1 131313 1tahunan 843 PDF
1 131313 1tahunan 843 PDF
Untuk kinerja keuangan pada tahun 2019, realisasi anggaran menggunakan online
monitoring SPAN untuk semua jenis belanja mencapai 94,61% atau sebesar Rp
67.288.277.271.120 dari total pagu sebesar Rp 71.121.938.640.000. Total anggaran
tersebut bersumber dari Rupiah Murni, Pinjaman Luar Negeri, Penerimaan Negara Bukan
Pajak, Badan Layanan Umum, Hibah Luar Negeri dan Hibah Langsung Luar Negeri
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
IKHTISAR EKSEKUTIF
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………… 1
A. Latar belakang…………………………………………………………………… 1
7). Sasaran Strategis 7: Meningkatnya Daya Guna Kemitraan Dalam dan Luar
Negeri.............................................................................................................. 179
ii
DAFTAR TABEL
v
DAFTAR GRAFIK
Grafik 3.1 Target, Cakupan, dan Capaian Kinerja Renstra Indikator Persalinan di
Fasyankes Tahun 2018 dan 2019…..……………………………............ 22
Grafik 3.2 Cakupan Kabupaten/Kota Melaporkan Indikator Pelayanan
Persalinan di Fasyankes Tahun 2019 Berdasarkan Provinsi…………... 23
Grafik 3.3 Target dan Cakupan Persalinan di Fasilitas Kesehatan menurut
Renstra 2015-2019 dengan Target Jangka Menengah…..……………. 23
Grafik 3.4 Persentase Target dan Cakupan Program Persalinan di Fasilitas
Kesehatan menurut Renstra 2015-2019 Per Propinsi ............................ 24
Grafik 3.5 Persentase Cakupan Ibu Hamil Kekurangan Energi Kronik (KEK) per
Provinsi Tahun 2019…………………………………………………….. 30
Grafik 3.6 Target, Cakupan, dan Capaian Kinerja Renstra Indikator ibu Hamil
Kurang Energi Kronis (KEK) Tahun 2018 dan 2019…………………… 31
Grafik 3.7 Perbandingan Persentase Ibu Hamil Kekurangan Energi Kronis (KEK) 31
Tahun 2018 dengan Target Jangka Menengah......................................
Grafik 3.8 Target, Cakupan dan Capaian Kinerja Indikator Persentase
Kabupaten/Kota yang Memenuhi Kualitas Kesehatan Lingkungan
Tahun 2018 dan 2019…………………………………………………… 36
Grafik 3.9 Realisasi Th 2019 dan Target Jangka Menengah Indikator Persentase
Kabupaten/Kota yang Memenuhi Kualitas Kesehatan Lingkungan…. 37
Grafik 3.10 Realisasi Per Propinsi Indikator Persentase Kabupaten/Kota yang
memenuhi Kualitas Kesehatan Lingkungan tahun 2019……………… 39
Grafik 3.11 Target dan Realisasi Indikator Persentase Kabupaten/Kota yang
Memenuhi Kualitas Kesehatan Lingkungan Tahun 2015-2019……. 40
Grafik 3.12 Target dan Capaian Kinerja Indikator Persentase Kabupaten/Kota
yang Memenuhi Kualitas Kesehatan Lingkungan Tahun 2015-2019….. 41
Grafik 3.13 Target dan Capaian Persentase Cakupan Angka Keberhasilan
Pengobatan TB Tahun 2015 – 2019 …………………….…………….... 46
Grafik 3.14 Target dan Capaian Prevalensi HIV Tahun 2019 (%)…..………………. 51
Grafik 3.15 Target dan Capaian Prevalensi HIV Tahun 2015-2019 (%)………........... 51
Grafik 3.16 Jumlah Kasus HIV dan Kasus AIDS Tahun 2015 – 2019 (September*).. 52
Grafik 3.17 Capaian Eliminasi Malaria di Indonesia tahun 2015-2019……………… 59
Grafik 3.18 Proporsi Kasus Malaria Vivax di wilayah SEARO…..…………………... 60
Grafik 3.19 Persentase Pemeriksaan Sediaan Darah ……………………………… 61
Grafik 3.20 Persentasi Malaria Positif diobati sesuai standar……………...…….... 61
Grafik 3.21 Target dan Capaian Jumlah Provinsi dengan Eliminasi Kusta Tahun 67
2014-2019.......................................................................................…….
Grafik 3.22 Proporsi Penemuan Kasus Kusta Baru Tanpa Cacat Tahun 2014 –
2019……………………………………………………………………... 69
Grafik 3.23 Jumlah Kabupaten/kota dengan Eliminasi Filariasis Tahun 2015-2019.. 74
Grafik 3.24 Persentase Penurunan Kasus Penyakit yang Dapat Dicegah
dengan Imunisasi (PD3I) Tahun 2015-2019…………………….............. 80
Grafik 3.25 Perbandingan Kasus PD3I tertentu Tahun 2013 dan Tahun 2019 81
Grafik 3.26 Target dan Capaian Kab/Kota Yang Mempunyai Kebijakan
Kesiapsiagaan Dalam Penanggulangan KKM Tahun 2015-2019………. 85
vi
Grafik 3.27 Persentase Kab/Kota yang melaksanakan kebijakan KTR minimal di
50% sekolah Tahun 2019…………………………….......……................ 88
Grafik 3.28 Persentase Kab/Kota yang melaksanakan kebijakan KTR Per Provinsi
di Indonesia Tahun 2019……………………………………………….. 89
Grafik 3.29 Target dan Realisasi Kab/Kota yang melaksanakan KTR minimal 50%
Sekolah Tahun 2015-2019…………….………………............................ 90
Grafik 3.30 Target dan Capaian Jumlah Kab/Kota yang menyelenggarakan upaya
kesehatan jiwa/napza Tahun 2015-2019……………………………….. 95
Grafik 3.31 Distribusi Status Kelulusan Akreditasi Puskesmas Tahun 2019………. 100
Grafik 3.32 Capaian Akreditasi Puskesmas Per Provinsi Tahun 2019….................... 100
Grafik 3.33 Perbandingan Capaian Puskesmas, Kecamatan, Kabupaten/Kota dan
Provinsi Tersertifikasi Akreditasi Tahun 2019 dan Tahun 2018…… 101
Grafik 3.34 Trend Capaian Akreditasi PuskesmasTahun 2015-2019.......................... 102
Grafik 3.35 Distribusi Status Kelulusan Akreditasi Tahun 2015 - 2019……………... 103
Grafik 3.36 Trend Survei Akreditasi Puskesmas Tahun 2016 - 2019…….................. 113
Grafik 3.37 Distribusi Jumlah Kabupaten/Kota yang Memiliki Minimal 1 RSUD 117
terakreditasi Berdasarkan Provinsi Tahun 2019....................................
Grafik 3.38 Tingkat Kelulusan Akreditasi 712 RSUD Tahun 2019 ……….. 117
Grafik 3.39 Tingkat Kelulusan Akreditasi RS di Indonesia Tahun 2019……………. 118
Grafik 3.40 Peningkatan Capaian Akreditasi RS pada Tahun 2016 – 2019............... 118
Grafik 3.41 Tingkat Kelulusan Akreditasi RS pada Tahun 2016-2019……………… 119
Grafik 3.42 Pencapaian Kabupaten/Kota yang Memiliki Minimal 1 RSUD yang
Tersertifikasi Akreditasi Nasional Tahun 2015-2019………………… 120
Grafik 3.43 Target dan Realisasi Indikator Persentase Ketersediaan Obat dan
Vaksin di Puskesmas Tahun 2015-2019.................................................... 133
Grafik 3.44 Target dan Realisasi Indikator Persentase Puskesmas dengan
Ketersediaan Obat dan Vaksin Esensial Tahun 2017-2019.…... 134
Grafik 3.45 Puskesmas dengan Ketersediaan Obat dan Vaksin Esensial Tahun
2019 per Provinsi ………................................................................. 135
Grafik 3.46 Analisis atas Efisiensi Penggunaan Sumber Daya Terhadap Capaian
Indikator Kinerja Program Persentase Puskesmas dengan Ketersediaan
Obat dan Vaksin Esensial Tahun 2019…………………………………………………. 137
Grafik 3.47 Target dan Realisasi Indikator Jumlah Bahan Baku Obat dan Obat
Tradisional serta Alat Kesehatan (Alkes) yang Diproduksi di Dalam
Negeri (Kumulatif) Tahun 2015-2019…………………………………... 138
Grafik 3.48 Target dan Realisasi Indikator Jumlah Bahan Baku Sediaan Farmasi
yang Siap Diproduksi di Dalam Negeri dan Jumlah Jenis/Varian Alat
Kesehatan yang Diproduksi di Dalam Negeri (Kumulatif) Tahun 2015-
2019.......................................................................................................... 139
Grafik 3.49 Pertumbuhan Industri Alat Kesehatan dalam Negeri per 31
Desember 2019……................................................................................. 142
Grafik 3.50 Analisis atas Efisiensi Penggunaan Sumber Daya Terhadap Capaian
Indikator Kinerja Program Jumlah Bahan Baku Sediaan Farmasi yang
Siap Diproduksi di Dalam Negeri, dan Jumlah Alat Kesehatan yang
Diproduksi di Dalam Negeri (kumulatif) Tahun 2019……………………………. 145
Grafik 3.51 Target dan Realisasi Indikator Persentase Produk Alat Kesehatan
vii
dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) di Peredaran
yang Memenuhi Syarat Tahun 2015-2019………………………........... 146
Grafik 3.52 Analisis atas Efisiensi Penggunaan Sumber Daya Terhadap Capaian
Indikator Kinerja Program Persentase Produk Alat Kesehatan dan
Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) di Peredaran yang
Memenuhi Syarat Tahun 2019……………………………………………………………. 148
Grafik 3.53 Sandingan Target Dan Capaian IKU Kesatu Jumlah Puskesmas Yang
Minimal Memiliki 5 Jenis Tenaga Kesehatan………………………………………. 151
Grafik 3.54 Sandingan Target Dan Capaian IKU Kedua Persentase RS
Kabupaten/Kota kelas C yang Memiliki 4 dokter spesialis dasar dan
3 dokter spesialis penunjang Tahun 2015-2019……………………………… 163
Grafik 3.55 Target dan Capaian Indikator Jumlah SDM Kesehatan yang
Ditingkatkan Kompetensinya tahun 2015-2019……………………………………. 169
Grafik 3.56 Target dan Capaian Indikator Jumlah Dunia Usaha yang
Memanfaatkan CSR-nya untuk Mendukung Kesehatan Tahun 2015-
2019……………………………………………………………………... 181
Grafik 3.57 Target dan Capaian Indikator Jumlah Organisasi Kemasyarakatan
yang Memanfaatkan Sumber Dayanya Untuk Mendukung
Kesehatan Tahun 2015- 2019……………………….............................. 183
Grafik 3.58 Perbandingan Target dan Capaian Tahun 2015-2019………………….. 200
Grafik 3.59 Perbandingan Realisasi Kinerja Tahun 2019 dengan Target Jangka
Menengah Renstra 2015-2019…………………….………………......... 205
Grafik 3.60 Perbandingan Realisasi Kinerja Tahun 2019 dengan Target Jangka 208
Menengah Renstra 2015-2019………………………………………….
Grafik 3.61 Perbandingan Realisasi Kinerja Tahun 2019 dengan Target Jangka
Menengah Renstra 2015-2019……………………………….………… 215
Grafik 3.62 Perbandingan Realisasi Kinerja s.d Tahun 2019 dengan Target Jangka 218
Menengah Renstra 2015 – 2019…………………………….…………..
Grafik 3.63 Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi, Administrator, dan Pengawas 225
Tahun 2019………………………………………………………………
Grafik 3.64 Persentase pejabat struktural di lingkungan Kementerian Kesehatan
yang kompetensinya sesuai persyaratan jabatan…………………………………. 226
Grafik 3.65 Persentase Pegawai Kementerian Kesehatan dengan Nilai Kinerja 228
Minimal Baik Tahun 2015-2019………………………………………….
Grafik 3.66 Capaian Indikator |Jumlah Kabupaten Kota yang Melaporkan Data 234
Kesehatan Prioritas Tahun 2019
Grafik 3.67 Alokasi dan Realisasi Kementerian Kesehatan Menurut Jenis Belanja 242
Tahun Anggaran 2019…………………………………………………...
Grafik 3.68 Alokasi dan Realisasi Anggaran Kementerian Kesehatan Menurut 243
Jenis Kewenangan Tahun Anggaran 2019………………………...
viii
DAFTAR GAMBAR
ix
Gambar 3.29 Peserta Lokakarya Percepatan Akreditasi RS foto bersama Dirjen
Yankes………………………………………………………………… 123
Gambar 3.30 Peserta Lokakarya Implementasi Akreditasi RS untuk Regional
Tengah foto bersama Direktur Mutu dan Akreditasi Yankes………... 123
Gambar 3.31 Peserta Lokakarya Penyusunan Rencana Aksi Implementasi
Kebijakan dan Strategi Mutu Nasional di Wilayah Tengah foto
bersama Direktur Mutu dan Akreditasi Yankes……………………… 124
Gambar 3.32 Pendampingan evaluasi RSUD Undata Palu………………………….. 124
Gambar 3.33 Rapat koordinasi Direktorat Mutu dan Akreditasi Yankes dengan
stake holder dalam upaya percepatan akreditasi RS…………………. 125
Gambar 3.34 Kegiatan Penyusunan Regulasi di Bidang Mutu Pelayanan Rumah
Sakit……………………………………………………………………. 126
Gambar 3.35 Kegiatan Revisi Permenkes 11/2017 tentang Keselamatan Pasien….. 126
Gambar 3.36 Penyempurnaan Pedoman Penyelenggara Mutu di Rumah Sakit….. 127
Gambar 3.37 Penyusunan Pedoman Pemantauan dan Evaluasi Mutu Pelayanan
RS…………………………………………………………………….. 127
Gambar 3.38 Kunjungan ke Instalasi Perinatologi dalam rangka Monev POCQI
Pelayanan Maternal dan Neonatal di RSUD Manokwari…………….. 128
Gambar 3.39 Supporting Aplikasi Sistem Informasi Sumber Daya Manusia
Kesehatan (SI SDMK) ……………………………………………...… 152
Gambar 3.40 Pembekalan Nusantara Sehat…………………………………………………………….. 157
Gambar 3.41 Pelatihan Nusantara Sehat Individu …………………………………………………… 158
Gambar 3.42 Tampilan salah Satu Laporan Capaian SPM Kabupaten/Kota
pada Aplikasi Komunikasi Data............................................................. 179
Gambar 3.43 Penandatanganan MoU RI - RDTL Di Jenewa, Swiss Pada tanggal 24
Mei 2017………………………………………..................................... 188
Gambar 3.44 2nd Joint Working Group on Health Cooperation (JWG) RI-KAS Di
Riyadh, Arab Saudi Pada tanggal 4 Maret 2019………………………. 189
Gambar 3.45 Penandatanganan PoA RI – Iran Di Jenewa, Swiss Pada tanggal 21
Mei 2019……………………………………………………………… 191
Gambar 3.46 Penandatanganan Minutes of Meeting JWG RI –Iran Di Iran Pada
tanggal 14 September 2019.................................................................. 192
Gambar 3.47 Pertemuan ASEAN Migrant Health Di Surabaya Pada tanggal 10-12
September 2019……………………………......................................... 194
Gambar 3.48 The 44th Meeting of the Programme Coordinating Board (PCB)
UNAIDS Di Jenewa, Swiss pada tanggal 25-27 Juni 2019….………… 195
Gambar 3.49 The 6th Lead Country Coordinators’ Group (LCCG) OKI Di Abu Dhabi,
Persatuan Emirat Arab Pada tanggal 7 Oktober 2019………………. 196
Gambar 3.50 Kegiatan Rifaskes Tahun 2019…...…………………………………… 204
Gambar 3.51 Tampilan Muka Aplikasi Komunikasi Data ………………………….. 232
Gambar 3.52 Tampilan Absensi Keterisian Data/Variabel Bulanan pada Aplikasi
Komunikasi Data …………..………………………………………… 233
Gambar 3.53 Tampilan Laporan Data Bulanan pada Aplikasi Komunikasi Data..… 233
Gambar 3.54 Tampilan Muka Aplikasi SIKDAGenerik Akses Puskesmas…………. 236
Gambar 3.55 Tampilan Muka Aplikasi SIKDA Generik Akses Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota ……………………………………………………… 236
Gambar 3.56 Pojok Informasi Keluarga Sehat pada Website Kementerian
x
Kesehatan……………………………………………………………… 239
Gambar 3.57 Website Informasi Program Keluarga Sehat dengan Pendekatan
Keluarga……………………………………………………………… 240
Gambar 3.58 Registrasi PDLN Secara Online………………………………………... 244
Gambar 3.59 Pertemuan Bilateral RI-PNG Di Jayapura Pada tanggal 19 Maret 2019. 245
Gambar 3.60 Pertemuan Youth Town Hall tingkat Regional WHO SEAR Di Jakarta
Pada tanggal 20 Maret 2019………………………………………….. 246
Gambar 3.61 Pembukaan Pertemuan Youth Town Hall tingkat Nasional Di Jakarta
Pada tanggal 21 Maret 2019………………………………………… 247
Gambar 3.62 Kunjungan National Ambulance ke Jakarta Di Jakarta Pada tanggal
22 – 24 April 2019……………………………………………………… 248
Gambar 3.63 Contoh Infografis Kejadian Bencana tahun 2019……………………. 251
Gambar 3.64 The 1st Technofarmalkes 2019: Indonesian Health Tech Innovation….. 252
Gambar 3.65 Sertifikat ISO 9001-2015 Perpustakaan Kementerian Kesehatan……. 253
Gambar 3.66 Pelayanan Informasi Publik……………….………………………….. 254
Gambar 3.67 Ruang Informasi Publik……………….…………………………….. 255
Gambar 3.68 Ruang Unit Layanan Terpadu (ULT) …….............................................. 256
Gambar 3.69 Implementasi Telemedicine di Puskesmas dan Rumah Sakit............... 258
Gambar 3.70 Indonesia Islamic Center (IIC) Kabul – Afghanistan………………… 259
Gambar 3.71 KKHI Madinah………………………………………………………… 259
Gambar 3.72 Tautan untuk mengunduh aplikasi Sehatpedia………………………. 261
Gambar 3.73 e-Fornas………………………………………………………………. 265
Gambar 3.74 e-Post Border Alkes dan PKRT………………………………………… 265
Gambar 3.75 Pendampingan Akreditasi RSUP dr. M. Hoesin oleh Tim RSUPN dr. 266
Cipto Mangunkusumo…………………………………………………………………………
Gambar 3.76 Penyelenggaraan Lomba FKTP Berprestasi Tahun 2019……………………… 268
Gambar 3.77 Penghargaan Gold Winner Mediakom edisi 94………………….…… 268
Gambar 3.78 Penghargaan Silver Winner Mediakom edisi 100.................................. 269
Gambar 3.79 Penghargaan Penghargaan Holmes Lecture......................................... 269
Gambar 3.80 Penghargaan Silver Campaign Category Public Relation...................... 270
Gambar 3.81 Penghargaan Kategori Terpopuler di Media .…………....................... 270
Gambar 3.82 Penghargaan Silver Winner Kategori E Magazine Kementerian
Mediakom Edisi 92 Maret 2018……...................................................... 271
Gambar 3.83 Penghargaan Silver Winner Kategori Media Cetak Kementerian
Mediakom Edisi 95 Juli 2018……………………..………………......... 271
Gambar 3.84 Penghargaan Silver Winner Kategori Media Cetak Kementerian
Mediakom Edisi 100 November 2018……………………..................... 272
Gambar 3.85 Penghargaan Silver Winner Kategori Media Sosial Kementerian........ 272
Gambar 3.86 Penghargaan dari Yayasan Kanker Anak Indonesia.............................. 273
Gambar 3.87 Penghargaan dari INASGOV.................................................................. 273
Gambar 3.88 Penghargaan dari Direktur Health Edukasi........................................... 274
Gambar 3.89 Penghargaan Divisi Kesehatan Muasasah di Mekkah........................... 274
Gambar 3.90 Penghargaan dari Direktur Pelayanan Kesehatan Haji Mekkah........... 275
Gambar 3.91 Penghargaan Kementerian Kesehatan Mekkah…................................ 275
Gambar 3.92 Penghargaan Halokemenkes 1500567………....................................... 276
Gambar 3.93 Penghargaan Widyaiswara Ahli Utama Kehormatan ........................... 276
Gambar 3.94 Penghargaan Opini WTP …………….……………............................... 277
xi
Gambar 3.95 Penghargaan dari Kementerian ESDM.................................................. 277
Gambar 3.96 Penghargaan ASIAN GAMES dan ASIAN PARA GAMES …….………. 278
Gambar 3.97 Penghargaan dari Komisi Informasi Pusat …………………………… 278
Gambar 3.98 Penghargaan dari It Works……………………………………………. 279
Gambar 3.99 Penghargaan dari It Works…………………………………………… 279
Gambar 3.100 Penghargaan Halokemenkes 1500567……………………………… 280
Gambar 3.101 Penghargaan dari Kementerian PAN dan RB…………………………. 280
Gambar 3.102 Penghargaan dari Kementerian PAN dan RB…………………………. 281
Gambar 3.103 Penghargaan dari Kementerian PAN dan RB…………………………. 281
Gambar 3.104 Penghargaan Inspektorat Jenderal…………………………………… 282
Gambar3.105 Penghargaan Indeks Integritas……………………………………… 282
xii
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam melaksanakan tugas dan fungsi tersebut, Menteri Kesehatan dibantu oleh 8 unit
eselon I, 4 Staf Ahli, dan 5 Pusat. Selain itu, Menteri Kesehatan juga mengelola
dukungan administrasi pada Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang dijalankan oleh
Sekretariat KKI. Bagan struktur organisasi Kementerian Kesehatan dapat dilihat pada
gambar berikut:
Gambar 1.1
Bagan Struktur Organisasi Kementerian Kesehatan
kompetensi di bidang kesehatan maupun bidang lain yang diperlukan seperti ekonomi,
manajemen, keuangan, hukum, dan sebagainya. Pegawai tersebut ditempatkan di
seluruh unit eselon I baik di kantor pusat maupun daerah. Selanjutnya pegawai
Kementerian Kesehatan tersebar ke dalam Unit Eselon I sebagai berikut: 1) Sekretariat
Jenderal sebanyak 1.008 orang; 2) Inspektorat Jenderal sebanyak 279 orang; 3) Ditjen
Pelayanan Kesehatan sebanyak 32.168 orang; 4) Ditjen Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit sebanyak 4.343 orang; 5) Ditjen Kesehatan Masyarakat sebanyak 518 orang; 6)
Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan sebanyak 236 orang; 7) Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan sebanyak 1.252 orang; dan 8) Badan PPSDM Kesehatan
sebanyak 9.470 orang.
C. Isu Strategis
Jumlah wanita usia subur akan meningkat dari tahun 2015 yang diperkirakan sebanyak
68,1 juta menjadi 71,2 juta pada tahun 2019. Dari jumlah tersebut, diperkirakan ada 5
juta ibu hamil setiap tahun. Angka ini merupakan estimasi jumlah persalinan dan jumlah
bayi lahir, yang juga menjadi petunjuk beban pelayanan ANC, persalinan, dan
neonatus/bayi. Penduduk usia kerja yang meningkat dari 120,3 juta pada tahun 2015
menjadi 127,3 juta pada tahun 2019. Penduduk berusia di atas 60 tahun meningkat,
yang pada tahun 2015 sebesar 21.6 juta naik menjadi 25,9 juta pada tahun 2019.
Jumlah lansia di Indonesia saat ini lebih besar dibanding penduduk benua Australia
yakni sekitar 19 juta. Implikasi kenaikan penduduk lansia ini terhadap sistem kesehatan
adalah (1) meningkatnya kebutuhan pelayanan sekunder dan tersier, (2) meningkatnya
kebutuhan pelayanan home care dan (3) meningkatnya biaya kesehatan. Konsekuensi
logisnya adalah pemerintah harus juga menyediakan fasilitas yang ramah lansia dan
menyediakan fasilitas untuk kaum disable mengingat tingginya proporsi disabilitas pada
kelompok umur ini.
Masalah penduduk miskin yang sulit berkurang akan masih menjadi masalah penting.
Secara kuantitas jumlah penduduk miskin bertambah, dan ini menyebabkan
permasalahan biaya yang harus ditanggung pemerintah bagi mereka. Tahun 2014
pemerintah harus memberikan uang premium jaminan kesehatan sebanyak 86,4 juta
orang miskin dan mendekati miskin. Data BPS menunjukkan bahwa ternyata selama
tahun 2013 telah terjadi kenaikan indeks kedalaman kemiskinan dari 1,75% menjadi
1,89% dan indeks keparahan kemiskinan dari 0,43% menjadi 0,48%. Hal ini berarti
tingkat kemiskinan penduduk Indonesia semakin parah, sebab semakin menjauhi garis
kemiskinan, dan ketimpangan pengeluaran penduduk antara yang miskin dan yang tidak
miskin pun semakin melebar.
Tingkat pendidikan penduduk merupakan salah satu indikator yang menentukan Indeks
Pembangunan Manusia. Di samping kesehatan, pendidikan memegang porsi yang besar
bagi terwujudnya kualitas SDM Indonesia. Namun demikian, walaupun rata-rata lama
sekolah dari tahun ke tahun semakin meningkat, tetapi angka ini belum memenuhi
tujuan program wajib belajar 9 tahun. Menurut perhitungan Susenas Triwulan I tahun
2013, rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas di Indonesia adalah 8,14
tahun. Keadaan tersebut erat kaitannya dengan Angka Partisipasi Sekolah (APS), yakni
persentase jumlah murid sekolah di berbagai jenjang pendidikan terhadap penduduk
kelompok usia sekolah yang sesuai.
Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) adalah suatu tindakan yang sistematis dan
terencana yang dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh komponen bangsa dengan
kesadaran, kemauan dan kemampuan berperilaku sehat untuk meningkatkan kualitas
hidup. Germas ini dilaksanakan melalui tatanan terendah di masyarakat yaitu keluarga
melalui pendekatan keluarga. Tujuan dari Gerakan Masyarakat Hidup Sehat adalah
perubahan perilaku masyarakat menuju hidup sehat, sehingga pada akhirnya akan
berdampak pada kesehatan. Dengan kondisi sehat, produktivitas masyarakat
meningkat. Perilaku hidup sehat ditunjukkan dengan menciptakan lingkungan yang
bersih. Dengan berperilaku hidup sehat, biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk
berobat berkurang. Seluruh lapisan masyarakat harus terlibat dalam Germas termasuk
akademisi (universitas), dunia usaha (Swasta), organisasi masyarakat (Karang Taruna,
PKK, dsb), organisasi profesi sehingga dapat menggerakkan institusi dan organisasi
masing-masing untuk berperilaku sehat. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah
menyiapkan sarana dan prasarana seperti : kurikulum pendidikan, Usaha Kesehatan
Sekolah (UKS), fasilitas olah raga, sayur dan buah, ikan, fasilitas kesehatan, transportasi,
Kawasan Tanpa Rokok (KTR), taman untuk beraktivitas warga, dukungan iklan layanan
masyarakat, car free day, air bersih, uji emisi kendaraan bermotor, keamanan pangan,
pengawasan terhadap iklan yang berdampak buruk terhadap kesehatan (rokok,
makanan tinggi gula, garam, lemak) dsb, menjadi tugas bersama pemerintah dan
masyarakat untuk memantau dan mengevaluasi pelaksanaannya.
Diberlakukannya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Menurut peta jalan menuju
Jaminan Kesehatan Nasional ditargetkan pada tahun 2019 semua penduduk Indonesia
telah tercakup dalam JKN (Universal Health Coverage - UHC). Diberlakukannya JKN ini
jelas menuntut dilakukannya peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan, baik
pada fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun fasilitas kesehatan tingkat lanjutan,
serta perbaikan sistem rujukan pelayanan kesehatan. Untuk mengendalikan beban
anggaran negara yang diperlukan dalam JKN memerlukan dukungan dari upaya
kesehatan masyarakat yang bersifat promotif dan preventif agar masyarakat tetap
sehat dan tidak mudah jatuh sakit. Perkembangan kepesertaan JKN ternyata cukup
baik.
Kesetaraan Gender. Kualitas SDM perempuan harus tetap perlu ditingkatkan, terutama
dalam hal: (1) perempuan akan menjadi mitra kerja aktif bagi laki-laki dalam mengatasi
masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik; dan (2) perempuan turut mempengaruhi
kualitas generasi penerus karena fungsi reproduksi perempuan berperan dalam
mengembangkan SDM di masa mendatang. Indeks Peningkatan IPG pada hakikatnya
disebabkan oleh peningkatan dari beberapa indikator komponen IPG, yaitu kesehatan,
pendidikan, dan kelayakan hidup.
Berlakunya Undang-Undang Tentang Desa. Pada bulan Januari 2014 telah disahkan UU
Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Sejak itu, maka setiap desa dari 77.548 desa yang
ada, akan mendapat dana alokasi yang cukup besar setiap tahun. Dengan simulasi APBN
2015 misalnya, ke desa akan mengalir rata-rata Rp 1 Miliar. Kucuran dana sebesar ini
akan sangat besar artinya bagi pemberdayaan masyarakat desa. Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat (PHBS) dan pengembangan Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat
(UKBM) akan lebih mungkin diupayakan di tingkat rumah tangga di desa, karena cukup
tersedianya sarana-sarana yang menjadi faktor pemungkinnya (enabling factors).
Berlakunya Peraturan Tentang Sistem Informasi Kesehatan. Pada tahun 2014 juga
diberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 tentang Sistem Informasi Kesehatan
(SIK). PP ini dimaksudkan untuk memperkuat tata kelola data dan informasi dalam
sistem informasi kesehatan terintegras, PP ini salah satunya mensyaratkan agar data
kesehatan terbuka untuk diakses oleh unit kerja instansi Pemerintah dan Pemerintah
Daerah yang mengelola SIK sesuai dengan kewenangan masing-masing.
1. Bab I Pendahuluan
Pada bab ini disajikan penjelasan umum organisasi, dengan penekanan kepada aspek
strategis organisasi serta permasalahan utama (strategic issue) yang sedang dihadapi
organisasi.
Sub bab ini menguraikan tentang realisasi anggaran yang digunakan dan telah
digunakan untuk mewujudkan kinerja organisasi sesuai dengan dokumen
Perjanjian Kinerja.
4. Bab IV Penutup
Bab ini menguraikan simpulan umum atas capaian kinerja organisasi serta langkah di
masa mendatang yang akan dilakukan organisasi untuk meningkatkan kinerjanya.
BAB II
PERENCANAAN KINERJA
Dengan tetap memperhatikan visi dan misi Presiden, Kementerian Kesehatan kemudian
menetapkan dua tujuan Kementerian Kesehatan pada Tahun 2015-2019, yaitu: 1)
Meningkatnya status kesehatan masyarakat; dan 2) Meningkatnya daya
tanggap (responsiveness) dan perlindungan masyarakat terhadap risiko sosial dan
finansial di bidang kesehatan. Kedua tujuan indikator Kementerian Kesehatan bersifat
dampak (impact atau outcome).
Gambar 2.1
Peta Strategi Kementerian Kesehatan
Dua belas Sasaran Strategis Kementerian Kesehatan dikelompokkan menjadi tiga bagian,
yaitu: 1) Kelompok Sasaran Strategis pada aspek input (organisasi, sumber daya
manusia, dan manajemen); 2) Kelompok Sasaran Strategis pada aspek penguatan
kelembagaan; dan 3) Kelompok Sasaran Strategis pada aspek upaya strategic.
A. Kelompok Sasaran Strategis (SS) pada aspek input adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan Tata Kelola Kepemerintahan yang Baik dan Bersih
Strategi untuk meningkatkan tata kelola pemerintah yang baik dan bersih
meliputi:
a. Mendorong pengelolaan keuangan yang efektif, efisien, ekonomis dan
ketaatan pada peraturan perundang-undangan.
b. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dengan memperhatikan rasa
keadilan dan kepatutan.
c. Mewujudkan pengawasan yang bermutu untuk menghasilkan Laporan Hasil
Pengawasan (LHP) sesuai dengan kebutuhan pemangku kepentingan.
d. Mewujudkan tata kelola manajemen Inspektorat Jenderal yang transparan
dan akuntabel.
12. Meningkatkan Akses, Kemandirian dan Mutu Sediaan Farmasi dan Alat
Kesehatan.
Untuk meningkatkan akses, kemandirian, dan mutu sediaan farmasi dan alat
kesehatan dibutuhkan komitmen yang tinggi. Strategi yang perlu dilakukan dari
berbagai upaya antara lain:
a. Regulasi perusahaan farmasi memproduksi bahan baku dan obat tradisional
dan menggunakannya dalam produksi obat dan obat tradisional dalam
negeri, serta bentuk insentif bagi percepatan kemandirian nasional.
b. Regulasi penguatan kelembagaan dan sistem pengawasan pre dan post
market alat kesehatan.
c. Pokja Academy Business Government and Community (ABGC) dalam
pengembangan dan produksi bahan baku obat, obat tradisional dan alat
kesehatan dalam negeri.
d. Regulasi penguatan penggunaan dan pembinaan industri alat kesehatan
dalam negeri.
e. Meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat dan tenaga kesehatan
tentang pentingnya kemandirian bahan baku obat, obat tradisional dan alat
kesehatan dalam negeri yang berkualitas dan terjangkau.
Setiap Unit Eselon I akan bertanggung jawab terhadap satu program tersebut, kecuali
Sekretariat Jenderal yang akan melaksanakan dua program. Pembagian tanggung jawab
pelaksanaan program untuk setiap eselon I adalah sebagai berikut:
1. Sekretariat Jenderal bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Program
Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya serta Program
Penguatan Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)/Kartu Indonesia Sehat
(KIS);
2. Inspektorat Jenderal bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Program
Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Kementerian Kesehatan;
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan Program Penelitian dan Pengembangan Kesehatan;
4. Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan Program Kesehatan Masyarakat. ;
Tabel 2.1.
Perjanjian Kinerja Kementerian Kesehatan Tahun 2019
Jumlah anggaran yang dialokasikan pada Tahun 2019 sebesar Rp. 58.746.540.744.000
(Lima Puluh Delapan Triliun Tujuh Ratus Empat Puluh Enam Milyar Lima Ratus Empat
Puluh Juta Tujuh Ratus Empat Puluh Empat Ribu Rupiah).
BAB III
AKUNTABILITAS KINERJA
Tabel 3.1.
Capaian IKU pada Sasaran Strategis 1:
Meningkatnya Kesehatan Masyarakat
SS1: Meningkatnya Kesehatan Masyarakat
140
120,29
120 108,04
98,64
100 91,83
82,00 85,00
80
60
40
20
0
Target Cakupan Capaian
2018 2019
Grafik 3.2.
Cakupan Kabupaten/Kota Melaporkan Indikator Pelayanan Persalinan di Fasyankes
Tahun 2019 Berdasarkan Provinsi
Target: 85%
Grafik 3.3.
Target dan Cakupan Kinerja Persalinan di Fasilitas Kesehatan
menurut Renstra 2015-2019 dengan Target Jangka Menengah
110
98,64
100 91,83
90 82,79 85
78,4 77,3 82
80
70 81
75 77
Revisi 1. Renstra 2015-2019
60
50
2015 2016 2017 2018 2019
Renstra
Sementara berdasarkan data rutin komdat kesga, cakupan program PF tahun 2019 adalah
sebesar 88.35% dengan rincian masing-masing provinsi sesuai dengan grafik dibawah ini.
Grafik 3.4
Persentase Target dan Cakupan Program Persalinan di Fasilitas Kesehatan menurut
Renstra 2015-2019 Per Provinsi
Di sisi lain, meskipun secara nasional trend cakupan PF menunjukkan kecenderungan yang
meningkat, masih terdapat kesenjangan capaian antar wilayah di Indonesia. Grafik di atas
menggambarkan disparitas cakupan PF di 34 provinsi di Indonesia. Bila dibandingkan
dengan target nasional sebesar 85%, maka masih ada 20 provinsi yang belum mencapai
target nasional, sehingga agar cakupannya naik, diperlukan pendekatan khusus dalam upaya
memperbaiki cakupan program.
Terdapat beberapa hal yang dapat menjadi faktor penghambat pencapaian kinerja
pelaporan tepat waktu, indikator pelayanan persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan,
antara lain:
1. Sistem pengumpulan data yang tidak sesuai dengan cara perhitungan Renstra
2. Kurangnya pemahaman pengelola program tentang cara perhitungan indikator menurut
Renstra
3. Kesenjangan antar provinsi dalam pelaporan cakupan, salah satunya disebabkan karena
kondisi geografis yang menjadi hambatan bagi kabupaten/kota dalam melaporkan
cakupannya
4. Kurangnya kepatuhan Puskesmas dalam melaporkan cakupan pelayanan tepat waktu
5. Kapasitas tenaga kesehatan dan pemegang program dalam melaporkan cakupan
pelayanan ke Puskesmas belum optimal sesuai waktu yang ditentukan.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 24
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019
Sementara itu, beberapa hal yang dapat menghambat pencapaian program persalinan di
fasilitas pelayanan kesehatan, antara lain:
1. Pemahaman tentang standar pertolongan persalinan baik tentang standar fasilitas,
tenaga dan jenis pelayanan pada ibu bersalin pada pengelola program di setiap
tingkatan belum merata
2. Perbedaan kondisi geografis, terutama di daerah-daerah terpencil, perbatasan, dan
kepulauan yang menyebabkan sulitnya akses ke fasilitas pelayanan kesehatan.
3. Faktor Sosial Budaya di kelompok masyarakat tertentu, menyebabkan ibu hamil lebih
memilih untuk bersalin di rumah atau masih kuatnya kepercayaan sebagian masyarakat
dengan dukun/paraji sehingga lebih memilih persalinan ditolong non tenaga kesehatan
4. Tingkat pengetahuan ibu, keluarga dan masyarakat yang bervariasi, bahkan cenderung
banyak yang masih rendah
5. Peran Perempuan atau Ibu hamil dalam pengambilan keputusan masih rendah.
6. Kondisi Ekonomi keluarga/ masyarakat masih rendah, sehingga membuat masyarakat
ragu untuk datang ke fasyankes.
7. Distribusi ketersediaan tenaga kesehatan terutama di daerah-daerah terpencil,
perbatasan, dan kepulauan belum merata.
8. Belum semua Puskesmas siap dalam memberikan pelayanan persalinan karena
9. ketersediaan ruangan, alat, dan tenaga kesehatan yang harus siap 24 jam jika ada ibu
yang sewaktu-waktu akan bersalin.
10. Lembar pernyataan Menyambut Persalinan di dalam Buku KIA yang mencantumkan
tempat persalinan yang direncanakan tidak dipatuhi oleh keluarga
11. Masih adanya ibu hamil miskin yang belum memiliki jaminan kesehatan
12. Pemanfaatan dana Non Kapitasi JKN dan dana Jampersal yang kurang optimal
13. Pemanfaatan Rumah Tunggu Kelahiran yang kurang optimal
14. Tidak semua fasyankes swasta yang memberikan layanan persalinan bekerjasama
dengan BPJS, sehingga tidak dapat melayani ibu peserta JKN
15. Koordinasi dan integrasi lintas program dan lintas sector masih kurang optimal
16. Dukungan dan komitmen pemangku kepentingan yang masih berbeda-beda di setiap
daerahnya
ditandai oleh rendahnya cadangan energi dalam jangka waktu cukup lama dan dapat diukur
dengan lingkar lengan atas (LiLA).
Masalah ibu hamil KEK merupakan salah satu fokus perhatian dan menjadi salah satu
indikator kinerja program Kementerian Kesehatan, karena berdasarkan Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi risiko KEK pada ibu hamil (15-49 tahun) masih
cukup tinggi yaitu sebesar 24,2%. Prevalensi tertinggi ditemukan pada usia remaja (15-19
tahun) sebesar 38,5% dibandingkan dengan kelompok lebih tua (20-24 tahun) sebesar
30,1%. Indikator persentase ibu hamil KEK diharapkan turun sebesar 1,5% setiap tahunnya.
Pada awal periode tahun 2015, persentase ibu hamil KEK ditargetkan tidak melebihi 24,2%,
dan diharapkan di akhir periode pada tahun 2019, maksimal ibu hamil dengan risiko KEK
adalah sebesar 18,2%. Dasar penetapan persentase bumil KEK mengacu kepada hasil
Riskesdas tahun 2013.
Definisi operasional dari indikator tersebut adalah proporsi ibu hamil yang diukur
lingkar lengan atasnya (LiLA) menggunakan pita LiLA dengan hasil ukur kurang dari 23,5 cm
terhadap jumlah ibu hamil yang diukur LiLA-nya pada periode tertentu dikali 100%. Sumber
data persentase ibu hamil kurang energi kronik tahun 2015 – 2019 diperoleh dari survey dan
laporan rutin. Data tahun 2015 – 2017 menggunakan data Pemantauan Status Gizi (PSG)
dengan capaian masing-masing 13.3%, 16.2%, dan 14.8%. Indikator Ibu Hamil Risiko KEK di
tahun 2018 diukur menggunakan data Riskesdas, dengan capaian 17.3%. Pada tahun 2019,
sumber data untuk indikator ibu hamil risiko KEK didapatkan dari laporan rutin 34 Provinsi,
dengan capaian 9.9%. Cakupan indikator ibu hamil risiko KEK tahun 2019 dapat dilihat pada
grafik di bawah ini:
Grafik 3.5
Persentase Cakupan Ibu Hamil Kekurangan Energi Kronik (KEK)
per Provinsi Tahun 2019
Grafik 3.6.
Target, Cakupan, dan Capaian Kinerja Renstra
Indikator Ibu Hamil Risiko Kurang Energi Kronis (KEK) Tahun 2019
Grafik diatas menggambarkan capaian indikator ibu hamil risiko KEK tahun 2019 yang
sudah melampaui target yang ditetapkan dimana target sebesar 18,2%, cakupan persentase
ibu hamil kek sebesar 9,9% dan capaian 183,8%.
Grafik 3.7
Perbandingan Persentase Ibu Hamil Kekurangan Energi Kronis (KEK)
Tahun 2019 dengan Target Jangka Menengah
30 24,2 24,2 22,7 21,2 19,7
16,2 18,2
20 13,3 14,8
17,3
10
9,9
0
2013 2014Riskesdas
2015 2016 2017 Target
2018 2019
Sumber data: Pemantauan Status Gizi (PSG) Tahun 2015, 2016 ,2017 dan Laporan Rutin
2019
Jika melihat capaian indikator Ibu Hamil KEK dari tahun 2015 sampai 2019 terlihat
kecenderungan yang cukup fluktuatif. Dari tahun 2015 ke 2016 dan dari 2017 ke 2018
peningkatan persentase ibu hamil KEK sebesar 2,5%. Namun demikian, persentase ibu hamil
KEK yang diperoleh baik melalui PSG tahun 2015-2017, Riskesdas 2018, dan laporan rutin
2019 menunjukkan hasil yang lebih baik dari target yang ditetapkan setiap tahunnya.
Persentasi ibu hamil risiko KEK pada akhir Renstra 2015 – 2019 sudah melampaui
target yang ditetapkan, 9,9 % dibanding dengan target 18.2%. Namun demikian, terdapat
beberapa kendala dalam mencapai target yang diharapakan tersebut, yaitu
1. Kegagalan cara pengukuran keberhasilan setiap tahun karena adanya perubahan
sumber data yang digunakan untuk mengukur keberhasilan capaian indikator ibu hamil
risiko KEK setiap tahunnya.
2. Tingkat kepatuhan dalam melaporkan capaian indikator ibu hamil KEK secara rutin
setiap bulan masih rendah. Hal ini terjadi karena proses pelaporan yang lambat dari
mulai tingkat posyandu sampai tingkat provinsi juga karena kurangnya pemahaman
petugas terkait cara pengukuran indikator tersebut.
3. Masih kurangnya koordinasi antara petugas gizi dan bidan dalam proses pengumpulan
data ibu hamil risiko KEK.
Sementara itu, secara program kegiatan, keberhasilan pemerintah sehingga persentase ibu
hamil KEK selalu di bawah target yang ditetapkan, dapat didukung melalui:
1) Program Nasional Intervensi Gizi terintegrasi untuk Pencegahan Stunting. Program ini
menggunakan konvergensi lintas sektor mulai di tingkat nasional sampai tingkat desa
fokus pada sasaran kelompok 1000 HPK. Ibu hamil terutama ibu hamil yang berisiko
tinggi adalah salah satu penerima manfaat dari program ini. Selain mendapatkan
manfaat dari intervensi spesifik yang dilakukan oleh sektor kesehatan seperti pemberian
suplementasi gizi dan pemeriksaan kehamilan, kelompok ibu hamil juga menjadi
penerima manfaat dari program non kesehatan seperti perlindungan sosial, penyediaan
sanitasi dan air bersih, program peningkatan ketahanan pangan, dan intervensi gizi
senstitif lainnya.
Dalam rangka mengoptimalkan dampak intervensi, mulai tahun 2017 ditetapkan lokasi-
lokasi prioritas untuk implementasi program intervensi gizi terintegrasi. LOkasi prioritas
tersebut jumlahnya bertambah setiap tahun. Tahun 2017 dimulai dengan 100
kabupaten/kota, kemudian tahun 2018 dan 2019 bertambah menjadi 160 dan 200
Kabupaten/Kota. Harapannya di tahun 2024 akan mencakup seluruh kabupaten/kota
yang ada di Indonesia, yaitu 514 Kabupaten/Kota.
2) Dukungan DAK dan BOK tahun 2019 meyajikan menu kegiatan yang memprioritaskan
kelompok 1000 HPK sejalan dengan prioritas nasional, salah satunya adalah penurunan
stunting dengan sasaran kelompok 1000 Hari Pertama Kehidupan. Penyediaan Makanan
Tambahan dan Suplementasi Tablet Tambah Darah untuk lokus stunting ditargetkan
menjangkau seluruh ibu hamil yang ada di wilayah tersebut. Dana BOK juga mendorong
daerah untuk memanfaatkan pangan lokal sebagai makanan tambahan bagi ibu hamil.
3) Penguatan koordinasi pusat dan daerah dalam meningkatkan sinergitas pelaksanaan
program gizi. Salah satu kegiatan yang dilaksanakan adalah Pertemuan Persiapan
Suplementasi Gizi antara Pusat dan Daerah.
4) Orientasi Proses Asuhan Gizi Puskesmas untuk meningkakan kapasitas tenaga gizi dalam
melakukan asuhan gizi untuk individu maupun masyarakat dalam rangka meningkatkan
kulaitas pelayanan gizi di puskesmas.
5) Peningkatan kerjasama lintas program dan lintas sector dalam meningkatkan kualitas
intervensi dan cakupan kegiatan gizi, salah satunya adalah kerjasama dengan
hamil dapat dideteksi secara dini adanya masalah, gangguan atau kelainan dalam
kehamilannya, dan dilakukan penanganan secara cepat dan tepat.
Pada saat ibu hamil melakukan pemeriksaan kehamilan, tenaga kesehatan memberikan
pelayanan antenatal secara lengkap, salah satunya adalah nilai status gizi dengan cara
mengukur LiLA.
10) Gerakan Pekerja Perempuan Sehat Produktif (GP2SP) adalah upaya pemerintah,
masyarakat maupun pengusaha untuk menggalang dan berperan serta, guna
meningkatkan kepedulian dalam upaya memperbaiki kesehatan dan status gizi pekerja
perempuan, sehingga dapat meningkatkan produktivitas kerja dan meningkatkan
kualitas generasi penerus. Kegiatan utama GP2SP diantaranya adalah perusahaan
menyediakan ruang ASI, mengadakan kelas ibu hamil, cek kesehatan secara berkala dan
memperhatikan gizi pekerja hamil dan menyusui di tempat kerja. Pada tahun 2018, dari
3.041 perusahaan dengan pekerja perempuan lebih dari 100 orang, sudah sekitar 448
(14,7%), naik sekitar 2% dari tahun sebelumnya, perusahaan yang sudah melaksanakan
GP2SP.
Dalam mengatasi hambatan pencapaian kinerja pada tahun 2020 solusi yang akan dilakukan
yaitu:
1. Penguatan manajemen data rutin mulai dari pengumpulan, analisis, dan pemanfaatan
data/informasi.
2. Penguatan integrasi kegiatan penyuluhan/konseling gizi bagi ibu hamil di kelas ibu.
3. Peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dan gizi dalam meningkatkan kualitas dan
cakupan pelayanan gizi di puskesmas.
4. Penyediaan materi edukasi gizi untuk ibu hamil, termasuk keberagaman dan jumlah yang
dianjurkan bagi ibu hamil
5. Peningkatan edukasi gizi pada remaja putri agar memahami pentingnya gizi baik pada
usia mereka. Remaja putri yang kurang gizi cenderung akan mengalami KEK pada masa
kehamilannya nanti. Direktorat Gizi dan UNICEF sedang mengembangkan program gizi
pada remaja dan sudah melakukan piloting di Klaten dan Lombok.
6. Peningkatan pemanfaatan pangan lokal untuk Makanan Tambahan ibu hamil KEK.
dengan memanfaatkan pangan lokal, sehingga tidak bergantung kepada pangan jadi atau
pangan pabrikan.
Justifikasi penetapan target dan kriteria tersebut berdasarkan analisa data realisasi
indikator pada tahun 2013 yang dilakukan di tahun 2014. Berdasarkan data pada tahun
tersebut, target tahun 2015 ditetapkan sebesar 20% dengan peningkatan 5% setiap
tahunnya sampai akhir tahun 2019 sebesar 40%. Sedangkan untuk kriteria minimal yang
memenuhi kualitas kesehatan lingkungan berdasarkan data analisa tersebut, hanya
terdapat 2 kab/kota saja yang memenuhi kualitas kesehatan lingkungan jika ditetapkan
keenam kriteria. Kemudian dilakukan analisis kembali untuk mendapatkan jumlah
kab/kota yang lebih besar yang dapat memenuhi kriteria yang ditetapkan. Jika ditetapkan
2 kriteria maka terdapat 130 kab/kota yang memenuhi kriteria. Sedangkan jika
ditetapkan 3 kriteria maka terdapat 119 kab/kota yang dapat memenuhi kriteria.
Penetapan 2 dan 3 kriteria diasumsikan belum memenuhi seluruh aspek kesehatan
lingkungan. Sehingga kemudian dilakukan perhitungan 4 kriteria maka terdapat 76
kabupaten/kota yang memenuhi kriteria dan dianggap sesuai untuk dijadikan data dasar
untuk tahun 2015.
Tabel 3.2
Target dan Capaian Indikator Kinerja Kesehatan Lingkungan Tahun 2019
Target Realisasi/Capaian
Capaian
No Indikator
% Absolut Realisasi (Realisasi/
Target*100)
1 45.000 desa/kel 57.935
Jumlah
dari desa/kel
desa/Kelurahan yang 55,6% 128,75%
80.930 (71,59%)
melaksankan STBM
desa/kel
2 Persentase RS yang
melakukan 42,64 %
36% 118,45%
pengelolaan limbah 1.030 RS dari (1.220 RS)
medis sesuai standar 2.861RS
3 Persentase Tempat -
62,00%
Tempat Umum (TTU)
58% (129.178 106,89%
yang memenuhi syarat 120.849 TTU dari
TTU)
kesehatan 208.361 TTU
4 Persentase Tempat
Pengelolaan Makanan 36,25 %
32% 133,28%
(TPM) yang memenuhi 49.054 TPM dari (55.570 TPM)
syarat kesehatan 153.292 TPM
5 Jumlah
386 Kab/Kota
Kabupaten/Kota yang 366 Kab/kota
75,1% Dari 94,82%
menyelenggarakan (71,21%)
514
tatanan kawasan sehat
Target Realisasi/Capaian
Capaian
No Indikator
% Absolut Realisasi (Realisasi/
Target*100)
6 55.431
SAM yang 50,2 %
Persentase sarana air
dilakukan IKL (55.631)
minum yang dilakukan 50% 100,36 %
110.862 SAM yang di
pengawasan
SAM IKL)
Pada tabel diatas disajikan target dan capaian keenam indikator kesehatan lingkungan tahun
2019 yang merupakan dasar perhitungan capaian indikator kinerja utama kabupaten kota
yang memenuhi kualitas kesehatan lingkungan. Secara nasional, hampir seluruh indikator
kinerja kesehatan lingkungan memenuhi target, hanya indikator Kabupaten Kota Sehat saja
yang belum memenuhi target. Namun, unit analisa pengukuran indikator kabupaten kota
yang memenuhi kualitas kesehatan lingkungan adalah kabupaten/kota sehingga meskipun
secara nasional terdapat satu indikator yang belum mencapai 100%, namun apabila 4
indikator dari 6 indikator telah memenuhi kriteria minimal maka kabupaten tersebut masuk
kedalam kategori kabupaten kota yang memenuhi kualitas kesehatan lingkungan.
Grafik 3.8
Target, Cakupan dan Capaian Kinerja Indikator Persentase Kabupaten/Kota yang Memenuhi
Kualitas Kesehatan Lingkungan Tahun 2018 dan 2019
250
195,05
200
165,14
150
100 78,02
57,80
50 35,00 40
0
Target Cakupan Capaian
2018 2019
Cakupan indikator persentase kab/kota yang memenuhi kualitas kesehatan lingkungan pada
tahun 2018 sebesar 57,80% (297 kab/kota dari 514 kab/kota) memiliki target 35% (180
kab/kota dari 514 kab/kota) sehingga capaian kinerja nya sebesar 165,14%. Pada Pada Th
2019, target indikator Persentase Kabupaten/Kota yang Memenuhi Kualitas Kesehatan
Lingkungan sebesar 40 % (206 kab/kota dari 514 kab/kota). Sedangkan realisasi indikator
tersebut sebesar 78,02 % (401 kab/ kota). Itu berarti realisasi indikator tersebut sudah
mencapai target indikator dengan capaian kinerja sebesar 195,05%.
Grafik 3.9
Realisasi Th 2019 dan Target Jangka Menengah Indikator Persentase Kabupaten/Kota
yang Memenuhi Kualitas Kesehatan Lingkungan
90 *) dalam persen
78,02
80
70
60
50
40
40 35
30
30 25
20
20
10
0
Realisasi 2018 Target 2015 Target 2016 Target 2017 Target 2018 Target 2019
Jika menyandingkan realisasi 2019 dengan terget jangka menengah 2015-2019 maka
diketahui bahwa realisasi 2019 sudah melewati target 2015-2019.
Tabel 3.3
Realisasi Per Provinsi Indikator Persentase Kabupaten/Kota yang memenuhi Kualitas
Kesehatan Lingkungan tahun 2019
JUMLAH KAB/
JML KAB/KOTA
KOTA YG
NO PROVINSI (VERSI PUSDATIN/ %
MEMENUHI
BPS)
KUALITAS KESLING
1 ACEH 23 12 52.17
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 37
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019
Grafik 3.10
Realisasi Per Provinsi Indikator Persentase Kabupaten/Kota yang Memenuhi Kualitas
Kesehatan Lingkungan Tahun 2019
Pada tahun 2019, dari 514 kab/kota terdapat 401 kab/kota telah memenuhi kualitas kesling.
Terdapat 24 provinsi (70,59%) yang berada di zona hijau (80-100% kab/kota di provinsi
tersebut memenuhi kualitas kesling) yaitu Riau, Jambi, Lampung, Kepulauan Bangka
Belitung, kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Banten, Bali,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Gorontalo,
Sulawesi Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat,
Bengkulu, Sumatera Selatan, Kalimantan Utara. Terdapat 5 provinsi (14.70%) berada di zona
kuning (52-70% kab/kota di provinsi tersebut memenuhi kualitas kesling yaitu Maluku Utara,
Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Aceh.
Tiga provinsi (8,82 %) berada di zona oranye (26-50 % kab/kota di provinsi tersebut
memenuhi kualitas kesling) yaitu Papua Barat, Sulawesi tenggara, Sulawesi Utara; dan
terakhir 2 provinsi (5,88 %) masih berada di zona merah (0-25 % kab/kota di provinsi
tersebut memenuhi kualitas kesling) yaitu Papua dan Maluku. Sumber data diperoleh dari
Dashboard Kesling (kesling.kesmas.kemkes.go.id) Berbagai instrument pelaporan indikator
baik secara manual maupun elektronik (online).
Gambar 3.1
Peta Realisasi Per Provinsi Indikator Persentase Kabupaten/Kota yang Memenuhi Kualitas
Kesehatan Lingkungan Tahun 2019
Grafik 3.11.
Target dan Realisasi Indikator Persentase Kabupaten/Kota yang Memenuhi Kualitas
Kesehatan Lingkungan Tahun 2015-2019
Pada tahun 2019, target indikator Persentase Kab/Kota yang memenuhi kualitas
lingkungan sebesar 40 % dan realisasi indikator tersebut sebesar 78,02 %. Tahun 2018
target indikator Itu berarti pada tahun 2018, realisasi indikator tersebut telah mencapai
target indikator 35 % dan realisasi indikator tersebut sebesar 57.8 %. Tahun 2017 target
indikator tersebut sebesar 30% dan realisasinya sebesar 53.89%, hal ini menunjukkan
realisasi telah mencapai target yang ditentukan. Tahun 2016 target indikator tersebut
sebesar 25 % dan realisasinya sebesar 33,46 %, hal ini menunjukkan bahwa realisasi telah
mencapai target yang ditentukan. Pada tahun 2015, target indikator tersebut sebesar 20
% dan realisasinya sebesar 27.63 %. Itu berarti pada tahun 2015, realisasi indikator
tersebut juga telah mencapai target indikator yang ditetapkan. Jadi dapat disimpulkan
bahwa trend realisasi indikator tersebut senantiasa mencapai target indikator setiap
tahunnya.
Grafik 3.12
Target dan Capaian Kinerja Indikator Persentase Kabupaten/Kota yang Memenuhi
Kualitas Kesehatan Lingkungan Tahun 2015-2019
250
200 195,05
165.14
150 138,13 179,63
133,85
100 100 100 100 100 100
50
0
2015 2016 2017 2018 2019
Pada tahun 2019, capaian kinerja indikator Persentase Kabupaten/Kota yang Memenuhi
Kualitas Kesehatan Lingkungan sebesar 195,05%. Pada Tahun 2018, capaian kinerja indikator
tersebut sebesar 165.14 %. Pada Tahun 2017, capaian kinerja indikator tersebut sebesar
179.63 %. Pada tahun 2016, capaian kinerja indikator tersebut sebesar 133.85 %. Pada
tahun 2015, capaian kinerja indikator tersebut sebesar 138.1 %. Jadi dapat disimpulkan
bahwa trend capaian kinerja indikator tersebut di atas 100 % setiap tahunnya. Itu berarti
setiap tahunnya capaian kinerja sudah mencapai target capaian kinerjanya yang adalah 100
%.
2. Pembiayaan
Dalam rangka memenuhi kebutuhan kegiatan Kesehatan Lingkungan pembiayaan
berasal dari berbagai sumber. Pembiayaan pusat pendanaan berasal dari rupiah murni
sebesar Rp 166,886,632,000,- kemudian dana dekonsentrasi berupa Rp.
27,883,999,000,- untuk kegiatan peningkatan kapasitas dan Pengembangan
jejaring/koordinasi lintas program/lintas sektor dalam bentuk pertemuan antar
stakeholder terkait untuk menyamakan persepsi dalam mewujudkan dan mendukung
pelaksanaan kegiatan penyehatan lingkungan. Selain itu, dialokasikan Dana Alokasi
Khusus Fisik dan Non Fisik untuk mendukung pelaksanaan kegiatan penyehatan
lingkungan ditingkat puskesmas dan kabupaten.
3. Sistem dan Metode
Pengembangan Sistem dan Metode dilakukan melalui Penyusunan Norma Standar
Prosedur dan Ketentuan dan Pengembangan Monitoring dan Evaluasi berbasis internet.
Untuk penyusunan Norma Standar Prosedur dan Ketentuan berupa (a) Permenkes No.
7 tahun 2019 tentang Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, (b) Permenkes No. 41 tahun
2019 tentang Penghapusan dan Penarikan Alat kesehatan Bermerkuri di Fasyankes, (c)
Draft Permenkes Pengelolaan Limbah medis Berbasis Wilayah, (d) Penyusunan draft
Pedoman Radiasi, (e) Pedoman Kesehatan Lingkungan Shalter Pekerja Migrasi Indonesia
(PMI), (f) Penyusunan draft Pedoman Desa Sehat Iklim, (g) Penyusunan draft Permenkes
Keamanan Pangan Siap Saji, (h) Penyusunan draft Pedoman Keamanan Pangan Siap Saji
di Pondok Pesantren dengan Metode Partisipatori, (i) Penyusunan draft Perpres KKS, (j)
Review Permenkes No. 3 tahun 2014,(k) Penyusunan Pedoman Pemicuan STBM 5 Pilar
STBM, (l) Review Permenkes No. 736 tahun 2010, (m) Penyusunan finalisasi Pedoman
Surveilans Kualitas Air Minum.
Sebagian besar Sistem Monitoring dan Evaluasi Indikator Kesehatan Lingkungan telah
berjalan dengan baik. Indikator seperti desa yang melaksanakan STBM, persentase TPM
yang memenuhi syarat kesehatan dan Jumlah RS yang melakukan Pengelolaan Limbah
Medis telah memiliki perangkat pendukung yang memungkinkan sanitarian ditingkat
Puskesmas dapat mengisi data dengan baik dan petugas Kesling Kabupaten juga telah
memiliki kapasitas yang mumpuni menjalankan sistem tersebut. Selain itu, sistem
monitoring tersebut telah terintegrasi dengan baik kedalam sistem monitoring kesling
yang dapat di akses pada laman situs kesling.kesmas.go.id sehingga dapat dengan
mudah diakses pihak terkait yang dapat langsung ditindaklanjuti apabila terjadi
permasalahan terhadap capaian indikator.Realisasi Angaran ditingkat pusat dan
provinsi (dekonsentrasi) dapat terpantau melalui aplikasi OMSPAN (Online Monitoring
Sistem Perbendaharaan dan Anggaran) dan secara berkala dilakukan evaluasi dan
tindak lanjut untuk percepatan realisasi anggaran.
4. Sarana dan Prasarana
Percepatan program STBM melalui program Intervensi Kesehatan Lingkungan dalam
bentuk Padat Karya Tunai Desa (PKTD) di 530 desa lokus Stunting dan 12 desa lokus DAS
Citarum. Kemudian dialokasikan juga peralatan Sanitarian Kit sebanyak 633 unit dan
Alat Pembersih Pasar sebanyak 134 unit.
Namun demikian upaya-upaya tersebut belum sepenuhnya maksimal dan masih terdapat
beberapa kendala seperti :
1. Sumber Daya Manusia
Meskipun peningkatan kapasitas petugas kesling dan kader (masyarakat) telah
dilakukan secara masif dan terstruktur. Namun kuantitas dan kualitas petugas
kesehatan lingkungan dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan terkait
kesling masih kurang hal ini serta mutasi petugas yang terjadi di daerah.
2. Pembiayaan
Meskipun sumber pembiayaan (pusat dan dekonsentrasi) Kegiatan Kesehatan
Lingkungan telah mencukupi untuk mencapai target. Lebih dari itu, apabila
dibandingkan dengan tahun sebelumnya maka terjadi penurunan sebesar 80,67% yaitu
Rp. 241.429.445.000,- di tahun 2018 menjadi Rp. 194.770.631.000,- di tahun 2019.
Begitu juga dengan realisasi anggaran meningkat dari 93.56% di Tahun 2018 menjadi
94,66% di Tahun 2019.
3. Sistem dan Metode
Meskipun sebagian besar Sistem Monitoring dan Evaluasi Indikator Kesehatan
Lingkungan telah berjalan dengan baik. Namun terdapat indikator yang masih
menggunakan metode manual seperti Pengawasan Pasar dan Tempat-Tempat Umum,
Pesar Sehat dan Kabupaten Kota Sehat yang memenuhi Syarat sehingga monitoringnya
tidak secepat indikator lainnya. Selain itu, adanya pengembangan system aplikasi
menyebabkan error system sehingga penginputan data dari daerah terkendala.
4. Sarana dan Prasarana
Peralatan yang diperlukan dalam pengawasan kesehatan lingkungan seperti Kit Kesling
Kab/Kota, dan Sanitarian Kit telah dialokasikan ke daerah melalui anggaran pusat dan
DAK. Kemungkinan penggunaan dana DAK dalam memenuhi kebutuhan peralatan
kesehatan lingkungan belum optimal. Selain itu alokasi Alat Pembersih Pasar sebanyak
134 unit belum memenuhi seluruh pasar yang telah dilakukan perbaikan oleh
Kemendag sebagai basis data Pasar Sehat.
Saat ini, Indonesia tengah menghadapi tantangan besar yakni masalah kesehatan triple
burden, dimana angka kesakitan penyakit menular masih tinggi namun di sisi lain penyakit
tidak menular mengalami peningkatan yang cukup bermakna dan penyakit penyakit yang
seharusnya sudah teratasi muncul kembali. Data Global Burden of Disease 2010 dan Health
Sector Review 2014 bahwa menyebutkan kematian yang diakibatkan PTM, yaitu stroke
menduduki peringkat pertama. Padahal 30 tahun lalu, penyakit menular seperti infeksi
saluran pernafasan atas (ISPA), tuberkulosis dan diare merupakan penyakit terbanyak dalam
pelayanan kesehatan. Pergeseran pola penyakit ini, ditengarai disebabkan perubahan gaya
hidup masyarakat. Guna menjawab tantangan permasalahan tersebut, maka Kementerian
Kesehatan telah menetapkan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian penyakit.
Langkah-langkah pencegahan tersebut selanjutnya dirumuskan menjadi sejumlah indikator-
indikator untuk mengukur capaian kinerjanya.
Tabel 3.4
Capaian IKU pada Sasaran Strategis 2:
Meningkatnya Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
SS2: Meningkatnya Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Indikator ini adalah indikator positif yang artinya jika semakin besar capaian maka
semakin baik kinerjanya dan sebaliknya jika semakin kecil capaian maka semakin
buruk kinerjanya. Bila dibandingkan dengan indikator RPJMN yakni Prevalensi
Tuberkulosis (TB) dengan target sebesar 245 per 100.000 penduduk, telah tercapai
sebesar 245 per 100.000 penduduk pada tahun 2019. Prevalensi TB dengan angka
keberhasilan memiliki hubungan negatif yang artinya jika angka keberhasilan
pengobatan semakin tinggi, maka prevalensi TB akan menurun dan sebaliknya angka
keberhasilan pengobatan semakin tinggi berarti penderita TB yang sembuh semakin
banyak dan kemungkinan untuk menularkan akan berkurang. Jika penularan
berkurang maka jumlah penderita TB di populasi juga berkurang, dengan demikian
prevalensi juga menurun.
Tabel 3.5
Estimasi Beban TB tahun 2019
Tantangan yang perlu diperhatikan saat ini adalah TB DM, TB pada anak, dan TB pada
masyarakat kelompok khusus atau kelompok rentan lainnya. Dengan angka estimasi
kasus TB sebesar 845.000 kasus pertahun dan notifikasi kasus TBC sebesar 564.000
kasus maka masih ada sekitar 281.000 kasus (33%) yang belum ternotifikasi baik yang
belum terjangkau, belum terdeteksi maupun belum terlaporkan.
yang sudah diimplementasikan pada 4432 fasilitas kesehatan di 203 kabupaten dan
16 provinsi.
3. Pelaksanaan investigasi kontak berdasarkan panduan yang telah didiseminasi ke
seluruh provinsi.
4. Pelaksanaan penemuan kasus TB pada populasi risiko tinggi seperti pada pasien
diabetes di puskesmas dan faskes rujukan sesuai panduan yang telah didiseminasi
ke seluruh provinsi.
5. Sejak bulan November tahun 2019, telah dilaksanakan skrining TB pada populasi
risiko tinggi di 5 provinsi yaitu Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Target skrining sebanyak 150.000 orang dari rumah
tahanan/lembaga pemasyarakatan dan sekolah berasrama/pondok pesantren
dengan menggunakan mesin X-ray sebanyak 15.000 dan penggunaan mesin cepat
molekuler sebanyak 4.500 orang.
Gambar 3.2
Skrining TB di Pondok Pesantren Darussalam Perempuan Gontor
6. Adanya sistem informasi TB yang baru (Sistim Informasi TB/SITB), yang telah
menyambungkan jejaring sistem rujukan internal dan eksternal yang sudah
mengintegrasikan puskesmas, rumah sakit dan laboratorium rujukan.
7. Ekspansi pelaksanaan Mopping Up/ penyisiran kasus ke rumah sakit-rumah sakit
baik rumah sakit pemerintah maupun swasta.
8. Pengiriman umpan balik hasil entri SITT dan hasil penyisiran kasus ke rumah sakit
yang ada di provinsi dan kabupaten/ kota.
9. Keterlibatan Stop TB Partnership Indonesia (STPI) dalam STP global yang berperan
dalam penanggulangan tuberkulosis untuk pelayanan yang berkualitas dan
terjangkau. Keterlibatan STPI sudah dimulai sejak awal pembentukan forum STPI
antara lain Indonesia pernah menjadi tuan rumah pertemuan Stop TB Partnership
wilayah Asia Pasifik dan Mediterania pada 2014, pelaksanaan 2 side event pada
pekan ‘UN High Level Meeting on Tuberculosis’ pada September 2018. Kerja sama
multilateral antara STP dan Indonesia dipercayai dapat membawa dampak positif
kepada komunitas TB di tingkat global sehingga Indonesia dipilih sebagai tuan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 48
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019
rumah untuk serangkaian acara Board Meeting STP 2019 yang berlangsung pada
tanggal 9-13 Desember 2019. Pertemuan ini menghasilkan 2 hal penting yakni
pertama, pernyataan komitmen bersama untuk aksi multi-sektor mengakhiri
tuberculosis dan kedua, arahan strategis Presiden untuk K/L untuk mengakhiri TB di
Indonesia.
Gambar 3.3
High Level Meeting on Tuberculosis
- Peningkatan kolaborasi layanan melalui TB-HIV, TB-DM, MTBS, PAL, dan lain
sebagainya.
- Inovasi diagnosis TB sesuai dengan alat / saran diagnostik yang baru.
- Kepatuhan dan Kelangsungan pengobatan pasien atau case holding.
- Bekerjasama dengan asuransi kesehatan dalam rangka Cakupan Layanan
Semesta (health universal coverage).
3) Pengendalian Faktor Risiko.
- Promosi lingkungan dan hidup sehat.
- Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TB.
- Pengobatan pencegahan dan imunisasi TB.
- Memaksimalkan penemuan TB secara dini, mempertahankan cakupan dan
keberhasilan pengobatan yang tinggi.
4) Peningkatan Kemitraan melalui Forum Koordinasi TB.
- Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di pusat.
- Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di daerah.
5) Peningkatan Kemandirian Masyarakat dalam Penanggulangan TB.
- Peningkatan partisipasi pasien, mantan pasien, keluarga dan masyarakat.
- Pelibatan peran masyarakat dalam promosi, penemuan kasus, dan dukungan
pengobatan TB.
- Pemberdayan masyarakat melalui integrasi TB di upaya kesehatan berbasis
keluarga dan masyarakat.
6) Penguatan Sistem kesehatan
- Sumber Daya Manusia yang memadai dan kompeten.
- Mengelola logistic secara efektif.
- Meningkatkan pembiayaan, advokasi dan regulasi.
- Memperkuat Sistem Informasi Startegis, surveilans proaktif termasuk
kewajiban melaporkan (mandatory notification).
- Jaringan dalam penelitian dan pengembangan inovasi program.
Dari hasil pemodelan terakhir di tahun 2018 (berdasarkan update data pemodelan 2016)
diketahui bahwa prevalensi dalam populasi umum masih rendah. Namun dari hasil
Surveilens Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) pada populasi berisiko tahun 2015
diketahui bahwa prevalensi HIV diatas 5%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
pola epidemi HIV AIDS di Indonesia masih terkonsentrasi pada kelompok-kelompok
tertentu. Data Pemodelan akan diperbaharui pada STBP 2019 dan akan dibukukan pada
tahun 2020. Target dan capaian prevalensi HIV di Indonesia terlihat dalam grafik berikut
ini:
Grafik 3.14
Target dan Capaian Prevalensi HIV Tahun 2019 (%)
Grafik 3.15
Target dan Capaian Prevalensi HIV Tahun 2015-2019 (%)
0,6
0,5 0,5 0,5 0,5 0,5
0,5
0,4
0,3309 0,3306 0,3285 0,3253 0,3210
0,3 Capaian
Target
0,2
0,1
0
2015 2016 2017 2018 2019
Capaian prevalensi pada tahun 2015-2019 menggunakan laporan terbaru di tahun 2016
yaitu masing-masing 0.33%-0.32%. Prevalensi HIV dikalangan populasi berusia 15 tahun
keatas adalah 0,33 pada tahun 2015-2018 dan menurun sedikit menjadi 0,32% pada
tahun 2019. Angka Prevalensi HIV yang tetap tidak menggambarkan dari tahun ke tahun
tidak semata-mata menggambarkan keberhasilan atau kegagalan pengendalian HIV AIDS
di Indonesia. Peningkatan prevalensi HIV menunjukkan bahwa adanya upaya dalam
penemuan kasus HIV dan meningkatkan jumlah orang yang mendapatkan pengobatan
ARV. Prevalensi HIV di Indonesia didapatkan dari 2 pemodelan, pemodelan Tanah Papua
dan Non-Papua. Gambaran epidemiologinya dapat dilihat sebagai berikut:
Gambar 3.4
Peta Prevalensi HIV di Indonesia Tahun 2019
Grafik 3.16
Jumlah Kasus HIV dan Kasus AIDS Tahun 2015 – 2019
(September*)
60.000 Jumlah Kasus
HIV
50.000 48.300 Jumlah Kasus
46.659
AIDS
41.250
40.000 36.244
30.935
30.000
20.000
9.280 10.190
10.000 7.185 7.491
5.322
-
2015 2016 2017 2018 2019*
Sejak HIV pertama kali ditemukan di Indonesia, berbagai upaya telah dilakukan untuk
menemukan orang dengan HIV AIDS (ODHA), memberikan pengobatan dan perawatan
ODHA, dan mencegah penularan kepada orang yang belum terinfeksi. Berbagai kebijakan
terus dikembangkan dan diperbaharui sesuai dengan perkembangan dan komitmen
kebijakan global, tentunya dengan cara mengadaptasi kebijakan dan pedoman
penanggulangan HIV yang sesuai dengan kondisi dan sumber daya di Indonesia. Upaya
pencegahan yang telah dilaksanakan antara lain dengan mengedukasi masyarakat
dengan cara memperbanyak jumlah dan memperluas jangkauan distribusi media KIE baik
cetak maupun elektronik agar meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat
terhadap HIV AIDS. Selain itu terus dilakukan distribusi kondom kepada populasi berisiko
tinggi seperti WPS, LSL, Penasun dan lainnya bekerja sama dengan LSM di seluruh
Indonesia.
Peningkatan jumlah layanan HIV dari tahun ke tahun menunjukkan upaya yang tinggi dari
Kementerian Kesehatan dalam memperluas dan meningkatkan akses pelayanan terhadap
masyarakat yang membutuhkan. Keberhasilan capaian indikator ini didukung karena
adanya pengembangan Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) di beberapa
kabupaten/kota di Indonesia serta penerapan SUFA (Strategic Use of ARV) dan TOP
(Temukan, Obati, dan Pertahankan) dalam upaya pencegahan dan pengobatan dapat
mendukung akselerasi pencegahan dan penanggulan HIV AIDS. Peningkatan sistem
rujukan antar layanan termasuk pengembangan laboratorium pemeriksaan HIV
(termasuk tes CD4 dan viral load). Telah diterbitkan Surat Edaran No.
HK.02.02/1/1654/2018 tentang Penatalaksanaan orang dengan HIV AIDS (ODHA) untuk
eliminasi AIDS tahun 2030, sehingga semua orang dengan HIV-AIDS yang ditemukan,
akan segera diobati dengan ARV tanpa menunggu hasil pemeriksaan CD4.
Pengembangan dan pemeliharaan sistem informasi online untuk pencatatan dan
pelaporan program HIV AIDS juga merupakan suatu upaya penting sehingga keberhasilan
dari kebijakan yang telah dilaksanakan dapat terukur dengan baik. Oleh karena itu fokus
dalam monitoring dan evaluasi bukan hanya pada terlaksananya program tetapi juga
pada berjalannya pencatatan dan pelaporan di setiap jenjang.
Selain itu, untuk mencapai target indikator telah dilakukan upaya antara lain:
1) Peningkatan cakupan tes HIV dan ODHA akses ARV.
2) Meningkatkan kerja sama lintas program dan lintas sektor dalam upaya pencegahan
dan pengendalian penularan HIV.
3) Peningkatan jumlah outlet, distribusi, dan promosi penggunaan kondom.
4) Meningkatkan jumlah Puskesmas yang mampu melakukan inisiasi ART.
5) Peningkatan jumlah layanan Tes HIV dan layanan Infeksi Menular Seksual (IMS).
6) Meningkatkan kualitas layanan Layanan Alat Suntik Steril (LASS) dan Program Terapi
Rumatan Metadon (PTRM).
7) Peningkatan pengetahuan komprehensif melalui media KIE cetak dan elektronik
serta kampanye Aku Bangga Aku Tahu (ABAT) pada remaja.
Gambar 3.5
Media KIE HIV AIDS
8) Pelaksanaan kampanye HAS (Hari AIDS Sedunia) disertai dengan promosi tes HIV
sebagai upaya pencegahan penularan sedini mungkin.
9) Akselerasi peningkatan orang yang melakukan tes HIV antara lain melalui mobile
clinic, serta memaksimalkan tes HIV atas inisiatif petugas kesehatan.
- Akselerasi peningkatan ODHA memakai ARV melalui kebijakan SUFA dengan
memperluas inisiasi dini ART.
- Peningkatan pencatatan dan pelaporan data program baik berbasis manual
maupun elektronik.
- Pelaksanaan kampanye HAS (Hari AIDS Sedunia) disertai dengan promosi tes HIV
sebagai upaya pencegahan penularan sedini mungkin.
Gambar 3.6
Penerimaan Rekor MURI untuk Pembentukan Pita Merah Terbanyak
pada Peringatan Hari AIDS Sedunia (HAS) 2019
Setelah dilakukan penilaian maka tim penilai akan mengajukan rekomendasi hasil
penilaian tersebut di dalam rapat komisi eliminasi malaria, apabila disetujui maka komisi
akan mengusulkan kepada Menteri Kesehatan untuk diberikan sertifikat eliminasi malaria
pada kabupaten tersebut.
Definisi operasional IKU adalah upaya untuk menghentikan penularan malaria setempat
(indigenous) dalam satu wilayah geografis tertentu, dan bukan berarti tidak ada kasus
malaria impor serta sudah tidak ada vektor malaria di wilayah tersebut sehingga tetap
dibutuhkan kegiatan kewaspadaan untuk mencegah penularan kembali. Formula
menghitung IKU ini adalah:
Indikator Kabupaten/kota yang telah mencapai eliminasi malaria pada tahun 2019 yaitu
sebanyak 300 kabupaten/kota dari target yang ditentukan sebesar 300 kab/kota atau
pencapaian kinerja sebesar 100%. Berikut dijelaskan dalam tabel capaian persentasi
kabupaten/kota yang mencapai eliminasi:
Tabel 3.6
Jumlah Kab/Kota dengan Eliminasi Malaria sampai tahun 2019
No Provinsi Jumlah Jumlah Kab/Kota %
Kab/Kota Eliminasi
1 Aceh 23 21 91
2 Sumatera Utara 33 21 64
3 Sumatera Barat 19 17 89
4 Riau 12 10 83
5 Jambi 11 7 64
6 Sumatera Selatan 17 8 47
7 Bengkulu 10 3 30
8 Lampung 15 11 73
9 Bangka Belitung 7 6 86
10 Kepulauan Riau 7 3 43
11 DKI Jakarta 6 6 100
12 Jawa Barat 27 23 85
13 Jawa Tengah 35 33 94
14 DI Yogyakarta 5 4 80
15 Jawa Timur 38 38 100
16 Banten 8 6 75
17 Bali 9 9 100
18 Nusa Tenggara Barat 10 3 30
Tren capaian eliminasi Malaria dapat digambarkan pada grafik diatas dimana terjadi
peningkatan capaian realisasi jumlah kabupaten/kota yang mencapai eliminasi malaria
yakni sebanyak 266 Kab/Kota pada tahun 2017 menjadi 285 Kab/Kota pada tahun 2018
dan 300 kab/kota pada tahun 2019. Peningkatan jumlah Kab/Kota yang mencapai
eliminasi malaria berasal dari 15 Kabupaten/Kota yaitu 2 Kab/Kota di Provinsi NAD, 1
Kab/Kota di Provinsi Sumatera Barat, 2 Kab/kota di Provinsi Jambi, 1 Kab/Kota di Provinsi
Bangka Belitung, 1 Kab/Kota di Provinsi Lampung, 3 Kab/Kota di Provinsi Jawa Tengah, 1
Kab/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah, 1 Kab/Kota di Provinsi Sulawesi Tengah, 1
Kab/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan dan 2 Kab/Kota di Provinsi Sulawesi Barat.
Apabila dibandingkan dengan negara lainnya di Regional South East Asian Regional Office
(SEARO) maka Indonesia menyumbang 8% dari kasus malaria vivax di wilayah SEARO
dimana penyumbang kasus terbanyak adalah India (48%) dan Pakistan (10%), seperti
terlihat dalam diagram dibawah ini, oleh karena itu Indonesia berkomitmen mencapai
eliminasi malaria pada tahun 2030.
Grafik 3.18
Proporsi Kasus Malaria Vivax di wilayah SEARO
Untuk mencapai target eliminasi malaria maka diperlukan indikator komposit untuk
mendukung tercapainya cakupan yaitu persentase pemeriksaan sediaan darah dan
persentase pengobatan standar. Persentase pemeriksaan sediaan darah adalah
persentasi suspek malaria yang dilakukan konfirmasi laboratorium baik menggunakan
mikroskop maupun Rapid Diagnostik Test (RDT) dari semua suspek yang ditemukan.
Target yang diharapkan adalah diatas 95% dan capaian tahun 2019 data per 9 Januari
2019) adalah sebesar 97% dengan jumlah suspek sebanyak 1,256,040 orang dan jumlah
pemeriksaan sediaan darah dikonfirmasi laboratorium sebanyak 1,212,909 orang.
Grafik 3.19
Persentase Pemeriksaan Sediaan Darah
Persentasi pasien malaria positif yang diobati sesuai standar ACT (Artemisinin based
Combination Therapy) adalah proporsi pasien malaria yang diobati sesuai standar tata
laksana malaria dengan menggunakan ACT. Artemisinin based Combination Therapy
(ACT) saat ini merupakan obat yang paling efektif untuk membunuh parasit malaria.
Pemberian ACT harus berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium. Target capaian
pengobatan ACT yaitu sebesar 90% dan capaian pada tahun 2019 yaitu sebesar 91 %
dengan jumlah positif malaria sebanyak 212.626 orang dan jumlah pengobatan standar
ACT sebesar 190.366 orang. (kelengkapan data per 9 Januari 2019).
Grafik 3.20
Persentasi Malaria Positif diobati sesuai standar
Selain menjadi indikator RAP Ditjen P2P, indikator jumlah Kab/Kota dengan
eliminasi malaria juga merupakan indikator RPJMN dan Renstra Kementerian
Kesehatan sehingga pembandingan dengan indikator RPJMN dan Renstra tidak
diperlukan lagi.
Jumlah kabupaten/kota yang mencapai eliminasi malaria pada tahun 2019 sebanyak 300
kabupaten/kota, telah mencapai target indikator Renstra sebanyak 300 Kabupaten/kota.
Beberapa hal yang mempengaruhi keberhasilan tersebut antara lain:
1) Penemuan kasus malaria melalui kegiatan surveilans migrasi
Kegiatan surveilans migrasi dilaksanakan sebagai strategi penanggulangan malaria di
daerah endemis rendah yang masih memiliki daerah reseptif (daerah yang masih ada
vektor malaria dan memungkinkan adanya vektor malaria) untuk mencegah
terjadinya penularan malaria, mobilisasi penduduk yang tinggi merupakan salah satu
ancaman penularan malaria disuatu daerah, pencegahan penularan dengan
melakukan pemeriksaan sediaan darah malaria pada pendatang dari daerah endemis
malaria dilakukan dalam surveilans migrasi, kegiatan tersebut biasanya dilaksanakan
oleh JMD (Juru Malaria Desa).
2) Penyelidikan epidemiologi setiap kasus malaria
Daerah yang telah mencapai endemis rendah harus melakukan penyelidikan
epidemiologi terhadap kasus malaria, laporan mingguan SKDR (Sistem Kewaspadaan
Dini dan Respon KLB) melaporkan kasus malaria setiap minggu yang ditindaklanjuti
dengan penyelidikan epidemiologi untuk setiap kasus, kegiataan tersebut bertujuan
untuk menentukan asal penularan sehingga dapat melakukan upaya pencegahan
yang sesuai.
3) Skrining Malaria pada Ibu Hamil
Kegiatan skrining ibu hamil dilakukan di Kabupaten/Kota endemis sedang dan
endemis rendah malaria yang masih memiliki desa atau puskesmas endemis tinggi
dan sedang malaria. Ibu hamil merupakan salah satu populasi berisiko apabila
tertular malaria, kegiatan ini bertujuan untuk mengurangi risiko penularan pada ibu
hamil.
Selain itu, beberapa upaya yang telah dilakukan untuk mencapai indikator tersebut,
antara lain:
1. Diagnostik Malaria
Kebijakan pengendalian malaria terkini dalam rangka mendukung eliminasi malaria
adalah bahwa diagnosis malaria harus terkonfirmasi melalui pemeriksaan
laboratorium baik dengan mikroskop ataupun Rapid Diagnostic Test (RDT).
Penegakkan diagnosa tersebut harus berkualitas dan bermutu sehingga dapat
meningkatkan kepercayaan masyarakat dan memberikan data yang tepat dan
akurat. Berbagai kegiatan dalam rangka meningkatkan mutu diagnosis terus
dilakukan. Kualitas pemeriksaan sediaan darah dipantau melalui mekanisme uji
silang di tingkat kab/kota, provinsi dan pusat. Kualitas pelayanan laboratorium
malaria sangat diperlukan dalam menegakan diagnosis dan sangat tergantung pada
kompetensi dan kinerja petugas laboratorium di setiap jenjang fasilitas pelayanan
kesehatan. Penguatan laboratorium pemeriksaan malaria yang berkualitas dilakukan
melalui pengembangan jejaring dan pemantapan mutu laboratorium pemeriksa
malaria mulai dari tingkat pelayanan seperti laboratorium Puskesmas, Rumah Sakit
serta laboratorium kesehatan swasta sampai ke laboratorium rujukan uji silang di
3. Surveilans Malaria
Surveilans merupakan kegiatan penting dalam upaya eliminasi, karena salah satu
syarat eliminasi adalah pelaksanaan surveilans yang baik dimana surveilans
diperlukan untuk mengidentifikasi daerah atau kelompok populasi yang berisiko
malaria serta melakukan perencanaan sumber daya yang diperlukan untuk
melakukan kegiatan pengendalian malaria. Kegiatan surveilans malaria dilaksanakan
sesuai dengan tingkat endemisitas. Daerah yang telah masuk pada tahap eliminasi
dan pemeliharaan harus melakukan penyelidikan epidemiologi terhadap setiap kasus
positif malaria sebagai upaya kewaspadaan dini kejadian luar biasa malaria dengan
melakukan pencegahan terjadinya penularan. Pada tahun 2019, telah dilakukan
kegiatan dalam mendukung kegiatan surveilans, sistem informasi dan monitoring
dan evaluasi malaria:
- Pertemuan Validasi Data Program Malaria Tahun 2018 dan Evaluasi Sismal Versi
2.
- Pertemuan Evaluasi Tahun 2018 dan Perencanaan Tahun 2019 Program Malaria
Tingkat Nasional.
- Pertemuan Monitoring dan Evaluasi Percepatan Eliminasi Malaria di Wilayah
Jawa.
Gambar 3.7
Pertemuan Penyusunan Rencana Aksi Malaria Tahun 2020-2024
kegiatan tersebut, pembagian kelambu juga dilakukan pada daerah yang terkena
bencana.
5. Promosi, advokasi dan kemitraan dalam upaya pengendalian malaria
Sosialisasi pentingnya upaya pengendalian malaria merupakan hal yang penting
dengan sasaran meliputi pengambil kebijkan, pelaksana teknis dan masyarakat luas.
Komunikasi, Informasi dan edukasi (KIE) kepada masyarakat luas dilakukan dengan
membuat Iklan Layanan Masyarakat (ILM) mengenai Malaria. Beberapa kegiatan
selama tahun 2019 dalam mendukung promosi, advokasi dan kemitraan dalam
upaya pengendalian malaria antara lain pertemuan reorientasi eliminasi malaria
wilayah pembebasan, peringatan Hari Malaria Sedunia dan pertemuan reviu Forum
Nasional Gebrak Malaria (FNGM) Komisi Ahli Malaria.
Jumlah Provinsi dengan eliminasi kusta adalah jumlah provinsi yang mempunyai angka
prevalensi kurang dari 1 kasus per 10.000 penduduk pada tahun tertentu. Indikator ini
dihitung dari akumulasi jumlah Provinsi yang telah mencapai eliminasi kusta (angka
prevalensi <1/10.000 penduduk) pada tahun tertentu. Sedangkan rumus menghitung
angka prevalensi adalah sebagai berikut:
Pembilang (nominator) adalah jumlah kasus terdaftar pada suatu provinsi di akhir tahun,
sedangkan penyebut (denominator) adalah jumlah penduduk pada tahun tersebut.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 66
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019
WHO telah menerbitkan strategi global terbaru dalam “The Global Leprosy Strategy
2016-2020, Accelerating towards a Leprosy-Free World” yang memuat visi, misi, target
dan komponen dari strategi global tersebut untuk dapat diadopsi oleh negara-negara di
dunia. Laporan WHO dalam Weekly Epidemiological Record Tahun 2019 menyatakan
bahwa hingga tahun 2018 Indonesia masih menempati peringkat ketiga penyumbang
kasus kusta baru terbanyak di dunia setelah India dan Cina, dengan jumlah kasus baru
mencapai 17.017 kasus (8,2% kasus dunia). Dari total 159 negara yang melaporkan situasi
kusta, tercatat sebanyak 208.619 kasus baru (NCDR = 2,74 per 100.000 penduduk).
Secara global, jumlah kasus baru yang ditemukan mengalami penurunan sebesar 15%
pada 10 tahun terakhir. Di Indonesia, indikator provinsi dengan eliminasi kusta dengan
target 34 provinsi mencapai eliminasi pada akhir tahun 2019, hanya tercapai 26 Provinsi
sehingga capaian kinerja sebesar 76,5%.
Grafik 3.21
Target dan Capaian Jumlah Provinsi dengan eliminasi kusta
Tahun 2014-2019
Bila dibandingkan capaian indikator pada periode tahun 2015-2019, target tahun 2015-
2016 telah tercapai tetapi target tahun 2017-2019 tidak tercapai, meskipun demikian
terjadi peningkatan capaian jumlah provinsi dengan eliminasi kusta dari 25 Provinsi pada
tahun 2018 menjadi 26 Provinsi pada tahun 2019, dengan penambahan provinsi Sulawesi
Tenggara yang mencapai eliminasi kusta. Hal tersebut terjadi karena adanya peningkatan
kasus baru kusta akibat masifnya penemuan kasus dimasyarakat. Pemerintah dan Lintas
Sektor sangat berperan khususnya dalam pengalokasian sumber daya.
Gambar 3.8
Peta Eliminasi Kusta Tingkat Provinsi di Indonesia
Tahun 2017 – 2019
Dari peta diatas terlihat bahwa ada penambahan pencapaian status eliminasi tingkat
provinsi tahun 2019 dibanding dengan pencapaian tahun 2018 dan masih terdapat 8
Provinsi yang belum mencapai eliminasi yakni Provinsi Sulawesi Utara, Gorontalo,
Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat. Untuk
melihat gambaran terhadap perkembangan pencapaian IKU digunakan indikator proporsi
penemuan kasus kusta baru tanpa cacat. Pencapaian indikator penemuan kasus kusta
baru tanpa cacat memiliki kecenderungan peningkatan dari tahun ke tahun yakni
tercapai 78,1% pada tahun 2015 menjadi 85,9% pada triwulan III tahun 2019. Tingginya
proporsi cakupan penemuan kasus baru tanpa cacat mengindikasikan adanya
peningkatan kegiatan penemuan kasus secara dini. Dengan ditemukan secara dini,
penderita kusta dapat segera mendapatkan pengobatan secara tepat dan mata rantai
penularan dapat terputus. Hal tersebut dapat mempengaruhi pencapaian status eliminasi
di tingkat provinsi maupun kabupaten.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 68
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019
Grafik 3.22
Proporsi Penemuan Kasus Kusta Baru Tanpa Cacat
Tahun 2014 – 2019
Sumber data : Laporan rutin Subdit PTML Tahun 2019, data triwulan III
Pada akhir tahun 2018, sebanyak 184.212 kasus terdaftar masih dalam pengobatan
(prevalence rate = 0,24 per 10.000 penduduk). Sebanyak 11.323 kasus baru dengan cacat
tingkat 2 ditemukan (90,2%). Penurunan persentase kasus baru dengan cacat tingkat 2
terlihat di seluruh wilayah di dunia yang mengindikasikan peningkatan kegiatan deteksi
dini kasus. Strategi global terbaru menetapkan target 0 kasus anak dengan cacat tingkat 2
pada tahun 2020 sebagai indikator adanya transmisi penularan di masyarakat. Sebanyak
16.013 kasus baru anak ditemukan di seluruh dunia, 350 kasus di antaranya merupakan
kasus anak dengan cacat tingkat 2.
Status eliminasi kusta adalah status yang dinamis dan dipengaruhi oleh berbagai hal. Hal
utama adalah masih adanya kasus tersembunyi di masyarakat yang kemudian ditemukan
dan menjadi kasus terdaftar dalam pengobatan. Untuk dapat memutuskan transmisi
kasus di masyakat, seluruh sumber transmisi harus dapat ditemukan sedini mungkin dan
mendapatkan pengobatan secara tepat. Dengan demikian, angka penemuan kasus baru
dapat ditekan serendah mungkin pada beberapa waktu ke depan. Pemerintah Indonesia
memberikan perhatian yang lebih besar terhadap beberapa Penyakit Tropis Terabaikan
dalam beberapa tahun terakhir, terutama dengan penetapan program Pencegahan dan
Pengendalian Kusta (P2 Kusta) sebagai salah satu program prioritas nasional (Pro PN)
pada tahun 2017. Penjabaran komitmen tersebut berupa pengalokasian dana pusat dan
dekonsentrasi untuk kegiatan advokasi penguatan komitmen pemerintah daerah,
sosialisasi ke masyarakat umum, pelatihan petugas, kampanye penurunan stigma hingga
intensifikasi penemuan kasus kusta yang dilakukan secara aktif dan berkelanjutan dalam
beberapa tahun terakhir. Upaya-upaya tersebut berpengaruh pada peningkatan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 69
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019
Pada daerah-daerah yang memiliki banyak lokus kusta, sumber penularan diharapkan
dapat ditemukan sebanyak-banyaknya. Kasus baru akan meningkat secara signifikan
hingga akhirnya mencapai puncak dan mengalami penurunan yang konsisten karena
pelaksanaan surveilans yang komprehensif dan berkesinambungan. Tingginya angka
prevalensi dipengaruhi oleh jumlah kasus yang masih terdaftar menerima pengobatan di
akhir tahun. Pasien kusta seharusnya menghabiskan waktu 6-12 bulan untuk menjalani
pengobatan kusta sesuai dengan tipe kusta yang diderita. Semakin banyak pasien tidak
menyelesaikan pengobatan secara tepat waktu, semakin banyak penderita terdaftar
pada akhir tahun Penyebab keterlambatan ini antara lain masih adanya stigma yang
menyebabkan pasien enggan mengambil obat secara rutin, kesulitan akses menuju
fasyankes, kondisi penyakit memburuk akibat penyakit akibat reaksi kusta dan lainnya.
Keterlambatan dalam penyelesaian pengobatan mengakibatkan tingginya prevalensi
yang mengarah pada tidak tercapainya status eliminasi.
Untuk mencapai indikator tersebut telah dilakukan beberapa upaya antara lain:
1) Sebagian besar anggaran program P2 Kusta dialihkan menjadi dana dekonsentrasi
bagi 34 provinsi. Adapun bentuk kegiatan yang dilakukan adalah advokasi dan
sosialisasi bagi LP/LS, pelatihan singkat bagi petugas, pelaksanaan intensifikasi
penemuan kasus kusta dan frambusia di kabupaten/kota endemis, survei desa,
pertemuan monitoring evaluasi dan validasi kohort tingkat provinsi, peningkatan
kapasitas petugas, dokter puskesmas dan petugas laboratorium.
2) Pelatihan Nasional Pemegang Program P2 Kusta dan Frambusia terakreditasi yang
diselenggarakan sebanyak 5 batch, dilakukan terutama untuk mengatasi
permasalahan tingginya mutasi pengelola program kusta dan frambusia di tingkat
provinsi dan kabupaten/kota.
3) Penerbitan Permenkes No. 11 Tahun 2019 tentang Penanggulangan Kusta sebagai
dasar hukum dan pedoman pelaksanaan program pencegahan dan penanggulangan
kusta di Indonesia, termasuk payung hukum pelaksanaan kegiatan inovasi
kemoprofilaksis.
4) Penerbitan Kepmenkes RI No. HK.01.07/MENKES/308/2019 tentang Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Kusta yang memuat tentang petunjuk
manajemen kasus kusta bagi dokter dan dokter spesialis di UKP dan standardisasi
nasional tatalaksana kasus kusta.
5) Intensifikasi Penemuan Kasus Kusta dan Frambusia (Intensified Case Finding/ICF).
Kegiatan terdiri dari pelaksanaan kegiatan oleh kabupaten/kota endemis kusta pada
daerah Papua dan Non Papua dengan menggunakan dana dekonsentrasi dan
pendampingan pelaksanaan oleh tim pusat menggunakan dana APBN. Pelaksanaan
penemuan kasus difokuskan pada daerah lokus kusta dengan tujuan untuk
meningkatkan penemuan kasus kusta secara dini.
Gambar 3.9
Intensifikasi Penemuan Kasus Kusta dan Frambusia
di Kabupaten Paniai, Provinsi Papua
13) Mengembangkan kegiatan inovasi berupa pelatihan jarak jauh (e-learning), pilot
pengembangan kemoprofilaksis plus pemeriksaan serologi, dan pengembangan skin-
apps.
Pada tahun 2019 dari target jumlah kabupaten/kota dengan eliminasi filariasis sebanyak
35 kabupaten/kota, telah berhasil tercapai sebanyak 56 kabupaten/kota atau dengan
pencapaian kinerja sebesar 160% seperti yang terlihat dalam grafik dibawah ini.
Grafik 3.23
Jumlah Kabupaten/kota dengan Eliminasi Filariasis
Tahun 2015-2019
Pada grafik di atas, terjadi peningkatan jumlah kabupaten/kota dengan eliminasi filariasis
dari tahun 2015-2019. Hal ini menunjukkan semakin meningkatnya komitmen
kabupaten/kota dalam melaksanakan program pengendalian Filariasis melalui Pemberian
Obat Pencegahan Massal Filariasis selama minimal 5 tahun berturut-turut sehingga angka
target jumlah kabupaten/kota dengan eliminasi filariasis dapat tercapai. Dalam
pengendalian Filariasis, sebelum suatu kabupaten/kota dinilai dapat mencapai eliminasi
filariasis, kabupaten/kota tersebut harus melaksanakan Pemberian Obat Pencegahan
Massal (POPM) Filariasis pada seluruh penduduk sasaran di kabupaten/kota tersebut usia
2-70 tahun selama minimal 5 tahun berturut-turut dengan cakupan pengobatan minimal
65% dari total jumlah penduduk. Kemudian dilaksanakan survei evaluasi penularan
filariasis untuk menilai apakah masih terjadi penularan pada daerah tersebut. jika hasil
survei menunjukkan tidak terjadi penularan maka POPM Filariasis tetap dihentikan dan
dilakukan survey ulang penularan filariasis kembali setelah 2 (dua) tahun berikutnya.
Keberhasilan penurunan angka mikrofilaria sangat bergantung pada partisipasi
masyarakat untuk minum obat filariasis. Jika dibandingkan capaian jumlah Kab/Kota
dengan eliminasi filariasis diantara jumlah Kab/Kota yang endemis filariasis, capaian
Indonesia sebesar 23,7% dengan capaian tertinggi pada Provinsi Banten (100%) dan
masih ada 10 Provinsi dengan capaian 0%. Pada tabel dibawah ini terlihat, ada 28 Provinsi
yang memiliki Kab/Kota dengan endemis filariasis sedangkan 6 Provinsi lainnya
merupakan daerah non endemis filariasis yaitu DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Timur,
Bali, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Utara. Beberapa Provinsi yang memiliki
Kabupaten/Kota endemis filariasis dengan capaian 0% atau dibawah 100% berarti
Kab/Kota tersebut masih melaksanakan POPM Filariasis atau sudah masuk tahap
surveilans tetapi belum lulus Transmission Assessment Survey (TAS) 2. Disparitas capaian
pada setiap Provinsi terjadi karena beberapa Kab/Kota telah memulai pelaksanaan POPM
filariasis lebih awal dan telah lulus evaluasi. Secara lengkap terlihat pada tabel sebagai
berikut:
Tabel 3.7
Kabupaten/Kota dengan Eliminasi Filariasis
Tahun 2019
Jumlah Kab/Kota Jumlah Kab/Kota
No Provinsi % Capaian
Endemis Filariasis Eliminasi Filariasis
1 Aceh 12 2 16.7%
2 Sumatera Utara 9 5 55.6%
3 Sumatera Barat 10 6 60.0%
4 Riau 10 5 50.0%
5 Jambi 5 1 20.0%
6 Sumatera Selatan 9 0 0.0%
7 Bengkulu 5 0 0.0%
8 Lampung 1 0 0.0%
9 Kep. Bangka Belitung 7 5 71.4%
10 Kep. Riau 3 0 0.0%
11 Jawa Barat 11 6 54.5%
12 Jawa Tengah 9 0 0.0%
13 Banten 5 5 100.0%
14 Nusa Tenggara Timur 18 2 11.1%
15 Kalimantan Barat 9 0 0.0%
16 Kalimantan Tengah 11 3 27.3%
17 Kalimantan Selatan 8 1 12.5%
18 Kalimantan Timur 6 0 0.0%
19 Kalimantan Utara 4 0 0.0%
20 Sulawesi Tengah 9 2 22.2%
21 Sulawesi Selatan 4 2 50.0%
22 Sulawesi Tenggara 12 3 25.0%
23 Gorontalo 6 4 66.7%
24 Sulawesi Barat 4 1 25.0%
25 Maluku 8 0 0.0%
26 Maluku Utara 6 1 16.7%
27 Papua 23 2 8.7%
28 Papua Barat 12 0 0.0%
INDONESIA 236 56 23.7%
Sumber data : Laporan Subdit Filariasis dan Kecacingan Tahun 2019
2. Advokasi dan sosialisasi Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Filariasis secara
intensif.
Sosialisasi POPM Filariasis secara aktif dan intensif dilaksanakan kepada Lintas Sektor
dan Lintas Program terkait serta seluruh lapisan masyarakat untuk meningkatkan
cakupan dalam minum obat pencegahan Filariasis. Penyebarluasan informasi kepada
masyarakat dilaksanakan melalui media cetak (leaflet, spanduk, banner) maupun
media elekronik (Iklan Layanan Masyarakat) baik di radio maupun televisi.
Dalam pelaksanaan POPM Filariasis ditemukan kendala dan permasalahan antara lain:
1) Kurangnya partisipasi masyarakat dalam minum obat sehingga cakupan POPM
Filariasis masih dibawah target (< 65%).
2) Kondisi geografis beberapa wilayah di Indonesia yang sulit terjangkau, sementara
kegiatan POPM Filariasis dilaksanakan untuk seluruh penduduk usia 2 – 70 tahun di
kabupaten/kota endemis filariasis, dimana beberapa daerah tersebut merupakan
daerah terpencil dan kepulauan yang sulit aksesnya, sehingga pelaksanaan POPM
Filariasis di daerah tersebut sulit menjangkau seluruh sasaran, terutama di desa -
desa terpencil.
3) Adanya kejadian ikutan pasca POPM yang terjadi di masyarakat dapat menurunkan
angka partisipasi minum obat pada waktu POPM Filariasis.
4) Kegagalan dalam surveilans filariasis mengakibatkan kabupaten/kota tersebut harus
mengulang kembali POPM Filariasis selama 2 tahun sehingga mengakibatkan
mundurnya target eliminasi filariasis.
Untuk mengatasi kendala dan permasalahan tersebut telah dilakukan upaya pemecahan
masalah:
1) Advokasi dan Sosialisasi kepada Lintas Program, Lintas Sektor dan masyarakat
pentingnya cakupan POPM Filariasis >65% untuk dapat memutuskan rantai
penularan Filariasis. Serta pelaksanaan sweeping setelah pelaksanaan POPM filariasis
2) Melakukan edukasi dan penyampaian informasi kepada masyarakat umum melalui
berbagai media yang efektif dengan menggunakan pendekatan kearifan lokal
3) Advokasi kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan komitmen dalam
menjangkau daerah-daerah sulit dalam pelaksanaan POPM Filariasis, serta
mengoptimalkan mobilisasi tenaga kesehatan yang ada untuk menjangkau daerah-
daerah sulit dan terpencil.
4) Konsolidasi dan Penguatan jejaring Komisi Ahli penanggulangan kejadian ikutan
pasca POPM Filariasis baik di tingkat Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota untuk
mengantisipasi kejadian ikutan yang terjadi selama pelaksanaan POPM Filariasis.
5) Advokasi kepada daerah-daerah yang gagal dalam melaksanakan surveilans filariasis
agar dapat meningkatkan cakupan POPM filariasis dan memastikan masyarakat
benar-benar minum obat dalam rangka memutus rantai penularan filariasis.
f. Penurunan kasus Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) tertentu
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) merupakan salah satu perhatian
dunia dan memiliki target capaian global yang wajib diikuti oleh semua negara.
Pencegahan PD3I secara khusus adalah dengan pemberian imunisasi dimana imunisasi
merupakan salah satu intervensi kesehatan masyarakat yang terbukti sangat cost efektif.
Imunisasi yang merupakan program prioritas nasional saat ini adalah imunisasi untuk
mencegah PD3I tertentu yaitu Tuberculosis, Hepatitis B, Polio, Difteri, Pertusis, Tetanus,
Hemophilus Influenza Type B, Campak, dan Rubela, yang beberapa diantaranya sering
menyebabkan kejadian luar biasa (KLB) di beberapa daerah. Diperlukan suatu surveilans
berkualitas berupa pengamatan yang sistematis dan terus menerus terhadap data dan
informasi serta kondisi yang mempengaruhi PD3I, untuk mengukur beban penyakit,
mendeteksi wabah dan mengevaluasi dampak imunisasi untuk PD3I sehingga dapat
mengarahkan tindakan pengendalian dan penanggulangan PD3I secara efektif dan
efisien. Komitmen global PD3I yang diikuti oleh semua negara dunia termasuk Indonesia
yaitu Eradikasi Polio (ERAPO), Eliminasi Campak dan Pengendalian Rubela/Congenital
Rubella Syndrome (CRS) serta Eliminasi Tetanus Maternal Neonatal.
Pada pertemuan tahunan bulan Mei 1988, The World Health Assembly (WHA), suatu
forum sidang tertinggi yang diselenggarakan oleh organisasi kesehatan dunia WHO, telah
mengeluarkan resolusi untuk membasmi penyakit polio dari dunia ini. Pada tanggal 27
Maret 2014 Regio Asia Tenggara telah tersertifikasi bebas poliomyelitis dimana Indonesia
termasuk salah satu negara yang menerima sertifikat tersebut. Namun pada bulan
November 2018, dilaporkan satu kasus polio akibat VDPV tipe 1 di Yahukimo, Papua.
Penyelidikan yang dilakukan selanjutnya menemukan bahwa dua specimen tinja dari
anak sehat di sekitar kasus juga positif untuk jenis virus yang sama, yang membuktikan
bahwa virus tersebut bersirkulasi sehingga kondisi ini dinyatakan sebagai KLB. Sebagai
respon, dilakukan sub PIN di Papua dan Papua Barat dengan menggunakan bOPV. KLB
polio akibat VDPV bisa terjadi di mana saja bila cakupan imunisasi polio rendah selama
bertahun-tahun. Untuk menghindari kasus serupa, imunisasi polio harus dijaga tetap
tinggi (lebih dari 95% anak diimunisasi) dan merata, dan semua kasus lumpuh layuh
mendadak (AFP) harus ditemukan secara dini dan dilaporkan.
Selain eradikasi polio, komitmen global lain yang harus diikuti oleh semua negara dunia,
termasuk Indonesia, yaitu eliminasi campak dan pengendalian rubela/CRS pada tahun
2020. Pemerintah Indonesia telah menetapkan beberapa strategi untuk mencapai
komitmen global tersebut, yaitu penguatan imunisasi rutin campak dosis pertama dan
dosis kedua secara tinggi (≥95%) dan merata, melakukan kampanye dan introduksi
imunisasi MR secara bertahap pada tahun 2017-2018, meningkatkan surveilans campak
yang berkualitas, melakukan penyelidikan epidemiologi KLB campak secara menyeluruh,
mengembangkan surveilans CRS sentinel di 18 RS di 15 provinsi, serta melakukan
konfirmasi laboratorium campak 100% secara bertahap terhadap kasus campak klinis.
Komitmen global lainnya Eliminasi Tetanus Maternal Neonatal, dimana pada tahun 2016
Indonesia telah divalidasi oleh Tim WHO dan Unicef dan dinyatakan sudah Eliminasi
Tetanus Maternal Neonatal. Walaupun telah menerima sertifikat tersebut, Indonesia
Penurunan kasus penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) tertentu adalah
penurunan kasus PD3I tertentu di seluruh provinsi dalam satu tahun dari baseline data
tahun 2013, dinyatakan dalam persen. Yang dimaksud dengan PD3I tertentu yaitu Difteri,
Campak Klinis, Tetanus Neonatorum dan Pertusis. Adapun formula untuk menghitung
indikator ini adalah:
Pada tahun 2019 tercatat jumlah kasus PD3I tertentu yakni difteri, campak, TN dan
pertusis sebesar 10.572 kasus. Terjadi penurunan sebesar 7.905 kasus (42,8%) pada
tahun 2019 dibandingkan angka kasus tahun 2013. Pada grafik dibawah ini terlihat bahwa
selama tahun 2015 – 2019 maka capaian kinerja telah melebihi target yang ditetapkan.
Grafik 3.24
Persentase Penurunan Kasus Penyakit yang Dapat Dicegah
dengan Imunisasi (PD3I) Tahun 2015-2019
Pencapaian kinerja yang baik ini antara lain didukung dengan adanya penguatan
imunisasi rutin dengan cakupan tinggi dan merata, melakukan penguatan jejaring kerja
surveilans PD3I dengan klinisi dan laboratorium dengan workshop maupun pertemuan
untuk membahas perkembangan terkini PD3I, peningkatan kapasitas petugas surveilans
PD3I dan evaluasi pelaksanaan program surveilans PD3I di daerah dengan melakukan
monitoring, pertemuan evaluasi nasional dan melakukan feedback kinerja ke provinsi.
Bila dilihat pada jumlah kasus PD3I per jenis penyakit, maka sebagian besar jenis penyakit
PD3I mengalami penurunan dibandingkan dengan data kasus tahun 2013 seperti dalam
grafik berikut ini:
Grafik 3.25
Perbandingan Kasus PD3I tertentu Tahun 2013 dan Tahun 2019
Pada grafik diatas, semua kasus PD3I menunjukkan penurunan antara tahun 2013 dan
2019. Penurunan kasus tertinggi pada Pertusis dari 4681 kasus pada tahun 2013 menjadi
71 kasus pada tahun 2019, dengan penurunan sebanyak 4610 kasus. Meskipun demikian
bila dilihat sebaran kasus per Provinsi, terdapat peningkatan kasus PD3I pada beberapa
Provinsi yakni Provinsi Lampung, meningkat 130% kasus PD3I yakni 245 kasus pada tahun
2013 meningkat menjadi 375 kasus pada tahun 2019. Di Provinsi Jawa Barat terjadi
peningkatan kasus sebesar 264% yakni 106 kasus pada tahun 2013 menjadi 370 kasus
pada tahun 2019. Di Provinsi Jawa Tengah, terjadi peningkatan kasus PD3I sebesar 585%
yakni 208 kasus pada tahun 2013 menjadi 793 kasus pada tahun 2019. Di Provinsi
Kalimantan terjadi peningkatan kasus sebesar 428% yakni 136 kasus pada tahun 2013,
meningkat menjadi 564 kasus. Hal ini terjadi karena adanya Kejadian Luar Biasa (KLB)
kasus difteri dan peningkatan kasus campak pada Provinsi Lampung, Jawa Barat dan
Kalimantan Selatan dan KLB campak dan difteri pada Provinsi Jawa Barat pada tahun
tahun 2019.
Capaian indikator persentase penurunan kasus PD3I pada tahun 2019 melebihi target
yang ditetapkan antara lain didukung oleh upaya penguatan imunisasi, terjalinnya
koordinasi yang baik antara petugas pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam pelaporan
PD3I, adanya metode crosscheck data bulanan untuk data PD3I dan mingguan untuk SKD,
adanya Komli untuk Eradikasi Polio, Eliminasi Campak-Rubella dan pengendalian Difteri,
dilakukannya kegiatan advokasi dan sosialisasi ke daerah bekerjasama dengan komite
ahli PD3I, adanya dukungan BBLK, BLK dan B/BTKLPP serta Badan Litbangkes dalam
penegakan diagnosa penyakit, pelaksanaan pertemuan koordinasi dan workshop untuk
penyakit potensi KLB dan PD3I, pencetakan dan pendistribusian NSPK serta media KIE ke
daerah dan adanya dukungan technical assistant dari WHO dan CDC dalam pengendalian
penyakit potensi KLB, penguatan SKDR dan surveilans PD3I.
Dalam melakukan upaya untuk mencapai target ditemukan kendala dan permasalahan
yang dihadapi:
1) Pengelola program surveilans di beberapa kabupaten/kota masih rangkap tugas
dengan program lain;
2) Kondisi geografis di beberapa daerah sulit di jangkau sehingga petugas mengalami
kesulitan saat melakukan imunisasi dan penyelidikan epidemiologi (PE) saat terjadi
KLB;
3) Terdapatnya kampanye egative imunisasi di beberapa daerah;
4) Penggantian petugas yang tinggi sehingga banyak petugas yang belum terlatih;
5) Belum adanya struktur dan penunjukan yang jelas laboratorium yang berfungsi
sebagai laboratorium kesehatan masyarakat;
6) Keterlambatan penyediaan dan pendistribusian reagen campak-rubella oleh
Farmalkes sehingga laboratorium rujukan saat ini belum dapat menyelesaikan
pemeriksaan spesimen dari daerah.
11) Koordinasi lintas program dan lintas sektor dalam pengendalian penyakit potensi KLB
dan PD3I;
12) Penyiapan tenaga epidemiologi melalui Jabatan Fungsional Epidkes dan FETP.
International Health Regulations (IHR, 2005) yang diberlakukan tahun 2007 merupakan
Regulasi Kesehatan Internasional yang disetujui oleh 194 negara anggota WHO dalam
sidang World Health Assembly (WHA) ke-58 sebagai bentuk komitmen, tanggung jawab
dan upaya bersama dalam mencegah penyebaran penyakit lintas negara. IHR (2005)
bertujuan mencegah, melindungi dan mengendalikan penyebaran penyakit lintas negara
dengan melakukan tindakan sesuai dengan risiko kesehatan yang dihadapi tanpa
menimbulkan gangguan yang berarti bagi lalu lintas dan perdagangan internasional.
Dalam regulasi internasional ini setiap negara berkewajiban untuk meningkatkan
kapasitas inti untuk mencapai tujuan IHR (2005).
Wilayah kabupaten/kota sebagai bagian dari negara harus mempunyai kapasitas dalam
surveilans, deteksi dini dan respon sebagai jaminan kapasitas suatu negara dalam
kesiapsiagaan menghadapi kedaruratan kesehatan masyarakat (KKM). Kesiapsiagaan
tersebut dituangkan dalam bentuk dokumen kebijakan yang merupakan kesepakatan
bersama seluruh lintas sektor yang ada di suatu wilayah dalam penanggulangan KKM
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 84
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019
Definisi operasional IKU ini adalah Kab/kota yang memiliki pintu masuk internasional
dalam hal ini pelabuhan, bandar udara dan PLBDN melakukan kesiapsiagaan terhadap
potensi kedaruratan kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh penyakit, bahan kimia,
radio nuklir dan keamanan pangan. Upaya kesiapsiagaan tersebut termasuk menyusun
dokumen kebijakan bersama lintas program dan lintas sektor terkait untuk
penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah. Untuk
menghitung indikator ini digunakan formulasi sebagai berikut:
Pada tahun 2019, persentase kabupaten/kota dengan pintu masuk internasional yang
memiliki dokumen rencana kontinjensi penanggulangan Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat (KKM) telah mencapai 106 Kab/Kota dari target 106 Kab/Kota sehingga
pencapaian sebesar 100%. Terjadi peningkatan bila dibandingkan dengan capaian tahun
2018 yakni dari 84% menjadi 100% seperti dalam tabel berikut ini:
Grafik 3.26
Target dan Capaian Kab/Kota Yang Mempunyai Kebijakan
Kesiapsiagaan Dalam Penanggulangan KKM Tahun 2015-2019
Bila melihat tren capaian Kab/Kota yang mempunyai kebijakan kesiapsiagaan dalam
penanggulangan KKM telah tercapai selama 5 tahun berturut-turut maka capaian 4 tahun
terakhir telah mencapai target. Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan
pencapaian target indikator antara lain:
- Persiapan pelaksanaan kegiatan dengan melakukan komunikasi dan koordinasi baik
verbal maupun surat kepada propinsi/kabupaten/kota sasaran penyusunan
dokumen.
- Pelaksanaan sosialisasi dan advokasi dengan melibatkan Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) dan lintas sektor.
- Pelaksanaan workshop dan penyusunan dokumen rencana kontinjensi di
kabupaten/kota dengan anggaran bersumber dari pusat dan dana dekonsentrasi.
- Adanya rambu petunjuk perencanaan sehingga Dinas Kesehatan Provinsi dapat
menyusun anggaran kegiatan terkait kebijakan kesiapsiagaan penanggulangan KKM
di wilayah.
- Pelaksanaan pertemuan koordinasi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan di
wilayah yang menjadi forum diskusi dan koordinasi serta memfasilitasi komunikasi
dan diseminasi informasi kepada kabupaten/kota sasaran yang akan melakukan
penyusunan
Upaya yang dilaksanakan untuk mencapai target indikator tersebut antara lain:
- Advokasi dan sosialisasi regulasi kesehatan internasional atau International Health
Regulations (2005) termasuk kapasitas inti IHR dan paket aksi keamanan kesehatan
global.
- Penilaian pencapaian kapasitas inti IHR di pintu masuk negara, wilayah dan nasional
dengan melibatkan lintas sektor terkait
- Sosialisasi dan advokasi kesiapsiagaan dan kewaspadaan terhadap faktor risiko
kedaruratan kesehatan masyarakat dengan melibatkan Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) dan lintas sector.
- Melaksanakan workshop penyusunan rencana kontinjensi mencakup konsep
pedoman penyusunan renkon, identifikasi potensi KKM, pengumpulan data dasar
dan membangun komitmen lintas sectoral.
- Melaksanakan kegiatan penyusunan rencana kontijensi KKM dengan melibatkan
seluruh lintas sektoral pemerintah daerah yang terkait dengan kesiapsiagaan,
respon dan koordinasi penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat.
- Pelaksanaan Pertemuan Koordinasi Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan di
Wilayah mengundang seluruh kabupaten/kota sasaran yang akan menysun dokumen
dengan metode pemaparan materi, tanya jawab dan Focus Group Discussion (FGD)
- Review dan update dokumen kebijakan yang telah disusun di kabupaten/kota.
Meskipun target indikator berhasil dicapai, ditemukan kendala dan permasalah dalam
pelaksanaannya yakni antara lain:
- Masih adanya pemahaman SKPD di daerah bahwa penyusunan rencana kontinjensi
merupakan tanggung jawab instansi kesehatan saja.
Sekolah yang dimaksud adalah sekolah dan madrasah di level Sekolah Dasar dan
sederajatnya, Sekolah Menengah Pertama dan sederajatnya, Sekolah Menengah Atas dan
sederajatnya, baik negeri maupun swasta termasuk pondok pesantren dan sekolah
berasrama.
Ruang lingkup kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) terdapat 7 tatanan termasuk di
tatanan sekolah yang diatur dalam peraturan perundangan Kawasan Tanpa Rokok yang
telah melakukan penerapan enforcement sesuai kriteria yaitu ditemukan tanda dilarang
merokok di semua pintu masuk; diseluruh lingkungan sekolah Tidak ditemukan orang
merokok; Tidak ditemukan ruang khusus merokok; Tidak tercium bau asap rokok; Tidak
ditemukan asbak dan korek api; Tidak ditemukan puntung rokok; Tidak ditemukan
penjualan rokok termasuk kantin sekolah, tempat tunggu penjemput; dan Tidak
ditemukan indikasi kerjasama dengan Industri tembakau dalam bentuk sponsor, promosi,
iklan rokok (misalnya: serbet, tatakan gelas, asbak, poster, spanduk, billboard dan
lainnya).
Sampai dengan tahun 2019 terdapat 386 kab/kota (75,09%) yang telah memiliki
peraturan mengenai KTR. Sebanyak 261 kab/kota (50,77%) dalam bentuk Perda KTR dan
224 kab/kota (43,57%) dalam bentuk peraturan Bupati atau Walikota. Masih ada 119
(23,15%) kab/kota baik yang belum memiliki peraturan ataupun masih dalam bentuk
surat edaran dan surat keputusan. Pencapaian Persentase Kabupaten/Kota yang
melaksanakan kebijakan KTR minimal 50% sekolah, telah melebihi target yang
diharapkan. Dari target 50%, tercapai sebesar 50,2% atau sebanyak 258 kab/kota dari
514 kab/kota telah melaksanakan kebijakan KTR, sehingga pencapaian kinerja sebesar
100,4%.
Grafik 3.27
Persentase Kab/Kota yang melaksanakan kebijakan KTR
minimal di 50% sekolah Tahun 2019
Sampai dengan tahun 2019 persentase kabupaten/ kota yang melaksanakan kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok (KTR) minimal di 50% sekolah yang ada di wilayahnya, berdasarkan
provinsi paling tinggi ada di Provinsi Bali (100%), DI Yogyakarta (100%), dan DKI Jakarta
(100%), sedangkan yang terendah ada di Provinsi Papua (13,8%).
Grafik 3.28
Persentase Kab/Kota yang melaksanakan kebijakan KTR
Per Provinsi di Indonesia Tahun 2019
Pencapaian dari tahun 2015 sampai dengan tahun 2019 terjadi peningkatan kabupaten/
kota yang telah mengimplementasikan KTR pada 50% sekolah. Bila dilihat trend
peningkatan dari tahun 2015 target kinerja sebesar 10%, realisasi sebesar 8,37% atau
sebanyak 43 kab/kota, tahun 2016 dari target 20%, realisasi sebesar 21,2% atau sebanyak
109 kab/kota, sehingga pencapaian sebesar 105,8%. Pada tahun 2017 target 30%,
realisasi 30% atau 154 kabupaten/ kota yang telah mengimplementasikan kebijakan KTR
pada 50% sekolah, capaiannya 100%. Ditahun 2018, target 40%, realisasi 42,4% atau 218
kabupaten/ kota yang telah mengimplementasikan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok pada
50% sekolah, capaiannya 106%. Tahun 2019, target 50%, telah tercapai 50,2% atau 258
kabupaten/ kota, capaiannya 100,4%.
Grafik 3.29
Target dan Realisasi Kab/Kota yang melaksanakan KTR
minimal 50% Sekolah Tahun 2015-2019
Bila dibandingkan dengan indikator RPJMN yakni prevalensi merokok penduduk usia ≤
18 tahun dengan target tahun 2019 sebesar 5,6% maka Prevalensi merokok penduduk
umur 10-18 tahun menunjukkan kenaikan yakni 7,2% (Riskesdas 2013), menjadi 8,8%
(Sirkesnas 2017) dan meningkat menjadi 9,1% (Riskesdas 2019). Peningkatan prevalensi
merokok pada usia ≤ 18 tahun salah satunya disebabkan karena masih minimnya
Kab/Kota yang melaksanakan KTR minimal di 50% sekolah (50,2%).
Persentase kab/kota yang telah melaksanakan kebijakan KTR pada 50% sekolah mencapai
target yang telah di tetapkan telah mencapai target (50,2%). Hal ini didukung adanya
upaya-upaya yang telah dilakukan antara lain advokasi dan sosialisasi "Bupati/walikota
kepada Bupati/Walikota" terkait perda KTR, Advokasi dan sosialisasi penerapan aturan
KTR dilingkungan sekolah, peningkatan kapasitas SDM dalam penyusunan Perda KTR di
daerah (Dinkes, Bagian Hukum, Disdik, Akademisi), Peningkatan kapasitas SDM dalam
penegakan kebijakan KTR yang telah ditetapkan, melaksanakan monitoring/ review
implementasi di daerah yang telah mempunyai kebijakan KTR penerapan aturan KTR
dilingkungan sekolah oleh Dinkes dan Satgas KTR Kab/Kota, Layanan UBM (Upaya
Berhenti Merokok) di Fasyankes dan Layanan Quitline dinomor 08001776565 kepada
seluruh masyarakat, dan penghargaan kepada daerah yang telah mempunyai kebijakan
dan melakukan implementasi KTR. Selain itu, adanya surat dari Menteri Dalam Negeri
(Dirjen Bina Pembangunan Daerah) kepada seluruh kepala daerah di Indonesia dan
dikuatkan dengan surat dari Dirjen P2P kepada seluruh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
dan Kabupaten/ Kota di seluruh Indonesia dengen penekapan tentang penerapan
regulasi Kawasan Tanpa Rokok di Daerah. Upaya dan kegiatan yang telah dilaksanakan
dalam Persentase Kabupaten/Kota yang melaksanakan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok
(KTR) minimal 50% sekolah adalah sebagai berikut:
▪ Advokasi dan sosialisasi terhadap pemangku kebijakan baik pusat maupun daerah
yang belum memiliki kebijakan KTR dan mendorong terbitnya peraturan KTR di
kabupaten/ kota dan juga implementasinya dalam melindungi perokok pemula dan
masyarakat dari bahaya merokok oleh Kementerian Kesehatan (Dit P2PTM), Dinkes
Provinsi (Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB) dan jejaring mitra pengendali tembakau ke
Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sukoharjo, Kota Batu, Kota Pasuruan dan Kota
Mataram.
▪ Melaksanakan Review Implementasi Kawasan Tanpa Rokok di Daerah yang telah
memiliki Peraturan KTR dan Konseling Upaya Berhenti merokok di Sekolah meliputi:
60 kabupaten/ kota dengan 4 SD/ sederajat, 5 SMP/ sederajat dan 6 SMA/ sederajat
yang masuk ke dalam random sampling di masing-masing kabupaten/ kota. Kawasan
tanpa rokok merupakan tanggung jawab seluruh komponen bangsa, baik individu,
masyarakat, parlemen, maupun pemerintah, untuk melindungi generasi sekarang
maupun yang akan datang. Komitmen bersama dari lintas sektor dan berbagai elemen
akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan kawasan tanpa rokok. Kegiatan
review implementasi kebijakan KTR perlu dilaksanakan secara rutin dan bersinergi
bersama SKPD lainnya. Jumlah kabupaten/ kota yang sudah mengimplementasikan
KTR di 50% sekolah yaitu sebesar 50,2 % (258 Kabupaten/ Kota).
▪ Peningkatan kapasitas Tenaga Kesehatan dan Pendidikan Dalam Upaya Implementasi
KTR di Sekolah dilaksanakan secara bertahap dan berjenjang, melalui TOT yang
dilaksanakan di Pusat dan pelatihan yang dilakukan daerah melalui dana
Dekonsentrasi.
▪ Penyedian Layanan Quitline (Layanan Konsultasi Upaya Berhenti Merokok melalui
telpon tidak berbayar). Kegiatan layanan Quitline merupakan layanan langsung kepada
masyarakat yang ingin berhenti merokok melalui Toll Free 0-800-177-6565. Total Klien
yang memanfaatkan layanan Quitline selama 2019 ini berjumlah 60.983 penelpon atau
rata-rata 5.081 klien/ bulan. Penyebaran program ini pun terus meluas dimana rata-
rata klien penelpon mewakili 20-32 propinsi setiap bulannya, bahkan pada bulan
Desember 2019 asal penelpon telah mencapai 34 propinsi atau sekitar 100% dari total
propinsi yang ada di Indonesia. Usia klien yang menelpon ke Layanan Quitline UBM
selama tahun 2019 ini terbanyak di usia 25 -29 tahun. Ini menjadi indikasi bahwa
kesadaran untuk berhenti merokok di kelompok usia produktif semakin meningkat.
▪ Penyebaran informasi upaya berhenti merokok dan Penyakit Tidak Menular juga
dilaksanakan melalui media sosial P2PTM baik melalui facebook, instagram, dan
twitter.
Gambar 3.11
Pemberian penghargaan Gubernur/Bupati/ Walikota dalam acara HTTS
b. Tersedianya data perokok dan keluarga yang mempunyai anggota yang merokok
melalui PIS-PK dan data kunjungan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
(FKTP).
c. Tersedianya data perilaku merokok pada anak usia remaja, melalui kegiatan
skrining merokok pada anak usia sekolah
d. Tersedianya data perokok yang sudah dilakukan layanan Upaya Berhenti
Merokok (UBM) di FKTP
e. Tersedianya data implementasi KTR di sekolah dan tatanan yang sudah
ditetapkan
5) Meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat akan bahaya konsumsi
rokok, melalui:
a. Berbagai media Komunikasi-Informasi-Edukasi (KIE) dan berkoordinasi dengan
seluruh stakeholder dan mitra kesehatan.
b. Mengoptimalkan dukungan masyarakat, lintas program dan lintas sektor untuk
kegiatan promotif dan preventif
c. Optimalisasi dukungan stakeholder dan mitra kesehatan dalam rangka Gerakan
Masyarakat Hidup Sehat (Germas) dalam bentuk melaksanakan Kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok
d. Melakukan sosialisasi dan optimalisasi layanan konseling berhenti merokok di
FKTP dan melalui telepon (QUITLINE) di telepon tanpa bayar 0-800-177-6565.
Grafik 3.30
Target dan Capaian Jumlah Kab/Kota yang menyelenggarakan
upaya kesehatan jiwa/napza Tahun 2015-2019
Gambar 3.12
Peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia
Dalam uapaya mencapai target indikator kendala dan permasalahan yang dihadapi
antara lain:
1) Tebatasnya jumlah tenaga kesehatan terlatih bidang keswa.
2) Belum optimalnya koordinasi dengan intas program dan lintas sektor terkait bidang
keswa.
3) Belum semuanya pemegang program terpapar tentang upaya pencegahan dan
pengendalian masalah kesehatan jiwa.
4) Belum optimal nya komitmen daerah terhadap masalah kesehatan jiwa.
5) Masih kurangnya ketersediaan obat-obat keswa di Puskesmas.
3) Melakukan advokasi dan sosialiasasi tentang masalah kesehatan jiwa pada lintas
sektor dan lintas program.
4) Penyusunan peta strategis pelaksanaan program dan kegiatan bidang kesehatan jiwa
dan napza.
5) Melakukan kerja sama dengan Ditjen Farmalkes untuk penyediaan obat obat
kesehatan jiwa.
H.L Blum, seorang ahli kesehatan, pada tahun 1978 menyatakan bahwa terdapat 4
(empat) determinan yang menjadi penentu status kesehatan masayarakat. Ke-empat
determinan tersebut diantaranya faktor perilaku/gaya hidup, faktor lingkungan (sosial,
ekonomi, budaya), faktor pelayanan kesehatan (jenis, cakupan pelayanan, dan kualitas), dan
faktor genetik. Teori ini sampai saat ini masih cukup relevan dipakai untuk mewujudkan dan
meningkatkan status kesehatan masyarakat.
Dalam kaitan dengan Sasaran Strategis ini, Kementerian Kesehatan mengidentifikasi dua
Indikator Kinerja Utama (IKU) dengan hasil capaiannya sebagaimana tergambar dalam tabel
berikut:
Tabel 3.8
Capaian IKU pada Sasaran Strategis 3:
Meningkatnya Akses dan Mutu Fasilitas Pelayanan Kesehatan
SS2: Meningkatnya Akses dan Mutu Fasilitas Pelayanan Kesehatan
mendukung pelayanan yang berkualitas, maka puskesmas juga perlu diakreditasi oleh
suatu lembaga independen yang bertugas melakukan akreditasi puskesmas.
a. Definisi Operasional
Definisi operasional dari kecamatan yang memiliki satu Puskesmas yang tersertifikasi
akreditasi yaitu kecamatan yang memiliki minimal satu Puskesmas yang telah memiliki
sertifikat akreditasi yang dikeluarkan oleh lembaga independen penyelenggara akreditasi
atau Komisi Akreditasi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
b. Cara Perhitungan
Cara perhitungan capaian adalah dengan menjumlah seluruh kecamatan yang
memiliki minimal 1 Puskesmas yang terakreditasi pada tahun berjalan dibandingkan
dengan target dikalikan 100%. Sedangkan cara mengukur adalah dibuktikan dengan
adanya sertifikat akreditasi untuk Puskesmas yang dikeluarkan oleh Komisi Akreditasi
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama.
Tabel 3.9
Target dan Capaian Kecamatan Yang Memiliki Minimal
1 Puskesmas Tersertifikasi Akreditasi Tahun 2019
2019
Indikator
Target Realisasi %
Jumlah kecamatan yang memiliki
minimal 1 Puskesmas yang 5.600 6.212 111%
tersertifikasi akreditasi
Dari 9.153 Puskesmas yang terakreditasi pada tahun 2019, masih di dominasi oleh
status kelulusan madya dan dasar, dengan rincian dasar 2.177 (24%), 5.073 madya (55%),
1.664 utama (18%), dan 239 paripurna (3%).
Grafik 3.31
Distribusi Status Kelulusan Akreditasi Puskesmas Tahun 2019
Untuk distribusi capaian indikator per provinsi pada tahun 2019 dapat dilihat pada
grafik di bawah ini:
Grafik 3.32
Capaian Akreditasi Puskesmas Per Provinsi Tahun 2019
Berdasarkan capaian kinerja tahun 2019 sebagaimana tercantum pada tabel dan
gambar diatas dapat disimpulkan (1) target indikator IKU tahun 2019 telah tercapai, dan
(2) terdapat peningkatan jumlah baik Puskesmas, Kecamatan, maupun Kabupaten/Kota
yang terakreditasi.
Tabel 3.10
Perbandingan Target dan Capaian Kecamatan Yang Memiliki
Minimal 1 Puskesmas Tersertifikasi Akreditasi Tahun 2019 dan Tahun 2018
2019 2018
Indikator IKU
Target Realisasi Target Realisasi
Jumlah kecamatan yang
5.600 6.212 4.900 5.385
memiliki minimal 1 Puskesmas
(111%) (119%)
yang tersertifikasi akreditasi
Grafik 3.33
Perbandingan Capaian Puskesmas, Kecamatan,
Kabupaten/Kota dan Provinsi Tersertifikasi Akreditasi Tahun 2019 dan Tahun 2018
Tabel dibawah ini menggambarkan perbandingan antara target dan capaian Renstra
serta RPJMN indikator jumlah kecamatan yang memiliki minimal satu puskesmas
tersertifikasi akreditasi sejak tahun 2015 sampai dengan tahun 2019.
Tabel 3.11
Capaian Jumlah Kecamatan yang memiliki
minimal 1 Puskesmas tersertifikasi akreditasi
2015 2016 2017 2018 2019
Indikator
T R T R T R T R T R
Renstra: Jumlah
kecamatan
yang memiliki 3.447
93 1.308 5.385 6.212
minimal 1 350 700 2.800 (123% 4.900 5.600
(27%) (187%) (119%) (111%)
Puskesmas yang )
tersertifikasi
akreditasi
RPJMN: Jumlah
kecamatan
yang memiliki 3.447
93 1.308 5.385 6.212
minimal 1 350 700 1.400 (246% 2.800 5.600
(27%) (187%) (192%) (111%)
Puskesmas yang )
tersertifikasi
akreditasi
Adapun tren capaian indikator dibandingkan dengan target RPJMN dan Renstra dari
tahun 2015 s.d 2019 disajikan dalam grafik berikut ini:
Grafik 3.34
Trend Capaian Akreditasi Puskesmas Tahun 2015-2019
Dari grafik diatas menunjukan bahwa baik capaian Renstra Kemenkes 2015 – 2019
maupun capaian RPJMN 2015 – 2019 masih on the track sesuai target yang telah
ditetapkan.
Grafik 3.35
Distribusi Status Kelulusan Akreditasi Tahun 2015 - 2019
Pada grafik 3.5 diatas menunjukan tren persentase status kelulusan akreditasi mulai
dari tahun 2015 sampai dengan 2019. Untuk dasar mengalami penurunan rata-rata
pertahun sebesar 9%, madya mengalami kenaikan rata-rata pertahun sebesar 5% dan
utama 4%, sedangkan paripurna stabil.
e. Analisa Keberhasilan
Keberhasilan capaian kinerja Ditjen Pelayanan Kesehatan dalam pencapaian target
indikator IKU kecamatan yang memiliki minimal 1 Puskesmas tersertifikasi akreditasi
tahun 2019, dikarenakan:
1) Penyiapan regulasi dan NSPK tahun 2019 dilakukan melalui revisi Permenkes 46
tahun 2015, revisi standar dan instrumen puskesmas, penyusunan indikator mutu
pelayanan di Puskesmas, pedoman pembinaan terpadu puskesmas oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota. Hal ini dilakukan dalam rangka mengakomodir
adanya perbaikan sistem, kebutuhan pengguna, perkembangan ilmu pengetahuan
dan perubahan kebijakan untuk peningkatan mutu dan pelaksanaan akreditasi
Puskesmas.
2) Kegiatan pertemuan koordinasi, bimbingan teknis dan monitoring evaluasi tahun
2019 dilakukan dalam rangka memperoleh dukungan sekaligus penguatan peran
dari stakeholder terkait meliputi Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, FKTP, Organisasi Profesi, swasta. Hal ini dilakukan karena
akreditasi Fasyankes termasuk dalam program prioritas nasional yang tercantum
sebagai indikator Renstra dan RPJMN sehingga dalam pencapaian targetnya perlu
kerjasama dengan stakeholder terkait.
3) Kegiatan pertemuan koordinasi, bimbingan teknis, monitoring evaluasi tahun
2019 juga dilakukan dalam upaya percepatan akreditasi FKTP baik puskesmas
maupun klinik pratama. Hal ini dilakukan karena akreditasi fasyankes merupakan
salah satu persyaratan kredensialing dan rekredensialing dalam bekerjasama
dengan BPJS sebagaimana tercantum dalam Permenkes Permenkes No. 71 tahun
2013 dan Permenkes No. 99 tahun 2015 tentang Pelayanan Kesehatan pada JKN.
4) Kegiatan pelatihan dan lokakarya TOT pendamping dan surveior tahun 2019
dilakukan dalam upaya pemenuhan kebutuhan SDM dan peningkatan kompetensi
SDM dalam pelaksanaan akreditasi..
5) Pemberdayaan tenaga TOT pendamping, pendamping dan surveior dalam
memenuhi kebutuhan akan narasumber, proses pendampingan dan survei
akreditasi dengan menggunakan dana DAK dan DEKON.
6) Adanya Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Direktorat Mutu dan Akreditasi
Pelayanan Kesehatan dengan Universitas Binus dalam rangka pengembangan
Sistem Informasi Akreditasi FKTP (SIAF) untuk memperkuat Komisi Akreditasi FKTP
dalam mempercepat penyelenggaraan survei akreditasi.
7) Pelaksanaan kegiatan pendampingan pasca survei, survei reakreditasi setiap 3
tahun sekali dan penilaian FKTP Berprestasi untuk memastikan perbaikan mutu
secara berkesinambungan terutama pada FKTP yang telah terakreditasi. Hal ini
dilakukan untuk menjawab tuntutan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan
kesehatan yang berkualitas.
Tabel 3.12
Jumlah Jam Honor Surveior per Hari
KATEGORI PUSKESMAS TH 2018 TH 2019
Perkotaan 4 Jam 3 Jam
Perdesaan 4 – 6 Jam 3 Jam
Terpencil/Sangat Terpencil 4 – 7 Jam 3 Jam
Gambar 3.15
Pelatihan Pelatih Pendamping Akreditasi Klinik Tahun 2019
Gambar 3.16
Lokakarya Standar dan Instrumen Akreditasi
Edisi I Kepada Surveior Angkatan I s.d IV Tahun 2019
Gambar 3.17
Lokakarya Standar dan Instrumen Akreditasi Edisi I
Kepada Pelatih Pendamping Tahun 2019
Gambar 3.18
Pertemuan Teknis Percepatan Upaya Peningkatan
Mutu dan Akreditasi di Puskesmas dan Klinik Bagi Dinas Kesehatan Tahun 2019
Gambar 3.19
Pertemuan Pembahasan Implementasi Pembinaan Terpadu
Oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
Gambar 3.20
Kegiatan Penyusunan Indikator Mutu Pelayanan Kesehatan
di FKTP Tahun 2019
Gambar 3.21
Kegiatan Uji Coba Indikator Mutu Pelayanan Kesehatan
di FKTP Tahun 2019
Gambar 3.22
Bimtek Pelaksanaan Mutu dan Akreditasi di Daerah Prioritas Tahun 2019
Gambar 3.23
Kegiatan Koordinasi Percepatan Akreditasi Klinik Tahun 2019
Gambar 3.24
Kegiatan Bimtek Pelaksanaan Mutu dan Akreditasi Klinik di Provinsi Terpilih Tahun
2019
h. Permasalahan
Permasalahan yang dihadapi untuk pelaksanaan kegiatan akreditasi FKTP pada tahun
2019 antara lain:
1) Walaupun pencapaian target nasional secara kumulatif tercapai sebesar 111%, tapi
di beberapa provinsi realisasi akreditasi akhir tahun 2019 lebih rendah dari rencana
awal di tahun 2019. Khususnya di provinsi Papua Barat dan Papua. Untuk Papua
Barat dari rencana 51 puskesmas hanya terealisasi 33 puskesmas (64,7%), sedangkan
untuk Papua dari rencana awal 68 hanya terealisasi 49 puskesmas (72,1%). Adapun
alasannya antara lain:
(a) Faktor keamanan
(b) Kekurangan SDM pendamping aktif karena mutasi pegawai
(c) Renovasi puskesmas yang belum selesai
(d) Keterlambatan pengajuan usulan survei di SIAF
Capaian kumulatif akreditasi Puskesmas secara nasional dapat tercapai meskipun
realisasi Provinsi Papua dan Papua Barat rendah karena capaian beberapa Provinsi
melampaui target yakni Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Jambi dan
Kalimantan Selatan. Target di provinsi tersebut dapat terlampaui antara lain karena
adanya dukungan anggaran melalui APBD II untuk kegiatan pendampingan dan survei
akreditasi.
2) Pelaksanaan survei akreditasi sebagian masih dengan pola lama, dimana usulan
survei menumpuk pada tribulan akhir 2019 antara bulan September – November
2019. Hal ini terjadi karena waktu pendampingan dilakukan pada tahun yang sama
dengan survei akreditasi, dimana pendampingan prasurvei umumnya membutuhkan
waktu 6 – 9 bulan.
Grafik 3.36
Trend Survei Akreditasi Puskesmas Tahun 2016 - 2019
3) Walaupun telah dibuat sistem kesediaan survei melalui SIAF, pada kenyataannya ada
beberapa surveior yang membatalkan tugas setelah keluar surat tugas. Hal ini
menyebabkan ketidakefektifan waktu penjadwalan, karena Komisi Akreditasi FKTP
harus mencari surveior pengganti dan merevisi surat tugas.
4) Khusus surveior yang masih berstatus ASN, karena penumpukan survei yang terjadi
di akhir tahun berbarengan dengan banyaknya kegiatan tupoksi di instansi masing-
masing, hal ini menyebabkan kesediaan survei yang rendah dari surveior ASN.
Mutasi pendamping yang sangat cepat di daerah, sehingga mengakibatkan
pendamping yang telah terlatih menjadi tidak aktif lagi. Hal ini terkadang
mengganggu proses persiapan akreditasi yang dilakukan oleh puskesmas, terutama
pada Kabupaten/Kota yang memiliki tim pendamping terbatas.
i. Pemecahan Masalah
Dengan adanya masalah-masalah yang dihadapi sebagaimana di atas, upaya
pemecahan masalah yang dilakukan yakni:
1) Untuk puskesmas yang gagal survei di tahun 2019 diharapkan melakukan pengusulan
survei akreditasi kembali pada tahun 2020. Untuk Kabupaten/Kota yang
mendapatkan dana DAK sejak tahun 2019 maka Kepala Dinas menandatangani surat
pernyataan yang berisi bahwa puskesmas yang mendapat dana DAK memenuhi
syarat sebagai berikut:
✓ Puskesmas sudah teregistrasi di Pusdatin Kementerian Kesehatan
✓ Puskesmas telah memiliki izin untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan
dari pemerintah Kabupaten/Kota
✓ Puskesmas memiliki dokter umum yang dibuktikan dengan SK Kepala Dinas
Kesehatan Daerah Kabupaten/Kota
Gambar 3.25
Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan
Gambar 3.26
Pakta Integritas Surveior Akreditasi FKTP
Target dan realisasi capaian kinerja jumlah Kabupaten/Kota yang memiliki minimal 1
RSUD tersertifikasi akreditasi nasional pada tahun 2019 adalah sebagaimana tabel berikut
ini:
Tabel 3.13
Pencapaian Kabupaten/Kota yang Memiliki Minimal 1 RSUD yang Tersertifikasi
Akreditasi Nasional Tahun 2019
Tabel diatas menunjukkan bahwa target 481 Kabupaten/Kota yang memiliki minimal
1 RSUD tersertifikasi akreditasi nasional pada tahun 2019 dapat tercapai 486
Kabupaten/Kota (101%).
Grafik 3.37
Distribusi Jumlah Kabupaten/Kota yang Memiliki Minimal 1 RSUD Terakreditasi
Berdasarkan Provinsi Tahun 2019
Grafik 3.38
Tingkat Kelulusan Akreditasi 712 RSUD Tahun 2019
712 RS
Pada tahun 2019 di Indonesia terdapat 2.465 rumah sakit baik milik
pemerintah maupun swasta yang telah terakreditasi nasional versi 2012 atau SNARS Edisi
1, yang terdiri dari 904 (36,7%) RS Pemerintah yaitu RS UPT Kemenkes, RS Kementerian
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 117
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019
Grafik 3.39
Tingkat Kelulusan Akreditasi RS di Indonesia Tahun 2019
Grafik 3.40
Peningkatan Capaian Akreditasi RS Tahun 2016-2019
Berdasarkan capaian akreditasi Rumah Sakit dari tahun 2016 – 2019, terjadi
pergeseran status kelulusan akreditasi dari perdana ke paripurna pada tahun 2019. Hal
ini dapat disebabkan oleh pendampingan dan bimbingan teknis secara intensif dari
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 118
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019
Subdit Mutu dan Akreditasi Pelayanan Kesehatan Rujukan Kemenkes sehingga tingkat
pemahaman dan komitmen Rumah Sakit untuk mewujudkan budaya mutu dan
keselamatan pasien semakin meningkat. Pada tahun 2016-2018 status kelulusan perdana
masih mendominasi disebabkan oleh adanya akreditasi Program Khusus yang
diperuntukkan bagi Rumah Sakit dengan jumlah tempat tidur kurang dari 120 dan tidak
ada pelayanan dokter subpesialis. Distribusi tingkat kelulusan RS tahun 2016-2019
ditunjukkan pada grafik di bawah ini:
Grafik 3.41
Tingkat Kelulusan Akreditasi RS pada Tahun 2016 – 2019
Tabel 3.14
Pencapaian Kabupaten/Kota yang Memiliki Minimal 1 RSUD yang Tersertifikasi
Akreditasi Nasional Tahun 2018-2019
2018 2019
Indikator
T R T R
Kabupaten/kota yang memiliki
minimal 1 RSUD yang tersertifikasi 434 440 481 486
akreditasi nasional (110,45%)
Sumber : Renstra Kemenkes, KARS 31 Desember 2019 (telah diolah)
Berdasarkan tabel di atas, jika dibandingkan dengan pencapaian tahun 2018 (440
Kab/Kota), maka pencapaian tahun 2019 sebanyak 486 Kab/Kota atau meningkat
sebesar 110,45%.
Grafik 3.42
Pencapaian Kabupaten/Kota yang Memiliki Minimal 1 RSUD yang Tersertifikasi
Akreditasi Nasional Tahun 2015-2019
Gambar 3.27
Pendampingan Akreditasi RSUP dr. M. Hoesin
oleh Tim RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo
Gambar 3.28
Workshop Pembimbing Teknis Mutu dan Akreditasi di RS Prioritas
yang diikuti perwakilan RS terakreditasi paripurna
Gambar 3.29
Peserta Lokakarya Percepatan Akreditasi RS foto bersama Dirjen Yankes
Gambar 3.30
Peserta Lokakarya Implementasi Akreditasi RS untuk Regional Tengah foto bersama
Direktur Mutu dan Akreditasi Yankes
Gambar 3.31
Peserta Lokakarya Penyusunan Rencana Aksi Implementasi Kebijakan dan Strategi
Mutu Nasional di Wilayah Tengah foto bersama Direktur Mutu dan Akreditasi Yankes
G
a
m
b
a
r
…
P
e
n
d
a
m
p
7) Melakukan koordinasi lintas program dan lintas sektor terkait dengan i
mutu dan akreditasi pelayanan kesehatan rujukan dengan unit kerja di n
lingkungan Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, Kementerian g
Pertahanan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pendidikan, a
Pusat Kesehatan TNI, Pusat Kedokteran dan Kesehatan POLRI, Pemda n
dan/atau Dinas Kesehatan, BPJS Kesehatan, KARS, PERSI, ARSADA, ARSSI,
PB IDI, organisasi profesi, RS UPT vertikal Kementerian Kesehatan dan RS e
lain yang sudah terakreditasi nasional dan/atau internasional. Koordinasi ini v
a
l
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 124 u
a
s
i
R
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019
Gambar 3.33
Rapat koordinasi Direktorat Mutu dan Akreditasi Yankes
dengan stake holder dalam upaya percepatan akreditasi RS
Gambar 3.34
Kegiatan Penyusunan Regulasi
di Bidang Mutu Pelayanan Rumah Sakit
Gambar 3.35
Kegiatan Revisi Permenkes 11/2017
tentang Keselamatan Pasien
Gambar 3.36
Penyempurnaan Pedoman Penyelenggara Mutu
di Rumah Sakit
12) Penyusunan Pedoman Pemantauan dan Evaluasi Mutu Pelayanan RS, yang
akan digunakan sebagai acuan bagi Kementerian Kesehatan, Dinkes
Provinsi / Kabupaten / Kota maupun RS dalam melaksanakan monitoring
dan evaluasi mutu pelayanan di RS. Kemenkes melakukan uji coba
instrumen monev di RS untuk mendapatkan masukan Dinkes Provinsi,
Dinkes Kabupaten/Kota dan RS terhadap implementasi Pedoman dan
Instrumen Pemantauan dan Evaluasi Pelayanan RS.
Gambar 3.37
Penyusunan Pedoman Pemantauan dan Evaluasi
Mutu Pelayanan RS
Gambar 3.38
Kunjungan ke Instalasi Perinatologi dalam rangka Monev POCQI Pelayanan
Maternal dan Neonatal di RSUD Manokwari
1) Anggaran
• Melakukan advokasi kepada Pemerintah Daerah untuk mengalokasikan
anggaran guna pemenuhan standar akreditasi rumah sakit (termasuk
sarana, prasarana dan alkes) bersumber APBD atau BLUD melalui
pertemuan Rakerkesnas, Rakerkesda, bimbingan dan pendampingan
evaluasi mutu dan akreditasi di RS.
• Mengalokasikan DAK Non Fisik dan Dana Dekonsentrasi RS untuk
mendukung pelaksanaan mutu dan akreditasi RS.
• Melakukan advokasi kepada RS agar berkoordinasi dengan Dinas
Kesehatan dan Dinas Keuangan Daerah sehingga penyusunan RKA
sesuai dengan DPA Daerah dan pencairannya dapat dilaksanakan lebih
awal.
• Berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan agar dapat memfasilitasi
pencairan DAK Non Fisik lebih awal terutama bagi RS Daerah yang
mendapat rekomendasi Menkes.
• Berkoordinasi dengan stake holder terkait seperti KARS, PERSI,
ARSADA, ARSSI untuk percepatan akreditasi melalui kegiatan Corporate
Social Responbility (CSR).
2) Waktu
• Melakukan advokasi kepada RS agar melakukan persiapan akreditasi
lebih terencana sehingga RS dapat memahami dan
mengimplementasikan SNARS edisi 1 dengan baik dan tepat waktu.
• Melakukan koordinasi dengan RS yang telah terakreditasi paripurna
dan/atau internasional untuk menugaskan narasumber dalam
mendukung persiapan survei akreditasi (pendampingan atau
bimbingan teknis mutu dan akreditasi RS).
• Berkoordinasi dengan KARS agar RS mendapat jadwal survei dan
pengumuman hasil akreditasi dipercepat.
• Surat Menkes Nomor YM.02.02/Menkes/255/2019 tanggal 7 Mei 2019
tentang Perpanjangan Kerja Sama RS antara lain menyebutkan bahwa
RS yang sudah survei dan menunggu penetapan kelulusan dapat
memberikan pelayanan sesuai ruang lingkup kontrak dengan BPJS
Kesehatan.
3) SDM
• Melakukan advokasi sesuai Surat Dirjen Pelayanan Kesehatan Nomor
YM.02.02/VI/2223/2019 tanggal 28 Mei 2018 tentang Akreditasi RS agar
Dinas Kesehatan melakukan pembinaan dan pengawasan akreditasi RS.
• Melakukan advokasi kepada RS untuk melakukan pemenuhan
kebutuhan tenaga kesehatan sesuai dengan kelas RS melalui BKD, kerja
sama dengan RS terdekat atau Program Pendayagunaan Dokter
Spesialis (PGDS) Kementerian Kesehatan.
• Melaksanakan kegiatan pelatihan dengan dana Dekonsentrasi, DAK
Nonfisik Akreditasi RS dan dana CSR lembaga/institusi lain.
4) Sasaran Strategis 4: Meningkatnya Akses, Kemandirian, dan Mutu Sediaan Farmasi dan
Alat Kesehatan
Dalam Sistem Kesehatan Nasional, sediaan farmasi dan alat kesehatan merupakan salah
satu subsistem dalam kelompok komponen pengelolaan kesehatan di samping komponen
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 131
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019
Dalam kaitan dengan Sasaran Strategis ini, Kementerian Kesehatan mengidentifikasi tiga
Indikator Kinerja Utama (IKU) sesuai dengan Rencana Strategis awal berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/Menkes/52/2015 adalah sebagai
berikut:
1. Persentase ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas
2. Jumlah bahan baku obat dan obat tradisional serta alat kesehatan (Alkes) yang
diproduksi di dalam negeri (kumulatif)
3. Persentase produk alat kesehatan dan PKRT di peredaran yang memenuhi syarat
Setelah dilakukan Revisi Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019 IKU
sasaran strategis sebagai berikut:
Tabel 3.15
Capaian IKU pada Sasaran Strategis 4:
Meningkatnya Akses, Kemandirian, dan Mutu Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
SS4: Meningkatnya Akses, Kemandirian, dan Mutu Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
Indikator Persentase Puskesmas dengan Ketersediaan Obat dan Vaksin Esensial bertujuan
untuk memantau ketersediaan obat dan vaksin esensial di Puskesmas. IKU akan dianggap
semakin baik bila realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari yang ditargetkan.
Indikator Puskesmas dengan Ketersediaan Obat dan Vaksin Esensial merupakan indikator
pada revisi Renstra sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
HK.01.07/Menkes/422/2017 yang mulai berlaku pada 29 Agustus 2017. Indikator
sebelumnya adalah persentase ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas yang dihitung
dengan formulasi sebagai berikut:
Pada tahun 2015 sampai dengan pertengahan tahun 2017, dilakukan pemantauan
terhadap indikator persentase ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas yang memiliki
target pada tahun 2015 sebesar 77%, dengan capaian sebesar 79,38%. Pada tahun 2016,
indikator tersebut memiliki target sebesar 80% dengan capaian sebesar 81,57%. Pada
tahun 2017, memiliki target sebesar 83% dan capaian sebesar 89,30%. Sementara pada
tahun 2018, memiliki target sebesar 86% dan capaian sebesar 92,47%. Pada tahun 2019,
memiliki target sebesar 90% dan capaian sebesar 94,22%.
Bila dilakukan perbandingan antara capaian tahun 2019 dengan target akhir tahun
Renstra/RPJMN 2015-2019, capaian indikator dimaksud lebih tinggi sebesar 4,22%
dengan persentase capaian sebesar 104,69%. Hal ini menunjukkan indikator tersebut
telah mencapai target akhir tahun Renstra/RPJMN 2015-2019.
Grafik 3.43
Target dan Realisasi Indikator Persentase Ketersediaan Obat dan Vaksin di Puskesmas
Tahun 2015-2019
Target Realisasi
Adapun realisasi indikator tersebut pada tahun 2019 sebesar 96,34%, melebihi target yang
telah ditetapkan dalam Renstra Kemenkes Tahun 2015-2019 yaitu sebesar 95% dengan
capaian sebesar 101,41%.
Bila dilakukan perbandingan capaian tahun 2019 dengan target akhir tahun Renstra
2015-2019, capaian indikator dimaksud lebih tinggi sebesar 1,34% yang menandakan
indikator tersebut telah mencapai target yang telah ditetapkan.
Tabel 3.16
Target, Realisasi dan Capaian Indikator Persentase Puskesmas dengan Ketersediaan Obat
dan Vaksin Esensial Tahun 2019
Indikator Kinerja Target 2019 Realisasi 2019 Capaian 2019
Grafik 3.44
Target dan Realisasi Indikator Persentase Puskesmas dengan Ketersediaan Obat dan
Vaksin Esensial Tahun 2017-2019
Hasil tersebut diperoleh dari periode pelaporan bulan November dimana jumlah Puskesmas
yang memiliki 80% obat dan vaksin essensial sebanyak 9.133 Puskesmas dari Puskesmas
yang melapor sebanyak 9.480. Sedangkan Puskesmas di seluruh Indonesia adalah 9.994
sehingga baru 94,85% yang melapor.
Jumlah Puskesmas yang melapor mengalami peningkatan yang signifikan bila dibandingkan
tahun 2017, 2018 dan 2019 yaitu sebanyak 8.472 Puskesmas, 9.227 Puskesmas dan 9.480
Puskesmas.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk peningkatan pelaporan oleh Puskesmas adalah
dengan dibentuknya tim penanggungjawab pengumpulan data indikator kinerja tata kelola
obat publik dan perbekalan kesehatan merupakan salah satu upaya yang meningkatkan
ketaatan pelaporan data lebih optimal sehingga pencapaian output menjadi maksimal.
Capaian tertinggi persentase Puskesmas dengan ketersediaan obat dan vaksin esensial pada
tahun 2019 yakni sebesar 100% dan dicapai oleh 10 provinsi, yaitu Jambi, Kepulauan Bangka
Belitung, D.I. Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara,
Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, dan Maluku. Capaian tertinggi tersebut meningkat
dibandingkan tahun 2018 dimana provinsi yang memiliki capaian persentase Puskesmas
dengan ketersediaan obat dan vaksin esensial sebesar 100% sebanyak 4 provinsi. Untuk
Provinsi dengan persentase Puskesmas dengan ketersediaan obat dan vaksin esensial
terendah tahun 2019 adalah Nusa Tenggara Timur dengan capaian sebesar 82,46%.
Grafik 3.45
Puskesmas dengan Ketersediaan Obat dan Vaksin Esensial Tahun 2019 per Provinsi
Pemantauan dilakukan terhadap 20 item obat dan vaksin yang dianggap esensial dan harus
tersedia di pelayanan kesehatan dasar, sebagaimana tabel berikut:
Tabel 3.17
Daftar Obat dan Vaksin Indikator
NO NAMA OBAT BENTUK SEDIAAN
1 Albendazol Tablet
2 Amoxicillin 500 mg Tablet
3 Amoxicillin Sirup
4 Deksametason Tablet
5 Diazepam 5 mg/mL Injeksi
6 Epinefrin (Adrenalin) 0,1% (sebagai HCL) Injeksi
7 Fitomenadion (Vitamin K) Injeksi
8 Furosemid 40 mg / HCT Tablet
9 Garam Oralit Serbuk
10 Glibenklamid / Metformin Tablet
11 Kaptopril Tablet
12 Magnesium Sulfat 20 % Injeksi
13 Metilergometrin Maleat 0,200 mg-1 ml Injeksi
14 Obat Anti Tuberculosis dewasa Tablet
15 Oksitosin Injeksi
16 Parasetamol 500 mg Tablet
17 Tablet Tambah Darah Tablet
18 Vaksin BCG Injeksi
19 Vaksin DPT/ DPT-HB/ DPT-HB-Hib Injeksi
20 Vaksin Td Injeksi
Permasalahan:
Terdapat beberapa permasalahan yang dialami dalam pencapaian indikator kinerja
persentase Puskesmas dengan ketersediaan obat dan vaksin esensial tahun 2019, yaitu
sebagai berikut:
1. Mekanisme perencanaan kebutuhan belum berjalan dengan optimal dikarenakan
keterbatasan koordinasi dan sumber daya.
2. Beberapa obat program belum terdapat di e-katalog nasional.
Grafik 3.46
Analisis atas Efisiensi Penggunaan Sumber Daya Terhadap Capaian
Indikator Kinerja Program Persentase Puskesmas dengan Ketersediaan
Obat dan Vaksin Esensial Tahun 2019
b. Jumlah Bahan Baku Sediaan Farmasi yang Siap Diproduksi di Dalam Negeri dan Jumlah
Jenis/Varian Alat Kesehatan yang Diproduksi di Dalam Negeri (Kumulatif)
Obat dan alat kesehatan memiliki kontribusi cukup besar dalam pembiayaan kesehatan.
Karena itu, Kementerian Kesehatan mengambil kebijakan untuk mendorong agar bahan
baku sediaan farmasi dan alat kesehatan dapat diproduksi di dalam negeri.
Diharapkan dengan melakukan produksi di dalam negeri, harga obat dan alat kesehatan
dapat ditekan sekaligus mengurangi ketergantungan pada luar negeri. IKU ini bertujuan
untuk mengetahui kemajuan atau perkembangan produksi sediaan farmasi dan alat
kesehatan di dalam negeri. IKU akan dianggap semakin baik bila realisasinya lebih besar
atau lebih tinggi dari yang ditargetkan.
Pada Revisi Renstra tahun 2017 sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia HK.01.07/Menkes/422/2017 yang mulai berlaku pada 29 Agustus 2017 terjadi
perubahan nomenklatur dan target capaian indikator jumlah bahan baku sediaan farmasi
yang siap diproduksi di dalam negeri dan jumlah jenis/varian alat kesehatan yang
diproduksi di dalam negeri (kumulatif).
Indikator sebelumnya adalah jumlah bahan baku obat dan obat tradisional serta alat
kesehatan (Alkes) yang diproduksi di dalam negeri (kumulatif) dengan target pada tahun
2015 sebesar 7 jenis dan capaian sebanyak 11 jenis, sedangkan target 2016 sebesar 14
jenis dan capaian sebesar 23 jenis.
Grafik 3.47
Target dan Realisasi Indikator Jumlah Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional serta Alat
Kesehatan (Alkes) yang Diproduksi di Dalam Negeri (Kumulatif) Tahun 2015-2019
Pada tahun 2017, terjadi revisi Renstra yang menyatakan bahwa target indikator jumlah
bahan baku sediaan farmasi yang siap diproduksi di dalam negeri dan jumlah jenis/varian
alat kesehatan yang diproduksi di dalam negeri (kumulatif) ditetapkan sebanyak 34 jenis dan
tercapai sebanyak 37 jenis dengan rincian jumlah realisasi bahan baku sediaan farmasi
sebesar 23 jenis dan jumlah jenis/varian alat kesehatan sebesar 14 jenis/varian. Pada tahun
2018, target indikator jumlah bahan baku sediaan farmasi yang siap diproduksi di dalam
negeri dan jumlah jenis/varian alat kesehatan yang diproduksi di dalam negeri (kumulatif)
ditetapkan sebanyak 51 jenis dan tercapai sebanyak 54 jenis dengan rincian jumlah realisasi
bahan baku sediaan farmasi sebesar 33 jenis dan jumlah jenis/varian alat kesehatan sebesar
21 jenis/varian. Untuk tahun 2019, target indikator jumlah bahan baku sediaan farmasi yang
siap diproduksi di dalam negeri dan jumlah jenis/varian alat kesehatan yang diproduksi di
dalam negeri (kumulatif) ditetapkan sebanyak 73 jenis dan tercapai sebanyak 78 jenis
dengan rincian jumlah realisasi bahan baku sediaan farmasi sebesar 50 jenis dan jumlah
jenis/varian alat kesehatan sebesar 28jenis/varian.
Jika dibandingkan dengan target akhir tahun Renstra (73 jenis), capaian tahun 2019
disimpulkan mencapai target akhir tahun Renstra 2015-2019 dalam indikator jumlah bahan
baku sediaan farmasi dan jenis/varian alat kesehatan yang diproduksi di dalam negeri
dengan hasil sebesar 78 atau dengan persentase capaian sebesar 106,85%.
Tabel 3.18
Target, Realisasi dan Capaian Indikator Jumlah Bahan Baku Sediaan Farmasi yang Siap
Diproduksi di Dalam Negeri dan Jumlah Jenis/Varian Alat Kesehatan yang Diproduksi
di Dalam Negeri (Kumulatif) Tahun 2019
Indikator Kinerja Target 2019 Realisasi 2019 Capaian 2019
Grafik 3.48
Target dan Realisasi Indikator Jumlah Bahan Baku Sediaan Farmasi yang Siap Diproduksi di
Dalam Negeri dan Jumlah Jenis/Varian Alat Kesehatan yang Diproduksi di Dalam
Negeri (Kumulatif) Tahun 2015-2019
Target pencapaian kinerja untuk indikator jumlah bahan baku sediaan farmasi yang siap
diproduksi di dalam negeri (kumulatif) tahun 2019 ditetapkan sejumlah 45 (empat puluh
lima) jenis. Adapun capaian jumlah bahan baku sediaan farmasi yang siap diproduksi di
dalam negeri tahun 2019 adalah sejumlah 17 jenis. Karena pengukuran indikator ini
dilakukan secara kumulatif, maka jumlah bahan baku sediaan farmasi yang siap diproduksi
di dalam negeri tahun 2019 adalah sejumlah 50 jenis atau mencapai 111,11% dari target
yang ditetapkan untuk tahun 2019 sejumlah 45 jenis. Jumlah 50 jenis tersebut terdiri dari
capaian tahun 2015 sejumlah 8 jenis, tahun 2016 sejumlah 8 jenis, tahun 2017 sejumlah 7
jenis, tahun 2018 sejumlah 10 jenis, dan tahun 2019 sejumlah 17 jenis.
Jika dibandingkan dengan target akhir tahun Renstra 2015-2019 (45 jenis), capaian tersebut
disimpulkan telah tercapai, dimana jumlah bahan baku sediaan farmasi yang diproduksi di
dalam negeri mendapat hasil lebih tinggi sebesar 5 jenis dari target dengan persentase
capaian sebesar 111,11%.
Upaya yang dilakukan dalam mencapai target indikator kinerja ini adalah dengan
berkoordinasi dan bersinergi dengan lembaga pendidikan dan lembaga penelitian melalui
fasilitasi peningkatan kapasitas produksi BBO dan BBOT. Pada tahun 2019 dilakukan kerja
sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT) dan Perguruan Tinggi yaitu Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas
Airlangga (UNAIR), Universitas Andalas (UNAND), Universitas Sumatera Utara (USU) dan
Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS).
Tabel 3.19
Daftar Nama Bahan Baku Sediaan Farmasi yang Siap Diproduksi di Dalam Negeri Tahun
2015-2019
NO BAHAN BAKU SEDIAAN FARMASI
Tahun 2015
1 Ekstrak Terstandar Daun Kepel (Stelechocarpus burahol (BI.)
Hook.f. & Th)
2 Ekstrak Umbi Bengkoang (Pachyrrhizus erosus L.)
3 Ekstrak Aktif Terstandar Daun Mimba (Azadirachta indica)
4 Ekstrak Biji Klabet (Trigonella foenum-graecum L.)
5 Pemanis Alami Glikosida Steviol
6 Ekstrak Terstandar Strobilanthes crispus L.
7 Ekstrak Terstandar Kelopak Bunga Rosela (Hibiscus sabdariffa
L.)
8 Karagenan Pharmaceutical Grade
Tahun 2016
9 Kristal PGV-6
10 Kristal HGV-6
11 Kristal GVT-6
12 Fraksi Gel dan Fraksi Antrakinon Terstandar Daun Lidah Buaya
(Aloe vera L.)
13 Ekstrak Terstandar Daun Sendok (Plantago major)
14 Fraksi Polisakarida Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L.)
15 Phlobaphene
16 Fraksi Bioaktif Biji Pala (Myristica fragrans Houtt)
Tahun 2017
17 Ekstrak Kayu Manis (Cinnamomum burmanii)
18 Asam Mefenamat
19 Kombinasi Ekstrak Air Tempuyung (Sonchus arvensis) dan Keji
Beling (Strobilanthes cripus)
20 Amilum Sagu (Metroxylon SP) Terpregelatinasi
21 Fraksi Aktif Terstandar Herba Kumis Kucing (Orthosiphon
arisatus (Blume))
22 Parasetamol
23 Ekstrak Terstandar Daun Pepaya (Carica papaya)
Tahun 2018
24 Sefalosporin C
25 1,3 bis (para hidroksifenil) urea/HP 2009
26 Fraksi Antosianin Daun Ubi Ungu (Ipomoea batatas L)
27 Ekstrak Daun Belimbing Manis (Averrhoa carambola L)
28 Fraksi Aktif dari Umbi Tanaman Talas (Collocasia esculenta)
Salah satu indikator kinerja kegiatan Direktorat Penilaian Alat Kesehatan dan Perbekalan
Kesehatan Rumah Tangga adalah alat kesehatan yang diproduksi di dalam negeri. Capaian
sasaran kegiatan diukur dengan indikator kinerja kegiatan jumlah jenis alat kesehatan yang
diproduksi di dalam negeri. Untuk mencapai sasaran kegiatan tersebut dilakukan melalui
koordinasi lintas sektor yang melibatkan industri, peneliti dan pemerintah yang
mempertemukan antara regulator, industri alat kesehatan dalam negeri, akademisi/peneliti
dan stakeholder terkait, kegiatan tersebut bertujuan untuk mendorong hilirisasi hasil riset
alat kesehatan. Adapun kegiatan yang telah dilakukan antara lain: 1) Melaksanakan survei
dan pemetaan kemampuan industri alat kesehatan dalam negeri dengan mendata
kebutuhan alat kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan, dari keseluruhan kebutuhan alat
kesehatan tersebut berapa yang sudah dipenuhi oleh indusri dalam negeri; 2)
Mengoptimalkan penggunaan aplikasi sistem informasi alat kesehatan produksi dalam
negeri (sisprokal.kemkes.go.id); 3) Workshop peningkatan kemanfaatan alat kesehatan
dalam negeri kepada tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan; 4) Edukasi
penggunaan alat kesehatan dan PKRT yang baik dan benar kepada masyarakat dan pameran
alat kesehatan produksi dalam negeri. Pameran produk alat kesehatan dan PKRT dalam
negeri telah dilaksanakan sebanyak 7 kali bersamaan dengan kegiatan Rapat Kerja
Kesehatan Nasional (Rakerkesnas), Rapat Koordinasi Nasional Direktorat Jenderal
Kefarmasian dan Alat Kesehatan dan Koordinasi Lintas Sektor Dalam Rangka Pengembangan
Industri Alat Kesehatan Dalam Negeri dan Kemanfaatan Alat Kesehatan Dalam Negeri.
Grafik 3.49
Pertumbuhan Industri Alat Kesehatan dalam Negeri per 31 Desember 2019
Dari grafik di atas, terlihat bahwa dalam kurun waktu lima tahun terakhir industri alat
kesehatan dalam negeri tumbuh sebesar 120 industri atau naik sebesar 62%.
Target pencapaian kinerja untuk indikator jumlah jenis/varian alat kesehatan yang siap
diproduksi di dalam negeri (kumulatif) sampai dengan tahun 2019 ditetapkan sejumlah 28
jenis/varian. Adapun capaian jumlah jenis/varian alat kesehatan yang diproduksi di dalam
negeri tahun 2019 adalah sejumlah 7 (tujuh) jenis/varian. Karena pengukuran indikator ini
dilakukan secara kumulatif, maka jumlah jenis/varian alat kesehatan yang diproduksi di
dalam negeri sampai dengan tahun 2019 adalah sejumlah 28 jenis/varian atau mencapai
100% dari target yang ditetapkan untuk tahun 2019 sejumlah 28 jenis/varian. Jumlah 28
jenis/varian tersebut terdiri dari capaian tahun 2015 sejumlah 3 jenis/varian, tahun 2016
sejumlah 4 jenis/varian, tahun 2017 sejumlah 7 jenis/varian, tahun 2018 sejumlah 7
jenis/varian dan tahun 2019 sejumlah 7 jenis/varian.
Jika dibandingkan dengan target akhir tahun Renstra 2015-2019 (28 jenis/varian), capaian
tersebut disimpulkan telah tercapai, dimana jumlah jenis/varian alat kesehatan yang
diproduksi di dalam negeri mendapat persentase capaian sebesar 100%.
Tabel 3.20
Daftar Nama Jenis/Varian Alat Kesehatan yang Diproduksi di Dalam Negeri
Tahun 2015-2019
NO JENIS/VARIAN ALAT KESEHATAN
Tahun 2015
1 Karixa Renograf
2 Triton Synthetic-Biological Sutures
3 Triton T-Skin Marker
Tahun 2016
4 DOMAS FLEXI-CORD Progressive
5 ORTHINDO Pedide Screw Titanium
6 ID BIOSENS Dengue NS1
7 INA-SHUNT Semilunar Flushing Valve System
Tahun 2017
8 RENOMA Blood Lancet
9 NPC Strip G
10 ENESERS Anaesthesia Machine
11 ONEMED Uro One Folley Catheter
12 TESENA Electrocardiograph 12 Channel Telemetry
13 ZENMED + Orthopedic Plate
14 Paket Benang Bedah Triton
Tahun 2018
15 Heron V
16 JMS Cell Washing
17 REFOCARE Calcium Alginate Dressing
18 CERASPON
19 BUDI Pengukur Kadar Lemak Digital
20 DERMATIX Ultra
21 ZETTA TeleCTG
Tahun 2019
22 BONEFILL ORTHO
23 VIRNA Glaucoma Implant by ROHTO®
24 FEMICAM Portable Medical Camera
25 BIOSAINS RAPID TEST GAD65
26 KARIXA Dentolaser
27 HEXAETCH Etching Gel
28 ONEMED® Alginate Impression Material
Terdapat beberapa permasalahan yang dialami dalam pencapaian indikator kinerja Jumlah
bahan baku sediaan farmasi yang siap diproduksi di dalam negeri dan jumlah jenis/varian
alat kesehatan yang diproduksi di dalam negeri (kumulatif) yaitu:
1. Beberapa rencana penggunaan anggaran penelitian kurang sesuai dengan yang
tertera pada dokumen kontrak yang disebabkan karena adanya perbedaan
kebijakan institusi penelitian terkait management fee.
2. Terdapat 1 (satu) kegiatan penelitian dilakukan dengan menggunakan metode
yang tidak sesuai dengan proposal.
3. Persepsi laporan keuangan dan laporan pekerjaan yang tidak seragam dan kurang
lengkap.
4. Masih kurangnya pemahaman industri alat kesehatan dalam negeri dan peneliti
pada saat proses pendaftaran izin edar produk alat kesehatan hasil riset.
5. Sekitar 60% industri alat kesehatan dalam negeri merupakan usaha mikro, kecil
dan menengah (UMKM), dengan fasilitas produksi yang terbatas dan pemahaman
mutu produk yang belum memadai.
6. Masih terbatasnya jumlah dan kemampuan industri alat kesehatan dalam negeri
untuk memproduksi alat kesehatan inovasi dan pengembangan baru, sebagian
besar masih fokus pada alat kesehatan teknologi rendah dan menengah.
Upaya pemecahan masalah terhadap kendala yang dialami dalam pencapaian indikator
kinerja Jumlah bahan baku sediaan farmasi yang siap diproduksi di dalam negeri dan jumlah
jenis/varian alat kesehatan yang diproduksi di dalam negeri (kumulatif)adalah sebagai
berikut:
1. Melakukan addendum pada dokumen kontrak.
2. Memperkuat monitoring dan evaluasi serta meminta peneliti melakukan riset
ulang dengan metode yang sudah disetujui dan disepakati oleh Tim Reviewer.
3. Disusun petunjuk pelaksanaan teknis monitoring dan evaluasi untuk dapat
dipedomani peneliti dalam penyusunan administratif keuangan dan dokumen
teknis.
4. Memberikan bimbingan teknis kepada industri alat kesehatan dalam negeri dan
peneliti dalam pemenuhan persyaratan dokumen pendaftaran izin edar produk
alat kesehatan hasil riset.
5. Mengupayakan pembinaan terhadap usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM)
di bidang alat kesehatan untuk memberikan pengetahuan dalam
mempertahankan dan meningkatkan mutu produk.
6. Melaksanakan pertemuan koordinasi lintas sektor dalam rangka pengembangan
alat kesehatan dalam negeri berbasis riset.
Untuk Indikator Jumlah bahan baku sediaan farmasi yang siap diproduksi di dalam negeri,
dan jumlah alat kesehatan yang diproduksi di dalam negeri (kumulatif), efisiensi
penggunaan sumber daya dapat tercapai dengan terwujudnya efisiensi anggaran terhadap
capaian kinerja, karena capaian kinerja sebesar 111,11% dapat terwujud dengan 90,27%
penyerapan anggaran untuk target bahan baku sediaan farmasi dan capaian kinerja sebesar
100,00% dapat terwujud dengan 98,28% penyerapan anggaran untuk target alat kesehatan.
Grafik 3.50
Analisis atas Efisiensi Penggunaan Sumber Daya Terhadap Capaian Indikator Kinerja
Program Jumlah Bahan Baku Sediaan Farmasi yang Siap Diproduksi di Dalam Negeri,
dan Jumlah Alat Kesehatan yang Diproduksi di Dalam Negeri (kumulatif) Tahun 2019
c. Persentase produk alat kesehatan dan PKRT di peredaran yang memenuhi syarat
Kementerian Kesehatan memiliki tanggung jawab untuk melakukan pengendalian pasca
pemasaran (post-market) untuk memastikan bahwa alat kesehatan dan PKRT yang telah
memiliki ijin edar dapat terus menerus memenuhi persyaratan keamanan, mutu,
manfaat, dan penandaan yang telah disetujui. Kegiatan yang dilakukan adalah dengan
melakukan sampling produk alat kesehatan dan PKRT. Kegiatan sampling dilakukan
dalam rangka pembinaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap keamanan, mutu,
dan manfaat alat kesehatan dan PKRT yang beredar di Indonesia. Indikator ini bertujuan
untuk mengetahui tingkat keamanan mutu alat kesehatan dan PKRT yang beredar.
Indikator ini akan dianggap semakin baik bila realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari
yang ditargetkan.
Persentase produk alat kesehatan dan PKRT di peredaran yang memenuhi syarat dihitung
dengan formulasi sebagai berikut:
Jumlah sampel alat kesehatan dan PKRT yang diuji dan memenuhi
X
syarat
100%
Jumlah sampel alat kesehatan dan PKRT yang diuji
pengawasan terhadap keamanan, mutu dan manfaat alat kesehatan dan PKRT yang telah
beredar di wilayah Indonesia.
Salah satu kegiatan pengendalian post-market dilakukan melalui sampling produk alat
kesehatan dan PKRT. Sampling alat kesehatan dan PKRT merupakan kegiatan dalam
rangka pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap keamanan, mutu dan
manfaat alat kesehatan dan PKRT yang telah beredar di wilayah Indonesia.
Indikator persentase produk alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga
(PKRT) di peredaran yang memenuhi syarat mengalami perubahan target capaian
indikator pada Revisi Renstra tahun 2017 sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia HK.01.07/Menkes/422/2017 yang mulai berlaku pada 29 Agustus
2017. Target dan capaian indikator produk alat kesehatan dan perbekalan kesehatan
rumah tangga (PKRT) di peredaran yang memenuhi syarat sebelum revisi adalah sebagai
berikut:
Grafik 3.51
Target dan Realisasi Indikator Persentase Produk Alat Kesehatan dan Perbekalan
Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) di Peredaran yang Memenuhi Syarat Tahun 2015-
2019
Pada tahun 2019 dilakukan pengambilan sampel alat kesehatan dan PKRT di 34 provinsi
dan pengujian sampel dilakukan di beberapa laboratorium yaitu di Pusat Pemeriksaaan
Obat dan Makanan Nasional (PPOMN-BPOM), Laboratorium Balai Besar Pemeriksaan
Obat dan Makanan (BBPOM) Provinsi DKI Jakarta, Balai Pengujian Mutu Produk Tanaman
Kementerian Pertanian, IPB Culture Collection Departemen Biologi Fakultas Matematika
dan IPA, Unit Layanan Pengujian Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, Balai
Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK), PT Sucofindo.
Produk yang disampling adalah produk yang berdasarkan analisa risiko, produk yang
banyak dipakai oleh tenaga kesehatan dan masyarakat, produk yang banyak beredar dan
memiliki dampak yang cukup luas pada masyarakat, produk yang memiliki riwayat Tidak
Memenuhi Syarat (TMS) dan produk program pemerintah.
Jumlah sampel alat kesehatan yang memenuhi syarat terhadap parameter uji yang telah
ditetapkan sebanyak 1.042 sampel dari 1.153 sampel yang telah memiliki sertifikat hasil
uji. Sampel PKRT yang memenuhi syarat terhadap parameter uji sejumlah 778 sampel
dari 854 sampel yang telah memiliki sertifikat hasil uji. Total sampel yang memenuhi
syarat 1.920 dari total sampel sejumlah 2.007 sehingga realisasi indikator kinerja sebesar
95,67%.
Bila dilakukan perbandingan antara capaian tahun 2019 dengan target akhir tahun
Renstra 2015-2019, capaian indikator dimaksud lebih tinggi sebesar 5,67% dengan
persentase capaian sebesar 106,30%. Hal ini menunjukkan telah tercapai target indikator
akhir tahun Renstra 2015-2019.
Upaya yang dilakukan untuk mencapai target tersebut antara lain melakukan analisis dan
evaluasi hasil uji sampling dan tindak lanjut pengawasan produk alat kesehatan dan PKRT
yang bertujuan sebagai post market control. Selain itu juga dilakukan pengawasan post
market di peredaran untuk memastikan alat kesehatan dan PKRT yang telah diberikan
persetujuan izin edarnya tetap memenuhi persyaratan, keamanan, manfaat dan mutu.
Tabel 3.21
Target, Realisasi dan Capaian Indikator Persentase Produk Alat Kesehatan dan Perbekalan
Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) di Peredaran yang Memenuhi Syarat Tahun 2019
Terdapat beberapa permasalahan yang dialami dalam pencapaian indikator kinerja kegiatan
persentase produk alat kesehatan dan PKRT yang memenuhi syarat yaitu:
1. Terbatasnya kapasitas dan kemampuan laboratorium uji untuk produk alat
kesehatan dan PKRT.
2. Hasil uji sampling alat kesehatan dan PKRT yang dilaksanakan oleh satker dekon
belum terakomodir sebagai bagian dari indikator persentase produk alat
kesehatan dan PKRT di peredaran yang memenuhi syarat.
Upaya pemecahan masalah terhadap kendala yang dialami adalah sebagai berikut:
1. Menetapkan prioritas sampling produk alat kesehatan dan PKRT untuk
pelaksanaan sampling pusat dan dana Dekonsentrasi tahun 2020 sesuai
kemampuan dan kapasitas laboratorium uji.
2. Hasil uji sampling alat kesehatan dan PKRT yang dilaksanakan oleh satker
Dekonsentrasi akan diakomodir sebagai bagian dari indikator persentase produk
alat kesehatan dan PKRT di peredaran yang memenuhi syarat di tahun 2020.
Capaian kinerja dari indikator kinerja program kefarmasian dan alat kesehatan didukung
dengan beberapa kegiatan lainnya dengan indikator kinerja sebagai berikut:
Untuk indikator persentase produk alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga
(PKRT) di peredaran yang memenuhi syarat, efisiensi penggunaan sumber daya dapat
tercapai dengan terwujudnya efisiensi anggaran terhadap capaian kinerja, karena capaian
kinerja sebesar 106,30% dapat terwujud dengan 94,04% penyerapan anggaran.
Grafik 3.52
Analisis atas Efisiensi Penggunaan Sumber Daya Terhadap Capaian Indikator Kinerja
Program Persentase Produk Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga
(PKRT) di Peredaran yang Memenuhi Syarat Tahun 2019
106,30%
94,04%
Efisensi Sasaran Strategis Meningkatnya Akses, Kemandirian, dan Mutu Sediaan Farmasi
dan Alat Kesehatan:
Tabel 3.22
Analisis Efisiensi Indikator Meningkatnya Akses, Kemandirian dan Mutu Sediaan
Farmasi dan Alkes
Dalam kaitan dengan Sasaran Strategis ini, Kementerian Kesehatan mengidentifikasi tiga
Indikator Kinerja Utama (IKU) dengan hasil capaiannya sebagaimana tergambar dalam tabel
berikut:
Tabel 3.23
Capaian IKU pada Sasaran Strategis 5:
Meningkatnya Jumlah, Jenis, Kualitas, dan Pemerataan Tenaga Kesehatan
Indikator ini merupakan capaian indikator program prioritas Nasional yang tertuang dalam
target indikator RPJMN 2015-2019, selain itu IKU kesatu ini juga merupakan indikator yang
mendukung tercapainya program Renstra Kemenkes 2015-2019 dalam mewujudkan
Program Indonesia Sehat dan GERMAS. Melalui IKU kesatu ini akan diperoleh gambaran
terpenuhinya tenaga kesehatan khususnya tenaga kesehatan promotif dan preventif dalam
rangka memperkuat pelayanan kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan di Puskesmas,
keberhasilan puskesmas dalam menjalankan program ditentukan oleh tenaga kesehatan
dimana Puskesmas bukan saja menjadi gate keeper untuk rujukan tetapi juga membina
masyarakat umum untuk mempunyai kemampuan untuk hidup sehat. Disamping itu
Puskesmas juga sebagai fasilitas kesehatan primer yang merupakan soko guru dari
pelayanan kesehatan.
Apabila capaian indikator ini sebanyak 4.485 (80,08%) dibandingkan dengan absolut target
indikator tahun 2019 (5.600), memang capaian angka indikator ini belum optimal tercapai
100%. Namun, bila mengacu Permenpan 53 tahun 2014 disebutkan bahwa analisa
pengukuran kinerja dapat menggunakan standar Nasional dalam rangka memudahkan
penilaian tingkat keberhasilan pelaksanaan program/kegiatan dan mengacu standar Permen
PPN/Kepala Bappenas RI No 1 thn 2017 maka capaian Program PPSDM Kesehatan untuk
IKU kesatu ini tidak dapat dikatakan tidak tercapai akan tetapi belum tercapai optimal
dikarenakan capaiannya dalam katagori range < 95% dan ≥ 75% atau status capaian
KUNING. Badan PPSDM Kesehatan telah melakukan evaluasi terhadap indikator kinerja
utamanya yang belum tercapai ini, dengan memperhitungkan target yang akan diukur di
tahun 2020.
Berikut grafik target dan capaian IKU kesatu yakni Jumlah Puskesmas Yang Minimal Memiliki
5 Jenis Tenaga Kesehatan tahun 2015-2019:
Grafik 3.53
Sandingan Target Dan Capaian IKU Kesatu
Jumlah Puskesmas Yang Minimal Memiliki 5 Jenis Tenaga Kesehatan
Jika capaian tahun 2019 : 80,08% dibandingkan dengan capaian indikator pada tahun
sebelumnya 2018 : 95,93% maka persentase capaian indikator ini di tahun 2019 mengalami
penurunan sebanyak 15,85%. Namun, jika diakumulasi dari angka absolut capaian terdapat
kenaikan capaian per tahun-nya yakni pada capaian tahun 2019 sebesar 4.485 puskesmas
dibandingkan dengan capaian tahun 2018 sebanyak 4.029 puskesmas, terdapat kenaikan
sebanyak : 456 puskesmas telah terpenuhi ketersediaan tenaga kesehatan sesuai standard.
Berikut gambaran akumulasi kenaikan capaian:
Tabel 3.24
Akumulasi capaian IKU Kesatu Tahun 2015-2019
Akumulasi
Akumulasi 2015-2016 2016-2017 2017-2018 2018-2019
Target
Kenaikan target per 800 1.000 1200 1400 4.400
tahun
Kenaikan capaian 439 1.023 1.388 456 3.306
per tahun
Selisih akumulasi target dan akumulasi capaian 1.094
Selama 5 (lima) tahun Badan PPSDM kesehatan telah berupaya keras dalam mewujudkan
tercapaianya target indikator yang telah ditetapkan yakni sebanyak 4.485 puskesmas telah
terpenuhi ketersediaan tenaga kesehatan sesuai standar. Namun pencapaian IKU kesatu ini
sangat ditentukan komitmen dan peranan daerah. Dalam upaya tercapainya pemenuhan
1.094 tenaga kesehatan yang belum terpenuhi melalui IKU kesatu ini, Badan PPSDM
Kesehatan telah menetapkan arah kebijakannya dan merumuskan program-programnya
melalui Pemenuhan dan Peningkatan Kompetensi Tenaga Kesehatan melalui IKU kesatu di
Tahun 2020.
Jika target capaian pada tahun 2020 sebesar 35% ini dikalikan dengan jumlah puskesmas
tahun 2019 sebanyak 10.104 puskesmas, maka ada sebanyak 3.536 puskesmas harus
terpenuhi ketersediaan tenaga kesehatan sesuai standard di tahun 2020. Artinya pada lima
tahun ke depan Badan PPSDM harus lebih progresif sebagai unit pendukung yang siap untuk
menjadi salah satu faktor yang menentukan keberhasilan program-program pembangunan
kesehatan.
Angka capaian IKU kesatu ini diperoleh melalui proses pemutakhiran data PPSDM Kesehatan
di Provinsi, Kabupaten/Kota melalui dana dekonsentrasi. Penghitungan dan pengolahan
data eksisting SDM Kesehatan sebelumnya dilakukan pemutakhiran data tingkat Provinsi
dan Kabupaten/Kota, dimana data diinput oleh pengelola data dan informasi Provinsi,
Kabupaten/Kota melalui aplikasi Sistem Informasi Sumber Daya Manusia Kesehatan (SI
SDMK). Data dan informasi tersebut kemudian di finalisasi pada pertemuan pengelola data
PPSDMK daerah dan institusi secara Nasional. Berikut adalah tahapan dihasilkannya data
eksisting SDM Kesehatan :
1) Pertemuan Pengelola data PPSDMK Daerah dan institusi
2) Fasilitasi Pemetaan SDMK
3) Penyusunan Pedoman Pengelolaan datin PPSDM Kesehatan
4) Penyusunan dokumen deskripsi
5) Rapat koordinasi dan konsultasi data dan informasi
Gambar 3.39
Supporting Aplikasi Sistem Informasi Sumber Daya Manusia Kesehatan (SI SDMK)
Terhadap Proses Hitung Capaian IKU Program PPSDMK
Landasan IKU kesatu menjadi salah satu indikator kinerja utama program PPSDM Kesehatan,
dilatarbelakangi IKU kesatu adalah gambaran terpenuhi dan pemerataan tenaga kesehatan
yang akan melakukan pelayanan promotive dan preventif di Puskesmas di seluruh Indonesia.
Sebagaimana diketahui Puskesmas merupakan fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat
pertama yang mengutamakan upaya promotif dan preventif untuk mencapai derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.
Oleh karena itu, peranan Puskesmas sangatlah strategis dikarenakan fungsinya sebagai gate
keeper penyedia pelayanan kesehatan yang melakukan kontak pertama melayani kesehatan
di masyarakat, sehingga untuk keberhasilan program kesehatan di Puskesmas tersebut
ketersediaan jenis tenaga kesehatan di Puskesmas khususnya 5 (lima) jenis tenaga
kesehatan promotif dan preventif yang memadai sangat dibutuhkan. Lima jenis tenaga
kesehatan yang dbutuhkan ini adalah :
1) tenaga kesehatan lingkungan,
2) tenaga kefarmasian,
3) tenaga gizi,
4) tenaga kesehatan masyarakat dan
5) tenaga ahli teknologi laboratorium medik (ATLM) di Puskesmas
Berbagai studi menunjukkan bahwa tenaga kesehatan merupakan kunci utama dalam
keberhasilan pencapaian tujuan pembangunan kesehatan. Tenaga kesehatan memberikan
kontribusi hingga 80% dalam keberhasilan pembangunan kesehatan. Kondisi tenaga
kesehatan di Indonesia sebenarnya terus membaik dalam jumlah, kualitas dan
penyebarannya, namun masih belum mampu memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di
seluruh wilayah terutama pada daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan.
Kondisi distribusi ketenagaan yang kurang merata tersebut ditambah dengan adanya Sistem
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang membutuhkan upaya peningkatan akses dan mutu
pelayanan kesehatan, baik pada fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun fasilitas
kesehatan tingkat lanjutan, serta perbaikan sistem rujukan pelayanan kesehatan. Dengan
sistem JKN beban kerja tenaga kesehatan semakin meningkat dengan meningkatnya
demand masyarakat terhadap layanan kesehatan, karena akses terhadap layanan yang
makin baik. Masyarakat yang tadinya tidak bisa berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan
(fasyankes) karena keterbatasan biaya dengan adanya JKN menjadi bisa mengakses layanan.
Harapannya melalui sistem JKN ini adalah beban rumah sakit akan berkurang, artinya
sebagian besar pelayanan kesehatan diharapkan dapat diselesaikan di tingkat primer
melalui pemenuhan SDM Kesehatan dan non Kesehatan baik ketersediaan tenaga promotif
dan preventif. Adapun rincian per jenis tenaga sesuai dengan pengelompokkan dalam
Undang Undang Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, dapat dilihat pada tabel
berikut :
Tabel 3.25.
Jenis Rumpun Tenaga Kesehatan
No Rumpun Ketenagaan Jumlah
1 Medis 133.151
2 Psikologi Klinis 973
3 Keperawatan 410.930
4 Kebidanan 237.324
5 Kefarmasian 68.279
6 Kesehatan Masyarakat 29.241
7 Kesehatan Lingkungan 17.942
8 Gizi 25.229
9 Keterapian Fisik 8.105
10 Keteknisian Medis 30.436
11 Teknik Biomedika 47.473
12 Tenaga Kesehatan Tradisional 892
13 Tenaga Penunjang Kesehatan 355.094
TOTAL 1.365.252
Sumber :Pemetaan Data SI DMK, Desember 2019
Hasil pemetaan data Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan, mengacu standar Permenkes
75 tahun 2014 sebanyak 1.365.252 jumlah SDM Kesehatan yang tersedia di fasilitas
pelayananan kesehatan. Dan sebagian besar dari tenaga kesehatan tersebut bekerja di
10.104 puskesmas yang terdiri dari tenaga promotif dan preventif yang tersedia dan
tersebar di seluruh puskesmas di Indonesia. Penentuan lima jenis tenaga kesehatan ini
berdasarkan kebutuhan jenis tenaga yang dibutuhkan di Puskesmas dalam menjalankan
pelayanan promotif dan preventif, diharapkan melalui IKU kesatu ini jumlah dan jenis tenaga
kesehatan promotif dan preventif dapat tersedia dan tersebar lebih merata di Puskesmas
seluruh Indonesia.
Standar puskesmas yang minimal memiliki lima jenis tenaga kesehatan ini mengacu
Peraturan Menteri Kesehatan nomor 75 tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat,
pada pasal 16 disebutkan bahwa sumber daya manusia Puskesmas terdiri dari tenaga
kesehatan dan non kesehatan. Tenaga kesehatan yang dimaksud Permenkes tersebut
minimal terdiri atas :
a. dokter atau dokter layanan primer;
b. dokter gigi;
c. perawat;
d. bidan;
e. tenaga kesehatan masyarakat;
f. tenaga kesehatan lingkungan;
g. ahli teknologi laboratorium medik;
h. tenaga gizi; dan
i. tenaga kefarmasian.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 154
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019
Kemudian pada pasal 13, disebut bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
memenuhi kebutuhan Tenaga Kesehatan, baik dalam jumlah, jenis, maupun dalam
kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan pembangunan kesehatan.
Dengan demikian, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus bekerja secara
sinergis melaksanakan pembangunan kesehatan yang terencana, terpadu dan
berkesinambungan dalam upaya mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya. Ketidaktercapaian target IKU kesatu pada tahun 2019 ini dipengaruhi oleh
beberapa kendala dalam pelaksanaan kegiatan, diantaranya :
1) Upaya pemenuhan dan pemerataan tenaga kesehatan selama ini masih merupakan
kontribusi dan peran dari Pemerintah Pusat, sedangkan secara konkuren dalam UU no
23 tahun 2014 seharusnya sudah dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Dengan
keterbatasan kewenangan dari regulasi yang ada tersebut pemerintah pusat hanya
dapat mengisi tenaga kesehatan untuk Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan
(DTPK) saja, sedangkan untuk lokus daerah biasa dan pedesaan banyak yang masih
belum terpenuhi tenaga kesehatannya.
2) Badan PPSDM Kesehatan telah melakukan beberapa upaya untuk mengundang
pemerintah daerah untuk turut aktif lebih berperan dalam pemenuhan tenaga
kesehatan, khususnya di Puskesmas. Namun keberhasilan upaya ini kurang optimal,
disebabkan kurangnya komitmen dari Pemerintah Daerah khususnya dalam komitmen
pemenuhan ketersediaannya fasilitas sarana dan prasarana di daerah untuk
penempatan tenaga kesehatan di lokus yang telah ditetapkan.
3) Masih lemahnya penguatan Norma Standard Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang
mengatur tentang pemenuhan tenaga Kesehatan Strategis di Kabupaten/ Kota.
Sehingga belum semua daerah mempunyai Rencana Aksi Daerah (RAD) untuk
Untuk mengatasi kendala tersebut, telah dilakukan berbagai upaya tindak lanjut, seperti:
1) Badan PPSDM Kesehatan mengupayakan peningkatan peran serta pemerintah daerah
dalam pemenuhan tenaga kesehatan, khususnya di Puskesmas dengan memberikan
kesempatan kepada daerah untuk mengusulkan daerah atau lokus yang menjadi
prioritas penempatan tenaga kesehatan.
2) Untuk meningkatkan komitmen Pemerintah daerah perlu dilakukan sosialisasi dan
advokasi regulasi yang ada dan regulasi yang akan diterbitkan. Selain itu, setiap daerah
yang mengusulkan lokus pemenuhan tenaga kesehatan wajib menyertakan data
dukung terkait fasilitas sarana dan prasarana yang disediakan oleh pemerintah daerah
terhadap tenaga kesehatan yang akan ditempatkan di daerahnya
3) Perlu diterbitkannya regulasi baru yang mewajibkan Pemerintah Daerah memenuhi
kebutuhan tenaga kesehatan untuk Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) atau
puskesmas. Serta diperlukan upaya lebih progresif untuk menjadikan syarat
pemenuhan tenaga kesehatan dalam SPM, hal ini upaya yang telah dilakukan belum
ada realisasi dimana masih adanya anggapan tenaga kesehatan tidak termasuk dalam
pelayanan kesehatan.
4) Perlu diterbitkannya regulasi untuk penguatan SISDMK, selama ini penguatan SI SDMK
telah dilakukan dengan melakukan pemantauan data dan verifikasi data di setiap
provinsi.
5) Mendorong percepatan keluarnya regulasi yang mendukung penempatan tenaga
kesehatan diluar DTPK dan daerah konflik.
Pada tahapan ke-4 RPJMN 2020-2024 yang strategis, beberapa upaya program inovasi untuk
mengatasi permasalahan tersebut seperti:
1. Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan/ Nusantara Sehat Berbasis Tim (Team Based) dan
Individu.
Program ini bertujuan memperkuat pelayanan kesehatan primer untuk mewujudkan Indonesia
Sehat melalui peningkatan jumlah, distribusi, komposisi, dan mutu tenaga kesehatan. Mengacu
pada evaluasi permasalahan pada tahun sebelumnya, pada tahun 2020 program ini akan
mengembangkan model baru diantaranya penugasan dengan masa tugas 1 tahun dan
mekanisme seleksi dengan pilih minat/ formasi pra seleksi dengan fokus penempatan
tenaga kesehatan mengacu pada target tahun 2020 dari IKU program PPSDM Kesehatan.
Pada tahun 2019, jumlah tenaga kesehatan yang ditempatkan melalui tim Nusantara Sehat
sebanyak 173 tim atau sebanyak 990 orang. Sedangkan penempatan tenaga kesehatan
dalam rangka penugasan khusus individu di fasilitas pelayanan kesehatan adalah sebanyak
3.574 orang.
Gambar 3.40
Pembekalan Nusantara Sehat
Jumlah tenaga kesehatan untuk penugasan tenaga kesehatan secara team based (Nusantara
Sehat) minimal 5 orang dengan jenis tenaga kesehatan adalah dokter, dokter gigi, perawat,
bidan, tenaga kefarmasian, tenaga kesmas, tenaga kesling, tenaga gizi, dan tenaga teknis
laboratorium) yang mengikuti penugasan khusus berbasis tim (Tim Nusantara Sehat).
Sedangkan jenis tenaga kesehatan untuk penugasan khusus secara individu adalah tenaga
kesehatan (dokter, dokter gigi, perawat, bidan, tenaga kefarmasian, tenaga kesmas, tenaga
kesling, tenaga gizi, dan tenaga teknis laboratorium).
Selama tahun 2015 – 2019 melalui program Nusantara Sehat Team (NST) sudah sebanyak
4.370 tenaga kesehatan yang ditempatkan di 29 Provinsi, 190 Kabupaten dan 589
Puskesmas. Berikut talel penempatan NST per tahun :
Tabel 3.26
Penempatan Nusantara Sehat Tim 2015-2019
URAIAN TAHUN TOTAL
2015 2016 2017 2018 2019
PESERTA 694 728 1064 894 990 4370
PUSKESMAS 120 131 188 156 173 589
KABUPATEN 65 73 106 86 77 190
PROVINSI 15 26 25 24 20 29
Adapun program penugasan khusus individu dimulai dari tahun 2017 – 2018 sudah di
tempatkan 7.571 tenaga kesehatan di 30 Provinsi, 277 Kabupaten dan 2.196 Puskesmas.
Berikut tabel penempatan NSI per tahun :
Tabel 3.27
Penempatan Nusantara Sehat Individu 2017-2019
URAIAN TAHUN TOTAL
2017 2018 2019
PESERTA 1663 2334 3574 7571
PUSKESMAS 871 1160 1500 2196
KABUPATEN 161 150 214 277
PROVINSI 28 28 30 30
Gambar 3.41
Pelatihan Nusantara Sehat Individu
yang terjadi dalam rentang waktu tahun 2019 untuk antara lain :
a. Keterbatasan kewenangan pemerintah pusat yang hanya dapat mengisi lokus di daerah
DTPK saja, sehingga upaya pemenuhan tenaga kesehatan di fasyankes menjadi tidak
maksimal.
b. Lokus Nusantara Sehat Individu (NSI) tidak diminati/tidak dipilih peserta. Minat
beberapa jenis tenaga kesehatan untuk mengikuti penugasan khusus tenaga kesehatan
(tim dan individu) masih kurang terutama dokter dan dokter gigi termasuk tenaga
kesling, tenaga ahli teknologi laboratorium medik (ATLM) dan tenaga gizi;
c. Penyampaian calon lokus dari Unit Eselon 2 yang lain (Dit. Yankes Primer) melewati
batas waktu yang ditetapkan, sehingga beberapa lokus tidak dapat diakomodir pada
saat seleksi nakes Nusantara Sehat.
d. Tingkat ketidakhadiran peserta Nusantara Sehat Tim yang dipanggil saat pembekalan
lebih dari 7%.
2. Menerbitkan Norma Standar Prosedur dan Kriteria (NSPK) Yang Mengatur Tentang
Pemenuhan Kebutuhan Tenaga Kesehatan Di Daerah
Disamping itu, upaya lainnya yang akan dilakukan pada tahun 2020 dalam rangka
memperkuat pemenuhan tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan adalah melalui
program :
Untuk tahun 2019, total jumlah lulusan tenaga kesehatan dari Politeknik Kesehatan
Kementerian Kesehatan adalah sebanyak 27.852 orang lulusan. Para lulusan Poltekkes
Kemenkes ini diharapkan siap didayagunakan di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan.
Keberhasilan pelaksanaan program pendayagunaan lulusan Politeknik Kesehatan
Kementerian. Kesehatan di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan ini diperlukan sinergi
semua pihak sehingga permasalahan Surat Tanda Registrasi (STR) dan Uji Kompetensi
(UKOM) bukan sebagai hambatan dalam percepatan pendayagunaan lulusan.
Beberapa hal strategis yang perlu diupayakan kedepan sebagai berikut:
1. Memasukkan unsur pemenuhan 5 (lima) jenis tenaga kesehatan promotif dan preventif
ke dalam 12 indikator Standar Pelayanan Minimal (SPM) Puskesmas di daerah, sehingga
secara otomatis akan menjadi masukan strategis bagi Kepala Daerah dalam penyusunan
RPJMN. Hal ini sekaligus mendorong daerah untuk menjalankan fungsinya dalam UU.
No. 23 tahun 2014 dalam pemenuhan 5 (lima) jenis tenaga kesehatan promotif dan
preventif di seluruh wilayah nusantara.
2. Advokasi ke Pemerintah Daerah untuk mendorong dalam pemenuhan kebutuhan
tenaga kesehatan dengan skema penugasan khusus dan mengusulkan formasi CPNS
tenaga kesehatan promotif dan preventif di Puskesmas.
3. Pemanfaatan dan pendayagunaan lulusan Poltekkes dalam pemenuhan tenaga
kesehatan tahun 2019, dalam bentuk program ikatan dinas untuk mengikuti program
Nusantara Sehat dengan jangka waktu 1-2 tahun setelah setelah menyelesaikan
pendidikan.
Sumber Daya Manusia Kesehatan di Rumah Sakit (RS) merupakan hal penting yang
mendukung berkembangnya rumah sakit dan menjadi tolak ukur penting dalam penilaian
pengembangan mutu pelayanan di rumah sakit, dengan dasar itulah indikator ini bertujuan
untuk meningkatkan ketersediaan dan mutu SDM Kesehatan di RS sesuai dengan standar
pelayanan kesehatan spesialistik.
Sebagaimana diketahui bahwa, pelayanan kesehatan merupakan salah satu hak asasi
manusia yang harus dipenuhi oleh Pemerintah sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 28H
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam rangka untuk
mendekatkan akses pelayanan kesehatan kepada masyarakat telah diterbitkan beberapa
kebijakan, seperti Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dan Undang-
undang Nomor 36 Tahun 2014, dimana Pemerintah mengatur penempatan tenaga
kesehatan untuk pemerataan pelayanan kesehatan dan bersama dengan pemerintah
daerah wajib memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan, baik dalam jumlah, jenis, maupun
dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan pembangunan
kesehatan.
Landasan perlunya IKU Kedua, berdasarkan pemenuhan pelayanan kesehatan di Indonesia
khususnya pelayanan spesialistik, memiliki dasar filosofis dan sosiologis untuk pemenuhan
kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan spesialistik, meningkatkan akses
masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas di seluruh Indonesia,
distribusi dokter spesialis tidak merata, keberadaan banyak di kota-kota besar, serta
keberadaaan dan ketersediaan dokter spesialis di rumah sakit kurang dari standar minimal
yang ditetapkan.
Definisi Operasional IKU Kedua: Persentase RS Kabupaten/ kota kelas C yang memiliki 4
dokter spesialis dasar dan 3 dokter spesialis penunjang.
Yang dimaksud empat dokter spesialis dasar adalah dokter spesialis obstetri dan ginekologi,
dokter spesialis anak, dokter spesialis penyakit dalam, dan dokter spesialis bedah,
sedangkan tiga dokter spesialis penunjang yaitu dokter spesialis radiologi, dokter spesialis
anastesi, dan dokter spesialis patologi klinik.
Tabel 3.28
Sandingan Target, Capaian IKU Kedua
Persentase RS Kabupaten/Kota kelas C yang Memiliki 4 dokter spesialis dasar dan
3 dokter spesialis penunjang Tahun 2015 – 2019
Proses perhitungan angka capaian IKU kedua ini sama seperti IKU kesatu yakni melalui
proses pemutakhiran data Provinsi, Kabupaten/Kota dengan dekonsentrasi. Hasil
pengolahan data dan Informasi PPSDM Kesehatan di Provinsi dan Kabupaten kemudian
dilakukan pemutakhiran data Nasional.
Angka capaian diperoleh dari menghitung jumlah rumah sakit kabupaten/kota kelas C yang
terdata tahun 2019 adalah 350 rumah sakit. Dari total 350 rumah sakit kabupaten/kota
kelas C, yang telah memiliki empat dokter spesialis dasar dan tiga spesialis penunjang
sebanyak 216 rumah sakit atau tercapai sebanyak 62,00%.
Sehingga persentase capaian dibandingkan target (60%) adalah 103,33% RS Kabupaten/Kota
kelas C sudah memiliki dokter spesialis sesuai standar.
Perhitungan :
216 = 62,00%
350
Rincian kenaikan capaian tahun 2016 dan 2019 dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 3.29
Perbandingan Capaian Indikator Kedua Tahun 2016 – 2019
Dari tabel diatas dapat dijabarkan persentase capaian indikator kedua pada tahun
2019:103.33% mengalami penurunan sebesar 19,93% dibandingkan persentase capaian
tahun 2018 :123,26%. Sebaliknya apabila dihitung berdasarkan akumulasi angka absolut
capaian per tahunnya terdapat kenaikan capaian pada tahun 2019, dimana pada tahun
2019 terdapat penambahan jumlah RS tipe C sebanyak 6 RS, sedangkan jumlah RS tipe
C yang sudah memiliki 7 dokter spesialis dasar bertambah sebanyak 4 RS. Grafik
capaiannya dapat dilihat sebagai berikut:
Grafik 3.54
Sandingan Target Dan Capaian IKU Kedua
Persentase RS Kabupaten/Kota kelas C yang Memiliki 4 dokter spesialis dasar dan
3 dokter spesialis penunjang Tahun 2015 – 2019
Walaupun secara persentase dan capaian IKU kedua sudah tercapai di tahun 2019,
namun masih terdapat 134 RS yang belum terpenuhi tenaga dokter spesialis sesuai
standard. Capaian IKU kedua ini salah satunya diperoleh melalui pelaksanaan program
pendayagunaan dokter spesialis (PPDGS) dan penugasan khusus residen. Dalam rangka
upaya pemenuhan memenuhi kebutuhan pelayanan spesialisasi di daerah dan
meningkatkan akses masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan spesialistik,
Kementerian Kesehatan telah menetapkan arah kebijakan dan merumuskan program-
programnya di tahun 2020 terhadap indikator ini yang dituangkan dalam Perjanjian
Kinerja tahun 2020 dengan target 70%.
Proyeksi capaian IKU kedua ini jika dibandingkan dengan target tahun 2020 : 70%, maka
indikator ini baru tercapai sebesar 88,57%. Artinya pada lima tahun ke depan
Kementerian Kesehatan perlu memikirkan langkah yang progresif dan strategis dalam
rangka keberhasilan program-program pembangunan kesehatan melalui pencapaian
indikatornya.
Sebagaimana ditetapkan dalam Permenkes Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan
Perizinan Rumah Sakit, bahwa rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
Rumah sakit merupakan fasilitas kesehatan rujukan utama bagi masyarakat yang ingin
memperoleh pelayanan kesehatan baik untuk pengobatan maupun untuk pemulihan
kesehatannya, apalagi perkembangan dunia kesehatan pada umumnya sudah banyak
mengalami perubahan, terutama sejak adanya undang-undang kesehatan dan undang-
undang rumah sakit tahun 2009. Sebagai pusat rujukan kesehatan utama, rumah sakit
dituntut mampu memberikan pelayanan yang optimal bagi setiap kebutuhan pasiennya.
Untuk menyikapi hal tersebut, seiring dengan persaingan yang semakin tajam karena
perubahan teknologi dan lingkungan yang cepat dan drastis pada setiap aspek kehidupan
manusia maka setiap rumah sakit membutuhkan sumber daya manusia yang mempunyai
kompentensi agar dapat memberikan pelayanan yang prima dan bernilai.
Beberapa kendala dalam pencapaian IKU kedua diantaranya :
1) Berkurangnya penurunan capaian peserta pada tahun 2019 karena adanya perubahan
regulasi dari Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) menjadi Pendayagunaan Dokter
Spesialis (PGDS) yang tidak lagi bersifat wajib.
Terbitnya Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 62P/HUM/ 2018 tanggal 18 Desember
2018 tentang Permohonan Keberatan Hak Uji Materiil atas Peraturan Presiden Nomor 4
Tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis, telah dilakukan pembaruan terhadap
regulasi penempatan dokter spesialis yang semula WKDS menjadi Pendayagunaan
Dokter Spesialis (PGDS) melalui Peraturan Presiden No. 31 Tahun 2019 yang ditetapkan
tanggal 14 Mei 2019. Pembaruan regulasi tersebut merubah mekanisme penempatan
dokter spesialis, sehingga adanya kekosongan penyesuaian regulasi.
2) Kurangnya komitmen beberapa daerah terhadap implementasi program WKDS/ PGDS
Untuk mengatasi kendala tersebut, telah dilakukan berbagai upaya tindak lanjut, seperti:
1) Percepatan terbitnya regulasi program/ kegiatan PGDS dan residen
2) Melakukan advokasi ke Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) untuk pemenuhan sarana
prasarana dan hak-hak peserta sesuai yang tertera dalam Perpres Nomor 31 Tahun
2019 termasuk percepatan penerbitan SIP
3) Kedepannya akan di rencanakan pemenuhan untuk lokus yang tidak diminati PGDS,
akan dipenuhi oleh residen
Upaya yang dilakukan untuk meningkatan capaian IKU kedua ini melalui kegiatan sebagai
berikut :
Tabel 3.30
Capaian Residen 2016-2019
2016 2017 2018 2019
Target 800 800 730 123
Capaian 678 619 490 339
% Capaian 84,75% 77,38% 67,12% 46,44%
Bagi Dokter/Dokter Gigi yang menerima bantuan PPDS/PPDGS, disyaratkan untuk mengikuti
Program Penugasan Khusus, yang merupakan bagian dari tahapan pendidikan program
bantuan PPDS/PPDGS.
Dalam pelaksanaan program ini, kendala dan permasalahan penugasan residen dirangkum
sebagai berikut :
a. Adanya Program Wajib Kerja/ Pendayagunaan Dokter Spesialis menyebabkan
berkurangnya lokus atau wahana RSUD/ RS untuk penugasan residen
b. Penempatan residen bergantung pada usulan Fakultas Kedokteran dan Fakultas
Kedokteran Gigi yang berada dalam naungan Kemristekdikti (Program Lintas
Kementerian)
c. Fakultas Kedokteran menjalin MoU dengan Rumah Sakit sehingga pengiriman residen
dilakukan langsung oleh Fakultas Kedokteran tanpa surat tugas dari Kapusrengun
SDMK.
Namun, dengan terbitnya Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 62P/HUM/ 2018 tanggal 18
Desember 2018 tentang Permohonan Keberatan Hak Uji Materiil atas Peraturan Presiden
Nomor 4 Tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis, telah dilakukan pembaruan
terhadap regulasi penempatan dokter spesialis yang semula WKDS menjadi Pendayagunaan
Dokter Spesialis (PGDS) melalui Peraturan Presiden No. 31 Tahun 2019 yang ditetapkan
tanggal 14 Mei 2019. Program yang pada mulanya adalah program Wajib Kerja Dokter
Spesialis atau Wajib Kerja Sarjana (WKDS) menjadi sukarela.
Pelaksanaan kegiatan Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) diawali dengan penentuan lokasi
berdasarkan usulan yang berikan oleh Rumah Sakit yang membutuhkan dokter spesialis
anak, Obgin, Penyakit Dalam, Bedah dan AnestesiPada tahun 2019, jumlah lulusan dokter
spesialis yang mengikuti program ini sebanyak 605 orang. Adapun capaian PGDS tahun
2015-2019 dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 3.31
Capaian PGDS 2015-2019
Pada tahun 2019 telah didistribusikan penempatan WKS/ PGDS tahun 2019 yang dapat
dilihat pada tabel berikut :
Tabel 3.32
Distribusi Penempatan Wajib Kerja Dokter Spesialis TA 2019
5 Spesialis Anestesi 69
JUMLAH 605
Sumber: Pusrengun, Januari 2020
Dalam pelaksanaan program ini, kendala dan permasalahan dapat dirangkum sebagai
berikut :
1) Keamanan daerah Papua dan Papua Barat belum kondusif sehingga terjadi penundaan
keberangkatan dan berdampak menurunnya pemilihan/peminat.
2) Adanya perubahan regulasi dari wajib kerja dokter spesialis (WKDS) menjadi
pendayagunaan dokter spesialis (PGDS) yang bersifat sukarela.
Pemerintah telah mencanangkan Visi Indonesia 2025 yaitu menjadi negara maju pada tahun
2025. Namun pemerintah juga sepenuhnya menyadari bahwa kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM) masih menjadi suatu tantangan dalam mewujudkan visi yang dimaksud.
Para pakar di bidang SDM menyatakan bahwa kualitas SDM secara dominan ditentukan oleh
kemudahan akses pada pelayanan dan fasilitas kesehatan yang berkualitas. Oleh karena itu
peningkatkan kapasitas SDM Kesehatan yang kompeten sangat diperlukan dalam
menyelesaikan masalah masalah kesehatan yang ada di masyarakat. Saat ini yang dituntut
bukan sekedar penyediaan sumber daya manusia (SDM) kesehatan yang merata namun
SDM kesehatan yang mampu dan kompeten dalam merespon cepat terhadap permasalahan
kesehatan yang ada di masyarakat.
Jumlah SDM Kesehatan yang ditingkatkan kompetensinya pada tahun 2019 tercapai
sebesar 110.120 orang atau 193,49% dari target 56.910 orang, dengan persentase capaian
tersebut IKU ketiga ini sudah on track tercapai dengan kriteria notifikasi HIJAU.
Apabila capaian tahun 2019 :193,49% ini dibandingkan dengan Tahun 2018 terdapat
peningkatan capaian sebanyak 8.392 orang, yang dapat dilihat sebagaimana pada tabel
berikut:
Tabel 3.33
Komposit Kenaikan Capaian Indikator Ketiga 2018-2019
Capaian Kenaikan/
Sumber Data
Tahun 2018 Tahun 2019 Penurunan
Data Pelatihan SDM Kesehatan
Jumlah SDM Kesehatan yang mendapat
sertifikat pada pelatihan teknis dan fungsional 66.792 69.614 2.822
terakreditasi
Dari tabel diatas dapat dijabarkan kenaikan IKU ketiga diperoleh dari kenaikan capaian pada
indikator komposit yang ada di eselon II di lingkungan Badan PPSDM Kesehatan.
Pada tahun 2020, IKU ketiga ini termasuk dalam indikator yang mendukung arah kebijakan
program PPSDM Kesehatan di tahun 2020 dengan target sebesar 41.669 orang. Jika capaian
pada tahun 2019 : 193,49 disandingkan dengan target indikator di tahun 2020, capaian pada
tahun 2019 ini sudah menjamin tercapai sebesar 264,27%.
Terlampauinya target pada IKU ketiga ini sangat dimungkinkan, dikarenakan karakteristik
indikator ini terkait orang yang mengikuti pelatihan dan atau pendidikan pada saat tahun
berjalan, dengan banyaknya minat dan usulan dari unit untuk mengikuti pelatihan yang
Selain itu, kenaikan capaian pada tahun 2019 ini dikarenakan telah tersusunnya kebijakan
teknis terkait penyelenggaraan pelatihan seperti penyusunan Norma, Standar, Prosedur dan
Kriteria (NSPK) serta penyusunan kurikulum dan modul pelatihan sebagai upaya mendukung
pencapaian indikator kinerja Pusat Pelatihan SDM Kesehatan pada tahun 2019. Target dan
capaian tahun 2015-2019 dapat dilihat pada grafik berikut:
Grafik 3.55
Target dan Capaian Indikator Jumlah SDM Kesehatan
yang Ditingkatkan Kompetensinya tahun 2015-2019
Sebagaimana diketahui bersama bahwa sumber daya manusia (SDM) memiliki peranan yang
sangat penting sebagai pilar utama sekaligus penggerak roda dalam upaya mewujudkan
tercapainya tujuan. Oleh karena itu peningkatan kompetensi SDM sangat diperlukan agar
optimalnya pencapaian tujuan organisasi. Dalam Peraturan Presiden nomor 72 tahun 2012
tentang Sistem Kesehatan Nasional, yang dimaksud dengan sumber daya manusia
kesehatan (SDMK) adalah tenaga kesehatan (termasuk tenaga kesehatan strategis) dan
tenaga pendukung/penunjang kesehatan yang terlibat dan bekerja serta mengabdikan
dirinya dalam upaya dan manajemen kesehatan. Dalam Perpres tersebut disebutkan bahwa
sumber daya manusia kesehatan baik tenaga kesehatan maupun tenaga
pendukung/penunjang kesehatan wajib memiliki kompetensi untuk mengabdikan dirinya di
bidang kesehatan.
Angka capaian IKU ketiga ini merupakan komposit dari angka capaian indikator jumlah SDM
Kesehatan yang mendapatkan sertifikat pada pelatihan tekhnis dan fungsional terakreditasi
(orang), ditambah jumlah peserta penerima program bantuan pendidikan kesehatan
berkelanjutan (orang), ditambah jumlah peserta penerima bantuan profesi kesehatan
(orang) dan jumlah tenaga kesehatan yang belum DIII penerima program bantuan
170ntegrase170. Berikut tabel perhitungan komposit indikator :
Tabel 3.34
Komposit Indikator IKU Ketiga
Jumlah SDM Yang Ditingkatkan Kompetensinya
Beberapa upaya yang telah dilakukan dalam pencapaian IKU ketiga ini sebagai berikut :
1. Jumlah SDM Kesehatan yang mendapatkan sertifikat pada pelatihan tekhnis
dan fungsional terakreditasi
Jumlah SDM Kesehatan yang mendapatkan sertifikat pada pelatihan teknis dan fungsional
terakreditasi pada tahun 2019 adalah sebanyak 69.614 orang.
Capaian indikator ini diperoleh dengan menghitung jumlah sertifikat yang diterbitkan untuk
peserta pelatihan yang mengikuti pelatihan terakreditasi. Pelaksanaan pelatihan
dilaksanakan dengan bersinergi dan bekerja sama dengan UPT di lingkungan Badan PPSDM
Kesehatan yaitu 3 (tiga) Balai Besar Pelatihan Kesehatan yaitu BBPK Jakarta, BBPK Ciloto,
BBPK Makassar dan 3 (tiga) Balai Pelatihan Kesehatan, Bapelkes Cikarang, Bapelkes
Semarang dan Bapelkes Batam serta pelaksanaan pelatihan yang dilakukan dengan dana
dekonsentrasi di 34 provinsi di Indonesia.
Adapun jenis pelatihan yang diselenggarakan terdiri dari :
Pre service
a. Prajabatan
b. Pratugas
In Service
a. Penjenjangan
b. Manajemen
- Manajemen Kesehatan
- Manajemen non Kesehatan
c. Teknis
- Teknis Profesi Kesehatan
- Teknis Program Kesehatan
- Teknis Umum/Administrasi dan Manajemen
- Fungsional Kesehatan
Tabel 3.35
Sebaran Capaian Indikator Pelatihan Teknis dan Fungsional Terakreditasi
Berdasarkan Jenis Pelatihan
Table 3.36
Sebaran Capaian Indikator Pelatihan Teknis dan Fungsional Terakreditasi
Berdasarkan Unit Pelaksana Pelatihan
Sebagai upaya memastikan bahwa penyelenggaraan pelatihan sesuai dengan mutu dan
strandar yang telah ditetapkan dan sesuai dengan komponen akreditasi pelatihan, maka
dilakukan monitoring dan evaluasi pelatihan, untuk pelatihan yang diselenggarakan oleh
unit program, swasta, rumah sakit ataupun provinsi dengan dana dekonsentrasi. Evaluasi
pasca pelatihan dilaksanakan untuk mengetahui sejauh mana manfaat pelatihan yang telah
diselenggarakan.
Pendidikan berkelanjutan SDM Kesehatan merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan
mutu SDM Kesehatan. Tujuan dari pendidikan berkelanjutan SDM Kesehatan adalah
meningkatnya mutu dan profesionalisme tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan
pembangunan dan pelayanan kesehatan. Program tugas belajar (tubel) Kementerian
Kesehatan diselenggarakan dalam rangka menyediakan SDM Kesehatan yang mempunyai
kompetensi yang dibutuhkan oleh pembangunan dan pelayanan kesehatan.
Jumlah SDM Kesehatan penerima bantuan pendidikan berkelanjutan berasal dari peserta
lama (aktif) dan peserta baru. Peserta lama adalah peserta penerima bantuan
172ntegrase172 berkelanjutan yang belum menyelesaikan pendidikan dan masih
mendapatkan bantuan 172ntegrase172 dari Kementerian Kesehatan. Sedangkan peserta
baru adalah peserta penerima bantuan pendidikan tugas belajar SDM Kesehatan tahun
2019 yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan. Pada tahun 2019,
jumlah SDM Kesehatan penerima bantuan pendidikan berkelanjutan tercapai 3.308 orang
atau 114,07% dari target sebesar 2.900 orang. Perhitungan capaian kinerja sebanyak 3.308
orang tersebut terdiri dari peserta lama sebanyak 2.801 orang dan peserta baru reguler
sebanyak 466 orang dan peserta baru dari pasca Nusantara Sehat sebanyak 41 orang, hal ini
berdasarkan SK penetapan oleh Menteri Kesehatan tahun 2019.
Beberapa permasalahan yang dihadapi pada pelaksanaan kegiatan tahun 2019 adalah
sebagai berikut :
1) Rendahnya tingkat kelulusan seleksi akademik calon peserta tubel SDM Kesehatan.
Capaian indikator jumlah peserta penerima bantuan pendidikan profesi kesehatan tahun
2019 sebesar 88,62% atau sebanyak 2.570 orang dari target 2.900 orang. Capaian
kinerja sebanyak 2.570 orang tersebut, berasal dari peserta PPDS/PDGS lama/lanjutan
Angkatan X-XXI sebanyak 2.250 orang dan peserta PPDS/PDGS baru berasal dari
Angkatan XXII tahun 2019 sebanyak 152 orang, peserta PPDS/PDGS baru berasal dari
Angkatan XXIII tahun 2019 sebanyak 158 orang dan peserta PPDS/PDGS baru berasal
dari pasca penugasan Nusantara Sehat sebanyak 10 orang.
Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan sekunder dan tersier di Rumah Sakit
Rujukan Nasional, Rumah Sakit Rujukan Provinsi dan Rumah Sakit Rujukan Regional
dibutuhkan tenaga dokter sub spesialis sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan.
Untuk memenuhi kebutuhan dokter sub spesialis tersebut, diperlukan pendidikan
dokter sub spesialis yang saat ini masih terbatas di Indonesia yakni hanya
diselenggarakan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga dan Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Selain itu untuk menyelesaikan pendidikan dokter sub spesialis membutuhkan waktu
cukup lama. Oleh sebab itu diperlukan pemenuhan kompetensi dokter spesialis melalui
fellowship. Fellowship merupakan upaya pemenuhan kompetensi dokter spesialis yang
diselenggarakan di Rumah Sakit tipe A dalam jangka waktu 6 bulan sampai 1 tahun oleh
Kolegium dan Organisasi Profesi terkait.
1) Masih rendahnya jumlah peserta bantuan PPDS/PPDGS yang berasal dari daerah
terpencil, perbatasan dan kepulauan (DTPK), dan rendahnya tingkat kelulusan seleksi
akademik calon peserta PPDS/PPDGS dari wilayah timur Indonesia.
2) Kurangnya dukungan Pemerintah Daerah dalam penyiapan sarana prasarana di rumah
sakit untuk penempatan kembali dokter spesialis dan tidak adanya formasi serta
insentif bagi lulusan PPDS/PPDGS non PNS.
3) Rendahnya kepatuhan dokter spesialis/dokter gigi spesialis untuk ditempatkan di DTPK
atau daerah yang kurang diminati.
4) Masih kurangnya kecukupan jumlah dokter spesialis sesuai dengan jenis klasifikasi
Rumah Sakit.
Upaya yang telah dilakukan dalam mengatasi permasalahan adalah sebagai berikut :
1) Akan diselenggarakannya peningkatan kemampuan calon peserta PPDS/PPDGS dari
DTPK (Papua dan Papua Barat) melalui program pemantapan/peningkatan kompetensi
bagi calon peserta PPDS/PPDGS
2) Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap lokasi penempatan dokter spesialis pasca
tugas belajar di unit kerja penempatan dan melakukan advokasi utnuk peningkatan
dukungan pemerintah daerah dalam menyiapkan sarana, prasarana dan intensif bagi
dokter spesialis yang ditempatkan di daerahnya.
3) Memperkuat regulasi dan perjanjian kerja sama sebelum calon PPDS/PPDGS diberikan
beasiswa bantuan pendidikan PPDS/PPDGS.
4) Berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah dalam hal regulasi penyiapan sarana
dan prasarana di rumah sakit untuk penempatan lulusan PPDS/PPDGS.
5) Berkoordinasi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi dalam rangka meningkatkan jenjang karir bagi lulusan PPDS/PPDGS non PNS
dan mempercepat proses status kepegawaian menjadi PNS.
4. Jumlah Tenaga Kesehatan Yang Belum D-III Penerima Program Bantuan Pendidikan
Program bantuan pendidikan bagi tenaga kesehatan yang belum DIII, merupakan program
yang dijalankan Poltekkes Kemenkes dalam rangka menghasilkan tenaga kesehatan yang
memiliki kompetensi yang professional.
Tahun 2019 merupakan tahun ketiga dari pelaksanaan program bantuan biaya pendidikan
bagi tenaga kesehatan yang belum D-III. Pada tahun 2017 telah tercapai 15.388 orang (95.04
%) dari target 16.190 orang, dan di tahun 2018 ini telah tercapai sebanyak 28.390 orang
(92.72 %) dari target 30.620 orang, sedangkan di tahun 2019 ini telah tercapai sebanyak
34.628 orang (91,56%) dari target 37.819 orang.
Permasalahan yang dihadapi selama pelaksanaan tahun 2019, dikarenakan jumlah calon
peserta yang belum D-III disebabkan karena meninggal, sudah melanjutkan pendidikan
secara mandiri dan tidak berminat melanjutkan pendidikan. Serta adanya peserta yang
mengundurkan diri pada saat assessment maupun setelah assessment atau tidak melakukan
pendaftaran ulang.
Dalam kaitan dengan Sasaran Strategis ini, Kementerian Kesehatan mengidentifikasi dua
Indikator Kinerja Utama (IKU) dengan hasil capaiannya sebagaimana tergambar dalam tabel
berikut:
Tabel 3.37
Capaian IKU pada Sasaran Strategis 6:
Meningkatnya Sinergitas antar Kementerian/Lembaga
SS6: Meningkatnya Sinergitas antar Kementerian/Lembaga
pembangunan nasional di bidang kesehatan dapat tercapai. IKU akan dianggap semakin
baik bila realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari yang ditargetkan.
Tabel 3.38
Kementerian yang mendukung Pembangunan Kesehatan
Kementerian Pendidikan Program Gizi anak sekolah dan Unit Kesehatan Sekolah
12
dan Budaya (UKS) dan penyediaan sarana sanitasi sekolah
Kementerian Dalam
13 Advokasi penyusunan kebijakan germas di daerah
Negeri
GERMAS SAPA ( Gerakan Masyarakat Hidup Sehat Sadar
14 BPOM
Pangan Aman)
Kementerian Pangan Olahan (Peningkatan gizi masyarakat melalui
15
Perindustrian peningkatan konsumsi pangan olahan)
Kampanye Olahraga Tradisional, Usia Dini dan Lansia,
Kementerian Pemuda dan
16 Olahraga Penyandang Cacat, Dan Olahraga Di Lembaga
Olahraga
Kemasyarakatan
Kementerian Kelautan dan Kampanye Gemarikan (Gerakan Memasyarakatkan Makan
17
Perikanan Ikan)
18 BPJS Kesehatan Sosialisasi JKN
Tabel 3.39
Perbandingan capaian indikator Jumlah Kementerian Lain Yang Mendukung
Pembangunan Kesehatan Tahun 2015-2019
TARGET REALISASI
INDIKATOR
2015 2016 2017 2018 2019 2015 2016 2017 2018 2019
Jumlah Kementerian Lain
yang mendukung - - 30% 40% 50% 0 0 41,17% 44,11% 106%
Pembangunan Kesehatan
Untuk tahun 2017 jumlah Kementerian Lain yang mendukung Pembangunan Kesehatan
sebanyak 14 Kementerian, tahun 2018 sebanyak 15 Kementerian dan untuk tahun 2019
sebanyak 18 Kementerian.
Dalam pencapaian realisasi selama 3 tahun kendala yang dihadapi adalah sulit nya
mendapatkan respon dari Kementerian Lain untuk mendapatkan data tersebut dan
solusi dalam menghadapi kendala tersebut kami Biro Komunikasi dan Pelayanan
Masyarakat Selain bersurat ke setiap Kementerian kami tetap melakukan kontak
langsung melalui WhatsApp, Telepon, dan Email. Analisa keberhasilan dari indikator ini
Definisi operasional indikator ini yaitu provinsi dan kabupaten/kota dinyatakan melapor
capaian SPM jika mengirimkan capaian SPM dengan keterisian variabel sekurang-
kurangnya 70% dan pemantauannya dilakukan melalui aplikasi Komunikasi Data. Provinsi
akan disertakan menjadi target setelah SPM provinsi ditetapkan.
Jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang menyampaikan laporan capaian SPM dihitung
dengan formulasi sebagai berikut:
Target pada tahun 2019 yaitu 494 kabupaten/kota menyampaikan laporan capaian SPM.
Provinsi tidak dihitung dalam capaian karena SPM provinsi berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun 2019 dilaksanakan tahun 2019, sedangkan yang
menjadi capaian indikator ini yaitu data SPM tahun 2018.
SPM bidang kesehatan tahun 2018 mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
43 tahun 2016 tentang SPM Bidang Kesehatan yang memuat 12 jenis pelayanan dasar
yang harus dilakukan Pemerintah Kabupaten/Kota, yaitu pelayanan kesehatan untuk ibu
hamil, ibu bersalin, bayi baru lahir, balita, anak pada usia pendidikan dasar, penduduk
usia 15-59 tahun, penduduk diatas usia 60 tahun, penderita hipertensi, penderita
diabetes mellitus, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), orang dengan TB dan orang
berisiko terinfeksi HIV.
Sampai dengan akhir 2019 terdapat 458 kabupaten/kota yang menyampaikan laporan
capaian SPM tahun 2018. Angka ini tidak mencapai target tahun 2019 dengan capaian
sebesar 92,71%. Saat menentukan target tahun 2019 (494 provinsi/kabupaten/kota)
sudah memperkirakan provinsi mempunyai SPM provinsi, 34 provinsi dan 460
kabupaten/kota diharapkan melaporkan capaian SPM pada tahun 2019 namun di tahun
pelaksanaan ternyata belum ditetapkan SPM untuk provinsi. Gambar 3.16
memperlihatkan salah satu tampilan laporan capaian SPM kabupaten/kota.
Gambar 3.42
Tampilan salah Satu Laporan Capaian SPM Kabupaten/Kota
pada Aplikasi Komunikasi Data
Sumber : www.komdat.kemkes.go.id
Kendala/hambatan yang dihadapi sehingga pencapaian indikator tidak sesuai target
yaitu:
1. mutasi pegawai yang sangat cepat tanpa adanya kaderisasi yang memadai;
2. kurangnya SDM pengelola data dan beban pengumpulan data yang banyak;
3. masih perlu ditingkatkan kapasitas tenaga pengolah data/pengelola SIK di daerah;
4. data dari Puskesmas setiap bulannya sering terlambat untuk disampaikan ke dinas
kesehatan kabupaten/kota.
7). Sasaran Strategis 7: Meningkatnya Daya Guna Kemitraan Dalam dan Luar Negeri
Dalam kaitan dengan Sasaran Strategis ini, Kementerian Kesehatan mengidentifikasi tiga
Indikator Kinerja Utama (IKU) dengan hasil capaiannya sebagaimana tergambar dalam tabel
berikut:
Tabel 3.40
Capaian IKU pada Sasaran Strategis 7:
Meningkatnya Daya Guna Kemitraan Dalam dan Luar Negeri
Target capaian indikator Jumlah dunia usaha yang memanfaatkan CSR-nya Tahun
2015 sampai dengan Tahun 2019 bersifat absolut dengan kenaikan target capaiannya
setiap tahun sebanyak 4 Dunia Usaha dengan perhitungan jumlah absolut dunia
usaha yang telah melakukan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Kementerian
Kesehatan untuk memanfaatkan CSR-nya.
Grafik 3.56
Taret dan Capaian Indikator Jumlah Dunia usaha yang Memanfaatkan
CSR-nya untuk Mendukung Kesehatan
Tahun 2015-2019
Pada tahun 2019 Capaian jumlah dunia usaha yang memanfaatkan CSR-nya untuk
adalah 21 dunia usaha (Capain 105% dari target yang telah ditetapkan). Ada pun
dunia usaha baru yang melakukan perjanjian kerja dengan Kementerian Kesehatan :
Tabel 3.41
Dunia Usaha untuk CSR Kesehatan
40 tahun 2007, bahwa setiap perseroan mempunyai tanggung jawab sosial dan
lingkungan baik di dalam maupun di luar lingkungan perseroan dengan
memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
Grafik 3.57 Target & Capain Indikator Jumlah Organisasi Kemasyarakatan Yang
Memanfaatkan Sumber Dayanya Untuk Mendukung Kesehatan
Tahun 2015 – 2019
Target Capain
17
15
12 12
9 9
6 6
4
3
Tabel 3.42
Organisasi Kemasyarakatan yang Mendukung Kesehatan
NO ORMAS
1 PELKESI
2 PBNU
3 ALIANSI PITA PUTIH INDOMESIA
4 PENGAJIAN AL-HIDAYAH
5 FATAYAT NU
6 PERKUMPULAN PERGERAKAN WANITA NASIONAL INDONESIA
7 PP DEWAN MASJID INDONESIA
8 PP MUHAMMADIYAH
9 JANNUR
10 PERSATUAN ISLAM (PERSIS)
11 KOWANI
12 PERDHAKI
13 PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT
14 MUSLIMAT NAHDLATUL
15 PP AISYIYAH
16 PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA INDONESIA
17 DHARMA WANITA PERSATUAN
IKU ini bertujuan untuk mengukur kemampuan Indonesia untuk melakukan kerjasama
dan kesepakatan internasional, termasuk di tingkat regional, atau bilateral yang akan
berpengaruh pada pembangunan kesehatan di Indonesia. Capaian IKU akan dianggap
semakin baik bila realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari yang ditargetkan.
Jumlah kesepakatan kerjasama luar negeri di bidang kesehatan dihitung dengan cara
menjumlahkan dokumen kesepakatan international yang telah ditandatangani termasuk
kesepakatan dalam persidangan international yang bersifat kepemerintahan dan telah
diimplementasikan oleh Kementerian Kesehatan untuk mendukung pencapaian sasaran
strategis pembangunan kesehatan yang diukur dengan pelaporan monitoring dan
evaluasi secara berkala dan komprehensif dalam satu tahun.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 185
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019
Tabel 3.43
Capaian Target Kinerja Tahun 2015 – 2019
Kegiatan Peningkatan Kerja Sama Luar Negeri
Pada tahun 2019 telah dihasilkan 8 dokumen kesepakatan kerja sama luar negeri bidang
kesehatan. Adapun rincian 8 dokumen tersebut disajikan pada tabel di bawah ini :
Tabel 3.44
Capaian Kinerja
Kesepakatan Kerja Sama Luar Negeri, Tahun 2019
Agustus 2019)
4. MoU Kesehatan RI – Iran : 1st
Joint Working Group on Health
Cooperation RI - Iran dan 2nd Iran
- Indonesia Health Business
Forum (14 – 16 September 2019)
2 Kesepakatan 2 2 100% 5. 22nd BIMST Public Health
kerja sama Conference (30 – 31 Juli 2019)
luar negeri 6. Regional Consultative Meeting on
regional the Development of ASEAN
bidang Framework on Health Coverage
kesehatan for Documented Migrants including
(Dokumen Migrant Workers and Special
kesepakatan) Population (e.g. Mother and Child)
and ASEAN Regional Situationer
on Migrant Health (10-12
September 2019)
3 Kesepakatan 2 2 100% 7. Pertemuan the 44th Meeting of the
kerja sama Programme Coordinating Board
luar negeri (PCB) UNAIDS (25 – 27 Juni
multilateral 2019)
bidang 8. Pertemuan the 6th Meeting of the
kesehatan OIC Lead Country Coordinators’
(Dokumen Group (LCCG) dan the 13th
kesepakatan) Meeting of the OIC Steering
Committee on Health (SCH) (7-8
Oktober 2019)
Total 8 8 100%
Berikut rincian capaian kinerja Biro Kerja Sama Luar Negeri Tahun 2019 :
A.Kesepakatan kerja sama luar negeri bilateral bidang kesehatan
1. Memorandum of Understanding (MoU) Kesehatan RI – Republic Democratic
Timor Leste (RDTL)
MoU kerja sama bidang kesehatan antara Indonesia-Timor Leste ditandatangani
di Jenewa, Swiss pada tanggal 24 Mei 2017. Area kerja sama yang disepakati
Gambar 3.43
Penandatanganan MoU RI - RDTL
Di Jenewa, Swiss Pada tanggal 24 Mei 2017
Gambar 3.44
2nd Joint Working Group on Health Cooperation (JWG) RI-KAS
Di Riyadh, Arab Saudi Pada tanggal 4 Maret 2019
Adapun bentuk kerja sama yang disepakati dalam MoU bidang kesehatan
Indonesia-Iran seperti pertukaran informasi, pengalaman termasuk mengenai
Sistem dan Peraturan Kesehatan; pertukaran kunjungan para ahli dan pejabat;
penelitian bersama, peningkatan kapasitas; peningkatan kegiatan sektor swasta
dan bentuk kerja sama lain yang disepakati kedua negara.
Selanjutnya dilakukan penandatanganan Plan of Action (PoA) di Jenewa, Swiss
pada tanggal 21 Mei 2019 dan kedua Negara harus melakukan evaluasi serta
pengawasan minimal enam bulan sekali.
Gambar 3.45
Penandatanganan PoA RI – Iran
Di Jenewa, Swiss Pada tanggal 21 Mei 2019
Gambar 3.46
Penandatanganan Minutes of Meeting JWG RI -Iran
Di Iran Pada tanggal 14 September 2019
Dalam pembahasan evaluasi MoU dan PoA, kedua Delegasi sepakat bahwa telah
dicapai kemajuan yang berarti dalam implementasinya antara lain dengan
terlaksananya kunjungan delegasi industri kesehatan Iran ke Indonesia dan
penyelenggaraan 1st Indonesia-Iran Health Business Forum di Jakarta awal
September 2019 serta kunjungan kerja Menkes RI ke Iran tanggal 14-16 September
2019.
Gambar 3.47
Pertemuan ASEAN Migrant Health Di Surabaya
Pada tanggal 10-12 September 2019
Gambar 3.48
The 44th Meeting of the Programme Coordinating Board (PCB) UNAIDS
Di Jenewa, Swiss pada tanggal 25-27 Juni 2019
8. Pertemuan the 6th Meeting of the OIC Lead Country Coordinators’ Group (LCCG)
dan the 13th Meeting of the OIC Steering Committee on Health (SCH)
Pertemuan the 6th Meeting of the OIC Lead Country Coordinators’ Group (LCCG) dan
the 13th Meeting of OIC the Steering Committee on Health (SCH) telah
diselenggarakan pada tanggal 7 – 8 Oktober 2019 di Abu Dhabi, Persatuan Emirat
Arab. Delegasi RI dipimpin oleh Staf Ahli Menteri Kesehatan bidang Hukum
Kesehatan, dengan didampingi oleh Kepala Biro Kerja Sama Luar Negeri dan
Direktur Produksi dan Distribusi Kefarmasian, serta unsur dari Biro Kerja Sama Luar
Negeri Kemenkes, Direktorat Sosial Budaya dan OINB Kemlu serta KBRI Riyadh
selaku perwakilan tetap Indonesia untuk OKI.
Pertemuan Lead Country Coordinators’ Group (LCCG) merupakan forum reguler
bidang kesehatan dalam forum OKI yang bertujuan untuk mengevaluasi
implementasi kegiatan prioritas 6 thematic area dalam Strategic Health Programme
of Action (OIC SHPA) 2024-2013 (dokumen rencana strategis OKI di bidang
kesehatan). Pertemuan ke-6 LCCG OKI mendiskusikan implementasi kegiatan yang
telah dikomitmenkan pada pertemuan LCCG ke-5 periode 2017-2019 serta
mengidentifikasi kegiatan prioritas untuk periode 2019-2021.
Pertemuan Steering Committee on Health (SCH) adalah Platform pertemuan OKI
setingkat Eselon I yang berfungsi untuk mempersiapkan pertemuan the Islamic
Conference of Health Ministers (ICHM) serta menindaklanjuti implementasi resolusi
yang telah dihasilkan dari pertemuan ICHM. Pertemuan ke-13 OIC SCH membahas
penyiapan agenda, rancangan resolusi, serta rekomendasi isu prioritas untuk
pertemuan ICHM ke-7 pada tanggal 15-17 Desember 2019 di Abu Dhabi. Selain itu
pertemuan juga akan mengevaluasi terhadap implementasi beberapa resolusi yang
telah dihasilkan pada ICHM ke-6 tahun 2017 di Jeddah.
Gambar 3.49
The 6th Lead Country Coordinators’ Group (LCCG) OKI
Di Abu Dhabi, Persatuan Emirat Arab
Pada tanggal 7 Oktober 2019
Pertemuan ke-6 LCCG OKI dihadiri oleh perwakilan 4 (empat) dari 7 (tujuh) negara
yang menjadi lead country coordinators (LCC) dari 6 (enam) thematic area OIC SHPA
2024-2013 untuk periode 2017-2019 yaitu Turki selaku LCC tematik area 1, Arab
Saudi LCC tematik area 3, Malaysia selaku LCC tematik area 4, dan Indonesia selaku
Co-LCC tematik area 4. Bahrain, Sudan dan Maroko selaku LCC tematik area 2, 5, 6
tidak hadir pada pertemuan dimaksud. Pertemuan dihadiri pula oleh perwakilan
dari Persatuan Emirat Arab selaku tuan rumah, perwakilan dari Badan Subsider OKI
terkait yaitu COMSTECH, SESRIC, IDB dan ISESCO.
Pertemuan ke-13 SCH OKI berlangsung pada tanggal 8 Oktober 2019. Pertemuan
ke-13 SCH OKI dihadiri oleh lead country dari area tematik (Turki, Arab Saudi,
Malaysia, Indonesia), Uganda dan Mauritania selaku perwakilan dari regional afrika,
Arab Saudi selaku tuan rumah sidang ICHM petahana, serta Persatuan Emirat Arab
selaku tuan rumah ICHM mendatang. Pertemuan juga dihadiri badan subsider OKI
terkait (COMSTECH, SESRIC, IDB dan ISESCO) serta mitra pembangunan OKI (WHO,
Global Fund dan GAVI).
Pada pertemuan tersebut Indonesia menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
a. Dukungan terhadap OIC Medical Corps terutama di kawasan Negara-negara OKI,
dengan saran agar operasionalisasi OIC Medical Corps dapat berbeda dengan
Emergency Medical Team yang telah terlebih dahulu didirikan oleh WHO.
b. Presentasi terkait pengembangan IOC-COE termasuk hasil pertemuan OIC
Workshop on Cold Chain Management di Bandung pada awal Oktober 2019.
c. Indonesia menyampaikan bahwa Sekretariat OIC-COE telah berdiri dan menjadi
bagian dari Gedung Kemenkes RI. Lebih lanjut disampaikan bahwa informasi
mengenai OIC-COE dan potensi kerjasama dapat diperoleh melalui portal OIC-
COE atau menghubungi Sekretariat OIC-COE.
d. Menanggapi laporan Sekretariat OKI terkait pertemuan 1st meeting of OIC-NMRA
yang diselenggarakan di Jakarta pada November 2018, Indonesia mengusulkan
rancangan resolusi yang intinya meminta; (a) SCH untuk mengesahkan Jakarta
Declaration, outcome document 1st meeting of OIC-NMRA untuk masuk dalam
resolusi pertemuan ICHM ke-7; (b) mengusulkan agar pertemuan NMRA menjadi
bagian dari pertemuan ICHM; dan (c) agar pertemuan NMRA dilaksanakan
secara rutin setiap 2 tahun sekali, bergantian dengan pertemuan ICHM.
Terkait kebutuhan terhadap vaksin halal dan adanya black campaign terhadap
penggunaan vaksin halal di Indonesia, Islamic Advisory Group (IAG) menyampaikan
tawaran untuk memfasiitasi pertemuan antara religious leaders di Indonesia
dengan Imam Besar Al-Azhar. Indonesia menanggapi secara positif inisiatif tersebut
dan akan menindaklanjuti tawaran tersebut baik melalui pertemuan di Mesir
maupun di Indoneisa.
Dalam kaitan dengan Sasaran Strategis ini, Kementerian Kesehatan mengidentifikasi dua
Indikator Kinerja Utama (IKU) dengan hasil capaiannya sebagaimana tergambar dalam tabel
berikut:
Tabel 3.45
Capaian IKU pada Sasaran Strategis 8: Meningkatnya Integrasi Perencanan, Bimbingan
Teknis, dan Pemantauan Evaluasi
Berikut ini adalah perbandingan capaian IKU pada Sasaran Strategis Meningkatnya
Integrasi Perencanan, Bimbingan Teknis, dan Pemantauan Evaluasi tahun 2015 – 2019 :
Grafik 3.58
Perbandingan Target dan Capaian Tahun 2015-2019
a. Jumlah provinsi yang memiliki rencana lima tahun dan anggaran kesehatan terintegrasi
dari berbagai sumber
Definisi operasional dari indikator pertama adalah jumlah provinisi yang mempunyai
dokumen pemetaan anggaran kesehatan di provinsi yang sesuai dengan prioritas
nasional dengan menggunakan dana APBN dan APBD. Cara perhitungan Provinsi yang
memiliki rencana dalam kurun waktu lima tahun dengan anggaran kesehatan terintegrasi
dari berbagai sumber dana (APBN dan APBD).
IKU ini dapat dicapai seluruhnya (100%) dengan menghasilkan kinerja jumlah Provinsi
yang memiliki rencana lima tahun dan anggaran kesehatan terintegrasi dari berbagai
sumber sejumlah 34 Provinsi sebagai berikut:
Tabel 3.46
Provinsi dengan Rencana Lima Tahun dan Anggaran Kesehatan yang Terintegrasi
No Provinsi No Provinsi
1 Aceh 18 Nusa Tenggara Timur
2 Sumatera Utara 19 Nusa Tenggara Barat
3 Sumatera Barat 20 Kalimantan Timur
4 Riau 21 Kalimantan Barat
5 Kep. Riau 22 Kalimantan Utara
6 Jambi 23 Kalimantan Tengah
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 200
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019
Pencapaian indikator pertama yang mampu mencapai target yang direncanakan dalam
Rencana Strategis Kementerian Kesehatan didukung oleh hal-hal sebagai berikut:
1) Undang – Undang Kesehatan.
2) Permenkes Nomor 7 Tahun 2014.
3) Hasil trilateral meeting.
4) Adanya partisipasi aktif dari Dinas Kesehatan Provinsi dalam menyusun Rencana
Strategis Daerah.
5) Peran serta aktif Pemerintah Daerah dalam mendukung sektor kesehatan dengan
dukungan APBD khususnya untuk anggaran kesehatan yang terintegrasi dari
berbagai sumber.
Permasalahan yang dihadapi dalam mencapai IKU ini adalah:
1) Kegiatan dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan yang ada di daerah sehingga
kehadiran peserta tidak bisa mencapai 100%.
2) Peserta menggunakan dana APBD.
Sebagai upaya tindak lanjut yang akan dilakukan untuk indikator ini adalah monitoring
dan evaluasi secara berkala ke provinsi dan memberikan feedback laporan ke Provinsi
dianggap semakin baik bila realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari yang
ditargetkan.
IKU ini dapat tercapai seluruhnya (100%) dengan menghasilkan kinerja sejumlah 34
dokumen yang ditetapkan atau mencapai 100%.
Faktor yang mendukung pencapaian indikator ketiga adalah monitoring program yang
menggunakan pendekatan binwil dengan melibatkan peran serta dari seluruh unit utama,
serta konfirmasi pimpinan untuk melaksanakan program secara terpadu.
Kendala yang dihadapi untuk mencapai target indikator ketiga ialah hasil akhir laporan
wilayah binaan dari unit utama membutuhkan waktu dan koordinasi yang cukup lama.
Faktor lainnya yang mendukung pencapaian IKU adalah monitoring program yang
menggunakan pendekatan binwil dengan melibatkan peran serta dari seluruh unit utama,
serta konfirmasi pimpinan untuk melaksanakan program secara terpadu.
Rencana Tindak Lanjut untuk agar IKU tetap dapat dicapai adalah:
a. Meningkatkan kualitas melalui penyempurnaan sistem metode, instrumentasi dan
analisis;
b. Meningkatkan kerjasama lintas sektor dan lintas program;dan
c. Tetap berkoordinasi dengan unit utama pada Januari 2019 untuk menyampaikan data
terkait laporan monev terpadu
Dalam kaitan dengan Sasaran Strategis ini, Kementerian Kesehatan mengidentifikasi tiga
Indikator Kinerja Utama (IKU) dengan hasil capaiannya sebagaimana tergambar dalam tabel
berikut:
Tabel 3.47
Capaian IKU pada Sasaran Strategis 9:
Meningkatnya Efektivitas Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
SS9: Meningkatnya Efektivitas Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
a) Jumlah Hasil Riset Kesehatan Nasional (Riskesnas) bidang kesehatan dan gizi
masyarakat
IKU ini memiliki definisi operasional jumlah laporan Riset Kesehatan Nasional yang
dituliskan berdasarkan hasil penelitian dan pengembangan (sesuai dengan agenda Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan). IKU ini bertujuan untuk mendorong lebih
banyak penelitian dan pengembangan bidang kesehatan yang dihasilkan. IKU akan
dianggap semakin baik bila realisasinya lebih besar atau lebih tinggi dari yang
ditargetkan.
Definisi operasional indikator ini adalah jumlah laporan hasil Riskesnas yang ditulis
berdasarkan hasil litbang (sesuai dengan agenda Badan Litbang Kesehatan). Cara
perhitungan indikator ini dengan menghitung jumlah laporan Riskesnas yang ditulis
berdasarkan hasil litbang kesehatan, dibuktikan dengan adanya dokumen tertulis sebagai
laporan Nasional Riset Kesehatan Nasional Tahun 2019.
Tabel 3.48
Capaian Kinerja Indikator Jumlah Hasil Riset Kesehatan Nasional (Riskesnas) Bidang
Kesehatan dan Gizi Masyarakat
Berdasarkan Renstra 2015-2019, Badan Litbang Kesehatan diarahkan pada riset yang
menyediakan informasi untuk mendukung program kesehatan baik dalam bentuk kajian,
riset kesehatan nasional, pemantauan berkala, riset terobosan berorientasi produk,
maupun riset pembinaan dan jejaring. Beberapa terobosan riset telah dilaksanakan
seperti Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), Survei Indikator Kesehatan Nasional
(Sirkesnas), Riset Tenaga Kesehatan (Risnakes), Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes), Riset
Evaluasi Kinerja Team Based Nusantara Sehat, dan Riset Evaluasi Kemajuan Pelaksanaan
PIS-PK.
Riset Fasilitas Kesehatan 2019 adalah Riset yang memetakan masalah ketersediaan
fasilitas kesehatan serta kecukupan, distribusi sumber daya tenaga kesehatan dan indeks
kinerja rumah sakit (RS) dan Puskesmas. Rifaskes tahun 2011 melibatkan lebih dari 9.000
Puskesmas dan lebih dari 650 RS umum pemerintah sebagai sasaran penelitian.
Sedangkan sampel Rifaskes tahun 2019 melibatkan 532 Rumah Sakit, 9909 Puskesmas,
403 Laboratorium, 419 Apotek, 402 Praktek Bidan Mandiri, 411 Praktek Dokter Mandiri
dan 417 Klinik dengan total keseluruhan sampel 12493.
Gambar 3.50
Kegiatan Rifaskes Tahun 2019
Gambaran indikator riset skala nasional dalam kerangka Renstra 2015-2019 disajikan
dalam berikut
Grafik 3.59
Perbandingan Realisasi Kinerja Tahun 2019 dengan
Target Jangka Menengah Renstra 2015-2019
Indikator hasil Riset Kesehatan Nasional (Riskesnas) bidang kesehatan dan gizi
masyarakat tahun 2019 secara kumulatif telah berhasil memenuhi target yang ditetapkan
dalam Renstra 2015-2019. Secara komulatif diakhir Renstra jumlah penelitian Nasional
yang telah dihasilkan berjumlah 8 Riset Nasional (Riskesnas), berdasarkan jumlah Riset
Nasional yang dilaksanakan dari tahun 2015 sampai dengan 2019 mengalami fluktuatif.
Tahun 2016 adalah yang terbesar yaitu 3 Riset dengan rata-rata per tahun sebanyak 1
Riset .
2) Pada saat pelaksaan rakornis provinsi masi hada beberapa kab/kota yang tidak
membawa list fasyankes (bidan, dokter, klinik, laboratorium) sehingga menyulitkan
proses sampling.
3) Sampel Fasyankes lain :
a) Apotek : sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan pratik kefarmasian
b) Praktik Mandiri Bidan : Fasilitas pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh
bidan yang memiliki kewenangan untuk memberikan pelayanan langsung kepada
pasien/klien
c) Dokter Praktik Mandiri : Dokter praktik mandiri atau dokter praktik perorangan
yang menyelenggarakan pelayanan medik dasar umum dalam rangka upaya
kesehatan perseorangan tingkat pertama, tidak termasuk praktek dokter gigi dan
dokter spesialis
d) Laboratorium mandiri : laboratorium klinik yang pelayanannya tidak terintegrasi
dengan faskes lainnya dan memiliki ijin laboratorium
e) Klinik : Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau
spesialistk
4) Pembagian Tim :
a) Pembagian tim Rumah Sakit sebaiknya memperhitungkan berbagai hal termasuk
sistem administrasi di ibukota provinsi
b) Pembagian tim Puskesmas dan Fasyankes lainnya mempertimbangkan jumlah
jenis fasyankes lainnya
praktek lebih dari 1 tempat, maka bisa diambil di salah satu lokasi tempat
prakteknya
d) Jika laboratorium dalam RS, Puskesmas dan Klinik tidak termasuk dalam
laboratorium mandiri tetapi kalau didalam klinik terdapat 2 izin sebagai
laboratorium dan izin sebagai klinik maka laboratorium tersebut dimasukkan ke
dalam laboratorium mandiri dan bisa diambil sebagai sampel rifaskes
e) Dalam Rifaskes 2019 untuk klinik tidak membedakan klinik pratama maupun
utama, keduanya dapat diambil sebagai sampel namun tidak termasuk klinik
khusus seperti klinik gigi, klinik kecantikan, klinik mata, dsb
4) Pembagian Tim :
a) Salah satu cara antisipasi adalah dengan membagi Rumah Sakit di ibukota
provinsi ke semua tim terdekat
b) Mekanisme workshop enumerator (TC) yaitu :
i.Semua tim akan mendapatkan materi puskesmas
ii. Semua tim akan mendapat materi mandat atau paperless
iii. Materi pelatihan kuesioner fasyankes lainnya : dokter, klinik, apotek, lab
dan bidan akan dibagi sesuai rencana pembagian tim dalam 5 kelas
terpisah secara paralel. Oleh karena itu diupayakan agar 1 tim memegang
maksimal 2 jenis fasyankes dengan cara berbagi 2 ke kelas berbeda.
Apabila dalam kondisi khusus 1 tim terpaksa memegang lebih dari 2 jenis
fasyankes maka pjt prov/kab/kota perlu melakukan private teaching
Definisi operasional indikator ini adalah jumlah dokumen rekomendasi kebijakan (policy
brief/policy paper) yang ditulis berdasarkan hasil litbang kesehatan yang disampaikan
dalam forum atau pertemuan kepada pengelola program dan atau pemangku
kepentingan. Cara perhitungan indikator ini dengan menghitung jumlah rekomendasi
kebijakan (policy brief/policy paper) yang ditulis berdasarkan hasil litbang kesehatan
yang disampaikan dalam forum atau pertemuan kepada pengelola program dan atau
pemangku kepentingan yang dibuktikan dengan adanya policy paper dan laporan
forum/pertemuan (menghitung target/baseline berdasarkan perhitungan rekomendasi
sesuai isu strategis yang telah diadvokasikan).
Tabel 3.49
Capaian Kinerja Indikator Hasil Rekomendasi Kebijakan Tahun 2019
Sasaran Indikator Target Capaian %
Hasil rekomendasi kebijakan
Meningkatnya kualitas berbasis penelitian dan
penelitian, pengembangan kesehatan
pengembangan dan yang diadvokasikan ke 24 24 100
pemanfaatan di pengelola program kesehatan
bidang kesehatan dan atau pemangku
kepentingan
Grafik 3.60
Perbandingan Realisasi Kinerja Tahun 2019 dengan Target Jangka Menengah Renstra
2015-2019
160
Realisasi; 2019;
140
141
80 Realisasi; 2017;
75 Target; 2017; 72 Target
60
Realisasi; 2016; Realisasi
Target; 2016; 48
40 48
Realisasi; 2015;
20 Target; 2015; 24
24
0
2015 2016 2017 2018 2019
Target 24 48 72 96 120
Realisasi 24 48 75 117 141
diadvokasikan telah dihasilkan berjumlah 141 dokumen dari 120 yang ditargetkan
(117,5%), berdasarkan jumlah Rekomendasi Kebijakan yang telah diadvokasikan dari
tahun 2015 sampai dengan 2019 mengalami fluktuatif dengan target tetap sebesar 24
dokumen. Tahun 2017 adalah yang terbesar yaitu 42 dokumen (175%). Judul 24
rekomendasi kebijakan yang diadvokasikan adalah sebagai berikut.
Tabel 3.50
Judul Rekomendasi Kebijakan yang telah di advokasikan pada Tahun 2019
No. Topik/Judul Satker
1. Penanganan Kompleksitas Kondisi Penyakit Kusta Di Provinsi
Papua Barat
2. Efek terapi dan kepatuhan minum antiretroviral pada ODHA Puslitbang BTDK
di kabupaten Manokwari dan ampuan
Definisi Operasional indikator ini adalah jumlah hasil litbangkes yang didaftarkan HKI ke
Direktorat Jenderal HKI Kementerian Hukum dan HAM dengan bukti telah menerima
nomor registrasi. Penelitian yang dilaksanakan oleh Badan Litbang Kesehatan merupakan
investasi yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang kesehatan. Indikator ini tercantum dalam dokumen PK dan juga merupakan IKP
Badan Litbang Kesehatan sesuai dengan dokumen Renstra Kemenkes tahun 2015-2019.
Tabel 3.51
Capaian Indikator Jumlah Penelitian yang Didaftarkan HKI Tahun 2019
Tabel 3.52
Capaian Indikator Jumlah Penelitian yang Didaftarkan HKI tahun 2019 (Paten)
Tabel 3.53
Capaian Indikator Jumlah Penelitian yang Didaftarkan HKI Tahun 2019 (Hak Cipta)
No. Nama Pencipta Satker Jenis Judul Ciptaan Nomor
Ciptaan Sertifikat
1 Sunaryo, SKM., Balai Buku Sistem Informasi EC00201980
M.Sc. Litbangkes Geografis Untuk 603
Banjarnegara Kesehatan
Masyarakat
2 Bernadus BBPPVRP Buku BUKU TIKUS EC00201978
Yuliadi, Muhidin, Salatiga JAWA, Teknis 683
Siska Indriyani (3 Survei Di Bidang
Orang) Kesehatan
Dalam kerangka Renstra 2015-2019, capaian indikator jumlah hasil penelitian yang
didaftarkan HKI pada tahun 2019 disajikan pada grafik berikut.
Grafik 3.61
Perbandingan Realisasi Kinerja Tahun 2019 dengan
Target Jangka Menengah Renstra 2015-2019
Indikator Jumlah Penelitian yang didaftarkan HKI tahun 2019 secara kumulatif telah
berhasil memenuhi target yang ditetapkan dalam Renstra 2015-2019. Secara komulatif
diakhir Renstra Jumlah Penelitian yang didaftarkan HKI telah dihasilkan berjumlah 62
dokumen dari 35 yang ditargetkan (177%), berdasarkan Jumlah Penelitian yang
didaftarkan HKI dari tahun 2015 sampai dengan 2019 mengalami fluktuatif dengan
capaian target terbesar sebesar 25 dokumen dari target 4 dokumen yaitu pada Tahun
2019. (625%).
Capaian HKI tahun 2019 telah melampaui target dari ditetapkan. Upaya yang telah
dilakukan untuk mencapai keberhasilan tersebut secara umum melanjutkan dari upaya
yang telah dilaksanakan ditahun sebelumnya dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:
Walaupun target telah tercapai, namun ada beberapa kendala yang dihadapi yaitu
1) Penelitian inovatif berpotensi Kekayaan Intelektual belum menjadi prioritas;
2) Hasil penelitian yang dipatenkan, tidak direncanakan dari awal untuk dipatenkan;
3) Kesadaran peneliti masih lemah terhadap urgensi kekayaan intelektual sehingga
peneliti lebih prioritas pada keilmuan untuk pengembangan karir daripada
menghasilkan penelitian berpotensi paten;
4) Unit pendukung untuk scale up dan kerja sama lintas program dan industry masih
minim.
Dalam mengatasi kendala, upaya yang telah dilakukan sebagai tindak lanjut dalam
mengatasi kendala yaitu:
1. Melakukan sosialisasi mengenai pentingnya kekayaan intelektual
2. Melakukan proses identifikasi potensi kekayaan Intelektual lebih awal sejak
penyusunan protokol penelitian
3. Melakukan mekanisme quality control untuk memilah kandidat kekayaan
intelektual yang akan didaftarkan dan memenuhi kebutuhan prpogram
4. Menyusun rencana pelaksanaan pelatihan drafting paten untuk meningkatkan
semangat berinovasi dan berkreasi agar menghasilkan invensi/teknologi yang
bermanfaat serta menumbuhkan kesadaran pentingnya perlindungan Kekayaan
Intelektual khususnya paten.
10). Sasaran Strategis 10: Meningkatnya Tata Kelola Kepemerintahan yang Baik dan
Bersih
fungsinya secara efektif dan efisien serta telah sesuai dengan rencana dan kebijakan yang
telah ditetapkan. Selain itu, pengawasan intern atas penyelenggaraan pemerintahaan
diperlukan untuk mendorong terwujudnya good governance dan mendukung
penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, efisien, transparan, akuntabel, serta bersih
dan bebas dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.
Tabel 3.54
Capaian IKU pada Sasaran Strategis 10:
Meningkatnya Tata Kelola Kepemerintahan yang Baik dan Bersih
Definisi operasional dari Satuan kerja yang memiliki temuan kerugian negara ≤1% adalah
“Satuan kerja pengelola APBN Kementerian Kesehatan dengan temuan kerugian negara
≤1% dari total realisasi anggaran dalam satu periode tahun anggaran berdasarkan
laporan hasil audit (Audit Operasional oleh Inspektorat Jenderal Kemenkes, Audit
Laporan Keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Semua Jenis Audit oleh Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan)”.
Jumlah satker yang diaudit oleh APF sebanyak 200 satker yang telah diaudit baik oleh
Itjen Kementerian Kesehatan (117 satker) maupun oleh BPK (79 satker) serta oleh BPKP
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 217
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019
2019 2018
Realisasi IKU Target Realisasi Target Realisasi
Inspektorat Jenderal
100,00% 99,00% 97,00% 98,24%
Jika melihat dari tabel diatas, realisasi IKU Inspektorat Jenderal Kementerian
Kesehatan mengalami kenaikan capaian dari 98,24% pada tahun 2018 menjadi
99,00% pada tahun 2019.
Grafik 3.62
Perbandingan Realisasi Kinerja s.d Tahun 2019
dengan Target Jangka Menengah Renstra 2015 – 2019
Capaian kinerja Inspektorat Jenderal sebesar 99,00% pada tahun 2019 belum
memenuhi dari target kinerja yang direncanakan pada tahun tersebut yakni sebesar
100%. Dan jika diperbandingkan dengan target capaian kinerja jangka menengah
Inspektorat Jenderal, maka target kinerja pada tahun 2018 sebenarnya telah tercapai
pada tahun 2015. Namun pada tahun 2019 tantangan Inspektorat Jenderal semakin
besar karena seluruh satuan kerja dibawah Kementerian Kesehatan tidak boleh ada
temuan Kerugian Negara diatas 1%.
yang berlaku, terutama pada satuan kerja penerima dana Tugas Pembantuan
(TP) yang dialihkan ke Dana Alokasi Khusus (DAK).
e. Pendampingan/Konsultasi Pengadaan Barang/Jasa
Pendampingan/konsultasi pengadaan barang/jasa dilakukan dengan tujuan
untuk memelihara tingkat kepercayaan publik dan peserta tender, meyakinkan
keputusan yang dibuat terhindar dari tuntutan hukum, menciptakan
akuntabilitas dalam proses pengadaan barang/jasa, dan menghindari terjadinya
praktik korupsi.
f. Peningkatan Akuntabilitas Kinerja Satuan Kerja
Dalam upaya meningkatkan akuntabilitas kinerja di setiap satuan kerja,
Inspektorat Jenderal melakukan Evaluasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah (SAKIP). Evaluasi ini dilakukan sebelum Kementerian PAN dan RB
melakukan evaluasi SAKIP Kementerian Kesehatan. Selain itu, dilaksanakan pula
reviu LAKIP.
g. Peningkatan Kualitas Perencanaan dan Penganggaran
Dalam rangka meningkatkan penyusunan perencanaan dan penganggaran
Kementerian Kesehatan, Inspektorat Jenderal melaksanakan kegiatan reviu
Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-K/L) di masing-masing unit
utama atau satuan kerja di lingkungan Kementerian Kesehatan. Kegiatan ini
dilakukan sebelum dilakukan penelaahan oleh Direktorat Jenderal Anggaran
Kementerian Keuangan.
h. Percepatan Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Aparat Pengawasan Intern
Pemerintah (APIP)
Salah satu tugas Inspektorat Jenderal adalah memastikan bahwa satuan kerja
telah menindaklanjuti rekomendasi atau saran hasil audit internal maupun
eksternal. Oleh karena itu, Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan
mempunyai peran yang sangat penting dalam memantau percepatan tindak
lanjut, sehingga tindak lanjut dapat terlaksana tepat waktu sesuai ketentuan.
Percepatan tindak lanjut dilakukan melalui pemantauan dan pemutakhiran data,
serta dilakukan bimbingan teknis dalam rangka memberikan masukan kepada
satuan kerja untuk penyelesaian tindak lanjut hasil audit yang dilakukan secara
berkala.
i. Kerjasama Pengawasan dengan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)
lain
Kerjasama pengawasan dilakukan dengan aparat pengawasan lain yaitu
Inspektorat Jenderal Kementerian/Lembaga, Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP).
j. Penanganan Pengaduan Masyarakat
Dalam rangka meningkatkan penyelesaian pengaduan masyarakat, Kementerian
Kesehatan telah membentuk tim untuk menangani pengaduan masyarakat
berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor:
HK.02.02/MENKES/239/2016 tanggal 11 April 2016 tentang Tim Penanganan
Pengaduan Masyarakat Terpadu. Dalam pelaksanaannya dilakukan berdasarkan
j. Adanya penugasan lain dalam periode waktu penugasan yang sama dengan
kegiatan pengawasan terutama untuk Dalnis dan Ketua Tim (seluruh IR).
Jika melihat capaian kinerja Inspektorat Jenderal tahun 2019 sebesar 99,00% dan
penyerapan anggaran sebesar 96,98% dengan realisasi fisik sebesar 100,59% maka
telah terjadi efisiensi penggunaan sumber daya di lingkungan Inspektorat Jenderal.
Hal ini dilakukan melalui pelaksanaan beberapa kegiatan pembinaan dan
pengawasan kepada auditor dalam satu penugasan mengingat terbatasnya SDM
auditor di Inspektorat Jenderal yang hanya berjumlah 193 orang yang terdiri dari
Auditor Utama 1 orang, Auditor Madya 24 orang, Auditor Muda 36 orang, Auditor
Pertama 106 orang, Auditor Terampil 2 orang, Auditor Kepegawaian Madya 1 orang,
Auditor Kepegawaian Muda 6 orang dan Auditor (Analis Bidang Pengawasan) JFU 17
orang.
11). Sasaran Strategis 11: Meningkatnya Kompetensi dan Kinerja Aparatur Kementerian
Kesehatan
Dalam kaitan dengan Sasaran Strategis ini, Kementerian Kesehatan mengidentifikasi dua
Indikator Kinerja Utama (IKU) dengan hasil capaiannya sebagaimana tergambar dalam tabel
berikut:
Tabel 3.56
Capaian IKU pada Sasaran Strategis 11:
Meningkatnya Kompetensi dan Kinerja Aparatur Kementerian Kesehatan
SS11: Meningkatnya Kompetensi dan Kinerja Aparatur Kementerian Kesehatan
Indikator ini merujuk kepada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun 2012
tentang Standar Kompetensi Jabatan Struktural di lingkungan Kementerian Kesehatan.
Definisi Operasional IKU ini adalah Jumlah Pejabat pimpinan tinggi, administrator dan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 223
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019
Tabel 3.57
Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi, Administrator, dan Pengawas
Tahun 2019
JPT
Jenis Jabatan JPT Madya Jab.Administrator Jab.Pengawas
Pratama
Realisasi 2 34 120 360
Total 406
Pada tabel dapat dilihat bahwa pada tahun 2019 pengisian jabatan di lingkungan
Kementerian Kesehatan sebanyak 406 orang yang terdistribusi menjadi 2 (dua)
jabatan pimpinan madya, 34 (tiga puluh empat) jabatan pimpinan tinggi pratama, 120
(seratus dua puluh) jabatan administrator, dan 360 (tiga ratus enam puluh) jabatan
pengawas.
Grafik 3.63
Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi, Administrator, dan Pengawas Tahun 2019
Pada Grafik diatas pada tahun 2019 dapat dilihat bahwa pengisian jabatan
pimpinan tinggi dilakukan dengan metode seleksi terbuka jabatan pimpinan tinggi
madya 2 (dua) jabatan dan untuk jabatan pimpinan tinggi pratama sebanyak 14
(empat belas) jabatan. Pengisian jabatan pimpinan tinggi dilakukan dengan metode
rotasi/mutasi hanya jabatan pimpinan tinggi pratama sebanyak 20 (dua puluh) jabatan
sedangkan untuk jabatan pimpinan tinggi madya tidak ada. Pengisian jabatan
administrator yang dilaksanakan dengan metode rotasi/mutasi/promosi sebanyak 120
(seratus dua puluh) jabatan dan jabatan pegawas sebanyak 360 (tiga ratus enam
puluh) jabatan.
Berdasarkan data yang diperoleh Biro Kepegawaian, dari 2.268 pejabat pimpinan
tinggi, administrator dan pengawas di lingkungan Kementerian Kesehatan, 2.068
diantaranya telah memenuhi kompetensi sesuai persyaratan jabatannya masing-
masing. Dengan demikian, 91,18% dari total pejabat pimpinan tinggi, administrator
dan pengawas di lingkungan Kementerian Kesehatan telah memiliki kompetensi sesuai
persyaratan pada akhir tahun 2019. Dengan merujuk kepada data tersebut, capaian
indikator kinerja persentase pejabat struktural di lingkungan Kementerian Kesehatan
yang kompetensinya sesuai persyaratan jabatan dinilai cukup baik karena telah
melebih target yang ditetapkan sebesar 90% (terlihat pada grafik 3.32).
Grafik 3.64
Persentase pejabat struktural di lingkungan Kementerian Kesehatan yang
kompetensinya sesuai persyaratan jabatan
Pada grafik diatas dapat dilihat pula trend realisasi indikator tersebut bahwa dengan hasil
capaian pada tahun 2019 yang masih on track serta menunjukkan kecenderungan
meningkat.
Adapun realisasi indikator tersebut dibandingkan dengan tahun 2017 – 2018 sebagai
berikut:
Tabel. 3.58
Trend Realisasi Indikator Persentase Pejabat Pimpinan Tinggi, Administrator dan Pengawas di
lingkungan Kementerian Kesehatan yang kompetensinya sesuai persyaratan jabatan
Dibalik pencapaian kinerja pada tahun 2019 yang menunjukkan hasil cukup baik,
terdapat hambatan dan upaya yang dilaksanakan dalam mencapai keberhasilan
tersebut.
Hambatan dalam pencapaian kinerja adalah :
1. Belum dilakukan evaluasi pelaksanaan keseluruhan dari setiap proses yang
dilakukan dalam seleksi terbuka Jabatan Pimpinan Tinggi di lingkungan
Kementerian Kesehatan.
2. Terbitnya peraturan yang baru sehingga peraturan yang sudah ditetapkan atau
konsep peraturan yang sedang direvisi dan telah disusun harus disesuaikan dengan
peraturan tersebut.
3. Pejabat yang ditunjuk menunda untuk menjadi calon peserta Pelatihan
Kepemimpinan.
Upaya yang dilakukan dalam mengatasi hambatan dalam pencapaian kinerja adalah :
1. Melakukan evaluasi secara menyeluruh pada tahapan pelaksanaan seleksi terbuka
Jabatan Pimpinan Tinggi di lingkungan Kementerian Kesehatan.
2. Penyesuaian peraturan yang telah ditetapkan dengan merevisi dan menyesuaikan
kebijakan sesuai dengan peraturan yang baru ditetapkan.
3. Melakukan koordinasi dengan Unit Utama bidang kepegawaian terkait pengganti
pejabat yang menunda keikutsertaan pelatihan kepemimpinan.
Penilaian prestasi kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah pengukuran tingkat capaian
Sasaran Kerja Pegawai atau tingkat capaian hasi kerja (output) yang telah direncanakan
dan disepakati antara Pejabat Penilai dengan PNS yang dinilai sebagai kontrak prestasi
kerja. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi
Kerja Pegawai Negeri Sipil pasal 5 disebutkan bahwa setiap PNS wajib menyusun Sasaran
Kerja Pegawai (SKP). Penilaian prestasi kerja pegawai terdiri atas unsur Sasaran Kerja
Pegawai (SKP) dengan bobot 60% dan unsur Perilaku Kerja dengan bobot 40%.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 227
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019
Persentase pegawai Kementerian Kesehatan dengan nilai kinerja minimal baik dihitung
dengan formulasi sebagai berikut:
Grafik 3.65
Persentase Pegawai Kementerian Kesehatan dengan Nilai Kinerja
Minimal Baik Tahun 2015-2019
Dalam pelaksanaan kegaiatan sebagai usaha mencapai target kinerja yang diharapkan,
tentu saja Biro Kepegawaian mengadapi beberapa kendala/hambatan yang sangat
berdampak terhadap penilaian kinerja Biro Kepegawaian itu sendiri. Adapun secara
umum kendala/hambatan tersebut dapat dijabarkan secara garis besar sebagai berikut:
1. Seperti telah dijabarkan diatas bahwa pemenuhan kebutuhan ASN Kemenkes telah
mencapai target yang telah ditentukan, namun capaian tersebut diambil berdasakan
jumlah pelamar yang mengirimkan berkas dibandinngkan dengan jumlah berkas valid,
hal tersebut dikarenakan Sesuai surat dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor B/1007/S.SM.01.00/2019 tanggal 01 Oktober
2019 hal Jadwal Pelaksanaan Rekrutmen dan Seleksi CPNS Formasi Tahun 2019 bahwa
pelaksanaan seleksi CPNS formasi tahun 2019 yang semula direncanakan selesai pada
tahun 2019, baru dapat dimulai Bulan Oktober 2019, serta perubahan jadwal tersebut
telah disepakati dalam rapat di Kementerian PANRB pada tanggal 30 September 2019
yang dihadiri dari unsur dari Kementerian PANRB, Kementerian Keuangan (Ditjen
Anggaran, Ditjen Perimbangan Keuangan dan Ditjen Perbendaharaan), Kementerian
Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
BKN, BPKP, Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta, dan Pemerintah Daerah Provinsi
Jawa Timur, sehingga pelaksanaan seleksi Kompetensi Dasar dan Seleksi Kompetensi
Bidang untuk formasi tahun 2019 akan dilaksanakan pada tahun 2020.
2. Kualitas dan kompetensi SDM yang dimiliki saat ini belum seluruhnya sesuai dengan
kebutuhan SDM di lapangan (kebutuhan organisasi) baik jenis, jumlah maupun
kualifikasi pendidikannya;
3. Belum optimalnya peran dan fungsi koordinasi baik lintas program maupun lintas
sektor atau masih terdapat ego sectoral;
Sedangkan bentuk upaya tindak lanjut yang telah dan kan dilakukan dalam menghadapi
hambatan/ kendala yang ada antara lain adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan peran dan fungsi koordinasi baik lintas program maupun lintas sektor,
antara lain:
a. Koordinasi dengan Kemenpan dan RB terkait tindak lanjut penetapan formasi
CPNS Kemenkes di tahun 2019 dengan penyesuaian aturan-aturan yang
mendukung tercapainya target pencapaian alokasi formasi yang telah ditetapkan;
b. Kordinasi dengan profesi, unit kerja yang akan mendayagunakan tenaga dan
lembaga swadaya masyarakat atau pihak terkait lainnya dalam penyusunan draft
aturan seleksi ASN.
2. Mengembangkan dan menguatkan kualitas pengelolaan SDM Kesehatan secara
terpadu dengan berbasis WEB secara online dengan menggunakan database pegawai
yang terintegrasi dengan SILK/SIMKA/SIMPEG terkait penyusunan kebutuhan tenaga
kesehatan (bezetting).
3. Meningkatkan peran dan fungsi monitoring dan evaluasi di berbagai program
kegiatan yang menjadi tanggungjawab, tugas pokok dan fungsi Biro Kepegawaian
untuk menjadi bahan perencanaan yang akan datang;
4. Melaksanakan Re-Staffing atau penataan ulang pegawai di lingkungan Biro
Kepegawaian baik pejabat struktural maupun staf.
5. Dalam rangka lebih mengoptimalkan dan meningkatkan pencapaian kinerja dan
menjaga konsistensi kualitas serta mutu layanan pengelolaan administrasi
kepegawaian telah dilakukan penerapan Sistem Manajemen Mutu (SMM) melalui
sertifikasi ISO 9001:2015. Sebagai gambaran pada tahun 2015 telah dilakukan
sertifikasi kembali terhadap 19 (sembilan belas) jenis layanan pengelolaan
administrasi kepegawaian, dengan hasil Biro Kepegawaian mendapatkan sertifikasi
ISO 9001:2015 yang berlaku sampai dengan November 2020.
6. Melakukan penataan kembali arsip/berkas administrasi kepegawaian sesuai standar
yang telah ditetapkan dengan melibatkan Biro Umum Setjen Kemenkes dalam rangka
menunjang tugas pokok dan fungsi organisasi.
Upaya yang telah dilakukan dalam rangka meningkatkan persentase penilaian kinerja
minimal baik di lingkungan Kementerian Kesehatan tahun 2019 yaitu :
1) Melakukan evaluasi penilaian prestasi kerja pegawai.
2) Melakukan updating database pegawai melalui aplikasi Sistem Informasi Manajemen
Kepegawaian (SIMKA).
3) Tersusunnya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1 Tahun 2019 tentang Pedoman
Penilaian Prestasi Kerja Pegawai di Lingkungan Kementerian Kesehatan.
4) Melakukan sosialisasi aplikasi SIPEKA (Sistem Pengukuran Kinerja Pegawai) yaitu
aplikasi yang bertujuan untuk melakukan pencatatan pekerjaan harian bagi pegawai
yang dapat secara langsung dilakukan penilaian oleh pejabat penilai.
Dengan hasil capaian yang terus meningkat setiap tahunnya, namun perlu dilakukan
beberapa hal untuk meningkatkan kualitas penilaian kinerja di lingkungan Kementerian
Kesehatan yaitu :
1) Sosialisasi Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1 Tahun 2019 tentang Pedoman
Penilaian Prestasi Kerja Pegawai di Lingkungan Kementerian Kesehatan sehingga
pejabat penilai mempunyai acuan untuk melakukan penilaian secara objektif.
2) Sosialisasi penggunaan aplikasi SIPEKA (Sistem Pengukuran Kinerja Pegawai) agar
digunakan oleh seluruh pegawai Kementerian Kesehatan sehingga memudahkan
pegawai dan pejabat penilai dalam melakukan penilaian kinerja karena terintegrasi
dengan aplikasi PPKPNS.
3) Pengembangan aplikasi PPKPNS terkait penilaian perilaku dengan metode 360°.
4) Menyusun draft Petunjuk Teknis Pengukuran Kinerja Harian Pegawai.
Dalam kaitan dengan Sasaran Strategis ini, Kementerian Kesehatan mengidentifikasi dua
Indikator Kinerja Utama (IKU) pada Renstra Kemenkes 2015-2019 sebelum dilakukan revisi,
yaitu:
a. Persentase kabupaten/kota yang melaporkan data kesehatan prioritas
a. Persentase tersedianya jaringan komunikasi data yang diperuntukkan untuk pelaksanaan
e-kesehatan
Setelah Revisi Renstra Kemenkes 2015-2019 terdapat 3 (tiga) indikator pada sasaran
strategis, dengan hasil capaiannya sebagaimana tergambar dalam tabel berikut:
TabeI 3.59
Capaian IKU pada Sasaran Strategis 12:
Meningkatnya Sistem Informasi Kesehatan Integrasi
Data kesehatan prioritas adalah sekumpulan data kesehatan yang menjadi prioritas
kebutuhan informasi bidang kesehatan berdasarkan kriteria tertentu serta sesuai
indikator strategis nasional dan global bidang kesehatan. Data kesehatan prioritas terdiri
atas sejumlah elemen data yang dikelompokkan menjadi data derajat kesehatan, upaya
kesehatan, sumber daya kesehatan, determinan kesehatan atau terkait lainnya. Data
kesehatan prioritas dilaporkan melalui Aplikasi Komunikasi Data. Merujuk pada Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 92 Tahun 2014 tentang penyelenggaraan komunikasi data
dalam sistem informasi kesehatan terintegrasi, data kesehatan prioritas merupakan
muatan data dalam penyelenggaraan Komunikasi Data.
Aplikasi Komunikasi Data adalah suatu aplikasi sistem informasi kesehatan yang
digunakan untuk pertukaran data dalam rangka konsolidasi/integrasi data kesehatan
prioritas yang dikirimkan dari dinas kesehatan kabupaten/kota dan/atau dinas kesehatan
provinsi dalam rangka penyelenggaraan sistem informasi kesehatan terintegrasi. Aplikasi
ini dapat diakses di www.komdat.kemkes.go.id dan tampilan muka seperti terlihat pada
Gambar 3.25.
Gambar 3.51
Tampilan Muka Aplikasi Komunikasi Data
Sumber : www.komdat.kemkes.go.id
Pelaporan data kesehatan prioritas yang diisikan pada aplikasi Komunikasi Data
memiliki batas waktu untuk pengiriman dari berbagai level pelapor. Untuk data dari
Puskesmas disampaikan ke dinas kesehatan kabupaten/kota pada tanggal 5 setiap
bulannya. Untuk pelaporan dari dinas kesehatan kabupaten/kota ke provinsi maksimal
disampaikan pada tanggal 10 setiap bulan untuk dilakukan verifikasi oleh dinas kesehatan
provinsi. Data yang telah diverifikasi akan disampaikan ke Pusat pada tanggal 15 setiap
bulannya untuk diverifikasi pada aplikasi Komunikasi Data. Tahun 2019 variabel data
bulanan pada Aplikasi Komunikasi Data berjumlah 34 variabel, terdiri atas data kesehatan
ibu dan anak, data gizi, data imunisasi dan data beberapa penyakit. Gambar 3.26
menampilkan absensi keterisian data/variabel dan Gambar 3.27 memperlihatkan salah
satu laporan data bulanan.
Gambar 3.52
Tampilan Absensi Keterisian Data/Variabel Bulanan
pada Aplikasi Komunikasi Data
Sumber : www.komdat.kemkes.go.id
Gambar 3.53
Tampilan Laporan Data Bulanan pada Aplikasi Komunikasi Data
Sumber : www.komdat.kemkes.go.id
Indikator ini bergantung dengan kepatuhan dinas kesehatan kabupaten/kota dalam
penyampaikan data kesehatan dan kehandalan aplikasi. Adapun upaya yang telah
dilakukan untuk mendukung peningkatan data kesehatan prioritas:
Pada tahun 2019 target jumlah kabupaten/kota yang melaporkan data kesehatan
prioritas ditetapkan sebesar 463 kabupaten/kota atau 90% dari 514 kabupaten/kota.
Kabupaten/kota yang dikategorikan melapor apabila kabupaten/kota tersebut
mengirimkan laporan data prioritas kesehatan minimal 80% variabel data bulanan.
Realisasi indikator ini yaitu 413 kabupaten/kota atau 89,20%. Angka ini belum mencapai
target yang telah ditetapkan. Bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2018, realisasi
tahun 2019 mengalami penurunan.
Angka capaian akhir tahun 2019 tiap kabupaten/kota didapatkan dengan cara
menghitung jumlah variabel bulanan bulan Desember 2018 sampai dengan November
2019 yang terisi pada aplikasi Komunikasi Data dibagi dengan jumlah variabel bulanan
selama satu tahun dikali 100%. Gambar 3.60 memperlihatkan angka capaian per bulan.
Grafik 3.66
Capaian Indikator Jumlah Kabupaten Kota yang Melaporkan
Data Kesehatan Prioritas Tahun 2019
dan catatan sipil untuk data NIK dan sistem informasi SDM kesehatan (SI SDMK). Aplikasi
ini mencatat semua pelayanan kesehatan dalam gedung puskesmas, mulai dari
pendaftaran, pelayanan kesehatan poli umum, poli gigi, poli KIA, transaksi obat/apotek
hingga pembayaran, maupun data ketenagaan dan sumber daya puskesmas. Laporan
yang dapat dihasilkan diantaranya laporan harian berupa jumlah kunjungan, laporan
bulanan 5 diagnosa terbanyak, laporan 5 kunjungan poli terbanyak. Dinas kesehatan
kabupaten/kota memantau secara online data dari puskemas yang menggunakan aplikasi
SIKDA Generik. Tampilan muka Aplikasi SIKDAGenerik akses puskesmas terlihat pada
Gambar 3.28, sedangkan tampilan akses dinas kesehatan kabupaten/kota terlihat pada
Gambar 3.29.
Gambar 3.54
Tampilan Muka Aplikasi SIKDAGenerik Akses Puskesmas
Sumber: www.e-sikda.kemkes.go.id
Gambar 3.55
Tampilan Muka Aplikasi SIKDAGenerik
Akses Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
Sumber: www.e-sikda.kemkes.go.id
3. Jaringan internet di puskesmas yang belum stabil (bandwith kecil) atau belum
terjangkau internet.
4. Cukup pesat pengembangan aplikasi/sistem informasi lain di daerah, mengingat
tidak ada keharusan penggunan Aplikasi SIKDAGenerik.
5. Kesulitan koordinasi antara dinas kesehatan dengan BPJS wilayah yang menyebabkan
bridging dengan Aplikasi PCare BPJS terhambat.
Adapun solusi dan upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi hambatan, diantaranya:
1. Melakukan advokasi melalui berbagai pertemuan kepada Pemerintah Daerah agar
menyediakan anggaran SIK, khususnya dalam penyediaan infrastruktur SIK.
2. Mengupayakan fasilitasi dana hibah untuk penyediaan perangkat atau infrastruktur
SIK.
3. Terus berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam
penyediaan internet sampai ke puskesmas.
Dalam rangka mendukung Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga, telah
dikembangkan Aplikasi Keluarga Sehat. Aplikasi Keluarga Sehat merupakan bentuk
dukungan teknologi informasi terhadap proses pengambilan data lapangan, pengolahan
dan analisis data, penyajian data agregat Indeks Keluarga Sehat (IKS), dengan
memanfaatkan akses Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Kartu Keluarga dari
Dukcapil, serta membuat Nomor Register Rumah Tangga untuk kepentingan pendataan
kesehatan keluarga di lapangan.
Gambar 3.56
Pojok Informasi Keluarga Sehat pada Website Kementerian Kesehatan
Sumber: www.kemkes.go.id
Indikator ini bergantung pada komitmen dinas kesehatan kabupaten/kota dan puskesmas
dalam melaksanakan pemetaan keluarga sehat dan kepatuhan mengisikan datanya ke
aplikasi KS, serta diperlukan kehandalan aplikasi. Adapun upaya dalam mendukung
pelaksanaan pendataan keluarga sehat, yaitu: (1) memfasilitasi kegiatan bimbingan
teknis implementasi aplikasi dan pengelolaan data keluarga sehat pengelola SIK dinas
kesehatan provinsi ke dinas kesehatan kabupaten/kota melalui dana dekonsentrasi
provinsi; (2) bersama Ditjen Yankes dan Badan PPSDMK melakukan pelatihan pendataan
dan penggunaan aplikasi keluarga sehat untuk dinas kesehatan provinsi, dinas kesehatan
kabupaten/kota dan puskesmas; (3) pemberian akses admin puskesmas; (4)
pendampingan penggunaan aplikasi dan pendataan keluarga sehat; (5) pengembangan
aplikasi dan meningkatkan infrastruktur teknologi informasi keluarga sehat; (6) feedback
dan evaluasi pendataan; serta (7) analisis dan diseminasi hasil pendataan keluarga sehat.
Gambar 3.31 memperlihatkan tampilan website PIS-PK www.pispk.kemkes.go.id.
Gambar 3.57
Website Informasi Program Keluarga Sehat dengan Pendekatan Keluarga
Sumber: www.pispk.kemkes.go.id
Sampai dengan akhir Desember 2019 terdapat 45.333.841 keluarga yang telah terdata
kondisi kesehatannya. Sejumlah 502 kabupaten/kota yang telah mendata lebih dari 1.000
keluarga pada tahun 2019. Angka ini belum mencapai target tahun 2019 dengan capaian
sebesar 97,67%. Dibandingkan dengan tahun 2018, capaian indikator ini meningkat
karena target di tahun 2018 sama dengan 2019.
B. Realisasi Anggaran
Tabel 3.60
Alokasi dan Realisasi Anggaran Kementerian Kesehatan
Tahun 2015-2019
TAHUN
ALOKASI REALISASI %
ANGGARAN
2015 54.337.519.430.000 48.851.488.906.116 89,9
2016 65.662.592.996.000 57.010.830.185.609 86,82
2017 59.108.950.148.000 54.912.281.505.907 92,9
2018 61.817.085.108.000 57.098.062.569.015 92,37
2019 71.121.938.460.000 67.288.277.271.120 94,61
Realisasi TA 2015 dan 2016 bersumber dari laporan keuangan audited. Realisasi tahun
2017 dengan menggunakan online monitoring SPAN, realisasi DIPA Kementerian
Kesehatan TA 2017 untuk semua jenis belanja mencapai 92,9% atau sebesar Rp
54.912.281.505.907 dari total pagu sebesar Rp 59.108.950.148.000.
Realisasi tahun 2018 dengan menggunakan online monitoring SPAN, realisasi DIPA
Kementerian Kesehatan TA 2018 untuk semua jenis belanja mencapai 92,37% atau
sebesar Rp 57.098.062.569.015 dari total pagu sebesar Rp 61.817.085.108.000. Total
anggaran tersebut bersumber dari Rupiah Murni, Pinjaman Luar Negeri, Penerimaan
Negara Bukan Pajak, Badan Layanan Umum, Hibah Luar Negeri dan Hibah Langsung
Luar Negeri.
Realisasi tahun 2019 dengan menggunakan online monitoring SPAN, realisasi DIPA
Kementerian Kesehatan TA 2019 untuk semua jenis belanja mencapai 94,61% atau
sebesar Rp 67.288.277.271.120 dari total pagu sebesar Rp 71.121.938.460.000. Total
anggaran tersebut bersumber dari Rupiah Murni, Pinjaman Luar Negeri, Penerimaan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 241
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2019
Negara Bukan Pajak, Badan Layanan Umum, Hibah Luar Negeri dan Hibah Langsung
Luar Negeri.
Grafik 3.67
Alokasi dan Realisasi Kementerian Kesehatan Menurut Jenis Belanja
Tahun Anggaran 2019
40 120,00
Trillions
35 99,62
96,86
100,00
89,28
30 81,95
80,00
25
20 60,00
15
40,00
10
20,00
5
0 0,00
BELANJA MODAL BELANJA BARANG BELANJA PEGAWAI BELANJA BANSOS
Alokasi Realisasi %
Tabel 3.61
Jumlah Alokasi dan Realisasi Belanja
Tahun 2019
Alokasi dan realisasi anggaran Kementerian Kesehatan berdasarkan jenis belanja pada
tahun 2019 untuk belanja modal terealisasi Rp 3.793.699.170 atau 81,95% dari total
alokasi Rp 4.629.442.491.000. Adapun untuk belanja barang direalisasikan Rp
22.396.911.246.618 atau 89,28% dari total anggaran Rp 25.086.410.325.000 Belanja
Bansos menjadi proporsi terbesar dari alokasi dibandingkan belanja pegawai, belanja
barang dan belanja modal.
Grafik 3.68
Alokasi dan Realisasi Anggaran Kementerian Kesehatan
Menurut Jenis Kewenangan
Tahun Anggaran 2019
50 96.56 97.00
Trillions
45 96.00
40 95.00
35 94.00
30 93.00
25 92.00
90.86 90.74
20 91.00
15 90.00
10 89.00
5 88.00
0 87.00
KANTOR PUSAT KANTOR DAERAH DEKONSENTRASI
Alokasi Realisasi %
Tabel 3.62
Jumlah Alokasi dan Realisasi Belanja Berdasarkan Kewenangan
Tahun 2019
JENIS
ALOKASI REALISASI %
KEWENANGAN
KANTOR PUSAT 46.844.972.732.000 45.232.253.777.976 96,56
KANTOR DAERAH 23.236.724.573.000 21.112.137.863.027 90,86
DEKONSENTRASI 1.040.241.155.000 943.885.630.117 90,74
KEMENKES 71.121.938.460.000 67.288.277.271.120 94,61
Gambar 3.58
Registrasi PDLN Secara Online
Gambar 3.59
Pertemuan Bilateral RI-PNG
Di Jayapura Pada tanggal 19 Maret 2019
Untuk peningkatan kolaborasi dan dukungan sumber daya serta koordinasi semua
pemangku kepentingan di perbatasan, beberapa Joint Actions Points yang berhasil
disepakati diantaranya: 1) Mutual notification, joint risk assessment, investigation and
response of all imported VPD cases and outbreaks; 2) Synchronize the Polio supplement
immunization activities (SIAs) of the two countries at the border area; and 3) Establish
coordination mechanism for border control such as establishing bilateral Polio
prevention and control coordination committee.
Untuk menguatkan kerja sama Kesehatan antara Indonesia dan PNG, kedua negara
menyepakati 5 area kerja sama dalam draft MoU Kesehatan RI-PNG, yaitu:
a. Public Health;
b. Development and Empowerment of Human Resources for Health;
c. Pharmaceutical and Medical Devices;
d. Disease Control and Prevention;
e. Development and Strengthening of Health Services.
b. Youth Town Hall Tingkat Regional WHO South-East Asia Region (SEAR) dan Nasional di
Jakarta, tanggal 20 – 21 Maret 2019
Youth Town Hall SEAR dan Nasional pertama, yang diselenggarakan oleh Kementerian
Kesehatan Indonesia dan WHO serta didukung oleh Center for Indonesia’s Strategic
Development Initiatives (CISDI), merupakan acara penting yang mempertemukan 1000
pemuda dengan usia antara 18–39 tahun, dengan fokus pada pemuda usia 18-29 tahun
dari seluruh kawasan Asia Tenggara, untuk secara aktif berdiskusi dengan para
pemangku kepentingan mengenai masalah-masalah pemuda dalam kesehatan
masyarakat, mulai dari penyakit tidak menular, kesehatan kota, kesehatan mental,
kesehatan seksual dan reproduksi, dan reformasi tenaga kerja kesehatan. Keterlibatan
pemuda yang signifikan menjadi tema utama dialog. Youth Town Hall juga akan
mengundang beberapa pemuda dari regional lain di dunia untuk berbagi pembelajaran
dan praktik terbaik dalam menangani permasalahan kesehatan dan kesejahteraan
remaja.
Gambar 3.60
Pertemuan Youth Town Hall tingkat Regional WHO SEAR
Di Jakarta Pada tanggal 20 Maret 2019
Pertemuan Youth Town Hall tingkat regional WHO SEAR dihadiri oleh 250 pemuda dari
negara-negara anggota WHO SEAR (Bangladesh, Bhutan, India, Korea Utara, Maldives,
Myanmar, Nepal, Sri Lanka, Thailand, Timor-Leste, serta wakil pemuda dari seluruh
Indonesia). Pertemuan menghasilkan Youth Regional Call for Action yang pada
pokoknya berisikan komitmen dan peningkatan keterlibatan aktif pemuda dalam
pembangunan kesehatan di kawasan.
Pada Pertemuan Youth Town Hall Nasional dihadiri oleh sekitar 1300 pemuda dari
seluruh provinsi di Indonesia, yang terdiri dari tenaga kesehatan teladan, mahasiswa
kesehatan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pengusaha muda, Pramuka, Palang
Merah Remaja, dan komunitas terkait kesehatan lainnya. Pertemuan dibuka oleh
Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Ibu Puan
Maharani), selain itu hadir juga sebagai pembicara Menteri Pemuda dan Olah Raga
(Imam Nahrowi).
Gambar 3.61
Pembukaan Pertemuan Youth Town Hall tingkat Nasional
Di Jakarta Pada tanggal 21 Maret 2019
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Kepala Biro Kerja Sama Luar Negeri Kementerian
Kesehatan, Acep Somantri. Ketua dari Delegasi NA adalah CEO National Ambulance of
the United Arab Emirates, Ahmed Al Hajeri.
Ketua Delegasi Indonesia mengingatkan hasil pertemuan sebelumnya antara CEO
National Ambulance dan Duta Besar RI Abu Dhabi pada bulan Januari 2019 terkait
tawaran National Ambulance untuk merekrut 45-50 orang Perawat setiap 3 bulan untuk
bekerja di National Ambulance PEA. Saat ini, Kemenkes RI sedang dalam proses
negosiasi MoU Kesehatan dengan Kemenkes dan Pencegahan PEA dan diharapkan
dapat menjadi paying hokum kerja sama dnegan National Ambulance.
Gambar 3.62
Kunjungan National Ambulance ke Jakarta
Di Jakarta Pada tanggal 22 – 24 April 2019
HBF dilaksanakan pada tanggal 3 September 2019, turut hadir dalam HBF dimaksud
industri farmasi dan alat kesehatan Iran seperti Exir Nano Sina, Nano Daro Pajouhan
Pardis, Avicenna, Persis Gen par, Danesh Pharmaceutical Development Co., Baran
Chemical and Pharmaceutical, Biosun Pharmed Co., Parto Negar Persia (PNP), dan
Parseh Intelligent Surgical System Co. (Parsiss). Industri farmasi dan Alkes Indonesia
juga hadir dalam HBF ini seperti PT Bio Farma, PT Kalbe, Dexa Medica, PT Indo Farma,
PT Enseval Medika Farma, PT Kimia Farma, PT Phapros, PT Sanbe Farma, GP Farmasi
dan ASPAKI.
Sebagai rangkaian HBF, dilakukan kunjungan lapangan ke PT Kalbe Farma (Stem Cell and
Cancer Institute) dan RSCM (pengembangan Stem Cell) pada tanggal 2 September 2019
serta ke PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia di Cikarang pada tanggal 4 September
2019.
e. ASEAN Cities Leadership Forum On Getting to Zeros, Denpasar, Bali tanggal 9-11
Oktober 2019,.
Negara-negara di Asia Tenggara berhasil menurunkan kasus infeksi HIV sebanyak 19%
terhitung sejak tahun 2010 hingga 2017. Ini merupakan keberhasilan yang siginifikan
sebagai hasil inisiasi regional dalam merespons penularan HIV AIDS di wilayah negara
anggota Association of South East Asian Nations (ASEAN). Kesuksesan tersebut
didukung dengan akses layanan kualitas tinggi, upaya pencegahan, pendampingan dan
dukungan tanpa adanya stigma dan diskriminasi. Dari laporan praktik regional
menunjukkan adanya peningkatan jumlah jangkauan layanan dan fasilitas kesehatan
bagi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA).
Menteri Kesehatan Nila Moeloek dalam sambutannya pada ASEAN Cities Leadership
Forum On Getting to Zeros pada tanggal 9-11 Oktober 2019 di Bali menyampaikan
bahwa terdapat peningkatan jumlah ODHA yang dijangkau dan didukung oleh setiap
layanan perawatan HIV berjenjang dan meningkatnya jumlah pusat tes HIV dan
konseling serta pengobatan. Pertemuan yang digagas Indonesia ini memperlihatkan
komitmen yang tinggi dari para Walikota, Bupati serta pengelola program yang
memperkuat komitmen regional dalam rangka penanggulangan AIDS di wilayah ASEAN.
ASEAN selama ini telah menjadi wadah regional yang aktif, partisipatif dan inklusif.
Pertemuan ini mencerminkan kontribusi ASEAN melalui ASEAN 2025 yang ingin
bersama mencapai target global mengakhiri epidemi AIDS.
Sejak 2011, ASEAN selalu konsisten dalam pengendalian AIDS. Pada deklarasi tahun
2011, komitmen three zero yakni: meniadakan infeksi HIV baru, meniadakan kematian
terkait AIDS dan meniadakan diskriminasi terhadap Orang Dengan HIV AIDS (ODHA).
Pada pertemuan di Paris pada tahun 2014, para pemimpin daerah dan negara berikrar
untuk mencapai target 90-90-90. Pada tahun 2016 di Laos, ASEAN juga kembali
mendeklarasikan melawan HIV AIDS dengan merespons kerja cepat berkelanjutan
untuk mengakhiri epidemi AIDS pada tahun 2030. Semua berkeinginan untuk
memastikan tidak satu orang pun yang tertinggal dalam merespons terhadap AIDS.
Focal point AMS dengan dibantu oleh konsultan dari RSCM, pakar dari profesi, dan
WHO Indonesia membahas draft pedoman dan memberikan masukan untuk
selanjutnya akan merevisi pedoman berdasarkan masukan dari Pertemuan dan finalisasi
pedoman akan dilakukan melalui konsultasi online dengan advisory group yang terdiri
dari expert WHO serta AMS dan e-working group. Setelah finalisasi, guideline tersebut
akan dimintakan persetujuan secara bertahap dan ad-referendum kepada ASEAN
Health Cluster 1, Senior Officials Meeting on Health Development (SOMHD), dan ASEAN
Health Ministers Meeting (AHMM). Sekretariat ASEAN akan membantu mencetak
guideline dimaksud pada tahun 2021. Pertemuan juga sepakat untuk melakukan
kegiatan advokasi untuk mengatasi kesenjangan kesehatan mental dalam side event
AHMM ke-15 tahun 2021 di Indonesia.
Berdasarkan data dari system informasi penanggulangan krisis kesehatan (SIPKK) pada
tahun 2019 terdapat 2.967 kejadian bencana. dan 445 kejadian berdampak krisis
kesehatan.
Tabel 3.63
Rekapitulasi Kejadian Krisis Kesehatan Tahun 2019
No. Uraian Jumlah
1. Krisis Kesehatan 445 kali
2. Korban meninggal 796 jiwa
3. Luka berat/dirawat inap 2486 orang
4. Luka ringan/dirawat jalan 1.240.613 orang
Gambar 3.63
Contoh Infografis Kejadian Bencana tahun 2019
Gambar 3.64
The 1st Technofarmalkes 2019: Indonesian Health Tech Innovation
Sistem e-performance merupakan sistem terpadu untuk entitas Satker, entitas unit
organisasi, dan Kementerian yang digunakan untuk mempermudah perencanaan,
penganggaran, dan evaluasi pada Kementerian Kesehatan terututma terkait capaian
kinerja. Pengembangannya dilakukan secara lintas unit yang melibatkan Biro
Perencanaan dan Anggaran, Pusat Data dan Informasi, serta semua unit Eselon I di
lingkungan Kementerian Kesehatan.
Gambar 3.65
Sertifikat ISO 9001-2015 Perpustakaan Kementerian Kesehatan
Gambar 3.66
Pelayanan Informasi Publik
Permintaan Informasi melalui SMS Halo Kemenkes selama tahun 2017 sebanyak
3361 SMS dengan rincian 3339 sms berstatus close dan 22 sms berstatus open.
LAPOR Merupakan layanan aspirasi dan pengaduan yang dikelola oleh Kantor
Staf Presiden. Selama 2017 tercatat Kementerian Kesehatan telah melakukan
391 layanan.
Email (kontak@kemkes.go.id)
Email merupakan salah satu layanan yang telah diintegrasikan dalam aplikasi
SIAP, selama 2017 telah masuk sebanyak 4933 email dengan rincian permintaan
informasi (4672 close, 29 open), 105 email pengaduan dan 134 email saran dari
masyarakat.
Gambar 3.67
Ruang Informasi Publik
Kementerian Kesehatan
membuka saluran
komunikasi agar masyarakat
dengan leluasa dapat
mengakses informasi. Kanal
yang dibuka adalah : Contact
Center (surel, surat dan
faximili), dan datang
langsung ke Pojok Informasi
di Gedung Prof. Sujudi Lt. 1.
Daftar saluran informasi :
Fax : 021-52921669
Email : kontak@kemkes.go.id
Surat : Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat; Gd.
Adhyatma, Jl. HR Rasuna Said Blok X-5 Kav. 4-9.
Laman PPID : www.ppid.kemkes.go.id dan www.kemenkes.go.id
Untuk Pojok Informasi dikelola khusus dan bagi masyarakat yang berkeingingan
untuk datang tatap muka dengan petugas informasi di gedung Prof. Sujudi,
lantai satu, Jl. HR Rasuna Said Blok X5 Kav. 4-9.
Gambar 3.68
Ruang Unit Layanan Terpadu (ULT)
7) SPGDT 119
Salah satu upaya penguatan akses pelayanan kesehatan antara lain dengan Sistem
Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT), yang bertujuan untuk
meningkatkan akses dan mutu pelayanan kegawatdaruratan medik, serta
mempercepat waktu respon penanganan pasien gawat darurat dalam upaya
menurunkan angka kematian dan kecacatan. SPGDT merupakan layanan emergensi
medik di Indonesia yang diselenggarakan melalui layanan berbasis call center yaitu
Pusat Komando Nasional (National Comand Center/NCC) 119 dan Public Safety Center
(PSC) 119.
NCC merupakan pusat panggilan kegawatdaruratan medik dengan nomor akses
tunggal 119 yang digunakan di seluruh wilayah Indonesia, yang berada di Kementerian
Kesehatan.
PSC merupakan pusat layanan yang menjamin kebutuhan masyarakat dalam hal-hal
yang berhubungan dengan kegawatdaruratan medik yang berada di kabupaten/kota
yang merupakan ujung tombak pelayanan untuk mendapatkan respon cepat.
Fungsi PSC antara lain (1) Pemberi pelayanan gawat darurat, (2) Pemandu pertolongan
pertama (first aid), (3) Pengevakuasi korban/pasien gawat darurat dan (4)
Pengoordinasi dengan fasilitas pelayanan kesehatan.
8) Pengembangan Telemedicine
Pelayanan Telemedicine merupakan salah satu terobosan Kementerian
Kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan menggunakan teknologi
informasi untuk mendekatkan akses dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
Layanan Telemedicine ini juga diharapakan dapat memudahkan komunikasi tenaga
kesehatan yang berada di daerah terpencil ataupun daerah yang jauh dari pusat kota
dengan dokter spesialis, subspesialis guna mendapatkan layanan kesehatan yang
efisien dan efektif.
Gambar 3.69
Implementasi Telemedicine di Puskesmas Dan di Rumah Sakit
Gambar 3.70
Indonesia Islamic Center (IIC) Kabul – Afghanistan
Gambar 3.71
KKHI Madinah
11) Sehatpedia
SehatPedia merupakan aplikasi online yang menyediakan komunikasi, informasi
dan edukasi kepada masyarakat untuk menerapkan gaya hidup sehat. Hal ini sejalan
dengan Program Indonesia Sehat dalam mendukung upaya promotif dan preventif
yang dilaksanakan melalui tiga pilar utama yaitu paradigma hidup sehat, penguatan
pelayanan kesehatan dan jaminan kesehatan nasional.
Salah satu strategi inovasi dalam peningkatan akses pelayanan kesehatan kepada
masyarakat yaitu pemanfaatan teknologi dan informasi untuk memudahkan
masyarakat dalam mengakses pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, dalam upaya
mendekatkan dan memudahkan masyarakat terhadap akses pelayanan kesehatan
melalui pendekatan teknologi, Kementerian Kesehatan RI menghadirkan aplikasi
SehatPedia dengan jumlah dokter SehatPedia 638 terdiri dari 54 dokter umum, 72
dokter gigi dan 512 dokter spesialis dari 33 RS Vertikal. Jumlah artikel kesehatan
sebanyak 1927 artikel.
Pada tanggal 21 Agustus 2019, aplikasi SehatPedia mendapatkan penghargaan
juara 1 pada Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik, Kolaborasi Dalam Kegiatan
Penyelenggaraan Pelayanan Publik oleh Menteri Kesehatan RI.
Pengembangan inovasi SehatPedia bersinergi dengan Pelaku Usaha Digital Bidang
Kesehatan dalam bentuk penandatanganan MOU antara Kementerian Kesehatan
dengan Enam Pelaku Usaha Digital Bidang Kesehatan, yaitu (1) PT. Prudential Life
Assurance; (2) PT. Good Doctor Technology Indonesia; (3) PT. Pro Sehat Indonesia;
(4) PT. Jejaring Tiga Artha; (5) PT. Telemed Citra Utama; dan (6) Perkumpulan
Komunitas Relawan Emergensi Kesehatan Indonesia. Hal ini bertujuan untuk
membangun ekosistem digital bidang kesehatan yang akan dirancang menjadi
sebuah aplikasi yang memenuhi seluruh kebutuhan akses terhadap kesehatan.
SehatPedia akan mengembangkan beberapa fitur yaitu (1) Live Chat sebagai
konsultasi kesehatan dengan dokter-dokter rumah sakit vertikal Kementerian
Kesehatan; (2) Live Fit, fitur untuk mendukung pola hidup sehat seperti hitung
langkah, kalori dan lainnya; (3) Al Symptom Checker dan Health Assessment
merupakan fitur sistem AI yang dapat melakukan analisis gejala dan evaluasi kondisi
kesehatan; (4) Medical ID, fitur yang menampilkan Data Kesehatan User, fitur
Medical ID sebagai rintisan data kesehatan individu yang kedepannya dapat
terhubung dengan fasilitas kesehatan di Indonesia; (5) Health Care sebagai informasi
fasilitas pelayanan kesehatan dan pendaftaran rawat jalan online; (6) Health Podcast
merupakan hasil rekaman hasil talkshow dokter dengan Siaran Radio Kesehatan
(SRK); (7) Emergency sebagai fitur untuk memberitahukan keadaan gawat darurat.
Dengan penambahan fitur ini diharapkan aplikasi SehatPedia akan terus sesuai
dengan perkembangna teknologi serta mampu mengakomodir kebutuhan
masyarakat terutama dalam hal informasi seputar kesehatan dan upaya penerapan
pola hidup sehat.
Gambar 3.72
Tautan untuk mengunduh aplikasi Sehatpedia
b. Diseminasi Petunjuk Pelaksanaan Joint Audit Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik
Bidang Kesehatan Tahun 2018 dan 2019 kerja sama antara Inspektorat Jenderal
Kementerian Kesehatan dengan Badan Pengawas Keuangan Pemerintah (BPKP).
Diseminasi ini bertujuan untuk: (a) mendapatkan informasi terkait kebijakan DAK
fisik bidang kesehatan dan program strategis yang didukung oleh dana tersebut;
(b) memberikan persamaan persepsi auditor dalam melaksanakan audit; dan (c)
memberikan informasi terkait dengan prosedur audit dan kertas kerja audit yang
akan digunakan dalam pelaksanaan audit termasuk penyusunan laporan hasil
audit dan kompilasi laporan audit tingkat nasional. Hasil yang akan dicapai dalam
pelaksanaan audit DAK yaitu: a) Penguatan SPIP pengelolaan DAK Fisik dan
peningkatan kapabilitas APIP daerah; b) Melaksanakan Manajemen risiko pada
pengelolaan DAK Fisik dan Risk Based Audit Planning pada pengawasan kegiatan
DAK Fisik; serta c) Melaksanakan koordinasi dan sinergi antar APIP dalam
melakukan pengawasan DAK Fisik sejak perencanaan sampai dengan pelaporan;
c. Advokasi Tata Kelola Pencegahan dan Penanganan Kecurangan (Fraud) Program
JKN melalui Permenkes Nomor 16 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan
Penanganan Kecurangan serta Pengenaan Sanksi Administrasi terhadap
Kecurangan Dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan diharapkan dapat
mengatasi segala bentuk penyimpangan yang ada dalam pelaksanaan Program
Jaminan Kesehatan, agar pelaksanaan program JKN dapat berjalan dengan baik.
Sebagai wujud komitmen antara pusat dan daerah dalam memberantas fraud
dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional maka Kemenkes telah
membentuk Tim pencegahan dan Penanganan Kecurangan (Fraud) Tingkat Pusat
dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan yang tertuang dalam
Kepmenkes No. HK.01.07/MENKES/718/2019;
d. Pembinaan SPIP (Sistem Pengendalian Intern Pemerintah) dilakukan oleh
Inspektorat Jenderal dalam rangka meningkatkan level maturitas SPIP, sehingga
sudah ada 5 satuan kerja yang mencapai level rintisan (level 1), 18 satuan kerja
mencapai level berkembang (level 2), dan 4 satuan kerja yang sudah mencapai
level terdefinisi (level 3);
e. Pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaran Negara (LHKPN)
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
HK.03.01/MENKES/066/I/2010 sebagaimana telah diperbaharui dengan
Permenkes No. 35 Tahun 2017 tentang Wajib Lapor Harta Kekayaan bagi Pejabat
di Lingkungan Kementerian Kesehatan, Inspektorat Jenderal Kementerian
Kesehatan mendorong pelaporan LHKPN tersebut kepada seluruh satuan kerja di
lingkungan Kementerian Kesehatan. Sampai dengan tanggal 31 Desember 2019
dari jumlah wajib lapor Penyelenggara Negara sebanyak 3.385 orang, yang telah
menyampaikan LHKPN adalah sebanyak 3.385 orang (100%);
f. Pelaporan Pengendalian Gratifikasi di lingkungan Kementerian Kesehatan
melalui Unit Pengendalian Gratifikasi Kementerian Kesehatan. Pada tahun 2019
terdapat 153 laporan gratifikasi yang diterima oleh UPG Kementerian Kesehatan
yang dikelola oleh Inspektorat Jenderal. Dari 153 barang gratifikasi yang telah
dilaporkan tersebut telah mendapatkan status dari Komisi Pemberantasan
dapat tercapai seluruhnya 100% dengan capaian terendah di tahun 2016 yaitu
sebesar 98,63%.
Gambar 3.73
e-Fornas
- e-Post Border Alkes dan PKRT adalah aplikasi online yang berfungsi sebagai sistem
pengawasan secara elektronik untuk meningkatkan efektifitas verifikasi serta
tindak lanjut yang dilakukan oleh pusat maupun provinsi terhadap perusahaan
yang melakukan impor alat kesehatan dan PKRT.
Gambar 3.74
e-Post Border Alkes dan PKRT
Abstracts Service (CAS) Number, kegunaan, rumus molekul (RM), berat molekul
(BM), dan struktur kimia.
Gambar 3.75
Pendampingan Akreditasi RSUP dr. M. Hoesin
oleh Tim RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo
Tabel 3.64
Daftar Pemenang FKTP Berprestasi
Tahun 2019
JUARA PUSKESMAS KABUPATEN/KOTA PROVINSI
KATEGORI PUSKESMAS PERKOTAAN
I Kedaung Wetan Kota Tangerang Banten
II Kratonan Kota Surakarta Jawa Tengah
III Karang Rejo Kota Balikpapan Kalimantan Timur
KATEGORI PUSKESMAS PERDESAAN
I Parenggean I Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah
II Jetis II Kab. Bantul DI Yogyakarta
III Dungaliyo Kab. Gorontalo Gorontalo
KATEGORI PUSKESMAS TERPENCIL/SANGAT TERPENCIL
I Teluk Belitung Kab. Kep. Meranti Riau
II Muser Kab. Paser Kalimantan Timur
III Pongok Kab. Bangka Selatan Bangka Belitung
KATEGORI KLINIK PRATAMA
I Siliwangi Kota Cimahi Jawa Barat
II Balaikota Kota Jakarta Pusat DKI Jakarta
III Kaltim Prima Coal Kab. Kutai Timur Kalimantan Timur
Gambar 3.76
Penyelenggaraan Lomba FKTP Berprestasi Tahun 2019
Gambar 3.77
Gold Winner Mediakom edisi 94
Gambar 3.78
Penghargaan Silver Winner Mediakom edisi 100
Gambar 3.79
Penghargaan Holmes Lecture
4. Penghargaan dari MarkPlus. Inc (Indonesia Branding Campaign of The Year 2019)
Gambar 3.80
Silver Campaign
Category Public Relation
Gambar 3.81
Penghargaan Kategori Terpopuler di Media
Gambar 3.82
Penghargaan Silver Winner
Kategori E Magazine Kementerian
Mediakom Edisi 92 Maret 2018
Gambar 3.83
Penghargaan Silver Winner
Kategori Media Cetak Kementerian
Mediakom Edisi 95 Juli 2018
Gambar 3.84
Penghargaan Silver Winner
Kategori Media Cetak Kementerian
Mediakom Edisi 100 November 2018
Gambar 3.85
Penghargaan Silver Winner
Kategori Media Sosial Kementerian
Gambar 3.86
Penghargaan dari Yayasan Kanker Anak Indonesia
11. Penghargaan dari Wakil Presiden selaku Ketua pengarah Panitia INASGOV ASIAN
GAMES XVIII
Gambar 3.87
Penghargaan dari INASGOV
Gambar 3.88
Penghargaan dari Direktur Health Edukasi
13. Penghargaan dari Muasasah Asia Tenggara Atas Pelayanan Kesehatan di Mekkah,
Arafah, Musdalifah dan Mina
Gambar 3.89
Penghargaan dari Divisi Kesehatan Muasasah di Mekkah
14. Penghargaan dari KKHI Indonesia Mekkah atas Pelayanan dan Peralatan Kesehatan
yang disediakan oleh Indonesia dari Direktur Pelayanan Kesehatan Haji Mekkah
Gambar 3.90
Penghargaan dari Direktur Pelayanan Kesehatan Haji Mekkah
15. Penghargaan Pelayanan Kesehatan di KKHI Bagi Jemaah Haji Indonesia di Mekkah
dari Direktur Komite Pelayanan Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan Mekkah
Gambar 3.91
Penghargaan Kementerian Kesehatan Mekkah
Gambar 3.92
Penghargaan Halokemenkes 1500567
Gambar 3.93
Penghargaan Widyaiswara Ahli Utama Kehormatan
Gambar 3.94
Penghargaan Opini WTP
Gambar 3.95
Penghargaan dari Kementerian ESDM
20. Penghargaan dari PWI, Atas Pendukung Sukses ASIAN GAMES dan ASIAN PARA
GAMES
Gambar 3.96
Penghargaan ASIAN GAMES dan ASIAN PARA GAMES
21. Penghargaan dari Komisi Informasi Pusat, Kementerian Kesehatan sebagai Badan
Publik Informatif
23. Penghargaan dari It Works, Kementerian Kesehatan Level Bintang 4 Top Digital
Implementation 2019 Kategori Kementerian
Gambar 3.99
Penghargaan dari It Works
Gambar 3.100
Penghargaan Halokemenkes 1500567
25. Penghargaan dari Kementerian PAN dan RB, Kementerian Kesehatan Top 30
Instansi Pemerintah Penyelenggaran Pengaduan Pelayanan Publik
Gambar 3.101
Penghargaan dari Kementerian PAN dan RB
26. Penghargaan dari Kementerian PAN dan RB, Kementerian Kesehatan Top 10
Kategori Pengelola dengan Pendorong Perubahan Terbaik Tingkat Nasional
Gambar 3.102
Penghargaan dari Kementerian PAN dan RB
27. nghargaan dari Komisi Informasi Pusat, Penghargaan dari Kementerian PAN dan
RB, RS Umum Pusat Dr. Kariadi Kementerian Kesehatan Role Model
Penyelenggaran Pelayanan Publik Kategori “Pelayanan Prima”
Gambar 3.103
Penghargaan dari Kementerian PAN dan RB
28. Inspektorat Jenderal Meraih Penghargaan sebagai Satker Terbaik Ke-2 Kategori Pagu
DIPA Sedang dalam Kinerja Pelaksanaan Anggaran Triwulan II TA 2019
Gambar 3.104
Penghargaan Inspektorat Jenderal
29. Kementerian Kesehatan menempati posisi pertama yang memiliki indeks integritas
Kementerian/Lembaga tertinggi
Gambar 3.105
Penghargaan Indeks Integritas
Komisi Pemberantasan Korupsi merilis hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) Tahun
2018, di Kantor KPK. Survei tersebut sebagai upaya pencegahan tindak pidana
korupsi terhadap 6 (enam) Kementerian/Lembaga dan 20 Pemerintah Provinsi.
Kementerian Kesehatan menempati posisi pertama yang memiliki indeks integritas
Kementerian/Lembaga tertinggi dengan nilai rata-rata 74,75. Hasil survei ditampilkan
dengan skala 0-100. Semakin tinggi angka indeksnya maka menunjukan tingkat
integritas yang semakin baik. Bila angka indeknya rendah maka menunjukan tingkat
interitas yang lebih buruk atau lebih rawan terjadi korupsi.
BAB IV
PENUTUP
Laporan Kinerja Kementerian Kesehatan Tahun 2019 merupakan laporan terakhir yang
disusun pada periode Renstra Tahun 2015-2019. Laporan Kinerja disusun sebagai wujud
pertanggungjawaban atas kinerja berdasarkan Sasaran Strategis dan Indikator Kinerja yang
ditetapkan dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019. Laporan
Kinerja Kementerian Kesehatan Tahun 2019 disusun sesuai amanat Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Perjanjian Kinerja,
Pelaporan Kinerja dan Tata cara Reviu Atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah.
pelayanan pada kelompok masyarakat berisiko tinggi, dengan berfokus pada daerah yang
memiliki risiko tertinggi dan beban tertinggi.
Laporan Kinerja ini diharapkan dapat memberikan informasi yang transparan dan
akuntabel bagi semua pemangku kepentingan atau stakeholders Kementerian Kesehatan.
Diharapkan pula Laporan Kinerja ini akan dapat menjadi bahan evaluasi dalam rangka
meningkatkan pengelolaan kinerja di Kementerian Kesehatan. Kementerian Kesehatan
berharap dapat terus memberikan andil yang semakin besar dalam mewujudkan cita-cita
berbangsa dan bernegara di bidang kesehatan.