bahwa adanya upaya dalam
penemuan kasus HIV dan meningkatkan jumlah orang yang mendapatkan pengobatan
ARV. Prevalensi HIV di Indonesia didapatkan dari 2 pemodelan, pemodelan Tanah Papua
dan Non-Papua. Gambaran epidemiologinya dapat dilihat sebagai berikut:

Gambar 3.4
Peta Prevalensi HIV di Indonesia Tahun 2019

Sumber data : Laporan rutin Subdit HIV Tahun 2019

Grafik 3.16
Jumlah Kasus HIV dan Kasus AIDS Tahun 2015 – 2019
(September*)
60.000 Jumlah Kasus
HIV
50.000 48.300 Jumlah Kasus
46.659
AIDS
41.250
40.000 36.244
30.935
30.000

20.000

9.280 10.190
10.000 7.185 7.491
5.322

-
2015 2016 2017 2018 2019*

Sumber data : Laporan rutin Subdit HIV Tahun 2019

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 52


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Sejak HIV pertama kali ditemukan di Indonesia, berbagai upaya telah dilakukan untuk
menemukan orang dengan HIV AIDS (ODHA), memberikan pengobatan dan perawatan
ODHA, dan mencegah penularan kepada orang yang belum terinfeksi. Berbagai kebijakan
terus dikembangkan dan diperbaharui sesuai dengan perkembangan dan komitmen
kebijakan global, tentunya dengan cara mengadaptasi kebijakan dan pedoman
penanggulangan HIV yang sesuai dengan kondisi dan sumber daya di Indonesia. Upaya
pencegahan yang telah dilaksanakan antara lain dengan mengedukasi masyarakat
dengan cara memperbanyak jumlah dan memperluas jangkauan distribusi media KIE baik
cetak maupun elektronik agar meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat
terhadap HIV AIDS. Selain itu terus dilakukan distribusi kondom kepada populasi berisiko
tinggi seperti WPS, LSL, Penasun dan lainnya bekerja sama dengan LSM di seluruh
Indonesia.

Peningkatan jumlah layanan HIV dari tahun ke tahun menunjukkan upaya yang tinggi dari
Kementerian Kesehatan dalam memperluas dan meningkatkan akses pelayanan terhadap
masyarakat yang membutuhkan. Keberhasilan capaian indikator ini didukung karena
adanya pengembangan Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) di beberapa
kabupaten/kota di Indonesia serta penerapan SUFA (Strategic Use of ARV) dan TOP
(Temukan, Obati, dan Pertahankan) dalam upaya pencegahan dan pengobatan dapat
mendukung akselerasi pencegahan dan penanggulan HIV AIDS. Peningkatan sistem
rujukan antar layanan termasuk pengembangan laboratorium pemeriksaan HIV
(termasuk tes CD4 dan viral load). Telah diterbitkan Surat Edaran No.
HK.02.02/1/1654/2018 tentang Penatalaksanaan orang dengan HIV AIDS (ODHA) untuk
eliminasi AIDS tahun 2030, sehingga semua orang dengan HIV-AIDS yang ditemukan,
akan segera diobati dengan ARV tanpa menunggu hasil pemeriksaan CD4.
Pengembangan dan pemeliharaan sistem informasi online untuk pencatatan dan
pelaporan program HIV AIDS juga merupakan suatu upaya penting sehingga keberhasilan
dari kebijakan yang telah dilaksanakan dapat terukur dengan baik. Oleh karena itu fokus
dalam monitoring dan evaluasi bukan hanya pada terlaksananya program tetapi juga
pada berjalannya pencatatan dan pelaporan di setiap jenjang.

Selain itu, untuk mencapai target indikator telah dilakukan upaya antara lain:
1) Peningkatan cakupan tes HIV dan ODHA akses ARV.
2) Meningkatkan kerja sama lintas program dan lintas sektor dalam upaya pencegahan
dan pengendalian penularan HIV.
3) Peningkatan jumlah outlet, distribusi, dan promosi penggunaan kondom.
4) Meningkatkan jumlah Puskesmas yang mampu melakukan inisiasi ART.
5) Peningkatan jumlah layanan Tes HIV dan layanan Infeksi Menular Seksual (IMS).
6) Meningkatkan kualitas layanan Layanan Alat Suntik Steril (LASS) dan Program Terapi
Rumatan Metadon (PTRM).
7) Peningkatan pengetahuan komprehensif melalui media KIE cetak dan elektronik
serta kampanye Aku Bangga Aku Tahu (ABAT) pada remaja.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 53


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Gambar 3.5
Media KIE HIV AIDS

8) Pelaksanaan kampanye HAS (Hari AIDS Sedunia) disertai dengan promosi tes HIV
sebagai upaya pencegahan penularan sedini mungkin.
9) Akselerasi peningkatan orang yang melakukan tes HIV antara lain melalui mobile
clinic, serta memaksimalkan tes HIV atas inisiatif petugas kesehatan.
- Akselerasi peningkatan ODHA memakai ARV melalui kebijakan SUFA dengan
memperluas inisiasi dini ART.
- Peningkatan pencatatan dan pelaporan data program baik berbasis manual
maupun elektronik.
- Pelaksanaan kampanye HAS (Hari AIDS Sedunia) disertai dengan promosi tes HIV
sebagai upaya pencegahan penularan sedini mungkin.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 54


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Gambar 3.6
Penerimaan Rekor MURI untuk Pembentukan Pita Merah Terbanyak
pada Peringatan Hari AIDS Sedunia (HAS) 2019

Dalam mencapai target indikator, ditemukan permasalahan dan kendala antara


lain:
1. Masih tingginya penularan HIV dan IMS.
a) Penularan HIV pada sub populasi heteroseksual masih terus terjadi
termasuk penularan pada sub populasi homoseksual dan biseksual.
b) Penularan IMS dan HIV pada populasi WPS, waria belum berhasil
dikendalikan. Hal ini berkorelasi kuat dengan rendahnya tingkat
pemakaian kondom secara konsisten pada setiap kontak seks berisiko dan
kesadaran untuk pemeriksaan dan pengobatan IMS yang benar.
c) Penularan IMS dan HIV pada ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak sudah
menunjukkan kecenderungan meningkat, terutama di provinsi-provinsi
berprevalensi HIV tinggi.

2. Pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang HIV dan pencegahan


penularannya masih perlu ditingkatkan.
a) Masih banyak kelompok di masyarakat yang masih awam terhadap risiko
penularan HIV, terutama masyarakat dengan keterbatasan sumber
informasi dan juga pada populasi remaja.
b) Belum terbangunnya kesadaran pada populasi berisiko untuk menolong
diri sendiri dan bertanggung jawab pada anggota keluarga serta
masyarakat dari risiko penularan HIV-AIDS dan IMS.
c) Kesadaran masyarakat termasuk populasi berisiko untuk mengetahui
status HIV nya masih relatif rendah.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 55


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

d) Masih tingginya stigma dan perlakuan diskriminatif masyarakat dan


petugas kesehatan kepada ODHA.

3. Terbatasnya ketersediaan layanan kesehatan komprehensif HIV AIDS dan IMS.


a) Masih terbatasnya jumlah tenaga kesehatan yang peduli, terlatih dan
terampil dalam melaksanakan program pengendalian HIV AIDS dan IMS
serta penyakit oportunistiknya jika dibandingkan dengan luas wilayah
prioritas dan besarnya populasi berisiko.
b) Jumlah dan kualitas fasilitas layanan kesehatan yang mampu memberikan
layanan kesehatan komprehensif terkait masih perlu ditingkatkan untuk
memenuhi kebutuhan.

4. Hambatan dalam sistem pencatatan dan pelaporan serta monitoring dan


evaluasi.
a) Pencatatan dalam dokumen primer yaitu rekam medis belum
mencerminkan Penyelenggaraan praktik kedokteran yang baik di
Indonesia.
b) Pelaporan pelayanan kesehatan promosi, pencegahan, pengobatan dan
rehabilitasi terkait HIV dan IMS belum terintegrasi dalam sistem informasi
fasilitas layanan kesehatan.
c) Keterbatasan jumlah dan kapasitas SDM petugas pencatatan dan
pelaporan program HIV AIDS dan IMS.
d) Monitoring dan evaluasi yang tidak kontinyu akibat ketidak seragaman
komitmen dan kemampuan pemerintah daerah dalam pembinaan,
pengawasan dan penganggaran kesehatan menyulitkan pengambilan
kebijakan yang tepat dalam pengendalian HIV AIDS dan IMS terutama
dalam era desentralisasi.

Alternatif pemecahan masalah yang dilakukan meliputi:


1) Meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan HIV dan
AIDS melalui kerjasama nasional, regional, dan global dalam aspek legal,
organisasi, pembiayaan, fasilitas pelayanan kesehatan dan sumber daya
manusia;
2) Meningkatkan advokasi, sosialisasi, dan mengembangkan kapasitas;
3) Meningkatkan upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang merata, terjangkau,
bermutu, dan berkeadilan serta berbasis bukti, dengan mengutamakan pada
upaya preventif dan promotif;
4) Meningkatkan jangkauan pelayanan pada kelompok masyarakat berisiko
tinggi, dengan berfokus pada daerah yang memiliki risiko tertinggi dan beban
tertinggi;
5) Meningkatkan pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS melalui Adinkes
(Asosiasi Dinas Kesehatan seluruh Indonesia);
6) Meningkatkan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia
yang merata dan bermutu dalam penanggulangan HIV dan AIDS;

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 56


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

7) Meningkatkan ketersediaan, dan keterjangkauan pengobatan, pemeriksaan


penunjang HIV dan AIDS serta menjamin keamanan, kemanfaatan, dan mutu
sediaan obat dan bahan/alat yang diperlukan dalam penanggulangan HIV dan
AIDS;
8) Penguatan sistem logistik sebagai upaya perbaikan dalam mendistribusikan
reagen dan obat HIV AIDS dan IMS sehingga tepat guna, serta mengurangi
risiko kekosongan obat ataupun obat expired;
9) Revitalisasi pengendalian IMS di Puskesmas dan RS;
10) Penguatan surveilans IMS dan HIV di kabupaten/kota prioritas;
11) Peningkatan keterlibatan komunitas/LSM peduli AIDS, populasi kunci dan
kader masyarakat dalam upaya penjangkauan;
12) Perluasan jangkauan pengobatan ARV sampai ke tingkat Puskesmas;
13) Perluasan kampanye tentang HIV dan AIDS, bahaya Napza, dan seks bebas di
lingkungan pendidikan formal dan non-formal;
14) Meningkatkan peranan Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) dan keluarga
sebagai petugas pendamping ODHA;
15) Memprioritaskan sumber daya pada di semua kabupaten/kota untuk
meningkatkan cakupan program terutama tes dan pengobatan;
16) Meningkatkan sistem informasi data dan pemanfaatannya termasuk aplikasi
sistem informasi logistik.

c. Jumlah kabupaten/kota mencapai eliminasi malaria


Tujuan program malaria di Indonesia adalah untuk mencapai eliminasi malaria yang
ditegaskan melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor. 293/Menkes/SK/IV/2009
tanggal 28 April 2009 tentang Eliminasi Malaria di Indonesia dan Surat Edaran Menteri
Dalam Negeri Nomor. 443.41/465/SJ tanggal 8 Februari 2010 kepada seluruh Gubernur
dan Bupati /Walikota tentang Pedoman Pelaksanaan Program Eliminasi Malaria di
Indonesia yang harus dicapai secara bertahap mulai dari tahun 2010 sampai seluruh
wilayah Indonesia bebas malaria selambat-lambatnya tahun 2030. Hal tersebut juga
telah disepakati oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo bersama kepala negara
lainnya di kawasan Asia-Pasifik dalam acara East Asia Summit yang ke-9 di Myanmar.
Eliminasi malaria adalah suatu upaya untuk menghentikan penularan malaria setempat
dalam satu wilayah geografi tertentu, dan bukan berarti tidak ada kasus malaria impor
serta sudah tidak ada vektor di wilayah tersebut, sehingga tetap dibutuhkan kegiatan
kewaspadaan untuk mencegah penularan kembali. Kabupaten/kota yang telah
memenuhi persyaratan dasar eliminasi malaria harus mengirimkan surat pengajuan
penilaian eliminasi kepada Subdit Malaria Ditjen P2P, kemudian tim penilai eliminasi yang
terdiri dari Subdit Malaria dan para ahli malaria akan menilai kabupaten/kota tersebut
menggunakan tools yang telah dibuat dengan beberapa hal yang menjadi pertimbangan
yaitu:
1. Pelaksanaan penemuan dan tatalaksana kasus malaria
2. Pencegahan dan penanggulangan faktor risiko
3. Surveilans dan penanggulangan KLB
4. Peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE)
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 57
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

5. Peningkatan sumber daya manusia


6. Komitmen pemerintah daerah

Setelah dilakukan penilaian maka tim penilai akan mengajukan rekomendasi hasil
penilaian tersebut di dalam rapat komisi eliminasi malaria, apabila disetujui maka komisi
akan mengusulkan kepada Menteri Kesehatan untuk diberikan sertifikat eliminasi malaria
pada kabupaten tersebut.

Definisi operasional IKU adalah upaya untuk menghentikan penularan malaria setempat
(indigenous) dalam satu wilayah geografis tertentu, dan bukan berarti tidak ada kasus
malaria impor serta sudah tidak ada vektor malaria di wilayah tersebut sehingga tetap
dibutuhkan kegiatan kewaspadaan untuk mencegah penularan kembali. Formula
menghitung IKU ini adalah:

Akumulasi jumlah kab/kota yang mencapai eliminasi malaria diakhir tahun

Indikator Kabupaten/kota yang telah mencapai eliminasi malaria pada tahun 2019 yaitu
sebanyak 300 kabupaten/kota dari target yang ditentukan sebesar 300 kab/kota atau
pencapaian kinerja sebesar 100%. Berikut dijelaskan dalam tabel capaian persentasi
kabupaten/kota yang mencapai eliminasi:

Tabel 3.6
Jumlah Kab/Kota dengan Eliminasi Malaria sampai tahun 2019
No Provinsi Jumlah Jumlah Kab/Kota %
Kab/Kota Eliminasi
1 Aceh 23 21 91
2 Sumatera Utara 33 21 64
3 Sumatera Barat 19 17 89
4 Riau 12 10 83
5 Jambi 11 7 64
6 Sumatera Selatan 17 8 47
7 Bengkulu 10 3 30
8 Lampung 15 11 73
9 Bangka Belitung 7 6 86
10 Kepulauan Riau 7 3 43
11 DKI Jakarta 6 6 100
12 Jawa Barat 27 23 85
13 Jawa Tengah 35 33 94
14 DI Yogyakarta 5 4 80
15 Jawa Timur 38 38 100
16 Banten 8 6 75
17 Bali 9 9 100
18 Nusa Tenggara Barat 10 3 30

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 58


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

No Provinsi Jumlah Jumlah Kab/Kota %


Kab/Kota Eliminasi
19 Nusa Tenggara Timur 22 0 0
20 Kalimantan Barat 14 3 21
21 Kalimantan Tengah 14 10 71
22 Kalimantan Selatan 13 7 54
23 Kalimantan Timur 10 3 30
24 Kalimantan Utara 5 1 20
25 Sulawesi Utara 15 6 40
26 Sulawesi Tengah 13 5 38
27 Sulawesi Selatan 24 20 83
28 Sulawesi Tenggara 17 9 53
29 Gorontalo 6 2 33
30 Sulawesi Barat 6 5 83
31 Maluku 11 0 0
32 Maluku Utara 10 0 0
33 Papua Barat 13 0 0
34 Papua 29 0 0
Indonesia 514 300 58%
Sumber data : Laporan rutin Subdit Malaria Tahun 2019

Berdasarkan tabel diatas, sebanyak 58% kabupaten/kota di Indonesia telah mencapai


eliminasi malaria dengan persentasi terbanyak pada Provinsi DKI Jakarta, Bali, dan Jawa
Timur dimana seluruh kabupaten/kotanya telah bebas malaria (100%), sedangkan di
wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI) belum satupun kabupaten/kotanya bebas
malaria.
Grafik 3.17
Capaian Eliminasi Malaria di Indonesia tahun 2015-2019

Sumber data : Laporan rutin Subdit Malaria Tahun 2019

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 59


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Tren capaian eliminasi Malaria dapat digambarkan pada grafik diatas dimana terjadi
peningkatan capaian realisasi jumlah kabupaten/kota yang mencapai eliminasi malaria
yakni sebanyak 266 Kab/Kota pada tahun 2017 menjadi 285 Kab/Kota pada tahun 2018
dan 300 kab/kota pada tahun 2019. Peningkatan jumlah Kab/Kota yang mencapai
eliminasi malaria berasal dari 15 Kabupaten/Kota yaitu 2 Kab/Kota di Provinsi NAD, 1
Kab/Kota di Provinsi Sumatera Barat, 2 Kab/kota di Provinsi Jambi, 1 Kab/Kota di Provinsi
Bangka Belitung, 1 Kab/Kota di Provinsi Lampung, 3 Kab/Kota di Provinsi Jawa Tengah, 1
Kab/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah, 1 Kab/Kota di Provinsi Sulawesi Tengah, 1
Kab/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan dan 2 Kab/Kota di Provinsi Sulawesi Barat.

Apabila dibandingkan dengan negara lainnya di Regional South East Asian Regional Office
(SEARO) maka Indonesia menyumbang 8% dari kasus malaria vivax di wilayah SEARO
dimana penyumbang kasus terbanyak adalah India (48%) dan Pakistan (10%), seperti
terlihat dalam diagram dibawah ini, oleh karena itu Indonesia berkomitmen mencapai
eliminasi malaria pada tahun 2030.

Grafik 3.18
Proporsi Kasus Malaria Vivax di wilayah SEARO

Sumber data : World Malaria Report 2019

Untuk mencapai target eliminasi malaria maka diperlukan indikator komposit untuk
mendukung tercapainya cakupan yaitu persentase pemeriksaan sediaan darah dan
persentase pengobatan standar. Persentase pemeriksaan sediaan darah adalah
persentasi suspek malaria yang dilakukan konfirmasi laboratorium baik menggunakan
mikroskop maupun Rapid Diagnostik Test (RDT) dari semua suspek yang ditemukan.
Target yang diharapkan adalah diatas 95% dan capaian tahun 2019 data per 9 Januari
2019) adalah sebesar 97% dengan jumlah suspek sebanyak 1,256,040 orang dan jumlah
pemeriksaan sediaan darah dikonfirmasi laboratorium sebanyak 1,212,909 orang.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 60


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Grafik 3.19
Persentase Pemeriksaan Sediaan Darah

Persentasi pasien malaria positif yang diobati sesuai standar ACT (Artemisinin based
Combination Therapy) adalah proporsi pasien malaria yang diobati sesuai standar tata
laksana malaria dengan menggunakan ACT. Artemisinin based Combination Therapy
(ACT) saat ini merupakan obat yang paling efektif untuk membunuh parasit malaria.
Pemberian ACT harus berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium. Target capaian
pengobatan ACT yaitu sebesar 90% dan capaian pada tahun 2019 yaitu sebesar 91 %
dengan jumlah positif malaria sebanyak 212.626 orang dan jumlah pengobatan standar
ACT sebesar 190.366 orang. (kelengkapan data per 9 Januari 2019).

Grafik 3.20
Persentasi Malaria Positif diobati sesuai standar

Selain menjadi indikator RAP Ditjen P2P, indikator jumlah Kab/Kota dengan
eliminasi malaria juga merupakan indikator RPJMN dan Renstra Kementerian
Kesehatan sehingga pembandingan dengan indikator RPJMN dan Renstra tidak
diperlukan lagi.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 61


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Jumlah kabupaten/kota yang mencapai eliminasi malaria pada tahun 2019 sebanyak 300
kabupaten/kota, telah mencapai target indikator Renstra sebanyak 300 Kabupaten/kota.
Beberapa hal yang mempengaruhi keberhasilan tersebut antara lain:
1) Penemuan kasus malaria melalui kegiatan surveilans migrasi
Kegiatan surveilans migrasi dilaksanakan sebagai strategi penanggulangan malaria di
daerah endemis rendah yang masih memiliki daerah reseptif (daerah yang masih ada
vektor malaria dan memungkinkan adanya vektor malaria) untuk mencegah
terjadinya penularan malaria, mobilisasi penduduk yang tinggi merupakan salah satu
ancaman penularan malaria disuatu daerah, pencegahan penularan dengan
melakukan pemeriksaan sediaan darah malaria pada pendatang dari daerah endemis
malaria dilakukan dalam surveilans migrasi, kegiatan tersebut biasanya dilaksanakan
oleh JMD (Juru Malaria Desa).
2) Penyelidikan epidemiologi setiap kasus malaria
Daerah yang telah mencapai endemis rendah harus melakukan penyelidikan
epidemiologi terhadap kasus malaria, laporan mingguan SKDR (Sistem Kewaspadaan
Dini dan Respon KLB) melaporkan kasus malaria setiap minggu yang ditindaklanjuti
dengan penyelidikan epidemiologi untuk setiap kasus, kegiataan tersebut bertujuan
untuk menentukan asal penularan sehingga dapat melakukan upaya pencegahan
yang sesuai.
3) Skrining Malaria pada Ibu Hamil
Kegiatan skrining ibu hamil dilakukan di Kabupaten/Kota endemis sedang dan
endemis rendah malaria yang masih memiliki desa atau puskesmas endemis tinggi
dan sedang malaria. Ibu hamil merupakan salah satu populasi berisiko apabila
tertular malaria, kegiatan ini bertujuan untuk mengurangi risiko penularan pada ibu
hamil.

Selain itu, beberapa upaya yang telah dilakukan untuk mencapai indikator tersebut,
antara lain:
1. Diagnostik Malaria
Kebijakan pengendalian malaria terkini dalam rangka mendukung eliminasi malaria
adalah bahwa diagnosis malaria harus terkonfirmasi melalui pemeriksaan
laboratorium baik dengan mikroskop ataupun Rapid Diagnostic Test (RDT).
Penegakkan diagnosa tersebut harus berkualitas dan bermutu sehingga dapat
meningkatkan kepercayaan masyarakat dan memberikan data yang tepat dan
akurat. Berbagai kegiatan dalam rangka meningkatkan mutu diagnosis terus
dilakukan. Kualitas pemeriksaan sediaan darah dipantau melalui mekanisme uji
silang di tingkat kab/kota, provinsi dan pusat. Kualitas pelayanan laboratorium
malaria sangat diperlukan dalam menegakan diagnosis dan sangat tergantung pada
kompetensi dan kinerja petugas laboratorium di setiap jenjang fasilitas pelayanan
kesehatan. Penguatan laboratorium pemeriksaan malaria yang berkualitas dilakukan
melalui pengembangan jejaring dan pemantapan mutu laboratorium pemeriksa
malaria mulai dari tingkat pelayanan seperti laboratorium Puskesmas, Rumah Sakit
serta laboratorium kesehatan swasta sampai ke laboratorium rujukan uji silang di

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 62


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat. Untuk meningkatan kualitas diagnostik


malaria telah dilaksanakan kegiatan sepanjang tahun 2019, antara lain:
- Workshop Jejaring Laboratorium Pemeriksa Malaria Nasional.
- Pertemuan Jejaring dan Laboratorium Rujukan Nasional Pemeriksa Malaria.
- Pelatihan Manajemen Quality Assurance Laboratorium Malaria sebanyak 2
angkatan.
- Penyusunan Pedoman Quality Assurance Laboratorium Malaria.

2. Tatalaksana Kasus Malaria


Kementerian Kesehatan telah merekomendasikan pengobatan malaria menggunakan
obat pilihan yaitu kombinasi derivate artemisinin dengan obat anti malaria lainnya
yang biasa disebut dengan Artemisinin based Combination Therapy (ACT). ACT
merupakan obat yang paling efektif untuk membunuh parasit sedangkan obat
lainnya seperti klorokuin telah resisten. Pada tahun 2019 telah ditetapkan Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Malaria dalam bentuk Keputusan
Menkes RI Nomor HK.01.07/Menkes/556/2019. Berdasarkan Kepmenkes tersebut
juga diterbitkan buku pedoman tata laksana kasus malaria terkini sesuai dengan
perkembangan terkini dan hasil riset mutakhir. Adapun penggunaan ACT harus
berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, hal tersebut merupakan salah satu
upaya mencegah terjadinya resistensi. Selain hal tersebut pencegahan resistensi
dilakukan dengan monitoring efikasi obat anti malaria. Tahun 2019 bekerjasama
dengan BTKL, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan lembaga Eijkman di
beberapa daerah yang representatif. Salah satu pilar untuk mencapai eliminasi
malaria adalah menjamin universal akses dalam pencegahan, diagnosis dan
pengobatan, sehingga diperlukan keterlibatan semua sektor terkait termasuk swasta.

3. Surveilans Malaria
Surveilans merupakan kegiatan penting dalam upaya eliminasi, karena salah satu
syarat eliminasi adalah pelaksanaan surveilans yang baik dimana surveilans
diperlukan untuk mengidentifikasi daerah atau kelompok populasi yang berisiko
malaria serta melakukan perencanaan sumber daya yang diperlukan untuk
melakukan kegiatan pengendalian malaria. Kegiatan surveilans malaria dilaksanakan
sesuai dengan tingkat endemisitas. Daerah yang telah masuk pada tahap eliminasi
dan pemeliharaan harus melakukan penyelidikan epidemiologi terhadap setiap kasus
positif malaria sebagai upaya kewaspadaan dini kejadian luar biasa malaria dengan
melakukan pencegahan terjadinya penularan. Pada tahun 2019, telah dilakukan
kegiatan dalam mendukung kegiatan surveilans, sistem informasi dan monitoring
dan evaluasi malaria:
- Pertemuan Validasi Data Program Malaria Tahun 2018 dan Evaluasi Sismal Versi
2.
- Pertemuan Evaluasi Tahun 2018 dan Perencanaan Tahun 2019 Program Malaria
Tingkat Nasional.
- Pertemuan Monitoring dan Evaluasi Percepatan Eliminasi Malaria di Wilayah
Jawa.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 63


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

- Workshop Penanggulangan Malaria di Wilayah Khusus Tahun 2019.


- Workshop Evaluasi Pelaksanaan Surveilans Migrasi Malaria di KKP dan
Fasyankes.
- Workshop Evaluasi Penanganan KLB Malaria dan Bencana di Daerah Reseptif /
Endemis Malaria Tahun 2014 -2019
- Penyusunan Update Petunjuk Teknis Penyelidikan Epidemiologi Kasus dan Fokus
Malaria Tahun 2019
- Pertemuan Review Program Malaria.
- Pertemuan Penyusunan Rencana Aksi Malaria Tahun 2020-2024.

Gambar 3.7
Pertemuan Penyusunan Rencana Aksi Malaria Tahun 2020-2024

4. Pengendalian Vektor Malaria


Sampai saat ini nyamuk Anopheles telah dikonfirmasi menjadi vektor malaria di
Indonesia sebanyak 25 jenis (species). Jenis intervensi pengendalian vektor malaria
dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain memakai kelambu berinsektisida
(LLINs = Long lasting insecticide nets), melakukan penyemprotan dinding rumah
dengan insektisida (IRS = Indoor Residual Spraying), melakukan larviciding,
melakukan penebaran ikan pemakan larva, dan pengelolaan lingkungan.
Penggunaan kelambu berinsektisida merupakan cara perlindungan dari gigitan
nyamuk anopheles. pembagian kelambu ke masyarakat dilakukan dengan 2 metode,
yaitu pembagian secara massal (mass campaign) dan pembagian rutin. Pembagian
secara massal dilakukan pada daerah/kabupaten/kota endemis tinggi dengan
cakupan minimal 80%. Pembagian ini diulang setiap 3 tahun, jika belum ada
penurunan tingkat endemisitas. Pembagian kelambu secara rutin diberikan kepada
ibu hamil yang tinggal di daerah endemis tinggi. Kegiatan ini bertujuan untuk
melindungi populasi prioritas, yaitu ibu hamil dari risiko penularan malaria. Selain

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 64


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

kegiatan tersebut, pembagian kelambu juga dilakukan pada daerah yang terkena
bencana.
5. Promosi, advokasi dan kemitraan dalam upaya pengendalian malaria
Sosialisasi pentingnya upaya pengendalian malaria merupakan hal yang penting
dengan sasaran meliputi pengambil kebijkan, pelaksana teknis dan masyarakat luas.
Komunikasi, Informasi dan edukasi (KIE) kepada masyarakat luas dilakukan dengan
membuat Iklan Layanan Masyarakat (ILM) mengenai Malaria. Beberapa kegiatan
selama tahun 2019 dalam mendukung promosi, advokasi dan kemitraan dalam
upaya pengendalian malaria antara lain pertemuan reorientasi eliminasi malaria
wilayah pembebasan, peringatan Hari Malaria Sedunia dan pertemuan reviu Forum
Nasional Gebrak Malaria (FNGM) Komisi Ahli Malaria.

Kegiatan pencegahan dan pengendalian malaria di Indonesia telah mencapai target-


target yang ditetapkan, namun masih terdapat permasalahan yang menjadi tantangan
seperti:
1) Disparitas angka kejadian malaia antara wilayah Kawasan Timur Indonesia
khususnya Papua dengan wilayah lainnya.
2) Akses dan cakupan layanan baik Rumah Sakit, klinik, DPS pada remote area masih
belum memadai.
3) Pengendalian resistensi Obat Anti Malaria (OAM) dengan prinsip one gate policy,
reserve drug policy dan free market control belum optimal.
4) Rujukan layanan dan jejaring tatalaksana belum optimal.
5) Manajemen ketersediaan OAM belum optimal.
6) Pengawasan penggunaan kelambu masih kurang adekuat, daerah belum
melakukan pengawasan penggunaan kelambu.
7) Migrasi penduduk mempengaruhi potensi penyebaran malaria.
8) Didaerah endemis rendah banyak terdapat daerah fokus malaria yang sulit
(tambang liar, illegal logging, perkebunan illegal, tambak terbengkalai)
9) Ketepatan dan kelengkapan pelaporan yang belum optimal.
10) Belum semua daerah pembebasan dan pemeliharaan mempunyai pemetaan daerah
fokus.

Beberapa permasalahan yang disebutkan diatas memerlukan pemecahan masalah


sehingga kegiatan dapat berjalan efektif dan efisien dan indikator dapat dicapai. Berikut
ini beberapa pemecahan masalah yang dilakukan:
1) Peningkatan akses layanan malaria yang bermutu.
- Desentralisasi pelaksanaan program oleh Kab/kota.
- Integrasi kedalam layanan kesehatan primer.
- Penemuan dini dengan konfirmasi dan pengobatan yang tepat sesuai dengan
standar dan pemantauan kepatuhan minum obat.
- Penerapan sistem jejaring public-privite mix layanan malaria.
2) Pencegahan dan pengendalian vektor terpadu.
3) Intervensi kombinasi (LLIN, IRS, Larvasida, pengelolaan lingkungan, personal
protection, profilaksis) dengan berbasis bukti melalui pendekatan kolaboratif.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 65


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

4) Pemantauan efektifitas dan resistensi OAM.


5) Penguatan surveilans termasuk surveilans migrasi, Sistem Kewaspadaan Dini
Kejadian Luar Biasa (SKD KLB) dan penanggulangan KLB.
6) Sosialisasi penggunaan dana yang bisa dimanfaatkan untuk Penyelidikan
Epidemiologi baik Dana Dekonsentrasi, DAK non fisik, APBD, Global Fund, Dana
Desa, dan Dana Kapitasi.
7) Terdapat tenaga pendamping dari UNICEF dan WHO untuk Dinas Kesehatan
Kab/kota dalam mempercepat penurunan kasus dan mempercepat eliminasi
malaria khususnya Kab/Kota endemis tinggi sebagian besar berada di Kawasan
Timur Indonesia.
8) Peningkatan akses layanan malaria pada daerah sulit dan populasi khusus seperti
penambang illegal, pekerja pembalakan liar, perkebunan illegal dan suku asli yang
hidup di hutan.
9) Menjaga daerah yang telah mendapat sertifikat tidak terjadi penularan kembali.
10) Pengembangan SISMAL V2 online dan sosialiasi sampai tingkat fasyankes.
11) Pelatihan Penyelidikan Epidemiologi termasuk pelatihan pemetaan GIS,
pengembangan pemetaan fokus di aplikasi SISMAL V2.
12) Membuat surat edaran menteri untuk Bupati di wilayah-wilayah tersebut, membuat
permodelan penanggulangan malaria di daerah outdoor transmission dengan
adanya mobile migrant population.

d. Jumlah Provinsi dengan eliminasi kusta


Eliminasi merupakan upaya pengurangan terhadap penyakit secara berkesinambungan di
wilayah tertentu sehingga angka kesakitan penyakit tersebut dapat ditekan serendah
mungkin agar tidak menjadi masalah kesehatan di wilayah yang bersangkutan. Eliminasi
kusta berarti angka prevalensi <1/10.000 penduduk. Secara nasional, Indonesia telah
mencapai eliminasi sejak tahun 2000, sedangkan eliminasi tingkat Provinsi ditargetkan
dapat dicapai pada tahun 2019.

Jumlah Provinsi dengan eliminasi kusta adalah jumlah provinsi yang mempunyai angka
prevalensi kurang dari 1 kasus per 10.000 penduduk pada tahun tertentu. Indikator ini
dihitung dari akumulasi jumlah Provinsi yang telah mencapai eliminasi kusta (angka
prevalensi <1/10.000 penduduk) pada tahun tertentu. Sedangkan rumus menghitung
angka prevalensi adalah sebagai berikut:

Jumlah kasus kusta terdaftar


akhir tahun
Prevalensi Kusta x 10.000 penduduk
=
Jumlah penduduk pada tahun
tersebut

Pembilang (nominator) adalah jumlah kasus terdaftar pada suatu provinsi di akhir tahun,
sedangkan penyebut (denominator) adalah jumlah penduduk pada tahun tersebut.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 66
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

WHO telah menerbitkan strategi global terbaru dalam “The Global Leprosy Strategy
2016-2020, Accelerating towards a Leprosy-Free World” yang memuat visi, misi, target
dan komponen dari strategi global tersebut untuk dapat diadopsi oleh negara-negara di
dunia. Laporan WHO dalam Weekly Epidemiological Record Tahun 2019 menyatakan
bahwa hingga tahun 2018 Indonesia masih menempati peringkat ketiga penyumbang
kasus kusta baru terbanyak di dunia setelah India dan Cina, dengan jumlah kasus baru
mencapai 17.017 kasus (8,2% kasus dunia). Dari total 159 negara yang melaporkan situasi
kusta, tercatat sebanyak 208.619 kasus baru (NCDR = 2,74 per 100.000 penduduk).
Secara global, jumlah kasus baru yang ditemukan mengalami penurunan sebesar 15%
pada 10 tahun terakhir. Di Indonesia, indikator provinsi dengan eliminasi kusta dengan
target 34 provinsi mencapai eliminasi pada akhir tahun 2019, hanya tercapai 26 Provinsi
sehingga capaian kinerja sebesar 76,5%.

Grafik 3.21
Target dan Capaian Jumlah Provinsi dengan eliminasi kusta
Tahun 2014-2019

Sumber data : Laporan rutin Subdit PTML Tahun 2019

Bila dibandingkan capaian indikator pada periode tahun 2015-2019, target tahun 2015-
2016 telah tercapai tetapi target tahun 2017-2019 tidak tercapai, meskipun demikian
terjadi peningkatan capaian jumlah provinsi dengan eliminasi kusta dari 25 Provinsi pada
tahun 2018 menjadi 26 Provinsi pada tahun 2019, dengan penambahan provinsi Sulawesi
Tenggara yang mencapai eliminasi kusta. Hal tersebut terjadi karena adanya peningkatan
kasus baru kusta akibat masifnya penemuan kasus dimasyarakat. Pemerintah dan Lintas
Sektor sangat berperan khususnya dalam pengalokasian sumber daya.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 67


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Gambar 3.8
Peta Eliminasi Kusta Tingkat Provinsi di Indonesia
Tahun 2017 – 2019

Dari peta diatas terlihat bahwa ada penambahan pencapaian status eliminasi tingkat
provinsi tahun 2019 dibanding dengan pencapaian tahun 2018 dan masih terdapat 8
Provinsi yang belum mencapai eliminasi yakni Provinsi Sulawesi Utara, Gorontalo,
Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat. Untuk
melihat gambaran terhadap perkembangan pencapaian IKU digunakan indikator proporsi
penemuan kasus kusta baru tanpa cacat. Pencapaian indikator penemuan kasus kusta
baru tanpa cacat memiliki kecenderungan peningkatan dari tahun ke tahun yakni
tercapai 78,1% pada tahun 2015 menjadi 85,9% pada triwulan III tahun 2019. Tingginya
proporsi cakupan penemuan kasus baru tanpa cacat mengindikasikan adanya
peningkatan kegiatan penemuan kasus secara dini. Dengan ditemukan secara dini,
penderita kusta dapat segera mendapatkan pengobatan secara tepat dan mata rantai
penularan dapat terputus. Hal tersebut dapat mempengaruhi pencapaian status eliminasi
di tingkat provinsi maupun kabupaten.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 68
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Grafik 3.22
Proporsi Penemuan Kasus Kusta Baru Tanpa Cacat
Tahun 2014 – 2019

Sumber data : Laporan rutin Subdit PTML Tahun 2019, data triwulan III

Pada akhir tahun 2018, sebanyak 184.212 kasus terdaftar masih dalam pengobatan
(prevalence rate = 0,24 per 10.000 penduduk). Sebanyak 11.323 kasus baru dengan cacat
tingkat 2 ditemukan (90,2%). Penurunan persentase kasus baru dengan cacat tingkat 2
terlihat di seluruh wilayah di dunia yang mengindikasikan peningkatan kegiatan deteksi
dini kasus. Strategi global terbaru menetapkan target 0 kasus anak dengan cacat tingkat 2
pada tahun 2020 sebagai indikator adanya transmisi penularan di masyarakat. Sebanyak
16.013 kasus baru anak ditemukan di seluruh dunia, 350 kasus di antaranya merupakan
kasus anak dengan cacat tingkat 2.

Status eliminasi kusta adalah status yang dinamis dan dipengaruhi oleh berbagai hal. Hal
utama adalah masih adanya kasus tersembunyi di masyarakat yang kemudian ditemukan
dan menjadi kasus terdaftar dalam pengobatan. Untuk dapat memutuskan transmisi
kasus di masyakat, seluruh sumber transmisi harus dapat ditemukan sedini mungkin dan
mendapatkan pengobatan secara tepat. Dengan demikian, angka penemuan kasus baru
dapat ditekan serendah mungkin pada beberapa waktu ke depan. Pemerintah Indonesia
memberikan perhatian yang lebih besar terhadap beberapa Penyakit Tropis Terabaikan
dalam beberapa tahun terakhir, terutama dengan penetapan program Pencegahan dan
Pengendalian Kusta (P2 Kusta) sebagai salah satu program prioritas nasional (Pro PN)
pada tahun 2017. Penjabaran komitmen tersebut berupa pengalokasian dana pusat dan
dekonsentrasi untuk kegiatan advokasi penguatan komitmen pemerintah daerah,
sosialisasi ke masyarakat umum, pelatihan petugas, kampanye penurunan stigma hingga
intensifikasi penemuan kasus kusta yang dilakukan secara aktif dan berkelanjutan dalam
beberapa tahun terakhir. Upaya-upaya tersebut berpengaruh pada peningkatan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 69
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

penemuan sumber penularan yang selama ini tersembunyi di masyarakat, sehingga


status eliminasi kusta tidak tercapai di beberapa provinsi.

Pada daerah-daerah yang memiliki banyak lokus kusta, sumber penularan diharapkan
dapat ditemukan sebanyak-banyaknya. Kasus baru akan meningkat secara signifikan
hingga akhirnya mencapai puncak dan mengalami penurunan yang konsisten karena
pelaksanaan surveilans yang komprehensif dan berkesinambungan. Tingginya angka
prevalensi dipengaruhi oleh jumlah kasus yang masih terdaftar menerima pengobatan di
akhir tahun. Pasien kusta seharusnya menghabiskan waktu 6-12 bulan untuk menjalani
pengobatan kusta sesuai dengan tipe kusta yang diderita. Semakin banyak pasien tidak
menyelesaikan pengobatan secara tepat waktu, semakin banyak penderita terdaftar
pada akhir tahun Penyebab keterlambatan ini antara lain masih adanya stigma yang
menyebabkan pasien enggan mengambil obat secara rutin, kesulitan akses menuju
fasyankes, kondisi penyakit memburuk akibat penyakit akibat reaksi kusta dan lainnya.
Keterlambatan dalam penyelesaian pengobatan mengakibatkan tingginya prevalensi
yang mengarah pada tidak tercapainya status eliminasi.

Untuk mencapai indikator tersebut telah dilakukan beberapa upaya antara lain:
1) Sebagian besar anggaran program P2 Kusta dialihkan menjadi dana dekonsentrasi
bagi 34 provinsi. Adapun bentuk kegiatan yang dilakukan adalah advokasi dan
sosialisasi bagi LP/LS, pelatihan singkat bagi petugas, pelaksanaan intensifikasi
penemuan kasus kusta dan frambusia di kabupaten/kota endemis, survei desa,
pertemuan monitoring evaluasi dan validasi kohort tingkat provinsi, peningkatan
kapasitas petugas, dokter puskesmas dan petugas laboratorium.
2) Pelatihan Nasional Pemegang Program P2 Kusta dan Frambusia terakreditasi yang
diselenggarakan sebanyak 5 batch, dilakukan terutama untuk mengatasi
permasalahan tingginya mutasi pengelola program kusta dan frambusia di tingkat
provinsi dan kabupaten/kota.
3) Penerbitan Permenkes No. 11 Tahun 2019 tentang Penanggulangan Kusta sebagai
dasar hukum dan pedoman pelaksanaan program pencegahan dan penanggulangan
kusta di Indonesia, termasuk payung hukum pelaksanaan kegiatan inovasi
kemoprofilaksis.
4) Penerbitan Kepmenkes RI No. HK.01.07/MENKES/308/2019 tentang Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Kusta yang memuat tentang petunjuk
manajemen kasus kusta bagi dokter dan dokter spesialis di UKP dan standardisasi
nasional tatalaksana kasus kusta.
5) Intensifikasi Penemuan Kasus Kusta dan Frambusia (Intensified Case Finding/ICF).
Kegiatan terdiri dari pelaksanaan kegiatan oleh kabupaten/kota endemis kusta pada
daerah Papua dan Non Papua dengan menggunakan dana dekonsentrasi dan
pendampingan pelaksanaan oleh tim pusat menggunakan dana APBN. Pelaksanaan
penemuan kasus difokuskan pada daerah lokus kusta dengan tujuan untuk
meningkatkan penemuan kasus kusta secara dini.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 70


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Gambar 3.9
Intensifikasi Penemuan Kasus Kusta dan Frambusia
di Kabupaten Paniai, Provinsi Papua

6) Menyelenggarakan kegiatan Gerakan Masyarakat Kampanye Eliminasi Kusta dan


Frambusia bersama mitra pemerintah yang membawahi bidang kesehatan. Kegiatan
ini dilaksanakan di 3 kabupaten/kota terpilih, yaitu Lembata, Manggarai, dan Flores
Timur, dengan tujuan untuk melakukan advokasi dan sosialisasi program kusta
kepada pimpinan setempat serta Lintas Program dan Lintas Sektor untuk
mendapatkan dukungan kebijakan dan kemitraan daerah.
7) Menyelenggarakan Pertemuan Evaluasi Program dan Validasi Data Kohort Nasional
P2 Kusta dan Frambusia yang bertujuan melakukan monitoring dan evaluasi program
yang dilaksanakan oleh provinsi di Indonesia serta melakukan validasi dan finalisasi
data tahun 2019.
8) Menyusun draft petunjuk teknis Drugs Resistance Surveillance, Petunjuk Teknis
Kemoprofilaksis, Petunjuk Teknis Surveilans Kusta, serta revisi modul dan akreditasi
pelatihan pengelola program di fasyankes.
9) Menyelenggarakan Pertemuan Pemberian Obat Pencegahan Kusta terhadap
kelompok berisiko untuk mengevaluasi kegiatan kemoprofilaksis yang telah
dilaksanakan beberapa tahun terakhir dan melakukan koordinasi persiapan untuk
perluasan pelaksanaan di daerah lain di Indonesia.
10) Perluasan daerah dan sasaran pengobatan pencegahan kusta (kemoprofilaksis) ke
beberapa kabupaten/kota endemis tinggi kusta.
11) Monitoring pasca pelatihan untuk menilai efektivitas pelatihan yang telah
diselenggarakan serta mengevaluasi keterampilan tatalaksana kasus dan manajemen
program dari pengelola program.
12) Melanjutkan pengembangan sistem informasi online kusta dan frambusia bagi
kemudahan pencatatan dan pelaporan program di fasyankes.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 71


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

13) Mengembangkan kegiatan inovasi berupa pelatihan jarak jauh (e-learning), pilot
pengembangan kemoprofilaksis plus pemeriksaan serologi, dan pengembangan skin-
apps.

Dalam melaksanakan upaya untuk mencapai indikator tersebut, ditemukan beberapa


kendala dan permasalahan yakni:
1) Di banyak kabupaten/kota kantong sekalipun, kusta tidak dipandang sebagai
prioritas masalah kesehatan masyarakat. Hal ini berakibat sebagian besar wilayah
kantong kusta tidak mendapat dukungan lintas program dan sektor dalam program.
2) Masih tingginya transmisi kusta di masyarakat.
3) Angka mutasi petugas kesehatan yang cukup tinggi menyebabkan program
pencegahan dan pengendalian kusta di daerah berjalan kurang maksimal.
4) Masih adanya stigma, baik self-stigma pada penderita kusta maupun stigma pada
masyarakat dan keluarga penderita akibat kurangnya pengetahuan dan pemahaman
terhadap penyakit kusta. Hal tersebut dapat menghambat penemuan kasus dan
menghambat penderita untuk mencari pengobatan sedini mungkin.
5) Sebagian besar daerah kantung kusta berada di lokasi yang sulit dijangkau,
menyebabkan sulitnya pencarian kasus dan akses masyarakat menuju pelayanan
kesehatan
6) Belum maksimalnya kemitraan dengan organisasi profesi, RS dan praktek dokter
swasta dalam menciptakan pelayanan kusta yang komprehensif dan terstandar
7) Pada beberapa daerah endemis rendah, rendahnya kesadaran dan pengetahuan
tentang kusta pada petugas dan masyarakat, serta surveilans tidak berjalan dengan
adekuat, mengakibatkan terjadinya keterlambatan penemuan kasus.
8) Data final program P2 Kusta tahun 2019 belum tersedia dan penilaian status
eliminasi kusta belum dapat dilakukan karena laporan dari provinsi belum lengkap.

Alternatif pemecahan masalah yang telah dilakukan antara lain:


1) Meningkatkan kegiatan advokasi dan sosialisasi program terhadap pemangku
kepentingan terkait agar dapat meningkatkan komitmen dalam pencapaian eliminasi
kusta.
2) Memperluas cakupan kegiatan pelaksanaan intensifikasi penemuan kasus kusta
secara aktif.
3) Menganggarkan dan melaksanakan peningkatan kapasitas tenaga kesehatan secara
rutin.
4) Meningkatkan kegiatan promosi serta penyebaran media KIE kepada penderita,
keluarga penderita, dan masyarakat dalam rangka menurunkan stigma kusta di
masyarakat.
5) Sosialisasi Permenkes No. 11 Tahun 2019 tetang Penanggulangan Kusta dan
Kepmenkes RI No. HK.01.07/MENKES/308/2019 tentang Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tatalaksana Kusta.
6) Memperluas sasaran pengobatan pencegahan kusta (kemoprofilaksis), terutama di
daerah endemis lokus kusta.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 72


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

7) Meningkatkan integrasi program dengan penyakit lain, misalnya kusta-frambusia,


kusta-filariasis, kusta-ispa, dan lain-lain.
8) Memperkuat jejaring kemitraan dengan lintas program, lintas sektor, organisasi
profesi agar memperoleh dukungan dalam pelaksanaan program sesuai dengan
tupoksi masing-masing.
9) Mendorong daerah endemis rendah agar terus melakukan surveilans kasus kusta
secara aktif dengan tetap memperhatikan kejadian kasus kusta pada anak dan kasus
cacat.
10) Melaksanakan pengembangan kegiatan inovasi seperti pengembangan pelatihan e-
learning, pilot pengembangan kemoprofilaksis plus pemeriksaan serologi,
pengembangan dan skin-apps.

e. Jumlah kabupaten/kota dengan eliminasi Filariasis


Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia ikut serta dalam Kesepakatan Global
yang ditetapkan oleh WHO untuk mengeliminasi Filariasis. Pemberian obat pencegahan
massal (POPM) Filariasis adalah kegiatan utama dari program eliminasi Filariasis untuk
mencapai goal eliminasi Filariasis dengan tujuan memutuskan rantai penularan filariasis.
Indonesia telah menetapkan sebanyak 236 kabupaten/kota dari total 514
kabupaten/kota adalah daerah endemis filariasis. Sesuai dengan Permenkes No. 94
Tahun 2014 yang dimaksud dengan kabupaten/kota dengan eliminasi Filariasis adalah
kabupaten/kota yang berdasarkan hasil survei ulang evaluasi kedua menunjukkan tidak
terjadi penularan sehingga dapat dinyatakan sebagai wilayah eliminasi Filariasis.

Dalam pengendalian Filariasis, sebelum suatu kabupaten/kota dinilai tingkat transmisi


filariasisnya, kabupaten/kota tersebut harus telah selesai melaksanakan Pemberian Obat
Pencegahan Massal (POPM) Filariasis pada seluruh penduduk sasaran di kabupaten/kota
tersebut selama minimal 5 tahun berturut-turut dengan cakupan pengobatan minimal
65% dari total jumlah penduduk. Kemudian setelah 6 bulan dari pelaksanaan POPM
Filariasis Tahun ke-5, maka dilaksanakan survei evaluasi prevalensi mikrofilaria. Jika hasil
survei menunjukkan prevalensi angka mikrofilaria <1% pada kabupaten/kota tersebut
maka dilaksanakan survei evaluasi penularan (Transmission Assessment Survey/TAS)
Filariasis. Jika kabupaten/kota tersebut berhasil lulus dalam survei evaluasi penilaian
filariasis tahap ke dua maka daerah tersebut dinilai berhasil mencapai eliminasi filariasis.
Indikator jumlah kabupaten/kota dengan eliminasi Filariasis dihitung dengan formula:

Akumulasi jumlah kab/kota dengan eliminasi filariasis

Pada tahun 2019 dari target jumlah kabupaten/kota dengan eliminasi filariasis sebanyak
35 kabupaten/kota, telah berhasil tercapai sebanyak 56 kabupaten/kota atau dengan
pencapaian kinerja sebesar 160% seperti yang terlihat dalam grafik dibawah ini.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 73


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Grafik 3.23
Jumlah Kabupaten/kota dengan Eliminasi Filariasis
Tahun 2015-2019

Sumber data : Laporan Subdit Filariasis dan Kecacingan Tahun 2019

Pada grafik di atas, terjadi peningkatan jumlah kabupaten/kota dengan eliminasi filariasis
dari tahun 2015-2019. Hal ini menunjukkan semakin meningkatnya komitmen
kabupaten/kota dalam melaksanakan program pengendalian Filariasis melalui Pemberian
Obat Pencegahan Massal Filariasis selama minimal 5 tahun berturut-turut sehingga angka
target jumlah kabupaten/kota dengan eliminasi filariasis dapat tercapai. Dalam
pengendalian Filariasis, sebelum suatu kabupaten/kota dinilai dapat mencapai eliminasi
filariasis, kabupaten/kota tersebut harus melaksanakan Pemberian Obat Pencegahan
Massal (POPM) Filariasis pada seluruh penduduk sasaran di kabupaten/kota tersebut usia
2-70 tahun selama minimal 5 tahun berturut-turut dengan cakupan pengobatan minimal
65% dari total jumlah penduduk. Kemudian dilaksanakan survei evaluasi penularan
filariasis untuk menilai apakah masih terjadi penularan pada daerah tersebut. jika hasil
survei menunjukkan tidak terjadi penularan maka POPM Filariasis tetap dihentikan dan
dilakukan survey ulang penularan filariasis kembali setelah 2 (dua) tahun berikutnya.
Keberhasilan penurunan angka mikrofilaria sangat bergantung pada partisipasi
masyarakat untuk minum obat filariasis. Jika dibandingkan capaian jumlah Kab/Kota
dengan eliminasi filariasis diantara jumlah Kab/Kota yang endemis filariasis, capaian
Indonesia sebesar 23,7% dengan capaian tertinggi pada Provinsi Banten (100%) dan
masih ada 10 Provinsi dengan capaian 0%. Pada tabel dibawah ini terlihat, ada 28 Provinsi
yang memiliki Kab/Kota dengan endemis filariasis sedangkan 6 Provinsi lainnya
merupakan daerah non endemis filariasis yaitu DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Timur,
Bali, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Utara. Beberapa Provinsi yang memiliki
Kabupaten/Kota endemis filariasis dengan capaian 0% atau dibawah 100% berarti
Kab/Kota tersebut masih melaksanakan POPM Filariasis atau sudah masuk tahap
surveilans tetapi belum lulus Transmission Assessment Survey (TAS) 2. Disparitas capaian
pada setiap Provinsi terjadi karena beberapa Kab/Kota telah memulai pelaksanaan POPM

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 74


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

filariasis lebih awal dan telah lulus evaluasi. Secara lengkap terlihat pada tabel sebagai
berikut:
Tabel 3.7
Kabupaten/Kota dengan Eliminasi Filariasis
Tahun 2019
Jumlah Kab/Kota Jumlah Kab/Kota
No Provinsi % Capaian
Endemis Filariasis Eliminasi Filariasis
1 Aceh 12 2 16.7%
2 Sumatera Utara 9 5 55.6%
3 Sumatera Barat 10 6 60.0%
4 Riau 10 5 50.0%
5 Jambi 5 1 20.0%
6 Sumatera Selatan 9 0 0.0%
7 Bengkulu 5 0 0.0%
8 Lampung 1 0 0.0%
9 Kep. Bangka Belitung 7 5 71.4%
10 Kep. Riau 3 0 0.0%
11 Jawa Barat 11 6 54.5%
12 Jawa Tengah 9 0 0.0%
13 Banten 5 5 100.0%
14 Nusa Tenggara Timur 18 2 11.1%
15 Kalimantan Barat 9 0 0.0%
16 Kalimantan Tengah 11 3 27.3%
17 Kalimantan Selatan 8 1 12.5%
18 Kalimantan Timur 6 0 0.0%
19 Kalimantan Utara 4 0 0.0%
20 Sulawesi Tengah 9 2 22.2%
21 Sulawesi Selatan 4 2 50.0%
22 Sulawesi Tenggara 12 3 25.0%
23 Gorontalo 6 4 66.7%
24 Sulawesi Barat 4 1 25.0%
25 Maluku 8 0 0.0%
26 Maluku Utara 6 1 16.7%
27 Papua 23 2 8.7%
28 Papua Barat 12 0 0.0%
INDONESIA 236 56 23.7%
Sumber data : Laporan Subdit Filariasis dan Kecacingan Tahun 2019

Tercapainya target indikator jumlah kabupaten/kota dengan eliminasi filariasis pada


tahun 2019, dipengaruhi oleh komitmen pusat untuk menyediakan logistik, anggaran,
legal aspek, serta asistensi teknis dalam penanggulangan filariasis sehingga dapat
meningkatkan komitmen Pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat dalam

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 75


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

penanggulangan Filariasis di daerah endemis melalui Pemberian Obat Pencegahan


Massal (POPM) Filariasis selama 5 tahun berturut-turut dengan cakupan > 65% sehingga
dapat memutus rantai penularan. Sebelum tahun 2015 cakupan POPM Filariasis di
beberapa kabupaten/kota sangat rendah. Upaya percepatan eliminasi Filariasis ini
dimulai dengan Pencanangan Bulan Eliminasi Kaki Gajah (BELKAGA) pada tanggal 1
Oktober 2015 oleh Menteri Kesehatan RI di Cibinong Kabupaten Bogor. Dengan
pencanangan tersebut, maka menjadikan bulan Oktober tahun 2015-2019 sebagai “Bulan
Pelaksanaan Eliminasi Kaki Gajah”, dengan harapan bahwa adanya bulan POPM Filariasis
tersebut akan memacu seluruh lapisan masyarakat dari pusat hingga daerah tergerak
dengan serempak mendukung POMP Filariasis di wilayahnya, seiring dengan pemahaman
yang semakin tinggi terhadap pentingnya program pengendalian filariasis di Indonesia.
Upaya tersebut sesuai dengan hasil penelitian para ahli yang menunjukkan bahwa
cakupan minum obat yang efektif dapat menurunkan angka mikrofilaria. Pembangunan
fisik dan perkembangan di daerah-daerah endemis yang semakin meningkat juga
mempengaruhi keberhasilan eliminasi filariasis karena dapat mengurangi tempat-tempat
perindukan nyamuk vektor filariasis.

Untuk mencapai indikator tersebut dilakukan berbagai upaya antara lain:


1. Bulan Eliminasi Kaki Gajah (Belkaga)
Salah satu upaya strategis yang dilakukan untuk meningkatkan cakupan pemberian
obat massal pencegahan (POPM) filariasis adalah dengan menjadikan bulan Oktober
sebagai “Bulan Eliminasi Kaki Gajah (BELKAGA)”. Bulan Eliminasi Kaki Gajah
dilaksanakan pada Bulan Oktober. Dengan adanya program Belkaga diharapkan
seluruh lapisan masyarakat dari pusat hingga daerah tergerak dengan serempak
mendukung POMP Filariasis di wilayahnya, seiring dengan pemahaman masyarakat
yang semakin tinggi terhadap pentingnya program pengendalian filariasis di
Indonesia. Pada tahun 2019 telah dilaksanakan pencanangan Belkaga Tingkat
Nasional oleh Menteri Kesehatan RI di Kab. Malaka, Nusa Tenggara Timur pada
tanggal 4 Oktober 2019.
Gambar 3.10
Pemberian Serifikat Eliminasi Filariasis oleh Menteri Kesehatan RI

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 76


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

2. Advokasi dan sosialisasi Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Filariasis secara
intensif.
Sosialisasi POPM Filariasis secara aktif dan intensif dilaksanakan kepada Lintas Sektor
dan Lintas Program terkait serta seluruh lapisan masyarakat untuk meningkatkan
cakupan dalam minum obat pencegahan Filariasis. Penyebarluasan informasi kepada
masyarakat dilaksanakan melalui media cetak (leaflet, spanduk, banner) maupun
media elekronik (Iklan Layanan Masyarakat) baik di radio maupun televisi.

3. Monitoring dan Evaluasi dalam rangka Eliminasi Filariasis.


Kegiatan monitoring dan evaluasi dilaksanakan untuk memantau proses pada tahap
persiapan dan pemberian obat pencegahan massal filariasis serta mengevaluasi
hambatan dan tantangan dalam pengendalian Filariasis. Kegiatan ini juga bertujuan
untuk melihat apakah angka mikrofilaria pada kabupaten/kota endemis filariasis
berhasil diturunkan menjadi < 1% setelah POPM Filariasis selama 5 tahun. Kegiatan
ini dilaksakan melalui:
- Bimbingan teknis dalam rangka penanggulangan filariasis.
- Koordinasi LS/LP dalam rangka penguatan program pengendalian Filariasis.
- Koordinasi National Task Force Filariasis (NTF) dan Komite Ahli Pengobatan
Filariasis (KAPFI)
- Survey cakupan pasca POPM filariasis.
- Pencegahan Dini/ Penanggulangan Kejadian Ikutan Minum Obat (POPM)
Filariasis dan Kecacingan terpadu.
- Pertemuan persiapan implementasi regimen tiga obat (Ivermectin, DEC, dan
Albendazole).
- Pertemuan pencatatan dan pelaporan tatalaksana kasus filariasis.

4. Surveilans Pasca POPM Filariasis


Surveilans merupakan tahap yang paling penting dalam melaksanakan eliminasi
filariasis. Setelah dilaksanakan POPM Filariasis selama 5 tahun pada kabupaten/kota
endemis filariasis dievaluasi melalui survei evaluasi mikrofilaria untuk melihat apakah
kabupaten/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria rate <1%.
Setelah itu dilaksanakan survei evaluasi penularan filariasis untuk melihat apakah
masih terjadi penularan pada daerah tersebut serta menentukan apakah suatu
kabupaten/kota dapat menghentikan kegiatan POPM Filariasis atau masih harus
melanjutkan kegiatan POPM Filariasis sebelum ditetapkan sebagai daerah eliminasi
filariasis.

5. Pengadaan bahan-bahan KIE dan bahan survei filariasis.


Sebagai sarana komunikasi, informasi, dan edukasi terhadap masyarakat terkait
Filariasis maka telah dilaksanakan pengadaan berupa leaflet, poster, spanduk POPM,
roll banner, buku kader, buku Permenkes filariasis, serta komik bahaya dan
pentingnya mencegah filariasis. Dalam rangka mendukung pelaksanaan evaluasi
prevalensi mikrofilaria dan evaluasi penularan filariasis di kabupaten/kota yang telah

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 77


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

memasuki tahap surveilans, maka telah dilaksanakan pengadaan bahan-bahan survei


diantaranya FTS, Lancet, kit surveyor, dan bahan pewarnaan.

6. Distribusi obat dan logistik ke daerah.


Pengadaan bahan-bahan KIE, logistik dan serta obat donasi yang telah
diserahterimakan di Pusat harus segera dapat didistribusikan ke daerah sesuai
perencanaan sebelumnya sehingga bisa dioptimalkan dalam melaksanakan kegiatan
pengendalian filariasis.

Dalam pelaksanaan POPM Filariasis ditemukan kendala dan permasalahan antara lain:
1) Kurangnya partisipasi masyarakat dalam minum obat sehingga cakupan POPM
Filariasis masih dibawah target (< 65%).
2) Kondisi geografis beberapa wilayah di Indonesia yang sulit terjangkau, sementara
kegiatan POPM Filariasis dilaksanakan untuk seluruh penduduk usia 2 – 70 tahun di
kabupaten/kota endemis filariasis, dimana beberapa daerah tersebut merupakan
daerah terpencil dan kepulauan yang sulit aksesnya, sehingga pelaksanaan POPM
Filariasis di daerah tersebut sulit menjangkau seluruh sasaran, terutama di desa -
desa terpencil.
3) Adanya kejadian ikutan pasca POPM yang terjadi di masyarakat dapat menurunkan
angka partisipasi minum obat pada waktu POPM Filariasis.
4) Kegagalan dalam surveilans filariasis mengakibatkan kabupaten/kota tersebut harus
mengulang kembali POPM Filariasis selama 2 tahun sehingga mengakibatkan
mundurnya target eliminasi filariasis.

Untuk mengatasi kendala dan permasalahan tersebut telah dilakukan upaya pemecahan
masalah:
1) Advokasi dan Sosialisasi kepada Lintas Program, Lintas Sektor dan masyarakat
pentingnya cakupan POPM Filariasis >65% untuk dapat memutuskan rantai
penularan Filariasis. Serta pelaksanaan sweeping setelah pelaksanaan POPM filariasis
2) Melakukan edukasi dan penyampaian informasi kepada masyarakat umum melalui
berbagai media yang efektif dengan menggunakan pendekatan kearifan lokal
3) Advokasi kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan komitmen dalam
menjangkau daerah-daerah sulit dalam pelaksanaan POPM Filariasis, serta
mengoptimalkan mobilisasi tenaga kesehatan yang ada untuk menjangkau daerah-
daerah sulit dan terpencil.
4) Konsolidasi dan Penguatan jejaring Komisi Ahli penanggulangan kejadian ikutan
pasca POPM Filariasis baik di tingkat Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota untuk
mengantisipasi kejadian ikutan yang terjadi selama pelaksanaan POPM Filariasis.
5) Advokasi kepada daerah-daerah yang gagal dalam melaksanakan surveilans filariasis
agar dapat meningkatkan cakupan POPM filariasis dan memastikan masyarakat
benar-benar minum obat dalam rangka memutus rantai penularan filariasis.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 78


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

f. Penurunan kasus Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) tertentu
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) merupakan salah satu perhatian
dunia dan memiliki target capaian global yang wajib diikuti oleh semua negara.
Pencegahan PD3I secara khusus adalah dengan pemberian imunisasi dimana imunisasi
merupakan salah satu intervensi kesehatan masyarakat yang terbukti sangat cost efektif.
Imunisasi yang merupakan program prioritas nasional saat ini adalah imunisasi untuk
mencegah PD3I tertentu yaitu Tuberculosis, Hepatitis B, Polio, Difteri, Pertusis, Tetanus,
Hemophilus Influenza Type B, Campak, dan Rubela, yang beberapa diantaranya sering
menyebabkan kejadian luar biasa (KLB) di beberapa daerah. Diperlukan suatu surveilans
berkualitas berupa pengamatan yang sistematis dan terus menerus terhadap data dan
informasi serta kondisi yang mempengaruhi PD3I, untuk mengukur beban penyakit,
mendeteksi wabah dan mengevaluasi dampak imunisasi untuk PD3I sehingga dapat
mengarahkan tindakan pengendalian dan penanggulangan PD3I secara efektif dan
efisien. Komitmen global PD3I yang diikuti oleh semua negara dunia termasuk Indonesia
yaitu Eradikasi Polio (ERAPO), Eliminasi Campak dan Pengendalian Rubela/Congenital
Rubella Syndrome (CRS) serta Eliminasi Tetanus Maternal Neonatal.

Pada pertemuan tahunan bulan Mei 1988, The World Health Assembly (WHA), suatu
forum sidang tertinggi yang diselenggarakan oleh organisasi kesehatan dunia WHO, telah
mengeluarkan resolusi untuk membasmi penyakit polio dari dunia ini. Pada tanggal 27
Maret 2014 Regio Asia Tenggara telah tersertifikasi bebas poliomyelitis dimana Indonesia
termasuk salah satu negara yang menerima sertifikat tersebut. Namun pada bulan
November 2018, dilaporkan satu kasus polio akibat VDPV tipe 1 di Yahukimo, Papua.
Penyelidikan yang dilakukan selanjutnya menemukan bahwa dua specimen tinja dari
anak sehat di sekitar kasus juga positif untuk jenis virus yang sama, yang membuktikan
bahwa virus tersebut bersirkulasi sehingga kondisi ini dinyatakan sebagai KLB. Sebagai
respon, dilakukan sub PIN di Papua dan Papua Barat dengan menggunakan bOPV. KLB
polio akibat VDPV bisa terjadi di mana saja bila cakupan imunisasi polio rendah selama
bertahun-tahun. Untuk menghindari kasus serupa, imunisasi polio harus dijaga tetap
tinggi (lebih dari 95% anak diimunisasi) dan merata, dan semua kasus lumpuh layuh
mendadak (AFP) harus ditemukan secara dini dan dilaporkan.

Selain eradikasi polio, komitmen global lain yang harus diikuti oleh semua negara dunia,
termasuk Indonesia, yaitu eliminasi campak dan pengendalian rubela/CRS pada tahun
2020. Pemerintah Indonesia telah menetapkan beberapa strategi untuk mencapai
komitmen global tersebut, yaitu penguatan imunisasi rutin campak dosis pertama dan
dosis kedua secara tinggi (≥95%) dan merata, melakukan kampanye dan introduksi
imunisasi MR secara bertahap pada tahun 2017-2018, meningkatkan surveilans campak
yang berkualitas, melakukan penyelidikan epidemiologi KLB campak secara menyeluruh,
mengembangkan surveilans CRS sentinel di 18 RS di 15 provinsi, serta melakukan
konfirmasi laboratorium campak 100% secara bertahap terhadap kasus campak klinis.
Komitmen global lainnya Eliminasi Tetanus Maternal Neonatal, dimana pada tahun 2016
Indonesia telah divalidasi oleh Tim WHO dan Unicef dan dinyatakan sudah Eliminasi
Tetanus Maternal Neonatal. Walaupun telah menerima sertifikat tersebut, Indonesia

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 79


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

tetap harus mempertahakankan jumlah kasus tetanus maternal neonatal <1/1000


kelahiran hidup. Upaya yang dilakukan merupakan integrasi program KIA, imunisasi dan
surveilans yaitu dengan meningkatkan cakupan Ante Natal Care (ANC), Kunjungan
Neonatal (KN), persalinan steril, meningkatkan cakupan imunisasi tetanus toxoid, serta
meningkatkan surveilans TN yang berkualitas.

Penurunan kasus penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) tertentu adalah
penurunan kasus PD3I tertentu di seluruh provinsi dalam satu tahun dari baseline data
tahun 2013, dinyatakan dalam persen. Yang dimaksud dengan PD3I tertentu yaitu Difteri,
Campak Klinis, Tetanus Neonatorum dan Pertusis. Adapun formula untuk menghitung
indikator ini adalah:

(Jumlah kasus PD3I tertentu pada baseline) - (jumlah


kasus PD3I tertentu pada tahun berjalan)
X 100%
Jumlah kasus PD3I tertentu
pada baseline tahun 2013

Pada tahun 2019 tercatat jumlah kasus PD3I tertentu yakni difteri, campak, TN dan
pertusis sebesar 10.572 kasus. Terjadi penurunan sebesar 7.905 kasus (42,8%) pada
tahun 2019 dibandingkan angka kasus tahun 2013. Pada grafik dibawah ini terlihat bahwa
selama tahun 2015 – 2019 maka capaian kinerja telah melebihi target yang ditetapkan.

Grafik 3.24
Persentase Penurunan Kasus Penyakit yang Dapat Dicegah
dengan Imunisasi (PD3I) Tahun 2015-2019

Sumber data : Laporan Subdit Surveilans Tahun 2019

Pencapaian kinerja yang baik ini antara lain didukung dengan adanya penguatan
imunisasi rutin dengan cakupan tinggi dan merata, melakukan penguatan jejaring kerja

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 80


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

surveilans PD3I dengan klinisi dan laboratorium dengan workshop maupun pertemuan
untuk membahas perkembangan terkini PD3I, peningkatan kapasitas petugas surveilans
PD3I dan evaluasi pelaksanaan program surveilans PD3I di daerah dengan melakukan
monitoring, pertemuan evaluasi nasional dan melakukan feedback kinerja ke provinsi.
Bila dilihat pada jumlah kasus PD3I per jenis penyakit, maka sebagian besar jenis penyakit
PD3I mengalami penurunan dibandingkan dengan data kasus tahun 2013 seperti dalam
grafik berikut ini:
Grafik 3.25
Perbandingan Kasus PD3I tertentu Tahun 2013 dan Tahun 2019

Sumber data : Laporan Subdit Surveilans Tahun 2019

Pada grafik diatas, semua kasus PD3I menunjukkan penurunan antara tahun 2013 dan
2019. Penurunan kasus tertinggi pada Pertusis dari 4681 kasus pada tahun 2013 menjadi
71 kasus pada tahun 2019, dengan penurunan sebanyak 4610 kasus. Meskipun demikian
bila dilihat sebaran kasus per Provinsi, terdapat peningkatan kasus PD3I pada beberapa
Provinsi yakni Provinsi Lampung, meningkat 130% kasus PD3I yakni 245 kasus pada tahun
2013 meningkat menjadi 375 kasus pada tahun 2019. Di Provinsi Jawa Barat terjadi
peningkatan kasus sebesar 264% yakni 106 kasus pada tahun 2013 menjadi 370 kasus
pada tahun 2019. Di Provinsi Jawa Tengah, terjadi peningkatan kasus PD3I sebesar 585%
yakni 208 kasus pada tahun 2013 menjadi 793 kasus pada tahun 2019. Di Provinsi
Kalimantan terjadi peningkatan kasus sebesar 428% yakni 136 kasus pada tahun 2013,
meningkat menjadi 564 kasus. Hal ini terjadi karena adanya Kejadian Luar Biasa (KLB)
kasus difteri dan peningkatan kasus campak pada Provinsi Lampung, Jawa Barat dan
Kalimantan Selatan dan KLB campak dan difteri pada Provinsi Jawa Barat pada tahun
tahun 2019.

Capaian indikator persentase penurunan kasus PD3I pada tahun 2019 melebihi target
yang ditetapkan antara lain didukung oleh upaya penguatan imunisasi, terjalinnya
koordinasi yang baik antara petugas pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam pelaporan
PD3I, adanya metode crosscheck data bulanan untuk data PD3I dan mingguan untuk SKD,
adanya Komli untuk Eradikasi Polio, Eliminasi Campak-Rubella dan pengendalian Difteri,
dilakukannya kegiatan advokasi dan sosialisasi ke daerah bekerjasama dengan komite

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 81


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

ahli PD3I, adanya dukungan BBLK, BLK dan B/BTKLPP serta Badan Litbangkes dalam
penegakan diagnosa penyakit, pelaksanaan pertemuan koordinasi dan workshop untuk
penyakit potensi KLB dan PD3I, pencetakan dan pendistribusian NSPK serta media KIE ke
daerah dan adanya dukungan technical assistant dari WHO dan CDC dalam pengendalian
penyakit potensi KLB, penguatan SKDR dan surveilans PD3I.

Upaya yang dilakukan untuk mencapai indicator tersebut antara lain:


1) Melakukan penguatan imunisasi rutin dengan cakupan tinggi dan merata;
2) Meningkatkan jangkauan pelayanan imunisasi dengan melibatkan fasilitas
pelayanan swasta dan organisasi profesi;
3) Meningkatkan tingkat perlindungan/imunitas di masyarakat dengan melakukan
Back Log Fighting (BLF) dan Crash Program pada desa yang sudah 2 atau 3 tahun
berturut-turut tidak UCI;
4) Melaksanakan TOT Tim Gerak Cepat (TGC) bagi 19 provinsi bekerjasama dengan
BBPK Ciloto;
5) Melakukan bimbingan teknis dan supervisi program surveilans;
6) Melakukan Penyelidikan Epidemiologi/Verifikasi Rumor penyakit potensial KLB;
7) Mereplikasi Sentinel Surveilans khusus Congenital Rubella Syndrom (CRS) sehingga
pada tahun 2019 ini terdapat di 10 provinsi (18 Rumah Sakit);
8) Melaksanakan Pertemuan evaluasi CRS nasional;
9) Membentuk Posko Pendampingan Masalah Kesehatan di Papua dengan tugas
utama adalah komando penanggulangan KLB Polio di Papua;
10) Melaksanakan workshop dan pelatihan PD3I dalam rangka meningkatkan cakupan
surveilans terhadap AFP dan Campak-Rubella dan pengendalian difteri;
11) Melaksanakan pertemuan rutin dengan Komisi Ahli (Komli) Difteri, Komli Campak-
Rubella/CRS, Komli surveilans AFP dan Komli Eradikasi Polio (ERAPO), untuk
membahas hal-hal urgen dalam rangka pengendalian PD3I;
12) Melaksanakan pertemuan jejaring laboratorium Difteri, Campak-Rubella/CRS dan
Polio;
13) Melaksanakan surveilans pasca bencana Lombok, Banten, Sulawesi Tengah dan
Lampung serta pasca kerusuhan di Wamena;
14) Melaksanakan video conference dengan daerah dalam membahas situasi
perkembangan KLB yang cukup besar yang sedang terjadi;
15) Melaksanakan pertemuan koordinasi lintas program/lintas sektor dalam rangka
pengendalian KLB;
16) Membuat laporan harian/spot report KLB/suspek penyakit potensi KLB dan laporan
harian/ situasi penyakit yang sedang terjadi KLB;
17) Membuat bulletin laporan kewaspadaan dini dan respon mingguan dan memantau
bulletin yang dibuat oleh 34 provinsi;
18) Melakukan uji coba SKDR berbasis web ke Rumah Sakit dan Laboratorium Daerah di
3 provinsi yaitu Riau, Sulawesi Selatan dan Lampung;
19) Melakukan monitoring dan evaluasi pasca pelatihan TGC dan pelaksanaan SKDR di
daerah;

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 82


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

20) Bekerjasama dengan BPPSDMK dalam menyelenggarakan pelatihan epidemiologi


lapangan tingkat intermediate selama 8 bulan khusus untuk Provinsi Jawa Timur;
21) Melaksanakan Pertemuan Ilmiah Epidemiologi Nasional (PIEN) untuk meningkatkan
kompetensi para mahasiswa FETP dan mengikutsertakan mahasiswa dalam
kegiatan seminar tingkat internasional yaitu Training Programs in Epidemiology and
Public Health Interventions Network (TEPHINET) di Atlanta, Amerika Serikat;
22) Menyusun butir-butir kompetensi untuk Jabatan Fungsional Epidemiologi
Kesehatan bekerjasama dengan BPPSDMK dan Perhimpunan Ahli Epidemiologi
Indonesia (PAEI);
23) Menyusun, menyediakan dan mendistribusikan NSPK program surveilans.
24) Menyediakan dan mendistribusikan media KIE programs surveilans.

Dalam melakukan upaya untuk mencapai target ditemukan kendala dan permasalahan
yang dihadapi:
1) Pengelola program surveilans di beberapa kabupaten/kota masih rangkap tugas
dengan program lain;
2) Kondisi geografis di beberapa daerah sulit di jangkau sehingga petugas mengalami
kesulitan saat melakukan imunisasi dan penyelidikan epidemiologi (PE) saat terjadi
KLB;
3) Terdapatnya kampanye egative imunisasi di beberapa daerah;
4) Penggantian petugas yang tinggi sehingga banyak petugas yang belum terlatih;
5) Belum adanya struktur dan penunjukan yang jelas laboratorium yang berfungsi
sebagai laboratorium kesehatan masyarakat;
6) Keterlambatan penyediaan dan pendistribusian reagen campak-rubella oleh
Farmalkes sehingga laboratorium rujukan saat ini belum dapat menyelesaikan
pemeriksaan spesimen dari daerah.

Upaya pemecahan masalah yang dilakukan antara lain:


1) Advokasi dan sosialisasi program surveilans dan respon KLB terintegrasi dengan
kegiatan lain;
2) Memberikan umpan balik rutin secara berjenjang dan memantau tindak lanjutnya;
3) Mengusulkan kegiatan surveilans PD3I untuk daerah melalui dana dekon dan
BOK/DAK;
4) Melibatkan fasilitas pelayanan kesehatan swasta dalam penemuan kasus PD3I;
5) Mengaktifkan Surveilans Aktif RS (SARS) dan Hospital Record Review (HRR) bagi
daerah yang belum melaksanakan;
6) Penyediaan dan pendistribusian pedoman dan media KIE surveilans PD3I;
7) Dukungan asistensi dan bimbingan teknis bagi petugas pelaksana surveilans di
daerah;
8) Pendampingan pengendalian Penyelidikan Epidemiologi KLB di daerah;
9) Pertemuan, workshop atau review program surveilans penyakit potensial KLB dan
PD3I;
10) Koordinasi pengendalian penyakit potensial KLB dan PD3I dengan Komli dan mitra
kerja (WHO dan CDC);

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 83


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

11) Koordinasi lintas program dan lintas sektor dalam pengendalian penyakit potensi KLB
dan PD3I;
12) Penyiapan tenaga epidemiologi melalui Jabatan Fungsional Epidkes dan FETP.

g. Persentase kab/kota yang mempunyai kebijakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan


kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah
Pada era globalisasi di mana lalu lintas orang, barang, dan alat angkut begitu pesat dan
berlangsung dalam hitungan jam, risiko persebaran penyakit menjadi semakin besar,
baik pada lintas wilayah regional sampai pada lintas internasional. Kejadian penyakit
yang menjadi perhatian international (dikenal dengan istilah PHEIC; Public Health
Emergency of International Concern) semakin meningkat dan berimplikasi bukan hanya
pada aspek kesehatan, namun juga aspek sosial, ekonomi, politik dan pertahanan
keamanan. Setiap negara diharapkan mempunyai kemampuan dalam sistem
kesehatannya untuk mampu melakukan pencegahan, pendeteksian, melakukan
tindakan penanggulangan dan melaporkan suatu kejadian yang berpotensi kedaruratan
kesehatan masyarakat.

International Health Regulations (IHR, 2005) yang diberlakukan tahun 2007 merupakan
Regulasi Kesehatan Internasional yang disetujui oleh 194 negara anggota WHO dalam
sidang World Health Assembly (WHA) ke-58 sebagai bentuk komitmen, tanggung jawab
dan upaya bersama dalam mencegah penyebaran penyakit lintas negara. IHR (2005)
bertujuan mencegah, melindungi dan mengendalikan penyebaran penyakit lintas negara
dengan melakukan tindakan sesuai dengan risiko kesehatan yang dihadapi tanpa
menimbulkan gangguan yang berarti bagi lalu lintas dan perdagangan internasional.
Dalam regulasi internasional ini setiap negara berkewajiban untuk meningkatkan
kapasitas inti untuk mencapai tujuan IHR (2005).

Indonesia secara bertahap telah mengembangkan kapasitas inti tersebut dan


berdasarkan penilaian telah Implementasi penuh IHR (2005). Regulasi ini merupakan
modal utama untuk mengembangkan jejaring dan kerjasama internasional dalam
menghadapi dan menanggulangi potensi terjadinya Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
yang Meresahkan Dunia (KKM-MD) atau Public Health Emergency of International
Concern (PHEIC). Dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan upaya cegah tangkal
dalam rangka perlindungan Indonesia dan dunia terhadap Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKM-MD) melalui koordinasi, integrasi,
singkronisasi lintas sektor yang telah dilakukan dapat tetap terjaga dan
mempertahankan kemampuan dalam hal deteksi, verifikasi, penilaian, pelaporan dan
penanggulangan potensi terjadinya KKM-MD.

Wilayah kabupaten/kota sebagai bagian dari negara harus mempunyai kapasitas dalam
surveilans, deteksi dini dan respon sebagai jaminan kapasitas suatu negara dalam
kesiapsiagaan menghadapi kedaruratan kesehatan masyarakat (KKM). Kesiapsiagaan
tersebut dituangkan dalam bentuk dokumen kebijakan yang merupakan kesepakatan
bersama seluruh lintas sektor yang ada di suatu wilayah dalam penanggulangan KKM
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 84
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

yang berpotensi terjadi di wilayahnya. Dokumen tersebut dinamakan dokumen rencana


kontinjensi. Penyusunan rencana kontinjensi melibatkan seluruh lintas sektor yang ada
di suatu wilayah dalam memberikan input untuk mendapatkan dokumen yang adekuat
dan dapat diandalkan. Penetapan KKM yang potensial terjadi disepakati bersama, begitu
pula dengan pembagian peran, tugas dan fungsi. Melalui proses penyusunan inilah
didapatkan komitmen bersama untuk menjamin kesiapsiagaan dalam menghadapi KKM.
Finalisasi dari dokumen ini adalah dengan ditandatanganinya dokumen rencana
kontinjensi oleh Bupati/ Walikota.

Definisi operasional IKU ini adalah Kab/kota yang memiliki pintu masuk internasional
dalam hal ini pelabuhan, bandar udara dan PLBDN melakukan kesiapsiagaan terhadap
potensi kedaruratan kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh penyakit, bahan kimia,
radio nuklir dan keamanan pangan. Upaya kesiapsiagaan tersebut termasuk menyusun
dokumen kebijakan bersama lintas program dan lintas sektor terkait untuk
penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah. Untuk
menghitung indikator ini digunakan formulasi sebagai berikut:

Jumlah Kabupaten/Kota yang mempunyai kebijakan


kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan
kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah X 100%
Jumlah Kabupaten/Kota yang memiliki pintu masuk
internasional (pada saat baseline)

Pada tahun 2019, persentase kabupaten/kota dengan pintu masuk internasional yang
memiliki dokumen rencana kontinjensi penanggulangan Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat (KKM) telah mencapai 106 Kab/Kota dari target 106 Kab/Kota sehingga
pencapaian sebesar 100%. Terjadi peningkatan bila dibandingkan dengan capaian tahun
2018 yakni dari 84% menjadi 100% seperti dalam tabel berikut ini:
Grafik 3.26
Target dan Capaian Kab/Kota Yang Mempunyai Kebijakan
Kesiapsiagaan Dalam Penanggulangan KKM Tahun 2015-2019

Sumber data : Laporan rutin Subdit Karantina Kesehatan Tahun 2019


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 85
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Bila melihat tren capaian Kab/Kota yang mempunyai kebijakan kesiapsiagaan dalam
penanggulangan KKM telah tercapai selama 5 tahun berturut-turut maka capaian 4 tahun
terakhir telah mencapai target. Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan
pencapaian target indikator antara lain:
- Persiapan pelaksanaan kegiatan dengan melakukan komunikasi dan koordinasi baik
verbal maupun surat kepada propinsi/kabupaten/kota sasaran penyusunan
dokumen.
- Pelaksanaan sosialisasi dan advokasi dengan melibatkan Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) dan lintas sektor.
- Pelaksanaan workshop dan penyusunan dokumen rencana kontinjensi di
kabupaten/kota dengan anggaran bersumber dari pusat dan dana dekonsentrasi.
- Adanya rambu petunjuk perencanaan sehingga Dinas Kesehatan Provinsi dapat
menyusun anggaran kegiatan terkait kebijakan kesiapsiagaan penanggulangan KKM
di wilayah.
- Pelaksanaan pertemuan koordinasi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan di
wilayah yang menjadi forum diskusi dan koordinasi serta memfasilitasi komunikasi
dan diseminasi informasi kepada kabupaten/kota sasaran yang akan melakukan
penyusunan

Upaya yang dilaksanakan untuk mencapai target indikator tersebut antara lain:
- Advokasi dan sosialisasi regulasi kesehatan internasional atau International Health
Regulations (2005) termasuk kapasitas inti IHR dan paket aksi keamanan kesehatan
global.
- Penilaian pencapaian kapasitas inti IHR di pintu masuk negara, wilayah dan nasional
dengan melibatkan lintas sektor terkait
- Sosialisasi dan advokasi kesiapsiagaan dan kewaspadaan terhadap faktor risiko
kedaruratan kesehatan masyarakat dengan melibatkan Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) dan lintas sector.
- Melaksanakan workshop penyusunan rencana kontinjensi mencakup konsep
pedoman penyusunan renkon, identifikasi potensi KKM, pengumpulan data dasar
dan membangun komitmen lintas sectoral.
- Melaksanakan kegiatan penyusunan rencana kontijensi KKM dengan melibatkan
seluruh lintas sektoral pemerintah daerah yang terkait dengan kesiapsiagaan,
respon dan koordinasi penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat.
- Pelaksanaan Pertemuan Koordinasi Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan di
Wilayah mengundang seluruh kabupaten/kota sasaran yang akan menysun dokumen
dengan metode pemaparan materi, tanya jawab dan Focus Group Discussion (FGD)
- Review dan update dokumen kebijakan yang telah disusun di kabupaten/kota.

Meskipun target indikator berhasil dicapai, ditemukan kendala dan permasalah dalam
pelaksanaannya yakni antara lain:
- Masih adanya pemahaman SKPD di daerah bahwa penyusunan rencana kontinjensi
merupakan tanggung jawab instansi kesehatan saja.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 86


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

- Dokumen rencana kontinjensi wilayah belum menjadi prioritas dibandingkan


program lainnya sehingga di beberapa daerah dengan mekanisme dana
dekonsentrasi melakukan pemotongan anggaran penyusunan rencana kontinjensi
yang menyebabkan rangkaian kegiatan penyusunan rencana kontinjensi tidak
berjalan sesuai jadwal/rencana dan berdampak pada kualitas penyusunan dokumen
renkon.
- Terdapat kesulitan dalam penentuan jadwal pelaksanaan kegiatan di daerah karena
berbenturan dengan kegiatan lain.

Upaya Pemecahan Masalah yang dilakukan antara lain:


1) Mengintensifkan kegiatan sosialisasi kebijakan kesiapsiagaan terhadap kedaruratan
kesehatan masyarakat kepada pemerintah daerah sasaran untuk menyamakan
pemahaman dan rencana tindak lanjut pelaksanaan kegiatan pembuatan dokumen
rencana kontingensi. Hal ini dapat meningkatkan komitmen daerah dalam
melaksanakan program yang disepakati.
2) Mendorong kabupaten/kota sasaran untuk menyelesaikan hambatan administrasi
agar kegiatan dapat terlaksana sesuai dengan rencana yang telah disepakati baik
melalui mekanisme pembiayaan dekonsentrasi maupun pusat
3) Memaksimalkan potensi sumber daya manusia untuk memenuhi permintaan
narasumber dari berbagai daerah untuk memfasilitasi pembentukan dokumen
rencana kontigensi.
4) Mengoptimalisasikan potensi daerah dalam kesiapsiagaan kedaruratan khususnya
kedaruratan bencana alam untuk memperkaya dan memperkuat substansi
kedaruratan kesehatan masyarakat.
5) Menyesuaikan metode penyusunan dokumen dengan waktu yang tersedia termasuk
design kegiatan yang interaktif (diskusi, table top, simulasi) dan penyusunan draft
awal sebelum pertemuan.

h. Persentase kab/kota yang melaksanakan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)


minimal 50% sekolah
Kabupaten/Kota yang melaksanakan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) minimal 50%
sekolah adalah kabupaten/kota yang telah melaksanakan kebijakan KTR yang dinilai dari
telah menerapkan KTR paling sedikit di 50% sekolah/ madrasah sesuai dengan peraturan
perundangan yang mengatur tentang Kawasan Tanpa Rokok.

Sekolah yang dimaksud adalah sekolah dan madrasah di level Sekolah Dasar dan
sederajatnya, Sekolah Menengah Pertama dan sederajatnya, Sekolah Menengah Atas dan
sederajatnya, baik negeri maupun swasta termasuk pondok pesantren dan sekolah
berasrama.

Ruang lingkup kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) terdapat 7 tatanan termasuk di
tatanan sekolah yang diatur dalam peraturan perundangan Kawasan Tanpa Rokok yang
telah melakukan penerapan enforcement sesuai kriteria yaitu ditemukan tanda dilarang
merokok di semua pintu masuk; diseluruh lingkungan sekolah Tidak ditemukan orang

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 87


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

merokok; Tidak ditemukan ruang khusus merokok; Tidak tercium bau asap rokok; Tidak
ditemukan asbak dan korek api; Tidak ditemukan puntung rokok; Tidak ditemukan
penjualan rokok termasuk kantin sekolah, tempat tunggu penjemput; dan Tidak
ditemukan indikasi kerjasama dengan Industri tembakau dalam bentuk sponsor, promosi,
iklan rokok (misalnya: serbet, tatakan gelas, asbak, poster, spanduk, billboard dan
lainnya).

Persentase Kabupaten/Kota yang melaksanakan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)


minimal 50% sekolah adalah kabupaten/kota yang telah melaksanakan kebijakan KTR
yang dinilai dari minimal telah menerapkan KTR di 50% sekolah/ madrasah sesuai dengan
peraturan perundangan yang mengatur tentang KTR dibagi dengan jumlah kab/kota di
Indonesia. Indikator ini dihitung dengan rumus:

Persentase kabupaten/kota Jumlah Kab/Kota yang melaksanakan


yang melaksanakan kebijakan KTR minimal di 50%
kebijakan Kawasan Tanpa = sekolah x 100%
Rokok (KTR) minimal 50% Jumlah Kab/Kota di Indonesia

Sampai dengan tahun 2019 terdapat 386 kab/kota (75,09%) yang telah memiliki
peraturan mengenai KTR. Sebanyak 261 kab/kota (50,77%) dalam bentuk Perda KTR dan
224 kab/kota (43,57%) dalam bentuk peraturan Bupati atau Walikota. Masih ada 119
(23,15%) kab/kota baik yang belum memiliki peraturan ataupun masih dalam bentuk
surat edaran dan surat keputusan. Pencapaian Persentase Kabupaten/Kota yang
melaksanakan kebijakan KTR minimal 50% sekolah, telah melebihi target yang
diharapkan. Dari target 50%, tercapai sebesar 50,2% atau sebanyak 258 kab/kota dari
514 kab/kota telah melaksanakan kebijakan KTR, sehingga pencapaian kinerja sebesar
100,4%.
Grafik 3.27
Persentase Kab/Kota yang melaksanakan kebijakan KTR
minimal di 50% sekolah Tahun 2019

Sumber data : Laporan Subdit PKGI Tahun 2019

Sampai dengan tahun 2019 persentase kabupaten/ kota yang melaksanakan kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok (KTR) minimal di 50% sekolah yang ada di wilayahnya, berdasarkan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 88


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

provinsi paling tinggi ada di Provinsi Bali (100%), DI Yogyakarta (100%), dan DKI Jakarta
(100%), sedangkan yang terendah ada di Provinsi Papua (13,8%).

Grafik 3.28
Persentase Kab/Kota yang melaksanakan kebijakan KTR
Per Provinsi di Indonesia Tahun 2019

Sumber data : Laporan rutin Subdit PKGI Tahun 2019

Pencapaian dari tahun 2015 sampai dengan tahun 2019 terjadi peningkatan kabupaten/
kota yang telah mengimplementasikan KTR pada 50% sekolah. Bila dilihat trend
peningkatan dari tahun 2015 target kinerja sebesar 10%, realisasi sebesar 8,37% atau
sebanyak 43 kab/kota, tahun 2016 dari target 20%, realisasi sebesar 21,2% atau sebanyak
109 kab/kota, sehingga pencapaian sebesar 105,8%. Pada tahun 2017 target 30%,
realisasi 30% atau 154 kabupaten/ kota yang telah mengimplementasikan kebijakan KTR
pada 50% sekolah, capaiannya 100%. Ditahun 2018, target 40%, realisasi 42,4% atau 218
kabupaten/ kota yang telah mengimplementasikan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok pada
50% sekolah, capaiannya 106%. Tahun 2019, target 50%, telah tercapai 50,2% atau 258
kabupaten/ kota, capaiannya 100,4%.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 89


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Grafik 3.29
Target dan Realisasi Kab/Kota yang melaksanakan KTR
minimal 50% Sekolah Tahun 2015-2019

Bila dibandingkan dengan indikator RPJMN yakni prevalensi merokok penduduk usia ≤
18 tahun dengan target tahun 2019 sebesar 5,6% maka Prevalensi merokok penduduk
umur 10-18 tahun menunjukkan kenaikan yakni 7,2% (Riskesdas 2013), menjadi 8,8%
(Sirkesnas 2017) dan meningkat menjadi 9,1% (Riskesdas 2019). Peningkatan prevalensi
merokok pada usia ≤ 18 tahun salah satunya disebabkan karena masih minimnya
Kab/Kota yang melaksanakan KTR minimal di 50% sekolah (50,2%).

Persentase kab/kota yang telah melaksanakan kebijakan KTR pada 50% sekolah mencapai
target yang telah di tetapkan telah mencapai target (50,2%). Hal ini didukung adanya
upaya-upaya yang telah dilakukan antara lain advokasi dan sosialisasi "Bupati/walikota
kepada Bupati/Walikota" terkait perda KTR, Advokasi dan sosialisasi penerapan aturan
KTR dilingkungan sekolah, peningkatan kapasitas SDM dalam penyusunan Perda KTR di
daerah (Dinkes, Bagian Hukum, Disdik, Akademisi), Peningkatan kapasitas SDM dalam
penegakan kebijakan KTR yang telah ditetapkan, melaksanakan monitoring/ review
implementasi di daerah yang telah mempunyai kebijakan KTR penerapan aturan KTR
dilingkungan sekolah oleh Dinkes dan Satgas KTR Kab/Kota, Layanan UBM (Upaya
Berhenti Merokok) di Fasyankes dan Layanan Quitline dinomor 08001776565 kepada
seluruh masyarakat, dan penghargaan kepada daerah yang telah mempunyai kebijakan
dan melakukan implementasi KTR. Selain itu, adanya surat dari Menteri Dalam Negeri
(Dirjen Bina Pembangunan Daerah) kepada seluruh kepala daerah di Indonesia dan
dikuatkan dengan surat dari Dirjen P2P kepada seluruh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
dan Kabupaten/ Kota di seluruh Indonesia dengen penekapan tentang penerapan
regulasi Kawasan Tanpa Rokok di Daerah. Upaya dan kegiatan yang telah dilaksanakan
dalam Persentase Kabupaten/Kota yang melaksanakan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok
(KTR) minimal 50% sekolah adalah sebagai berikut:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 90


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

▪ Advokasi dan sosialisasi terhadap pemangku kebijakan baik pusat maupun daerah
yang belum memiliki kebijakan KTR dan mendorong terbitnya peraturan KTR di
kabupaten/ kota dan juga implementasinya dalam melindungi perokok pemula dan
masyarakat dari bahaya merokok oleh Kementerian Kesehatan (Dit P2PTM), Dinkes
Provinsi (Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB) dan jejaring mitra pengendali tembakau ke
Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sukoharjo, Kota Batu, Kota Pasuruan dan Kota
Mataram.
▪ Melaksanakan Review Implementasi Kawasan Tanpa Rokok di Daerah yang telah
memiliki Peraturan KTR dan Konseling Upaya Berhenti merokok di Sekolah meliputi:
60 kabupaten/ kota dengan 4 SD/ sederajat, 5 SMP/ sederajat dan 6 SMA/ sederajat
yang masuk ke dalam random sampling di masing-masing kabupaten/ kota. Kawasan
tanpa rokok merupakan tanggung jawab seluruh komponen bangsa, baik individu,
masyarakat, parlemen, maupun pemerintah, untuk melindungi generasi sekarang
maupun yang akan datang. Komitmen bersama dari lintas sektor dan berbagai elemen
akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan kawasan tanpa rokok. Kegiatan
review implementasi kebijakan KTR perlu dilaksanakan secara rutin dan bersinergi
bersama SKPD lainnya. Jumlah kabupaten/ kota yang sudah mengimplementasikan
KTR di 50% sekolah yaitu sebesar 50,2 % (258 Kabupaten/ Kota).
▪ Peningkatan kapasitas Tenaga Kesehatan dan Pendidikan Dalam Upaya Implementasi
KTR di Sekolah dilaksanakan secara bertahap dan berjenjang, melalui TOT yang
dilaksanakan di Pusat dan pelatihan yang dilakukan daerah melalui dana
Dekonsentrasi.
▪ Penyedian Layanan Quitline (Layanan Konsultasi Upaya Berhenti Merokok melalui
telpon tidak berbayar). Kegiatan layanan Quitline merupakan layanan langsung kepada
masyarakat yang ingin berhenti merokok melalui Toll Free 0-800-177-6565. Total Klien
yang memanfaatkan layanan Quitline selama 2019 ini berjumlah 60.983 penelpon atau
rata-rata 5.081 klien/ bulan. Penyebaran program ini pun terus meluas dimana rata-
rata klien penelpon mewakili 20-32 propinsi setiap bulannya, bahkan pada bulan
Desember 2019 asal penelpon telah mencapai 34 propinsi atau sekitar 100% dari total
propinsi yang ada di Indonesia. Usia klien yang menelpon ke Layanan Quitline UBM
selama tahun 2019 ini terbanyak di usia 25 -29 tahun. Ini menjadi indikasi bahwa
kesadaran untuk berhenti merokok di kelompok usia produktif semakin meningkat.
▪ Penyebaran informasi upaya berhenti merokok dan Penyakit Tidak Menular juga
dilaksanakan melalui media sosial P2PTM baik melalui facebook, instagram, dan
twitter.

Facebook : @p2ptmkemenkesRI jumlah pengikut 106.786.


Istagram : @p2ptmkemenkesri Media Sosial Instagram diikuti
110.669 follower.
Twitter : @p2ptmkemenkesRI diikuti 11.049 pengikut selama
selama Tahun 2019 dan semakin meningkat setiap
bulannya.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 91


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

▪ Gerakan Masyarakat dalam pengendalian tembakau.


Kegiatan ini bertujuan meningkatkan awareness masyarakat akan Bahaya Dampak
Tembakau, dengan memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) yang jatuh
pada tanggal 31 Mei 2019, dengan tema Rokok dan Kesehatan Paru. Kegiatan
dilaksanakan di Kabupaten Klungkung, Kota Bogor, Kota Yogyakarta dan Auditorium
Siwabessy, Kemenkes Jakarta dengan Penandatanganan MOU antara Kemenkes
dengan Dunia Usaha yaitu PT. BTPN, PT. Nutrifood, PT. Boehringer, PT. Reckitt
Benkiser dan PT. Herlina; Pemberian WHO World No Tobacco Day Award 2019 kepada
dr. Hasto Wardoyo, Sp. OG(K) dan DR. Bima Arya Sugiarta oleh WHO Representative
Indonesia; Dialog interaktif Ibu Menteri Kesehatan dengan Kepala Daerah dengan
narasumber: Menteri Dalam Negeri (yang mewakili), Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional/Bappenas (yang mewakili), Kepala Badan Litbangkes
Kemenkes RI dan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit; Video
conference oleh Ibu Menkes di 3 lokasi (Kabupaten Klungkung, Kota Bogor, Kota
Yogyakarta dan Auditorium Siwabessy), Pemberian piagam penghargaan KTR kepada
Gubernur dan Bupati Walikota yang telah memiliki Peraturan Daerah dan telah
mengimplementasi KTR terdiri dari Piagam Parama, parahita, dan Paramesti, serta
Pemberian piagam penghargaan KTR kepada Gubernur dan Bupati Walikota yang telah
memiliki Peraturan Daerah dan telah mengimplementasi KTR serta melarang adanya
iklan rokok media luar ruang yakni Piagam Awya Pariwara.

Gambar 3.11
Pemberian penghargaan Gubernur/Bupati/ Walikota dalam acara HTTS

Kendala dan permasalahan yang dihadapi yakni:


1) Belum semua Kementerian dan Lembaga yang memiliki komitmen untuk
mengendalikan konsumsi produk tembakau
2) Kegiatan advokasi dan sosialisasi di daerah dalam pengendalian konsumsi tembakau
pada Kab/Kota belum optimal.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 92


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

3) Belum semua sekolah mengetahui dan menerapkan Peraturan Menteri Pendidikan


dan Kebudayaan no 64 tahun 2015
4) Belum optimalnya koordinasi antara Lintas Program dan Lintas Sektor di tingkat
Kab/Kota dalam upaya pengendalian konsumsi rokok.
5) Daerah yang memiliki kebijakan KTR di daerah masih terbatasnya jumlahnya, dan
penerapan kebijakan di daerah yang telah memiliki kebijakan KTR belum optimal.
6) Belum ada atau lemahnya sanksi dan penegakan hukum dalam implementasi KTR.
7) Sistem pencatatan pelaporan melalui Surveilans berbasis web PTM belum optimal.
8) Belum optimalnya penganggaran daerah dalam memfasilitasi kegiatan-kegiatan
terkait pengendalian konsumsi rokok.
9) Masih rendahnya pemahaman dan kesadaran masyarakat akan bahaya konsumsi
rokok.
10) Belum optimalnya pemberdayaan masyarakat untuk penegakan KTR di 7 tatanan.

Upaya Pemecahan Masalah yang telah dilakukan antara lain:


1) Optimalisasi dukungan komitmen lintas sektor dan lintas program melalui upaya
advokasi dan sosialisasi pengendalian tembakau serta mendorong pengembangan
regulasi KTR di berbagai tingkat pemerintahan yang didukung oleh semua pihak
terkait dan masyarakat.
2) Untuk memaksimalkan Penerapan Kebijakan KTR di daerah dengan upaya sebagai
berikut:
a. Optimalisasi dukungan stakeholder dan mitra kesehatan dalam rangka mencapai
Implementasi Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) termasuk
melaksanakan kebijakan KTR.
b. Mendorong penegakan hukum (law enforcement) secara konsisten sesuai
dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
c. Mengoptimalkan upaya advokasi dan sosialisasi melalui dukungan Audiensi dari
Tim Aliansi Bupati/Walikota peduli Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan PTM kepada
Bupati dan Walikota di Indonesia. Pertemuan ini bertujuan memberi dukungan
dan membangun komitmen yang kuat dari masing-masing Bupati dan SKPD,
termasuk pengaturan tentang iklan rokok yang sangat masif di kabupaten dan
kota.
d. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia dalam penegakan Kebijakan KTR
yang telah ditetapkan.
e. Membangun komitmen masyarakat untuk menerapkan KTR di rumah tangga,
RT/RW, Kelurahan/desa, dan Kecamatan melalui pemicuan/ FGD partisipatori.
3) Meningkatkan penganggaran yang belum optimal dalam memfasilitasi kegiatan
yang termasuk dalam indikator prioritas dalam pengendalian konsumsi tembakau,
melalui APBN, APBD, Anggaran Dana Desa dan Dana Pajak Rokok, dan sumber
penganggaran lainnya.
4) Mengoptimalkan sistem pencatatan pelaporan melalui Surveilans berbasis web
PTM dalam pengendalian tembakau, seperti:
a. Tersedianya data perokok dari masyarakat melalui kegiatan POSBINDU PTM.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 93


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

b. Tersedianya data perokok dan keluarga yang mempunyai anggota yang merokok
melalui PIS-PK dan data kunjungan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
(FKTP).
c. Tersedianya data perilaku merokok pada anak usia remaja, melalui kegiatan
skrining merokok pada anak usia sekolah
d. Tersedianya data perokok yang sudah dilakukan layanan Upaya Berhenti
Merokok (UBM) di FKTP
e. Tersedianya data implementasi KTR di sekolah dan tatanan yang sudah
ditetapkan
5) Meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat akan bahaya konsumsi
rokok, melalui:
a. Berbagai media Komunikasi-Informasi-Edukasi (KIE) dan berkoordinasi dengan
seluruh stakeholder dan mitra kesehatan.
b. Mengoptimalkan dukungan masyarakat, lintas program dan lintas sektor untuk
kegiatan promotif dan preventif
c. Optimalisasi dukungan stakeholder dan mitra kesehatan dalam rangka Gerakan
Masyarakat Hidup Sehat (Germas) dalam bentuk melaksanakan Kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok
d. Melakukan sosialisasi dan optimalisasi layanan konseling berhenti merokok di
FKTP dan melalui telepon (QUITLINE) di telepon tanpa bayar 0-800-177-6565.

i. Jumlah kabupaten/kota yang memiliki Puskesmas yang menyelenggarakan upaya


kesehatan jiwa
WHO menyatakan kesenjangan pengobatan gangguan jiwa di negara-negara dengan
penghasilan rendah-menengah termasuk Indonesia masih tinggi, yaitu >85%. Hal ini
berarti kurang dari 15% penderita gangguan jiwa mendapatkan layanan kesehatan jiwa
yang dibutuhkan. Melalui estimasi sederhana tentang utilisasi layanan baik di tingkat
primer maupun sekunder-tersier menunjukkan bahwa ternyata memang cakupan
layanan kesehatan jiwa di Indonesia masih rendah yaitu <10% (tahun 2013), dan tingkat
kekambuhan pasien masih cukup tinggi pasca perawatan di Rumah Sakit. Oleh karena itu
upaya kesehatan jiwa di Puskesmas menjadi penting dengan tujuan untuk meningkatkan
akses masyarakat terhadap layanan kesehatan jiwa, baik upaya-upaya pencegahan
maupun deteksi dan tata laksana secara dini. Agar mutu layanan terjaga, maka dalam
kriteria indikator tercantum bahwa tenaga kesehatan puskesmas terlatih.

Defenisi operasional jumlah Kab/Kota yang memiliki Puskesmas yang menyelenggarakan


upaya kesehatan jiwa dan/atau Napza adalah Kab/Kota yang memiliki minimal 1
puskesmas di wilayahnya dengan kriteria:
▪ Memiliki minimal 2 (dua) tenaga kesehatan terlatih kesehatan jiwa (dokter dan
perawat), minimal 30 jam pelatihan
▪ Melaksanakan upaya promotif kesehatan jiwa dan preventif terkait kesehatan jiwa
secara berkala dan teritegrasi dengan program kesehatan puskesmas lainnya

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 94


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

▪ Melaksanakan deteksi dini, penegakan diagnosis, penatalaksanaan awal dan


pengelolaan rujukan balik kasus gangguan jiwa.

Oleh karena itu formula untuk menghitung indikator ini adalah:

Jumlah akumulatif kabupaten/kota yang memiliki puskesmas


dengan upaya kesehatan jiwa sesuai dengan kriteria

Capaian indikator Jumlah Kabupaten/Kota yang memiliki Puskesmas yang


menyelenggarakan upaya kesehatan jiwa menunjukkan peningkatan selama 5 tahun
periode Renstra, dengan persentase kinerja tertinggi pada tahun 2019 yakni sebesar
145%. Jika dibandingkan pencapaian tahun 2019 (akhir periode Renstra) dibandingkan
dengan tahun 2015 (awal periode Renstra), telah dicapai penambahan 325 Kab/Kota
yang memiliki Puskesmas yang menyelenggarakan upaya kesehatan jiwa. Secara lengkap
terlihat dalam grafik berikut ini:

Grafik 3.30
Target dan Capaian Jumlah Kab/Kota yang menyelenggarakan
upaya kesehatan jiwa/napza Tahun 2015-2019

Sumber data : Laporan Subdit Dewasa dan Lansia Tahun 2019

Keberhasilan capaian indikator Jumlah Kabupaten/Kota yang memiliki Puskesmas yang


menyelenggarakan upaya kesehatan jiwa sebanyak 407 Kab/Kota, disebabkan oleh:
1. Adanya Program Indonesia Sehat Pendekatan Keluarga (PIS-PK) yang telah dilakukan
oleh petugas kesehatan di puskesmas untuk menemuan kasus Orang Dengan
Gangguan Jiwa (ODGJ).
2. Gencarnya advokasi dan sosialisasi yang dilakukan oleh subdit P2 masalah kesehatan
jiwa dewasa dan usia lanjut
3. Dilakukannya pelatihan deteksi dini untuk dokter dan perawat di puskesmas bidang
kesehatan jiwa melalui dana dekonsentrasi
4. Adanya nota kesepahaman antara Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan,
Kepolisian dan BPJS tentang ODGJ.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 95


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Upaya Kementerian Kesehatan dalam mencapai indikator melalui:


1) Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikososial pada situasi krisis kesehatan di daerah
terdampak bencana yang dilaksanakan di Provinsi Papua, Jawa Timur, Sumatera
Barat, Sulawesi Selatan untuk melakukan penanganan masalah kesehatan jiwa pasca
bencana.
2) Melakukan upaya promotif melalui pelaksanaan hari kesehatan jiwa sedunia, dengan
tujuan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang isu-isu kesehatan jiwa,
meningkatkan kepedulian dan partisipasi akif masyarakat terhadap upaya
pencegahan masalah kesehatan jiwa, dengan melakukan kegiatan antara lain:
a. Pekan Olah Raga Kesenian Rehabilitasi Mental (Poskesremen) di Provinsi Bangka
Belitung dengan kegiatan lomba olah raga antara lain bulutangkis, catur, tenis
meja, voli, dan futsal. Sedangkan cabang seni yang dipertandingkan adalah
lomba adzan, khotbah, tilawah, menari dan menyanyi, pameran hasil karya
rehabilitan, semua peserta lomba adalah ODGJ;
b. Pemeriksaan Mobile Mental Health Servis (MMHS) dilakukan oleh subdit Anak
Remaja Direktorat P2MKJN;
c. Melakukan integrasi dengan program imunisasi dengan memberikan imunisasi
pneumonia pada balita disekitar Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Bangka
Belitung;
d. Temu Media dengan media cetak dan elektronik membahas tentang tema
suicide prevention;
e. Temu Blogger dengan 40 blogger #harikesehatanjiwa, #cegahbunuhdiri dan
#sehatjiwa, dan berhasil masuk ke top 10 harian di tweeter;
f. Seminar, di lakukan kegiatan pemutaran video bapak psikiatri Indonesia prof
DR.Dr. Kusumanto SpKJ, pemotongan 34 tumpeng, bedah buku sehat jiwa,
nagara kuat, perawatan kesehatan jiwa masyarakat dan pencegahan bunuh diri;

Gambar 3.12
Peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 96


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

g. Talkshow dengan tema “communicating about suicide”;


h. Kompetisi public relations students forum dengan tema advocation heathh
family function fot suicide prevention and support dengan topik promoting
family wellbeing through psicoeducation dengan peserta mahasiswa fakultas
komunikasi jurusan Public Relation seluruh universitas se-Indonesia;
i. Kompetisi dengan tema uncovering the undercover: suicide prevention by
untilizing family functions, dengan peserta mahasiswa fakultas komunikasi
jurusan PR seluruh universitas se-Indonesia.

3) Sosialisasi pencegahan dan pengendalian masalah kesehatan jiwa melalui gerakan


masyarak hidup sehat (GERMAS) dengan tujuan meningkatkan pengetahuan dan
kepedulian masyakarat melakukan upaya pencegahan dan pengendalian masalah
kesehatan jiwa di Kab Kediri, Kab Bungo, Kab Lahat, Kab Mukomuko, Kab Blitar, Kab
Banyuwangi, dengan peserta berasal dari, tokoh masyarakat, tokoh agama,
masyarakat umum, muspida setempat dan tenaga kesehatan.
4) Koordinasi dan supervisi P2 Masalah Kesehatan Jiwa di Sumatera Barat, Aceh,
Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Malang, Jambi, NTT, Palu, Banten, Bali,
NTB, Pekanbaru, Makasar, Yogjakarta, Jambi, Kalimantan Timur, Garut, Sulawesi
Barat, Gorontalo, Sulawesi Utara, Bengkulu, Papua, Semarang, Bandung, Bangka
Belitung dengan hasil antara lain diperolehnya data indikator jumlah Kab/Kota yang
memiliki Puskesmas dengan layanan jiwa, termasuk data pemasungan; ditemukan
permasalahan terkait pengisian format laporan oleh Dinas Kesehatan; Penyediaan
obat di Puskesmas masih terpenuhi; Kurangnya tenaga kesehatan yang terlatih
bidang kesehatan jiwa dan minimnya anggaran APBD untuk program kesehatan jiwa.
5) Penyusunan peta strategis bidang kesehatan jiwa dan napza tahun 2020 sampai
dengan 2025 sebagai acuan dalam pelaksanan program, kegiatan untuk mencapai
tujuan dan sasaran serta target indikator yang telah di tetapkan.

Dalam uapaya mencapai target indikator kendala dan permasalahan yang dihadapi
antara lain:
1) Tebatasnya jumlah tenaga kesehatan terlatih bidang keswa.
2) Belum optimalnya koordinasi dengan intas program dan lintas sektor terkait bidang
keswa.
3) Belum semuanya pemegang program terpapar tentang upaya pencegahan dan
pengendalian masalah kesehatan jiwa.
4) Belum optimal nya komitmen daerah terhadap masalah kesehatan jiwa.
5) Masih kurangnya ketersediaan obat-obat keswa di Puskesmas.

Upaya pemecahan masalah yang dilakukan antara lain:


1) Melakukan pelatihan kepada tenaga kesehatan untuk bidang kesehatan jiwa baik
melalui dana dekonsentrasi atau dana pusat.
2) Meningkatkan koordinasi dengan lintas sektor dan lintas program terkait bidang
keswa.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 97


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

3) Melakukan advokasi dan sosialiasasi tentang masalah kesehatan jiwa pada lintas
sektor dan lintas program.
4) Penyusunan peta strategis pelaksanaan program dan kegiatan bidang kesehatan jiwa
dan napza.
5) Melakukan kerja sama dengan Ditjen Farmalkes untuk penyediaan obat obat
kesehatan jiwa.

3) Sasaran Strategis 3: Meningkatnya Akses dan Mutu Fasilitas Pelayanan Kesehatan

H.L Blum, seorang ahli kesehatan, pada tahun 1978 menyatakan bahwa terdapat 4
(empat) determinan yang menjadi penentu status kesehatan masayarakat. Ke-empat
determinan tersebut diantaranya faktor perilaku/gaya hidup, faktor lingkungan (sosial,
ekonomi, budaya), faktor pelayanan kesehatan (jenis, cakupan pelayanan, dan kualitas), dan
faktor genetik. Teori ini sampai saat ini masih cukup relevan dipakai untuk mewujudkan dan
meningkatkan status kesehatan masyarakat.

Dalam upaya meningkatkan status kesehatan masyarakat, Kementerian Kesehatan


melakukan pembinaan pelayanan kesehatan dengan tujuan untuk meningkatkan akses
fasilitas pelayanan kesehatan dasar dan rujukan yang berkualitas bagi masyarakat, yang
diwujudkan dalam sasaran strategis “Meningkatnya AKses dan Mutu Fasilitas Pelayanan
Kesehatan”. Sebagai outcome terhadap sasaran strategis ini adalah akreditasi fasyankes
primer (puskesmas) dan rujukan (rumah sakit).

Dalam kaitan dengan Sasaran Strategis ini, Kementerian Kesehatan mengidentifikasi dua
Indikator Kinerja Utama (IKU) dengan hasil capaiannya sebagaimana tergambar dalam tabel
berikut:
Tabel 3.8
Capaian IKU pada Sasaran Strategis 3:
Meningkatnya Akses dan Mutu Fasilitas Pelayanan Kesehatan
SS2: Meningkatnya Akses dan Mutu Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Indikator Kinerja Target Realisasi % Realisasi


3a. Jumlah kecamatan yang memiliki minimal 1 5.600 6.212 111,00%
Puskesmas terakreditasi
3b. Jumlah kab/kota yang memiliki minimal 1 RSUD 481 486 101,00%
terakreditasi

Uraian tentang kedua IKU tersebut adalah sebagai berikut:

a. Jumlah kecamatan yang memiliki minimal 1 Puskesmas terakreditasi


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 75 Tahun 2014 tentang
Puskesmas dinyatakan bahwa Puskesmas harus didirikan di tiap Kecamatan, dan demi

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 98


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

mendukung pelayanan yang berkualitas, maka puskesmas juga perlu diakreditasi oleh
suatu lembaga independen yang bertugas melakukan akreditasi puskesmas.
a. Definisi Operasional
Definisi operasional dari kecamatan yang memiliki satu Puskesmas yang tersertifikasi
akreditasi yaitu kecamatan yang memiliki minimal satu Puskesmas yang telah memiliki
sertifikat akreditasi yang dikeluarkan oleh lembaga independen penyelenggara akreditasi
atau Komisi Akreditasi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama sesuai dengan peraturan yang
berlaku.

Akreditasi Puskesmas adalah pengakuan yang diberikan oleh lembaga


independen penyelenggara akreditasi yang ditetapkan oleh Menteri setelah
memenuhi standar akreditasi.

Permenkes No. 46 tahun 2015

b. Cara Perhitungan
Cara perhitungan capaian adalah dengan menjumlah seluruh kecamatan yang
memiliki minimal 1 Puskesmas yang terakreditasi pada tahun berjalan dibandingkan
dengan target dikalikan 100%. Sedangkan cara mengukur adalah dibuktikan dengan
adanya sertifikat akreditasi untuk Puskesmas yang dikeluarkan oleh Komisi Akreditasi
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama.

Jumlah kumulatif kecamatan yang memiliki minimal 1 Puskesmas


yang terakreditasi pada tahun 2019 x 100%
Target kecamatan yang memiliki minimal 1 Puskesmas yang
terakreditasi pada tahun 2019

c. Target dan Realisasi Capaian Kinerja


Capaian kinerja tahun 2019 untuk kecamatan yang memiliki minimal 1 Puskesmas
tersertifikasi akreditasi adalah sebanyak 6.212 Kecamatan dari target 5.600 Kecamatan
(111 %). Capaian ini terdistribusi di 9.153 Puskesmas, 506 Kabupaten/Kota, 34 Provinsi
(Komisi Akreditasi FKTP per 31 Desember 2019).

Tabel 3.9
Target dan Capaian Kecamatan Yang Memiliki Minimal
1 Puskesmas Tersertifikasi Akreditasi Tahun 2019
2019
Indikator
Target Realisasi %
Jumlah kecamatan yang memiliki
minimal 1 Puskesmas yang 5.600 6.212 111%
tersertifikasi akreditasi

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 99


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Dari 9.153 Puskesmas yang terakreditasi pada tahun 2019, masih di dominasi oleh
status kelulusan madya dan dasar, dengan rincian dasar 2.177 (24%), 5.073 madya (55%),
1.664 utama (18%), dan 239 paripurna (3%).

Grafik 3.31
Distribusi Status Kelulusan Akreditasi Puskesmas Tahun 2019

Untuk distribusi capaian indikator per provinsi pada tahun 2019 dapat dilihat pada
grafik di bawah ini:

Grafik 3.32
Capaian Akreditasi Puskesmas Per Provinsi Tahun 2019

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 100


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Berdasarkan capaian kinerja tahun 2019 sebagaimana tercantum pada tabel dan
gambar diatas dapat disimpulkan (1) target indikator IKU tahun 2019 telah tercapai, dan
(2) terdapat peningkatan jumlah baik Puskesmas, Kecamatan, maupun Kabupaten/Kota
yang terakreditasi.

d. Perbandingan dengan Realisasi Capaian Kinerja Tahun Sebelumnya


Pada tahun 2018 capaian kinerja Direktorat Mutu dan Akreditasi adalah sebanyak
5.385 Kecamatan (119%) dari target 4.900 Kecamatan dan pada tahun 2019 sebanyak
6.212 Kecamatan (111%) dari target 5.600 Kecamatan. Perbandingan capaian indikator
tahun 2019 dan tahun 2018 dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 3.10
Perbandingan Target dan Capaian Kecamatan Yang Memiliki
Minimal 1 Puskesmas Tersertifikasi Akreditasi Tahun 2019 dan Tahun 2018

2019 2018
Indikator IKU
Target Realisasi Target Realisasi
Jumlah kecamatan yang
5.600 6.212 4.900 5.385
memiliki minimal 1 Puskesmas
(111%) (119%)
yang tersertifikasi akreditasi

Untuk perbandingan capaian Puskesmas, Kecamatan, Kabupaten/Kota dan Provinsi


yang terakreditasi pada tahun 2019 dan tahun 2018 dapat dilihat pada grafik di bawah
ini:

Grafik 3.33
Perbandingan Capaian Puskesmas, Kecamatan,
Kabupaten/Kota dan Provinsi Tersertifikasi Akreditasi Tahun 2019 dan Tahun 2018

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 101


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Tabel dibawah ini menggambarkan perbandingan antara target dan capaian Renstra
serta RPJMN indikator jumlah kecamatan yang memiliki minimal satu puskesmas
tersertifikasi akreditasi sejak tahun 2015 sampai dengan tahun 2019.

Tabel 3.11
Capaian Jumlah Kecamatan yang memiliki
minimal 1 Puskesmas tersertifikasi akreditasi
2015 2016 2017 2018 2019
Indikator
T R T R T R T R T R
Renstra: Jumlah
kecamatan
yang memiliki 3.447
93 1.308 5.385 6.212
minimal 1 350 700 2.800 (123% 4.900 5.600
(27%) (187%) (119%) (111%)
Puskesmas yang )
tersertifikasi
akreditasi
RPJMN: Jumlah
kecamatan
yang memiliki 3.447
93 1.308 5.385 6.212
minimal 1 350 700 1.400 (246% 2.800 5.600
(27%) (187%) (192%) (111%)
Puskesmas yang )
tersertifikasi
akreditasi

Adapun tren capaian indikator dibandingkan dengan target RPJMN dan Renstra dari
tahun 2015 s.d 2019 disajikan dalam grafik berikut ini:

Grafik 3.34
Trend Capaian Akreditasi Puskesmas Tahun 2015-2019

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 102


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Dari grafik diatas menunjukan bahwa baik capaian Renstra Kemenkes 2015 – 2019
maupun capaian RPJMN 2015 – 2019 masih on the track sesuai target yang telah
ditetapkan.

Grafik 3.35
Distribusi Status Kelulusan Akreditasi Tahun 2015 - 2019

Pada grafik 3.5 diatas menunjukan tren persentase status kelulusan akreditasi mulai
dari tahun 2015 sampai dengan 2019. Untuk dasar mengalami penurunan rata-rata
pertahun sebesar 9%, madya mengalami kenaikan rata-rata pertahun sebesar 5% dan
utama 4%, sedangkan paripurna stabil.

e. Analisa Keberhasilan
Keberhasilan capaian kinerja Ditjen Pelayanan Kesehatan dalam pencapaian target
indikator IKU kecamatan yang memiliki minimal 1 Puskesmas tersertifikasi akreditasi
tahun 2019, dikarenakan:
1) Penyiapan regulasi dan NSPK tahun 2019 dilakukan melalui revisi Permenkes 46
tahun 2015, revisi standar dan instrumen puskesmas, penyusunan indikator mutu
pelayanan di Puskesmas, pedoman pembinaan terpadu puskesmas oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota. Hal ini dilakukan dalam rangka mengakomodir
adanya perbaikan sistem, kebutuhan pengguna, perkembangan ilmu pengetahuan
dan perubahan kebijakan untuk peningkatan mutu dan pelaksanaan akreditasi
Puskesmas.
2) Kegiatan pertemuan koordinasi, bimbingan teknis dan monitoring evaluasi tahun
2019 dilakukan dalam rangka memperoleh dukungan sekaligus penguatan peran
dari stakeholder terkait meliputi Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, FKTP, Organisasi Profesi, swasta. Hal ini dilakukan karena
akreditasi Fasyankes termasuk dalam program prioritas nasional yang tercantum

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 103


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

sebagai indikator Renstra dan RPJMN sehingga dalam pencapaian targetnya perlu
kerjasama dengan stakeholder terkait.
3) Kegiatan pertemuan koordinasi, bimbingan teknis, monitoring evaluasi tahun
2019 juga dilakukan dalam upaya percepatan akreditasi FKTP baik puskesmas
maupun klinik pratama. Hal ini dilakukan karena akreditasi fasyankes merupakan
salah satu persyaratan kredensialing dan rekredensialing dalam bekerjasama
dengan BPJS sebagaimana tercantum dalam Permenkes Permenkes No. 71 tahun
2013 dan Permenkes No. 99 tahun 2015 tentang Pelayanan Kesehatan pada JKN.
4) Kegiatan pelatihan dan lokakarya TOT pendamping dan surveior tahun 2019
dilakukan dalam upaya pemenuhan kebutuhan SDM dan peningkatan kompetensi
SDM dalam pelaksanaan akreditasi..
5) Pemberdayaan tenaga TOT pendamping, pendamping dan surveior dalam
memenuhi kebutuhan akan narasumber, proses pendampingan dan survei
akreditasi dengan menggunakan dana DAK dan DEKON.
6) Adanya Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Direktorat Mutu dan Akreditasi
Pelayanan Kesehatan dengan Universitas Binus dalam rangka pengembangan
Sistem Informasi Akreditasi FKTP (SIAF) untuk memperkuat Komisi Akreditasi FKTP
dalam mempercepat penyelenggaraan survei akreditasi.
7) Pelaksanaan kegiatan pendampingan pasca survei, survei reakreditasi setiap 3
tahun sekali dan penilaian FKTP Berprestasi untuk memastikan perbaikan mutu
secara berkesinambungan terutama pada FKTP yang telah terakreditasi. Hal ini
dilakukan untuk menjawab tuntutan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan
kesehatan yang berkualitas.

f. Efisiensi Sumber Daya


Efiensi penggunaan sumber daya dalam pencapaian target 2019 adalah sebagai berikut :
1) Kegiatan Bimtek Komisi Akreditasi FKTP dengan realisasi anggaran sebesar Rp.
399.399.634,- dari alokasi anggaran sebesar Rp. 440.300.000,-, sedangkan untuk
output awal yang direncanakan sebanyak 22 lokus, dapat terealisasi di 34 lokus.
Ada efisiensi dari segi output kegiatan, bahwa dengan realisasi anggaran sebesar
90,7% diperoleh output sebesar 154,5%.
2) Kegiatan Penyusunan Indikator Mutu Pelayanan Kesehatan di FKTP dengan alokasi
anggaran sebesar Rp. 443.480.000,- diperoleh realisasi sebesar Rp. 341.861.756,-
(77,08%).
Ada efisiensi dari segi anggaran pada biaya meeting dalam kota dan
transportasi daerah untuk pembahasan hasil uji coba indikator mutu yang semula
dianggarkan untuk 2 kali pertemuan : a) pertemuan pertama pembahasan hasil uji
coba direktorat dengan pakar, dan b) pertemuan kedua adalah pertemuan besar
dengan mengundang pakar beserta daerah lokus uji coba. Realiasasi kegiatan
hanya menjadi 1 kali, tetapi output tetap tercapai yakni di perolehnya masukan
dari pakar dan daerah setelah pelaksanaan ujicoba indikator.
Selain itu juga ada efisiensi perjalanan dinas ke daerah walaupun output tercapai
yakni 4 lokus (100%), hal ini disebabkan karena lokasi ujicoba yang relatif dekat
sehingga biaya transportasi lebih rendah daripada yang dianggarkan.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 104


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

3) Kegiatan Bimtek Pelaksanaan Mutu dan Akreditasi Klinik di Provinsi Terpilih


dengan realisasi anggaran sebesar Rp. 437.863.400,- dari alokasi anggaran sebesar
Rp. 639.200.000,-, sedangkan untuk output awal yang direncanakan sebanyak 15
lokus dapat terealisasi 15 lokus.
Ini berarti ada efisiensi dari segi anggaran, bahwa dengan output sebesar 100%,
realisasi anggaran hanya sebesar 68,5%.
4) Kebijakan honor surveior akreditasi FKTP sebesar 3 jam per hari untuk seluruh
puskesmas baik di kawasan perkotaan, perdesaan maupun terpencil/sangat
terpencil, sebagaimana diatur dalam Permenkes No. 3 tahun 2019 tentang Juknis
Penggunaan DAK Non Fisik bidang kesehatan tahun 2019.
Sedangkan pada tahun 2018 honor survey dibedakan untuk puskesmas kategori
perkotaan sebesar 4 jam, perdesaan sebesar 4-6 jam dan terpencil/sangat terpencil
sebesar 4-7 jam, sebagaimana diatur dalam Permenkes No. 61 Tahun 2017 tentang
Juknis Penggunaan DAK Non Fisik bidang kesehatan tahun 2018.
Ini berarti ada efisisensi dalam hal anggaran honor surveior.

Tabel 3.12
Jumlah Jam Honor Surveior per Hari
KATEGORI PUSKESMAS TH 2018 TH 2019
Perkotaan 4 Jam 3 Jam
Perdesaan 4 – 6 Jam 3 Jam
Terpencil/Sangat Terpencil 4 – 7 Jam 3 Jam

5) Regionalisasi surveior sehingga surveior hanya bertugas di regionalnya, dengan


cara ini diharapkan dapat mengurangi besaran biaya transportasi.
6) Menugaskan surveior untuk melaksanakan survei dua puskesmas yang lokasinya
berdekatan secara berturut turut (maraton) untuk menghemat waktu, tenaga
dan biaya.
7) Adanya Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Direktorat Mutu dan Akreditasi
Pelayanan Kesehatan dengan Universitas Bina Nusantara dalam rangka
pengembangan Sistem Informasi Akreditasi FKTP (SIAF), dimana dalam
pengembangan tersebut tidak ada honor konsultan, tetapi diganti dengan
dibukanya akses tempat magang bagi mahasiswa Universitas Bina Nusantara di
Direktorat Mutu dan Akreditasi Pelayanan Kesehatan.

g. Program/Kegiatan yang dilakukan untuk Mencapai Target


Upaya yang dilakukan di tingkat pusat menggunakan dana DIPA Direktorat Mutu dan
Akreditasi T.A 2019 maupun dana APBN yang dikucurkan ke daerah melalui dana DAK
dan Dekon T.A 2019, meliputi:
1) Dana dekonsentrasi kegiatan akreditasi Puskesmas T.A 2019 sebagaimana
ditetapkan melalui Permenkes Nomor 55 Tahun 2018 tanggal 31 Desember 2018
sebesar Rp 8.849.126.000,- bagi 33 Provinsi untuk kegiatan: (a) Pelatihan tim
pendamping akreditasi FKTP bagi tenaga kesehatan di kabupaten/kota, (b)

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 105


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Lokakarya mutu dan akreditasi puskesmas bagi pemegang program di Dinas


Kesehatan Kabupaten/Kota.
2) Dukungan pelaksanaan akreditasi Puskesmas melalui dana alokasi khusus T.A 2019
sebagaimana ditetapkan melalui Permenkes No. 3 tahun 2019 tanggal 15 Januari
2019 dan Kepmenkes No. HK.01.07/Menkes/194/2019 tanggal 1 April 2019 untuk
kegiatan dukungan mutu dan akreditasi Puskesmas sebesar Rp. 769.386.011.000,-
di 475 Kabupaten/Kota pada 33 Provinsi dengan rincian kegiatan : (a) Workshop
pendukung akreditasi, (b) Pendampingan prasurvei, (c) Pendampingan pasca survei,
(d) Survei perdana dan (e) Survei reakreditasi
3) Dukungan Operasional Komisi Akreditasi
Untuk Kegiatan dukungan operasional Komisi Akreditasi terdiri dari beberapa sub
kegiatan yakni:
(a) Revisi Permenkes 46 tahun 2015 tentang Akreditasi FKTP yang sudah
digunakan selama 4 (empat) tahun serta review standar dan instrumen
akreditasi FKTP sebagai lampiran revisi Permenkes tersebut.
Review ini dibutuhkan untuk mengakomodir adanya perubahan kebijakan
pemerintah, perkembangan ilmu pengetahuan, penguatan upaya promotif
preventif, masukan dari hasil survei, masukan dari lintas program lintas sektor
dan hasil kajian dari Badan Litbangkes tahun 2017.
Diharapkan hasil review standar dan instrumen ini dapat menjadi acuan
dalam pelaksanaan akreditasi serta menjamin mutu layanan kesehatan ke
depan yang lebih baik.
(b) Kegiatan Bimtek Komisi Akreditasi FKTP
Kegiatan ini dilaksanakan dengan tujuan antara lain: (1) Survei terfokus di
Puskesmas yang belum memenuhi standar kelulusan, (2) Uji petik pelaksanaan
akreditasi Puskesmas bersama Itjen, (3) Sosialisasi budaya mutu bersama DPR
RI, (4) Konfirmasi ke lapangan terkait pelaporan surveior oleh tim etik, dan lain-
lain.
(c) Kegiatan Rapat Kerja Komisi Akreditasi FKTP
Tujuan dari kegiatan ini adalah: (1) pengenalan terhadap hasil review standar
dan instrumen akreditasi Puskesmas, (2) memperoleh masukan dari peserta
pertemuan, (3) Evaluasi kinerja KAFKTP semester I tahun 2019, (4) rencana
kerja KAFKTP tahun 2020, dan (5) strategi peningkatan kapasitas surveior.
Gambar 3.13
Rapat Kerja Komisi Akreditasi FKTP Tahun 2019

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 106


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

4) Kegiatan Pelatihan Calon Surveior Akreditasi FKTP


Kegiatan ini dilakukan dalam rangka memenuhi kekurangan Surveior untuk
kebutuhan usulan survei akreditasi Puskesmas dan Klinik Pratama. Pada tahun 2019
dianggarkan untuk 2 angkatan total 72 orang peserta dengan prioritas pada
penambahan Surveior di pokja UKP dan dengan latar belakang tenaga medis.

Gambar 3.14 Pelatihan Calon Surveior Akreditasi FKTP


Angkatan I dan II Tahun 2019

5) Kegiatan Pelatihan Pelatih Pendamping Akreditasi FKTP


Kegiatan ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan pendamping
Akreditasi khususnya Klinik Pratama. Peserta pelatihan berjumlah 36 orang.
Diharapkan dengan adanya Pelatih Pendamping Klinik akan mempermudah dan
mempercepat akreditasi klinik pratama, baik melalui kegiatan pelatihan
pendamping, lokakarya, pendampingan klinik, dan sebagainya.

Gambar 3.15
Pelatihan Pelatih Pendamping Akreditasi Klinik Tahun 2019

6) Kegiatan Lokakarya Standar dan Intrumen Akreditasi Edisi I Kepada Surveior


Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pengenalan terhadap hasil review
standar dan instrumen akreditasi Puskesmas sekaligus memperoleh masukan dari
surveior.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 107


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Untuk mendapatkan gambaran pemahaman surveior terhadap standar dan


instrumen akreditasi Puskesmas yang baru, dilakukan uji kompetensi secara online
melalui aplikasi Sistem Informasi Akreditasi FKTP (SIAF).

Gambar 3.16
Lokakarya Standar dan Instrumen Akreditasi
Edisi I Kepada Surveior Angkatan I s.d IV Tahun 2019

7) Lokakarya Standar dan Intrumen Akreditasi Edisi I Kepada Pelatih Pendamping


Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pengenalan terhadap hasil review
standar dan instrumen akreditasi Puskesmas sekaligus memperoleh masukan dari
para pelatih pendamping.
Untuk mendapatkan gambaran pemahaman pelatih pendamping terhadap
standar dan instrumen akreditasi Puskesmas yang baru dilakukan uji kompetensi
secara online melalui aplikasi Sistem Informasi Akreditasi FKTP (SIAF).

Gambar 3.17
Lokakarya Standar dan Instrumen Akreditasi Edisi I
Kepada Pelatih Pendamping Tahun 2019

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 108


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

8) Peningkatan Kualitas Akreditasi Puskesmas Melalui Pembinaan Terpadu Oleh Tim


Pembina Cluster Binaan (TPCB), yang terdiri dari beberapa sub kegiatan yakni:
(a) Pertemuan Teknis Percepatan Upaya Peningkatan Mutu dan Akreditasi di
Puskesmas dan Klinik Bagi Dinas Kesehatan
Tujuan kegiatan ini dimaksudkan untuk melakukan percepatan upaya
peningkatan mutu dan akreditasi FKTP melalui kegiatan pertemuan teknis
percepatan upaya peningkatan mutu dan akreditasi di Puskesmas dan klinik.

Gambar 3.18
Pertemuan Teknis Percepatan Upaya Peningkatan
Mutu dan Akreditasi di Puskesmas dan Klinik Bagi Dinas Kesehatan Tahun 2019

(b) Kegiatan finalisasi Pedoman Pembinaan Puskesmas oleh TPCB Dinkes


Kabupaten/Kota. Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan: a) mendapatkan
informasi bestpractice implementasi pembinaan terpadu Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota di regional barat, tengah dan timur, b) mendapatkan masukan
konsep pembinaan mutu pelayanan kesehatan secara terpadu di Puskesmas.

Gambar 3.19
Pertemuan Pembahasan Implementasi Pembinaan Terpadu
Oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 109


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

9) Penyusunan Indikator Mutu Pelayanan Kesehatan di FKTP


Untuk kegiatan penyusunan indikator mutu pelayanan kesehatan di FKTP
terdiri dari beberapa sub kegiatan yakni:
(a) Penyusunan indikator mutu pelayanan kesehatan di FKTP Kegiatan penyusunan
indikator mutu pelayanan kesehatan di FKTP ini bertujuan untuk meningkatkan
mutu pelayanan kesehatan dan tersusunnya sistem pemantauan pelayanan
puskesmas sehingga diperlukan indikator mutu terpilih yang dapat diukur
secara periodik.

Gambar 3.20
Kegiatan Penyusunan Indikator Mutu Pelayanan Kesehatan
di FKTP Tahun 2019

(b) Ujicoba Indikator Mutu Pelayanan


Tujuan dari uji coba indikator mutu pelayanan adalah untuk melihat
feasibilitas dan validitas indikator mutu yang telah pilih apakah mampu laksana
di Puskesmas atau tidak.

Gambar 3.21
Kegiatan Uji Coba Indikator Mutu Pelayanan Kesehatan
di FKTP Tahun 2019

10) Bimtek Pelaksanaan Mutu dan Akreditasi di Daerah Prioritas


Untuk kegiatan bimtek pelaksanaan mutu dan akreditasi di daerah prioritas
terdiri dari beberapa sub kegiatan yakni:
(a) Pelaksanaan Bimtek

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 110


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Kegiatan ini dilaksanakan dengan tujuan untuk percepatan akreditasi di


daerah prioritas. Bimtek telah dilaksanakan di beberapa daerah yakni :
Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kab. Dogiyai, Kab. Buru Selatan, Kab. Nias
Barat, Kab. Tolikara dan Kota Ambon.

Gambar 3.22
Bimtek Pelaksanaan Mutu dan Akreditasi di Daerah Prioritas Tahun 2019

(b) Pertemuan koordinasi percepatan akreditasi klinik


Tujuan dari kegiatan ini adalah : (1) Tersosialisasikannya standar dan
intrumen akreditasi klinik pratama, (2) Diperolehnya roadmap akreditasi klinik
pratama tahun 2020 s.d 2022, (3) Diperolehnya masukan terkait
penyelenggaraan, pola pembiayaan dan pengusulan survei akreditasi klinik
pratama dan (4) Kesepakatan dan RTL akreditasi klinik pratama.

Gambar 3.23
Kegiatan Koordinasi Percepatan Akreditasi Klinik Tahun 2019

(c) Bimtek Pelaksanaan Mutu dan Akreditasi Klinik di Provinsi Terpilih.


Kegiatan ini dilakukan sebagai salah satu upaya percepatan akreditasi klinik di
provinsi terpilih. Adapun kriteria pemilihan provinsi adalah 15 provinsi yang
memiliki klinik pratama terbanyak bekerja sama dengan BPJS berdasarkan
data dari Subdit Klinik per 31 Desember 2018.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 111


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Gambar 3.24
Kegiatan Bimtek Pelaksanaan Mutu dan Akreditasi Klinik di Provinsi Terpilih Tahun
2019

h. Permasalahan
Permasalahan yang dihadapi untuk pelaksanaan kegiatan akreditasi FKTP pada tahun
2019 antara lain:
1) Walaupun pencapaian target nasional secara kumulatif tercapai sebesar 111%, tapi
di beberapa provinsi realisasi akreditasi akhir tahun 2019 lebih rendah dari rencana
awal di tahun 2019. Khususnya di provinsi Papua Barat dan Papua. Untuk Papua
Barat dari rencana 51 puskesmas hanya terealisasi 33 puskesmas (64,7%), sedangkan
untuk Papua dari rencana awal 68 hanya terealisasi 49 puskesmas (72,1%). Adapun
alasannya antara lain:
(a) Faktor keamanan
(b) Kekurangan SDM pendamping aktif karena mutasi pegawai
(c) Renovasi puskesmas yang belum selesai
(d) Keterlambatan pengajuan usulan survei di SIAF
Capaian kumulatif akreditasi Puskesmas secara nasional dapat tercapai meskipun
realisasi Provinsi Papua dan Papua Barat rendah karena capaian beberapa Provinsi
melampaui target yakni Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Jambi dan
Kalimantan Selatan. Target di provinsi tersebut dapat terlampaui antara lain karena
adanya dukungan anggaran melalui APBD II untuk kegiatan pendampingan dan survei
akreditasi.
2) Pelaksanaan survei akreditasi sebagian masih dengan pola lama, dimana usulan
survei menumpuk pada tribulan akhir 2019 antara bulan September – November
2019. Hal ini terjadi karena waktu pendampingan dilakukan pada tahun yang sama
dengan survei akreditasi, dimana pendampingan prasurvei umumnya membutuhkan
waktu 6 – 9 bulan.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 112


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Grafik 3.36
Trend Survei Akreditasi Puskesmas Tahun 2016 - 2019

3) Walaupun telah dibuat sistem kesediaan survei melalui SIAF, pada kenyataannya ada
beberapa surveior yang membatalkan tugas setelah keluar surat tugas. Hal ini
menyebabkan ketidakefektifan waktu penjadwalan, karena Komisi Akreditasi FKTP
harus mencari surveior pengganti dan merevisi surat tugas.
4) Khusus surveior yang masih berstatus ASN, karena penumpukan survei yang terjadi
di akhir tahun berbarengan dengan banyaknya kegiatan tupoksi di instansi masing-
masing, hal ini menyebabkan kesediaan survei yang rendah dari surveior ASN.
Mutasi pendamping yang sangat cepat di daerah, sehingga mengakibatkan
pendamping yang telah terlatih menjadi tidak aktif lagi. Hal ini terkadang
mengganggu proses persiapan akreditasi yang dilakukan oleh puskesmas, terutama
pada Kabupaten/Kota yang memiliki tim pendamping terbatas.

i. Pemecahan Masalah
Dengan adanya masalah-masalah yang dihadapi sebagaimana di atas, upaya
pemecahan masalah yang dilakukan yakni:
1) Untuk puskesmas yang gagal survei di tahun 2019 diharapkan melakukan pengusulan
survei akreditasi kembali pada tahun 2020. Untuk Kabupaten/Kota yang
mendapatkan dana DAK sejak tahun 2019 maka Kepala Dinas menandatangani surat
pernyataan yang berisi bahwa puskesmas yang mendapat dana DAK memenuhi
syarat sebagai berikut:
✓ Puskesmas sudah teregistrasi di Pusdatin Kementerian Kesehatan
✓ Puskesmas telah memiliki izin untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan
dari pemerintah Kabupaten/Kota
✓ Puskesmas memiliki dokter umum yang dibuktikan dengan SK Kepala Dinas
Kesehatan Daerah Kabupaten/Kota

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 113


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

✓ Kriteria Kepala Puskesmas sesuai Permenkes 75 tahun 2014


✓ Puskesmas tidak sedang dilakukan rehabilitasi berat
✓ Komitmen melaksanakan survei akreditasi pada puskesmas yang diusulkan pada
tahun anggaran berjalan
✓ Kesanggupan untuk melakukan upaya pembinaan dalam rangka peningkatan
status akreditasi puskesmas
2) Untuk menghindari penumpukan survei akreditasi pada akhir tahun upaya yang
dilakukan:
✓ Untuk menu DAK telah dipisahkan menu pendampingan dan survei sejak T.A
2019. Pemisahan ini memberikan pilihan kepada daerah agar dapat
melaksanakan pendampingan dan survei akreditasi di tahun yang berbeda
sehingga mengurangi penumpukan survei di akhir tahun
✓ Komisi akreditasi FKTP membuat pembatasan kuota survei per bulan, sehingga
diharapkan usulan dapat lebih terdistribusi ke bulan-bulan lain
✓ Untuk puskesmas yang akan mengajukan survei re-akreditasi diharapkan
mengusulkan survei 3 bulan sebelum masa berlaku sertifikat habis melalui surat
edaran Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan No. YM.02.01/VI/2293/2019
tanggal 12 Juni 2019.

Gambar 3.25
Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 114


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

3) Untuk surveior yang telah menyatakan kesediaan survei, tetapi kemudian


membatalkan setelah keluar surat tugas, maka dalam Aplikasi Sistem Informasi
Akreditasi FKTP (SIAF) sudah terhitung 1x penolakan. Hal ini menyebabkan tingkat
penolakan mengalami penurunan pada tahun 2019.
4) Untuk memenuhi tingginya permintaan survei di akhir tahun upaya yang dilakukan:
✓ Surveior ASN ditetapkan harus memenuhi minimal survei 4x dalam setahun
✓ Pemberdayaan surveior paripurna dengan penambahan frekuensi penugasan
survei dalam setahun
✓ Dilakukan survei dua puskesmas yang lokasinya berdekatan secara berturut-
turut (maraton)
5) Untuk mengatasi kekurangan SDM pendamping akreditasi di daerah dilakukan upaya
pemberdayaan surveior akreditasi FKTP dengan penandatanganan pakta integritas.
Salah satu pointvdalam pakta integritas adalah surveiorvsanggap membantu
pembinaan puskesmas di wilayah domisili untuk memperoleh status akreditasi
minimal utama dan atau mempertahankan status akreditasi puskesmas paripurna
dengan berkoordinasi dan atau bekerjasama dengan Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota.

Gambar 3.26
Pakta Integritas Surveior Akreditasi FKTP

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 115


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

b. Jumlah kab/kota yang memiliki minimal 1 RSUD terakreditasi


RSUD adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua
bidang dan jenis penyakit yang penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Pemerintah
Daerah (Kabupaten, Kota atau Propinsi).
Yang dimaksud kabupaten/kota yang memiliki minimal 1 RSUD yang tersertifikasi
akreditasi nasional yaitu kabupaten/kota yang memiliki minimal satu RSUD yang telah
memiliki sertifikat akreditasi yang dikeluarkan oleh Lembaga Independen penyelenggara
akreditasi yaitu Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS), dengan tingkat kelulusan
akreditasi yaitu perdana, dasar, madya, utama dan paripurna sesuai dengan peraturan
yang berlaku.
Akreditasi Rumah Sakit adalah pengakuan terhadap mutu
pelayanan Rumah Sakit, setelah dilakukan penilaian bahwa Rumah
Sakit telah memenuhi Standar Akreditasi.

Permenkes No. 34 tahun 2017

Cara perhitungan capaian indikator ini adalah dengan menjumlahkan


Kabupaten/Kota yang memiliki minimal 1 RSUD yang tersertifikasi akreditasi nasional.
Sedangkan cara pengukuran hasil adalah dengan menghitung jumlah Kabupaten/Kota
yang memiliki RSUD yang tersertifikasi akreditasi nasional berdasarkan data RSUD
terakreditasi dari KARS atau melalui website KARS. Untuk Kabupaten/Kota dengan lebih
dari 1 RSUD terakreditasi, maka hanya dihitung sebagai satu Kabupaten/Kota.

Target dan realisasi capaian kinerja jumlah Kabupaten/Kota yang memiliki minimal 1
RSUD tersertifikasi akreditasi nasional pada tahun 2019 adalah sebagaimana tabel berikut
ini:

Tabel 3.13
Pencapaian Kabupaten/Kota yang Memiliki Minimal 1 RSUD yang Tersertifikasi
Akreditasi Nasional Tahun 2019

Indikator Target Realisasi


Jumlah Kabupaten/Kota yang memiliki minimal 481 486 (101%)
1 RSUD tersertifikasi akreditasi nasional
Sumber : Renstra Kemenkes, KARS 31 Desember 2019 (telah diolah)

Tabel diatas menunjukkan bahwa target 481 Kabupaten/Kota yang memiliki minimal
1 RSUD tersertifikasi akreditasi nasional pada tahun 2019 dapat tercapai 486
Kabupaten/Kota (101%).

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 116


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Grafik 3.37
Distribusi Jumlah Kabupaten/Kota yang Memiliki Minimal 1 RSUD Terakreditasi
Berdasarkan Provinsi Tahun 2019

Sumber : KARS, 31 Desember 2019 (telah diolah)

Berdasarkan grafik 3.7 di atas, maka di Provinsi Jawa Timur terdapat 38


Kabupaten/Kota yang memiliki RSUD tersertifikasi akreditasi nasional. Jumlah tersebut
paling banyak jika dibandingkan dengan provinsi lainnya, sedangkan di Kalimantan Utara
paling sedikit yaitu 4 Kabupaten/Kota yang memiliki RSUD tersertifikasi akreditasi
nasional.
Pada tahun 2019 terdapat 712 RSUD yang telah terakreditasi di 486
Kab/Kota. Adapun tingkat kelulusannya bervariasi, yaitu 137 RS lulus perdana (19%), 62
RS lulus dasar (9%), 127 RS lulus madya (18%), 139 RS lulus utama (19%) dan 247 RS lulus
paripurna (35%). Adapun proporsi tingkat kelulusan akreditasi dapat dilihat dalam grafik
berikut ini:

Grafik 3.38
Tingkat Kelulusan Akreditasi 712 RSUD Tahun 2019

712 RS

Sumber : KARS tanggal 31 Desember 2019

Pada tahun 2019 di Indonesia terdapat 2.465 rumah sakit baik milik
pemerintah maupun swasta yang telah terakreditasi nasional versi 2012 atau SNARS Edisi
1, yang terdiri dari 904 (36,7%) RS Pemerintah yaitu RS UPT Kemenkes, RS Kementerian
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 117
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

lain, RS Pemprov/Pemkab/Pemkot, RS TNI/POLRI dan 1.561 (63,3%) RS swasta. Adapun


proporsi tingkat kelulusan dapat dilihat dalam grafik sebagai berikut:

Grafik 3.39
Tingkat Kelulusan Akreditasi RS di Indonesia Tahun 2019

Sumber : KARS, RS online tanggal 31 Desember 2019 (telah diolah)

Capaian akreditasi RS tahun 2016-2019 mengalami peningkatan dari tahun ke


tahun. Hal ini menunjukkan peningkatan jumlah RS terakreditasi rata-rata 145% karena
berbagai upaya yang dilakukan oleh Pemerintah untuk percepatan akreditasi RS.
Peningkatan ini sebagaimana grafik berikut ini:

Grafik 3.40
Peningkatan Capaian Akreditasi RS Tahun 2016-2019

Sumber : KARS dan RS online 31 Desember 2019

Berdasarkan capaian akreditasi Rumah Sakit dari tahun 2016 – 2019, terjadi
pergeseran status kelulusan akreditasi dari perdana ke paripurna pada tahun 2019. Hal
ini dapat disebabkan oleh pendampingan dan bimbingan teknis secara intensif dari
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 118
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Subdit Mutu dan Akreditasi Pelayanan Kesehatan Rujukan Kemenkes sehingga tingkat
pemahaman dan komitmen Rumah Sakit untuk mewujudkan budaya mutu dan
keselamatan pasien semakin meningkat. Pada tahun 2016-2018 status kelulusan perdana
masih mendominasi disebabkan oleh adanya akreditasi Program Khusus yang
diperuntukkan bagi Rumah Sakit dengan jumlah tempat tidur kurang dari 120 dan tidak
ada pelayanan dokter subpesialis. Distribusi tingkat kelulusan RS tahun 2016-2019
ditunjukkan pada grafik di bawah ini:

Grafik 3.41
Tingkat Kelulusan Akreditasi RS pada Tahun 2016 – 2019

Sumber : KARS 2016 - 2019 (telah diolah)

Target dan capaian Kabupaten/Kota yang memiliki minimal 1 RSUD tersertifikasi


akreditasi nasional tahun 2018-2019 sebagaimana tabel di bawah ini :

Tabel 3.14
Pencapaian Kabupaten/Kota yang Memiliki Minimal 1 RSUD yang Tersertifikasi
Akreditasi Nasional Tahun 2018-2019

2018 2019
Indikator
T R T R
Kabupaten/kota yang memiliki
minimal 1 RSUD yang tersertifikasi 434 440 481 486
akreditasi nasional (110,45%)
Sumber : Renstra Kemenkes, KARS 31 Desember 2019 (telah diolah)

Berdasarkan tabel di atas, jika dibandingkan dengan pencapaian tahun 2018 (440
Kab/Kota), maka pencapaian tahun 2019 sebanyak 486 Kab/Kota atau meningkat
sebesar 110,45%.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 119


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Grafik 3.42
Pencapaian Kabupaten/Kota yang Memiliki Minimal 1 RSUD yang Tersertifikasi
Akreditasi Nasional Tahun 2015-2019

Sumber : Renstra Kemenkes, KARS 31 Desember 2019 (telah diolah)


.
Pada grafik di atas terjadi peningkatan capaian Kab/Kota yang memiliki minimal 1
RSUD tersertifikasi akreditasi nasional pada tahun 2015 hingga tahun 2019.
Capaian tahun 2019 sebanyak 486 Kab/Kota jika dibandingkan dengan target akhir
jangka menengah (481 Kab/Kota), maka telah mencapai 101%, namun masih perlu
upaya yang keras untuk peningkatan mutu dan keselamatan pasien
berkesinambungan.

Keberhasilan capaian kinerja Ditjen Pelayanan Kesehatan dalam pencapaian target


indikator kabupaten/kota yang memiliki minimal 1 RSUD tersertifikasi akreditasi
nasional tahun 2019, dikarenakan:
1) Implementasi Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 99 Tahun 2015 tentang
Perubahan Atas Permenkes Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan
Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional, di mana RS yang bekerja
sama dengan BPJS Kesehatan harus memenuhi syarat antara lain
terakreditasi paling lambat akhir tahun 2018. Pada bulan November 2018
dan Januari 2019 BPJS Kesehatan menyampaikan surat kepada Menkes
terkait kerja sama dengan RS yang belum terakreditasi dan menindaklanjuti
surat tersebut maka Menteri Kesehatan memberikan rekomendasi kepada
720 RS yang belum terakreditasi sesuai surat Menkes Nomor
HK.03.01/Menkes/768/2018 tanggal 31 Desember 2018 tentang
Perpanjangan Kerja Sama RS Dengan BPJS sebanyak 551 RS dan Nomor
HK.03.01/Menkes/18/2019 tanggal 4 Januari 2019 perihal yang sama kepada
169 RS. Oleh karena itu RS menindaklanjuti surat rekomendasi Menkes
dengan mengajukan permohonan jadwal survei akreditasi sebelum 30 Juni
2019.
2) Advokasi kepada Pemda melalui Surat Direktur Jenderal Pelayanan
Kesehatan Nomor YM.02.02/VI/2641/2019 tanggal 27 Juni 2019 tentang
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 120
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Dukungan Pemda Terhadap Kesinambungan Pelayanan Peserta JKN di RS


yang Belum Terakreditasi per tanggal 30 Juni 2019 agar Pemda turut
memastikan peserta JKN mendapat akses pelayanan kesehatan di RS yang
telah terakreditasi.
3) Advokasi kepada Pemda melalui surat Direktur Jenderal Pelayanan
Kesehatan Nomor YM.02.02/VI/2799/2019 tanggal 4 Juli 2019 tentang
Pemberitahuan RS yang Habis Masa Berlaku Akreditasi Juli-Desember 2019
agar RS melaksanakan reakreditasi sebelum masa berlaku sertifiakt
akreditasi habis dan Pemda melakukan pemantauan rutin terhadap status
akreditasi RS.
4) Kerja sama dan koordinasi lintas program dan lintas sektor terkait untuk
percepatan akreditasi RS dalam upaya peningkatan mutu pelayanan
menuju Universal Health Coverage (UHC).
5) Pemberdayaan tim RS yang telah terakreditasi paripurna, asosiasi RS, dan
lembaga akreditasi sebagai narasumber dalam kegiatan pelatihan atau
pendampingan akreditasi RS melalui dana APBN atau Corporate Social
Responbility (CSR).

Efisiensi sumber daya dilakukan dengan :


1) Melakukan kegiatan pendampingan/bimbingan akreditasi dengan
narasumber yang berasal dari daerah atau provinsi yang sama atau
lokasinya berdekatan sehingga penggunaan anggaran lebih rendah
(efisien). Alokasi anggaran bimtek akreditasi sebesar Rp 1.659.818.000,-
untuk 33 RS dapat dimanfaatkan sebesar Rp 1.518.478.163,- untuk 47 RS.
2) Melakukan koordinasi dengan KARS untuk meningkatkan kemampuan
SDM RS dalam mempersiapkan akreditasi melalui penyelenggaraan
pelatihan asesor internal, sehingga SDM RS dapat melaksanakan survei
internal atau penilaian mandiri sebelum survei akreditasi. Hal ini dapat
mengurangi biaya persiapan akreditasi jika dibandingkan dengan
mendatangkan surveior dari luar RS.
3) Melakukan koordinasi dengan KARS, PERSI dan stake holder lain untuk
melaksanakan workshop SNARS dengan anggaran CSR di regional tertentu
(misalnya Papua) untuk memfasilitasi persiapan akreditasi RS, sehingga
waktu dan biaya menjadi lebih efisien.
4) Surat Dirjen Pelayanan Kesehatan Nomor YM.02.02/VI/2223/2019 tanggal 28
Mei 2018 tentang Akreditasi RS bahwa RS wajib melaksanakan survei
akreditasi dan survei verifikasi. Kegiatan persiapan akreditasi seperti
workshop, bimbingan dan survei simulasi tidak bersifat wajib dan dapat
dilaksanakan sesuai kebutuhan sehingga anggaran dan waktu pelaksanaan
menjadi lebih efisien.

Program/Kegiatan yang Dilaksanakan untuk Mencapai Target

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 121


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

1) Melakukan kegiatan Pendampingan Akreditasi Internasional pada Rumah


Sakit Pemerintah untuk mempersiapkan akreditasi internasional Joint
Comission International (JCI) atau KARS Internasional.

Gambar 3.27
Pendampingan Akreditasi RSUP dr. M. Hoesin
oleh Tim RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo

2) Melakukan kegiatan Bimbingan Teknis Pelaksanaan Mutu dan Akreditasi di


RS Prioritas bersama tim RS yang telah terakreditasi paripurna dan/atau
JCI. Kegiatan bertujuan untuk meningkatkan pemahaman RS tentang
Standar Nasional Akreditasi RS agar siap diakreditasi.
Untuk mempersiapkan materi pendampingan mutu dan akreditasi
RS dilakukan Workshop Pembimbing Teknis Mutu dan Akreditasi di RS
Prioritas yang diikuti oleh tim dari RS yang telah terakreditasi paripurna.

Gambar 3.28
Workshop Pembimbing Teknis Mutu dan Akreditasi di RS Prioritas
yang diikuti perwakilan RS terakreditasi paripurna

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 122


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

3) Melakukan Lokakarya Percepatan Mutu dan Akreditasi RS penerima DAK


Nonfisik Akreditasi 2019 yang bertujuan untuk percepatan persiapan
akreditasi RS dengan menyusun komitmen jadwal survei akreditasi RS dan
selanjutnya dikoordinasikan dengan KARS.

Gambar 3.29
Peserta Lokakarya Percepatan Akreditasi RS foto bersama Dirjen Yankes

4) Melakukan Lokakarya Implementasi Akreditasi RS untuk meningkatkan


pemahaman dan impelementasi Standar Nasional Akreditasi RS melalui kaji
banding best practice di RS yang telah terakreditasi paripurna.

Gambar 3.30
Peserta Lokakarya Implementasi Akreditasi RS untuk Regional Tengah foto bersama
Direktur Mutu dan Akreditasi Yankes

5) Melakukan Lokakarya Kebijakan dan Strategi Mutu Nasional yang


bertujuan agar Indonesia memiliki kebijakan dan strategi mutu nasional
yang dapat digunakan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 123


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Gambar 3.31
Peserta Lokakarya Penyusunan Rencana Aksi Implementasi Kebijakan dan Strategi
Mutu Nasional di Wilayah Tengah foto bersama Direktur Mutu dan Akreditasi Yankes

6) Melakukan pendampingan evaluasi mutu dan akreditasi di RS untuk untuk


melakukan pemantauan dan evaluasi mutu pelayanan serta persiapan
akreditasi RS.
Gambar 3.32
Pendampingan evaluasi RSUD Undata Palu

G
a
m
b
a
r


P
e
n
d
a
m
p
7) Melakukan koordinasi lintas program dan lintas sektor terkait dengan i
mutu dan akreditasi pelayanan kesehatan rujukan dengan unit kerja di n
lingkungan Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, Kementerian g
Pertahanan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pendidikan, a
Pusat Kesehatan TNI, Pusat Kedokteran dan Kesehatan POLRI, Pemda n
dan/atau Dinas Kesehatan, BPJS Kesehatan, KARS, PERSI, ARSADA, ARSSI,
PB IDI, organisasi profesi, RS UPT vertikal Kementerian Kesehatan dan RS e
lain yang sudah terakreditasi nasional dan/atau internasional. Koordinasi ini v
a
l
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 124 u
a
s
i

R
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

dilaksanakan untuk percepatan akreditasi RS dalam upaya peningkatan


mutu pelayanan menuju Universal Health Coverage (UHC).

Gambar 3.33
Rapat koordinasi Direktorat Mutu dan Akreditasi Yankes
dengan stake holder dalam upaya percepatan akreditasi RS

8) Mengalokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) Non Fisik akreditasi rumah


sakit tahun 2019 sebesar Rp 43.975.665.000,- untuk 90 RS untuk
melaksanakan workshop, bimbingan, survei simulasi dan survei akreditasi.
9) Mengalokasikan dana Dekonsentrasi untuk Sosialisasi Standar Akreditasi
dan Evaluasi Mutu Pelayanan Kesehatan di RS tahun 2019 sebesar Rp
3.508.580.000,-. Kegiatan diselenggarakan oleh 16 Dinas Kesehatan
Propinsi untuk sosialisasi Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit (SNARS)
edisi 1 dan indikator mutu pelayanan RS.
10) Penyusunan regulasi di bidang mutu pelayanan rumah sakit antara lain:
▪ Revisi Permenkes 34 tahun 2017 tentang Akreditasi RS untuk
penyempurnaan sistem akreditasi RS dengan melakukan sinkronisasi
dan harmonisasi dengan kebijakan perumahsakitan serta
perkembangan global, kebutuhan dan tuntutan stake holder.
▪ Finalisasi Kebijakan dan Strategi Mutu Nasional dengan melibatkan
lintas unit/program, rumah sakit, puskesmas dan faskes lain serta Dinas
Kesehatan. Kegiatan bertujuan untuk mendapatkan masukan terhadap
draft Kebijakan dan Strategi Mutu Nasional.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 125


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Gambar 3.34
Kegiatan Penyusunan Regulasi
di Bidang Mutu Pelayanan Rumah Sakit

▪ Revisi Permenkes 11/2017 tentang Keselamatan Pasien yang


melibatkan RS, organisasi profesi, dan fasyankes lainnya untuk
harmonisasi dan sinkronisasi konsep-konsep keselamatan pasien
dan manajemen risiko di RS yang update dan pengembangan
keselamatan pasien di fasilitas kesehatan selain rumah sakit.

Gambar 3.35
Kegiatan Revisi Permenkes 11/2017
tentang Keselamatan Pasien

11) Penyempurnaan Pedoman Penyelenggara Mutu di Rumah Sakit yang akan


digunakan sebagai acuan bagi RS dalam penyelenggaraan Komite Mutu,
baik bentuk organisasi, tugas dan fungsi serta pembinaan dan
pengawasan, sehingga RS dapat melaksanakan peningkatan mutu dan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 126


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

keselamatan pasien secara berkesinambungan (continuous quality


improvement).

Gambar 3.36
Penyempurnaan Pedoman Penyelenggara Mutu
di Rumah Sakit

12) Penyusunan Pedoman Pemantauan dan Evaluasi Mutu Pelayanan RS, yang
akan digunakan sebagai acuan bagi Kementerian Kesehatan, Dinkes
Provinsi / Kabupaten / Kota maupun RS dalam melaksanakan monitoring
dan evaluasi mutu pelayanan di RS. Kemenkes melakukan uji coba
instrumen monev di RS untuk mendapatkan masukan Dinkes Provinsi,
Dinkes Kabupaten/Kota dan RS terhadap implementasi Pedoman dan
Instrumen Pemantauan dan Evaluasi Pelayanan RS.

Gambar 3.37
Penyusunan Pedoman Pemantauan dan Evaluasi
Mutu Pelayanan RS

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 127


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

13) Monitoring dan Evaluasi Penerapan Point of Care of Quality Improvement


(POCQI) di RS yang telah melaksanakan program Quality Improvement
dengan difasilitasi hibah UNICEF. Kegiatan bertujuan untuk melakukan
pemantauan pelaksanaan langkah-langkah peningkatan mutu pelayanan
maternal dan neonatal dalam upaya mendukung penurunan AKI dan AKN
di RS, dengan melibatkan peran Dinkes Provinsi dan Dinkes Kab/Kota.

Gambar 3.38
Kunjungan ke Instalasi Perinatologi dalam rangka Monev POCQI Pelayanan
Maternal dan Neonatal di RSUD Manokwari

Permasalahan yang dihadapi, antara lain:


1) Faktor Anggaran
• Belum semua Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran yang
mendukung pelaksanaan akreditasi RSUD di wilayahnya.
• RKA DAK Non Fisik Akreditasi 2019 di RS memerlukan waktu untuk
disesuaikan dengan DPA Daerah, dan keterlambatan pencairan
anggaran DAK Non Fisik di Pemerintah Daerah yang disebabkan oleh
keterlambatan penyampaian pertanggungjawaban DAK tahun
sebelumnya kepada Kementerian Keuangan.
• Adanya pemotongan APBD untuk pemenuhan sarana, prasarana dan
alat kesehatan, sehingga belum mendukung persiapan akreditasi RS.
• RS milik Pemerintah Daerah yang belum terakreditasi belum berstatus
BLUD dan hanya menggunakan APBD dan/atau DAK Nonfisik
Akreditasi.
2) Faktor Waktu
• Proses akreditasi merupakan rangkaian yang panjang dan memakan
waktu yang lama, mulai dari pelatihan atau workshop sampai survei
akreditasi agar dapat mengimplementasikan standar akreditasi dengan
baik. Namun banyak RS yang mempersiapkan akreditasi dalam waktu
kurang dari satu tahun, sehingga persiapan survei menjadi kurang
optimal.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 128


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

• Pelaksanaan persiapan akreditasi RS yang menunggu pencairan


anggaran menyebabkan penumpukan jadwal workshop dan bimbingan
pada Triwulan I dan II, sedangkan survei simulasi dan survei akreditasi
pada bulan Mei-Juni dan November-Desember 2019, sedangkan jumlah
SDM pembimbing atau surveior terbatas, sehingga RS masuk dalam
daftar tunggu untuk difasilitasi narasumber atau surveior dari KARS.
Hal ini juga dapat disebabkan oleh batas penggunaan anggaran hingga
akhir tahun 2019.
• KARS belum menetapkan batas waktu pengumuman hasil survei
akreditasi RS sedangkan RS perlu segera mendapat informasi hasil
kelulusan untuk dapat bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
3) Faktor Sumber Daya Manusia
• Komitmen Pemerintah Daerah yang masih kurang di beberapa daerah,
sehingga dukungan anggaran untuk pelatihan SDM RS belum optimal.
• Komitmen Pimpinan RS dan pegawai yang kurang sehingga tidak
terlibat aktif dalam kegiatan persiapan akreditasi dan kurang
mendukung kegiatan akreditasi.
• Ketersediaan SDM tenaga kesehatan yang belum memenuhi
kebutuhan pegawai sesuai dengan kelas RS, terutama dokter spesialis.
• Kurangnya kesadaran pimpinan dan staf RS tentang budaya kerja
dalam memberikan pelayanan kesehatan yang berorientasi pada
peningkatan mutu dan keselamatan pasien guna mendukung
pelayanan sesuai dengan standar akreditasi.
• Masih kurangnya pemahaman SDM Rumah Sakit terhadap Standar
Nasional Akreditasi Rumah Sakit (SNARS Edisi 1).
• Mutasi pegawai yang sudah terlatih akreditasi sehingga tidak dapat
berperan optimal dalam akreditasi.
• Kemampuan tenaga Dinas Kesehatan Provinsi dalam persiapan
akreditasi belum cukup untuk mendorong Dinkes dalam menjalankan
fungsi pembinaan dan pengawasan sesuai Permenkes Nomor 34 Tahun
2017 tentang Akreditasi RS.
• Terdapat beberapa surveior yang mengharuskan pelatihan persiapan
akreditasi dari KARS, sehingga RS harus mengalokasikan anggaran
pelatihan lebih besar.
4) Faktor Sarana, Prasarana dan Alat Kesehatan
• RS belum memiliki sarana, prasarana dan alat kesehatan sesuai kelas RS
dan belum melakukan update ASPAK dan RS online. Sarana, prasarana
dan alat kesehatan yang belum terpenuhi menyebabkan RS belum siap
untuk melakukan survei akreditasi.
• Dampak bencana dan kondisi keamanan di daerah sehingga
berpengaruh terhadap kondisi sarana, prasarana dan alat kesehatan
maupun operasional RS.

Upaya Pemecahan Masalah


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 129
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

1) Anggaran
• Melakukan advokasi kepada Pemerintah Daerah untuk mengalokasikan
anggaran guna pemenuhan standar akreditasi rumah sakit (termasuk
sarana, prasarana dan alkes) bersumber APBD atau BLUD melalui
pertemuan Rakerkesnas, Rakerkesda, bimbingan dan pendampingan
evaluasi mutu dan akreditasi di RS.
• Mengalokasikan DAK Non Fisik dan Dana Dekonsentrasi RS untuk
mendukung pelaksanaan mutu dan akreditasi RS.
• Melakukan advokasi kepada RS agar berkoordinasi dengan Dinas
Kesehatan dan Dinas Keuangan Daerah sehingga penyusunan RKA
sesuai dengan DPA Daerah dan pencairannya dapat dilaksanakan lebih
awal.
• Berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan agar dapat memfasilitasi
pencairan DAK Non Fisik lebih awal terutama bagi RS Daerah yang
mendapat rekomendasi Menkes.
• Berkoordinasi dengan stake holder terkait seperti KARS, PERSI,
ARSADA, ARSSI untuk percepatan akreditasi melalui kegiatan Corporate
Social Responbility (CSR).
2) Waktu
• Melakukan advokasi kepada RS agar melakukan persiapan akreditasi
lebih terencana sehingga RS dapat memahami dan
mengimplementasikan SNARS edisi 1 dengan baik dan tepat waktu.
• Melakukan koordinasi dengan RS yang telah terakreditasi paripurna
dan/atau internasional untuk menugaskan narasumber dalam
mendukung persiapan survei akreditasi (pendampingan atau
bimbingan teknis mutu dan akreditasi RS).
• Berkoordinasi dengan KARS agar RS mendapat jadwal survei dan
pengumuman hasil akreditasi dipercepat.
• Surat Menkes Nomor YM.02.02/Menkes/255/2019 tanggal 7 Mei 2019
tentang Perpanjangan Kerja Sama RS antara lain menyebutkan bahwa
RS yang sudah survei dan menunggu penetapan kelulusan dapat
memberikan pelayanan sesuai ruang lingkup kontrak dengan BPJS
Kesehatan.
3) SDM
• Melakukan advokasi sesuai Surat Dirjen Pelayanan Kesehatan Nomor
YM.02.02/VI/2223/2019 tanggal 28 Mei 2018 tentang Akreditasi RS agar
Dinas Kesehatan melakukan pembinaan dan pengawasan akreditasi RS.
• Melakukan advokasi kepada RS untuk melakukan pemenuhan
kebutuhan tenaga kesehatan sesuai dengan kelas RS melalui BKD, kerja
sama dengan RS terdekat atau Program Pendayagunaan Dokter
Spesialis (PGDS) Kementerian Kesehatan.
• Melaksanakan kegiatan pelatihan dengan dana Dekonsentrasi, DAK
Nonfisik Akreditasi RS dan dana CSR lembaga/institusi lain.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 130


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

• Melakukan advokasi kepada RS agar tidak melakukan mutasi pegawai


yang telah mengikuti pelatihan untuk mendukung akreditasi RS.
• Melakukan advokasi kepada RS untuk menyusun anggaran pelatihan
SDM sesuai Standar Nasional Akreditasi RS yang dilakukan eksternal
maupun internal RS.
• Surat Dirjen Pelayanan Kesehatan Nomor YM.02.02/VI/2223/2019
tanggal 28 Mei 2018 tentang Akreditasi RS bahwa RS wajib
melaksanakan survei akreditasi dan survei verifikasi. Kegiatan
persiapan akreditasi (workshop, bimbingan dan survei simulasi)
dilaksanakan sesuai kebutuhan dan sertifikat pelatihan dapat diberikan
oleh RS, KARS, PERSI dan institusi lain. Dengan demikian Rumah Sakit
dapat mendayagunakan SDM yang dimiliki untuk aktif melaksanakan
pelatihan internal.
• Melakukan sosialisasi transformasi budaya kerja untuk meningkatkan
budaya mutu dan keselamatan pasien di RS.
• Berkoordinasi dengan RS yang telah terakreditasi paripurna dan/atau
internasional sebagai tim pendamping akreditasi yang dapat
memberikan bimbingan kepada RS yang membutuhkan sesuai dengan
penugasan Kemenkes.
• Sosialisasi Pedoman dan Instrumen Pemantauan Mutu Pelayanan RS
bagi SDM Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten/Kota sehingga
dapat menjalankan fungsi dalam persiapan dan pembinaan mutu dan
akreditasi RS.
4) Sarana, Prasarana dan Alat Kesehatan
• Mengalokasikan anggaran DAK Fisik 2019 untuk RSUD dalam
pemenuhan sarana, prasarana dan alat kesehatan sesuai standar kelas
RS.
• Surat Edaran Dirjen Pelayanan Kesehatan Nomor HK.04.01/I/2963/2019
tanggal 15 Juli 2019 tentang Rekomendasi Penyesuaian Kelas RS
sehingga RS melakukan upaya pemenuhan sarana, prasarana dan alat
kesehatan.
• Melakukan advokasi agar RS menyusun rencana perbaikan sarana,
prasarana, dan alat kesehatan sehingga lebih siap untuk survei
akreditasi.
• Melakukan advokasi kepada RS yang mengalami dampak bencana dan
kondisi keamanan agar dapat melaksanakan persiapan akreditasi
seoptimal mungkin pasca tanggap darurat atau situasi kondusif.

4) Sasaran Strategis 4: Meningkatnya Akses, Kemandirian, dan Mutu Sediaan Farmasi dan
Alat Kesehatan

Dalam Sistem Kesehatan Nasional, sediaan farmasi dan alat kesehatan merupakan salah
satu subsistem dalam kelompok komponen pengelolaan kesehatan di samping komponen
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 131
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

upaya kesehatan, penelitian dan pengembangan kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber


daya manusia kesehatan, manajemen, informasi, dan regulasi kesehatan, serta
pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian sediaan farmasi dan alat kesehatan memiliki
peran strategis untuk berjalannya pengelolaan kesehatan nasional.

Dalam kaitan dengan Sasaran Strategis ini, Kementerian Kesehatan mengidentifikasi tiga
Indikator Kinerja Utama (IKU) sesuai dengan Rencana Strategis awal berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/Menkes/52/2015 adalah sebagai
berikut:
1. Persentase ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas
2. Jumlah bahan baku obat dan obat tradisional serta alat kesehatan (Alkes) yang
diproduksi di dalam negeri (kumulatif)
3. Persentase produk alat kesehatan dan PKRT di peredaran yang memenuhi syarat

Setelah dilakukan Revisi Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019 IKU
sasaran strategis sebagai berikut:

Tabel 3.15
Capaian IKU pada Sasaran Strategis 4:
Meningkatnya Akses, Kemandirian, dan Mutu Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

SS4: Meningkatnya Akses, Kemandirian, dan Mutu Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

Indikator Kinerja Target Realisasi % Realisasi


4a. Persentase Puskesmas dengan ketersediaan 95% 96,34% 101,41%
obat dan vaksin esensial
4b. Jumlah bahan baku sediaan farmasi yang siap
diproduksi di dalam negeri dan jumlah
jenis/varian alat kesehatan yang diproduksi di
dalam negeri (kumulatif):
a. Target bahan baku sediaan farmasi 45 50 111,11%
b. Target alat kesehatan 28 28 100,00%
4c. Persentase produk alat kesehatan dan PKRT di 90% 95,67% 106,31
peredaran yang memenuhi syarat

Uraian tentang ketiga IKU tersebut adalah sebagai berikut:

a. Persentase Puskesmas dengan ketersediaan obat dan vaksin esensial

Indikator Persentase Puskesmas dengan Ketersediaan Obat dan Vaksin Esensial bertujuan
untuk memantau ketersediaan obat dan vaksin esensial di Puskesmas. IKU akan dianggap
semakin baik bila realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari yang ditargetkan.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 132


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Indikator Puskesmas dengan Ketersediaan Obat dan Vaksin Esensial merupakan indikator
pada revisi Renstra sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
HK.01.07/Menkes/422/2017 yang mulai berlaku pada 29 Agustus 2017. Indikator
sebelumnya adalah persentase ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas yang dihitung
dengan formulasi sebagai berikut:

Jumlah kumulatif item obat yang tersedia di (n) Puskesmas


Jumlah (n) Puskesmas yang melapor x Jumlah total item obat X 100%
indikator

Indikator ini juga merupakan indikator Rencana Pembangunan Jangka Menengah


Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019 sehingga pemantauannya tetap dilakukan sampai
dengan tahun 2019 walaupun terdapat revisi Renstra sesuai dengan Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/422/2017 yang mulai berlaku pada 29 Agustus
2017.

Pada tahun 2015 sampai dengan pertengahan tahun 2017, dilakukan pemantauan
terhadap indikator persentase ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas yang memiliki
target pada tahun 2015 sebesar 77%, dengan capaian sebesar 79,38%. Pada tahun 2016,
indikator tersebut memiliki target sebesar 80% dengan capaian sebesar 81,57%. Pada
tahun 2017, memiliki target sebesar 83% dan capaian sebesar 89,30%. Sementara pada
tahun 2018, memiliki target sebesar 86% dan capaian sebesar 92,47%. Pada tahun 2019,
memiliki target sebesar 90% dan capaian sebesar 94,22%.

Bila dilakukan perbandingan antara capaian tahun 2019 dengan target akhir tahun
Renstra/RPJMN 2015-2019, capaian indikator dimaksud lebih tinggi sebesar 4,22%
dengan persentase capaian sebesar 104,69%. Hal ini menunjukkan indikator tersebut
telah mencapai target akhir tahun Renstra/RPJMN 2015-2019.

Grafik 3.43
Target dan Realisasi Indikator Persentase Ketersediaan Obat dan Vaksin di Puskesmas
Tahun 2015-2019

83% 89,30% 86% 92,47% 90% 94,22%


77% 79,38% 80% 81,57%

2015 2016 2017 2018 2019

Target Realisasi

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 133


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Revisi Renstra yang mulai berlaku di pertengahan tahun 2017 mengamanatkan


perubahan indikator yang semula persentase ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas
menjadi persentase Puskesmas dengan ketersediaan obat dan vaksin esensial dengan
definisi operasional yakni persentase Puskesmas yang memiliki 80% obat dan vaksin
esensial (pemantauan dilaksanakan terhadap 20 item obat indikator) dan dihitung
dengan formulasi sebagai berikut:

Jumlah Puskesmas yang memiliki obat dan vaksin esensial X


Jumlah Puskesmas di Indonesia yang melapor 100%

Adapun realisasi indikator tersebut pada tahun 2019 sebesar 96,34%, melebihi target yang
telah ditetapkan dalam Renstra Kemenkes Tahun 2015-2019 yaitu sebesar 95% dengan
capaian sebesar 101,41%.
Bila dilakukan perbandingan capaian tahun 2019 dengan target akhir tahun Renstra
2015-2019, capaian indikator dimaksud lebih tinggi sebesar 1,34% yang menandakan
indikator tersebut telah mencapai target yang telah ditetapkan.

Tabel 3.16
Target, Realisasi dan Capaian Indikator Persentase Puskesmas dengan Ketersediaan Obat
dan Vaksin Esensial Tahun 2019
Indikator Kinerja Target 2019 Realisasi 2019 Capaian 2019

Persentase Puskesmas dengan 95% 96,34% 101,41%


ketersediaan obat dan vaksin
esensial

Grafik 3.44
Target dan Realisasi Indikator Persentase Puskesmas dengan Ketersediaan Obat dan
Vaksin Esensial Tahun 2017-2019

Hasil tersebut diperoleh dari periode pelaporan bulan November dimana jumlah Puskesmas
yang memiliki 80% obat dan vaksin essensial sebanyak 9.133 Puskesmas dari Puskesmas
yang melapor sebanyak 9.480. Sedangkan Puskesmas di seluruh Indonesia adalah 9.994
sehingga baru 94,85% yang melapor.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 134


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Jumlah Puskesmas yang melapor mengalami peningkatan yang signifikan bila dibandingkan
tahun 2017, 2018 dan 2019 yaitu sebanyak 8.472 Puskesmas, 9.227 Puskesmas dan 9.480
Puskesmas.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk peningkatan pelaporan oleh Puskesmas adalah
dengan dibentuknya tim penanggungjawab pengumpulan data indikator kinerja tata kelola
obat publik dan perbekalan kesehatan merupakan salah satu upaya yang meningkatkan
ketaatan pelaporan data lebih optimal sehingga pencapaian output menjadi maksimal.

Capaian tertinggi persentase Puskesmas dengan ketersediaan obat dan vaksin esensial pada
tahun 2019 yakni sebesar 100% dan dicapai oleh 10 provinsi, yaitu Jambi, Kepulauan Bangka
Belitung, D.I. Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara,
Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, dan Maluku. Capaian tertinggi tersebut meningkat
dibandingkan tahun 2018 dimana provinsi yang memiliki capaian persentase Puskesmas
dengan ketersediaan obat dan vaksin esensial sebesar 100% sebanyak 4 provinsi. Untuk
Provinsi dengan persentase Puskesmas dengan ketersediaan obat dan vaksin esensial
terendah tahun 2019 adalah Nusa Tenggara Timur dengan capaian sebesar 82,46%.

Grafik 3.45
Puskesmas dengan Ketersediaan Obat dan Vaksin Esensial Tahun 2019 per Provinsi

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 135


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Pemantauan dilakukan terhadap 20 item obat dan vaksin yang dianggap esensial dan harus
tersedia di pelayanan kesehatan dasar, sebagaimana tabel berikut:

Tabel 3.17
Daftar Obat dan Vaksin Indikator
NO NAMA OBAT BENTUK SEDIAAN
1 Albendazol Tablet
2 Amoxicillin 500 mg Tablet
3 Amoxicillin Sirup
4 Deksametason Tablet
5 Diazepam 5 mg/mL Injeksi
6 Epinefrin (Adrenalin) 0,1% (sebagai HCL) Injeksi
7 Fitomenadion (Vitamin K) Injeksi
8 Furosemid 40 mg / HCT Tablet
9 Garam Oralit Serbuk
10 Glibenklamid / Metformin Tablet
11 Kaptopril Tablet
12 Magnesium Sulfat 20 % Injeksi
13 Metilergometrin Maleat 0,200 mg-1 ml Injeksi
14 Obat Anti Tuberculosis dewasa Tablet
15 Oksitosin Injeksi
16 Parasetamol 500 mg Tablet
17 Tablet Tambah Darah Tablet
18 Vaksin BCG Injeksi
19 Vaksin DPT/ DPT-HB/ DPT-HB-Hib Injeksi
20 Vaksin Td Injeksi

Permasalahan:
Terdapat beberapa permasalahan yang dialami dalam pencapaian indikator kinerja
persentase Puskesmas dengan ketersediaan obat dan vaksin esensial tahun 2019, yaitu
sebagai berikut:
1. Mekanisme perencanaan kebutuhan belum berjalan dengan optimal dikarenakan
keterbatasan koordinasi dan sumber daya.
2. Beberapa obat program belum terdapat di e-katalog nasional.

Upaya Pemecahan Masalah:


Upaya yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas antara lain sebagai
berikut:
1. Mengoptimalkan koordinasi lintas program dalam hal perencanaan kebutuhan
obat program dan pemanfaatan obat buffer pusat dalam memenuhi ketersediaan
obat program.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 136
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

2. Mendorong seluruh obat program untuk masuk dalam e-katalog nasional.

Efisiensi penggunaan sumber daya terhadap capaian Indikator Persentase Puskesmas


dengan ketersediaan obat dan vaksin esensial telah tercapai. Hal tersebut dikarenakan
capaian kinerja sebesar 101,41% dapat terwujud dengan 66,65% penyerapan anggaran.

Grafik 3.46
Analisis atas Efisiensi Penggunaan Sumber Daya Terhadap Capaian
Indikator Kinerja Program Persentase Puskesmas dengan Ketersediaan
Obat dan Vaksin Esensial Tahun 2019

b. Jumlah Bahan Baku Sediaan Farmasi yang Siap Diproduksi di Dalam Negeri dan Jumlah
Jenis/Varian Alat Kesehatan yang Diproduksi di Dalam Negeri (Kumulatif)

Obat dan alat kesehatan memiliki kontribusi cukup besar dalam pembiayaan kesehatan.
Karena itu, Kementerian Kesehatan mengambil kebijakan untuk mendorong agar bahan
baku sediaan farmasi dan alat kesehatan dapat diproduksi di dalam negeri.

Diharapkan dengan melakukan produksi di dalam negeri, harga obat dan alat kesehatan
dapat ditekan sekaligus mengurangi ketergantungan pada luar negeri. IKU ini bertujuan
untuk mengetahui kemajuan atau perkembangan produksi sediaan farmasi dan alat
kesehatan di dalam negeri. IKU akan dianggap semakin baik bila realisasinya lebih besar
atau lebih tinggi dari yang ditargetkan.

Pada Revisi Renstra tahun 2017 sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia HK.01.07/Menkes/422/2017 yang mulai berlaku pada 29 Agustus 2017 terjadi
perubahan nomenklatur dan target capaian indikator jumlah bahan baku sediaan farmasi
yang siap diproduksi di dalam negeri dan jumlah jenis/varian alat kesehatan yang
diproduksi di dalam negeri (kumulatif).

Indikator sebelumnya adalah jumlah bahan baku obat dan obat tradisional serta alat
kesehatan (Alkes) yang diproduksi di dalam negeri (kumulatif) dengan target pada tahun
2015 sebesar 7 jenis dan capaian sebanyak 11 jenis, sedangkan target 2016 sebesar 14
jenis dan capaian sebesar 23 jenis.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 137


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Grafik 3.47
Target dan Realisasi Indikator Jumlah Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional serta Alat
Kesehatan (Alkes) yang Diproduksi di Dalam Negeri (Kumulatif) Tahun 2015-2019

Pada tahun 2017, terjadi revisi Renstra yang menyatakan bahwa target indikator jumlah
bahan baku sediaan farmasi yang siap diproduksi di dalam negeri dan jumlah jenis/varian
alat kesehatan yang diproduksi di dalam negeri (kumulatif) ditetapkan sebanyak 34 jenis dan
tercapai sebanyak 37 jenis dengan rincian jumlah realisasi bahan baku sediaan farmasi
sebesar 23 jenis dan jumlah jenis/varian alat kesehatan sebesar 14 jenis/varian. Pada tahun
2018, target indikator jumlah bahan baku sediaan farmasi yang siap diproduksi di dalam
negeri dan jumlah jenis/varian alat kesehatan yang diproduksi di dalam negeri (kumulatif)
ditetapkan sebanyak 51 jenis dan tercapai sebanyak 54 jenis dengan rincian jumlah realisasi
bahan baku sediaan farmasi sebesar 33 jenis dan jumlah jenis/varian alat kesehatan sebesar
21 jenis/varian. Untuk tahun 2019, target indikator jumlah bahan baku sediaan farmasi yang
siap diproduksi di dalam negeri dan jumlah jenis/varian alat kesehatan yang diproduksi di
dalam negeri (kumulatif) ditetapkan sebanyak 73 jenis dan tercapai sebanyak 78 jenis
dengan rincian jumlah realisasi bahan baku sediaan farmasi sebesar 50 jenis dan jumlah
jenis/varian alat kesehatan sebesar 28jenis/varian.

Jika dibandingkan dengan target akhir tahun Renstra (73 jenis), capaian tahun 2019
disimpulkan mencapai target akhir tahun Renstra 2015-2019 dalam indikator jumlah bahan
baku sediaan farmasi dan jenis/varian alat kesehatan yang diproduksi di dalam negeri
dengan hasil sebesar 78 atau dengan persentase capaian sebesar 106,85%.

Tabel 3.18
Target, Realisasi dan Capaian Indikator Jumlah Bahan Baku Sediaan Farmasi yang Siap
Diproduksi di Dalam Negeri dan Jumlah Jenis/Varian Alat Kesehatan yang Diproduksi
di Dalam Negeri (Kumulatif) Tahun 2019
Indikator Kinerja Target 2019 Realisasi 2019 Capaian 2019

Jumlah bahan baku sediaan farmasi 73 78 106,85%


yang siap diproduksi di dalam negeri
dan jumlah jenis/varian alat kesehatan
yang diproduksi di dalam negeri
(kumulatif)

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 138


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

- Bahan Baku Sediaan Farmasi 45 50 111,11%

- Jenis/Varian Alat Kesehatan 28 28 100,00%

Grafik 3.48
Target dan Realisasi Indikator Jumlah Bahan Baku Sediaan Farmasi yang Siap Diproduksi di
Dalam Negeri dan Jumlah Jenis/Varian Alat Kesehatan yang Diproduksi di Dalam
Negeri (Kumulatif) Tahun 2015-2019

Target pencapaian kinerja untuk indikator jumlah bahan baku sediaan farmasi yang siap
diproduksi di dalam negeri (kumulatif) tahun 2019 ditetapkan sejumlah 45 (empat puluh
lima) jenis. Adapun capaian jumlah bahan baku sediaan farmasi yang siap diproduksi di
dalam negeri tahun 2019 adalah sejumlah 17 jenis. Karena pengukuran indikator ini
dilakukan secara kumulatif, maka jumlah bahan baku sediaan farmasi yang siap diproduksi
di dalam negeri tahun 2019 adalah sejumlah 50 jenis atau mencapai 111,11% dari target
yang ditetapkan untuk tahun 2019 sejumlah 45 jenis. Jumlah 50 jenis tersebut terdiri dari
capaian tahun 2015 sejumlah 8 jenis, tahun 2016 sejumlah 8 jenis, tahun 2017 sejumlah 7
jenis, tahun 2018 sejumlah 10 jenis, dan tahun 2019 sejumlah 17 jenis.

Jika dibandingkan dengan target akhir tahun Renstra 2015-2019 (45 jenis), capaian tersebut
disimpulkan telah tercapai, dimana jumlah bahan baku sediaan farmasi yang diproduksi di
dalam negeri mendapat hasil lebih tinggi sebesar 5 jenis dari target dengan persentase
capaian sebesar 111,11%.

Upaya yang dilakukan dalam mencapai target indikator kinerja ini adalah dengan
berkoordinasi dan bersinergi dengan lembaga pendidikan dan lembaga penelitian melalui
fasilitasi peningkatan kapasitas produksi BBO dan BBOT. Pada tahun 2019 dilakukan kerja
sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT) dan Perguruan Tinggi yaitu Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas
Airlangga (UNAIR), Universitas Andalas (UNAND), Universitas Sumatera Utara (USU) dan
Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS).

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 139


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Tabel 3.19
Daftar Nama Bahan Baku Sediaan Farmasi yang Siap Diproduksi di Dalam Negeri Tahun
2015-2019
NO BAHAN BAKU SEDIAAN FARMASI

Tahun 2015
1 Ekstrak Terstandar Daun Kepel (Stelechocarpus burahol (BI.)
Hook.f. & Th)
2 Ekstrak Umbi Bengkoang (Pachyrrhizus erosus L.)
3 Ekstrak Aktif Terstandar Daun Mimba (Azadirachta indica)
4 Ekstrak Biji Klabet (Trigonella foenum-graecum L.)
5 Pemanis Alami Glikosida Steviol
6 Ekstrak Terstandar Strobilanthes crispus L.
7 Ekstrak Terstandar Kelopak Bunga Rosela (Hibiscus sabdariffa
L.)
8 Karagenan Pharmaceutical Grade
Tahun 2016
9 Kristal PGV-6
10 Kristal HGV-6
11 Kristal GVT-6
12 Fraksi Gel dan Fraksi Antrakinon Terstandar Daun Lidah Buaya
(Aloe vera L.)
13 Ekstrak Terstandar Daun Sendok (Plantago major)
14 Fraksi Polisakarida Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L.)
15 Phlobaphene
16 Fraksi Bioaktif Biji Pala (Myristica fragrans Houtt)
Tahun 2017
17 Ekstrak Kayu Manis (Cinnamomum burmanii)
18 Asam Mefenamat
19 Kombinasi Ekstrak Air Tempuyung (Sonchus arvensis) dan Keji
Beling (Strobilanthes cripus)
20 Amilum Sagu (Metroxylon SP) Terpregelatinasi
21 Fraksi Aktif Terstandar Herba Kumis Kucing (Orthosiphon
arisatus (Blume))
22 Parasetamol
23 Ekstrak Terstandar Daun Pepaya (Carica papaya)
Tahun 2018
24 Sefalosporin C
25 1,3 bis (para hidroksifenil) urea/HP 2009
26 Fraksi Antosianin Daun Ubi Ungu (Ipomoea batatas L)
27 Ekstrak Daun Belimbing Manis (Averrhoa carambola L)
28 Fraksi Aktif dari Umbi Tanaman Talas (Collocasia esculenta)

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 140


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

29 Kuersetin Kalium Bisulfat dari Daun Beluntas (Pluchea indica (L.)


Less)
30 Nobiletin dari Herba Bandotan (Ageratum conyzoides L.)
31 Isolat Phylantin dari Tanaman Meniran (Phyllanthus niruri)
32 Isolat Hypophylantin dari Tanaman Meniran (Phyllanthus niruri)
33 Isolat 6-Gingerol dari Rimpang Jahe (Zingiber officinale)
Tahun 2019
34 Ekstrak Terstandar Akar Pakis Tangkur (Polypodium feei)
35 Senyawa A-115
36 Senyawa B-143
37 Granul Larut Air dari Ekstrak Buah Cabe Jawa
38 Simplisia Buah Kapulaga (Amomum cardamomum Willd)
39 Simplisia Terstandar Daun Gaharu
40 Ekstrak Kering Terstandar Daun Gaharu
41 Simplisia Terstandar Rimpang Jahe Merah (Zingiber officinale
Rosc.)
42 Simplisia Terstandar Rimpang Kencur (Kaempferia galanga)
43 Simplisia Terstandar Rimpang Kunyit (Curcuma domestica L.)
44 Ekstrak Terstandar Spirulina (Spirulina platensis)
45 Simplisia Terstandar Herba meniran (Phylanthus niruri Linn)
46 Ektrak Terstandar Daun Cengkeh (Syzygium aromaticum (L.)
Merr. & Perry.)
47 Glukosamin
48 7-ACA
49 Ekstrak Produk Rimpang Jahe (Zingiber officinale) Terstandar
dengan Kadar 6 -shogaol yang optimal
50 Prekursor Insulin Glargine

Salah satu indikator kinerja kegiatan Direktorat Penilaian Alat Kesehatan dan Perbekalan
Kesehatan Rumah Tangga adalah alat kesehatan yang diproduksi di dalam negeri. Capaian
sasaran kegiatan diukur dengan indikator kinerja kegiatan jumlah jenis alat kesehatan yang
diproduksi di dalam negeri. Untuk mencapai sasaran kegiatan tersebut dilakukan melalui
koordinasi lintas sektor yang melibatkan industri, peneliti dan pemerintah yang
mempertemukan antara regulator, industri alat kesehatan dalam negeri, akademisi/peneliti
dan stakeholder terkait, kegiatan tersebut bertujuan untuk mendorong hilirisasi hasil riset
alat kesehatan. Adapun kegiatan yang telah dilakukan antara lain: 1) Melaksanakan survei
dan pemetaan kemampuan industri alat kesehatan dalam negeri dengan mendata
kebutuhan alat kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan, dari keseluruhan kebutuhan alat
kesehatan tersebut berapa yang sudah dipenuhi oleh indusri dalam negeri; 2)
Mengoptimalkan penggunaan aplikasi sistem informasi alat kesehatan produksi dalam
negeri (sisprokal.kemkes.go.id); 3) Workshop peningkatan kemanfaatan alat kesehatan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 141


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

dalam negeri kepada tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan; 4) Edukasi
penggunaan alat kesehatan dan PKRT yang baik dan benar kepada masyarakat dan pameran
alat kesehatan produksi dalam negeri. Pameran produk alat kesehatan dan PKRT dalam
negeri telah dilaksanakan sebanyak 7 kali bersamaan dengan kegiatan Rapat Kerja
Kesehatan Nasional (Rakerkesnas), Rapat Koordinasi Nasional Direktorat Jenderal
Kefarmasian dan Alat Kesehatan dan Koordinasi Lintas Sektor Dalam Rangka Pengembangan
Industri Alat Kesehatan Dalam Negeri dan Kemanfaatan Alat Kesehatan Dalam Negeri.

Grafik 3.49
Pertumbuhan Industri Alat Kesehatan dalam Negeri per 31 Desember 2019

Dari grafik di atas, terlihat bahwa dalam kurun waktu lima tahun terakhir industri alat
kesehatan dalam negeri tumbuh sebesar 120 industri atau naik sebesar 62%.

Target pencapaian kinerja untuk indikator jumlah jenis/varian alat kesehatan yang siap
diproduksi di dalam negeri (kumulatif) sampai dengan tahun 2019 ditetapkan sejumlah 28
jenis/varian. Adapun capaian jumlah jenis/varian alat kesehatan yang diproduksi di dalam
negeri tahun 2019 adalah sejumlah 7 (tujuh) jenis/varian. Karena pengukuran indikator ini
dilakukan secara kumulatif, maka jumlah jenis/varian alat kesehatan yang diproduksi di
dalam negeri sampai dengan tahun 2019 adalah sejumlah 28 jenis/varian atau mencapai
100% dari target yang ditetapkan untuk tahun 2019 sejumlah 28 jenis/varian. Jumlah 28
jenis/varian tersebut terdiri dari capaian tahun 2015 sejumlah 3 jenis/varian, tahun 2016
sejumlah 4 jenis/varian, tahun 2017 sejumlah 7 jenis/varian, tahun 2018 sejumlah 7
jenis/varian dan tahun 2019 sejumlah 7 jenis/varian.

Jika dibandingkan dengan target akhir tahun Renstra 2015-2019 (28 jenis/varian), capaian
tersebut disimpulkan telah tercapai, dimana jumlah jenis/varian alat kesehatan yang
diproduksi di dalam negeri mendapat persentase capaian sebesar 100%.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 142


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Tabel 3.20
Daftar Nama Jenis/Varian Alat Kesehatan yang Diproduksi di Dalam Negeri
Tahun 2015-2019
NO JENIS/VARIAN ALAT KESEHATAN
Tahun 2015
1 Karixa Renograf
2 Triton Synthetic-Biological Sutures
3 Triton T-Skin Marker
Tahun 2016
4 DOMAS FLEXI-CORD Progressive
5 ORTHINDO Pedide Screw Titanium
6 ID BIOSENS Dengue NS1
7 INA-SHUNT Semilunar Flushing Valve System
Tahun 2017
8 RENOMA Blood Lancet
9 NPC Strip G
10 ENESERS Anaesthesia Machine
11 ONEMED Uro One Folley Catheter
12 TESENA Electrocardiograph 12 Channel Telemetry
13 ZENMED + Orthopedic Plate
14 Paket Benang Bedah Triton
Tahun 2018
15 Heron V
16 JMS Cell Washing
17 REFOCARE Calcium Alginate Dressing
18 CERASPON
19 BUDI Pengukur Kadar Lemak Digital
20 DERMATIX Ultra
21 ZETTA TeleCTG
Tahun 2019
22 BONEFILL ORTHO
23 VIRNA Glaucoma Implant by ROHTO®
24 FEMICAM Portable Medical Camera
25 BIOSAINS RAPID TEST GAD65
26 KARIXA Dentolaser
27 HEXAETCH Etching Gel
28 ONEMED® Alginate Impression Material

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 143


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Terdapat beberapa permasalahan yang dialami dalam pencapaian indikator kinerja Jumlah
bahan baku sediaan farmasi yang siap diproduksi di dalam negeri dan jumlah jenis/varian
alat kesehatan yang diproduksi di dalam negeri (kumulatif) yaitu:
1. Beberapa rencana penggunaan anggaran penelitian kurang sesuai dengan yang
tertera pada dokumen kontrak yang disebabkan karena adanya perbedaan
kebijakan institusi penelitian terkait management fee.
2. Terdapat 1 (satu) kegiatan penelitian dilakukan dengan menggunakan metode
yang tidak sesuai dengan proposal.
3. Persepsi laporan keuangan dan laporan pekerjaan yang tidak seragam dan kurang
lengkap.
4. Masih kurangnya pemahaman industri alat kesehatan dalam negeri dan peneliti
pada saat proses pendaftaran izin edar produk alat kesehatan hasil riset.
5. Sekitar 60% industri alat kesehatan dalam negeri merupakan usaha mikro, kecil
dan menengah (UMKM), dengan fasilitas produksi yang terbatas dan pemahaman
mutu produk yang belum memadai.
6. Masih terbatasnya jumlah dan kemampuan industri alat kesehatan dalam negeri
untuk memproduksi alat kesehatan inovasi dan pengembangan baru, sebagian
besar masih fokus pada alat kesehatan teknologi rendah dan menengah.

Upaya pemecahan masalah terhadap kendala yang dialami dalam pencapaian indikator
kinerja Jumlah bahan baku sediaan farmasi yang siap diproduksi di dalam negeri dan jumlah
jenis/varian alat kesehatan yang diproduksi di dalam negeri (kumulatif)adalah sebagai
berikut:
1. Melakukan addendum pada dokumen kontrak.
2. Memperkuat monitoring dan evaluasi serta meminta peneliti melakukan riset
ulang dengan metode yang sudah disetujui dan disepakati oleh Tim Reviewer.
3. Disusun petunjuk pelaksanaan teknis monitoring dan evaluasi untuk dapat
dipedomani peneliti dalam penyusunan administratif keuangan dan dokumen
teknis.
4. Memberikan bimbingan teknis kepada industri alat kesehatan dalam negeri dan
peneliti dalam pemenuhan persyaratan dokumen pendaftaran izin edar produk
alat kesehatan hasil riset.
5. Mengupayakan pembinaan terhadap usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM)
di bidang alat kesehatan untuk memberikan pengetahuan dalam
mempertahankan dan meningkatkan mutu produk.
6. Melaksanakan pertemuan koordinasi lintas sektor dalam rangka pengembangan
alat kesehatan dalam negeri berbasis riset.

Untuk Indikator Jumlah bahan baku sediaan farmasi yang siap diproduksi di dalam negeri,
dan jumlah alat kesehatan yang diproduksi di dalam negeri (kumulatif), efisiensi
penggunaan sumber daya dapat tercapai dengan terwujudnya efisiensi anggaran terhadap
capaian kinerja, karena capaian kinerja sebesar 111,11% dapat terwujud dengan 90,27%
penyerapan anggaran untuk target bahan baku sediaan farmasi dan capaian kinerja sebesar
100,00% dapat terwujud dengan 98,28% penyerapan anggaran untuk target alat kesehatan.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 144


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Grafik 3.50
Analisis atas Efisiensi Penggunaan Sumber Daya Terhadap Capaian Indikator Kinerja
Program Jumlah Bahan Baku Sediaan Farmasi yang Siap Diproduksi di Dalam Negeri,
dan Jumlah Alat Kesehatan yang Diproduksi di Dalam Negeri (kumulatif) Tahun 2019

c. Persentase produk alat kesehatan dan PKRT di peredaran yang memenuhi syarat
Kementerian Kesehatan memiliki tanggung jawab untuk melakukan pengendalian pasca
pemasaran (post-market) untuk memastikan bahwa alat kesehatan dan PKRT yang telah
memiliki ijin edar dapat terus menerus memenuhi persyaratan keamanan, mutu,
manfaat, dan penandaan yang telah disetujui. Kegiatan yang dilakukan adalah dengan
melakukan sampling produk alat kesehatan dan PKRT. Kegiatan sampling dilakukan
dalam rangka pembinaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap keamanan, mutu,
dan manfaat alat kesehatan dan PKRT yang beredar di Indonesia. Indikator ini bertujuan
untuk mengetahui tingkat keamanan mutu alat kesehatan dan PKRT yang beredar.
Indikator ini akan dianggap semakin baik bila realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari
yang ditargetkan.

Persentase produk alat kesehatan dan PKRT di peredaran yang memenuhi syarat dihitung
dengan formulasi sebagai berikut:

Jumlah sampel alat kesehatan dan PKRT yang diuji dan memenuhi
X
syarat
100%
Jumlah sampel alat kesehatan dan PKRT yang diuji

Kementerian Kesehatan melakukan upaya pengendalian post-market untuk memastikan


bahwa alat kesehatan dan PKRT yang telah diberikan izin edar tersebut, secara terus
menerus sesuai dengan persyaratan keamanan, mutu, manfaat dan penandaan yang
telah disetujui.

Upaya kerjasama lintas sektor dilakukan secara berkesinambungan untuk memperkuat


pengawasan produk alat kesehatan dan PKRT. Selain itu juga dilakukan pengawasan post
border terhadap alat kesehatan dan PKRT serta peningkatan kompetensi sumber daya
manusia di Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota. Salah satu kegiatan pengendalian
post-market dilakukan melalui sampling produk alat kesehatan dan PKRT. Sampling alat
kesehatan dan PKRT merupakan kegiatan dalam rangka pembinaan, pengendalian dan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 145


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

pengawasan terhadap keamanan, mutu dan manfaat alat kesehatan dan PKRT yang telah
beredar di wilayah Indonesia.

Salah satu kegiatan pengendalian post-market dilakukan melalui sampling produk alat
kesehatan dan PKRT. Sampling alat kesehatan dan PKRT merupakan kegiatan dalam
rangka pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap keamanan, mutu dan
manfaat alat kesehatan dan PKRT yang telah beredar di wilayah Indonesia.
Indikator persentase produk alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga
(PKRT) di peredaran yang memenuhi syarat mengalami perubahan target capaian
indikator pada Revisi Renstra tahun 2017 sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia HK.01.07/Menkes/422/2017 yang mulai berlaku pada 29 Agustus
2017. Target dan capaian indikator produk alat kesehatan dan perbekalan kesehatan
rumah tangga (PKRT) di peredaran yang memenuhi syarat sebelum revisi adalah sebagai
berikut:

Grafik 3.51
Target dan Realisasi Indikator Persentase Produk Alat Kesehatan dan Perbekalan
Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) di Peredaran yang Memenuhi Syarat Tahun 2015-
2019

Pada tahun 2019 dilakukan pengambilan sampel alat kesehatan dan PKRT di 34 provinsi
dan pengujian sampel dilakukan di beberapa laboratorium yaitu di Pusat Pemeriksaaan
Obat dan Makanan Nasional (PPOMN-BPOM), Laboratorium Balai Besar Pemeriksaan
Obat dan Makanan (BBPOM) Provinsi DKI Jakarta, Balai Pengujian Mutu Produk Tanaman
Kementerian Pertanian, IPB Culture Collection Departemen Biologi Fakultas Matematika
dan IPA, Unit Layanan Pengujian Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, Balai
Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK), PT Sucofindo.

Produk yang disampling adalah produk yang berdasarkan analisa risiko, produk yang
banyak dipakai oleh tenaga kesehatan dan masyarakat, produk yang banyak beredar dan
memiliki dampak yang cukup luas pada masyarakat, produk yang memiliki riwayat Tidak
Memenuhi Syarat (TMS) dan produk program pemerintah.
Jumlah sampel alat kesehatan yang memenuhi syarat terhadap parameter uji yang telah
ditetapkan sebanyak 1.042 sampel dari 1.153 sampel yang telah memiliki sertifikat hasil
uji. Sampel PKRT yang memenuhi syarat terhadap parameter uji sejumlah 778 sampel

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 146


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

dari 854 sampel yang telah memiliki sertifikat hasil uji. Total sampel yang memenuhi
syarat 1.920 dari total sampel sejumlah 2.007 sehingga realisasi indikator kinerja sebesar
95,67%.
Bila dilakukan perbandingan antara capaian tahun 2019 dengan target akhir tahun
Renstra 2015-2019, capaian indikator dimaksud lebih tinggi sebesar 5,67% dengan
persentase capaian sebesar 106,30%. Hal ini menunjukkan telah tercapai target indikator
akhir tahun Renstra 2015-2019.

Upaya yang dilakukan untuk mencapai target tersebut antara lain melakukan analisis dan
evaluasi hasil uji sampling dan tindak lanjut pengawasan produk alat kesehatan dan PKRT
yang bertujuan sebagai post market control. Selain itu juga dilakukan pengawasan post
market di peredaran untuk memastikan alat kesehatan dan PKRT yang telah diberikan
persetujuan izin edarnya tetap memenuhi persyaratan, keamanan, manfaat dan mutu.

Tabel 3.21
Target, Realisasi dan Capaian Indikator Persentase Produk Alat Kesehatan dan Perbekalan
Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) di Peredaran yang Memenuhi Syarat Tahun 2019

Indikator Kinerja Target 2019 Realisasi 2019 Capaian 2019

Persentase produk alat kesehatan dan 90% 95,67% 106,30 %


PKRT di peredaran yang memenuhi
syarat

Terdapat beberapa permasalahan yang dialami dalam pencapaian indikator kinerja kegiatan
persentase produk alat kesehatan dan PKRT yang memenuhi syarat yaitu:
1. Terbatasnya kapasitas dan kemampuan laboratorium uji untuk produk alat
kesehatan dan PKRT.
2. Hasil uji sampling alat kesehatan dan PKRT yang dilaksanakan oleh satker dekon
belum terakomodir sebagai bagian dari indikator persentase produk alat
kesehatan dan PKRT di peredaran yang memenuhi syarat.

Upaya pemecahan masalah terhadap kendala yang dialami adalah sebagai berikut:
1. Menetapkan prioritas sampling produk alat kesehatan dan PKRT untuk
pelaksanaan sampling pusat dan dana Dekonsentrasi tahun 2020 sesuai
kemampuan dan kapasitas laboratorium uji.
2. Hasil uji sampling alat kesehatan dan PKRT yang dilaksanakan oleh satker
Dekonsentrasi akan diakomodir sebagai bagian dari indikator persentase produk
alat kesehatan dan PKRT di peredaran yang memenuhi syarat di tahun 2020.

Capaian kinerja dari indikator kinerja program kefarmasian dan alat kesehatan didukung
dengan beberapa kegiatan lainnya dengan indikator kinerja sebagai berikut:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 147


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

1) Persentase Puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar.


2) Persentase rumah sakit yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar.
3) Persentase kabupaten/kota yang menerapkan penggunaan obat rasional di
Puskesmas.
4) Persentase instalasi farmasi kabupaten/kota yang melakukan manajemen pengelolaan
obat dan vaksin sesuai standar.
5) Persentase instalasi farmasi provinsi dan kabupaten/kota yang menerapkan aplikasi
logistik obat dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP).
6) Persentase penilaian pre-market alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah
tangga (PKRT) yang diselesaikan tepat waktu sesuai Good Review Practices.
7) Persentase sarana produksi alat kesehatan dan PKRT yang memenuhi cara pembuatan
yang baik (GMP/CPAKB).
8) Jumlah industri sediaan farmasi yang bertransformasi dari industri formulasi menjadi
industri berbasis riset (kumulatif).
9) Persentase layanan izin industri sediaan farmasi yang diselesaikan tepat waktu.
10) Persentase layanan dukungan manajemen yang diselesaikan tepat waktu.

Untuk indikator persentase produk alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga
(PKRT) di peredaran yang memenuhi syarat, efisiensi penggunaan sumber daya dapat
tercapai dengan terwujudnya efisiensi anggaran terhadap capaian kinerja, karena capaian
kinerja sebesar 106,30% dapat terwujud dengan 94,04% penyerapan anggaran.

Grafik 3.52
Analisis atas Efisiensi Penggunaan Sumber Daya Terhadap Capaian Indikator Kinerja
Program Persentase Produk Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga
(PKRT) di Peredaran yang Memenuhi Syarat Tahun 2019

106,30%

94,04%

Capaian Kinerja Realisasi Anggaran

Efisensi Sasaran Strategis Meningkatnya Akses, Kemandirian, dan Mutu Sediaan Farmasi
dan Alat Kesehatan:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 148


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Tabel 3.22
Analisis Efisiensi Indikator Meningkatnya Akses, Kemandirian dan Mutu Sediaan
Farmasi dan Alkes

Sasaran Strategis Alokasi Realisasi %Realisasi %Realisasi Efiensi


Anggaran Kinerja
Meningkatnya 2.589.141.358.000 1.734.683.461.528 67,00 104,43% +37,43
Akses,
Kemandirian, dan
Mutu Sediaan
Farmasi dan Alat
Kesehatan

5) Sasaran Strategis 5: Meningkatnya Jumlah, Jenis, Kualitas, dan Pemerataan Tenaga


Kesehatan

Tenaga kesehatan memiliki peran penting dalam rangka terselenggaranya pelayanan


kesehatan masyarakat. Pemerintah terus mengupayakan pemenuhan dan pemerataan
tenaga kesehatan guna memenuhi harapan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang
bermutu.

Dalam kaitan dengan Sasaran Strategis ini, Kementerian Kesehatan mengidentifikasi tiga
Indikator Kinerja Utama (IKU) dengan hasil capaiannya sebagaimana tergambar dalam tabel
berikut:

Tabel 3.23
Capaian IKU pada Sasaran Strategis 5:
Meningkatnya Jumlah, Jenis, Kualitas, dan Pemerataan Tenaga Kesehatan

SS5: Meningkatnya Jumlah, Jenis, Kualitas, dan Pemerataan Tenaga Kesehatan

Indikator Kinerja Target Realisasi % Realisasi


5a. Jumlah Puskesmas yang minimal memiliki 5 jenis 5.600 4.485 80,08%
tenaga kesehatan
5b. Persentase RS kabupaten/kota kelas C yang 60% 62% 103,33%
memiliki 4 dokter spesialis dasar dan 3 dokter
spesialis penunjang
5c. Jumlah SDM Kesehatan yang ditingkatkan 56.910 110.120 193,49%
kompetensinya

Uraian tentang ketiga IKU tersebut adalah sebagai berikut:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 149


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

a. Jumlah Puskesmas yang minimal memiliki 5 jenis tenaga kesehatan

Indikator ini merupakan capaian indikator program prioritas Nasional yang tertuang dalam
target indikator RPJMN 2015-2019, selain itu IKU kesatu ini juga merupakan indikator yang
mendukung tercapainya program Renstra Kemenkes 2015-2019 dalam mewujudkan
Program Indonesia Sehat dan GERMAS. Melalui IKU kesatu ini akan diperoleh gambaran
terpenuhinya tenaga kesehatan khususnya tenaga kesehatan promotif dan preventif dalam
rangka memperkuat pelayanan kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan di Puskesmas,
keberhasilan puskesmas dalam menjalankan program ditentukan oleh tenaga kesehatan
dimana Puskesmas bukan saja menjadi gate keeper untuk rujukan tetapi juga membina
masyarakat umum untuk mempunyai kemampuan untuk hidup sehat. Disamping itu
Puskesmas juga sebagai fasilitas kesehatan primer yang merupakan soko guru dari
pelayanan kesehatan.

Definsi Operasional IKU Kesatu :


Jumlah puskesmas yang telah memiliki tenaga sesuai standar ketenagaan berdasarkan PMK
75 tahun 2014 terutama untuk 5 jenis tenaga kesehatan promotif dan preventif yakni
tenaga kesehatan lingkungan, tenaga kefarmasian, tenaga gizi, tenaga kesehatan
masyarakat, dan tenaga ahli teknologi laboratorium medik (ATLM).

Tahun 2019 merupakan tahun berakhirnya pelaksanaan periode RPJMN 2015-2019,


berdasarkan tabel di atas dapat dijabarkan hasil evaluasi tahun 2019 capaian IKU kesatu
yang sudah tercapai 80,08% atau tercapai 4.485 Puskesmas dari target 5.600 Puskesmas
dengan ketersediaan tenaga sesuai standar.

Apabila capaian indikator ini sebanyak 4.485 (80,08%) dibandingkan dengan absolut target
indikator tahun 2019 (5.600), memang capaian angka indikator ini belum optimal tercapai
100%. Namun, bila mengacu Permenpan 53 tahun 2014 disebutkan bahwa analisa
pengukuran kinerja dapat menggunakan standar Nasional dalam rangka memudahkan
penilaian tingkat keberhasilan pelaksanaan program/kegiatan dan mengacu standar Permen
PPN/Kepala Bappenas RI No 1 thn 2017 maka capaian Program PPSDM Kesehatan untuk
IKU kesatu ini tidak dapat dikatakan tidak tercapai akan tetapi belum tercapai optimal
dikarenakan capaiannya dalam katagori range < 95% dan ≥ 75% atau status capaian
KUNING. Badan PPSDM Kesehatan telah melakukan evaluasi terhadap indikator kinerja
utamanya yang belum tercapai ini, dengan memperhitungkan target yang akan diukur di
tahun 2020.

Berikut grafik target dan capaian IKU kesatu yakni Jumlah Puskesmas Yang Minimal Memiliki
5 Jenis Tenaga Kesehatan tahun 2015-2019:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 150


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Grafik 3.53
Sandingan Target Dan Capaian IKU Kesatu
Jumlah Puskesmas Yang Minimal Memiliki 5 Jenis Tenaga Kesehatan

Jika capaian tahun 2019 : 80,08% dibandingkan dengan capaian indikator pada tahun
sebelumnya 2018 : 95,93% maka persentase capaian indikator ini di tahun 2019 mengalami
penurunan sebanyak 15,85%. Namun, jika diakumulasi dari angka absolut capaian terdapat
kenaikan capaian per tahun-nya yakni pada capaian tahun 2019 sebesar 4.485 puskesmas
dibandingkan dengan capaian tahun 2018 sebanyak 4.029 puskesmas, terdapat kenaikan
sebanyak : 456 puskesmas telah terpenuhi ketersediaan tenaga kesehatan sesuai standard.
Berikut gambaran akumulasi kenaikan capaian:

Tabel 3.24
Akumulasi capaian IKU Kesatu Tahun 2015-2019
Akumulasi
Akumulasi 2015-2016 2016-2017 2017-2018 2018-2019
Target
Kenaikan target per 800 1.000 1200 1400 4.400
tahun
Kenaikan capaian 439 1.023 1.388 456 3.306
per tahun
Selisih akumulasi target dan akumulasi capaian 1.094

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 151


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Selama 5 (lima) tahun Badan PPSDM kesehatan telah berupaya keras dalam mewujudkan
tercapaianya target indikator yang telah ditetapkan yakni sebanyak 4.485 puskesmas telah
terpenuhi ketersediaan tenaga kesehatan sesuai standar. Namun pencapaian IKU kesatu ini
sangat ditentukan komitmen dan peranan daerah. Dalam upaya tercapainya pemenuhan
1.094 tenaga kesehatan yang belum terpenuhi melalui IKU kesatu ini, Badan PPSDM
Kesehatan telah menetapkan arah kebijakannya dan merumuskan program-programnya
melalui Pemenuhan dan Peningkatan Kompetensi Tenaga Kesehatan melalui IKU kesatu di
Tahun 2020.

Jika target capaian pada tahun 2020 sebesar 35% ini dikalikan dengan jumlah puskesmas
tahun 2019 sebanyak 10.104 puskesmas, maka ada sebanyak 3.536 puskesmas harus
terpenuhi ketersediaan tenaga kesehatan sesuai standard di tahun 2020. Artinya pada lima
tahun ke depan Badan PPSDM harus lebih progresif sebagai unit pendukung yang siap untuk
menjadi salah satu faktor yang menentukan keberhasilan program-program pembangunan
kesehatan.

Angka capaian IKU kesatu ini diperoleh melalui proses pemutakhiran data PPSDM Kesehatan
di Provinsi, Kabupaten/Kota melalui dana dekonsentrasi. Penghitungan dan pengolahan
data eksisting SDM Kesehatan sebelumnya dilakukan pemutakhiran data tingkat Provinsi
dan Kabupaten/Kota, dimana data diinput oleh pengelola data dan informasi Provinsi,
Kabupaten/Kota melalui aplikasi Sistem Informasi Sumber Daya Manusia Kesehatan (SI
SDMK). Data dan informasi tersebut kemudian di finalisasi pada pertemuan pengelola data
PPSDMK daerah dan institusi secara Nasional. Berikut adalah tahapan dihasilkannya data
eksisting SDM Kesehatan :
1) Pertemuan Pengelola data PPSDMK Daerah dan institusi
2) Fasilitasi Pemetaan SDMK
3) Penyusunan Pedoman Pengelolaan datin PPSDM Kesehatan
4) Penyusunan dokumen deskripsi
5) Rapat koordinasi dan konsultasi data dan informasi
Gambar 3.39
Supporting Aplikasi Sistem Informasi Sumber Daya Manusia Kesehatan (SI SDMK)
Terhadap Proses Hitung Capaian IKU Program PPSDMK

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 152


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Landasan IKU kesatu menjadi salah satu indikator kinerja utama program PPSDM Kesehatan,
dilatarbelakangi IKU kesatu adalah gambaran terpenuhi dan pemerataan tenaga kesehatan
yang akan melakukan pelayanan promotive dan preventif di Puskesmas di seluruh Indonesia.
Sebagaimana diketahui Puskesmas merupakan fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat
pertama yang mengutamakan upaya promotif dan preventif untuk mencapai derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.

Oleh karena itu, peranan Puskesmas sangatlah strategis dikarenakan fungsinya sebagai gate
keeper penyedia pelayanan kesehatan yang melakukan kontak pertama melayani kesehatan
di masyarakat, sehingga untuk keberhasilan program kesehatan di Puskesmas tersebut
ketersediaan jenis tenaga kesehatan di Puskesmas khususnya 5 (lima) jenis tenaga
kesehatan promotif dan preventif yang memadai sangat dibutuhkan. Lima jenis tenaga
kesehatan yang dbutuhkan ini adalah :
1) tenaga kesehatan lingkungan,
2) tenaga kefarmasian,
3) tenaga gizi,
4) tenaga kesehatan masyarakat dan
5) tenaga ahli teknologi laboratorium medik (ATLM) di Puskesmas

Berbagai studi menunjukkan bahwa tenaga kesehatan merupakan kunci utama dalam
keberhasilan pencapaian tujuan pembangunan kesehatan. Tenaga kesehatan memberikan
kontribusi hingga 80% dalam keberhasilan pembangunan kesehatan. Kondisi tenaga
kesehatan di Indonesia sebenarnya terus membaik dalam jumlah, kualitas dan
penyebarannya, namun masih belum mampu memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di
seluruh wilayah terutama pada daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan.

Guna mengatasi permasalahan tersebut, upaya program pengembangan dan pemberdayaan


sumber daya manusia kesehatan perlu melibatkan semua komponen bangsa dalam
mengatasi permasalahan tersebut.

Kondisi distribusi ketenagaan yang kurang merata tersebut ditambah dengan adanya Sistem
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang membutuhkan upaya peningkatan akses dan mutu
pelayanan kesehatan, baik pada fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun fasilitas
kesehatan tingkat lanjutan, serta perbaikan sistem rujukan pelayanan kesehatan. Dengan
sistem JKN beban kerja tenaga kesehatan semakin meningkat dengan meningkatnya
demand masyarakat terhadap layanan kesehatan, karena akses terhadap layanan yang
makin baik. Masyarakat yang tadinya tidak bisa berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan
(fasyankes) karena keterbatasan biaya dengan adanya JKN menjadi bisa mengakses layanan.
Harapannya melalui sistem JKN ini adalah beban rumah sakit akan berkurang, artinya
sebagian besar pelayanan kesehatan diharapkan dapat diselesaikan di tingkat primer
melalui pemenuhan SDM Kesehatan dan non Kesehatan baik ketersediaan tenaga promotif
dan preventif. Adapun rincian per jenis tenaga sesuai dengan pengelompokkan dalam

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 153


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Undang Undang Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, dapat dilihat pada tabel
berikut :
Tabel 3.25.
Jenis Rumpun Tenaga Kesehatan
No Rumpun Ketenagaan Jumlah
1 Medis 133.151
2 Psikologi Klinis 973
3 Keperawatan 410.930
4 Kebidanan 237.324
5 Kefarmasian 68.279
6 Kesehatan Masyarakat 29.241
7 Kesehatan Lingkungan 17.942
8 Gizi 25.229
9 Keterapian Fisik 8.105
10 Keteknisian Medis 30.436
11 Teknik Biomedika 47.473
12 Tenaga Kesehatan Tradisional 892
13 Tenaga Penunjang Kesehatan 355.094
TOTAL 1.365.252
Sumber :Pemetaan Data SI DMK, Desember 2019
Hasil pemetaan data Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan, mengacu standar Permenkes
75 tahun 2014 sebanyak 1.365.252 jumlah SDM Kesehatan yang tersedia di fasilitas
pelayananan kesehatan. Dan sebagian besar dari tenaga kesehatan tersebut bekerja di
10.104 puskesmas yang terdiri dari tenaga promotif dan preventif yang tersedia dan
tersebar di seluruh puskesmas di Indonesia. Penentuan lima jenis tenaga kesehatan ini
berdasarkan kebutuhan jenis tenaga yang dibutuhkan di Puskesmas dalam menjalankan
pelayanan promotif dan preventif, diharapkan melalui IKU kesatu ini jumlah dan jenis tenaga
kesehatan promotif dan preventif dapat tersedia dan tersebar lebih merata di Puskesmas
seluruh Indonesia.

Standar puskesmas yang minimal memiliki lima jenis tenaga kesehatan ini mengacu
Peraturan Menteri Kesehatan nomor 75 tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat,
pada pasal 16 disebutkan bahwa sumber daya manusia Puskesmas terdiri dari tenaga
kesehatan dan non kesehatan. Tenaga kesehatan yang dimaksud Permenkes tersebut
minimal terdiri atas :
a. dokter atau dokter layanan primer;
b. dokter gigi;
c. perawat;
d. bidan;
e. tenaga kesehatan masyarakat;
f. tenaga kesehatan lingkungan;
g. ahli teknologi laboratorium medik;
h. tenaga gizi; dan
i. tenaga kefarmasian.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 154
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Sebagaimana diketahui, desentralisasi telah mengakibatkan perubahan-perubahan


mendasar dalam pelayanan kesehatan baik pada tingkat nasional, provinsi dan
kabupaten/kota, sedangkan dalam UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
disebutkan bahwa urusan kesehatan merupakan urusan pemerintahan konkuren yang
dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota), serta merupakan
urusan pemerintah yang wajib karena bersifat pelayanan dasar. Terkait SDM Kesehatan,
dalam lampiran UU nomor 23 tahun 2014 juga disebutkan bahwa Pemerintah Daerah
Provinsi dan Kabupaten/Kota wajib melakukan perencanaan dan pengembangan SDM
Kesehatan untuk UKM dan UKP daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pembagian urusan
SDM Kesehatan ini juga dipertegas dalam Undang Undang nomor 36 tahun 2014 tentang
Tenaga Kesehatan. Dalam Undang Undang tersebut, disebutkan bahwa Pemerintah Daerah
bersama dengan Pemerintah Pusat bertanggung jawab terhadap:
(a) pengaturan, pembinaan, pengawasan, dan peningkatan mutu Tenaga Kesehatan,
(b) perencanaan, pengadaan, dan pendayagunaan Tenaga Kesehatan sesuai dengan
kebutuhan; dan
(c) pelindungan kepada Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik. Pada pasal 13,
disebut bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memenuhi kebutuhan Tenaga
Kesehatan, baik dalam jumlah, jenis, maupun dalam kompetensi secara merata untuk
menjamin keberlangsungan pembangunan kesehatan.

Kemudian pada pasal 13, disebut bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
memenuhi kebutuhan Tenaga Kesehatan, baik dalam jumlah, jenis, maupun dalam
kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan pembangunan kesehatan.
Dengan demikian, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus bekerja secara
sinergis melaksanakan pembangunan kesehatan yang terencana, terpadu dan
berkesinambungan dalam upaya mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya. Ketidaktercapaian target IKU kesatu pada tahun 2019 ini dipengaruhi oleh
beberapa kendala dalam pelaksanaan kegiatan, diantaranya :
1) Upaya pemenuhan dan pemerataan tenaga kesehatan selama ini masih merupakan
kontribusi dan peran dari Pemerintah Pusat, sedangkan secara konkuren dalam UU no
23 tahun 2014 seharusnya sudah dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Dengan
keterbatasan kewenangan dari regulasi yang ada tersebut pemerintah pusat hanya
dapat mengisi tenaga kesehatan untuk Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan
(DTPK) saja, sedangkan untuk lokus daerah biasa dan pedesaan banyak yang masih
belum terpenuhi tenaga kesehatannya.
2) Badan PPSDM Kesehatan telah melakukan beberapa upaya untuk mengundang
pemerintah daerah untuk turut aktif lebih berperan dalam pemenuhan tenaga
kesehatan, khususnya di Puskesmas. Namun keberhasilan upaya ini kurang optimal,
disebabkan kurangnya komitmen dari Pemerintah Daerah khususnya dalam komitmen
pemenuhan ketersediaannya fasilitas sarana dan prasarana di daerah untuk
penempatan tenaga kesehatan di lokus yang telah ditetapkan.
3) Masih lemahnya penguatan Norma Standard Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang
mengatur tentang pemenuhan tenaga Kesehatan Strategis di Kabupaten/ Kota.
Sehingga belum semua daerah mempunyai Rencana Aksi Daerah (RAD) untuk

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 155


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

pemenuhan tenaga kesehatan di daerahnya, walaupun ada sebagian daerah sudah


melakukan.
4) Regulasi penguatan SI SDMK yang masih kurang, sehingga hasil pemetaan SDM
Kesehatan di puskesmas yang belum terpenuhi belum menjadi dasar dalam usulan
formasi kebutuhan tenaga kesehatan daerah. Selain itu tingginya aspek politis (banyak
intervensi kepentingan) terkait fomasi tenaga kesehatan di daerah, sehingga usulan
formasi kebutuhan tenaga kesehatan daerah tidak sesuai dengan perencanaan
kebutuhan.
5) Kurang kondusifnya kondisi keamanan di daerah timur Indonesia, mengakibatkan
minat dari tenaga kesehatan yang akan mengikuti program penempatan tenaga
kesehatan menjadi berkurang. Hal ini berakibat beberapa lokus di daerah timur
Indonesia tidak dapat terisi sebagaimana yang telah direncanakan. Beberapa jenis
tenaga kesehatan untuk mengikuti program yang masih kurang terutama dokter dan
dokter gigi termasuk tenaga kesling, tenaga ahli teknologi laboratorium medik (ATLM)
dan tenaga gizi;

Untuk mengatasi kendala tersebut, telah dilakukan berbagai upaya tindak lanjut, seperti:
1) Badan PPSDM Kesehatan mengupayakan peningkatan peran serta pemerintah daerah
dalam pemenuhan tenaga kesehatan, khususnya di Puskesmas dengan memberikan
kesempatan kepada daerah untuk mengusulkan daerah atau lokus yang menjadi
prioritas penempatan tenaga kesehatan.
2) Untuk meningkatkan komitmen Pemerintah daerah perlu dilakukan sosialisasi dan
advokasi regulasi yang ada dan regulasi yang akan diterbitkan. Selain itu, setiap daerah
yang mengusulkan lokus pemenuhan tenaga kesehatan wajib menyertakan data
dukung terkait fasilitas sarana dan prasarana yang disediakan oleh pemerintah daerah
terhadap tenaga kesehatan yang akan ditempatkan di daerahnya
3) Perlu diterbitkannya regulasi baru yang mewajibkan Pemerintah Daerah memenuhi
kebutuhan tenaga kesehatan untuk Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) atau
puskesmas. Serta diperlukan upaya lebih progresif untuk menjadikan syarat
pemenuhan tenaga kesehatan dalam SPM, hal ini upaya yang telah dilakukan belum
ada realisasi dimana masih adanya anggapan tenaga kesehatan tidak termasuk dalam
pelayanan kesehatan.
4) Perlu diterbitkannya regulasi untuk penguatan SISDMK, selama ini penguatan SI SDMK
telah dilakukan dengan melakukan pemantauan data dan verifikasi data di setiap
provinsi.
5) Mendorong percepatan keluarnya regulasi yang mendukung penempatan tenaga
kesehatan diluar DTPK dan daerah konflik.

Pada tahapan ke-4 RPJMN 2020-2024 yang strategis, beberapa upaya program inovasi untuk
mengatasi permasalahan tersebut seperti:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 156


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

1. Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan/ Nusantara Sehat Berbasis Tim (Team Based) dan
Individu.
Program ini bertujuan memperkuat pelayanan kesehatan primer untuk mewujudkan Indonesia
Sehat melalui peningkatan jumlah, distribusi, komposisi, dan mutu tenaga kesehatan. Mengacu
pada evaluasi permasalahan pada tahun sebelumnya, pada tahun 2020 program ini akan
mengembangkan model baru diantaranya penugasan dengan masa tugas 1 tahun dan
mekanisme seleksi dengan pilih minat/ formasi pra seleksi dengan fokus penempatan
tenaga kesehatan mengacu pada target tahun 2020 dari IKU program PPSDM Kesehatan.

Pada tahun 2019, jumlah tenaga kesehatan yang ditempatkan melalui tim Nusantara Sehat
sebanyak 173 tim atau sebanyak 990 orang. Sedangkan penempatan tenaga kesehatan
dalam rangka penugasan khusus individu di fasilitas pelayanan kesehatan adalah sebanyak
3.574 orang.
Gambar 3.40
Pembekalan Nusantara Sehat

Jumlah tenaga kesehatan untuk penugasan tenaga kesehatan secara team based (Nusantara
Sehat) minimal 5 orang dengan jenis tenaga kesehatan adalah dokter, dokter gigi, perawat,
bidan, tenaga kefarmasian, tenaga kesmas, tenaga kesling, tenaga gizi, dan tenaga teknis
laboratorium) yang mengikuti penugasan khusus berbasis tim (Tim Nusantara Sehat).
Sedangkan jenis tenaga kesehatan untuk penugasan khusus secara individu adalah tenaga
kesehatan (dokter, dokter gigi, perawat, bidan, tenaga kefarmasian, tenaga kesmas, tenaga
kesling, tenaga gizi, dan tenaga teknis laboratorium).

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 157


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Selama tahun 2015 – 2019 melalui program Nusantara Sehat Team (NST) sudah sebanyak
4.370 tenaga kesehatan yang ditempatkan di 29 Provinsi, 190 Kabupaten dan 589
Puskesmas. Berikut talel penempatan NST per tahun :

Tabel 3.26
Penempatan Nusantara Sehat Tim 2015-2019
URAIAN TAHUN TOTAL
2015 2016 2017 2018 2019
PESERTA 694 728 1064 894 990 4370
PUSKESMAS 120 131 188 156 173 589
KABUPATEN 65 73 106 86 77 190
PROVINSI 15 26 25 24 20 29

Adapun program penugasan khusus individu dimulai dari tahun 2017 – 2018 sudah di
tempatkan 7.571 tenaga kesehatan di 30 Provinsi, 277 Kabupaten dan 2.196 Puskesmas.
Berikut tabel penempatan NSI per tahun :

Tabel 3.27
Penempatan Nusantara Sehat Individu 2017-2019
URAIAN TAHUN TOTAL
2017 2018 2019
PESERTA 1663 2334 3574 7571
PUSKESMAS 871 1160 1500 2196
KABUPATEN 161 150 214 277
PROVINSI 28 28 30 30

Gambar 3.41
Pelatihan Nusantara Sehat Individu

Beberapa permasalahan pada pelaksanaan program penugasan khusus tenaga kesehatan,


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 158
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

yang terjadi dalam rentang waktu tahun 2019 untuk antara lain :
a. Keterbatasan kewenangan pemerintah pusat yang hanya dapat mengisi lokus di daerah
DTPK saja, sehingga upaya pemenuhan tenaga kesehatan di fasyankes menjadi tidak
maksimal.
b. Lokus Nusantara Sehat Individu (NSI) tidak diminati/tidak dipilih peserta. Minat
beberapa jenis tenaga kesehatan untuk mengikuti penugasan khusus tenaga kesehatan
(tim dan individu) masih kurang terutama dokter dan dokter gigi termasuk tenaga
kesling, tenaga ahli teknologi laboratorium medik (ATLM) dan tenaga gizi;
c. Penyampaian calon lokus dari Unit Eselon 2 yang lain (Dit. Yankes Primer) melewati
batas waktu yang ditetapkan, sehingga beberapa lokus tidak dapat diakomodir pada
saat seleksi nakes Nusantara Sehat.
d. Tingkat ketidakhadiran peserta Nusantara Sehat Tim yang dipanggil saat pembekalan
lebih dari 7%.

Upaya yang dilakukan Kementerian Kesehatan dalam mengatasi permasalahan tersebut


adalah sebagai berikut :
a. Menerbitkan PMK nomor 33 tahun 2018 tentang Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan
dalam Mendukung Program Nusantara Sehat, membuka peluang penempatan tenaga
kesehatan di daerah yang bukan DTPK.
b. Melakukan sosialisasi tentang Nusantara Sehat ke Mahasiswa Fakultas Kedokteran,
Kedokteran Gigi, Jurusan Teknik Laboratorium Medik, Kefarmasian, Kesehatan
Lingkungan, Gizi, Perwakilan Lintas sektor dan dokter pasca internsip.
c. Memanggil peserta pembekalan dengan metode “blind” sambil menunggu penentuan
lokus NST dari Dit. Yankes Primer.
d. Dilaksanakan penambahan kuota pada saat pemanggilan peserta.

2. Menerbitkan Norma Standar Prosedur dan Kriteria (NSPK) Yang Mengatur Tentang
Pemenuhan Kebutuhan Tenaga Kesehatan Di Daerah

Perlunya regulasi khusus pemenuhan tenaga kesehatan di Kabupaten/Kota, dimana


diwajibkan masing-masing daerah untuk menyusun rencana Aksi Daerah (RAD) dalam
rangka pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan di FKTP di daerahnya. Perlu dipikirkan pula
upaya penguatan program Nusantara Sehat untuk meningkatkan motivasi tenaga kesehatan
strategis misalnya dukungan peraturan kepegawaian yang memberikan jaminan karier bagi
para tenaga kesehatan yang telah bersedia ditempatkan khususnya di DTPK.

Membuat regulasi yang memungkinkan daerah dapat memenuhi kebutuhan tenaga


kesehatan sesuai standar di daerahnya, dengan skema penugasan khusus individu yang ada.
Selain itu diperlukan sosialisasi dan advokasi regulasi yang ada ke Pemerintah Daerah dalam
rangka mempercepat penugasan khusus oleh daerah.

3. Penguatan Regulasi SI SDMK


Membuat regulasi yang menghubungkan updating SI SDMK dengan usulan formasi
kebutuhan tenaga kesehatan daerah.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 159


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Informasi SDM Kesehatan Indonesia yang dimuat dalam web


http://sisdmk.bppsdmk.kemkes.go.id/ merupakan output Sistem Informasi SDM Kesehatan.
Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota melakukan input data SDM Kesehatan di fasilitas
pelayanan kesehatan baik milik pemerintah maupun masyarakat (swasta) di wilayah
kabupaten/kota dan provinsi. Hasil input data SDM Kesehatan kemudian di integrasikan
dengan data dari berbagai sistem informasi di Unit Utama Kementerian Kesehatan, dan
stakeholder lintas program dan lintas sektor terkait. Data dan informasi yang disajikan
diharapkan bermanfaat bagi pengembangan dan pemberdayaan SDM Kesehatan dan
pembangunan kesehatan.

Disamping itu, upaya lainnya yang akan dilakukan pada tahun 2020 dalam rangka
memperkuat pemenuhan tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan adalah melalui
program :

Pendayagunaan lulusan Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan di seluruh


fasilitas pelayanan kesehatan.

Politeknik Kesehatan (Poltekkes Kemenkes) Kementerian Kesehatan yang merupakan Unit


Pelaksana Teknis (UPT) Badan PPSDM Kesehatan. Lulusan yang dihasilkan dari tahun 2015-
2019 dari 38 Poltekkes Kemenkes rata-rata secara keseluruhan kurang lebih sebanyak
22.000 tenaga kesehatan per tahunnya yang diproduksi dari berbagai jurusan dan program
studi yang ada.

Untuk tahun 2019, total jumlah lulusan tenaga kesehatan dari Politeknik Kesehatan
Kementerian Kesehatan adalah sebanyak 27.852 orang lulusan. Para lulusan Poltekkes
Kemenkes ini diharapkan siap didayagunakan di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan.
Keberhasilan pelaksanaan program pendayagunaan lulusan Politeknik Kesehatan
Kementerian. Kesehatan di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan ini diperlukan sinergi
semua pihak sehingga permasalahan Surat Tanda Registrasi (STR) dan Uji Kompetensi
(UKOM) bukan sebagai hambatan dalam percepatan pendayagunaan lulusan.
Beberapa hal strategis yang perlu diupayakan kedepan sebagai berikut:
1. Memasukkan unsur pemenuhan 5 (lima) jenis tenaga kesehatan promotif dan preventif
ke dalam 12 indikator Standar Pelayanan Minimal (SPM) Puskesmas di daerah, sehingga
secara otomatis akan menjadi masukan strategis bagi Kepala Daerah dalam penyusunan
RPJMN. Hal ini sekaligus mendorong daerah untuk menjalankan fungsinya dalam UU.
No. 23 tahun 2014 dalam pemenuhan 5 (lima) jenis tenaga kesehatan promotif dan
preventif di seluruh wilayah nusantara.
2. Advokasi ke Pemerintah Daerah untuk mendorong dalam pemenuhan kebutuhan
tenaga kesehatan dengan skema penugasan khusus dan mengusulkan formasi CPNS
tenaga kesehatan promotif dan preventif di Puskesmas.
3. Pemanfaatan dan pendayagunaan lulusan Poltekkes dalam pemenuhan tenaga
kesehatan tahun 2019, dalam bentuk program ikatan dinas untuk mengikuti program
Nusantara Sehat dengan jangka waktu 1-2 tahun setelah setelah menyelesaikan
pendidikan.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 160


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

b. Persentase RS Kabupaten/ kota kelas C yang memiliki 4 dokter spesialis


dasar dan 3 dokter spesialis penunjang

Sumber Daya Manusia Kesehatan di Rumah Sakit (RS) merupakan hal penting yang
mendukung berkembangnya rumah sakit dan menjadi tolak ukur penting dalam penilaian
pengembangan mutu pelayanan di rumah sakit, dengan dasar itulah indikator ini bertujuan
untuk meningkatkan ketersediaan dan mutu SDM Kesehatan di RS sesuai dengan standar
pelayanan kesehatan spesialistik.

Sebagaimana diketahui bahwa, pelayanan kesehatan merupakan salah satu hak asasi
manusia yang harus dipenuhi oleh Pemerintah sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 28H
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam rangka untuk
mendekatkan akses pelayanan kesehatan kepada masyarakat telah diterbitkan beberapa
kebijakan, seperti Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dan Undang-
undang Nomor 36 Tahun 2014, dimana Pemerintah mengatur penempatan tenaga
kesehatan untuk pemerataan pelayanan kesehatan dan bersama dengan pemerintah
daerah wajib memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan, baik dalam jumlah, jenis, maupun
dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan pembangunan
kesehatan.
Landasan perlunya IKU Kedua, berdasarkan pemenuhan pelayanan kesehatan di Indonesia
khususnya pelayanan spesialistik, memiliki dasar filosofis dan sosiologis untuk pemenuhan
kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan spesialistik, meningkatkan akses
masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas di seluruh Indonesia,
distribusi dokter spesialis tidak merata, keberadaan banyak di kota-kota besar, serta
keberadaaan dan ketersediaan dokter spesialis di rumah sakit kurang dari standar minimal
yang ditetapkan.

Definisi Operasional IKU Kedua: Persentase RS Kabupaten/ kota kelas C yang memiliki 4
dokter spesialis dasar dan 3 dokter spesialis penunjang.

Yang dimaksud empat dokter spesialis dasar adalah dokter spesialis obstetri dan ginekologi,
dokter spesialis anak, dokter spesialis penyakit dalam, dan dokter spesialis bedah,
sedangkan tiga dokter spesialis penunjang yaitu dokter spesialis radiologi, dokter spesialis
anastesi, dan dokter spesialis patologi klinik.

Capaian indikator Persentase RS Kabupaten/Kota kelas C yang memiliki 4 dokter spesialis


dasar dan 3 dokter spesialis penunjang pada tahun 2019 tercapai sebesar 103,33%, artinya
capaian IKU Kedua di tahun 2019 sudah On Track dengan kriteria notifikasi HIJAU.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 161


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Tabel 3.28
Sandingan Target, Capaian IKU Kedua
Persentase RS Kabupaten/Kota kelas C yang Memiliki 4 dokter spesialis dasar dan
3 dokter spesialis penunjang Tahun 2015 – 2019

Proses perhitungan angka capaian IKU kedua ini sama seperti IKU kesatu yakni melalui
proses pemutakhiran data Provinsi, Kabupaten/Kota dengan dekonsentrasi. Hasil
pengolahan data dan Informasi PPSDM Kesehatan di Provinsi dan Kabupaten kemudian
dilakukan pemutakhiran data Nasional.

Angka capaian diperoleh dari menghitung jumlah rumah sakit kabupaten/kota kelas C yang
terdata tahun 2019 adalah 350 rumah sakit. Dari total 350 rumah sakit kabupaten/kota
kelas C, yang telah memiliki empat dokter spesialis dasar dan tiga spesialis penunjang
sebanyak 216 rumah sakit atau tercapai sebanyak 62,00%.
Sehingga persentase capaian dibandingkan target (60%) adalah 103,33% RS Kabupaten/Kota
kelas C sudah memiliki dokter spesialis sesuai standar.

Berikut ilustrasi perhitungan:

Jumlah RS kabupaten/kota kelas C yang telah terpenuhi 4


dokter spesialis dasar dan 3 dokter spesialis penunjang
X 100%
Total jumlah RSUD kabupaten/kota kelas C

Perhitungan :
216 = 62,00%
350

Dibandingkan target tahun 2019 : 60%


62,00% = 103,33%
60%

Rincian kenaikan capaian tahun 2016 dan 2019 dapat dilihat pada tabel berikut :

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 162


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Tabel 3.29
Perbandingan Capaian Indikator Kedua Tahun 2016 – 2019

Tahun Tahun Tahun


NO Keterangan Tahun 2018
2016 2017 2019
Total Jumlah RSUD Kab/Kota Kelas
1 314 332 344 350
C
RS Kab/Kota Kelas C yang memiliki
2 4 Dokter spesialis dasar dan 3 142 180 212 216
dokter spesialis penunjang
3 Capaian 45,22 % 54,22 % 61,63% 62,00%
4 Target Indikator 35 % 40 % 50% 60%
Persentase Capaian dari Target 129,20
5 135,55 % 123,26% 103,33%
Indikator %

Dari tabel diatas dapat dijabarkan persentase capaian indikator kedua pada tahun
2019:103.33% mengalami penurunan sebesar 19,93% dibandingkan persentase capaian
tahun 2018 :123,26%. Sebaliknya apabila dihitung berdasarkan akumulasi angka absolut
capaian per tahunnya terdapat kenaikan capaian pada tahun 2019, dimana pada tahun
2019 terdapat penambahan jumlah RS tipe C sebanyak 6 RS, sedangkan jumlah RS tipe
C yang sudah memiliki 7 dokter spesialis dasar bertambah sebanyak 4 RS. Grafik
capaiannya dapat dilihat sebagai berikut:

Grafik 3.54
Sandingan Target Dan Capaian IKU Kedua
Persentase RS Kabupaten/Kota kelas C yang Memiliki 4 dokter spesialis dasar dan
3 dokter spesialis penunjang Tahun 2015 – 2019

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 163


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Walaupun secara persentase dan capaian IKU kedua sudah tercapai di tahun 2019,
namun masih terdapat 134 RS yang belum terpenuhi tenaga dokter spesialis sesuai
standard. Capaian IKU kedua ini salah satunya diperoleh melalui pelaksanaan program
pendayagunaan dokter spesialis (PPDGS) dan penugasan khusus residen. Dalam rangka
upaya pemenuhan memenuhi kebutuhan pelayanan spesialisasi di daerah dan
meningkatkan akses masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan spesialistik,
Kementerian Kesehatan telah menetapkan arah kebijakan dan merumuskan program-
programnya di tahun 2020 terhadap indikator ini yang dituangkan dalam Perjanjian
Kinerja tahun 2020 dengan target 70%.

Proyeksi capaian IKU kedua ini jika dibandingkan dengan target tahun 2020 : 70%, maka
indikator ini baru tercapai sebesar 88,57%. Artinya pada lima tahun ke depan
Kementerian Kesehatan perlu memikirkan langkah yang progresif dan strategis dalam
rangka keberhasilan program-program pembangunan kesehatan melalui pencapaian
indikatornya.

Sebagaimana ditetapkan dalam Permenkes Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan
Perizinan Rumah Sakit, bahwa rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

Rumah sakit merupakan fasilitas kesehatan rujukan utama bagi masyarakat yang ingin
memperoleh pelayanan kesehatan baik untuk pengobatan maupun untuk pemulihan
kesehatannya, apalagi perkembangan dunia kesehatan pada umumnya sudah banyak
mengalami perubahan, terutama sejak adanya undang-undang kesehatan dan undang-
undang rumah sakit tahun 2009. Sebagai pusat rujukan kesehatan utama, rumah sakit
dituntut mampu memberikan pelayanan yang optimal bagi setiap kebutuhan pasiennya.
Untuk menyikapi hal tersebut, seiring dengan persaingan yang semakin tajam karena
perubahan teknologi dan lingkungan yang cepat dan drastis pada setiap aspek kehidupan
manusia maka setiap rumah sakit membutuhkan sumber daya manusia yang mempunyai
kompentensi agar dapat memberikan pelayanan yang prima dan bernilai.
Beberapa kendala dalam pencapaian IKU kedua diantaranya :
1) Berkurangnya penurunan capaian peserta pada tahun 2019 karena adanya perubahan
regulasi dari Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) menjadi Pendayagunaan Dokter
Spesialis (PGDS) yang tidak lagi bersifat wajib.
Terbitnya Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 62P/HUM/ 2018 tanggal 18 Desember
2018 tentang Permohonan Keberatan Hak Uji Materiil atas Peraturan Presiden Nomor 4
Tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis, telah dilakukan pembaruan terhadap
regulasi penempatan dokter spesialis yang semula WKDS menjadi Pendayagunaan
Dokter Spesialis (PGDS) melalui Peraturan Presiden No. 31 Tahun 2019 yang ditetapkan
tanggal 14 Mei 2019. Pembaruan regulasi tersebut merubah mekanisme penempatan
dokter spesialis, sehingga adanya kekosongan penyesuaian regulasi.
2) Kurangnya komitmen beberapa daerah terhadap implementasi program WKDS/ PGDS

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 164


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

3) Berkurangnya lokus atau wahana RSUD/ RS untuk penugasan residen, disebabkan


overlaping pelaksanaan dilapangan antara kegiatan PGDS dan Residen.

Untuk mengatasi kendala tersebut, telah dilakukan berbagai upaya tindak lanjut, seperti:
1) Percepatan terbitnya regulasi program/ kegiatan PGDS dan residen
2) Melakukan advokasi ke Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) untuk pemenuhan sarana
prasarana dan hak-hak peserta sesuai yang tertera dalam Perpres Nomor 31 Tahun
2019 termasuk percepatan penerbitan SIP
3) Kedepannya akan di rencanakan pemenuhan untuk lokus yang tidak diminati PGDS,
akan dipenuhi oleh residen

Upaya yang dilakukan untuk meningkatan capaian IKU kedua ini melalui kegiatan sebagai
berikut :

1. Penugasan Khusus Bagi Calon Dokter Spesialis (Residen)


Program penugasan khusus bagi calon dokter/ dokter gigi spesialis merupakan salah satu
pendayagunaan tenaga kesehatan dalam rangka meningkatkan akses dan mutu pelayanan
kesehatan terutama di Rumah Sakit tipe C dan D, untuk meningkatkan kemampuan dan
keterampilan calon dokter spesialis. Untuk tahun 2019 ini, jumlah residen yang
ditempatkan melalui penugasan khusus sebanyak 339 orang atau 46,43%. Sedangkan
capaian residen 2017-2019 dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 3.30
Capaian Residen 2016-2019
2016 2017 2018 2019
Target 800 800 730 123
Capaian 678 619 490 339
% Capaian 84,75% 77,38% 67,12% 46,44%

Bagi Dokter/Dokter Gigi yang menerima bantuan PPDS/PPDGS, disyaratkan untuk mengikuti
Program Penugasan Khusus, yang merupakan bagian dari tahapan pendidikan program
bantuan PPDS/PPDGS.

Dalam pelaksanaan program ini, kendala dan permasalahan penugasan residen dirangkum
sebagai berikut :
a. Adanya Program Wajib Kerja/ Pendayagunaan Dokter Spesialis menyebabkan
berkurangnya lokus atau wahana RSUD/ RS untuk penugasan residen
b. Penempatan residen bergantung pada usulan Fakultas Kedokteran dan Fakultas
Kedokteran Gigi yang berada dalam naungan Kemristekdikti (Program Lintas
Kementerian)

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 165


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

c. Fakultas Kedokteran menjalin MoU dengan Rumah Sakit sehingga pengiriman residen
dilakukan langsung oleh Fakultas Kedokteran tanpa surat tugas dari Kapusrengun
SDMK.

Terobosan dan upaya yang dilakukan mengatasi permasalahan tersebut adalah :


a. Mengembangkan Sistem Informasi Aplikasi Online Penugasan Khusus Residen untuk
mempermudah proses pengajuan usulan residen.
b. Melaksanakan sosialisasi penggunaan Aplikasi Online pada TKPPDS/DGS
c. Koordinasi lebih intens dengan TKPPDS dan FK

2. Program Pendayagunaan Dokter Spesialis (PGDS)


Pendayagunaan dokter spesialis merupakan program pemenuhan kebutuhan dan
peningkatan akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas di
seluruh Indonesia. Sejak tahun 2017, Kementerian Kesehatan telah menempatkan dokter
spesialis melalui program Wajib Kerja Dokter Spesialis sesuai amanat Peraturan Presiden
Nomor 4 Tahun 2017.

Namun, dengan terbitnya Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 62P/HUM/ 2018 tanggal 18
Desember 2018 tentang Permohonan Keberatan Hak Uji Materiil atas Peraturan Presiden
Nomor 4 Tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis, telah dilakukan pembaruan
terhadap regulasi penempatan dokter spesialis yang semula WKDS menjadi Pendayagunaan
Dokter Spesialis (PGDS) melalui Peraturan Presiden No. 31 Tahun 2019 yang ditetapkan
tanggal 14 Mei 2019. Program yang pada mulanya adalah program Wajib Kerja Dokter
Spesialis atau Wajib Kerja Sarjana (WKDS) menjadi sukarela.

Pelaksanaan kegiatan Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) diawali dengan penentuan lokasi
berdasarkan usulan yang berikan oleh Rumah Sakit yang membutuhkan dokter spesialis
anak, Obgin, Penyakit Dalam, Bedah dan AnestesiPada tahun 2019, jumlah lulusan dokter
spesialis yang mengikuti program ini sebanyak 605 orang. Adapun capaian PGDS tahun
2015-2019 dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 3.31
Capaian PGDS 2015-2019

2017 2018 2019


Target 1.000 1.000 1.000
Capaian 870 1.169 545
% Capaian 87% 116,90% 54,50%

Pada tahun 2019 telah didistribusikan penempatan WKS/ PGDS tahun 2019 yang dapat
dilihat pada tabel berikut :

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 166


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Tabel 3.32
Distribusi Penempatan Wajib Kerja Dokter Spesialis TA 2019

NO JENIS SPESIALIS PENEMPATAN WKDS (orang)


1 Spesialisa Anak 129
Spesialis Obstetri 129
2
Ginekologi
3 Spesialis Penyakit Dalam 142

4 Spesialis Bedah 136

5 Spesialis Anestesi 69

JUMLAH 605
Sumber: Pusrengun, Januari 2020

Dalam pelaksanaan program ini, kendala dan permasalahan dapat dirangkum sebagai
berikut :
1) Keamanan daerah Papua dan Papua Barat belum kondusif sehingga terjadi penundaan
keberangkatan dan berdampak menurunnya pemilihan/peminat.
2) Adanya perubahan regulasi dari wajib kerja dokter spesialis (WKDS) menjadi
pendayagunaan dokter spesialis (PGDS) yang bersifat sukarela.

c. Jumlah SDM Kesehatan yang Ditingkatkan Kompetensinya

Pemerintah telah mencanangkan Visi Indonesia 2025 yaitu menjadi negara maju pada tahun
2025. Namun pemerintah juga sepenuhnya menyadari bahwa kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM) masih menjadi suatu tantangan dalam mewujudkan visi yang dimaksud.
Para pakar di bidang SDM menyatakan bahwa kualitas SDM secara dominan ditentukan oleh
kemudahan akses pada pelayanan dan fasilitas kesehatan yang berkualitas. Oleh karena itu
peningkatkan kapasitas SDM Kesehatan yang kompeten sangat diperlukan dalam
menyelesaikan masalah masalah kesehatan yang ada di masyarakat. Saat ini yang dituntut
bukan sekedar penyediaan sumber daya manusia (SDM) kesehatan yang merata namun
SDM kesehatan yang mampu dan kompeten dalam merespon cepat terhadap permasalahan
kesehatan yang ada di masyarakat.

Definisi Operasional IKU Ketiga:


Jumlah aparatur, tenaga pendidik dan kependidikan serta tenaga kesehatan non aparatur
dan masyarakat yang telah ditingkatkan kemampuannya melalui Pendidikan dengan
memperoleh ijazah dari program studi pada perguruan tinggi yang terakreditasi dan atau
memperoleh sertifikat melalui pelatihan yang terakreditasi.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 167


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Jumlah SDM Kesehatan yang ditingkatkan kompetensinya pada tahun 2019 tercapai
sebesar 110.120 orang atau 193,49% dari target 56.910 orang, dengan persentase capaian
tersebut IKU ketiga ini sudah on track tercapai dengan kriteria notifikasi HIJAU.
Apabila capaian tahun 2019 :193,49% ini dibandingkan dengan Tahun 2018 terdapat
peningkatan capaian sebanyak 8.392 orang, yang dapat dilihat sebagaimana pada tabel
berikut:
Tabel 3.33
Komposit Kenaikan Capaian Indikator Ketiga 2018-2019
Capaian Kenaikan/
Sumber Data
Tahun 2018 Tahun 2019 Penurunan
Data Pelatihan SDM Kesehatan
Jumlah SDM Kesehatan yang mendapat
sertifikat pada pelatihan teknis dan fungsional 66.792 69.614 2.822
terakreditasi

Data Puskatmutu SDM


- Jumlah SDM Kesehatan penerima bantuan 3.974
3.308 (666)
Pendidikan berkelanjutan (tugas belajar)

- Jumlah peserta penerima bantuan Pendidikan


2.572 2.570 (2)
profesi kesehatan (PPDS/PPDGS)

Data Pusat Pendidikan SDM Kesehatan


- Jumlah tenaga kesehatan yang belum DIII
28.390 34.628 6.238
penerima program bantuan biaya Pendidikan

Total Keseluruhan 101.728 110.120 8.392

Dari tabel diatas dapat dijabarkan kenaikan IKU ketiga diperoleh dari kenaikan capaian pada
indikator komposit yang ada di eselon II di lingkungan Badan PPSDM Kesehatan.

Pada tahun 2020, IKU ketiga ini termasuk dalam indikator yang mendukung arah kebijakan
program PPSDM Kesehatan di tahun 2020 dengan target sebesar 41.669 orang. Jika capaian
pada tahun 2019 : 193,49 disandingkan dengan target indikator di tahun 2020, capaian pada
tahun 2019 ini sudah menjamin tercapai sebesar 264,27%.

Terlampauinya target pada IKU ketiga ini sangat dimungkinkan, dikarenakan karakteristik
indikator ini terkait orang yang mengikuti pelatihan dan atau pendidikan pada saat tahun
berjalan, dengan banyaknya minat dan usulan dari unit untuk mengikuti pelatihan yang

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 168


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan program dalam rangka meningkatkan kompetensi


tenaga kesehatan.

Selain itu, kenaikan capaian pada tahun 2019 ini dikarenakan telah tersusunnya kebijakan
teknis terkait penyelenggaraan pelatihan seperti penyusunan Norma, Standar, Prosedur dan
Kriteria (NSPK) serta penyusunan kurikulum dan modul pelatihan sebagai upaya mendukung
pencapaian indikator kinerja Pusat Pelatihan SDM Kesehatan pada tahun 2019. Target dan
capaian tahun 2015-2019 dapat dilihat pada grafik berikut:

Grafik 3.55
Target dan Capaian Indikator Jumlah SDM Kesehatan
yang Ditingkatkan Kompetensinya tahun 2015-2019

Sebagaimana diketahui bersama bahwa sumber daya manusia (SDM) memiliki peranan yang
sangat penting sebagai pilar utama sekaligus penggerak roda dalam upaya mewujudkan
tercapainya tujuan. Oleh karena itu peningkatan kompetensi SDM sangat diperlukan agar
optimalnya pencapaian tujuan organisasi. Dalam Peraturan Presiden nomor 72 tahun 2012
tentang Sistem Kesehatan Nasional, yang dimaksud dengan sumber daya manusia
kesehatan (SDMK) adalah tenaga kesehatan (termasuk tenaga kesehatan strategis) dan
tenaga pendukung/penunjang kesehatan yang terlibat dan bekerja serta mengabdikan
dirinya dalam upaya dan manajemen kesehatan. Dalam Perpres tersebut disebutkan bahwa
sumber daya manusia kesehatan baik tenaga kesehatan maupun tenaga
pendukung/penunjang kesehatan wajib memiliki kompetensi untuk mengabdikan dirinya di
bidang kesehatan.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 169


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Angka capaian IKU ketiga ini merupakan komposit dari angka capaian indikator jumlah SDM
Kesehatan yang mendapatkan sertifikat pada pelatihan tekhnis dan fungsional terakreditasi
(orang), ditambah jumlah peserta penerima program bantuan pendidikan kesehatan
berkelanjutan (orang), ditambah jumlah peserta penerima bantuan profesi kesehatan
(orang) dan jumlah tenaga kesehatan yang belum DIII penerima program bantuan
170ntegrase170. Berikut tabel perhitungan komposit indikator :

Tabel 3.34
Komposit Indikator IKU Ketiga
Jumlah SDM Yang Ditingkatkan Kompetensinya

Komposit Indikator Capaian


1. Data Puskat Mutu SDMK
Jumlah SDM Kesehatan penerima program bantuan pendidikan 3.308
berkelanjutan (orang)
Jumlah peserta penerima bantuan 170ntegrase170 profesi kesehatan 2.570
(orang)
2. Data Pusdik SDMK
Jumlah tenaga kesehatan yang belum D3 penerima program bantuan 34.628
170ntegrase170

3. Data Puslat SDMK


Jumlah SDM Kesehatan yang mendapat sertifikat pada pelatihan 69.614
teknis dan fungsional terakreditasi (orang)

Total Capaian 110.120


Target 56.910
% capaian 193,50

Beberapa upaya yang telah dilakukan dalam pencapaian IKU ketiga ini sebagai berikut :
1. Jumlah SDM Kesehatan yang mendapatkan sertifikat pada pelatihan tekhnis
dan fungsional terakreditasi
Jumlah SDM Kesehatan yang mendapatkan sertifikat pada pelatihan teknis dan fungsional
terakreditasi pada tahun 2019 adalah sebanyak 69.614 orang.
Capaian indikator ini diperoleh dengan menghitung jumlah sertifikat yang diterbitkan untuk
peserta pelatihan yang mengikuti pelatihan terakreditasi. Pelaksanaan pelatihan
dilaksanakan dengan bersinergi dan bekerja sama dengan UPT di lingkungan Badan PPSDM
Kesehatan yaitu 3 (tiga) Balai Besar Pelatihan Kesehatan yaitu BBPK Jakarta, BBPK Ciloto,
BBPK Makassar dan 3 (tiga) Balai Pelatihan Kesehatan, Bapelkes Cikarang, Bapelkes
Semarang dan Bapelkes Batam serta pelaksanaan pelatihan yang dilakukan dengan dana
dekonsentrasi di 34 provinsi di Indonesia.
Adapun jenis pelatihan yang diselenggarakan terdiri dari :

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 170


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Pre service
a. Prajabatan
b. Pratugas
In Service
a. Penjenjangan
b. Manajemen
- Manajemen Kesehatan
- Manajemen non Kesehatan

c. Teknis
- Teknis Profesi Kesehatan
- Teknis Program Kesehatan
- Teknis Umum/Administrasi dan Manajemen
- Fungsional Kesehatan

Tabel 3.35
Sebaran Capaian Indikator Pelatihan Teknis dan Fungsional Terakreditasi
Berdasarkan Jenis Pelatihan

No. Jenis Pelatihan Jumlah

1 Teknis Fungsional Kesehatan 5.556


2 Teknis Manajemen Kesehatan 12.865
3 Teknis Profesi Kesehatan 19.018
4 Teknis Upaya Kesehatan 32.175
TOTAL 69.614

Table 3.36
Sebaran Capaian Indikator Pelatihan Teknis dan Fungsional Terakreditasi
Berdasarkan Unit Pelaksana Pelatihan

(Pelatihan Teknis dan


No. Penyelenggara Pelatihan Fungsional bagi SDM
Kesehatan)
1 BBPK dan Bapelkes 14.591
2 Dinkes Provinsi (dana dekonsentrasi) 12.678
3 Unit Program Kementerian Kesehatan 23.946
4 Swasta 18.399
TOTAL 66.614

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 171


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Dalam pelaksanaannya tahun 2019, terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi


diantaranya sebagai berikut :
1) Kebijakan perubahan jenis pelatihan mengakibatkan perlu adanya revisi yang
mengakibatkan pelaksanaan pelatihan tertunda menunggu revisi terbit atau adanya
perubahan jenis pelatihan;
2) Dinas Kesehatan Provinsi mempunyai program sendiri yang harus dijalankan sehingga
melaksanakan program provinsi terlebih dahulu;
3) Adanya revisi target pelatihan yang membutuhkan proses sehingga pelaksanaan
pelatihan baru selesai menjelang akhir tahun;
4) Pelaksanaan pelatihan berbarengan dengan pelaksanaan akreditasi puskesmas sehingga
ada beberapa peserta yang tidak dapat mengikuti pelatihan;

Sebagai upaya memastikan bahwa penyelenggaraan pelatihan sesuai dengan mutu dan
strandar yang telah ditetapkan dan sesuai dengan komponen akreditasi pelatihan, maka
dilakukan monitoring dan evaluasi pelatihan, untuk pelatihan yang diselenggarakan oleh
unit program, swasta, rumah sakit ataupun provinsi dengan dana dekonsentrasi. Evaluasi
pasca pelatihan dilaksanakan untuk mengetahui sejauh mana manfaat pelatihan yang telah
diselenggarakan.

2. Jumlah SDM Kesehatan Penerima Bantuan Pendidikan Berkelanjutan

Pendidikan berkelanjutan SDM Kesehatan merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan
mutu SDM Kesehatan. Tujuan dari pendidikan berkelanjutan SDM Kesehatan adalah
meningkatnya mutu dan profesionalisme tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan
pembangunan dan pelayanan kesehatan. Program tugas belajar (tubel) Kementerian
Kesehatan diselenggarakan dalam rangka menyediakan SDM Kesehatan yang mempunyai
kompetensi yang dibutuhkan oleh pembangunan dan pelayanan kesehatan.

Jumlah SDM Kesehatan penerima bantuan pendidikan berkelanjutan berasal dari peserta
lama (aktif) dan peserta baru. Peserta lama adalah peserta penerima bantuan
172ntegrase172 berkelanjutan yang belum menyelesaikan pendidikan dan masih
mendapatkan bantuan 172ntegrase172 dari Kementerian Kesehatan. Sedangkan peserta
baru adalah peserta penerima bantuan pendidikan tugas belajar SDM Kesehatan tahun
2019 yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan. Pada tahun 2019,
jumlah SDM Kesehatan penerima bantuan pendidikan berkelanjutan tercapai 3.308 orang
atau 114,07% dari target sebesar 2.900 orang. Perhitungan capaian kinerja sebanyak 3.308
orang tersebut terdiri dari peserta lama sebanyak 2.801 orang dan peserta baru reguler
sebanyak 466 orang dan peserta baru dari pasca Nusantara Sehat sebanyak 41 orang, hal ini
berdasarkan SK penetapan oleh Menteri Kesehatan tahun 2019.

Beberapa permasalahan yang dihadapi pada pelaksanaan kegiatan tahun 2019 adalah
sebagai berikut :
1) Rendahnya tingkat kelulusan seleksi akademik calon peserta tubel SDM Kesehatan.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 172


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

2) Perencanaan kebutuhan tubel SDMK di satker pengusul belum diselenggarakan


secara online, sehingga mengakibatkan kebutuhan tubel SDMK dengan peminatan
program studi sering berubah-ubah atau tidak konsisten.
3) Belum terintegrasinya perencanaan kebutuhan tubel SDMK di satuan kerja.

Upaya yang telah dan akan dilakukan diantaranya adalah :


1) Memberikan informasi secara luas terkait rekrutmen tubel SDMK melalui SE Badan
PPSDMK kepada Dinkes Prov, Dinkes Kab/Kota dan UPT melalui media elektronik.
2) Dibangunnya aplikasi perencanaan tubel SDM Kesehatan secara online yang
diintegrasikan dengan perencanaan kebutuhan SDM Kesehatan di Satuan Kerja.
Menginformasikan persyaratan sebagai peserta tugas belajar SDMK melalui Surat
Edaran secara detail dan jelas.
3) Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap penempatan paska tugas belajar di unit
kerjanya sesuai dengan perjanjian pada saat akan mengikuti tugas belajar.

3. Jumlah Peserta Penerima Bantuan Pendidikan Profesi Kesehatan


Bantuan pendidikan profesi kesehatan merupakan bantuan pendidikan dokter
spesialis/dokter gigi spesialis diselenggarakan dalam rangka memenuhi kebutuhan
pelayanan kesehatan spesialistik di tanah air.

Capaian indikator jumlah peserta penerima bantuan pendidikan profesi kesehatan tahun
2019 sebesar 88,62% atau sebanyak 2.570 orang dari target 2.900 orang. Capaian
kinerja sebanyak 2.570 orang tersebut, berasal dari peserta PPDS/PDGS lama/lanjutan
Angkatan X-XXI sebanyak 2.250 orang dan peserta PPDS/PDGS baru berasal dari
Angkatan XXII tahun 2019 sebanyak 152 orang, peserta PPDS/PDGS baru berasal dari
Angkatan XXIII tahun 2019 sebanyak 158 orang dan peserta PPDS/PDGS baru berasal
dari pasca penugasan Nusantara Sehat sebanyak 10 orang.

Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan sekunder dan tersier di Rumah Sakit
Rujukan Nasional, Rumah Sakit Rujukan Provinsi dan Rumah Sakit Rujukan Regional
dibutuhkan tenaga dokter sub spesialis sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan.
Untuk memenuhi kebutuhan dokter sub spesialis tersebut, diperlukan pendidikan
dokter sub spesialis yang saat ini masih terbatas di Indonesia yakni hanya
diselenggarakan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga dan Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Selain itu untuk menyelesaikan pendidikan dokter sub spesialis membutuhkan waktu
cukup lama. Oleh sebab itu diperlukan pemenuhan kompetensi dokter spesialis melalui
fellowship. Fellowship merupakan upaya pemenuhan kompetensi dokter spesialis yang
diselenggarakan di Rumah Sakit tipe A dalam jangka waktu 6 bulan sampai 1 tahun oleh
Kolegium dan Organisasi Profesi terkait.

Permasalahan yang dihadapi selama tahun 2019 dirangkum sebagai berikut :

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 173


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

1) Masih rendahnya jumlah peserta bantuan PPDS/PPDGS yang berasal dari daerah
terpencil, perbatasan dan kepulauan (DTPK), dan rendahnya tingkat kelulusan seleksi
akademik calon peserta PPDS/PPDGS dari wilayah timur Indonesia.
2) Kurangnya dukungan Pemerintah Daerah dalam penyiapan sarana prasarana di rumah
sakit untuk penempatan kembali dokter spesialis dan tidak adanya formasi serta
insentif bagi lulusan PPDS/PPDGS non PNS.
3) Rendahnya kepatuhan dokter spesialis/dokter gigi spesialis untuk ditempatkan di DTPK
atau daerah yang kurang diminati.
4) Masih kurangnya kecukupan jumlah dokter spesialis sesuai dengan jenis klasifikasi
Rumah Sakit.

Upaya yang telah dilakukan dalam mengatasi permasalahan adalah sebagai berikut :
1) Akan diselenggarakannya peningkatan kemampuan calon peserta PPDS/PPDGS dari
DTPK (Papua dan Papua Barat) melalui program pemantapan/peningkatan kompetensi
bagi calon peserta PPDS/PPDGS
2) Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap lokasi penempatan dokter spesialis pasca
tugas belajar di unit kerja penempatan dan melakukan advokasi utnuk peningkatan
dukungan pemerintah daerah dalam menyiapkan sarana, prasarana dan intensif bagi
dokter spesialis yang ditempatkan di daerahnya.
3) Memperkuat regulasi dan perjanjian kerja sama sebelum calon PPDS/PPDGS diberikan
beasiswa bantuan pendidikan PPDS/PPDGS.
4) Berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah dalam hal regulasi penyiapan sarana
dan prasarana di rumah sakit untuk penempatan lulusan PPDS/PPDGS.
5) Berkoordinasi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi dalam rangka meningkatkan jenjang karir bagi lulusan PPDS/PPDGS non PNS
dan mempercepat proses status kepegawaian menjadi PNS.

4. Jumlah Tenaga Kesehatan Yang Belum D-III Penerima Program Bantuan Pendidikan
Program bantuan pendidikan bagi tenaga kesehatan yang belum DIII, merupakan program
yang dijalankan Poltekkes Kemenkes dalam rangka menghasilkan tenaga kesehatan yang
memiliki kompetensi yang professional.

Tahun 2019 merupakan tahun ketiga dari pelaksanaan program bantuan biaya pendidikan
bagi tenaga kesehatan yang belum D-III. Pada tahun 2017 telah tercapai 15.388 orang (95.04
%) dari target 16.190 orang, dan di tahun 2018 ini telah tercapai sebanyak 28.390 orang
(92.72 %) dari target 30.620 orang, sedangkan di tahun 2019 ini telah tercapai sebanyak
34.628 orang (91,56%) dari target 37.819 orang.

Permasalahan yang dihadapi selama pelaksanaan tahun 2019, dikarenakan jumlah calon
peserta yang belum D-III disebabkan karena meninggal, sudah melanjutkan pendidikan
secara mandiri dan tidak berminat melanjutkan pendidikan. Serta adanya peserta yang
mengundurkan diri pada saat assessment maupun setelah assessment atau tidak melakukan
pendaftaran ulang.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 174


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Upaya yang sudah dilakukan dalam mengatasi permasalahan adalah :


1) Melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi terkait kuota yang sudah
ditetapkan. Namun pada kenyataannya jumlah peserta yang mengikuti assessment
tidak sesuai kuota.
2) Penggantian peserta yang tidak mengikuti assessment tidak dimungkinkan karena
proses pembelajaran sudah dimulai. Selain itu tahun 2020 merupakan akhir dari
pelaksanaan program bantuan pendidikan bagi tenaga kesehatan yang belum D-III
sehingga tindak lanjut yang dilakukan melakukan pembayaran untuk peserta semester
II dan mengupayakan agar jumlah peserta program percepatan tahun 2019 – 2020
tidak berkurang, serta mengingatkan Poltekkes Kemenkes untuk merealisasikan
anggaran sebelum maasiswa tahun anggaran 2019 -2020 dinyatakan lulus selesai
pendidikan.

6) Sasaran Strategis 6: Meningkatnya Sinergitas antar Kementerian/Lembaga

Kementerian Kesehatan menyadari bahwa upaya mencapai tujuan pembangunan


kesehatan akan sulit terlaksana tanpa adanya dukungan dari kementerian atau lembaga
lainnya di pemerintahan. Untuk itu Kementerian Kesehatan menetapkan sasaran strategis:
meningkatnya sinergitas antar kementerian/lembaga.

Dalam kaitan dengan Sasaran Strategis ini, Kementerian Kesehatan mengidentifikasi dua
Indikator Kinerja Utama (IKU) dengan hasil capaiannya sebagaimana tergambar dalam tabel
berikut:
Tabel 3.37
Capaian IKU pada Sasaran Strategis 6:
Meningkatnya Sinergitas antar Kementerian/Lembaga
SS6: Meningkatnya Sinergitas antar Kementerian/Lembaga

Indikator Kinerja Target Realisasi % Realisasi


6a. Jumlah kementerian lain yang mendukung 50% 53% 106,00%
pembangunan kesehatan
6b. Jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang 494 458 92,71%
menyampaikan laporan capaian SPM
Uraian tentang kedua IKU tersebut adalah sebagai berikut:

a. Jumlah kementerian lain yang mendukung pembangunan kesehatan


Suatu kementerian dikategorikan mendukung pembangunan kesehatan bila kementerian
tersebut telah menjalin suatu kerjasama yang dituangkan ke dalam dokumen tertulis.
Dokumen tersebut dapat berupa Peraturan Presiden, Instruksi Presiden, Surat Keputusan
Bersama (SKB), Surat Edaran Bersama (SEB), Nota Kesepahaman atau Memorandum of
Understanding (MoU), Peraturan Menteri, dan sebagainya. IKU bertujuan untuk
meningkatkan keterlibatan kementerian lain dalam program kesehatan sehingga sasaran

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 175


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

pembangunan nasional di bidang kesehatan dapat tercapai. IKU akan dianggap semakin
baik bila realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari yang ditargetkan.

Jumlah kementerian lain yang mendukung pembangunan kesehatan dihitung dengan


formulasi sebagai berikut:

Jumlah kementerian yang mendukung pembangunan kesehatan X


Jumlah seluruh Kementerian 100%

Indikator pertama untuk mencapai sasaran kinerja meningkatnya sinergitas antar


Kementerian/Lembaga adalah jumlah Kementerian lain yang mendukung pembangunan
kesehatan. Dari total 34 kementerian, sebanyak 18 Kementerian yang telah mendukung
pembangunan kesehatan pada tahun 2019. Daftar kementerian tersebut sebagai
berikut :

Tabel 3.38
Kementerian yang mendukung Pembangunan Kesehatan

NO KEMENTERIAN DUKUNGAN PROGRAM PEMBANGUNAN KESEHATAN


Sosialisasi Gerakan Masyarakat Hidup Sehat Bidang
Kementerian Ketenaga kerjaan, Pencegahan HIV/AIDS di tempat kerja,
1
Ketenagakerjaan Pencegahan dan deteksi dini kanker Rahim pada tenaga
kerja perempuan
Kementerian Perencanaan
2 Pembangunan Nasional Gerakan Masyarakat Sehat
(BAPPENAS)
Dana Alokasi Khusus (DAK)bidang Kesehatan dan Bantuan
3 Kementerian Keuangan
Operasional Kesehatan (BOK)
Sosialisasi kompetensi pencegahan stunting di desa dan
Kementerian Desa,
Dana Desa ( pemanfaatan Dana Desa untuk membangun
4 Perbatasan dan Daerah
sarana sosial dasar di pedesaan, misal
Tertinggal
polindes,poskesdes,MCK,dll)
Kementerian Pekerjaan
5 Umum dan Perumahan Peningkatan kualitas permukiman, sanitasi, akses air
Rakyat
6 Kementerian Perdagangan Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan
7 Kementerian Sosial Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
8 Kementerian Pertahanan Nusantara Sehat
Kementerian
9 Keselamatan Berkendaraan
Perhubungan
10 Kementerian Agama Kesehatan Haji
Poliklinik Umum dan Gigi, Papsmear (pemeriksaan gratis
Kementerian Koordinator
11 untuk pegawai) sosialisasi penyalagunaan narkoba
dan Perekonomian
(seminar,dll) senam peregangan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 176
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Kementerian Pendidikan Program Gizi anak sekolah dan Unit Kesehatan Sekolah
12
dan Budaya (UKS) dan penyediaan sarana sanitasi sekolah
Kementerian Dalam
13 Advokasi penyusunan kebijakan germas di daerah
Negeri
GERMAS SAPA ( Gerakan Masyarakat Hidup Sehat Sadar
14 BPOM
Pangan Aman)
Kementerian Pangan Olahan (Peningkatan gizi masyarakat melalui
15
Perindustrian peningkatan konsumsi pangan olahan)
Kampanye Olahraga Tradisional, Usia Dini dan Lansia,
Kementerian Pemuda dan
16 Olahraga Penyandang Cacat, Dan Olahraga Di Lembaga
Olahraga
Kemasyarakatan
Kementerian Kelautan dan Kampanye Gemarikan (Gerakan Memasyarakatkan Makan
17
Perikanan Ikan)
18 BPJS Kesehatan Sosialisasi JKN

Jumlah Kementerian yang mendukung program pembangunan kesehatan pada tahun


2019 telah melebihi target. Hal ini akan terus ditingkatkan kedepannya untuk
menjadikan pembangunan nasional yang berorientasi kesehatan.

Indikator jumlah Kementerian yang mendukung program pembangunan kesehatan di


terima Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat di terima di bulan Juni 2017 sehingga
target dan realisasi yang di capai dimulai dari tahun 2017 sampai dengan tahun 2019.
Dari tahun 2017 sampai dengan 2019 indikator ini mengalami kenaikan target dan juga
realisasi capaiannya.

Tabel 3.39
Perbandingan capaian indikator Jumlah Kementerian Lain Yang Mendukung
Pembangunan Kesehatan Tahun 2015-2019

TARGET REALISASI
INDIKATOR
2015 2016 2017 2018 2019 2015 2016 2017 2018 2019
Jumlah Kementerian Lain
yang mendukung - - 30% 40% 50% 0 0 41,17% 44,11% 106%
Pembangunan Kesehatan

Untuk tahun 2017 jumlah Kementerian Lain yang mendukung Pembangunan Kesehatan
sebanyak 14 Kementerian, tahun 2018 sebanyak 15 Kementerian dan untuk tahun 2019
sebanyak 18 Kementerian.

Dalam pencapaian realisasi selama 3 tahun kendala yang dihadapi adalah sulit nya
mendapatkan respon dari Kementerian Lain untuk mendapatkan data tersebut dan
solusi dalam menghadapi kendala tersebut kami Biro Komunikasi dan Pelayanan
Masyarakat Selain bersurat ke setiap Kementerian kami tetap melakukan kontak
langsung melalui WhatsApp, Telepon, dan Email. Analisa keberhasilan dari indikator ini

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 177


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

adalah adanya hubungan baik dengan Kementerian Lain akan memudahkan


mendapatkan data yang kita cari.

b. Jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang menyampaikan laporan capaian SPM

Definisi operasional indikator ini yaitu provinsi dan kabupaten/kota dinyatakan melapor
capaian SPM jika mengirimkan capaian SPM dengan keterisian variabel sekurang-
kurangnya 70% dan pemantauannya dilakukan melalui aplikasi Komunikasi Data. Provinsi
akan disertakan menjadi target setelah SPM provinsi ditetapkan.

Jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang menyampaikan laporan capaian SPM dihitung
dengan formulasi sebagai berikut:

Jumlah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang menyampaikan laporan capaian


SPM

Target pada tahun 2019 yaitu 494 kabupaten/kota menyampaikan laporan capaian SPM.
Provinsi tidak dihitung dalam capaian karena SPM provinsi berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun 2019 dilaksanakan tahun 2019, sedangkan yang
menjadi capaian indikator ini yaitu data SPM tahun 2018.

SPM bidang kesehatan tahun 2018 mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
43 tahun 2016 tentang SPM Bidang Kesehatan yang memuat 12 jenis pelayanan dasar
yang harus dilakukan Pemerintah Kabupaten/Kota, yaitu pelayanan kesehatan untuk ibu
hamil, ibu bersalin, bayi baru lahir, balita, anak pada usia pendidikan dasar, penduduk
usia 15-59 tahun, penduduk diatas usia 60 tahun, penderita hipertensi, penderita
diabetes mellitus, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), orang dengan TB dan orang
berisiko terinfeksi HIV.

Ketercapaian indikator ini, bergantung pada komitmen dinas kesehatan kabupaten/kota


dalam pengisian 12 layanan dasar ke aplikasi Komunikasi Data, serta diperlukan
kehandalan aplikasi. Adapun upaya yang telah dilakukan untuk mendukung indikator
yaitu:
1. membentuk tim pemantauan SIK/data tingkat pusat yang rutin melakukan
pemantauan serta berkomunikasi dengan pengelola data di dinas kesehatan provinsi;
2. memberikan umpan balik keterisian data ke dinas kesehatan provinsi;
3. pendampingan pengisian data SPM melalui pelatihan dan atau pertemuan;
4. update Aplikasi Komunikasi Data; serta
5. menjaga keamanan informasi data dengan sertifikasi ISO 27001:2013.

Sampai dengan akhir 2019 terdapat 458 kabupaten/kota yang menyampaikan laporan
capaian SPM tahun 2018. Angka ini tidak mencapai target tahun 2019 dengan capaian
sebesar 92,71%. Saat menentukan target tahun 2019 (494 provinsi/kabupaten/kota)
sudah memperkirakan provinsi mempunyai SPM provinsi, 34 provinsi dan 460

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 178


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

kabupaten/kota diharapkan melaporkan capaian SPM pada tahun 2019 namun di tahun
pelaksanaan ternyata belum ditetapkan SPM untuk provinsi. Gambar 3.16
memperlihatkan salah satu tampilan laporan capaian SPM kabupaten/kota.

Gambar 3.42
Tampilan salah Satu Laporan Capaian SPM Kabupaten/Kota
pada Aplikasi Komunikasi Data

Sumber : www.komdat.kemkes.go.id
Kendala/hambatan yang dihadapi sehingga pencapaian indikator tidak sesuai target
yaitu:
1. mutasi pegawai yang sangat cepat tanpa adanya kaderisasi yang memadai;
2. kurangnya SDM pengelola data dan beban pengumpulan data yang banyak;
3. masih perlu ditingkatkan kapasitas tenaga pengolah data/pengelola SIK di daerah;
4. data dari Puskesmas setiap bulannya sering terlambat untuk disampaikan ke dinas
kesehatan kabupaten/kota.

Solusi yang dilakukan untuk menjawab kendala yaitu:


1. menjalin komunikasi dan diskusi aktif dengan pengelola SIK di tingkat provinsi melalui
group komunikasi (whatsapp)
2. memberikan umpan balik (feedback) terhadap data SPM yang telah dilaporkan.

7). Sasaran Strategis 7: Meningkatnya Daya Guna Kemitraan Dalam dan Luar Negeri

Dalam kaitan dengan Sasaran Strategis ini, Kementerian Kesehatan mengidentifikasi tiga
Indikator Kinerja Utama (IKU) dengan hasil capaiannya sebagaimana tergambar dalam tabel
berikut:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 179


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Tabel 3.40
Capaian IKU pada Sasaran Strategis 7:
Meningkatnya Daya Guna Kemitraan Dalam dan Luar Negeri

SS7: Meningkatnya Daya Guna Kemitraan Dalam dan Luar Negeri

Indikator Kinerja Target Realisasi % Realisasi


7a. Jumlah dunia usaha yang memanfaatkan CSR 20 21 105,00%
untuk program kesehatan
7b. Jumlah organisasi kemasyarakatan yang 15 17 113,33%
memanfaatkan sumber dayanya untuk
mendukung kesehatan
7c. Jumlah kesepakatan kerjasama luar negeri di 8 8 100,00%
bidang kesehatan yang diimplementasikan

Uraian tentang kedua IKU tersebut adalah sebagai berikut:

a. Dunia usaha yang Memanfaatkan CSR nya untuk Program Kesehatan


Pembangunan kesehatan tidak hanya menjadi tanggung jawab sektor kesehatan saja,
Dunia usaha dan swasta memiliki kewajiban untuk turut serta dalam pembangunan
kesehatan. Melihat peluang besar dukungan yang dapat dioptimalkan melalui peran
serta dunia usaha melalui program Corporate Social Responsibility (CSR)-nya
Kementerian Kesehatan menggalang kemitraan dengan dunia usaha. Definisi
operasional indikator Jumlah dunia usaha yang memanfaatkan CSR-nya untuk
program kesehatan adalah jumlah dunia usaha yang telah melakukan Perjanjian Kerja
Sama (PKS) dengan Kementerian Kesehatan untuk memanfaatkan CSR-nya untuk
program kesehatan.

Target capaian indikator Jumlah dunia usaha yang memanfaatkan CSR-nya Tahun
2015 sampai dengan Tahun 2019 bersifat absolut dengan kenaikan target capaiannya
setiap tahun sebanyak 4 Dunia Usaha dengan perhitungan jumlah absolut dunia
usaha yang telah melakukan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Kementerian
Kesehatan untuk memanfaatkan CSR-nya.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 180


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Grafik 3.56
Taret dan Capaian Indikator Jumlah Dunia usaha yang Memanfaatkan
CSR-nya untuk Mendukung Kesehatan
Tahun 2015-2019

Pada tahun 2019 Capaian jumlah dunia usaha yang memanfaatkan CSR-nya untuk
adalah 21 dunia usaha (Capain 105% dari target yang telah ditetapkan). Ada pun
dunia usaha baru yang melakukan perjanjian kerja dengan Kementerian Kesehatan :

Tabel 3.41
Dunia Usaha untuk CSR Kesehatan

NO NAMA DUNIA USAHA


1 PT. Media Televisi Indonesia (Metro TV)
2 PT. Gorry Gourmet Indonesia
3 PT. Darya Varia Laboratoria
4 PT. Amerta Indah Otsuka
5 PT. Bank Mandiri
6 PT. Pertamina Bina Medika
7 PT. Merck
8 PT. Merck Sharp Dohme
9 PT. XL Axiata
10 PT. Fonterra Brands Indonesia
11 PT. Novo Nordisk
12 PT. Johnson and Johnson
13 PT. Herlina Indah

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 181


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

14 PT. Reckitt Benckiser Indonesia


15 PT. Bank BTPN
16 PT. Nutrifood Indonesia
17 PT. Boehringer Ingelheim Indonesia
18 PT. Adaro energy Tbk
19 PT. Aventis Pharma
20 PT. Novell Pharmaceutical
21 PT. AXA Mandiri Financial Services

Pencapain Jumlah Dunia Usaha yang memanfaatkan CSR-nya untuk Mendukung


Kesehatan pada 2018 mencapai 16 dunia usaha (capaian 100%), sedangkan pada
Tahun 2019 capaian Jumlah dunia usaha yang memanfaatkan CSR-nya untuk
Mendukung Kesehatan adalah sebanyak 21 dunia usaha (105%). Dapat disimpulkan
bahwa trend positif capain target kinerja Dunia Usaha yang memanfaatkan CSR-nya
untuk Mendukung Kesehatan pada tahun 2018 (capain 16 dunia usaha), pada tahun
2019 dapat kembali dipertahankan dan secara persentasi naik capainnya sebesar 5%
(capaian 21 dunia usaha = 105%).

Langkah-langkah yang dilakukan untuk mencapai target tahun 2019


• Mengidentifikasi perusahaan yang telah menjalin kerjasama dengan
Kementerian Kesehatan dan Perusahaan yang memiliki interest terhadap
kesehatan
• Mereviu kerjasama yang telah habis masa berlakunya dan mondorong untuk
membuat kerjasama baru serta mengembangkan ruang lingkup kerjasama untuk
mendukung program kesehatan prioritas.
• Memperkenalkan kepada dunia usaha potensial terkait program kesehatan
prioritas yang bisa dilakukan dengan kemitraan melalui program CSR.
• Pemantauan terhadap pelaksanaan CSR bidang Kesehatan untuk memastikan
pelaksanaan kegiatan sesuai dengan yang ditetapkan.

Analisis keberhasilan dalam pencapaian indikator


• Dukungan dari Forum Filantropi yang merupakan perhimpunan independen dan
nirlaba yang dipercaya oleh pemerintah dan sektor usaha dalam menjalan
menjalankan sosial-kemanusian dan lingkungan di Indonesia.
• Dunia usaha yang bergerak dibidang farmasi cenderung ingin bekerjasama
dengan Kementerian Kesehatan.
• Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas. Dalam pasal 74
ayat 1 s/d 3 bahwa Perseroan Terbatas yang menjalankan kegiatan usahanya di
bidang dan/atau berkaitan dengan sumberdaya alam wajib melaksanakan
tanggung jawab sosial dan lingkungan dan merupakan kewajiban perseoran yang
dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan.
• Peraturan Pemerintah No 47 tahun 2012 tentang tanggung jawab sosial dan
lingkungan perseroan terbatas merupakan penjelasan dari Undang-Undang No.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 182


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

40 tahun 2007, bahwa setiap perseroan mempunyai tanggung jawab sosial dan
lingkungan baik di dalam maupun di luar lingkungan perseroan dengan
memperhatikan kepatutan dan kewajaran.

Analisis hambatan pencapaian indikator


• Keterbatasan sumber daya untuk membuat komitmen dengan dunia usaha untuk
menggalang kemitraan melalui program CSR
• Tidak semua Dunia Usaha tertarik untuk melakukan kerjasama jangka panjang
dan berkelanjutan.

Alternatif solusi yang dilakukan


• Meningkatkan kapasitas sumber daya Direktorat Promosi Kesehatan dan
Pemberdayaan Masyarakat dalam pengelolaan Kemitraan Kesehatan
• Meningkatkan kepercayaan Dunia Usaha untuk mau melakukan kerjasama
jangka panjang dan berkelanjutan

b. Jumlah Organisasi Kemasyarakatan yang Memanfaatkan Sumber Dayanya untuk


Mendukung Kesehatan

Organisasi kemasyarakatan merupakan kelompok potensial untuk meningkatkan perilaku


sehat masyarakat karena mereka memiliki sumberdaya dan jaringan kerja dan
keanggotaan hingga ke grassroot. Kementerian Kesehatan menggalang peran serta
ormas baik ormas keagamaan, kepemudaan, dan wanita untuk meningkatkan jangkauan
akses informasi kesehatan dan pemberdayaan program kesehatan prioritas terhadap
masyarakat luas. Target capaian jumlah Organisasi Kemasyarakatan yang Memanfaatkan
Sumber Dayanya untuk Mendukung Kesehatan Tahun 2015 sampai dengan Tahun 2019
bersifat progresif dengan kenaikan target capaiannya setiap tahun sebesar 3 Organisasi
Kemasyarakatan.

Grafik 3.57 Target & Capain Indikator Jumlah Organisasi Kemasyarakatan Yang
Memanfaatkan Sumber Dayanya Untuk Mendukung Kesehatan
Tahun 2015 – 2019
Target Capain
17
15
12 12
9 9
6 6
4
3

2015 2016 2017 2018 2019

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 183


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Pada tahun 2019 Capaian Organisasi Kemasyarakatan yang Memanfaatkan Sumber


Dayanya untuk Mendukung Kesehatan adalah 17 (Tujuh Belas) ormas atau 113% dari
target yang telah ditetapkan. Ada pun Organisasi Kemasyarakatan yang
Memanfaatkan Sumber Dayanya untuk Mendukung Kesehatan tersebut antara lain:

Tabel 3.42
Organisasi Kemasyarakatan yang Mendukung Kesehatan

NO ORMAS
1 PELKESI
2 PBNU
3 ALIANSI PITA PUTIH INDOMESIA
4 PENGAJIAN AL-HIDAYAH
5 FATAYAT NU
6 PERKUMPULAN PERGERAKAN WANITA NASIONAL INDONESIA
7 PP DEWAN MASJID INDONESIA
8 PP MUHAMMADIYAH
9 JANNUR
10 PERSATUAN ISLAM (PERSIS)
11 KOWANI
12 PERDHAKI
13 PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT
14 MUSLIMAT NAHDLATUL
15 PP AISYIYAH
16 PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA INDONESIA
17 DHARMA WANITA PERSATUAN

Pencapain Jumlah Organisasi Kemasyarakatan yang Memanfaatkan Sumber Dayanya


untuk Mendukung Kesehatan pada 2018 mencapai 12 ormas (capaian 100%),
sedangkan pada Tahun 2019 capaian Jumlah Organisasi Kemasyarakatan yang
Memanfaatkan Sumber Dayanya untuk Mendukung Kesehatan adalah sebanyak 17
ormas (113%). Dapat disimpulkan bahwa trend positif capain target kinerja jumlah
ormas pada tahun 2018 (capain 12 ormas), pada tahun 2019 dapat kembali
dipertahankan dan secara persentasi naik capainnya sebesar 13% (capaian 17 ormas
= 113%).

Langkah-langkah yang dilakukan untuk mencapai target tahun 2019


• Melakukan sosialisasi Program Prioritas Kesehatan dengan Organisasi
Kemasyarakatan
• Penggalangan komitmen Organisasi Kemasyarakatan yang telah MoU dengan
Kementerian Kesehatan untuk meningkatkan dukungan sumberdaya yang
dimiliki organisasi kemasyarakatan
• Penguatan jejaring organisasi kemasyarakatan untuk mendapatkan dukungan
sumberdaya organisasi kemasyarakatan sehingga jejaring organisasi
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 184
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

kemasyarakatan juga menjadi bagian dari pelaksanaan kegiatan untuk


mendukung program kesehatan
• Koordinasi dengan Lintas Program terkait identifikasi organisasi
kemasyarakatan yang telah bekerjasama dengan Program di lingkup
Kementerian Kesehatan

Faktor pendukung yang mempengaruhi upaya pencapain kinerja


• Organisasi Kemasyarakatan yang telah MoU dengan Kementerian Kesehatan
memiliki kriteria: legal aspek, kemampuan teknis dan administrasi, wilayah
dan kader penggerak untuk melaksanakan program prioritas kesehatan.
• Pengarusutamaan permasalahan kesehatan dalam agenda pembangunan
mulai menimbulkan kesadaran dalam masyarakat yang dan kelompok-
kelopok perduli lainnya seperti organisasi-organisasi keagamaan, organisasi
profesi,

Analisis hambatan pencapaian indikator


• Tidak semua ormas calon mitra potensial memenuhi persyaratan untuk MoU
dengan Kementerian Kesehatan sesuai Permenkes No 84 Tahun 2015 tentang
Pengembangan Peran Serta Organisasi Kemasyarakatan Bidang Kesehatan.
• Terbatasnya sumber daya yang dimiliki ormas untuk melaksanakan kegiatan-
kegiatan yang mendukung upaya pembangunan kesehatan.

Alternatif Solusi yang Dilakukan


• Pembinaan terhadap Ormas yang belum memenuhi syarat sesuai Permenkes
No 84 Tahun 2015 tentang Pengembangan Peran Serta Organisasi
Kemasyarakatan dalam bentuk mendorong organisasi kemasyarakatan untuk
membangun jejaring dengan berbagai pihak potensial lainnya.
• Pendampingan teknis dan administrasi yang lebih intens untuk meningkatkan
kinerja ormas yang telah bekerjasama.

c. Jumlah kesepakatan kerjasama luar negeri di bidang kesehatan

IKU ini bertujuan untuk mengukur kemampuan Indonesia untuk melakukan kerjasama
dan kesepakatan internasional, termasuk di tingkat regional, atau bilateral yang akan
berpengaruh pada pembangunan kesehatan di Indonesia. Capaian IKU akan dianggap
semakin baik bila realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari yang ditargetkan.

Jumlah kesepakatan kerjasama luar negeri di bidang kesehatan dihitung dengan cara
menjumlahkan dokumen kesepakatan international yang telah ditandatangani termasuk
kesepakatan dalam persidangan international yang bersifat kepemerintahan dan telah
diimplementasikan oleh Kementerian Kesehatan untuk mendukung pencapaian sasaran
strategis pembangunan kesehatan yang diukur dengan pelaporan monitoring dan
evaluasi secara berkala dan komprehensif dalam satu tahun.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 185
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Tabel 3.43
Capaian Target Kinerja Tahun 2015 – 2019
Kegiatan Peningkatan Kerja Sama Luar Negeri

No. Indikator Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun


2015 2016 2017 2018 2019

1 Jumlah Target : Target : Target : Target : Target :


kesepakatan kerja 8 9 8 7 8
sama luar negeri
bidang kesehatan Realisasi : Realisasi : Realisasi : Realisasi : Realisasi :
8 (100%) 9 (100%) 8 (100%) 7 (100%) 8 (100%)

Pada tahun 2019 telah dihasilkan 8 dokumen kesepakatan kerja sama luar negeri bidang
kesehatan. Adapun rincian 8 dokumen tersebut disajikan pada tabel di bawah ini :

Tabel 3.44
Capaian Kinerja
Kesepakatan Kerja Sama Luar Negeri, Tahun 2019

No. Nama Output Target Capaian % Keterangan

1 Kesepakatan 4 4 100% 1. MoU Kesehatan RI – Republic


kerja sama Democratic Timor Leste (RDTL)
luar negeri : Pertemuan Pertama Joint
bilateral Working Group (JWG) on Health
bidang RI-RDTL dan Pertemuan Kedua
kesehatan Cross Border Meeting on
(Dokumen Communicable Diseases Control
kesepakatan) between Indonesia and Timor
Leste (18 – 20 Februari 2019)
2. MoU Kesehatan RI – Kerajaan
Arab Saudi : Joint Working Group
on Health Cooperation Republik
Indonesia - Kerajaan Arab Saudi
(4 Maret 2019)
3. MoU Kesehatan RI – Korea
Selatan : Joint Working Group on
Health Cooperation Republik
Indonesia – Korea Selatan (30

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 186


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

No. Nama Output Target Capaian % Keterangan

Agustus 2019)
4. MoU Kesehatan RI – Iran : 1st
Joint Working Group on Health
Cooperation RI - Iran dan 2nd Iran
- Indonesia Health Business
Forum (14 – 16 September 2019)
2 Kesepakatan 2 2 100% 5. 22nd BIMST Public Health
kerja sama Conference (30 – 31 Juli 2019)
luar negeri 6. Regional Consultative Meeting on
regional the Development of ASEAN
bidang Framework on Health Coverage
kesehatan for Documented Migrants including
(Dokumen Migrant Workers and Special
kesepakatan) Population (e.g. Mother and Child)
and ASEAN Regional Situationer
on Migrant Health (10-12
September 2019)
3 Kesepakatan 2 2 100% 7. Pertemuan the 44th Meeting of the
kerja sama Programme Coordinating Board
luar negeri (PCB) UNAIDS (25 – 27 Juni
multilateral 2019)
bidang 8. Pertemuan the 6th Meeting of the
kesehatan OIC Lead Country Coordinators’
(Dokumen Group (LCCG) dan the 13th
kesepakatan) Meeting of the OIC Steering
Committee on Health (SCH) (7-8
Oktober 2019)
Total 8 8 100%

Berikut rincian capaian kinerja Biro Kerja Sama Luar Negeri Tahun 2019 :
A.Kesepakatan kerja sama luar negeri bilateral bidang kesehatan
1. Memorandum of Understanding (MoU) Kesehatan RI – Republic Democratic
Timor Leste (RDTL)
MoU kerja sama bidang kesehatan antara Indonesia-Timor Leste ditandatangani
di Jenewa, Swiss pada tanggal 24 Mei 2017. Area kerja sama yang disepakati

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 187


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

kedua negara adalah sebagai berikut:


a. Pelayanan kesehatan dan pemeriksaan laboratorium;
b. Kerja sama di bidang farmasi dan alat kesehatan;
c. Peningkatan kapasitas tenaga kesehatan;
d. Kerja sama di bidang penyakit menular, terutama di daerah perbatasan dan
kesiapsiagaan pandemik, serta;
e. Kerja sama di bidang Ibu dan Anak, Imunisasi dan Gizi;
f. Bidang-bidang lain yang dianggap perlu dan disepakati secara tertulis oleh
kedua pihak

Gambar 3.43
Penandatanganan MoU RI - RDTL
Di Jenewa, Swiss Pada tanggal 24 Mei 2017

2. Memorandum of Understanding (MoU) Kesehatan RI – Kerajaan Arab Saudi


(KAS)
MoU bidang kesehatan RI – KAS telah ditandatangani pada tanggal 1 Maret 2017
di Bogor, Indonesia. Sebagai bentuk koordinasi dan komunikasi dalam
melaksanakan kerja sama di bidang kesehatan, kedua negara telah melaksanakan
the 1st JWG on Health RI – KAS di Jakarta, tanggal 17 Desember 2018.
The 2nd JWG on Health RI-KAS yang berlangsung di Riyadh pada tanggal 4 Maret
2019 merupakan bentuk tindak lanjut dari pertemuan JWG pertama yang
membahas 3 (tiga) pending documents, yaitu:
a. Joint Action Plan for the Implementation MoU for the Cooperation in the Field
of Health RI-KSA;
b. Implementing Arrangement on Cooperation in the Field of Health Services for
Indonesian Hajj and Umrah Pilgrims; dan
c. Implementing Arrangement on the Placement and Protection of Indonesian
Health Professional in the kingdom of Saudi Arabia.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 188


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Gambar 3.44
2nd Joint Working Group on Health Cooperation (JWG) RI-KAS
Di Riyadh, Arab Saudi Pada tanggal 4 Maret 2019

Delegasi RI dipimpin oleh Kepala Badan PPSDM Kesehatan, didampingi oleh


Direktur Jenderat Pelayanan Kesehatan, Duta Besar RI di Riyadh, Direktur
Kerjasama Luar Negeri BNP2TKI, Direktur Mutu dan Akreditasi Pelayanan
Kesehatan, Kepata Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan SDM Kesehatan,
perwakilan dari Dit. Hukum dan Perjanjian Sosial Budaya Kemenlu, Pusat
Kesehatan Haji dan Biro Kerja Sama Luar Negeri Kemenkes.
Sedangkan, Delegasi KSA dipimpin oleh Deputy Minister for Human Resources,
didampingi oleh General Director of Hajj, General Director for Human Resources
Services, General Director for Academic Affairs, General Director for Nursing
Affairs, Head of External Cooperation and Recruitment Sources, dan perwakilan
dari international collaboration.
The 2nd JWG on Health RI-KSA menghasilkan 3 output dokumen yang secara resmi
telah ditandatangani kedua betah pihak, yaitu:
a. Joint Action Plan for the Implementation MoU for the Cooperation in the Field
of Health RI-KSA
b. Implementing Arrangement on Cooperation in the Field of Health Services for
Indonesian Hajj and Umrah Pilgrims
c. Agreed Minutes the 2nd JWG.
Adapun area kerja sama yang disepakati dalam Joint Action Plan meliputi:
a. Exchange of views related to International Health Regulation issues that
become common interest of the Parties;
b. Cooperation on capacity building in the framework of International Health
Regulation;
c. Concluding Implementing Arrangement on the Placement and Protection of
d. Indonesian Health Professionals in the Kingdom of Saudi Arabia;
e. Collaboration in the field of health se/vices related to Hajj and Umrah;
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 189
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

f. Exchange of experiences and information on pilgrims and Umrah performers


and
g. preventive measures and health risks during Ha]) and Umrah;Conducting of
joint
h. research on diseases including infectious diseases during flaB and Umrah;
i. Technical cooperation on the development of WHO collaborating center for hal
and
j. umrah health in Indonesia;
k. The two Parties shall cooperate to seek recruitment health professionals
according to
l. the applicable laws and regulations in both countries;
m. Teaching Arabic language to Indonesian Health Professionals;
n. Implementing training to Indonesian Health Professionals to obtain Prometric
certificate; and
o. Exchange of information, knowledge, and experience in preventing and
controlling
p. Mers-Cov.

3. Memorandum of Understanding (MoU) Kesehatan RI – Korea Selatan


Kerja sama bidang kesehatan antara Indonesia dengan Korea Selatan diatur dalam
MoU yang ditandatangani di Bogor, Indonesia pada tanggal 9 November 2017
oleh Menteri Kesehatan RI dan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Korea
Selatan.
Area kerja sama yang disepakati dalam MoU adalah sebagai berikut:
1. Kebijakan dan manajemen kesehatan;
2. Pelayanan rumah sakit dan manajemen rumah sakit;
3. Peningkatan kualitas pelayanan dan fasilitas kesehatan;
4. Pengembangan teknologi kesehatan;
5. Pengendalian penyakit menular dan penyakit tidak menular;
6. Pengembangan sumber daya manusia;
7. Kefarmasian dan alat kesehatan;
8. Promosi kesehatan;
9. Bidang-bidang kerja sama lain yang disepakati bersama.
Bentuk kerja sama yang diamanatkan dalam MoU antara lain pertukaran
informasi, pengetahuan dan teknologi, pertukaran para ahli, keikutsertaan para
ahli dalam kongres dan konferensi yang diadakan salah satu pihak, pelatihan dan
peningkatan kapasitas, serta proyek bersama.
MoU berlaku sejak ditandatangani untuk periode waktu tiga tahun, dan
diperpanjang selama dua tahun berikutnya berdasarkan kesepakatan bersama
secara tertulis.
MoU kerja sama bidang kesehatan Indonesia-Korea Selatan mengamanatkan
untuk dilakukan Pertemuan Joint Working Group yang bertujuan untuk
mengevaluasi, memantau dan meninjau kembali implementasi MoU antara
Indonesia dengan Korea Selatan.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 190


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

4. Memorandum of Understanding (MoU) Kesehatan RI – Iran


MoU bidang kesehatan antara Indonesia dengan Iran telah ditandatangani di
Astana, Kazakhstan pada tanggal 26 Oktober 2018 oleh Menteri Kesehatan RI dan
Menteri Kesehatan dan Pendidikan Kesehatan Iran pada sela-sela Pertemuan 40th
Anniversary of the Declaration on Primary Health Care. Area kerja sama yang
disepakati kedua negara adalah sebagai berikut:
a. Pelayanan kesehatan;
b. Produk farmasi dan alat kesehatan;
c. Penelitian dan pengembangan kesehatan;
d. Jaminan kesehatan semesta;
e. Pencegahan dan pengendalian penyakit menular dan tidak menular;
f. Obat tradisional;
g. Respon darurat kesehatan dan manajemen bencana.

Adapun bentuk kerja sama yang disepakati dalam MoU bidang kesehatan
Indonesia-Iran seperti pertukaran informasi, pengalaman termasuk mengenai
Sistem dan Peraturan Kesehatan; pertukaran kunjungan para ahli dan pejabat;
penelitian bersama, peningkatan kapasitas; peningkatan kegiatan sektor swasta
dan bentuk kerja sama lain yang disepakati kedua negara.
Selanjutnya dilakukan penandatanganan Plan of Action (PoA) di Jenewa, Swiss
pada tanggal 21 Mei 2019 dan kedua Negara harus melakukan evaluasi serta
pengawasan minimal enam bulan sekali.

Gambar 3.45
Penandatanganan PoA RI – Iran
Di Jenewa, Swiss Pada tanggal 21 Mei 2019

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 191


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Kegiatan yang disepakati dalam rangka implementasi MoU antara lain:


a. Memperkuat Primary Health Care (PHC);
b. Kerja sama dalam isu yang menjadi perhatian bersama mengenai
Transplantasi Organ;
c. Mengembangkan peralatan farmasi dan medis di kedua Negara;
d. Kerja sama dalam permasalahan obat-obatan;
e. Kerja sama dalam Produk Obat-obatan Tradisional dan Pelengkap (Traditional
and Complimentary Pharmaceutical Products);
f. Berkolaborasi untuk mengatasi bioterorisme;
g. Kerja sama dalam keberlanjutan Universal Health Care (UHC);
h. Melakukan kerja sama untuk Penyakit Tidak Menular (PTM);
i. Pengembangan vaksin halal;
j. Melakukan kolaborasi untuk memperkuat pelayanan obat tradisional; dan
k. Kerja sama dalam bidang Health Emergency Response and Disaster
Management.
Pada tanggal 14 September 2019 telah dilaksanakan Pertemuan 1st Joint Working
Group on Health Cooperation (JWG) di Kantor Kemenkes Iran. JWG dimaksudkan
untuk membahas tindak lanjut implementasi MoU dan PoA Kerja Sama Kesehatan
RI-Iran dan hasil pertemuan bilateral Menkes RI dan Menkes Iran. Delegasi
Indonesia dipimpin oleh Dirjen Farmalkes, sedangkan Delegasi Iran dipimpin oleh
Dr Mohsen Asadi-Lari, Director General for International Affairs.

Gambar 3.46
Penandatanganan Minutes of Meeting JWG RI -Iran
Di Iran Pada tanggal 14 September 2019

Dalam pembahasan evaluasi MoU dan PoA, kedua Delegasi sepakat bahwa telah
dicapai kemajuan yang berarti dalam implementasinya antara lain dengan
terlaksananya kunjungan delegasi industri kesehatan Iran ke Indonesia dan
penyelenggaraan 1st Indonesia-Iran Health Business Forum di Jakarta awal
September 2019 serta kunjungan kerja Menkes RI ke Iran tanggal 14-16 September
2019.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 192


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

B. Kesepakatan kerja sama luar negeri regional bidang kesehatan


5. 22nd Brunei Darussalam Indonesia-Malaysia-Singapore-Thailand (BIMST) Public
Health Conference
Delegasi Kementerian Kesehatan RI telah menghadiri 22nd Brunei Darussalam
Indonesia-Malaysia-Singapore-Thailand (BIMST) Public Health Conference di Bandar
Seri Begawan, Brunei Darussalam. Delegasi RI (Delri) pada pertemuan tersebut
dipimpin oleh Kepala Biro Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Kesehatan
didampingi oleh perwakilan Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan, Pusat
Perencanaan dan Pendayagunaan SDM Kesehatan Kementerian Kesehatan dan
KBRI Bandar Seri Begawan.
Bertemakan “Remembering the Past, Looking for the Future”, forum ini
memfokuskan pembahasan pada capaian dan tantangan bidang kesehatan yang
dihadapi 5 negara anggota BIMST dan tindak lanjut forum BIMST.
Pertemuan menyepakati beberapa rekomendasi pertemuan sebagai berikut:
a. Seluruh negara anggota sepakat untuk kelanjutan BIMST Public Health
Conference dengan pengembangan beberapa aspek yang disusun dalam ToR
(Terms of Referrence). Kelanjutan forum mi diharapkan tetap mempertahankan
keunikan format BIMST, sebagai platform konsultasi yang informal untuk
sharing mengenai public health, termasuk berbagi best practices, dan
pengalaman.
b. Brunei dan Indonesia sepakat menyusun draft Terms of Reference (ToR) dan
mendistribusikannya kepada negara anggota untuk memperoleh saran dan
pendapat. Draft TOR meliputi: tujuan; peran dan tanggungjawab
partisipan/tuan rumah/observer; pengaturan tuan rumah yaitu dalam hal
penentuan topik (terkait communicable dan non-communicable disease)
sebelum penyelenggaraan pertemuan dan mekanisme dalam mengundang
negara lain sebagai observer atas dasar voluntary basis. Selain itu, diharapkan
juga kepatutan dan konsistensi kehadiran delegasi yang hadir, dengan
menyesuaikan topik yang menjadi fokus pembahasan, sehingga delegasi yang
hadir siap dan menguasai isu yang dibahas. Terkait delegasi, disarankan pula
adanya gabungan delegasi tingkat senior (decision-making) dan tingkat
yunior/teknis.
c. BIMST ke-22 juga merekomendasikan pertimbangan penamaan baru BIMST
Public Health Conference setelah 3 tahun, misal BIMST-Plus, yang membuka
kesempatan bagi negara lain untuk bergabung berdasarkan voluntary principle.

6. Regional Consultative Meeting on the Development of ASEAN Framework on


Health Coverage for Documented Migrants including Migrant Workers and
Special Population (e.g. Mother and Child) and ASEAN Regional Situationer on
Migrant Health
Pertemuan ini dilaksanakan sebagai tindak lanjut hasil Lokakarya untuk
mengembangkan pedoman tentang perlindungan kesehatan Migran dan populasi
khusus yang diadakan di Manila, Filipina pada 4-6 Desember 2018 serta pertemuan
ke-4 ASEAN Health Cluster 3 (AHC 3) tanggal 10-11 Juli 2019 di Singapura.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 193


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Pertemuan ini bertujuan untuk menyelesaikan Kerangka Kerja ASEAN tentang


cakupan kesehatan untuk migran yang terdokumentasi termasuk pekerja migran
dan populasi khusus (ibu dan anak) dan draft Analisis Situasi Regional ASEAN
tentang Kesehatan Migran.
Pertemuan dilaksanakan pada tanggal 10-12 September 2019 di Surabaya dibuka
oleh Dirjen Kesehatan Masyarakat dan dihadiri delegasi dari 7 (tujuh) negara ASEAN
(Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Singapura),
perwakilan ASEAN Secretariat (ASEC), SLOM Chair, IOM (Regional Asia and The
Pacific, Indonesia, dan Filipina), PhilHealth serta LP/LS terkait.

Gambar 3.47
Pertemuan ASEAN Migrant Health Di Surabaya
Pada tanggal 10-12 September 2019

Dari pertemuan ini dicapai kesepakatan-kesepakatan sebagai berikut :


a. Keluaran kegiatan ini akan dikenal sebagai the ASEAN Framework on the
Health Coverage of Documented Migrants including Migrant Workers and
Special Populations
b. Judul Publikasi Analisis Situasi berubah menjadi the ASEAN Situational
Analysis on Migrants’ Health
c. Electronic Working Group (EWG) on Migrants’ Health yang terdiri dari 2 (dua)
orang perwakilan dari setiap ASEAN Member States (AMS) yaitu 1 (satu)
orang peserta workshop di Surabaya dan atau Contact Points on Migrants’
Health yang ditunjuk dan ASEAN Health Cluster 3 Country Coordinator dari
masing-masing AMS.
d. Kesepakatan RTL disertai timeline untuk framework dan Analisis Situasi.
Selain itu dilakukan inisiasi side meeting antara lain :
a. Pertemuan dengan Philhealth (Badan Penyelenggara Asuransi Kesehatan
Nasional Filipina)
b. Bertujuan untuk saling bertukar informasi dan pengalaman dalam mengelola
jaminan kesehatan nasional.
c. Keunggulan Jamkes yang dikelola oleh Philhealth di antaranya mencakup
sepuluh persen warga negaranya yang merupakan migran.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 194


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

d. Di Indonesia sendiri pengelolaan untuk jaminan sosial Pekerja Migran


Indonesia (PMI) dilaksanakan oleh dua lembaga yaitu BPJS Kesehatan dan
BPJS Ketenagakerjaan dimana Jaminan Kesehatan didalam negeri ditanggung
oleh BPJS Kesehatan sedangkan Jaminan Kesehatan Kerja selama PMI bekerja
di luar negeri ditanggung oleh BPJS Ketenagakerjaan.

C. Kesepakatan kerja sama luar negeri multilateral bidang kesehatan


7. Pertemuan the 44th Meeting of the Programme Coordinating Board (PCB) UNAIDS
Pertemuan ke-44 Programme Coordinating Board (PCB) United Nations Programme
on HIV/AIDS (UNAIDS) dilaksanakan tanggal 25-27 Juni 2019 di Jenewa, Swiss.
Pertemuan dihadiri oleh organisasi co-sponsor (UNHCR, UNICEF, WFP, UNDP,
UNFPA, UNODC, UN Women, ILO, UNESCO, WHO dan the World Bank), perwakilan
NGO serta 22 negara anggota PCB UNAIDS termasuk Indonesia yang diwakili oleh
Delegasi Kementerian Kesehatan dan Perutusan Tetap RI Jenewa.
Pada pertemuan tersebut disampaikan bahwa Pemerintah RI telah mengambil
kebijakan untuk mengambil kebijakan untuk memastikan kelompok masyarakat
atau populasi kunci beresiko tinggi penularan HIV AIDS dapat menjalani screening
HIV secara berkala diikuti dengan pengobatan yang diperlukan tanpa biaya apa
pun. Namun, tantangan besar masih tetap ada, antara lain koherensi kebijakan
antara lembaga pemerintah, masih adanya stigmatisasi oleh petugas kesehatan,
kurangnya kewaspadaan dan komitmen di antara orang yang hidup dengan HIV
untuk mengikuti pengobatan. Indonesia menyampaikan komitmennya untuk
mengatasi tantangan ini dengan dukungan dari komunitas internasional.

Gambar 3.48
The 44th Meeting of the Programme Coordinating Board (PCB) UNAIDS
Di Jenewa, Swiss pada tanggal 25-27 Juni 2019

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 195


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

8. Pertemuan the 6th Meeting of the OIC Lead Country Coordinators’ Group (LCCG)
dan the 13th Meeting of the OIC Steering Committee on Health (SCH)
Pertemuan the 6th Meeting of the OIC Lead Country Coordinators’ Group (LCCG) dan
the 13th Meeting of OIC the Steering Committee on Health (SCH) telah
diselenggarakan pada tanggal 7 – 8 Oktober 2019 di Abu Dhabi, Persatuan Emirat
Arab. Delegasi RI dipimpin oleh Staf Ahli Menteri Kesehatan bidang Hukum
Kesehatan, dengan didampingi oleh Kepala Biro Kerja Sama Luar Negeri dan
Direktur Produksi dan Distribusi Kefarmasian, serta unsur dari Biro Kerja Sama Luar
Negeri Kemenkes, Direktorat Sosial Budaya dan OINB Kemlu serta KBRI Riyadh
selaku perwakilan tetap Indonesia untuk OKI.
Pertemuan Lead Country Coordinators’ Group (LCCG) merupakan forum reguler
bidang kesehatan dalam forum OKI yang bertujuan untuk mengevaluasi
implementasi kegiatan prioritas 6 thematic area dalam Strategic Health Programme
of Action (OIC SHPA) 2024-2013 (dokumen rencana strategis OKI di bidang
kesehatan). Pertemuan ke-6 LCCG OKI mendiskusikan implementasi kegiatan yang
telah dikomitmenkan pada pertemuan LCCG ke-5 periode 2017-2019 serta
mengidentifikasi kegiatan prioritas untuk periode 2019-2021.
Pertemuan Steering Committee on Health (SCH) adalah Platform pertemuan OKI
setingkat Eselon I yang berfungsi untuk mempersiapkan pertemuan the Islamic
Conference of Health Ministers (ICHM) serta menindaklanjuti implementasi resolusi
yang telah dihasilkan dari pertemuan ICHM. Pertemuan ke-13 OIC SCH membahas
penyiapan agenda, rancangan resolusi, serta rekomendasi isu prioritas untuk
pertemuan ICHM ke-7 pada tanggal 15-17 Desember 2019 di Abu Dhabi. Selain itu
pertemuan juga akan mengevaluasi terhadap implementasi beberapa resolusi yang
telah dihasilkan pada ICHM ke-6 tahun 2017 di Jeddah.

Gambar 3.49
The 6th Lead Country Coordinators’ Group (LCCG) OKI
Di Abu Dhabi, Persatuan Emirat Arab
Pada tanggal 7 Oktober 2019

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 196


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Pertemuan ke-6 LCCG OKI dihadiri oleh perwakilan 4 (empat) dari 7 (tujuh) negara
yang menjadi lead country coordinators (LCC) dari 6 (enam) thematic area OIC SHPA
2024-2013 untuk periode 2017-2019 yaitu Turki selaku LCC tematik area 1, Arab
Saudi LCC tematik area 3, Malaysia selaku LCC tematik area 4, dan Indonesia selaku
Co-LCC tematik area 4. Bahrain, Sudan dan Maroko selaku LCC tematik area 2, 5, 6
tidak hadir pada pertemuan dimaksud. Pertemuan dihadiri pula oleh perwakilan
dari Persatuan Emirat Arab selaku tuan rumah, perwakilan dari Badan Subsider OKI
terkait yaitu COMSTECH, SESRIC, IDB dan ISESCO.

Masing-masing negara LCC menyampaikan laporan implementasi kegiatan prioritas


termasuk Indonesia selaku LCC tematik area 3 (tematik area kesehatan ibu dan
anak) periode 2015-2017. Indonesia menyampaikan laporan terkait
penyelenggaraan pelatihan Maternal and Child Health Handbook yang merupakan
kegiatan rutin tahunan yang diselenggarakan dari sejak tahun 2007 dalam kerangka
kerja sama selatan-selatan bekerja sama dengan Japan International Cooperation
Agency (JICA). Dengan mempertimbangkan besarnya manfaat yang diperoleh dari
kegiatan tersebut, Indonesia akan memberikan kesempatan lebih banyak kepada
negara anggota OKI.

Pertemuan ke-13 SCH OKI berlangsung pada tanggal 8 Oktober 2019. Pertemuan
ke-13 SCH OKI dihadiri oleh lead country dari area tematik (Turki, Arab Saudi,
Malaysia, Indonesia), Uganda dan Mauritania selaku perwakilan dari regional afrika,
Arab Saudi selaku tuan rumah sidang ICHM petahana, serta Persatuan Emirat Arab
selaku tuan rumah ICHM mendatang. Pertemuan juga dihadiri badan subsider OKI
terkait (COMSTECH, SESRIC, IDB dan ISESCO) serta mitra pembangunan OKI (WHO,
Global Fund dan GAVI).
Pada pertemuan tersebut Indonesia menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
a. Dukungan terhadap OIC Medical Corps terutama di kawasan Negara-negara OKI,
dengan saran agar operasionalisasi OIC Medical Corps dapat berbeda dengan
Emergency Medical Team yang telah terlebih dahulu didirikan oleh WHO.
b. Presentasi terkait pengembangan IOC-COE termasuk hasil pertemuan OIC
Workshop on Cold Chain Management di Bandung pada awal Oktober 2019.
c. Indonesia menyampaikan bahwa Sekretariat OIC-COE telah berdiri dan menjadi
bagian dari Gedung Kemenkes RI. Lebih lanjut disampaikan bahwa informasi
mengenai OIC-COE dan potensi kerjasama dapat diperoleh melalui portal OIC-
COE atau menghubungi Sekretariat OIC-COE.
d. Menanggapi laporan Sekretariat OKI terkait pertemuan 1st meeting of OIC-NMRA
yang diselenggarakan di Jakarta pada November 2018, Indonesia mengusulkan
rancangan resolusi yang intinya meminta; (a) SCH untuk mengesahkan Jakarta
Declaration, outcome document 1st meeting of OIC-NMRA untuk masuk dalam
resolusi pertemuan ICHM ke-7; (b) mengusulkan agar pertemuan NMRA menjadi

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 197


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

bagian dari pertemuan ICHM; dan (c) agar pertemuan NMRA dilaksanakan
secara rutin setiap 2 tahun sekali, bergantian dengan pertemuan ICHM.

Terkait kebutuhan terhadap vaksin halal dan adanya black campaign terhadap
penggunaan vaksin halal di Indonesia, Islamic Advisory Group (IAG) menyampaikan
tawaran untuk memfasiitasi pertemuan antara religious leaders di Indonesia
dengan Imam Besar Al-Azhar. Indonesia menanggapi secara positif inisiatif tersebut
dan akan menindaklanjuti tawaran tersebut baik melalui pertemuan di Mesir
maupun di Indoneisa.

Keberhasilan atas pencapaian kinerja tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor,


diantaranya adalah:
a. Ketersediaan sumber daya, baik dari sisi sumber daya manusia maupun sumber
daya lainnya seperti ketersediaan anggaran serta ketersediaan sarana dan
prasarana
b. Upaya aktif Indonesia dalam hal ini Kementerian Kesehatan dalam pendekatan
terhadap negara negara mitra ataupun negara lainnya yang potensial, serta
upaya aktif dalam forum forum internasional bidang kesehatan
c. Komitmen Kementerian Kesehatan dalam membangun jejaring kerja sama luar
negeri
d. Upaya sosialisasi dan diseminasi kesepakatan kesepakatan yang telah di
tandatangani dan perkembangannya
e. Upaya membangun koordinasi kerja sama luar negeri yang efektif dengan
Kementerian/Lembaga terkait
f. Keberhasilan Indonesia atau Kementerian Kesehatan menyelenggarakan
pertemuan internasional, serta
g. Komitmen pimpinan nasional dan Kementerian Kesehatan untuk mengikuti
perkembangan

Meskipun hasilnya cukup baik, masih terdapat sejumlah


tantangan/permasalahan yang perlu menjadi perhatian Kementerian Kesehatan,
diantaranya adalah:
a. Dinamika internasional yang berlangsung dengan sangat cepat, khususnya
perkembangan isu-isu politik dan ekonomi, Kesehatan juga merupakan salah
satu isu yang tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh perkembangan isu-isu
lainnya di dunia internasional.
b. Sumber daya manusia di Kementerian Kesehatan yang memiliki kompetensi
untuk berkontribusi di forum internasional masih terbatas. Ini akan
berpengaruh pada mutu kesepakatan internasional yang dihasilkan
c. Masih belum optimalnya koordinasi lintas program dan lintas sektor terkait
kerja sama internasional di bidang kesehatan.
d. Akses yang terbatas terhadap data dan informasi terkini

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 198


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah/kendala yang dihadapi


adalah:
a. Melakukan komunikasi dan koordinasi intensif dengan kementerian atau
lembaga terkait, terutama Kementerian Luar Negeri untuk mengetahui peta
politik dan ekonomi di dunia internasional.
b. Memberikan kesempatan kepada sumber daya manusia di Kementerian
Kesehatan untuk meningkatkan kompetensinya, termasuk melalui pemberian
kesempatan mengikuti kegiatan internasional.
c. Terus meningkatkan koordinasi, baik di internal Kementerian Kesehatan
maupun di lingkup nasional.

8). Sasaran Strategis 8: Meningkatnya Integrasi Perencanan, Bimbingan Teknis, dan


Pemantauan Evaluasi

Dalam kaitan dengan Sasaran Strategis ini, Kementerian Kesehatan mengidentifikasi dua
Indikator Kinerja Utama (IKU) dengan hasil capaiannya sebagaimana tergambar dalam tabel
berikut:

Tabel 3.45
Capaian IKU pada Sasaran Strategis 8: Meningkatnya Integrasi Perencanan, Bimbingan
Teknis, dan Pemantauan Evaluasi

SS8: Meningkatnya Integrasi Perencanaan, Bimbingan Teknis, dan Pemantauan


Evaluasi
Indikator Kinerja Target Realisasi % Realisasi
8a. Jumlah provinsi yang memiliki rencana lima 34 34 100%
tahun dan anggaran kesehatan terintegrasi dari
berbagai sumber
8b. Jumlah rekomendasi monitoring evaluasi 34 34 100%
terpadu

Berikut ini adalah perbandingan capaian IKU pada Sasaran Strategis Meningkatnya
Integrasi Perencanan, Bimbingan Teknis, dan Pemantauan Evaluasi tahun 2015 – 2019 :

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 199


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Grafik 3.58
Perbandingan Target dan Capaian Tahun 2015-2019

Uraian tentang kedua IKU tersebut adalah sebagai berikut:

a. Jumlah provinsi yang memiliki rencana lima tahun dan anggaran kesehatan terintegrasi
dari berbagai sumber
Definisi operasional dari indikator pertama adalah jumlah provinisi yang mempunyai
dokumen pemetaan anggaran kesehatan di provinsi yang sesuai dengan prioritas
nasional dengan menggunakan dana APBN dan APBD. Cara perhitungan Provinsi yang
memiliki rencana dalam kurun waktu lima tahun dengan anggaran kesehatan terintegrasi
dari berbagai sumber dana (APBN dan APBD).

IKU ini dapat dicapai seluruhnya (100%) dengan menghasilkan kinerja jumlah Provinsi
yang memiliki rencana lima tahun dan anggaran kesehatan terintegrasi dari berbagai
sumber sejumlah 34 Provinsi sebagai berikut:

Tabel 3.46
Provinsi dengan Rencana Lima Tahun dan Anggaran Kesehatan yang Terintegrasi

No Provinsi No Provinsi
1 Aceh 18 Nusa Tenggara Timur
2 Sumatera Utara 19 Nusa Tenggara Barat
3 Sumatera Barat 20 Kalimantan Timur
4 Riau 21 Kalimantan Barat
5 Kep. Riau 22 Kalimantan Utara
6 Jambi 23 Kalimantan Tengah
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 200
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

7 Bengkulu 24 Kalimantan Selatan


8 Sumatera Selatan 25 Gorontalo
9 Kep. Bangka Belitung 26 Sulawesi Utara
10 Lampung 27 Sulawesi Barat
11 Banten 28 Sulawesi Selatan
12 Jawa Barat 29 Sulawesi Tengah
13 DKI Jakarta 30 Sulawesi Tenggara
14 Jawa Tengah 31 Maluku
15 DI Yogyakarta 32 Maluku Utara
16 Jawa Timur 33 Papua
17 Bali 34 Papua Barat

Pencapaian indikator pertama yang mampu mencapai target yang direncanakan dalam
Rencana Strategis Kementerian Kesehatan didukung oleh hal-hal sebagai berikut:
1) Undang – Undang Kesehatan.
2) Permenkes Nomor 7 Tahun 2014.
3) Hasil trilateral meeting.
4) Adanya partisipasi aktif dari Dinas Kesehatan Provinsi dalam menyusun Rencana
Strategis Daerah.
5) Peran serta aktif Pemerintah Daerah dalam mendukung sektor kesehatan dengan
dukungan APBD khususnya untuk anggaran kesehatan yang terintegrasi dari
berbagai sumber.
Permasalahan yang dihadapi dalam mencapai IKU ini adalah:
1) Kegiatan dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan yang ada di daerah sehingga
kehadiran peserta tidak bisa mencapai 100%.
2) Peserta menggunakan dana APBD.

Upaya pemecahan masalah yang dapat dilakukan adalah mempersiapkan dan


mensosialisasikan jadwal kegiatan sehingga tidak bersamaan dengan kegiatan di
daerah serta menumpuk di akhir tahun.

Sebagai upaya tindak lanjut yang akan dilakukan untuk indikator ini adalah monitoring
dan evaluasi secara berkala ke provinsi dan memberikan feedback laporan ke Provinsi

b. Jumlah rekomendasi monitoring evaluasi terpadu


Kementerian Kesehatan memandang penting monitoring dan evaluasi dalam pelaksanaan
program pembangunan kesehatan. Sejak tahun 2015 Kementerian Kesehatan memiliki
kebijakan monitoring dan evaluasi program pembangunan kesehatan dilaksanakan
dengan melibatkan seluruh unit eselon I, tidak lagi berjalan parsial oleh masing-masing
unit. Monitoring dan evaluasi program pembangunan kesehatan dilaksanakan melalui
pendekatan kewilayahan yang lebih komprehensif. IKU ini bertujuan agar seluruh
masalah pelaksanaan program pembangunan kesehatan di seluruh wilayah Indonesia
dapat dicarikan alternatif-alternatif solusi yang integratif dan komprehensif. IKU akan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 201


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

dianggap semakin baik bila realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari yang
ditargetkan.

Indikator Jumlah rekomendasi monitoring evaluasi terpadu dihitung dengan cara


menghitung jumlah dokumen rekomendasi yang dihasilkan dari pelaksanaan monitoring
evauasi terpadu yang dihasilkan pada satu tahun tertentu.

IKU ini dapat tercapai seluruhnya (100%) dengan menghasilkan kinerja sejumlah 34
dokumen yang ditetapkan atau mencapai 100%.
Faktor yang mendukung pencapaian indikator ketiga adalah monitoring program yang
menggunakan pendekatan binwil dengan melibatkan peran serta dari seluruh unit utama,
serta konfirmasi pimpinan untuk melaksanakan program secara terpadu.

Kendala yang dihadapi untuk mencapai target indikator ketiga ialah hasil akhir laporan
wilayah binaan dari unit utama membutuhkan waktu dan koordinasi yang cukup lama.
Faktor lainnya yang mendukung pencapaian IKU adalah monitoring program yang
menggunakan pendekatan binwil dengan melibatkan peran serta dari seluruh unit utama,
serta konfirmasi pimpinan untuk melaksanakan program secara terpadu.

Rencana Tindak Lanjut untuk agar IKU tetap dapat dicapai adalah:
a. Meningkatkan kualitas melalui penyempurnaan sistem metode, instrumentasi dan
analisis;
b. Meningkatkan kerjasama lintas sektor dan lintas program;dan
c. Tetap berkoordinasi dengan unit utama pada Januari 2019 untuk menyampaikan data
terkait laporan monev terpadu

9).Sasaran Strategis 9: Meningkatnya Efektivitas Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan

Kementerian Kesehatan melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan telah


melakukan sejumlah penelitian dalam rangka mendukung pembangunan kesehatan di
Indonesia. Penelitian merupakan investasi yang sangat berharga bagi ilmu pengetahuan,
khususnya bidang kesehatan sehingga perlu diatur penggunaan dan pemanfaatannya.

Dalam kaitan dengan Sasaran Strategis ini, Kementerian Kesehatan mengidentifikasi tiga
Indikator Kinerja Utama (IKU) dengan hasil capaiannya sebagaimana tergambar dalam tabel
berikut:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 202


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Tabel 3.47
Capaian IKU pada Sasaran Strategis 9:
Meningkatnya Efektivitas Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
SS9: Meningkatnya Efektivitas Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Indikator Kinerja Target Realisasi % Realisasi


9a. Jumlah hasil Riset Kesehatan Nasional 1 1 100
(Riskesnas) bidang kesehatan dan gizi
masyarakat
9b. Jumlah rekomendasi dan kebijakan berbasis 24 24 100
penelitian dan pengembangan kesehatan yang
diadvokasikan ke pengelola program kesehatan
dan atau pemangku kepentingan.
9c. Jumlah hasil penelitian yang didaftarkan HKI 4 25 625

Uraian tentang ketiga IKU tersebut adalah sebagai berikut:

a) Jumlah Hasil Riset Kesehatan Nasional (Riskesnas) bidang kesehatan dan gizi
masyarakat

IKU ini memiliki definisi operasional jumlah laporan Riset Kesehatan Nasional yang
dituliskan berdasarkan hasil penelitian dan pengembangan (sesuai dengan agenda Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan). IKU ini bertujuan untuk mendorong lebih
banyak penelitian dan pengembangan bidang kesehatan yang dihasilkan. IKU akan
dianggap semakin baik bila realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari yang
ditargetkan.
Definisi operasional indikator ini adalah jumlah laporan hasil Riskesnas yang ditulis
berdasarkan hasil litbang (sesuai dengan agenda Badan Litbang Kesehatan). Cara
perhitungan indikator ini dengan menghitung jumlah laporan Riskesnas yang ditulis
berdasarkan hasil litbang kesehatan, dibuktikan dengan adanya dokumen tertulis sebagai
laporan Nasional Riset Kesehatan Nasional Tahun 2019.

Tabel 3.48
Capaian Kinerja Indikator Jumlah Hasil Riset Kesehatan Nasional (Riskesnas) Bidang
Kesehatan dan Gizi Masyarakat

Sasaran Indikator Target Capaian %


Meningkatnya kualitas Jumlah Hasil Riset
penelitian, Kesehatan Nasional
pengembangan dan (Riskesnas) bidang 1 1 100
pemanfaatan di bidang kesehatan dan gizi
kesehatan masyarakat

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 203


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Berdasarkan Renstra 2015-2019, Badan Litbang Kesehatan diarahkan pada riset yang
menyediakan informasi untuk mendukung program kesehatan baik dalam bentuk kajian,
riset kesehatan nasional, pemantauan berkala, riset terobosan berorientasi produk,
maupun riset pembinaan dan jejaring. Beberapa terobosan riset telah dilaksanakan
seperti Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), Survei Indikator Kesehatan Nasional
(Sirkesnas), Riset Tenaga Kesehatan (Risnakes), Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes), Riset
Evaluasi Kinerja Team Based Nusantara Sehat, dan Riset Evaluasi Kemajuan Pelaksanaan
PIS-PK.

Riset Fasilitas Kesehatan 2019 adalah Riset yang memetakan masalah ketersediaan
fasilitas kesehatan serta kecukupan, distribusi sumber daya tenaga kesehatan dan indeks
kinerja rumah sakit (RS) dan Puskesmas. Rifaskes tahun 2011 melibatkan lebih dari 9.000
Puskesmas dan lebih dari 650 RS umum pemerintah sebagai sasaran penelitian.
Sedangkan sampel Rifaskes tahun 2019 melibatkan 532 Rumah Sakit, 9909 Puskesmas,
403 Laboratorium, 419 Apotek, 402 Praktek Bidan Mandiri, 411 Praktek Dokter Mandiri
dan 417 Klinik dengan total keseluruhan sampel 12493.

Gambar 3.50
Kegiatan Rifaskes Tahun 2019

Gambaran indikator riset skala nasional dalam kerangka Renstra 2015-2019 disajikan
dalam berikut

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 204


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Grafik 3.59
Perbandingan Realisasi Kinerja Tahun 2019 dengan
Target Jangka Menengah Renstra 2015-2019

Indikator hasil Riset Kesehatan Nasional (Riskesnas) bidang kesehatan dan gizi
masyarakat tahun 2019 secara kumulatif telah berhasil memenuhi target yang ditetapkan
dalam Renstra 2015-2019. Secara komulatif diakhir Renstra jumlah penelitian Nasional
yang telah dihasilkan berjumlah 8 Riset Nasional (Riskesnas), berdasarkan jumlah Riset
Nasional yang dilaksanakan dari tahun 2015 sampai dengan 2019 mengalami fluktuatif.
Tahun 2016 adalah yang terbesar yaitu 3 Riset dengan rata-rata per tahun sebanyak 1
Riset .

Keberhasilan ini didukung oleh adanya perencanaan yang matang, dukungan


manajemen, tim teknis dan para tim pakar. Sebagai salah satu unit utama di Kementerian
Kesehatan, Badan Litbang Kesehatan memiliki tugas, fungsi serta peran yang strategis
bagi pembangunan kesehatan. Penelitian pengembangan kesehatan yang dilaksanakan
diarahkan pada riset yang menyediakan informasi untuk mendukung program kesehatan
baik dalam bentuk kajian, riset kesehatan nasional, pemantauan berkala, riset terobosan
berorientasi produk, maupun riset pembinaan dan jejaring. Riset Kesehatan Nasional
yang dilakukan pada tahun 2019 adalah Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes) setelah
terakhir dilaksanakan pada tahun 2011. Rifaskes tahun 2019 bertujuan untuk
memperoleh rekomendasi untuk perbaikan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN), baik dalam aspek kepesertaan , tata kelola, manfaat dan pelayanan kesehatan.
Pengumpulan data Rifaskes dilakukan di seluruh Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas
Kab/Kota dan Puskesmas, sedangkan rumah sakit, klinik, dokter praktek mandiri, bidan
praktek mandiri, apotek dan laboratorium dilakukan secara sampling.

Kendala yang dihadapi tahun 2019 :


1) Pada saat pelaksanaan Rifaskes tahun 2019 adalah daftar sampel yang akan
digunakan pada saat pengumpulan data perlu diupdate kembali.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 205


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

2) Pada saat pelaksaan rakornis provinsi masi hada beberapa kab/kota yang tidak
membawa list fasyankes (bidan, dokter, klinik, laboratorium) sehingga menyulitkan
proses sampling.
3) Sampel Fasyankes lain :
a) Apotek : sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan pratik kefarmasian
b) Praktik Mandiri Bidan : Fasilitas pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh
bidan yang memiliki kewenangan untuk memberikan pelayanan langsung kepada
pasien/klien
c) Dokter Praktik Mandiri : Dokter praktik mandiri atau dokter praktik perorangan
yang menyelenggarakan pelayanan medik dasar umum dalam rangka upaya
kesehatan perseorangan tingkat pertama, tidak termasuk praktek dokter gigi dan
dokter spesialis
d) Laboratorium mandiri : laboratorium klinik yang pelayanannya tidak terintegrasi
dengan faskes lainnya dan memiliki ijin laboratorium
e) Klinik : Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau
spesialistk
4) Pembagian Tim :
a) Pembagian tim Rumah Sakit sebaiknya memperhitungkan berbagai hal termasuk
sistem administrasi di ibukota provinsi
b) Pembagian tim Puskesmas dan Fasyankes lainnya mempertimbangkan jumlah
jenis fasyankes lainnya

Tindak lanjut mengatasi kendala Tahun 2019 :


1) Memastikan perubahan status (tutup atau berubah menjadi faskes lain atau non
faskes) sedangkan untuk laboratorium akan dilaporkan kembali ke setiap kan/kota,
mekanisme yang sama juga berlaku untuk bidan, dokter dan klinik.
2) diingatkan kembali ke PJT Provinsi agar dinkes kab/kota dapat membawa data ini.
Metode sampling untuk fasyankes lainnya mengikuti kaidah berikut :
a) Untuk penentuan sampel tingkat provinsi (penetapan kab/kota terpilih) harus
menggunakan file excel dengan metode systematic random sampling.
Perubahan dilaporkan dan dilakukan oleh tim pusat
b) Untuk penentuan sampel tingkat kab/kota (penetapan nama FKTP terpilih) bisa
menggunakan metode apapun : random orang, rendbetween, pengocokan
c) Jumlah jatah sampel tiap provinsi tidak berubah kecuali bisa tidak tersedia
3) Sampel Fasyankes :
a) dalam Rifaskes 2019 semua apotek dalam data Aplikasi Pemetaan Sarana
Kefarmasian termasuk sampel kecuali apotek dalam rumah sakit (instalasi
farmasi atau depo farmasi)
b) dalam Rifaskes 2019 semua praktek bidan yang terdaftar dan masih melakukan
praktek dapat diambil sebagai sampel
c) praktek dokter bergabung dengan apotek tetapi ada ijin sebagai dokter praktek,
maka dianggap sebagai dokter pratek mandiri. Bila ditemukan dokter terpilih

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 206


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

praktek lebih dari 1 tempat, maka bisa diambil di salah satu lokasi tempat
prakteknya
d) Jika laboratorium dalam RS, Puskesmas dan Klinik tidak termasuk dalam
laboratorium mandiri tetapi kalau didalam klinik terdapat 2 izin sebagai
laboratorium dan izin sebagai klinik maka laboratorium tersebut dimasukkan ke
dalam laboratorium mandiri dan bisa diambil sebagai sampel rifaskes
e) Dalam Rifaskes 2019 untuk klinik tidak membedakan klinik pratama maupun
utama, keduanya dapat diambil sebagai sampel namun tidak termasuk klinik
khusus seperti klinik gigi, klinik kecantikan, klinik mata, dsb

4) Pembagian Tim :
a) Salah satu cara antisipasi adalah dengan membagi Rumah Sakit di ibukota
provinsi ke semua tim terdekat
b) Mekanisme workshop enumerator (TC) yaitu :
i.Semua tim akan mendapatkan materi puskesmas
ii. Semua tim akan mendapat materi mandat atau paperless
iii. Materi pelatihan kuesioner fasyankes lainnya : dokter, klinik, apotek, lab
dan bidan akan dibagi sesuai rencana pembagian tim dalam 5 kelas
terpisah secara paralel. Oleh karena itu diupayakan agar 1 tim memegang
maksimal 2 jenis fasyankes dengan cara berbagi 2 ke kelas berbeda.
Apabila dalam kondisi khusus 1 tim terpaksa memegang lebih dari 2 jenis
fasyankes maka pjt prov/kab/kota perlu melakukan private teaching

b) Jumlah rekomendasi kebijakan berbasis penelitian dan pengembangan kesehatan yang


diadvokasikan ke pengelola program kesehatan dan atau pemangku kepentingan.
IKU didefinisikan dengan jumlah dokumen rekomendasi kebijakan (policy brief/policy
paper) yang ditulis berdasarkan hasil penelitian dan pengembangan kesehatan yang
disampaikan dalam forum atau pertemuan kepada pengelola program dan atau
pemangku kepentingan. IKU ini bertujuan untuk efektivitas pemanfaatan hasil penelitian
yang telah dihasilkan. IKU akan dianggap semakin baik bila realisasinya lebih besar atau
lebih tinggi dari yang ditargetkan.

Definisi operasional indikator ini adalah jumlah dokumen rekomendasi kebijakan (policy
brief/policy paper) yang ditulis berdasarkan hasil litbang kesehatan yang disampaikan
dalam forum atau pertemuan kepada pengelola program dan atau pemangku
kepentingan. Cara perhitungan indikator ini dengan menghitung jumlah rekomendasi
kebijakan (policy brief/policy paper) yang ditulis berdasarkan hasil litbang kesehatan
yang disampaikan dalam forum atau pertemuan kepada pengelola program dan atau
pemangku kepentingan yang dibuktikan dengan adanya policy paper dan laporan
forum/pertemuan (menghitung target/baseline berdasarkan perhitungan rekomendasi
sesuai isu strategis yang telah diadvokasikan).

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 207


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Tabel 3.49
Capaian Kinerja Indikator Hasil Rekomendasi Kebijakan Tahun 2019
Sasaran Indikator Target Capaian %
Hasil rekomendasi kebijakan
Meningkatnya kualitas berbasis penelitian dan
penelitian, pengembangan kesehatan
pengembangan dan yang diadvokasikan ke 24 24 100
pemanfaatan di pengelola program kesehatan
bidang kesehatan dan atau pemangku
kepentingan

Indikator rekomendasi kebijakan berbasis penelitian dan pengembangan kesehatan


yang diadvokasikan ke pengelola program kesehatan dan atau pemangku kepentingan
telah berhasil memenuhi capaian sesuai target pada dokumen Rentra Badan Litbang
Kesehatan tahun 2019 yaitu 24 dokumen dari target 24 dokumen (100%). Gambaran
indikator ini dalam kerangka Renstra 2015-2019 disajikan dalam grafik berikut.

Grafik 3.60
Perbandingan Realisasi Kinerja Tahun 2019 dengan Target Jangka Menengah Renstra
2015-2019

160

Realisasi; 2019;
140
141

120 Realisasi; 2018; Target; 2019; 120


117
100
Target; 2018; 96

80 Realisasi; 2017;
75 Target; 2017; 72 Target
60
Realisasi; 2016; Realisasi
Target; 2016; 48
40 48

Realisasi; 2015;
20 Target; 2015; 24
24

0
2015 2016 2017 2018 2019
Target 24 48 72 96 120
Realisasi 24 48 75 117 141

Indikator Rekomendasi Kebijakan yang telah diadvokasikan tahun 2019 secara


kumulatif telah berhasil memenuhi target yang ditetapkan dalam Renstra 2015-2019.
Secara komulatif diakhir Renstra jumlah Rekomendasi Kebijakan yang telah

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 208


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

diadvokasikan telah dihasilkan berjumlah 141 dokumen dari 120 yang ditargetkan
(117,5%), berdasarkan jumlah Rekomendasi Kebijakan yang telah diadvokasikan dari
tahun 2015 sampai dengan 2019 mengalami fluktuatif dengan target tetap sebesar 24
dokumen. Tahun 2017 adalah yang terbesar yaitu 42 dokumen (175%). Judul 24
rekomendasi kebijakan yang diadvokasikan adalah sebagai berikut.

Tabel 3.50
Judul Rekomendasi Kebijakan yang telah di advokasikan pada Tahun 2019
No. Topik/Judul Satker
1. Penanganan Kompleksitas Kondisi Penyakit Kusta Di Provinsi
Papua Barat
2. Efek terapi dan kepatuhan minum antiretroviral pada ODHA Puslitbang BTDK
di kabupaten Manokwari dan ampuan

3. Multi Center Filariasis di Kabupaten Pidie


4. Kajian Kemandirian Lembaga Akreditasi Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama Puslitbang SDPK
5. Data Riset Kesehatan Sebagai Dasar Pembangunan Nasional
Bidang Kesehatan
6. Penduduk Kalimantan Barat Sehat dengan Tangkal Penyakit
Tidak Menular
7. Tantangan Eliminasi Tuberculosis 2030: Temukan Missing
Cases TBC dan Pengobatan Rifampisin Resisten
8. Pendampingan Ibu Hamil: Upaya Optimalisasi Pengabdian Puslitbang UKM
Masyarakat oleh Mahasiswa dan ampuan
9. Optimalisasi Program Satu Rumah Satu Jumantik (1R1J)
dalam Pengendalian Deman Berdarah Dengue
10. Pengendalian Schistosomiasis Berbasis Masyarakat (Model
Bada)
11. Kebijakan Khusus Penanggulangan GAKI Di Daerah Excess
Iodium ?
12. Memastikan Kecukupan Iodium Ibu Menyusui untuk
Mengoptimalkan Perkembangan Bayi pada Masa Emasnya
13. Perubahan Perilaku Pencegahan Filariasis di Daerah Pasca
POPM dan Pasca TAS Menuju Eliminasi Filariasis
14. Implementasi Gerakan Satu Rumah Satu Jumantik Di
Kelurahan Patih Galung, Kecamatan Prabumulih Barat, Kota
Prabumulih
15. Implementasi Gerakan Satu Rumah Satu Jumantik di
Kelurahan Talang Bakung, Kota Jambi
16. Rekomendasi Kebijakan Surveilans, Pelaporan Kasus, dan
Penggunaan Bibit Ternak Babi : Terkait Penyakit Japanese
encephalitis di Kabupaten Tangerang
17. Program Pengendalian Malaria Berkelanjutan Menuju
Purworejo Bebas Malaria
18. Pentingnya Sosialisasi Diagnosis Leptospirosis pada Penyedia

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 209


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

No. Topik/Judul Satker


Pelayanan Kesehatan di Kabupaten Purworejo
19. Analisis Beban Penyakit (Burden of Diseases) Indonesia Puslitbang HKM
20. Pengendalian Leptospirosis Berbasis Data Di Provinsi DKI BB VRP
Jakarta
21. Opsi Kebijakan Strategi Untuk Pengendalian Pes Dengan
Surveilans Silvatik Daerah Enzootik Pes Di Indonesia
22. Bajakah: sebuah awal untuk harapan obat antikanker (judul
pada naskah RK)
23. Percepatan Pelaksanaan Asuhan Mandiri TOGA di Jawa B2P2TOOT
Tengah
24. Pentingnya Menjaga Ketersediaan Bahan Jamu untuk
Pelayanan Kesehatan Tradisional di Jawa Tengah

Pencapaian rekomendasi kebijakan yang telah diadvokasikan sesuai dengan target


yang direncanakan dengan capaian 24 rekomendasi kebijakan (100%). Secara umum
strategi yang dilaksanakan Badan litbangkes dalam upaya mencapai target Rekomendasi
Kebijakan yang diadvokasikan tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya
yaitu;
1. Menyampaikan progress perkembangan capaian dalam forum Rakorpus sekaligus
antisipasi dalam strategi pencapaian Renstra 2020-2024
2. Proaktif menghadiri pertemuan kegiatan diseminasi dan advokasi dengan melakukan
kunjungan ke unit kerja di daerah dan unit utama;
3. Sosialisasi rekomendasi dan advokasi dalam pertemuan laporan triwulan;
4. Mendorong satker untuk melakukan advokasi dan rekomendasi hasil riset;
5. Melakukan bimbingan teknis/bimtek ke satker sebagai bentuk koordinasi dalam hal
dokumentasi kegiatan dan mengawal proses advokasi.

Dalam proses pelaksanaan, kendala yang dihadapi yaitu :


1) Rekomendasi kebijakan yang diserahkan dari satker masih belum sesuai dan
membutuhkan perbaikan karena koordinasi yang masih belum efektif antara satker
pengampu dan satker ampuan dalam perencanaan penyusunan rekomendasi
kebijakan dan advokasi.
2) Selain itu, intensitas koordinasi antara sekretariat dan satker juga belum optimal
dalam pelaksanaan advokasi menyebabkan ada perbedaan persepsi tentang
advokasi di tingkat satker.
3) Umumnya penyusunan rekomendasi belum menjadi prioritas di tingkat satker
sehingga desain perencanaan dan pelaksaaan penyusunan rekomendasi dan
advokasi masih belum efektif.
4) Kajian sering kali dilaksanakan pada pertegahan tahun sehingga RK baru selesai akhir
tahun. Hal tersebut memperlambat jadwal advokasi yang seharusnya dilakukan
melalui Sekretariat Badan Litbangkes
5) Kegiatan advokasi belum menjadi prioritas sehingga pelaksanaannya kurang optimal
6) Beberapa Satker yang telah melakukan advokasi, belum melengkapi dokumen

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 210


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Tindak lanjut untuk mengatasi kendala tersebut :


1) Sosialisasi RK dan advokasi
2) Kegiatan advokasi sebaiknya banyak dilakukan sejak awal tahun

c. Jumlah hasil penelitian yang didaftarkan HKI

Secara nasional, pengaturan pemanfaatan hasil penelitian adalah dengan


mendaftarkannya sebagai Hasil Kekayaan Intelektual (HKI) pada Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia. IKU ini bertujuan agar semua hasil penelitian di bidang kesehatan
dapat tercatat secara sah sehingga pemanfaatannya lebih terjamin. IKU akan dianggap
semakin baik bila realisasinya semakin besar.

Definisi Operasional indikator ini adalah jumlah hasil litbangkes yang didaftarkan HKI ke
Direktorat Jenderal HKI Kementerian Hukum dan HAM dengan bukti telah menerima
nomor registrasi. Penelitian yang dilaksanakan oleh Badan Litbang Kesehatan merupakan
investasi yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang kesehatan. Indikator ini tercantum dalam dokumen PK dan juga merupakan IKP
Badan Litbang Kesehatan sesuai dengan dokumen Renstra Kemenkes tahun 2015-2019.

Tabel 3.51
Capaian Indikator Jumlah Penelitian yang Didaftarkan HKI Tahun 2019

Sasaran Indikator Target Capaian %


Meningkatnya kualitas
Jumlah hasil
penelitian, pengembangan dan
penelitian yang 4 25 625
pemanfaatan di bidang
didaftarkan HKI
kesehatan

Berdasarkan capaian indikator kinerja Renstra Kemenkes tahun 2015-2019, tahun


2019 capaian hasil penelitian HKI melebihi target sebanyak 21 (duapuluh satu) Kekayaan
Intelektual dibandingkan tahun 2018. Peningkatan capaian tahun 2019 telah melebihi
target yang ditetapkan sebesar 625%. Berikut adalah daftar HKI yang didaftarkan dan
telah mendapatkan nomor registrasi dari Kemenkumham.

Tabel 3.52
Capaian Indikator Jumlah Penelitian yang Didaftarkan HKI tahun 2019 (Paten)

No. Judul Nama Inventor Satker Nomor


Pendaftaran
Paten

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 211


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

1 Kertas Saring Yang Diimpregnasi Riyani BBPPVRP P00201911903


Dengan Insektisida Setiyaningsih Salatiga
Permetrin,Cypermetrin Dan
Lamdacyhalotrin Untuk Uji
Resistensi Vektor Demam
Berdarah Dengue
2 Formulasi Dan Proses Pembuatan Dhian BBPPVRP P00201911901
Nanoinsektisida Tembakau Prastowo Salatiga
(Nicotiana Tabaccum)Sebagai
Larvasida Cair Pengendali Larva
Aedes Aegypti
3 Komposisi Kombinasi Herbal Fajar Novianto BBPPTOOT P00201911897
Sebagai Jamu Rhinitis Alergi Tawangmangu
4 Komposisi Kombinasi Herbal Fajar BBPPTOOT P00201911896
Sebagai Jamu Kebugaran Novianto Tawangmangu
5 Komposisi Kombinasi Herbal Ulfa Fitriani BBPPTOOT P00201911904
Sebagai Antihiperurisemia Tawangmangu
6 Komposisi Herbal Jamu Ulfatun Nisa BBPPTOOT P00201911876
Antihipertensi Tawangmangu
7 Komposisi Kombinasi Herbal Fajar BBPPTOOT P00201911768
Sebagai Antihiperglikemia Novianto Tawangmangu
8 Protein Rekombinan Prm/E Virus Whinie Lestari Puslitbang BTDK P00201911752
Dengue Serotipe 3 Isolat K141
Strain Indonesia Dan Metode
Pembuatannya

Tabel 3.53
Capaian Indikator Jumlah Penelitian yang Didaftarkan HKI Tahun 2019 (Hak Cipta)
No. Nama Pencipta Satker Jenis Judul Ciptaan Nomor
Ciptaan Sertifikat
1 Sunaryo, SKM., Balai Buku Sistem Informasi EC00201980
M.Sc. Litbangkes Geografis Untuk 603
Banjarnegara Kesehatan
Masyarakat
2 Bernadus BBPPVRP Buku BUKU TIKUS EC00201978
Yuliadi, Muhidin, Salatiga JAWA, Teknis 683
Siska Indriyani (3 Survei Di Bidang
Orang) Kesehatan

3 Rustika, Dede Puslitbang Buku Penyelenggaraan EC00201950


Anwar Musadad, HMK Pelayanan 507
Tety Kesehatan Pada
Rachmawati, Ibadah Umrah
Herti Windya
Puspasari. Asep
Kusnali,

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 212


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

No. Nama Pencipta Satker Jenis Judul Ciptaan Nomor


Ciptaan Sertifikat
Primasari Syam,
Ratih Oemiyati.
(7 Orang)
4 Julianti Pradono, Sekretariat Buku Panduan EC00201976
Rachmalina Badan Penelitian Dan 720
Soerachman, Litbangkes Pelaporan
Nunik Penelitian
Kusumawardani, Kualitatif
Kasnodihardjo.
(4 Orang)
5 Mardi Rahardjo, Balai Litbang Buku Saku Penggunaan Dan EC00201979
Hana Kawulur, Kesehatan Perawatan 484
Ivon Ayomi, Papua Kelambu
Melda Suebu, Berinsektisida
Octovianus Long Lasting
Karapa, Insectiside Nets
Muhammad Fajri (LLINs)
Rohmad (6
Orang).
6 Hana Kawulur, Balai Litbang Buku Peta Anopheles EC00201993
Ivon Ayomi, Kesehatan di Provinsi 247
Mardi Rahrjo, Papua Papua, Papua
Melda Suebu, Barat dan
Octovianus Maluku
Karapa,
Muhammad Fajri
Rohmad, Jan
Lewier.
7 Ristiyanto, BBPPVRP Pamflet KUNCI EC00201987
Farida Dwi Salatiga DITERMINASI 490
Handayani, TIKUS DOMESTIK
Bernadus Yuliadi DAN
PERIDOMESTIK
(Grup Indo
Malaya)
8 Farida Dwi BBPPVRP Buku Diagnosis EC00201952
Handayani, Salatiga Laboratoris 916
Ristiyanto, Leptospirosis
Bernadus
Yuliadi, Esti
Rahardiningtyas,
Arief Mulyono,
Dimas Bagus
Wicaksono (6
Orang)

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 213


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

No. Nama Pencipta Satker Jenis Judul Ciptaan Nomor


Ciptaan Sertifikat
9 Joko Waluyo, BBPPVRP Program Aplikasi EC00201989
Ristiyanto, Ika Salatiga Komputer Elektronik 864
Martiningsih, (Aplikasi / Surveilans
Jerry software) Leptospirosis
Cahyandaru (4 (e_SULE)
Orang)
10 Ika Martiningsih, BBPPVRP Peta Peta Interaktif EC00201987
Jerry Salatiga Persebaran 492
Cahyandaru (2 Penyakit Tular
Orang) Vektor Dan
Zoonosis
11 Suryati Balai Film KRETIN EC00201985
Kumorowulan, Litbangkes Dokument 073
Ajeng Magelang er (Video)
Pintoharjanti, Sri
Nuryani, Slamet
Riyanto
12 Yuli Widiyastuti BBPPTOOT Buku Vademekum EC00201989
dkk (18 Orang) Tawangmangu Tanaman Obat 356
Untuk
Saintifikasi Jamu
Jilid 5
13 Mujiyono dkk BBPPVRP Buku Spesimen EC00201993
(27 Orang) Salatiga Nyamuk 322
B2P2VRP Hasil
Rikhus Vektora
Tahun 2015 –
2018
14 Dwi Hapsari Sekretariat Buku Indeks EC00201989
Tjandrarini dkk Badan Litbang Pembangunan 842
(18 Orang) Kesehatan Kesehatan
Masyarakat 2013
15 Dwi Hapsari Sekretariat Buku Indeks EC00201989
Tjandrarini dkk Badan Litbang Pembangunan 848
(11 Orang) Kesehatan Kesehatan
Masyarakat 2018
16 Sunarno, Noer Puslitbang Buku Pengembangan EC00201986
Endah Pracoyo, BTDK Metode 828
Kambang Diagnostik Cepat
Sariadji, Rudi Laboratorium
Hendro Putranto Untuk
Identifikasi
Penyebab Difteri
17 Fitrah Ernawati, Puslitbang Buku Peluang EC00201986
Yessi Octaria, Ali BTDK Generasi Bangsa 858
Khomsan. Yang Terabaikan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 214
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

No. Nama Pencipta Satker Jenis Judul Ciptaan Nomor


Ciptaan Sertifikat
"Anemia Baduta"
Sumber : Sentra KI, Sekretariat Badan Litbang Kesehatan

Dalam kerangka Renstra 2015-2019, capaian indikator jumlah hasil penelitian yang
didaftarkan HKI pada tahun 2019 disajikan pada grafik berikut.

Grafik 3.61
Perbandingan Realisasi Kinerja Tahun 2019 dengan
Target Jangka Menengah Renstra 2015-2019

Indikator Jumlah Penelitian yang didaftarkan HKI tahun 2019 secara kumulatif telah
berhasil memenuhi target yang ditetapkan dalam Renstra 2015-2019. Secara komulatif
diakhir Renstra Jumlah Penelitian yang didaftarkan HKI telah dihasilkan berjumlah 62
dokumen dari 35 yang ditargetkan (177%), berdasarkan Jumlah Penelitian yang
didaftarkan HKI dari tahun 2015 sampai dengan 2019 mengalami fluktuatif dengan
capaian target terbesar sebesar 25 dokumen dari target 4 dokumen yaitu pada Tahun
2019. (625%).

Capaian HKI tahun 2019 telah melampaui target dari ditetapkan. Upaya yang telah
dilakukan untuk mencapai keberhasilan tersebut secara umum melanjutkan dari upaya
yang telah dilaksanakan ditahun sebelumnya dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:

1) Melakukan identifikasi penelitian yang berpotensi KI dan memfasilitasi satker dalam


menjalin kerja sama dengan mitra usaha sejak awal penelitian dengan kerjasama
dengan Pusinov LIPI dalam melakukan pengelolaan KI dengan menggunakan Aplikasi
IP Port yang dikembangkan oleh Pusinov LIPI.
2) Melakukan pertemuan dengan para pimpinan/pejabat struktural dan para peneliti
untuk memotivasi menciptakan penelitian yang berpotensi KI

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 215


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

3) Melakukan pendampingan/pelatihan bagi para peneliti untuk mengawal KI sampai


dengan tingkat komersialisasi
4) Mengoptimalkan anggaran untuk pelaksanaan drafting, uji substantif bagi
pendaftaran baru (2018 & 2019) dan pendaftaran lama (sebelum 2019) yang masih
tertunda uji substantifnya, serta kegiatan temu bisnis.
5) Melakukan pendampingan untuk komersialisasi hasil penelitian yang telah
mendapatkan Paten.

Walaupun target telah tercapai, namun ada beberapa kendala yang dihadapi yaitu
1) Penelitian inovatif berpotensi Kekayaan Intelektual belum menjadi prioritas;
2) Hasil penelitian yang dipatenkan, tidak direncanakan dari awal untuk dipatenkan;
3) Kesadaran peneliti masih lemah terhadap urgensi kekayaan intelektual sehingga
peneliti lebih prioritas pada keilmuan untuk pengembangan karir daripada
menghasilkan penelitian berpotensi paten;
4) Unit pendukung untuk scale up dan kerja sama lintas program dan industry masih
minim.

Dalam mengatasi kendala, upaya yang telah dilakukan sebagai tindak lanjut dalam
mengatasi kendala yaitu:
1. Melakukan sosialisasi mengenai pentingnya kekayaan intelektual
2. Melakukan proses identifikasi potensi kekayaan Intelektual lebih awal sejak
penyusunan protokol penelitian
3. Melakukan mekanisme quality control untuk memilah kandidat kekayaan
intelektual yang akan didaftarkan dan memenuhi kebutuhan prpogram
4. Menyusun rencana pelaksanaan pelatihan drafting paten untuk meningkatkan
semangat berinovasi dan berkreasi agar menghasilkan invensi/teknologi yang
bermanfaat serta menumbuhkan kesadaran pentingnya perlindungan Kekayaan
Intelektual khususnya paten.

10). Sasaran Strategis 10: Meningkatnya Tata Kelola Kepemerintahan yang Baik dan
Bersih

Kementerian Kesehatan melalui Inspektorat Jenderal telah meningkatkan peran Aparat


Pengawas Intern Pemerintah (APIP) dalam mengawal dan memastikan berjalannya
proses Reformasi Birokrasi (RB) di lingkungan Kementerian Kesehatan berjalan dengan
baik. Hal ini diwujudkan pada peningkatan peran APIP dalam memberikan keyakinan atas
pencapaian tujuan Kementerian Kesehatan, sekaligus sebagai sistem peringatan dini
(early warning system) terhadap potensi penyimpangan/kecurangan yang terjadi karena
kelemahan sistem ataupun akibat tindak pelanggaran individu.

Pengawasan intern pemerintah merupakan fungsi manajemen yang penting dalam


penyelenggaraan pemerintahan. Melalui pengawasan intern dapat diketahui apakah
suatu instansi pemerintah telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan tugas dan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 216


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

fungsinya secara efektif dan efisien serta telah sesuai dengan rencana dan kebijakan yang
telah ditetapkan. Selain itu, pengawasan intern atas penyelenggaraan pemerintahaan
diperlukan untuk mendorong terwujudnya good governance dan mendukung
penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, efisien, transparan, akuntabel, serta bersih
dan bebas dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.

Dalam kaitan tersebut, Kementerian Kesehatan menetapkan sasaran strategis


Meningkatnya Tata Kelola Kepemerintahan yang Baik dan Bersih dengan Indikator Kinerja
Utama (IKU) persentase satuan kerja yang memiliki temuan kerugian negara ≤1%.
Gambaran capaian sasaran strategis tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 3.54
Capaian IKU pada Sasaran Strategis 10:
Meningkatnya Tata Kelola Kepemerintahan yang Baik dan Bersih

SS10: Meningkatnya Tata Kelola Kepemerintahan yang Baik dan Bersih

Indikator Kinerja Target Realisasi % Realisasi


10a. Persentase satuan kerja yang dilakukan audit 100% 99,00% 99,00%
memiliki temuan kerugian negara ≤1%

Uraian tentang IKU tersebut adalah sebagai berikut:

Definisi operasional dari Satuan kerja yang memiliki temuan kerugian negara ≤1% adalah
“Satuan kerja pengelola APBN Kementerian Kesehatan dengan temuan kerugian negara
≤1% dari total realisasi anggaran dalam satu periode tahun anggaran berdasarkan
laporan hasil audit (Audit Operasional oleh Inspektorat Jenderal Kemenkes, Audit
Laporan Keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Semua Jenis Audit oleh Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan)”.

IKU bertujuan untuk mendorong penggunaan anggaran yang lebih akuntabel di


lingkungan Kementerian Kesehatan. IKU ini akan dianggap semakin baik apabila
realisasinya lebih tinggi dari yang ditargetkan.
Persentase satuan kerja pengelola APBN yang dilakukan audit memiliki temuan kerugian
negara ≤1% dihitung dengan formulasi sebagai berikut:

Jumlah satuan kerja pengelola APBN Kemenkes dengan nilai temuan


X
kerugian negara ≤1% berdasarkan hasil audit
100%
Jumlah satker pengelola APBN Kemenkes yang diaudit

Jumlah satker yang diaudit oleh APF sebanyak 200 satker yang telah diaudit baik oleh
Itjen Kementerian Kesehatan (117 satker) maupun oleh BPK (79 satker) serta oleh BPKP
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 217
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

(4 satker), terdapat 2 satker yang memiliki kerugian negara diatas 1 %, sehingga


persentase satker yang memiliki kerugian negara ≤ 1% adalah sebagai berikut:
200 satker – 2 satker = 198 satker

198 satker KN ≤ 1% X 100% = 99,00%


200 satker yang diaudit

1. Perbandingan Capaian Kinerja Tahun 2019 dan Tahun 2018


Tabel 3.55
Perbandingan Capaian Kinerja Tahun 2019 dan Tahun 2018

2019 2018
Realisasi IKU Target Realisasi Target Realisasi
Inspektorat Jenderal
100,00% 99,00% 97,00% 98,24%

Jika melihat dari tabel diatas, realisasi IKU Inspektorat Jenderal Kementerian
Kesehatan mengalami kenaikan capaian dari 98,24% pada tahun 2018 menjadi
99,00% pada tahun 2019.

2. Perbandingan Capaian Kinerja dengan Target Jangka Menengah:


Apabila capaian kinerja Inspektorat Jenderal diperbandingkan dengan target capaian
kinerja jangka menengah maka dapat dilihat dalam grafik sebagai berikut:

Grafik 3.62
Perbandingan Realisasi Kinerja s.d Tahun 2019
dengan Target Jangka Menengah Renstra 2015 – 2019

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 218


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Capaian kinerja Inspektorat Jenderal sebesar 99,00% pada tahun 2019 belum
memenuhi dari target kinerja yang direncanakan pada tahun tersebut yakni sebesar
100%. Dan jika diperbandingkan dengan target capaian kinerja jangka menengah
Inspektorat Jenderal, maka target kinerja pada tahun 2018 sebenarnya telah tercapai
pada tahun 2015. Namun pada tahun 2019 tantangan Inspektorat Jenderal semakin
besar karena seluruh satuan kerja dibawah Kementerian Kesehatan tidak boleh ada
temuan Kerugian Negara diatas 1%.

3. Analisa Penyebab Ketidaktercapaian Target:


Ketidaktercapaian target sasaran Program Inspektorat Jenderal tahun 2019
dikarenakan hasil audit BPK terdapat temuan kerugian keuangan negara di atas 1%
pada 2 satuan kerja, dimana dalam temuannya terdapat kelebihan pembayaran
pekerjaan pengadaan jasa PCO pertemuan tingkat Menteri GHSA tahun 2018,
kelebihan harga satuan timpang pekerjaan renovasi, kelebihan pembayaran prestasi
pekerjaan renovasi, kekurangan penerimaan negara, dan pembayaran Pay For
Performance tidak sesuai ketentuan. Alternatif solusi yang dilakukan antara lain : 1)
unit utama pembina bersama dengan Inspektorat Pembina dalam rangka
penjaminan mutu (quality assurance) agar melakukan pembinaan dan evaluasi
secara intensif terhadap satuan kerja tersebut. 2) satuan kerja agar menerapkan
manajemen resiko dalam pelaksananan kegiatannya. Beberapa kegiatan telah
dilaksanakan sebagai upaya dalam pencapaian sasaran kegiatan secara
berkesinambungan terhadap satuan kerja di lingkungan Kementerian Kesehatan
diantaranya sebagai berikut:
a. Reviu Laporan Keuangan
Dalam rangka mempertahankan opini laporan keuangan Kementerian
Kesehatan, maka Inspektorat Jenderal melaksanakan kegiatan reviu atas laporan
keuangan. Reviu laporan keuangan bertujuan memberikan keyakinan tentang
akurasi, keandalan, dan keabsahan informasi yang disajikan pada laporan
keuangan sehingga laporan keuangan sesuai Standar Akuntansi Pemerintah
(SAP).
b. Reviu Pengadaan Barang/Jasa dan Penyerapan Anggaran
Guna meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia, pemerintah telah
melakukan berbagai upaya, antara lain melalui government spending atau
belanja pemerintah yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja
modal, pembayaran bunga utang, subsidi, belanja hibah, bantuan sosial, dan
belanja lain-lain.
c. Pendampingan Penyusunan Laporan Keuangan Berbasis Risiko
Pendampingan penyusunan laporan keuangan setiap satuan kerja diharapkan
dapat tersusun sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP), sehingga
terselenggara laporan keuangan yang akuntabel dan berdasarkan bukti
(evidence based).
d. Pengamanan Aset Kementerian Kesehatan
Pengamanan aset Kementerian Kesehatan dilakukan dalam upaya mendorong
terselenggaranya penatausahaan dan tata kelola aset sesuai dengan ketentuan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 219


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

yang berlaku, terutama pada satuan kerja penerima dana Tugas Pembantuan
(TP) yang dialihkan ke Dana Alokasi Khusus (DAK).
e. Pendampingan/Konsultasi Pengadaan Barang/Jasa
Pendampingan/konsultasi pengadaan barang/jasa dilakukan dengan tujuan
untuk memelihara tingkat kepercayaan publik dan peserta tender, meyakinkan
keputusan yang dibuat terhindar dari tuntutan hukum, menciptakan
akuntabilitas dalam proses pengadaan barang/jasa, dan menghindari terjadinya
praktik korupsi.
f. Peningkatan Akuntabilitas Kinerja Satuan Kerja
Dalam upaya meningkatkan akuntabilitas kinerja di setiap satuan kerja,
Inspektorat Jenderal melakukan Evaluasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah (SAKIP). Evaluasi ini dilakukan sebelum Kementerian PAN dan RB
melakukan evaluasi SAKIP Kementerian Kesehatan. Selain itu, dilaksanakan pula
reviu LAKIP.
g. Peningkatan Kualitas Perencanaan dan Penganggaran
Dalam rangka meningkatkan penyusunan perencanaan dan penganggaran
Kementerian Kesehatan, Inspektorat Jenderal melaksanakan kegiatan reviu
Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-K/L) di masing-masing unit
utama atau satuan kerja di lingkungan Kementerian Kesehatan. Kegiatan ini
dilakukan sebelum dilakukan penelaahan oleh Direktorat Jenderal Anggaran
Kementerian Keuangan.
h. Percepatan Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Aparat Pengawasan Intern
Pemerintah (APIP)
Salah satu tugas Inspektorat Jenderal adalah memastikan bahwa satuan kerja
telah menindaklanjuti rekomendasi atau saran hasil audit internal maupun
eksternal. Oleh karena itu, Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan
mempunyai peran yang sangat penting dalam memantau percepatan tindak
lanjut, sehingga tindak lanjut dapat terlaksana tepat waktu sesuai ketentuan.
Percepatan tindak lanjut dilakukan melalui pemantauan dan pemutakhiran data,
serta dilakukan bimbingan teknis dalam rangka memberikan masukan kepada
satuan kerja untuk penyelesaian tindak lanjut hasil audit yang dilakukan secara
berkala.
i. Kerjasama Pengawasan dengan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)
lain
Kerjasama pengawasan dilakukan dengan aparat pengawasan lain yaitu
Inspektorat Jenderal Kementerian/Lembaga, Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP).
j. Penanganan Pengaduan Masyarakat
Dalam rangka meningkatkan penyelesaian pengaduan masyarakat, Kementerian
Kesehatan telah membentuk tim untuk menangani pengaduan masyarakat
berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor:
HK.02.02/MENKES/239/2016 tanggal 11 April 2016 tentang Tim Penanganan
Pengaduan Masyarakat Terpadu. Dalam pelaksanaannya dilakukan berdasarkan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 220


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Peraturan Menteri PAN Nomor PER/05/M.PAN/14/2009 tentang Pedoman


Umum Penanganan Pengaduan Masyarakat bagi Instansi Pemerintah.
k. Koordinasi Integrasi Program
Mengawal terlaksananya integrasi program prioritas 2016-2019 seperti Program
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular di Pos Pembinaan
Terpadu (PTM di Posbindu), Program Pencegahan dan Pengendalian
Tuberkulosis, Program Jaminan Kesehatan Nasional, Program Nusantara Sehat,
Penurunan Stunting dan Joint Audit DAK.
l. Penguatan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik
Untuk mencapai tujuan tata kelola yang baik, Inspektorat Jenderal Kementerian
Kesehatan menerapkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, diantaranya:
1) Keterbukaan (Transparency), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses
pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengungkapkan informasi
material dan relevan mengenai organisasi.
2) Akuntabilitas (Accountability), yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan
pertanggungjawaban organisasi sehingga pengelolaan organisasi terlaksana
secara efektif.
3) Responsibilitas (Responsibility), yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan
organisasi terhadap peraturan perundang-undangan dan prinsip organisasi
yang sehat.
4) Independensi (Independency), yaitu organisasi dikelola secara professional
tanpa benturan kepentingan dan pengaruh dari pihak manapun yang tidak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip organisasi.
5) Prediktabilitas (Predictability), yaitu implementasi yang konsisten dari
kebijakan pendukung, peraturan dan regulasi.
6) Dinamis (Dynamism), yaitu inovasi atau perubahan positif dalam tata kelola
yang dapat meningkatkan efisiensi kinerja Inspektorat Jenderal.
m. Pelaksanaan Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi diantaranya melalui :
1) Pembangunan Zona Integritas menuju WBK/WBBM
2) Penerapan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) di lingkungan
Kementerian Kesehatan melalui pendampingan penilaian risiko dalam
rangka penerapan SPIP di seluruh satuan kerja di lingkungan Kementerian
Kesehatan.
3) Pemantapan Pendidikan dan Budaya Anti Korupsi (PBAK) melalui
pelaksanaan kegiatan sosialisasi dan diseminasi pencegahan korupsi di
satuan kerja.
4) Mendorong pengendalian gratifikasi di lingkungan Kementerian Kesehatan
sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 14 Tahun 2014
tentang Pengendalian Gratifikasi dan Keputusan Menteri Kesehatan RI
Nomor: HK.02.02/MENKES/306/2014 tentang Petunjuk Teknis Pengendalian
Gratifikasi di lingkungan Kementerian Kesehatan.
5) Mengoptimalkan Pelaporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara bagi
aparatur wajib lapor di lingkungan Kementerian Kesehatan.
n. Program Penguatan Sistem Pengawasan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 221


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Meningkatkan implementasi penangaan pengaduan masyarakat di semua unit


organisasi.
o. Meningkatkan Implementasi Whistleblowing System (WBS) di seluruh satuan
kerja Kementerian Kesehatan.
p. Meningkatkan Pencegahan Benturan Kepentingan.
q. Mendorong Pelaksanaan SPIP pada satuan kerja di lingkungan Kementerian
Kesehatan.
r. Mendorong satuan kerja di lingkungan Kementerian Kesehatan untuk mendapat
predikat Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan
Melayani (WBBM).
s. Pembentukan SKI (Satuan Kepatuhan Internal) berdasarkan Permenkes tata
kelola pengawasan.

4. Efisiensi Penggunaan Sumber Daya:


Realisasi capaian Indikator Kinerja Utama Inspektorat Jenderal tahun 2019 adalah
sebesar 99,00% dari target 100%. Alokasi dan target anggaran untuk mencapai
pelaksanaan kegiatan tersebut sebesar Rp118.172.589.000,- (anggaran tersebut
setelah ada penambahan belanja pegawai dan pemberian dana insentif dari
Kementerian Keuangan). Dengan terget fisik sebanyak 3.018 dokumen/laporan.
Namun pada bulan Desember 2019 terdapat perubahan target fisik dari 3.018
menjadi 3.413 laporan dalam satu tahun dengan realisasi fisik sebanyak 3.433
(100,59%).

Penyerapan anggaran sampai dengan 31 Desember tahun 2019 sebesar


Rp116.045.940.117,- (98,20%), namun terdapat pengembalian belanja sebesar
Rp1.445.748.016,- sehingga realisasi Netto sebesar Rp114.600.192.101,- (96,98%).
Adapun pengembalian belanja disebabkan oleh:
a. Pelaksanaan kegiatan audit, dilakukan secara bersamaan dengan kegiatan TLHP
dan Monev DAK (IR 2)
b. Adanya kebijakan dan Menkes yang terbit yang Semester I 2019 terkait dengan
perjalanan dinas LN terutama ke Arab Saudi dimana uang lumpsum yang
dibayarkan hanya 30% (IR 2)
c. Adanya kegiatan pengawasan yang tidak terjadwal di PKPT yang dibiayai dari
anggaran di luar Itjen (IR 3)
d. Reviu LK tingkat satker pelaksanaanya di dalam gedung (IR I - IV)
e. Efisiensi belanja operasional pemeliharaan dan mesin (Sekretariat)
f. Efisiensi belanja modal melalui e-Catalog (Sekretariat)
g. Adanya pengurangan waktu pelaksanaan tugas pengawasan di Inspektorat
Investigasi yang tidak sesuai dengan lamanya waktu rencana penugasan
h. Efisiensi belanja transportasi & hotel perjalanan dinas yang telah di LS (Realisasi
belanja dibawah SBM)
i. Adanya pengembalian belanja dari kegiatan Paket Meeting (adanya sebagian
peserta yang dialokasikan anggaran menggunakan sumber dana Itjen,
realisasinya menggunakan sumber dana satker masing-masing) (IR I)

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 222


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

j. Adanya penugasan lain dalam periode waktu penugasan yang sama dengan
kegiatan pengawasan terutama untuk Dalnis dan Ketua Tim (seluruh IR).

Jika melihat capaian kinerja Inspektorat Jenderal tahun 2019 sebesar 99,00% dan
penyerapan anggaran sebesar 96,98% dengan realisasi fisik sebesar 100,59% maka
telah terjadi efisiensi penggunaan sumber daya di lingkungan Inspektorat Jenderal.
Hal ini dilakukan melalui pelaksanaan beberapa kegiatan pembinaan dan
pengawasan kepada auditor dalam satu penugasan mengingat terbatasnya SDM
auditor di Inspektorat Jenderal yang hanya berjumlah 193 orang yang terdiri dari
Auditor Utama 1 orang, Auditor Madya 24 orang, Auditor Muda 36 orang, Auditor
Pertama 106 orang, Auditor Terampil 2 orang, Auditor Kepegawaian Madya 1 orang,
Auditor Kepegawaian Muda 6 orang dan Auditor (Analis Bidang Pengawasan) JFU 17
orang.

11). Sasaran Strategis 11: Meningkatnya Kompetensi dan Kinerja Aparatur Kementerian
Kesehatan

Dalam kaitan dengan Sasaran Strategis ini, Kementerian Kesehatan mengidentifikasi dua
Indikator Kinerja Utama (IKU) dengan hasil capaiannya sebagaimana tergambar dalam tabel
berikut:

Tabel 3.56
Capaian IKU pada Sasaran Strategis 11:
Meningkatnya Kompetensi dan Kinerja Aparatur Kementerian Kesehatan
SS11: Meningkatnya Kompetensi dan Kinerja Aparatur Kementerian Kesehatan

Indikator Kinerja Target Realisasi % Realisasi


11a. Persentase Pejabat Pimpinan Tinggi, 90% 91,18 101,31
Administrator dan Pengawas di lingkungan
Kementerian Kesehatan yang kompetensinya
sesuai persyaratan jabatan
11b. Persentase pegawai Kementerian Kesehatan 94% 99,81 106,18
dengan nilai kinerja minimal baik

Uraian tentang kedua IKU tersebut adalah sebagai berikut:

a. Persentase Pejabat Pimpinan Tinggi Administrator dan pengawas dilingkungan


Kementerian Kesehatan yang kompetensinya sesuai persyaratan jabatan

Indikator ini merujuk kepada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun 2012
tentang Standar Kompetensi Jabatan Struktural di lingkungan Kementerian Kesehatan.
Definisi Operasional IKU ini adalah Jumlah Pejabat pimpinan tinggi, administrator dan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 223
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

pengawas dilingkungan Kementerian Kesehatan yang telah memenuhi sesuai standar


kompetensi jabatan.

IKU ini bertujuan untuk mendukung pelaksanaaan reformasi birokrasi yang


mengharapkan pelayanan publik yang lebih baik. IKU akan dianggap semakin baik bila
realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari yang ditargetkan.

Definisi operasional yang digunakan dalam menentukan pejabat pimpinan tinggi,


administrator dan pengawas telah memenuhi standar kompetensi dengan kriteria
sebagai berikut:
a. Jumlah pejabat pimpinan tinggi madya dan pratama yang ditetapkan setelah
melalui berbagai proses seleksi terbuka atau rotasi/mutasi Panitia Seleksi
Jabatan Pimpinan Tinggi di lingkungan Kementerian Kesehatan yang disetujui
oleh Menteri dan telah dilaporkan kepada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
b. Jumlah pejabat administrator dan pengawas yang telah mengikuti pelatihan
kepemimpinan sesuai dengan jenjang jabatan.

IKU ini bertujuan untuk mendukung pelaksananaan reformasi birokrasi yang


mengharapkan pelayanan publik yang lebih baik. IKU akan dianggap semakin baik bila
realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari yang ditargetkan.Persentasi pejabat
pejabat pimpinan tinggi, administrator dan pengawas di lingkungan Kementerian
Kesehatan yang kompetensinya sesuai persyaratan jabatan dihitung dengan formulasi
sebagai berikut:

∑ Pejabat Pimpinan Tinggi,


% Pejabat Pimpinan Tinggi, Administrator dan Pengawas yang
Administrator dan Pengawas di telah memenuhi standar
= kompetensi jabatan x 100%
lingkungan Kementerian
Kesehatan yang kompetensinya
∑ seluruh pejabat yang ada
sesuai persyaratan jabatan

Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan


Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai
Negeri Sipil (PNS) pengisian jabatan pimpinan tinggi, administrator, dan pengawas
dapat dilakukan melalui promosi dan mutasi/rotasi, yaitu:

a) Pengisian jabatan pimpinan tinggi dilakukan melalui seleksi terbuka dan


rotasi/mutasi dengan pertimbangan dari Panitia Seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi di
lingkungan Kementerian Kesehatan yang disetujui oleh Menteri.
b) Pengisian jabatan administrator dan pengawas dilakukan dengan metode
rotasi/mutasi dan promosi dengan pertimbangan dari Tim Penilai Kinerja/Badan
Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan di lingkungan Kementerian Kesehatan
yang disetujui oleh Sekretaris Jenderal atas nama Menteri.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 224


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Rekapitulasi pengisian jabatan pimpinan tinggi, administrator dan pengawas di


lingkungan Kementerian Kesehatan yang kompetensinya sesuai persyaratan jabatan
tahun 2019 adalah sebagai berikut:

Tabel 3.57
Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi, Administrator, dan Pengawas
Tahun 2019

JPT
Jenis Jabatan JPT Madya Jab.Administrator Jab.Pengawas
Pratama
Realisasi 2 34 120 360
Total 406

Pada tabel dapat dilihat bahwa pada tahun 2019 pengisian jabatan di lingkungan
Kementerian Kesehatan sebanyak 406 orang yang terdistribusi menjadi 2 (dua)
jabatan pimpinan madya, 34 (tiga puluh empat) jabatan pimpinan tinggi pratama, 120
(seratus dua puluh) jabatan administrator, dan 360 (tiga ratus enam puluh) jabatan
pengawas.

Grafik 3.63
Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi, Administrator, dan Pengawas Tahun 2019

Pada Grafik diatas pada tahun 2019 dapat dilihat bahwa pengisian jabatan
pimpinan tinggi dilakukan dengan metode seleksi terbuka jabatan pimpinan tinggi
madya 2 (dua) jabatan dan untuk jabatan pimpinan tinggi pratama sebanyak 14
(empat belas) jabatan. Pengisian jabatan pimpinan tinggi dilakukan dengan metode
rotasi/mutasi hanya jabatan pimpinan tinggi pratama sebanyak 20 (dua puluh) jabatan
sedangkan untuk jabatan pimpinan tinggi madya tidak ada. Pengisian jabatan
administrator yang dilaksanakan dengan metode rotasi/mutasi/promosi sebanyak 120
(seratus dua puluh) jabatan dan jabatan pegawas sebanyak 360 (tiga ratus enam
puluh) jabatan.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 225


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil


Negara menyebutkan bahwa setiap jabatan Aparatur Sipil Negara harus sesuai dengan
kompetensi yang dibutuhkan. Kompetensi jabatan pimpinan tinggi, administrator dan
pengawas di lingkungan Kementerian Kesehatan merujuk kepada Peraturan Menteri
PAN dan RB Nomor 38 Tahun 2017 tentang Standar Kompetensi Jabatan Aparatur Sipil
Negara. Kompetensi Jabatan terdiri atas kompetensi teknis, manajerial dan sosio
kultural. Kompetensi yang diukur dalam laporan ini adalah kompetensi manajerial.
Kompetensi Manajerial adalah pengetahuan pengetahuan, keterampilan, dan
sikap/perilaku yang dapat diamati, diukur, dikembangkan untuk memimpind an/atau
mengelola unit organisasi. Kompetensi manajerial dapat diukur melalui pelatihan
kepemimpinan sesuai dengan jenjang jabatan (jabatan pimpinan tinggi, administrator
dan pengawas).

Berdasarkan data yang diperoleh Biro Kepegawaian, dari 2.268 pejabat pimpinan
tinggi, administrator dan pengawas di lingkungan Kementerian Kesehatan, 2.068
diantaranya telah memenuhi kompetensi sesuai persyaratan jabatannya masing-
masing. Dengan demikian, 91,18% dari total pejabat pimpinan tinggi, administrator
dan pengawas di lingkungan Kementerian Kesehatan telah memiliki kompetensi sesuai
persyaratan pada akhir tahun 2019. Dengan merujuk kepada data tersebut, capaian
indikator kinerja persentase pejabat struktural di lingkungan Kementerian Kesehatan
yang kompetensinya sesuai persyaratan jabatan dinilai cukup baik karena telah
melebih target yang ditetapkan sebesar 90% (terlihat pada grafik 3.32).

Grafik 3.64
Persentase pejabat struktural di lingkungan Kementerian Kesehatan yang
kompetensinya sesuai persyaratan jabatan

Pada grafik diatas dapat dilihat pula trend realisasi indikator tersebut bahwa dengan hasil
capaian pada tahun 2019 yang masih on track serta menunjukkan kecenderungan
meningkat.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 226


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Adapun realisasi indikator tersebut dibandingkan dengan tahun 2017 – 2018 sebagai
berikut:

Tabel. 3.58
Trend Realisasi Indikator Persentase Pejabat Pimpinan Tinggi, Administrator dan Pengawas di
lingkungan Kementerian Kesehatan yang kompetensinya sesuai persyaratan jabatan

2017 2018 2019


Indikator RENSTRA
Target Realisasi Target Realisasi Target Realisasi
Persentase Pejabat Pimpinan Tinggi,
Administrator dan Pengawas di
lingkungan Kementerian Kesehatan 80% 82,14% 85% 86,75% 90% 91,18%
yang kompetensinya sesuai
persyaratan jabatan

Dibalik pencapaian kinerja pada tahun 2019 yang menunjukkan hasil cukup baik,
terdapat hambatan dan upaya yang dilaksanakan dalam mencapai keberhasilan
tersebut.
Hambatan dalam pencapaian kinerja adalah :
1. Belum dilakukan evaluasi pelaksanaan keseluruhan dari setiap proses yang
dilakukan dalam seleksi terbuka Jabatan Pimpinan Tinggi di lingkungan
Kementerian Kesehatan.
2. Terbitnya peraturan yang baru sehingga peraturan yang sudah ditetapkan atau
konsep peraturan yang sedang direvisi dan telah disusun harus disesuaikan dengan
peraturan tersebut.
3. Pejabat yang ditunjuk menunda untuk menjadi calon peserta Pelatihan
Kepemimpinan.
Upaya yang dilakukan dalam mengatasi hambatan dalam pencapaian kinerja adalah :
1. Melakukan evaluasi secara menyeluruh pada tahapan pelaksanaan seleksi terbuka
Jabatan Pimpinan Tinggi di lingkungan Kementerian Kesehatan.
2. Penyesuaian peraturan yang telah ditetapkan dengan merevisi dan menyesuaikan
kebijakan sesuai dengan peraturan yang baru ditetapkan.
3. Melakukan koordinasi dengan Unit Utama bidang kepegawaian terkait pengganti
pejabat yang menunda keikutsertaan pelatihan kepemimpinan.

b. Persentase pegawai Kementerian Kesehatan dengan nilai kinerja minimal baik

Penilaian prestasi kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah pengukuran tingkat capaian
Sasaran Kerja Pegawai atau tingkat capaian hasi kerja (output) yang telah direncanakan
dan disepakati antara Pejabat Penilai dengan PNS yang dinilai sebagai kontrak prestasi
kerja. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi
Kerja Pegawai Negeri Sipil pasal 5 disebutkan bahwa setiap PNS wajib menyusun Sasaran
Kerja Pegawai (SKP). Penilaian prestasi kerja pegawai terdiri atas unsur Sasaran Kerja
Pegawai (SKP) dengan bobot 60% dan unsur Perilaku Kerja dengan bobot 40%.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 227
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Persentase pegawai Kementerian Kesehatan dengan nilai kinerja minimal baik dihitung
dengan formulasi sebagai berikut:

∑ CPNS dan PNS Kemenkes


%Pegawai
yang Nilai SKP Kriteria
Kemenkes nilai
= Minimal Baik x 100%
kinerja minimal
∑ Seluruh CPNS dan PNS
baik
Kemenkes

Pegawai Kementerian Kesehatan yang melakukan penilaian prestasi kerja sebanyak


47.766 pegawai, dari jumlah tersebut sebanyak 47.677 (99,81%) pegawai bernilai
minimal baik. Jika melihat capaian tersebut maka secara keseluruhan dapat dikatakan
bahwa realisasi penilaian prestasi kerja pegawai memenuhi standar IKU tahun 2019 yang
telah ditetapkan yaitu 94%. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya yaitu 99,80%
seperti yang terlihat pada grafik di bawah ini.

Grafik 3.65
Persentase Pegawai Kementerian Kesehatan dengan Nilai Kinerja
Minimal Baik Tahun 2015-2019

Dalam pelaksanaan kegaiatan sebagai usaha mencapai target kinerja yang diharapkan,
tentu saja Biro Kepegawaian mengadapi beberapa kendala/hambatan yang sangat
berdampak terhadap penilaian kinerja Biro Kepegawaian itu sendiri. Adapun secara
umum kendala/hambatan tersebut dapat dijabarkan secara garis besar sebagai berikut:
1. Seperti telah dijabarkan diatas bahwa pemenuhan kebutuhan ASN Kemenkes telah
mencapai target yang telah ditentukan, namun capaian tersebut diambil berdasakan
jumlah pelamar yang mengirimkan berkas dibandinngkan dengan jumlah berkas valid,
hal tersebut dikarenakan Sesuai surat dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor B/1007/S.SM.01.00/2019 tanggal 01 Oktober
2019 hal Jadwal Pelaksanaan Rekrutmen dan Seleksi CPNS Formasi Tahun 2019 bahwa

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 228


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

pelaksanaan seleksi CPNS formasi tahun 2019 yang semula direncanakan selesai pada
tahun 2019, baru dapat dimulai Bulan Oktober 2019, serta perubahan jadwal tersebut
telah disepakati dalam rapat di Kementerian PANRB pada tanggal 30 September 2019
yang dihadiri dari unsur dari Kementerian PANRB, Kementerian Keuangan (Ditjen
Anggaran, Ditjen Perimbangan Keuangan dan Ditjen Perbendaharaan), Kementerian
Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
BKN, BPKP, Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta, dan Pemerintah Daerah Provinsi
Jawa Timur, sehingga pelaksanaan seleksi Kompetensi Dasar dan Seleksi Kompetensi
Bidang untuk formasi tahun 2019 akan dilaksanakan pada tahun 2020.
2. Kualitas dan kompetensi SDM yang dimiliki saat ini belum seluruhnya sesuai dengan
kebutuhan SDM di lapangan (kebutuhan organisasi) baik jenis, jumlah maupun
kualifikasi pendidikannya;
3. Belum optimalnya peran dan fungsi koordinasi baik lintas program maupun lintas
sektor atau masih terdapat ego sectoral;
Sedangkan bentuk upaya tindak lanjut yang telah dan kan dilakukan dalam menghadapi
hambatan/ kendala yang ada antara lain adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan peran dan fungsi koordinasi baik lintas program maupun lintas sektor,
antara lain:
a. Koordinasi dengan Kemenpan dan RB terkait tindak lanjut penetapan formasi
CPNS Kemenkes di tahun 2019 dengan penyesuaian aturan-aturan yang
mendukung tercapainya target pencapaian alokasi formasi yang telah ditetapkan;
b. Kordinasi dengan profesi, unit kerja yang akan mendayagunakan tenaga dan
lembaga swadaya masyarakat atau pihak terkait lainnya dalam penyusunan draft
aturan seleksi ASN.
2. Mengembangkan dan menguatkan kualitas pengelolaan SDM Kesehatan secara
terpadu dengan berbasis WEB secara online dengan menggunakan database pegawai
yang terintegrasi dengan SILK/SIMKA/SIMPEG terkait penyusunan kebutuhan tenaga
kesehatan (bezetting).
3. Meningkatkan peran dan fungsi monitoring dan evaluasi di berbagai program
kegiatan yang menjadi tanggungjawab, tugas pokok dan fungsi Biro Kepegawaian
untuk menjadi bahan perencanaan yang akan datang;
4. Melaksanakan Re-Staffing atau penataan ulang pegawai di lingkungan Biro
Kepegawaian baik pejabat struktural maupun staf.
5. Dalam rangka lebih mengoptimalkan dan meningkatkan pencapaian kinerja dan
menjaga konsistensi kualitas serta mutu layanan pengelolaan administrasi
kepegawaian telah dilakukan penerapan Sistem Manajemen Mutu (SMM) melalui
sertifikasi ISO 9001:2015. Sebagai gambaran pada tahun 2015 telah dilakukan
sertifikasi kembali terhadap 19 (sembilan belas) jenis layanan pengelolaan
administrasi kepegawaian, dengan hasil Biro Kepegawaian mendapatkan sertifikasi
ISO 9001:2015 yang berlaku sampai dengan November 2020.
6. Melakukan penataan kembali arsip/berkas administrasi kepegawaian sesuai standar
yang telah ditetapkan dengan melibatkan Biro Umum Setjen Kemenkes dalam rangka
menunjang tugas pokok dan fungsi organisasi.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 229


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Upaya yang telah dilakukan dalam rangka meningkatkan persentase penilaian kinerja
minimal baik di lingkungan Kementerian Kesehatan tahun 2019 yaitu :
1) Melakukan evaluasi penilaian prestasi kerja pegawai.
2) Melakukan updating database pegawai melalui aplikasi Sistem Informasi Manajemen
Kepegawaian (SIMKA).
3) Tersusunnya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1 Tahun 2019 tentang Pedoman
Penilaian Prestasi Kerja Pegawai di Lingkungan Kementerian Kesehatan.
4) Melakukan sosialisasi aplikasi SIPEKA (Sistem Pengukuran Kinerja Pegawai) yaitu
aplikasi yang bertujuan untuk melakukan pencatatan pekerjaan harian bagi pegawai
yang dapat secara langsung dilakukan penilaian oleh pejabat penilai.

Dengan hasil capaian yang terus meningkat setiap tahunnya, namun perlu dilakukan
beberapa hal untuk meningkatkan kualitas penilaian kinerja di lingkungan Kementerian
Kesehatan yaitu :
1) Sosialisasi Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1 Tahun 2019 tentang Pedoman
Penilaian Prestasi Kerja Pegawai di Lingkungan Kementerian Kesehatan sehingga
pejabat penilai mempunyai acuan untuk melakukan penilaian secara objektif.
2) Sosialisasi penggunaan aplikasi SIPEKA (Sistem Pengukuran Kinerja Pegawai) agar
digunakan oleh seluruh pegawai Kementerian Kesehatan sehingga memudahkan
pegawai dan pejabat penilai dalam melakukan penilaian kinerja karena terintegrasi
dengan aplikasi PPKPNS.
3) Pengembangan aplikasi PPKPNS terkait penilaian perilaku dengan metode 360°.
4) Menyusun draft Petunjuk Teknis Pengukuran Kinerja Harian Pegawai.

12). Sasaran Strategis 12: Meningkatnya Sistem Informasi Kesehatan Integrasi

Dalam kaitan dengan Sasaran Strategis ini, Kementerian Kesehatan mengidentifikasi dua
Indikator Kinerja Utama (IKU) pada Renstra Kemenkes 2015-2019 sebelum dilakukan revisi,
yaitu:
a. Persentase kabupaten/kota yang melaporkan data kesehatan prioritas
a. Persentase tersedianya jaringan komunikasi data yang diperuntukkan untuk pelaksanaan
e-kesehatan

Setelah Revisi Renstra Kemenkes 2015-2019 terdapat 3 (tiga) indikator pada sasaran
strategis, dengan hasil capaiannya sebagaimana tergambar dalam tabel berikut:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 230


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

TabeI 3.59
Capaian IKU pada Sasaran Strategis 12:
Meningkatnya Sistem Informasi Kesehatan Integrasi

SS12: Meningkatnya Sistem Informasi Kesehatan Integrasi

Indikator Kinerja Target Realisasi % Realisasi


12a. Jumlah kabupaten/kota yang melaporkan data 463 413 89,20%
kesehatan prioritas

12b Jumlah kabupaten/kota dengan jaringan 257 258 100,39


komunikasi data untuk untuk pelaksanaan e-
kesehatan
12c Jumlah kabupaten/kota yang melaksanakan 514 502 97,67
pemetaan keluarga sehat

Uraian tentang ketiga IKU tersebut adalah sebagai berikut:

a. Jumlah kabupaten/kota yang melaporkan data kesehatan prioritas

Merujuk Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/422/2017 tentang


Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2015-2019, indikator ini yaitu jumlah
kabupaten/kota yang melaporkan data kesehatan prioritas. Definisi operasional indikator
ini yaitu kabupaten/kota dinyatakan melapor secara lengkap jika mengirimkan data
kesehatan prioritas periode bulanan dengan keterisian variabel sekurang-kurangnya 80%,
melalui aplikasi Komunikasi Data. Target pada tahun 2019 yaitu 463 kabupaten/kota
melaporkan data kesehatan prioritas.

Jumlah kabupaten/kota yang melaporkan data kesehatan prioritas dihitung dengan


formulasi sebagai berikut:

Jumlah kabupaten/kota yang melaporkan data kesehatan prioritas

Data kesehatan prioritas adalah sekumpulan data kesehatan yang menjadi prioritas
kebutuhan informasi bidang kesehatan berdasarkan kriteria tertentu serta sesuai
indikator strategis nasional dan global bidang kesehatan. Data kesehatan prioritas terdiri
atas sejumlah elemen data yang dikelompokkan menjadi data derajat kesehatan, upaya
kesehatan, sumber daya kesehatan, determinan kesehatan atau terkait lainnya. Data
kesehatan prioritas dilaporkan melalui Aplikasi Komunikasi Data. Merujuk pada Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 92 Tahun 2014 tentang penyelenggaraan komunikasi data
dalam sistem informasi kesehatan terintegrasi, data kesehatan prioritas merupakan
muatan data dalam penyelenggaraan Komunikasi Data.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 231


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Aplikasi Komunikasi Data adalah suatu aplikasi sistem informasi kesehatan yang
digunakan untuk pertukaran data dalam rangka konsolidasi/integrasi data kesehatan
prioritas yang dikirimkan dari dinas kesehatan kabupaten/kota dan/atau dinas kesehatan
provinsi dalam rangka penyelenggaraan sistem informasi kesehatan terintegrasi. Aplikasi
ini dapat diakses di www.komdat.kemkes.go.id dan tampilan muka seperti terlihat pada
Gambar 3.25.

Gambar 3.51
Tampilan Muka Aplikasi Komunikasi Data

Sumber : www.komdat.kemkes.go.id

Pelaporan data kesehatan prioritas yang diisikan pada aplikasi Komunikasi Data
memiliki batas waktu untuk pengiriman dari berbagai level pelapor. Untuk data dari
Puskesmas disampaikan ke dinas kesehatan kabupaten/kota pada tanggal 5 setiap
bulannya. Untuk pelaporan dari dinas kesehatan kabupaten/kota ke provinsi maksimal
disampaikan pada tanggal 10 setiap bulan untuk dilakukan verifikasi oleh dinas kesehatan
provinsi. Data yang telah diverifikasi akan disampaikan ke Pusat pada tanggal 15 setiap
bulannya untuk diverifikasi pada aplikasi Komunikasi Data. Tahun 2019 variabel data
bulanan pada Aplikasi Komunikasi Data berjumlah 34 variabel, terdiri atas data kesehatan
ibu dan anak, data gizi, data imunisasi dan data beberapa penyakit. Gambar 3.26
menampilkan absensi keterisian data/variabel dan Gambar 3.27 memperlihatkan salah
satu laporan data bulanan.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 232


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Gambar 3.52
Tampilan Absensi Keterisian Data/Variabel Bulanan
pada Aplikasi Komunikasi Data

Sumber : www.komdat.kemkes.go.id

Gambar 3.53
Tampilan Laporan Data Bulanan pada Aplikasi Komunikasi Data

Sumber : www.komdat.kemkes.go.id
Indikator ini bergantung dengan kepatuhan dinas kesehatan kabupaten/kota dalam
penyampaikan data kesehatan dan kehandalan aplikasi. Adapun upaya yang telah
dilakukan untuk mendukung peningkatan data kesehatan prioritas:

1. mereviu dan merevisi indicator/variabel data kesehatan prioritas;


2. memfasilitasi pendanaan kegiatan pengelolaan data dan informasi melalui dana
dekonsentrasi provinsi, menu kegiatan sebagai berikut:
a. pertemuan pemutakhiran data kesehatan tingkat provinsi (dihadiri pengelola SIK
dinas kesehatan kabupaten/kota, pengelola program dinas kesehatan provinsi);
b. honorarium pengelola SIK dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota;

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 233


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

c. bimbingan teknis/pendampingan SIK pengelola SIK dinas kesehatan provinsi ke


dinas kesehatan kabupaten/kota;
d. konsultasi petugas SIK dinas kesehatan provinsi ke pusat.
3. membentuk tim pemantauan SIK/data tingkat pusat yang rutin melakukan
pemantauan serta berkomunikasi dengan pengelola data di dinas kesehatan provinsi;
4. memberikan umpan balik keterisian dan analisis data ke dinas kesehatan provinsi;
5. pendampingan pengisian data kesehatan prioritas melalui pelatihan dan atau
pertemuan;
6. pemeliharaan dan pengelolaan akun Aplikasi Komunikasi Data;
7. menjaga keamanan informasi data dengan sertifikasi ISO 27001:2013; serta
8. menyediakan jaringan komunikasi data melalui Dana Alokasi Khusus Non Fisik untuk
dinas kesehatan kabupaten/kota dan puskesmas.

Pada tahun 2019 target jumlah kabupaten/kota yang melaporkan data kesehatan
prioritas ditetapkan sebesar 463 kabupaten/kota atau 90% dari 514 kabupaten/kota.
Kabupaten/kota yang dikategorikan melapor apabila kabupaten/kota tersebut
mengirimkan laporan data prioritas kesehatan minimal 80% variabel data bulanan.
Realisasi indikator ini yaitu 413 kabupaten/kota atau 89,20%. Angka ini belum mencapai
target yang telah ditetapkan. Bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2018, realisasi
tahun 2019 mengalami penurunan.

Angka capaian akhir tahun 2019 tiap kabupaten/kota didapatkan dengan cara
menghitung jumlah variabel bulanan bulan Desember 2018 sampai dengan November
2019 yang terisi pada aplikasi Komunikasi Data dibagi dengan jumlah variabel bulanan
selama satu tahun dikali 100%. Gambar 3.60 memperlihatkan angka capaian per bulan.

Grafik 3.66
Capaian Indikator Jumlah Kabupaten Kota yang Melaporkan
Data Kesehatan Prioritas Tahun 2019

Sumber: Pusat Data dan Informasi, 2020

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 234


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Kendala/hambatan yang dihadapi sehingga pencapaian indikator tidak sesuai target


yaitu:
1. perubahan struktur organisasi di dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota
menyebabkan perubahan personil pengelola data (Permenkes Nomor 49 tahun 2016
tentang Pedoman Teknis Pengorganisasian Dinas Kesehatan Provinsi dan
Kabupaten/Kota);
2. mutasi pegawai yang sangat cepat tanpa adanya kaderisasi yang memadai;
3. kurangnya SDM pengelola data dan beban pengumpulan data yang banyak;
4. masih perlu ditingkatkan kapasitas tenaga pengolah data/pengelola SIK di daerah;
5. data dari Puskesmas setiap bulannya sering terlambat untuk disampaikan ke dinas
kesehatan kabupaten/kota.
Solusi yang dilakukan untuk mengatasi hambatan, diantaranya (1) menjalin komunikasi
intensif dengan pengelola SIK di tingkat provinsi melalui group komunikasi (whatsapp);
(2) memberikan umpan balik (feedback) terhadap data kesehatan prioritas yang telah
dilaporkan.

b. Jumlah Kabupaten/Kota dengan jaringan komunikasi data untuk pelaksanaan e-


kesehatan

Merujuk Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/422/2017 tentang


Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2015-2019, indikator ini yaitu jumlah
kabupaten/kota dengan jaringan komunikasi data untuk pelaksanaan e-kesehatan.
Definisi operasional indikator yaitu kabupaten/kota dinyatakan tersedia jaringan
komunikasi data dan melaksanakan e-kesehatan jika di wilayah kabupaten/kota terdapat
Puskesmas yang melaksanakan sistem informasi Puskesmas dan melaporkan datanya
secara online ke dinas kesehatan kabupaten/kota. Target pada tahun 2019 yaitu 257
kabupaten/kota dengan jaringan komunikasi data untuk pelaksanaan e-kesehatan.
Jaringan komunikasi data untuk pelaksanaan e-kesehatan adalah jaringan komputer WAN
dalam lingkup ekosistem kesehatan yang digunakan sebagai media koneksi pertukaran
data pada penyelenggaraan sistem elektronik kesehatan seperti aplikasi sistem informasi
puskesmas, aplikasi sistem informasi rumah sakit (RS), pembelajaran kesehatan jarak
jauh, telemedicine, telediagnostik, teleradiologi, dan sebagainya.

Jumlah Kabupaten/Kota dengan jaringan komunikasi data untuk pelaksanaan e-


kesehatan dihitung dengan formulasi sebagai berikut:

jumlah kabupaten/kota yang tersedia jaringan komunikasi data dan melaksanakan e-


kesehatan

Salah satu model pelaksanaan e-kesehatan di puskesmas yang dikembangkan


Kementerian Kesehatan melalui Pusat Data dan Informasi yaitu Aplikasi SIKDAGenerik.
Aplikasi SIKDAGenerik versi 1.4 terus dikembangkan menyesuaikan dengan kebutuhan
program. Aplikasi ini terintegrasi dengan p-Care BPJS Kesehatan, ditjen kependudukan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 235


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

dan catatan sipil untuk data NIK dan sistem informasi SDM kesehatan (SI SDMK). Aplikasi
ini mencatat semua pelayanan kesehatan dalam gedung puskesmas, mulai dari
pendaftaran, pelayanan kesehatan poli umum, poli gigi, poli KIA, transaksi obat/apotek
hingga pembayaran, maupun data ketenagaan dan sumber daya puskesmas. Laporan
yang dapat dihasilkan diantaranya laporan harian berupa jumlah kunjungan, laporan
bulanan 5 diagnosa terbanyak, laporan 5 kunjungan poli terbanyak. Dinas kesehatan
kabupaten/kota memantau secara online data dari puskemas yang menggunakan aplikasi
SIKDA Generik. Tampilan muka Aplikasi SIKDAGenerik akses puskesmas terlihat pada
Gambar 3.28, sedangkan tampilan akses dinas kesehatan kabupaten/kota terlihat pada
Gambar 3.29.
Gambar 3.54
Tampilan Muka Aplikasi SIKDAGenerik Akses Puskesmas

Sumber: www.e-sikda.kemkes.go.id
Gambar 3.55
Tampilan Muka Aplikasi SIKDAGenerik
Akses Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

Sumber: www.e-sikda.kemkes.go.id

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 236


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Indikator ini bergantung dengan komitmen dinas kesehatan kabupaten/kota dan


puskesmas dalam implementasi sistem informasi dalam pencatatan dan pelaporan
kegiatan serta kehandalan aplikasi. Upaya yang telah dilakukan dalam rangka pencapaian
target indikator ini, yaitu:
1. sosialisasi, pelatihan dan pendampingan SIKDA Generik bagi daerah yang akan dan
telah mengembangkan aplikasi tersebut;
2. menyelenggarakan kegiatan orientasi/workshop sistem informasi puskesmas (SIP) /
SIKDA Generik menggunakan dana dekonsentrasi;
3. advokasi ke daerah untuk pembangunan infrastruktur SIK melalui Dana Alokasi
Khusus (DAK) fisik bidang kesehatan dan pengadaan internet melalui DAK non fisik
bidang kesehatan;
4. berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam penyediaan
internet sampai ke puskesmas;
5. berkoordinasi dengan BPJS Kesehatan dalam proses bridging dengan Aplikasi PCare
BPJS;
6. sewa jaringan (intranet, internet), operasional dan pemeliharaan jaringan sistem
informasi.

Target kabupaten/kota dengan jaringan komunikasi data untuk pelaksanaan e-kesehatan


tahun 2019 ditetapkan sebesar 257 kabupaten/kota atau 50% dari 514 kabupaten/kota.
Kabupaten/kota dikategorikan tersedia jaringan komunikasi data dan melaksanakan e-
kesehatan jika di wilayah kabupaten/kota terdapat puskesmas yang melaksanakan sistem
informasi puskesmas dan melaporkan datanya secara online ke dinas kesehatan
kabupaten/kota. Berdasarkan hasil pendataan tahun 2019 terdapat 258 kabupaten/kota
yang menerapkan aplikasi SIKDAGenerik di puskesmas. Angka ini tidak mencapai target
yang telah ditetapkan (100,39%). Bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2018, realisasi
tahun 2019 mengalami penurunan.

Keberhasilan capaian indikator ini didukung oleh beberapa hal, yaitu:


1. Kebijakan pusat dan daerah yang mendukung penyelenggaraan SIK, terutama
penataan data transaksi di fasyankes, yaitu puskesmas.
2. Dimanfaatkannya Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik bidang kesehatan untuk
pengadaan perangkat komputer di puskesmas dan dinas kesehatan kabupaten/kota
dan DAK non fisik bidang kesehatan untuk pengadaan internet.
3. Tingginya komitmen daerah dalam penerapan sistem elektronik di pelayanan
kesehatan.

Namun demikian, masih ditemui kendala/hambatan yang dihadapi, yaitu:


1. Keterbatasan jumlah dan kapasitas tenaga pengelola teknologi informasi di daerah
khususnya di puskesmas, juga sering terjadi rotasi petugas yang sudah dilatih
sebelumnya.
2. Masih terbatasnya anggaran di daerah dalam penyediaan infrastruktur SIK dan
belum menjadi prioritas dalam pengajuan anggaran DAK fisik dan non fisik.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 237


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

3. Jaringan internet di puskesmas yang belum stabil (bandwith kecil) atau belum
terjangkau internet.
4. Cukup pesat pengembangan aplikasi/sistem informasi lain di daerah, mengingat
tidak ada keharusan penggunan Aplikasi SIKDAGenerik.
5. Kesulitan koordinasi antara dinas kesehatan dengan BPJS wilayah yang menyebabkan
bridging dengan Aplikasi PCare BPJS terhambat.

Adapun solusi dan upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi hambatan, diantaranya:
1. Melakukan advokasi melalui berbagai pertemuan kepada Pemerintah Daerah agar
menyediakan anggaran SIK, khususnya dalam penyediaan infrastruktur SIK.
2. Mengupayakan fasilitasi dana hibah untuk penyediaan perangkat atau infrastruktur
SIK.
3. Terus berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam
penyediaan internet sampai ke puskesmas.

c. Jumlah Kabupaten/Kota yang Melaksanakan Pemetaan Keluarga Sehat


Merujuk Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/422/2017 tentang
Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2015-2019, indikator ini yaitu jumlah
kabupaten/kota yang Melaksanakan Pemetaan Keluarga Sehat. Definisi operasional
indikator ini yaitu kabupaten/kota dinyatakan melaksanakan pemetaan keluarga sehat
jika terdapat data keluarga sehat di wilayah kabupaten/kota dan data keluarga sehat
dipantau melalui aplikasi Keluarga Sehat. Target pada tahun 2018 yaitu 514
kabupaten/kota melaksanakan pemetaan keluarga sehat.

Dalam rangka mendukung Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga, telah
dikembangkan Aplikasi Keluarga Sehat. Aplikasi Keluarga Sehat merupakan bentuk
dukungan teknologi informasi terhadap proses pengambilan data lapangan, pengolahan
dan analisis data, penyajian data agregat Indeks Keluarga Sehat (IKS), dengan
memanfaatkan akses Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Kartu Keluarga dari
Dukcapil, serta membuat Nomor Register Rumah Tangga untuk kepentingan pendataan
kesehatan keluarga di lapangan.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 tahun 2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan


Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga menetapkan 12 indikator utama
sebagai penanda status kesehatan sebuah keluarga, yaitu (1) keluarga mengikuti program
Keluarga Berencana (KB); (2) ibu melakukan persalinan di fasilitas kesehatan; (3) bayi
mendapat imunisasi dasar lengkap; (4) bayi mendapat Air Susu Ibu (ASI) eksklusif; (5)
balita mendapatkan pemantauan pertumbuhan; (6) penderita tuberkulosis paru
mendapat pengobatan sesuai standard; (7) penderita hipertensi melakukan pengobatan
secara teratur; (8) penderita gangguan jiwa mendapat pengobatan secara teratur; (9)
anggota keluarga tidak ada yang merokok; (10) keluarga sudah menjadi anggota Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN); (11) keluarga mempunyai akses sarana air bersih; dan (12)
keluarga mempunyai akses atau menggunakan jamban sehat. Informasi mengenai

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 238


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga terdapat pada www.kemkes.go.id


dan www.pispk.kemkes.go.id seperti terlihat pada Gambar 3.30.

Gambar 3.56
Pojok Informasi Keluarga Sehat pada Website Kementerian Kesehatan

Sumber: www.kemkes.go.id

Indikator ini bergantung pada komitmen dinas kesehatan kabupaten/kota dan puskesmas
dalam melaksanakan pemetaan keluarga sehat dan kepatuhan mengisikan datanya ke
aplikasi KS, serta diperlukan kehandalan aplikasi. Adapun upaya dalam mendukung
pelaksanaan pendataan keluarga sehat, yaitu: (1) memfasilitasi kegiatan bimbingan
teknis implementasi aplikasi dan pengelolaan data keluarga sehat pengelola SIK dinas
kesehatan provinsi ke dinas kesehatan kabupaten/kota melalui dana dekonsentrasi
provinsi; (2) bersama Ditjen Yankes dan Badan PPSDMK melakukan pelatihan pendataan
dan penggunaan aplikasi keluarga sehat untuk dinas kesehatan provinsi, dinas kesehatan
kabupaten/kota dan puskesmas; (3) pemberian akses admin puskesmas; (4)
pendampingan penggunaan aplikasi dan pendataan keluarga sehat; (5) pengembangan
aplikasi dan meningkatkan infrastruktur teknologi informasi keluarga sehat; (6) feedback
dan evaluasi pendataan; serta (7) analisis dan diseminasi hasil pendataan keluarga sehat.
Gambar 3.31 memperlihatkan tampilan website PIS-PK www.pispk.kemkes.go.id.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 239


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Gambar 3.57
Website Informasi Program Keluarga Sehat dengan Pendekatan Keluarga

Sumber: www.pispk.kemkes.go.id

Sampai dengan akhir Desember 2019 terdapat 45.333.841 keluarga yang telah terdata
kondisi kesehatannya. Sejumlah 502 kabupaten/kota yang telah mendata lebih dari 1.000
keluarga pada tahun 2019. Angka ini belum mencapai target tahun 2019 dengan capaian
sebesar 97,67%. Dibandingkan dengan tahun 2018, capaian indikator ini meningkat
karena target di tahun 2018 sama dengan 2019.

Kendala/hambatan yang dihadapi sehingga pencapaian indikator tidak sesuai target


yaitu:
1. Semua kabupaten/kota tercatat sudah melaksanakan pemetaan keluarga sehat
namun masih terdapat 12 kabupaten mendata kurang dari 1.000 keluarga.
2. Sembilan (9) kabupaten di Provinsi Papua (Tolikara, Yahukimo, Lanny Jaya, Supiori,
Nduga, Puncak Jaya, Deiyai, Intan Jaya dan Paniai; tiga (3) kabupaten di Provinsi
Papua Barat (Pegunungan Arfak, Maybrat dan Tambrauw), mengalami hambatan
dalam internet, rendahnya kapasitas SDM, kesulitan akses ke masyarakat, masalah
keamanan dan anggaran.

Solusi yang dilakukan untuk menjawab kendala yaitu:


1. melakukan pendampingan dan bimbingan teknis dalam penggunaan aplikasi dan
pemetaan keluarga sehat juga kepada tim Nusantara Sehat yang akan ditempatkan di
lokus-lokus;
2. melakukan advokasi dan sosialisasi dalam pemanfaatan DAK fisik dan DAK non fisik
bidang kesehatan untuk pengadaan infrastruktur dan jaringan teknologi informasi;

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 240


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

3. terus berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam


penyediaan internet sampai ke puskesmas;
4. advokasi kepada daerah manfaat Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan
Keluarga melalui Satker Pembina Wilayah (Binwil);
5. melakukan pengembangan (update) Aplikasi Keluarga Sehat dan peningkatan
kapasitas server untuk aplikasi dan database agar dapat diakses oleh banyak
pengguna/user dan menampung banyak data;
6. membentuk tim pendampingan aplikasi berdasarkan provinsi.

B. Realisasi Anggaran

1. Realisasi DIPA Kementerian Kesehatan


Gambaran alokasi dan realisasi anggaran kementerian Kesehatan Tahun 2015 sampai
dengan tahun 2019 digambarkan sebagai berikut:

Tabel 3.60
Alokasi dan Realisasi Anggaran Kementerian Kesehatan
Tahun 2015-2019

TAHUN
ALOKASI REALISASI %
ANGGARAN
2015 54.337.519.430.000 48.851.488.906.116 89,9
2016 65.662.592.996.000 57.010.830.185.609 86,82
2017 59.108.950.148.000 54.912.281.505.907 92,9
2018 61.817.085.108.000 57.098.062.569.015 92,37
2019 71.121.938.460.000 67.288.277.271.120 94,61

Realisasi TA 2015 dan 2016 bersumber dari laporan keuangan audited. Realisasi tahun
2017 dengan menggunakan online monitoring SPAN, realisasi DIPA Kementerian
Kesehatan TA 2017 untuk semua jenis belanja mencapai 92,9% atau sebesar Rp
54.912.281.505.907 dari total pagu sebesar Rp 59.108.950.148.000.

Realisasi tahun 2018 dengan menggunakan online monitoring SPAN, realisasi DIPA
Kementerian Kesehatan TA 2018 untuk semua jenis belanja mencapai 92,37% atau
sebesar Rp 57.098.062.569.015 dari total pagu sebesar Rp 61.817.085.108.000. Total
anggaran tersebut bersumber dari Rupiah Murni, Pinjaman Luar Negeri, Penerimaan
Negara Bukan Pajak, Badan Layanan Umum, Hibah Luar Negeri dan Hibah Langsung
Luar Negeri.

Realisasi tahun 2019 dengan menggunakan online monitoring SPAN, realisasi DIPA
Kementerian Kesehatan TA 2019 untuk semua jenis belanja mencapai 94,61% atau
sebesar Rp 67.288.277.271.120 dari total pagu sebesar Rp 71.121.938.460.000. Total
anggaran tersebut bersumber dari Rupiah Murni, Pinjaman Luar Negeri, Penerimaan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 241
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Negara Bukan Pajak, Badan Layanan Umum, Hibah Luar Negeri dan Hibah Langsung
Luar Negeri.

Grafik 3.67
Alokasi dan Realisasi Kementerian Kesehatan Menurut Jenis Belanja
Tahun Anggaran 2019

40 120,00
Trillions

35 99,62
96,86
100,00
89,28
30 81,95
80,00
25

20 60,00

15
40,00

10

20,00
5

0 0,00
BELANJA MODAL BELANJA BARANG BELANJA PEGAWAI BELANJA BANSOS

Alokasi Realisasi %

Tabel 3.61
Jumlah Alokasi dan Realisasi Belanja
Tahun 2019

JENIS BELANJA ALOKASI REALISASI %


BELANJA MODAL 4.629.442.491.000 3.793.699.633.170 81,95
BELANJA BARANG 25.086.410.325.000 22.396.911.246.618 89,28
BELANJA PEGAWAI 5.493.285.644.000 5.320.523.717.332 96,86
BELANJA BANSOS 35.912.800.000.000 35.777.142.674.000 99,62
TOTAL 71.121.938.460.000 67.288.277.271.120 94.61

Alokasi dan realisasi anggaran Kementerian Kesehatan berdasarkan jenis belanja pada
tahun 2019 untuk belanja modal terealisasi Rp 3.793.699.170 atau 81,95% dari total
alokasi Rp 4.629.442.491.000. Adapun untuk belanja barang direalisasikan Rp
22.396.911.246.618 atau 89,28% dari total anggaran Rp 25.086.410.325.000 Belanja
Bansos menjadi proporsi terbesar dari alokasi dibandingkan belanja pegawai, belanja
barang dan belanja modal.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 242


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Grafik 3.68
Alokasi dan Realisasi Anggaran Kementerian Kesehatan
Menurut Jenis Kewenangan
Tahun Anggaran 2019
50 96.56 97.00
Trillions

45 96.00

40 95.00

35 94.00

30 93.00

25 92.00
90.86 90.74
20 91.00

15 90.00

10 89.00

5 88.00

0 87.00
KANTOR PUSAT KANTOR DAERAH DEKONSENTRASI

Alokasi Realisasi %

Tabel 3.62
Jumlah Alokasi dan Realisasi Belanja Berdasarkan Kewenangan
Tahun 2019

JENIS
ALOKASI REALISASI %
KEWENANGAN
KANTOR PUSAT 46.844.972.732.000 45.232.253.777.976 96,56
KANTOR DAERAH 23.236.724.573.000 21.112.137.863.027 90,86
DEKONSENTRASI 1.040.241.155.000 943.885.630.117 90,74
KEMENKES 71.121.938.460.000 67.288.277.271.120 94,61

Alokasi dan realisasi anggaran Kementerian Kesehatan berdasarkan jenis kewenangan


pada tahun 2019, untuk belanja kantor pusat terealisasi Rp 45.232.253.777.976 atau
96,56% dari total alokasi Rp 46.844.972.732.000. Adapun untuk belanja kantor daerah
direalisasikan Rp 21.112.137.863.027 atau 90,86% dari total anggaran Rp
23.236.724.573.000. sedangkan belanja dekonsentrasi terealisasi sebesar Rp
943.885.630.117 atau sebesar 90,74% dari total anggaran Rp 1.040.241.155.000.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 243


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

C. Capaian Kinerja Lainnya


Beberapa capaian kinerja lainnya diuraikan sebagai berikut:

1) Implementasi e-government Administrasi Perjalanan Dinas Luar Negeri (PDLN)


Sebagai bentuk tindaklanjut atas implementasi e-government, Kementerian Kesehatan
mulai memperlakukan registrasi permohonan PDLN secara elektronik melalui
https://www.pdln.kemkes.go.id. Dengan dilaksanakannya registrasi secara online,
diharapkan proses administrasi PDLN menjadi lebih cepat, tertib dan mudah untuk
dimonitor perkembangan dalam tiap tahapan prosesnya. Selain itu, sistem pelaporan
juga dapat lebih akuntabel.

Gambar 3.58
Registrasi PDLN Secara Online

2) Pertemuan Kerja Sama Luar Negeri


Penyelenggaraan pertemuan/kegiatan nasional dan internasional, yaitu :
a. Pertemuan Bilateral RI-PNG, Jayapura, 19 Maret 2019
Kemenkes menginisiasi dan menjadi host pada pertemuan 2PndP Cross Border
Meeting on Polio Outbreak Vigilance 16Tbetween Indonesia and PNG16T,
dilaksanakan tanggal 19 Maret 2019 di Jayapura, Indonesia. Delegasi Indonesia
dipimpin oleh dr. Anung Sugihantono, M.Kes, Direktur Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit, dan Delegasi Papua Nugini dipimpin oleh Secretary for
Health, Ministry of Health and HIV/AIDS PNG, Mr. Pascoe Kase.
Pertemuan ini merupakan pertemuan lanjutan dari Cross Border Meeting on
Measles, Rubella, Polio and Other Vaccine Preventable Diseases (VPDs) yang
dilaksanakan di Port Moresby, PNG, tanggal 13 September 2018. Pertemuan
tersebut bertujuan untuk memperoleh kesepakatan dan rencana tindak lanjut
dalam melindungi penduduk Indonesia dan PNG dari virus polio tipe 1.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 244


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Gambar 3.59
Pertemuan Bilateral RI-PNG
Di Jayapura Pada tanggal 19 Maret 2019

Untuk peningkatan kolaborasi dan dukungan sumber daya serta koordinasi semua
pemangku kepentingan di perbatasan, beberapa Joint Actions Points yang berhasil
disepakati diantaranya: 1) Mutual notification, joint risk assessment, investigation and
response of all imported VPD cases and outbreaks; 2) Synchronize the Polio supplement
immunization activities (SIAs) of the two countries at the border area; and 3) Establish
coordination mechanism for border control such as establishing bilateral Polio
prevention and control coordination committee.

Untuk menguatkan kerja sama Kesehatan antara Indonesia dan PNG, kedua negara
menyepakati 5 area kerja sama dalam draft MoU Kesehatan RI-PNG, yaitu:
a. Public Health;
b. Development and Empowerment of Human Resources for Health;
c. Pharmaceutical and Medical Devices;
d. Disease Control and Prevention;
e. Development and Strengthening of Health Services.

b. Youth Town Hall Tingkat Regional WHO South-East Asia Region (SEAR) dan Nasional di
Jakarta, tanggal 20 – 21 Maret 2019
Youth Town Hall SEAR dan Nasional pertama, yang diselenggarakan oleh Kementerian
Kesehatan Indonesia dan WHO serta didukung oleh Center for Indonesia’s Strategic
Development Initiatives (CISDI), merupakan acara penting yang mempertemukan 1000
pemuda dengan usia antara 18–39 tahun, dengan fokus pada pemuda usia 18-29 tahun
dari seluruh kawasan Asia Tenggara, untuk secara aktif berdiskusi dengan para
pemangku kepentingan mengenai masalah-masalah pemuda dalam kesehatan
masyarakat, mulai dari penyakit tidak menular, kesehatan kota, kesehatan mental,

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 245


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

kesehatan seksual dan reproduksi, dan reformasi tenaga kerja kesehatan. Keterlibatan
pemuda yang signifikan menjadi tema utama dialog. Youth Town Hall juga akan
mengundang beberapa pemuda dari regional lain di dunia untuk berbagi pembelajaran
dan praktik terbaik dalam menangani permasalahan kesehatan dan kesejahteraan
remaja.

Gambar 3.60
Pertemuan Youth Town Hall tingkat Regional WHO SEAR
Di Jakarta Pada tanggal 20 Maret 2019

Pertemuan Youth Town Hall tingkat regional WHO SEAR dihadiri oleh 250 pemuda dari
negara-negara anggota WHO SEAR (Bangladesh, Bhutan, India, Korea Utara, Maldives,
Myanmar, Nepal, Sri Lanka, Thailand, Timor-Leste, serta wakil pemuda dari seluruh
Indonesia). Pertemuan menghasilkan Youth Regional Call for Action yang pada
pokoknya berisikan komitmen dan peningkatan keterlibatan aktif pemuda dalam
pembangunan kesehatan di kawasan.

Pada Pertemuan Youth Town Hall Nasional dihadiri oleh sekitar 1300 pemuda dari
seluruh provinsi di Indonesia, yang terdiri dari tenaga kesehatan teladan, mahasiswa
kesehatan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pengusaha muda, Pramuka, Palang
Merah Remaja, dan komunitas terkait kesehatan lainnya. Pertemuan dibuka oleh
Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Ibu Puan
Maharani), selain itu hadir juga sebagai pembicara Menteri Pemuda dan Olah Raga
(Imam Nahrowi).

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 246


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Gambar 3.61
Pembukaan Pertemuan Youth Town Hall tingkat Nasional
Di Jakarta Pada tanggal 21 Maret 2019

c. Kunjungan National Ambulance ke Jakarta, 22-24 April 2019


Kunjungan National Ambulance (NA) ke Jakarta dilaksanakan pada tanggal 22-24 April
2019, dengan agenda:
a. Pertemuan dengan Kemenkes RI, berkoordinasi dengan Kemenaker, BNP2TKI, dan
Kemenlu.
b. Kunjungan lapangan ke Emergency Operation Center (EOC) dan Politeknik Kesehatan
Jakarta I.
c. Kunjungan lapangan ke Ambulans Gawat Darurat (AGD) Dinas Kesehatan Provinsi DKI
Jakarta, RSUP Fatmawati dan National Command Center (NCC) 119

Delegasi Indonesia dipimpin oleh Kepala Biro Kerja Sama Luar Negeri Kementerian
Kesehatan, Acep Somantri. Ketua dari Delegasi NA adalah CEO National Ambulance of
the United Arab Emirates, Ahmed Al Hajeri.
Ketua Delegasi Indonesia mengingatkan hasil pertemuan sebelumnya antara CEO
National Ambulance dan Duta Besar RI Abu Dhabi pada bulan Januari 2019 terkait

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 247


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

tawaran National Ambulance untuk merekrut 45-50 orang Perawat setiap 3 bulan untuk
bekerja di National Ambulance PEA. Saat ini, Kemenkes RI sedang dalam proses
negosiasi MoU Kesehatan dengan Kemenkes dan Pencegahan PEA dan diharapkan
dapat menjadi paying hokum kerja sama dnegan National Ambulance.

Gambar 3.62
Kunjungan National Ambulance ke Jakarta
Di Jakarta Pada tanggal 22 – 24 April 2019

Ketua Delegasi National Ambulance menyatakan bahwa pertemuan ini merupakan


kesempatan besar untuk meningkatkan kerja sama dalam bidang tenaga kesehatan.
National Ambulance merupakan perusahaan swasta yang dimiliki oleh Pemerintah PEA
(BUMN) yang bekerja untuk menyelamatkan nyawa dan mempunyai kewenangan
penuh untuk mengambil keputusan. Dalam hal ini, National Ambulance tidak
memerlukan persetujuan Pemerintah untuk merekrut tenaga professional kesehatan
(Perawat).

d. 1st Indonesia-Iran Health Business Forum, Jakarta, 2-4 September 2019


Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan Kedutaan Besar Iran di Jakarta dan Iran
Nanotechnology Innovation Council (INIC) menyelenggarakan Health Business Forum
(HBF) Pertama di Jakarta pada tanggal 2-4 September 2019. HBF dimaksud merupakan
implementasi atas MoU bidang kesehatan Indonesia – Iran yang telah ditandatangani di
Astana pada tanggal 26 Oktober 2018. Delegasi Iran dipimpin oleh Prof. Saeed Sakar,
Sekretaris Jenderal Iran Nanotechnology Innovation Council (INIC).
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 248
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

HBF dilaksanakan pada tanggal 3 September 2019, turut hadir dalam HBF dimaksud
industri farmasi dan alat kesehatan Iran seperti Exir Nano Sina, Nano Daro Pajouhan
Pardis, Avicenna, Persis Gen par, Danesh Pharmaceutical Development Co., Baran
Chemical and Pharmaceutical, Biosun Pharmed Co., Parto Negar Persia (PNP), dan
Parseh Intelligent Surgical System Co. (Parsiss). Industri farmasi dan Alkes Indonesia
juga hadir dalam HBF ini seperti PT Bio Farma, PT Kalbe, Dexa Medica, PT Indo Farma,
PT Enseval Medika Farma, PT Kimia Farma, PT Phapros, PT Sanbe Farma, GP Farmasi
dan ASPAKI.

Sebagai rangkaian HBF, dilakukan kunjungan lapangan ke PT Kalbe Farma (Stem Cell and
Cancer Institute) dan RSCM (pengembangan Stem Cell) pada tanggal 2 September 2019
serta ke PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia di Cikarang pada tanggal 4 September
2019.

e. ASEAN Cities Leadership Forum On Getting to Zeros, Denpasar, Bali tanggal 9-11
Oktober 2019,.
Negara-negara di Asia Tenggara berhasil menurunkan kasus infeksi HIV sebanyak 19%
terhitung sejak tahun 2010 hingga 2017. Ini merupakan keberhasilan yang siginifikan
sebagai hasil inisiasi regional dalam merespons penularan HIV AIDS di wilayah negara
anggota Association of South East Asian Nations (ASEAN). Kesuksesan tersebut
didukung dengan akses layanan kualitas tinggi, upaya pencegahan, pendampingan dan
dukungan tanpa adanya stigma dan diskriminasi. Dari laporan praktik regional
menunjukkan adanya peningkatan jumlah jangkauan layanan dan fasilitas kesehatan
bagi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA).
Menteri Kesehatan Nila Moeloek dalam sambutannya pada ASEAN Cities Leadership
Forum On Getting to Zeros pada tanggal 9-11 Oktober 2019 di Bali menyampaikan
bahwa terdapat peningkatan jumlah ODHA yang dijangkau dan didukung oleh setiap
layanan perawatan HIV berjenjang dan meningkatnya jumlah pusat tes HIV dan
konseling serta pengobatan. Pertemuan yang digagas Indonesia ini memperlihatkan
komitmen yang tinggi dari para Walikota, Bupati serta pengelola program yang
memperkuat komitmen regional dalam rangka penanggulangan AIDS di wilayah ASEAN.
ASEAN selama ini telah menjadi wadah regional yang aktif, partisipatif dan inklusif.
Pertemuan ini mencerminkan kontribusi ASEAN melalui ASEAN 2025 yang ingin
bersama mencapai target global mengakhiri epidemi AIDS.

Sejak 2011, ASEAN selalu konsisten dalam pengendalian AIDS. Pada deklarasi tahun
2011, komitmen three zero yakni: meniadakan infeksi HIV baru, meniadakan kematian
terkait AIDS dan meniadakan diskriminasi terhadap Orang Dengan HIV AIDS (ODHA).
Pada pertemuan di Paris pada tahun 2014, para pemimpin daerah dan negara berikrar
untuk mencapai target 90-90-90. Pada tahun 2016 di Laos, ASEAN juga kembali
mendeklarasikan melawan HIV AIDS dengan merespons kerja cepat berkelanjutan
untuk mengakhiri epidemi AIDS pada tahun 2030. Semua berkeinginan untuk
memastikan tidak satu orang pun yang tertinggal dalam merespons terhadap AIDS.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 249


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

f. Regional Consultative Meeting to Identify Gaps and Develop Guideline on the


Integration of Mental Health in Primary and Secondary Level of Care for ASEAN
Member States pada tanggal 1 – 3 Oktober 2019, Jakarta
Pertemuan Regional Consultative Meeting to Identify Gaps and Develop Guideline on
the Integration of Mental Health in Primary and Secondary Level of Care for ASEAN
Member States telah diselenggarakan di JHL Solitaire Hotel, Tangerang. Banten pada
tanggal 1-3 Oktober 2019.
Pertemuan dihadiri perwakilan contact point dan expert mental health dari Brunei
Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Myanmar dan Filipina serta perwakilan dan
konsultan dari WHO. Pertemuan membahas kesenjangan yang diidentifikasi pada
perawatan kesehatan mental dan program di setiap Negara Anggota ASEAN (AMS),
berdasarkan evaluasi hasil target sejak 2015 yang kemudian dilanjutkan melalui
berbagai platform diskusi hingga pertengahan 2019, Kesenjangan umum yang
diidentifikasi meliputi: (1) kepemimpinan dan tata kelola, (2) pembiayaan sistem
kesehatan, (3) pemberdayaan masyarakat, keterlibatan dan kolaborasi, (4) pemberian
layanan kesehatan, (5) tenaga kesehatan, (6) Infrastruktur dan (7) sistem data dan
informasi.

Focal point AMS dengan dibantu oleh konsultan dari RSCM, pakar dari profesi, dan
WHO Indonesia membahas draft pedoman dan memberikan masukan untuk
selanjutnya akan merevisi pedoman berdasarkan masukan dari Pertemuan dan finalisasi
pedoman akan dilakukan melalui konsultasi online dengan advisory group yang terdiri
dari expert WHO serta AMS dan e-working group. Setelah finalisasi, guideline tersebut
akan dimintakan persetujuan secara bertahap dan ad-referendum kepada ASEAN
Health Cluster 1, Senior Officials Meeting on Health Development (SOMHD), dan ASEAN
Health Ministers Meeting (AHMM). Sekretariat ASEAN akan membantu mencetak
guideline dimaksud pada tahun 2021. Pertemuan juga sepakat untuk melakukan
kegiatan advokasi untuk mengatasi kesenjangan kesehatan mental dalam side event
AHMM ke-15 tahun 2021 di Indonesia.

3) Peran Kementerian Kesehatan dalam penanggulangan bencana

Berdasarkan data dari system informasi penanggulangan krisis kesehatan (SIPKK) pada
tahun 2019 terdapat 2.967 kejadian bencana. dan 445 kejadian berdampak krisis
kesehatan.

Tabel 3.63
Rekapitulasi Kejadian Krisis Kesehatan Tahun 2019
No. Uraian Jumlah
1. Krisis Kesehatan 445 kali
2. Korban meninggal 796 jiwa
3. Luka berat/dirawat inap 2486 orang
4. Luka ringan/dirawat jalan 1.240.613 orang

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 250


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

5. Pengungsi 465.306 orang


6. Kerusakan fasilitas pelayanan 251 faskes
kesehatan

Gambar 3.63
Contoh Infografis Kejadian Bencana tahun 2019

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 251


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

4) ”The 1st Technofarmalkes 2019: Indonesian Health Tech Innovation”


“Seminar Bidang Kefarmasian dan Alkes” dengan Tema ”The 1st Technofarmalkes
2019: Indonesian Health Tech Innovation” merupakan langkah pengembangan inovasi
dan daya saing produk dalam negeri, yang meliputi produk sediaan farmasi dan alat
kesehatan, inovatif hasil penelitian, dan instrumen kebijakan perdagangan bilateral,
regional, dan internasional; uji klinik alat kesehatan; serta fasilitasi (business
matching, sharing experience) academic-business-government-community-innovator
(A-B-G-C-I). Melalui diseminasi informasi inovasi, peningkatan daya saing,
pembiayaan, dan pelayanan kesehatan kepada pemangku kepentingan terkait,
diharapkan mendorong kemandirian sediaan farmasi dan alat kesehatan produksi
dalam negeri.

Gambar 3.64
The 1st Technofarmalkes 2019: Indonesian Health Tech Innovation

5) Pengembangan Sistem Informasi Akuntabilitas Kinerja


Menindaklanjuti rekomendasi dari Kementerian PAN dan RB, Kementerian Kesehatan
telah melakukan upaya untuk membangun suatu sistem aplikasi berbasis jaringan
untuk pemantauan kinerja Kementerian Kesehatan secara terintegrasi. Pada tahun
2018 telah diintegrasikan aplikasi perencanaan dan pengukuran kinerja (e-
performance) kedalam website Kementerian Kesehatan (depkes.go.id) serta aplikasi
perencanaan dan penganggaran (erenggar)

E-performance merupakan aplikasi yang dikembangkan untuk mendukung


penyelenggaraan Reformasi Birokrasi, khususnya dalam akuntabilitas dan peningkatan
kinerja, dan selanjutnya dapat meningkatkan remunerasi atau tunjangan kinerja, serta
sebagai salah satu sarana dalam mewujudkan Good Governance dan Clean
Government. E-performance merupakan aplikasi yang dapat menfasilitasi system
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 252
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

monitoring capaia kinerja Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) yang


terintegrasi dalam lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Sistem e-performance merupakan sistem terpadu untuk entitas Satker, entitas unit
organisasi, dan Kementerian yang digunakan untuk mempermudah perencanaan,
penganggaran, dan evaluasi pada Kementerian Kesehatan terututma terkait capaian
kinerja. Pengembangannya dilakukan secara lintas unit yang melibatkan Biro
Perencanaan dan Anggaran, Pusat Data dan Informasi, serta semua unit Eselon I di
lingkungan Kementerian Kesehatan.

6) Perpustakaan Kementerian, Layanan Pengaduan dan Sarana Informasi Publik


a) Perpustakaan Kementerian
Perpustakaan Kementerian Kesehatan adalah perpustakaan pembina bagi semua
perpustakaan yang ada dibawah Kementerian Kesehatan. Perpustakaan
Kementerian Kesehatan telah memiliki sertifikasi ISO 9001-2015, melakukan
layanan koleksi secara langsung maupun elektronik atau digital dalam rangka
penelusuran literasi/rujukan/referensi, akses internet, serta audio visual produk
Kemenkes. Selain itu, disiapkan juga layanan penelusuran Katalog Induk Nasional
Kesehatan (KINK) yang sudah berjalan sejak tahun 2013, Melalui kink one search
perpustakaan yang sudah bergabung dan masyarakat bisa memanfaatkan informasi
perpustakaan .Perpustakaan yang sudah bergabung, yaitu Perpustakaan Unit
Utama, Rumah Sakit dan Politeknik Kesehatan.

Gambar 3.65
Sertifikat ISO 9001-2015 Perpustakaan Kementerian Kesehatan

Untuk memenuhi kebutuhan pemustaka dalam penyediaan informasi


Perpustakaan Kementerian Kesehatan telah melanggan e-journal dan membeli e-
book yang bisa di akses oleh perpustakaan di Lingkungan Kementerian Kesehatan
Journal yang di langgan adalah:

a) Sarana dan Prasarana Pelayanan Informasi Publik


Fasilitas yang tersedia dalam memberikan layanan informasi publik di
Kemenkes, yaitu:
- Halo Kemenkes 1500567

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 253


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Kementerian Kesehatan membangun Halo Kemenkes 1500567 yang bertujuan


untuk memberikan layanan pengaduan dan informasi secara cepat dan cermat
yang diperlukan masyarakat dalam bidang kesehatan dan memberikan respons
cepat terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat di bidang kesehatan
melalui hotline 1500567.

Halo Kemenkes merupakan layanan terintegrasi yang memadukan kanal-kanal


seperti telepon, SMS, Email dan Media Sosial dalam satu aplikasi yang
dinamakan SIAP. No telepon call center di (kode lokal) 1500 567. Waktu
pelayanan Halo Kemenkes adalah 24 jam. Pemanfaatan Halo Kemenkes tidak
hanya dari masyarakat dalam negeri tetapi juga luar negeri. Sebagian besar
masyarakat memanfaatkan Halo Kemenkes untuk meminta informasi,
pengaduan, dan memberikan saran.

Jam operasional : Setiap hari selama 24 jam (non-stop)


Saluran Komunikasi lainnya :
• SMS : 081281562620
• Email : kontak@kemkes.go.id
• Media sosial : twitter (@KemenkesRI) dan facebook (sehatnegeriku page)
• Surat : Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat; gd. Adhyatma,
jl. HR Rasuna Said blok X5 Kav. 4-9
• Laman PPID :www.ppid.kemkes.go.id
http://sehatnegeriku.kemkes.go.id/kontak/

Gambar 3.66
Pelayanan Informasi Publik

- SMS, E-mail, LAPOR!


Sejak tahun 2010, telah dikembangkan saluran permohonan informasi dan
pengaduan melalui fax (021-52921669), SMS (081281562620), dan e-mail
(kontak@depkes.go.id). Sementara,Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan
Pengendalian Pembangunan (UKP4) mengembangkan akses pengaduan dan
permintaan masyarakat melalui Unit Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online
Rakyat (LAPOR!).
SMS (No SMS : 081281562620)
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 254
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Permintaan Informasi melalui SMS Halo Kemenkes selama tahun 2017 sebanyak
3361 SMS dengan rincian 3339 sms berstatus close dan 22 sms berstatus open.

LAPOR Merupakan layanan aspirasi dan pengaduan yang dikelola oleh Kantor
Staf Presiden. Selama 2017 tercatat Kementerian Kesehatan telah melakukan
391 layanan.

Email (kontak@kemkes.go.id)
Email merupakan salah satu layanan yang telah diintegrasikan dalam aplikasi
SIAP, selama 2017 telah masuk sebanyak 4933 email dengan rincian permintaan
informasi (4672 close, 29 open), 105 email pengaduan dan 134 email saran dari
masyarakat.

Sejak tahun 2015 dikembangkan aplikasi terpadu SIAP (Saluran Informasi


Aspirasi & Pengaduan) Kemenkes RI yang mengintegrasikan semua saluran
pelayanan informasi yang ada. Tujuannya, agar masyarakat mudah dan cepat
mengakses informasi dan keluhan serta mempercepat petugas merespons
permintaan informasi dan keluhan. Selain itu, pimpinan dapat mengetahui
penyelesaian akhir secara real time. Saat ini para admin Unit Utama dan admin
unit teknis bisa saling berhubungan, diharapkan kedepannya, SIAP bisa
berhubungan dengan PPID Pelaksana, RS Vertikal dan UPT Vertikal.

- Pelayanan Informasi Publik

Gambar 3.67
Ruang Informasi Publik
Kementerian Kesehatan
membuka saluran
komunikasi agar masyarakat
dengan leluasa dapat
mengakses informasi. Kanal
yang dibuka adalah : Contact
Center (surel, surat dan
faximili), dan datang
langsung ke Pojok Informasi
di Gedung Prof. Sujudi Lt. 1.
Daftar saluran informasi :
Fax : 021-52921669
Email : kontak@kemkes.go.id
Surat : Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat; Gd.
Adhyatma, Jl. HR Rasuna Said Blok X-5 Kav. 4-9.
Laman PPID : www.ppid.kemkes.go.id dan www.kemenkes.go.id

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 255


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Untuk Pojok Informasi dikelola khusus dan bagi masyarakat yang berkeingingan
untuk datang tatap muka dengan petugas informasi di gedung Prof. Sujudi,
lantai satu, Jl. HR Rasuna Said Blok X5 Kav. 4-9.

- Unit Layanan Terpadu (ULT)


Unit Layanan Terpadu (ULT) merupakan implementasi dari Undang Undang RI
Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang kemudian dibentuk Unit
Layanan Terpadu (ULT) berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No.
509/MENKES/SK/2010 pada tanggal 26 April 2010. Unit ini terletak di gedung
Prof. Dr. Sujudi lantai 1 dengan tujuan mempermudah penyelenggaraan
pelayanan perizinan, transparansi dan akuntabilitas pelayanan serta memotong
birokrasi yang panjang di bidang kesehatan.

Gambar 3.68
Ruang Unit Layanan Terpadu (ULT)

7) SPGDT 119
Salah satu upaya penguatan akses pelayanan kesehatan antara lain dengan Sistem
Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT), yang bertujuan untuk
meningkatkan akses dan mutu pelayanan kegawatdaruratan medik, serta
mempercepat waktu respon penanganan pasien gawat darurat dalam upaya
menurunkan angka kematian dan kecacatan. SPGDT merupakan layanan emergensi
medik di Indonesia yang diselenggarakan melalui layanan berbasis call center yaitu
Pusat Komando Nasional (National Comand Center/NCC) 119 dan Public Safety Center
(PSC) 119.
NCC merupakan pusat panggilan kegawatdaruratan medik dengan nomor akses
tunggal 119 yang digunakan di seluruh wilayah Indonesia, yang berada di Kementerian
Kesehatan.
PSC merupakan pusat layanan yang menjamin kebutuhan masyarakat dalam hal-hal
yang berhubungan dengan kegawatdaruratan medik yang berada di kabupaten/kota
yang merupakan ujung tombak pelayanan untuk mendapatkan respon cepat.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 256


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Fungsi PSC antara lain (1) Pemberi pelayanan gawat darurat, (2) Pemandu pertolongan
pertama (first aid), (3) Pengevakuasi korban/pasien gawat darurat dan (4)
Pengoordinasi dengan fasilitas pelayanan kesehatan.

Tugas PSC yaitu:


1. Menerima terusan (dispatch) panggilan kegawatdaruratan dari NCC 119;
2. Melaksanakan pelayanan kegawatdaruratan dengan menggunakan algoritme
kegawatdaruratan;
3. Memberikan layanan ambulans;
4. Memberikan informasi tentang fasilitas pelayanan kesehatan; dan
5. memberikan informasi tentang ketersediaan tempat tidur di rumah sakit.
Saat ini sudah terbentuk 135 PSC yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

8) Pengembangan Telemedicine
Pelayanan Telemedicine merupakan salah satu terobosan Kementerian
Kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan menggunakan teknologi
informasi untuk mendekatkan akses dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
Layanan Telemedicine ini juga diharapakan dapat memudahkan komunikasi tenaga
kesehatan yang berada di daerah terpencil ataupun daerah yang jauh dari pusat kota
dengan dokter spesialis, subspesialis guna mendapatkan layanan kesehatan yang
efisien dan efektif.

Telemedicine sudah dikembangkan di Indonesia sebagai pilot project yang diawali


dengan teleradiologi, tahun 2012 dengan Jenis layanan tele-radiologi dan sampai
tahun 2018 telah ada empat jenis layanan telemedicine yaitu Tele-radiologi, tele-EkG,
Tele-USG. Dan Tele-Konsultasi Klinis.

Berdasarkan Indikator Renstra Kementerian Kesehatan tahun 2015 - 2019


pelayanan Telemedicine memiliki Konsep Pengampuan dimana sebagai Pengampu
adalah RS Rujukan Nasional, Rujukan Provinsi dan Rujukan Regional, dan sebagai
Diampu adalah Rumah Sakit yang tidak memiliki tenaga Spesialis dan/atau Puskesmas
yang tidak memiliki tenaga medis terutama terletak di daerah DTPK (Daerah Terpencil,
Perbatasan dan Kepulauan).

Kementerian Kesehatan menyediakan Aplikasi pelayanan telemedicine dengan


alamat www.temenin.kemkes.go.id, yang dapat diakses oleh semua fasilitas pelayanan
kesehatan yang menyediakan layanan telemedicine.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 257


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Gambar 3.69
Implementasi Telemedicine di Puskesmas Dan di Rumah Sakit

9) Klinik Hibah Pemerintah Indonesia di Indonesia Islamic Centre, Kabul – Afghanistan


Tahun 2019
Sejak tahun 2010 Pemerintah Indonesia telah membuat komitmen untuk
memberikan bantuan kepada Pemerintah dan Rakyat Afghanistan berupa
pembangunan Indonesia Islamic Center (IIC) yang terdiri dari bangunan Mesjid,
Perpustakaan, Klinik dan Social House. Tujuan dari pemberian bantuan tersebut
adalah untuk membantu terciptanya perdamaian dan rekonsiliasi di Afghanistan yang
sudah lebih dari 35 (tiga puluh lima) tahun dilanda konflik bersenjata.
Bangunan klinik dengan luas total 1212 m2 yang terdiri atas 3 (tiga) lantai,
beserta peralatan kesehatan dan meubelair, akan memberikan pelayanan kesehatan
dasar namun memadai bagi masyarakat di sekitar lokasi. Mengingat saat ini, di wilayah
sekitar lokasi tidak terdapat fasilitas kesehatan yang memadai. Lokasi pembangunan
Klinik adalah di dalam komplek Indonesia Islamic Center yang terletak di Ahmad Shah
Baba Mina, Distrik #12 Kota Kabul (Kabul Municipality), Afghanistan, di atas lahan
seluas 10.000 meter2 yang telah disediakan oleh Walikota Kabul untuk pembangunan
Indonesia Islamic Centre.
Tujuan pembangunan klinik kesehatan adalah untuk menyediakan akses terhadap
basic health service (pelayanan kesehatan dasar) untuk penduduk di sekitar IIC, yaitu
sejumlah 2.500 orang karena tidak ada basic health service dalam radius 15 km.
Kebutuhan klinik ini terutama untuk unit pelayanan ibu dan bayi, obstetrics unit,
internal medicine unit dan mental health unit.
Penerima manfaat dari pembangunan Klinik ini adalah:
1) Pemerintah Indonesia berupa meningkatnya hubungan bilateral Indonesia –
Afghanistan serta postur politik Indonesia di Afghanistan.
2) Dua ribu lima ratus warga lokal yang berdomisili di sekitar area Indonesia Islamic
Center, dimana belum terdapat fasilitas kesehatan dalam radius 15 KM.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 258


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

3) Masyarakat dan Pemerintah Afghanistan mendapatkan manfaat berupa adanya


penambahan sarana dan prasarana untuk mencapai upaya rekonsiliasi dan
perdamaian di Afghanistan.

Gambar 3.70
Indonesia Islamic Center (IIC) Kabul – Afghanistan

10) Pembangunan Klinik Kesehatan Haji Baru di Madinah dan Makkah


Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan teah melakukan pembangunan Klinik
Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) di Madinah dan Makkah. Lokasi KKHI ini sangat
strategis. Aspek tata ruang dan kemudahan akses sangat diutamakan saat
perencanaan awal pembangunan KKHI. Tujuan pembangunan Klinik Kesehatan Haji
Indonesia (KKHI) adalah meningkatkan pelayanan kesehatan bagi seluruh jamaah haji
Indonesia yang membutuhkan. KKHI ini akan melayani jamaah haji yang memerlukan
penanganan kesehatan rujukan dari kloter atau sektor agar para jamaah yang dirawat
bias cepat pulih sehingga dapat beraktivitas dan beribadah kembali dengan lancar
untuk menunaikan ibadah hajinya. Fasilitas kesehatan ini akan dilengkapi dengan
ruang perawatan, ICU, ruang emergensi, ruang obat, klinik gigi, poliklinik umum,
laboratorium, radiologi dan fasilitas rujukan. Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) ini
mempunyai banyak keunggulan yaitu daya tampung yang besar, akses mudah, pada
bangunan terdapat pemisahan zonasi publik dan privat, alur pelayanan dan jenis
pelayanan kesehatan.

Gambar 3.71
KKHI Madinah

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 259


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

11) Sehatpedia
SehatPedia merupakan aplikasi online yang menyediakan komunikasi, informasi
dan edukasi kepada masyarakat untuk menerapkan gaya hidup sehat. Hal ini sejalan
dengan Program Indonesia Sehat dalam mendukung upaya promotif dan preventif
yang dilaksanakan melalui tiga pilar utama yaitu paradigma hidup sehat, penguatan
pelayanan kesehatan dan jaminan kesehatan nasional.
Salah satu strategi inovasi dalam peningkatan akses pelayanan kesehatan kepada
masyarakat yaitu pemanfaatan teknologi dan informasi untuk memudahkan
masyarakat dalam mengakses pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, dalam upaya
mendekatkan dan memudahkan masyarakat terhadap akses pelayanan kesehatan
melalui pendekatan teknologi, Kementerian Kesehatan RI menghadirkan aplikasi
SehatPedia dengan jumlah dokter SehatPedia 638 terdiri dari 54 dokter umum, 72
dokter gigi dan 512 dokter spesialis dari 33 RS Vertikal. Jumlah artikel kesehatan
sebanyak 1927 artikel.
Pada tanggal 21 Agustus 2019, aplikasi SehatPedia mendapatkan penghargaan
juara 1 pada Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik, Kolaborasi Dalam Kegiatan
Penyelenggaraan Pelayanan Publik oleh Menteri Kesehatan RI.
Pengembangan inovasi SehatPedia bersinergi dengan Pelaku Usaha Digital Bidang
Kesehatan dalam bentuk penandatanganan MOU antara Kementerian Kesehatan
dengan Enam Pelaku Usaha Digital Bidang Kesehatan, yaitu (1) PT. Prudential Life
Assurance; (2) PT. Good Doctor Technology Indonesia; (3) PT. Pro Sehat Indonesia;
(4) PT. Jejaring Tiga Artha; (5) PT. Telemed Citra Utama; dan (6) Perkumpulan
Komunitas Relawan Emergensi Kesehatan Indonesia. Hal ini bertujuan untuk
membangun ekosistem digital bidang kesehatan yang akan dirancang menjadi
sebuah aplikasi yang memenuhi seluruh kebutuhan akses terhadap kesehatan.
SehatPedia akan mengembangkan beberapa fitur yaitu (1) Live Chat sebagai
konsultasi kesehatan dengan dokter-dokter rumah sakit vertikal Kementerian
Kesehatan; (2) Live Fit, fitur untuk mendukung pola hidup sehat seperti hitung
langkah, kalori dan lainnya; (3) Al Symptom Checker dan Health Assessment
merupakan fitur sistem AI yang dapat melakukan analisis gejala dan evaluasi kondisi
kesehatan; (4) Medical ID, fitur yang menampilkan Data Kesehatan User, fitur
Medical ID sebagai rintisan data kesehatan individu yang kedepannya dapat
terhubung dengan fasilitas kesehatan di Indonesia; (5) Health Care sebagai informasi
fasilitas pelayanan kesehatan dan pendaftaran rawat jalan online; (6) Health Podcast
merupakan hasil rekaman hasil talkshow dokter dengan Siaran Radio Kesehatan
(SRK); (7) Emergency sebagai fitur untuk memberitahukan keadaan gawat darurat.
Dengan penambahan fitur ini diharapkan aplikasi SehatPedia akan terus sesuai
dengan perkembangna teknologi serta mampu mengakomodir kebutuhan
masyarakat terutama dalam hal informasi seputar kesehatan dan upaya penerapan
pola hidup sehat.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 260


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Gambar 3.72
Tautan untuk mengunduh aplikasi Sehatpedia

12) Kinerja Inisiatif Pencegahan Korupsi:


Selama tahun 2019 terdapat beberapa Kegiatan Inisiatif Pencegahan Korupsi yang
dilaksanakan oleh Inspektorat Jenderal antara lain:
a. Diterbitkannya produk hokum baru yaitu Permenkes No 24 Tahun 2019 tentang
Pedoman Penanganan Konflik Kepentingan di Lingkungan Kementerian
Kesehatan dan Permenkes No 25 Tahun 2019 tentang Penerapan Manajemen
Risiko Terintegrasi di Lingkungan Kementerian Kesehatan;

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 261


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

b. Diseminasi Petunjuk Pelaksanaan Joint Audit Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik
Bidang Kesehatan Tahun 2018 dan 2019 kerja sama antara Inspektorat Jenderal
Kementerian Kesehatan dengan Badan Pengawas Keuangan Pemerintah (BPKP).
Diseminasi ini bertujuan untuk: (a) mendapatkan informasi terkait kebijakan DAK
fisik bidang kesehatan dan program strategis yang didukung oleh dana tersebut;
(b) memberikan persamaan persepsi auditor dalam melaksanakan audit; dan (c)
memberikan informasi terkait dengan prosedur audit dan kertas kerja audit yang
akan digunakan dalam pelaksanaan audit termasuk penyusunan laporan hasil
audit dan kompilasi laporan audit tingkat nasional. Hasil yang akan dicapai dalam
pelaksanaan audit DAK yaitu: a) Penguatan SPIP pengelolaan DAK Fisik dan
peningkatan kapabilitas APIP daerah; b) Melaksanakan Manajemen risiko pada
pengelolaan DAK Fisik dan Risk Based Audit Planning pada pengawasan kegiatan
DAK Fisik; serta c) Melaksanakan koordinasi dan sinergi antar APIP dalam
melakukan pengawasan DAK Fisik sejak perencanaan sampai dengan pelaporan;
c. Advokasi Tata Kelola Pencegahan dan Penanganan Kecurangan (Fraud) Program
JKN melalui Permenkes Nomor 16 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan
Penanganan Kecurangan serta Pengenaan Sanksi Administrasi terhadap
Kecurangan Dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan diharapkan dapat
mengatasi segala bentuk penyimpangan yang ada dalam pelaksanaan Program
Jaminan Kesehatan, agar pelaksanaan program JKN dapat berjalan dengan baik.
Sebagai wujud komitmen antara pusat dan daerah dalam memberantas fraud
dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional maka Kemenkes telah
membentuk Tim pencegahan dan Penanganan Kecurangan (Fraud) Tingkat Pusat
dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan yang tertuang dalam
Kepmenkes No. HK.01.07/MENKES/718/2019;
d. Pembinaan SPIP (Sistem Pengendalian Intern Pemerintah) dilakukan oleh
Inspektorat Jenderal dalam rangka meningkatkan level maturitas SPIP, sehingga
sudah ada 5 satuan kerja yang mencapai level rintisan (level 1), 18 satuan kerja
mencapai level berkembang (level 2), dan 4 satuan kerja yang sudah mencapai
level terdefinisi (level 3);
e. Pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaran Negara (LHKPN)
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
HK.03.01/MENKES/066/I/2010 sebagaimana telah diperbaharui dengan
Permenkes No. 35 Tahun 2017 tentang Wajib Lapor Harta Kekayaan bagi Pejabat
di Lingkungan Kementerian Kesehatan, Inspektorat Jenderal Kementerian
Kesehatan mendorong pelaporan LHKPN tersebut kepada seluruh satuan kerja di
lingkungan Kementerian Kesehatan. Sampai dengan tanggal 31 Desember 2019
dari jumlah wajib lapor Penyelenggara Negara sebanyak 3.385 orang, yang telah
menyampaikan LHKPN adalah sebanyak 3.385 orang (100%);
f. Pelaporan Pengendalian Gratifikasi di lingkungan Kementerian Kesehatan
melalui Unit Pengendalian Gratifikasi Kementerian Kesehatan. Pada tahun 2019
terdapat 153 laporan gratifikasi yang diterima oleh UPG Kementerian Kesehatan
yang dikelola oleh Inspektorat Jenderal. Dari 153 barang gratifikasi yang telah
dilaporkan tersebut telah mendapatkan status dari Komisi Pemberantasan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 262


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Korupsi (KPK) yaitu: 10 menjadi Milik Negara, 1 dikelola Instansi, 1 dimanfaatkan


oleh pelaporan, 38 diserahkan ke pihak yang membutuhkan, 26 dikelola untuk
kepentingan Instansi, 1 tidak diketahui, dan 76 masih dalam proses;
g. Pengelolaan sponsorship yang melapor baik secara mandiri maupun melalui
instansi dalam memberi dan menerima sponsorship selama tahun 2019,
terdapat 598 penerima Institusi, 12 penerima praktik perorangan, dan 18.957
perusahaan pemberi;
h. Pembentukan zona integritas dan pembinaan satker berpredikat Wilayah Bebas
dari Korupsi (WBK) atau Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM). Selama
tahun 2019 terdapat usulan satker untuk dinilai sebagai satker WBK/WBBM dari
masing-masing unit utama sebanyak 23 satker dan telah dilakukan Assesment
sehingga sebanyak 19 satker memperoleh predikat WBK dari Menteri
Kesehatan. Kegiatan pendampingan yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal
selama tahun 2019 berhasil membawa satuan kerja Kementerian Kesehatan,
yakni RS Orthopedi Prof. Dr. Soeharso Surakarta dan Balai Besar Kesehatan Paru
Masyarakat (BBKPM) Surakarta berhasil mendapatkan penghargaan dari
Kemenpan dan RB sebagai unit kerja berpredikat Wilayah Bebas dari Korupsi;
i. Hasil survei Penilaian Integritas (SPI) tahun 2018 yang diberikan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) pada bulan Oktober 2019, Kementerian Kesehatan
menduduki posisi pertama yang memiliki indeks integritas
Kementerian/Lembaga tertinggi dengan nilai rata-rata 74,75. SPI ditujukan untuk
mengidentifikasi area rentan korupsi dan indicator keberhasilan pencegahan
korupsi, yang dilakukan oleh Direktorat Penelitian Pengembangan KPK dibantu
Badan Pusat Statistik (BPS) dalam kurun waktu 2 bulan yaitu pada bulan
Oktober. Survei Penilaian integritas tersebut dinilai dengan skala 0-100, semakin
tinggi angka indeksnya maka menunjukkan tingkat integritas yang semakin baik.
Bila angka indeksnya rendah maka menunjukan tingkat interitas yang lebih
buruk atau lebih rawan terjadi korupsi;
j. Workshop Satuan Kepatuhan Internal (SKI) yang bertujuan mempersiapkan
terbentuknya SKI yang bertugas memastikan terlaksananya tata kelola organisasi
yang akuntabel, pengendalian intern, dan manajemen risiko pada Satuan Kerja
di lingkungan Kementerian Kesehatan;
k. Kerjasama Pengawasan dengan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)
lain. Kerjasama pengawasan dilakukan dengan aparat pengawasan lain yaitu
Inspektorat Jenderal Kementerian/Lembaga, Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) maupun Inspektorat Provinsi/Kabupaten/Kota.

13) Pembiayaan Peserta PBI-JKN


Target dan capaian Penerima Bantuan Iuran (PBI) melalui Jaminan Kesehatan
Nasional disajikan pada grafik di bawah ini:
Capaian PBI berdasarkan besaran jumlah peserta yang terdaftar dan dibayarkan
kapitasinya oleh BPJS Kesehatan ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP).
Pencapaian PBI JKN PBI pada tahun 2015-2019 menunjukkan hanya pada tahun 2018

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 263


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

dapat tercapai seluruhnya 100% dengan capaian terendah di tahun 2016 yaitu
sebesar 98,63%.

Berdasarkan realisasi anggaran PBI tahun 2015-2019 menunjukkan bahwa rata-rata


persentase realisasi anggaran sebesar 99%. Pada tahun 2019 terjadi kenaikan tren
anggaran menjadi Rp 35,91 triliun bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya hal ini
dikarenakan adanya kenaikan iuran PBI yang merupakan implementasi Perpres 75
tahun 2019 yang mengamanahkan kenaikan iuran PBI yang semula Rp 23.000 orang
per bulan menjadi Rp 42.000 orang per bulan.

Dalam proses pelaksanaannya terdapat faktor-faktor dan permasalahan yang


mempengaruhi tidak tercapainya seluruhnya (100%) Jumlah penduduk yang menjadi
peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) melalui Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN)/Kartu Indonesia Sehat (KIS) di tahun 2019 diantaranya Permasalahan berupa
penetapan jumlah peserta PBI yang oleh Menteri Sosial seperti pemadanan data
yang dilakukan Kementerian Sosial ditemukan antara lain: peserta yang meninggal
dunia, peserta yang tercatat ganda, peserta yang telah berubah segmentasi peserta,
sehingga SK penetapan peserta yang dikeluarkan oleh Kementerian Sosial tidak
semuanya dapat masuk dalam database BPJS Kesehatan sebagai peserta yang
terdaftar dan dibayarkan kapitasi oleh BPJS Kesehatan ke FKTP sehingga timbul
perbedaan antara peserta PBI yang ditetapkan dengan peserta yang terdaftar,
sehingga berdampak pada jumlah capaian indikator PBI.

Upaya yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan berupa koordinasi intensif


dengan Kementerian Sosial dan BPJS Kesehatan untuk dilakukan pemadanan peserta
yang didaftarkan sehingga dapat tercapai sesuai yang target yang telah ditetapkan.

14) Inovasi Kefarmasian dan Alat Kesehatan


Di bidang kefarmasian dan Alat Kesehatan terdapat beberapa inovasi, antara lain:
- Website e-Fornas berfungsi tidak hanya sebagai media informasi satu arah namun
juga dikembangkan dengan menanamkan fitur baru chat online yang
memungkinkan masyarakat baik umum maupun tenaga kesehatan dapat
berkomunikasi secara langsung apabila memiliki pertanyaan atau keluhan seputar
penerapan Formularum Nasional (Fornas) atau kendala dalam memanfaatkan
website e-Fornas.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 264


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Gambar 3.73
e-Fornas

- e-Post Border Alkes dan PKRT adalah aplikasi online yang berfungsi sebagai sistem
pengawasan secara elektronik untuk meningkatkan efektifitas verifikasi serta
tindak lanjut yang dilakukan oleh pusat maupun provinsi terhadap perusahaan
yang melakukan impor alat kesehatan dan PKRT.

Gambar 3.74
e-Post Border Alkes dan PKRT

- e-BBKOS merupakan aplikasi elektronik portal informasi bahan baku kosmetika,


berisi 15.923 bahan baku kosmetika, berupa search engine yang user friendly
sehingga memudahkan pengguna untuk mengakses informasi di mana pun dan
kapan pun melalui berbagai gawai yang dimiliki, baik berupa personal computer
(PC), tablet, maupun smartphone. Informasi bahan baku kosmetika di e-BBKOS
terdiri dari International Nomenclature Cosmetic Ingredient (INCI) Name, Chemical

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 265


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Abstracts Service (CAS) Number, kegunaan, rumus molekul (RM), berat molekul
(BM), dan struktur kimia.

15) Rumah Sakit Terakreditasi Internasional


Dalam rangka menghadapi persaingan perdagangan bebas dunia di tingkat
global, maka perlu meningkatkan mutu rumah sakit sesuai dengan standar kelas
dunia (internasional). Kementerian Kesehatan berupaya untuk mewujudkan hal
tersebut yaitu dengan adanya rumah sakit yang tersertifikasi akreditasi
internasional oleh lembaga independen yang terakreditasi International Society
for Quality in Health Care (ISQua), seperti Joint Commision International (JCI), The
Australian Council on Healthcare Standards International (ACHSI) dan KARS.
Pada tahun 2019 terdapat 38 RS yang terakreditasi internasional yaitu 19 RS
pemerintah dan 19 RS swasta. Jumlah ini meningkat 135,7% jika dibandingkan
dengan 28 RS terakreditasi internasional pada tahun 2018.
Empat RS memiliki 2 sertifikat akreditasi JCI dan KARS internasional yaitu :
1. RSUP dr. Kariadi Semarang
2. RSUP Persahabatan Jakarta
3. RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado
4. RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta.

Gambar 3.75
Pendampingan Akreditasi RSUP dr. M. Hoesin
oleh Tim RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo

16) FKTP Berprestasi


Penyelenggaraan Lomba FKTP Berprestasi. Kegiatan ini dilaksanakan berdasarkan
Permenkes No. 24 tahun 2015 tentang Penilaian FKTP Berprestasi. Kegiatan ini
telah berjalan sejak tahun 2012 sebagai rangkaian peringatan Hari Kesehatan
Nasional tahun 2019. Penghargaan Menteri Kesehatan kepada FKTP Berprestasi
merupakan pengakuan pemerintah terhadap kinerja dan kualitas pelayanan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 266


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Puskesmas secara institusi sebagai pemberi layanan kesehatan strata pertama,


dengan tujuan:
✓ Pemberian pengakuan dan penghargaan dari Menteri Kesehatan atas
prestasi FKTP dalam memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan
bermutu, sekaligus memberikan outcome sesuai tujuan
✓ Menumbuhkan semangat kompetitif/bersaing sehat antar FKTP melalui
peningkatan kompetensi teknik dan manajemen dari semua petugas
Puskesmas agar kualitas pelayanan kesehatan dapat ditingkatkan secara
berkesinambungan
✓ Memberi peluang kepada Puskesmas untuk melakukan inovasi-inovasi
dalam rangka mengejar ketertinggalan pencapaian target kinerja dan
mutu, ataupun untuk tujuan percepatan pencapaian target kinerja dan
mutu layanan, sebelum waktu yang ditetapkan

Output dari kegiatan penyelenggaraan penilaian FKTP Berprestasi tahun 2019


adalah diperolehnya pemenang 1, 2 dan 3 dari masing-masing kategori FKTP yakni
Puskesmas Perkotaan, Puskesmas Perdesaan, Puskesmas Terpencil/ Sangat
Terpencil dan Klinik Pratama.

Tabel 3.64
Daftar Pemenang FKTP Berprestasi
Tahun 2019
JUARA PUSKESMAS KABUPATEN/KOTA PROVINSI
KATEGORI PUSKESMAS PERKOTAAN
I Kedaung Wetan Kota Tangerang Banten
II Kratonan Kota Surakarta Jawa Tengah
III Karang Rejo Kota Balikpapan Kalimantan Timur
KATEGORI PUSKESMAS PERDESAAN
I Parenggean I Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah
II Jetis II Kab. Bantul DI Yogyakarta
III Dungaliyo Kab. Gorontalo Gorontalo
KATEGORI PUSKESMAS TERPENCIL/SANGAT TERPENCIL
I Teluk Belitung Kab. Kep. Meranti Riau
II Muser Kab. Paser Kalimantan Timur
III Pongok Kab. Bangka Selatan Bangka Belitung
KATEGORI KLINIK PRATAMA
I Siliwangi Kota Cimahi Jawa Barat
II Balaikota Kota Jakarta Pusat DKI Jakarta
III Kaltim Prima Coal Kab. Kutai Timur Kalimantan Timur

Diharapkan para pemenang FKTP Berprestasi ke depan bisa diberdayakan


menjadi motivator bagi FKTP di sekitarnya untuk memiliki prestasi yang setara
khususnya dalam Upaya Kesehatan Masyarakat, mengedepankan upaya promotif,
preventif dan diagnosa dini sehingga Visi “Masyarakat Sehat, Mandiri dan
Berkeadilan” dapat terwujud.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 267
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

Gambar 3.76
Penyelenggaraan Lomba FKTP Berprestasi Tahun 2019

D. Penghargaan/prestasi yang dicapai oleh Kementerian Kesehatan Tahun 2019

Berbagai penghargaan telah diraih Kementerian Kesehatan sepanjang tahun 2019.


Dengan adanya penghargaan yang diraih, diharapkan dapat terus memacu semua lini
Kementerian kesehatan untuk meningkatkan kinerja.
Beberapa penghargaan diantaranya adalah:

1. Penghargaan dari Serikat Perusahaan Pers (SPS)

Gambar 3.77
Gold Winner Mediakom edisi 94

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 268


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

2. Penghargaan dari Serikat Perusahaan Pers (SPS)

Gambar 3.78
Penghargaan Silver Winner Mediakom edisi 100

3. Penghargaan dari Asia-Pacific Academy of Opthalmology (APAO)

Gambar 3.79
Penghargaan Holmes Lecture

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 269


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

4. Penghargaan dari MarkPlus. Inc (Indonesia Branding Campaign of The Year 2019)

Gambar 3.80
Silver Campaign
Category Public Relation

5. Penghargaan Dari Public Relations Indonesia Award (PRIA) 2019

Gambar 3.81
Penghargaan Kategori Terpopuler di Media

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 270


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

6. Penghargaan dari Public Relations Indonesia Award (PRIA) 2019

Gambar 3.82
Penghargaan Silver Winner
Kategori E Magazine Kementerian
Mediakom Edisi 92 Maret 2018

7. Penghargaan dari Public Relations Indonesia Award (PRIA) 2019

Gambar 3.83
Penghargaan Silver Winner
Kategori Media Cetak Kementerian
Mediakom Edisi 95 Juli 2018

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 271


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

8. Penghargaan dari Public Relations Indonesia Award (PRIA) 2019

Gambar 3.84
Penghargaan Silver Winner
Kategori Media Cetak Kementerian
Mediakom Edisi 100 November 2018

9. Penghargaan dari Public Relations Indonesia Award (PRIA) 2019

Gambar 3.85
Penghargaan Silver Winner
Kategori Media Sosial Kementerian

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 272


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

10.Penghargaan dari Yayasan Kanker Anak Indonesia

Gambar 3.86
Penghargaan dari Yayasan Kanker Anak Indonesia

11. Penghargaan dari Wakil Presiden selaku Ketua pengarah Panitia INASGOV ASIAN
GAMES XVIII

Gambar 3.87
Penghargaan dari INASGOV

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 273


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

12. Penghargaan dari Kementerian Kesehatan Madinah untuk Program Promosi


Preventif Tim Kesehatan Haji Indonesia dari Direktur Health Edukasi

Gambar 3.88
Penghargaan dari Direktur Health Edukasi

13. Penghargaan dari Muasasah Asia Tenggara Atas Pelayanan Kesehatan di Mekkah,
Arafah, Musdalifah dan Mina

Gambar 3.89
Penghargaan dari Divisi Kesehatan Muasasah di Mekkah

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 274


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

14. Penghargaan dari KKHI Indonesia Mekkah atas Pelayanan dan Peralatan Kesehatan
yang disediakan oleh Indonesia dari Direktur Pelayanan Kesehatan Haji Mekkah

Gambar 3.90
Penghargaan dari Direktur Pelayanan Kesehatan Haji Mekkah

15. Penghargaan Pelayanan Kesehatan di KKHI Bagi Jemaah Haji Indonesia di Mekkah
dari Direktur Komite Pelayanan Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan Mekkah

Gambar 3.91
Penghargaan Kementerian Kesehatan Mekkah

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 275


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

16.Penghargaan Halokemenkes 1500567 peringkat Pertama Kompetisi Contact Centre


World (CCW) Kategori Inovasi Teknologi di Tingkat Asia Pasifik 2019

Gambar 3.92
Penghargaan Halokemenkes 1500567

17. Penghargaan Menteri Kesehatan sebagai Widyaiswara Ahli Utama Kehormatan

Gambar 3.93
Penghargaan Widyaiswara Ahli Utama Kehormatan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 276


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

18.Penghargaan dari Kementerian Keuangan Atas Laporan Keuangan Kementerian


Kesehatan TA 2018 Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)

Gambar 3.94
Penghargaan Opini WTP

19. Penghargaan dari Kementerian ESDM, Juara 1 Kategori Penghematan Energi di


Instansi Pemerintah Pusat

Gambar 3.95
Penghargaan dari Kementerian ESDM

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 277


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

20. Penghargaan dari PWI, Atas Pendukung Sukses ASIAN GAMES dan ASIAN PARA
GAMES

Gambar 3.96
Penghargaan ASIAN GAMES dan ASIAN PARA GAMES

21. Penghargaan dari Komisi Informasi Pusat, Kementerian Kesehatan sebagai Badan
Publik Informatif

Gambar 3.97 Penghargaan dari


Komisi Informasi Pusat

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 278


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

22. Penghargaan dari It Works, Kementerian Kesehatan sebagai Top Digital


Transformation Readines 2019
Gambar 3.98
Penghargaan dari It Works

23. Penghargaan dari It Works, Kementerian Kesehatan Level Bintang 4 Top Digital
Implementation 2019 Kategori Kementerian

Gambar 3.99
Penghargaan dari It Works

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 279


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

24. Penghargaan Halokemenkes 1500567, Gold Medal Winner Kompetisi Contact


Center World Award For Best Technology Innovation-Internal Solution In The
World 2019

Gambar 3.100
Penghargaan Halokemenkes 1500567

25. Penghargaan dari Kementerian PAN dan RB, Kementerian Kesehatan Top 30
Instansi Pemerintah Penyelenggaran Pengaduan Pelayanan Publik

Gambar 3.101
Penghargaan dari Kementerian PAN dan RB

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 280


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

26. Penghargaan dari Kementerian PAN dan RB, Kementerian Kesehatan Top 10
Kategori Pengelola dengan Pendorong Perubahan Terbaik Tingkat Nasional

Gambar 3.102
Penghargaan dari Kementerian PAN dan RB

27. nghargaan dari Komisi Informasi Pusat, Penghargaan dari Kementerian PAN dan
RB, RS Umum Pusat Dr. Kariadi Kementerian Kesehatan Role Model
Penyelenggaran Pelayanan Publik Kategori “Pelayanan Prima”

Gambar 3.103
Penghargaan dari Kementerian PAN dan RB

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 281


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

28. Inspektorat Jenderal Meraih Penghargaan sebagai Satker Terbaik Ke-2 Kategori Pagu
DIPA Sedang dalam Kinerja Pelaksanaan Anggaran Triwulan II TA 2019
Gambar 3.104
Penghargaan Inspektorat Jenderal

Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan mendapatkan penghargaan Kinerja


Pelaksanaan Anggaran Triwulan II Tahun Anggaran 2019 sebagai Satuan Kerja
Terbaik II dengan Kategori Pagu DIPA Sedang, oleh Kantor Pelayanan
Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta VII. Setiap Satker yang memperoleh
penghargaan akan menjadi mitra prioritas, sebagai dasar menyampaikan SPM, LPJ
Bendahara dan layanan CSO tanpa antrian yang berlaku sampai batas waktu yang
telah ditentukan.

29. Kementerian Kesehatan menempati posisi pertama yang memiliki indeks integritas
Kementerian/Lembaga tertinggi
Gambar 3.105
Penghargaan Indeks Integritas

Komisi Pemberantasan Korupsi merilis hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) Tahun
2018, di Kantor KPK. Survei tersebut sebagai upaya pencegahan tindak pidana
korupsi terhadap 6 (enam) Kementerian/Lembaga dan 20 Pemerintah Provinsi.
Kementerian Kesehatan menempati posisi pertama yang memiliki indeks integritas
Kementerian/Lembaga tertinggi dengan nilai rata-rata 74,75. Hasil survei ditampilkan
dengan skala 0-100. Semakin tinggi angka indeksnya maka menunjukan tingkat
integritas yang semakin baik. Bila angka indeknya rendah maka menunjukan tingkat
interitas yang lebih buruk atau lebih rawan terjadi korupsi.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 282


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

BAB IV
PENUTUP

Laporan Kinerja Kementerian Kesehatan Tahun 2019 merupakan laporan terakhir yang
disusun pada periode Renstra Tahun 2015-2019. Laporan Kinerja disusun sebagai wujud
pertanggungjawaban atas kinerja berdasarkan Sasaran Strategis dan Indikator Kinerja yang
ditetapkan dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019. Laporan
Kinerja Kementerian Kesehatan Tahun 2019 disusun sesuai amanat Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Perjanjian Kinerja,
Pelaporan Kinerja dan Tata cara Reviu Atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah.

Sepanjang tahun 2019, Kementerian Kesehatan telah mencatatkan sejumlah


keberhasilan dalam pencapaian sasaran kinerja, namun masih terdapat hasil pencapaian
sasaran yang belum menggembirakan. Semua capaian tersebut akan menjadi bahan
instropeksi dan evaluasi Kementerian Kesehatan untuk terus memperbaiki diri dan
meningkatkan kinerjanya di tahun berikutnya.

Dari 36 Indikator Kinerja pada 12 Sasaran Strategis Kementerian Kesehatan yang


dijanjikan pada dokumen Perjanjian Kinerja Tahun 2019, terdapat 34 Indikator Kinerja
Sasaran Strategis yang pencapaiannya sangat baik, dan terdapat pula 2 Indikator Kinerja
Sasaran Strategis yang pencapaiannya baik yaitu: 1) Jumlah provinsi dengan eliminasi kusta
tercapai 26 dari target 34 atau 76,50% dari yang ditargetkan, dan 2) Jumlah puskesmas
yang minimal memiliki 5 jenis tenaga kesehatan tercapai 4.485 dari target 5.600 atau
80,08% dari yang ditargetkan.

Beberapa kendala dalam pencapaian sasaran strategis diantaranya a) masih adanya


kesenjangan cakupan antar provinsi, b) belum meratanya jumlah tenaga kesehatan di
daerah-daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan, c) Kondisi geografis masyarakat yang
tinggal di daerah-daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan menyebabkan kesulitan
untuk mengakses fasilitas pelayanan kesehatan, dan d) Masih kurangnya sumber daya
dalam pelaksanaan pencapaian sasaran.

Langkah-langkah yang perlu dilakukan Kementerian Kesehatan dalam menghadapi


tantangan ke depan adalah a) Mempererat koordinasi dan kerjasama dengan seluruh
jajaran pemerintahan maupun masyarakat diantaranya dengan pelaksanaan Gerakan
Masyarakat Hidup Sehat sebagai upaya melibatkan semua komponen pemerintah dan
masyarakat dalam pembangunan kesehatan, b) Meningkatkan dukungan pelaksanaan
program dan kegiatan Kementerian Kesehatan, mencakup penyediaan sumber daya
anggaran, sumber daya manusia, regulasi yang diperlukan, hingga tersedianya sistem
informasi yang semakin andal terutama untuk terpencil, perbatasan, dan kepulauan c)
Memantapkan pengelolaan sistem aplikasi terintegrasi berbasis jaringan sehingga dapat
mendukung pencapaian kinerja Kementerian Kesehatan, d) Dukungan Lintas Program/Lintas
Sektor dan organisasi profesi didalam pelayanan kesehatan e) Meningkatkan jangkauan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 283


Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019

pelayanan pada kelompok masyarakat berisiko tinggi, dengan berfokus pada daerah yang
memiliki risiko tertinggi dan beban tertinggi.

Untuk meningkatkan pemenuhan sumber daya kesehatan, Kementerian Kesehatan


telah melakukan kegiatan diantaranya Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan/Nusantara
Sehat, Sosialisasi penugasan khusus tenaga kesehatan (Tim dan Individu) kepada Organisasi
Profesi/mahasiswa/Institusi Diknakes terutama untuk profesi yang masih kurang. Advokasi
ke pemerintah daerah untuk pemenuhan tenaga kesehatan di wilayahnya sesuai dengan UU
nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, urusan kesehatan merupakan urusan
pemerintahan konkuren yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Provinsi,
Kabupaten/Kota), serta merupakan urusan pemerintah yang wajib karena bersifat
pelayanan dasar.

Laporan Kinerja ini diharapkan dapat memberikan informasi yang transparan dan
akuntabel bagi semua pemangku kepentingan atau stakeholders Kementerian Kesehatan.
Diharapkan pula Laporan Kinerja ini akan dapat menjadi bahan evaluasi dalam rangka
meningkatkan pengelolaan kinerja di Kementerian Kesehatan. Kementerian Kesehatan
berharap dapat terus memberikan andil yang semakin besar dalam mewujudkan cita-cita
berbangsa dan bernegara di bidang kesehatan.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 284

Anda mungkin juga menyukai