Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM

FARMAKOTERAPI TERAPAN
NSTEMI, AF, HHD, CAP

Disusun Oleh,

Nama Anggota :Rindang Lukmasari I4C018052


Anisa Eka Pamuji I4C018057
Ranti Suprianur S. I4C018062
Amyda Ayu Dianritami I4C018067
Laras Ratna Sari I4C018072
Ana Andarwiyati I4C018077
Wahyu Nunggal P I4C018082
Noviahajeriani AR I4C018087
Muhammad S. Alfarisy I4C018092
Aliya Nurjanah I4C018097
Kelompok :1
Tutor : Anita Rahmawati, S.Farm., Apt

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
PURWOKERTO

2019
A. KASUS
Ny A (P) berusia 74 tahun, BB 55 KG, TB 155 cm, Keluhan saat masuk
rumah sakit nyeri dada hingga punggung, pusing, mual, muntah, keringat
dingin, sesak, lemas, dan batuk. Pasien memiliki riwayat penyakit HHD sejak
beberapa tahun yang lalu.
Diagnosis dokter : NSTEMI, AF, HHD, CAP
Data Laboratorium : Tanda-tanda vital pasien saat MRS suhu tubuh 38,7
ºC, Nadi 127x/menit dan Nafas 32x/menit dan tekanan darah 180/110
mmHg. Pemeriksaan thorax kesan peneumonia
 SUBJEKTIF
Nama : Ny A
Usia : 74 tahun
BB : 55 kg
TB : 155 cm
Keluhan :
Keluhan 16/2 17/2 18/2 19/2 20/2 21/2
Nyeri dada hingga punggung +++ ++ + + - -
Pusing +++ ++ + + - -
Mual +++ ++ + + - -
Sesak nafas +++ ++ ++ + - -
Lemas +++ ++ ++ + - -
Batuk +++ +++ ++ + - -
Diare - - +++ ++ - -
Melena - - +++ ++ - -

 OBJEKTIF
Tanda- tanda vital :
TT Satuan Norm 16/2 17/2 18/2 19/2 20/2 21/2 Keteranga
V al n
TD mmH 120/8 180/11 129/9 122/6 126/8 170/8 134/7 Meningka
G 0 0 5 6 5 0 2 t
Nad x/men 80- 127 112 91 88 110 81 Meningka
i it 100 t
o
Suh C 36- 38,7 35,6 36 36 38,7 36,8 Meningka
u 37,5 t
nafa x/men 12-20 32 37 21 30 29 23 Meningka
s it t
Data Laboratorium :
Parameter Normal 16/2 keteranga
n
Hb 12-16 g/dl 12,5 Normal
Leukosit 3.200-10.000/ 967 Normal
mm3 0
GDS < 200 mg/dL 99 Normal
Kalium 3,6-4,8 mEq/L 3,9 Normal
Klorida 97-106 mEq/L 103 Normal
Natrium 135-144 mEq/L 138 Normal
Kreatinin 0,6-1,3 mg/dL 1,08 Normal
Ureum darah 10-50 mg/dL 41,1 Normal
Troponin I < 0,04 ng/mL 0,06 Meningkat
HDL 30-70 mg/dL 32 Normal
Kolesterol total < 200 mg/dL 168 Normal
trigliseride 35-135 mg/dL 91 Normal
Pemeriksaan penunjang
Foto rontgen
(Kemenkes, 2011)

Terapi Saat di Rumah Sakit :


Terapi obat Dosis 21/2 22/2 23/2 24/2 25/2 26/2
Inj furosemide 2 x 1 amp √ 1x1 √ √ √ √
amp
Inj arixtra 1 x 2,5 mg √ √ stop stop stop stop
Inj kalnex 3 x 500 - - √ √ Jika melena
mg
Vit K 2 x 10 mg - - √ √ stop Stop
Inj prosogan 1 x 30 mg - - - √ √ √
Alprazolam 1 x 0,5 mg √ √ √ √ √ √
Miniaspi 1 x 80 mg √ √ stop stop stop Stop
Brilinta 2 x 90 mg √ √ √ tund tund Tund
a a a
Atorvastatin 1 x 20 mg √ √ √ √ √ √
ISDN 3 x 5 mg √ - - - - √
Amlodipine 1 x 5 mg √ √ √ stop stop Stop
Digoxin 1 x 1 tab √ √ √ √ √ √
Nitrokaf 2x1 - √ √ √ √ Tund
a
Diatab 3 x 2 tab - √ √ √ stop Stop
Laxadin syr 0-0-2 cth √ tund tund tund tund Tund
a a a a a
Valsartan 1 x 160 - - - √ √ √
mg
Sukralfat 3 x 2 cth - - - √ √ √
Ceftriaxone 1 x 2 gr - - - - √ √
Azitromicin 1 x 250 - - - - √ √
mg
N – asetilsistein 3 x 200 - - - - √ √
mg
Tabas syr 3x1 - - - - √ √
B. DASAR TEORI
1. PATOFISIOLOGI
a. Hypertensive Heart Disease (HHD)

(Vasiliki, et al, 2010)


Patopisiologi hhd adalah interaksi yang kompleks antara faktor
hemodinamik, struktural, seluler, neurohormonal, dan molekuler. peningkatan
TD menyebabkan perubahan yang merugikan pada struktur jantung dan
fungsinya melalui peningkatan afterload dan perubahan neurohormonal dan
vaskular. sesuai dengan sifat stimulus pemicu, transduksi sinyal dapat terjadi
dalam 2 arah. kardiomiosit bisa mengalami hipertrofi, respons adaptif dalam
upaya menormalkan tekanan dinding sistolik ventrikel, atau apoptosis. suatu
proses maladaptif yang mengakibatkan dilatasi dan kekakuan ventrikel.
tekanan berlebih dari ventrikel kiri (I.V) dan hilangnya regulasi timbal balik
antara molekul profibotik dan antifibrotik dikaitkan dengan peningkatan
sintesis kolagen dan mengurangi aktivitas kolagenase, berkontribusi terhadap
fibrosis ventrikel. awalnya, perubahan bersifat kompensasi dan tanpa gejala,
menyebabkan kompromi dalam tingkat relaksasi, hisap diastolik, dan
kekakuan pasif dari LV. Kemudian, mereka menjadi simtomatik sebagai
akibat dari pengejaran dalam orientasi spasial serat kolagen, yang selanjutnya
menambah pengisian diastolik dan transduksi kontraksi kardiomiosit ke
dalam perkembangan kekuatan miokard. apoptosis kardiomiosit, yang
ditingkatkan dengan produksi kolagen, mempercepat dilatasi dan disfuksi LV.
Aktivasi sistem adrenergik dan renin angiotensin aldosteron yang
menghasilkan bentuk dilatasi ventrikel menyebabkan downregulasi reseptor
miokardium dan menghambat saluran pelepasan kalsium sarkolemmal.
perubahan struktural ini juga bertanggung jawab atas imoaires aliran koroner
dan aritmia. ketika akumulasi kolagen meningkat. pengejaran ini
menyebabkan iskemia dan ventrikukar dan / atau aritmia atrium (Vasiliki, et
al, 2010).

b. Fibrilasi Atrium (AF)

Tinjauan skematis tentang faktor-faktor yang mengatur kejadian AF (Wakli et al,


2011)
Fibrilasi atrium (AF) adalah yang paling umum aritmia berkelanjutan
dalam praktik klinis terkait dengan mortalitas dan morbiditas yang jelas.
MicroRNAs (miRNAs), yang panjangnya sekitar 22 nukleotida Regulator
ekspresi gen RNA, telah menjadi fokus utama penelitian dalam miRNAs
biologi molekuler telah muncul sebagai regulator utama pasca transkripsional
dari Oleh karena itu ekspresi gen, penting untuk dikomentari tentang peran
mRNA non-protein-coding kecil ini dalam sistem kardiovaskular dan
keterlibatannya dalam AF. Dalam ulasan ini, kami merangkum mekanisme
miRNAs sebagai pengatur gen saluran ion dan mereka peran dalam renovasi
listrik yang disebabkan oleh AF Mekanisme fibrilasi atrium (Vilches, et al,
2015).

(Vilches, et al, 2015).


Sitotoksik kelebihan Ca2 + terjadi dengan laju atrium yang cepat.
Sebagai Hasilnya, ini bertindak sebagai mekanisme perlindungan sel melalui
inaktivasi arus tipe-Ca2 + L (ICa-L), yang pada gilirannya mengurangi durasi
potensial aksi (APD) dan ini akibatnya lebih pendek periode refraktori (RP).
Kelebihan Ca2 + ini juga berkontribusi terhadap abnormal fungsi saluran
reseptor ryanodine (RyR) dan mengintensifkan Na + ke dalam -Ca2 +
-exchange current (INCX), menyebabkan tertunda setelahpolarisasi (DAD)
dan ektopik aktivitas. Selain itu, AF menghasilkan hiperpolarisasi untuk
meningkatkan ICa-L, yang meningkatkan penyearah ke dalam saat ini (IK1)
dan K + yang diatur asetilkolin  saat ini (IKAch). Ini juga mengurangi APD
dan mempromosikan konduksi oleh penurunan connexin-40 (Cx40) AF
membutuhkan pemicu untuk memulai pemicunya biasanya dalam bentuk
fokus otomatis takikardia atau banyak wavelet memanjang melalui atrium
kiri. substrat yang digunakan untuk pemeliharaan aritmia umumnya jaringan
heterogen. Hipotesis yang berlaku untuk peningkatan otomatisitas fokus pada
jaringan atrium menyebabkan kekacauan aktivasi atrium. Otomatisitas fokus
yang disempurnakan paling banyak terjadi umumnya di vena paru (PVs),
yang menghasilkan sirkuit microreentrant yang meluas ke atrium kiri yang
berdekatan jaringan. Peregangan atrium telah dianggap sebagai pemicu AF
berulang terutama pada pasien dengan penyakit jantung katup, CHF, dan
penyakit jantung iskemik. Tromboemboli sistemik Sumber khas
tromboemboli sistemik pada AF pasien adalah pelengkap atrium kiri (LAA).
Durasi AF lebih dari 48 jam mempromosikan stasis LAA, disfungsi endotel,
dan hiperkoagulabilitas. Risiko tromboemboli tetap ada bahkan setelah
kardioversi karena suatu fenomena dikenal sebagai atrium yang
menakjubkan. Disfungsi atrium paling banyak diucapkan segera setelah
restorasi sinus irama dan reda biasanya dalam beberapa hari tetapi telah
dijelaskan sejauh 3-4 minggu (Vilches, et al, 2015).
Mekanisme patofisiologis dan hubungannya dengan bentuk AF Untuk
memahami mekanisme molekuler yang mendasari AF, perlu menempatkan
mereka dalam konteks patofisiologis. Aktivitas ektopik fokus. Mekanisme
tersebut diyakini menghasilkan ektopik aktivitas dari fokus atrium, Atrium
normal sel ("potensial aksi atrium normal") menampilkan perubahan
tegangan tipikal dari waktu ke waktu. Mereka mulai pada intraseluler
negative potensial membran (potensial istirahat), menjadi sangat positif ketika
dipecat (didepolarisasi) selama periode yang disebut fase 0, kemudian pergi
melalui serangkaian langkah repolarisasi untuk kembali ke istirahat potensial,
di mana mereka tetap sampai tindakan potensial berikutnya. Aktivitas
otomatis terjadi ketika peningkatan tergantung waktu mendepolarisasi arus ke
dalam yang dibawa oleh Na + atau Ca2 + (membuat interior sel lebih positif)
atau penurunan repolarisasi ke arah luar arus yang dibawa oleh K + (yang
membuat bagian dalam sel negatif) menyebabkan depolarisasi sel progresif
tergantung waktu. Ketika ambang batas potensi tercapai, sel menyala,
menghasilkan aktivitas otomatis. Jika penembakan otomatis terjadi sebelum
detak normal (sinus) berikutnya, sebuah hasil aktivasi atrium ektopik (Wakli
et al, 2011).
c. NSTEMI

Mekanisme patofisiologi dasar dari sindrom koroner akut terjadi akibat


ruptur atau erosi plak ateromatosa dengan superimposisi trombosis. Istilah
sindrom koroner akut diciptakan untuk membedakan antara angina stabil
kronis dari angina tidak stabil dan infark miokard akut (Dayyal, 2019).
Sebagian besar pasien dengan sindrom koroner akut memiliki riwayat
sebelumnya angina atau penyakit arteri koroner. Manifestasi klinis iskemia
miokard yang biasa adalah nyeri dada. Rasa sakit biasanya terletak di bagian
tengah atau kiri dada dan dengan berbagai cara digambarkan sebagai tekanan,
penyempitan, penggerusan, sesak atau berat. Rasa sakit menjalar ke lengan
kiri, bahu, leher, dan rahang dan akan berkembang setelah aktivitas, makan,
atau stres emosional. Pada angina pektoris, nyeri dihilangkan dengan istirahat
dan terapi nitrogliserin. Nyeri serupa pada infark miokard akut (nekrosis
miokardium akibat iskemia seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1201.2)
tetapi lebih parah dan persisten (> 30 menit), dan tidak mudah hilang dengan
istirahat atau nitrogliserin. Pada infark miokard, nyeri sering disertai dengan
fitur lain seperti berkeringat, mual, muntah, sesak napas, dan jantung
berdebar. Infark miokard akut dapat secara klinis diam (pada 25% kasus,
terutama penderita diabetes atau hipertensi) (Dayyal, 2019).
(Satoto, 2014)
Infark miokard akut tanpa elevasi ST (Non STEMI) dapat disebabkan
oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan oksigen demand miokard
yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena thrombosis
akut dan proses vasokonstriksi koroner. Trombosis akut diawali dengan
rupture plak aterom yang tidak stabil dengan inti lipid besar dan fibrous cap
tipis dan konsenterasi tissue factor tinggi. Inti lemak yang cenderung rupture
mempunyai konsenterasi ester kolesterol dengan proporsi asam lemak tak
jenuh yang tinggi. Pada lokasi rupture plak terdapat proses inflamasi dilihat
dari jumlah makrofag dan limfosit T. Sel-sel ini akan mengeluarkan sitokin
proinflamasi seperti TNF dan IL-6.IL-6 akan merangsang pengeluaran hsCRP
di hati (Satoto, 2014) .
d. Community Aquaired Pneumonia (CAP)

(Feldman, et al., 2015)


Transisi patogen CAP (lingkaran ungu di rongga hidung dan paru-
paru) dari koloni yang diam menjadi fenotip yang agresif memungkinkan
invasi saluran udara yang lebih rendah. Interaksi dinding sel bakteri dan
komponen intraseluler (asam lipoteichoic, peptidoglikan, asam nukleat,
pneumolysin dan racun pembentuk pori lainnya) dengan reseptor pengenalan
pola (T) di / pada sel-sel penduduk dari sistem imun bawaan paru (dalam
kasus ini makrofag, ditunjukkan oleh Mθ) mengarah pada aktivasi faktor
transkripsi sitosol laten termasuk, tetapi tidak terbatas pada, faktor nuklir
kappa B (NFkB). Translokasi nuklir dari faktor transkripsi yang diaktifkan
menghasilkan induksi gen yang mengkode berbagai sitokin / kemokin pro-
inflamasi (IL-1β, IL-6, IL-8, IL-17, IL-17, IL18, TNF). Ini, pada gilirannya,
mempromosikan aktivasi lokal endotelium vaskular dan presentasi
kemoatraktan memungkinkan migrasi transendotelial (TEM) monosit (M)
dan neutrofil (N), serta eksudasi protein komplemen proinflamasi dan reaktan
fase akut. Rekrutmen dari elemen sistemik bawaan sistem imun bawaan ini
memperkuat pertahanan inang paru. Namun, respons inflamasi yang
berkepanjangan dan salah arah dapat mengintensifkan kerusakan paru melalui
pelepasan berlebihan spesies oksigen reaktif fagosit yang diturunkan dan
protease yang bekerja bersama dengan sitotoksin mikroba; mekanisme ini
juga dapat mendukung penyebaran luar paru patogen CAP dan sitokin /
kemokin pro-inflamasi yang menghasilkan respons inflamasi sistemik yang
menyertai disfungsi endotel dan paparan / pelepasan yang dihasilkan dari
faktor VII, faktor jaringan, faktor Von Willebrand, dan kolagen sub-
endotelial, menciptakan negara pro-koagulan (Feldman, et al., 2015).
Dalam keadaan sehat tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme,
keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru.
Terdapatnya bakteri didalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya
tahan tubuh, sehingga mikroorganisme dapat bekembang baik dan
mengakibatkan timbulnya infeksi penyakit. Bila pertahanan tubuh tidak kuat
maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai kealveoli yang
menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya setelah itu
mikroorganisme tiba dialveoli membentuk suatu proses peradangan yang
akan mengaktifkan sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan
maka sel mast mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama
dengan histamine dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vascular
paru dan permeabilitas kapiler hal ini menyebabkan perpindahan eksudat
plasma ke dalam ruang intersitisium sehingga terjadi pembengkakan dan
edema antara kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan diantara kapiler dan
alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida, perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan
sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin (Feldman, et
al., 2015).

2. GUIDLINE/ ALGORITMA TERAPI


a. HHD
Pemilihan terapi Hipertensi untuk jenis obat antihhipertensi dan
kombinasinya dibedakan berdasarkan derajat hipertensi dan ada
tidaknya compelling indication. Pasien hipertensi dengan compelling
indication penyakit arteri koroner direkomendasikan menggunakan
Beta Blocker sebagai lini pertama terapi. Selanjutnya, dapat
ditambahkan dengan ACE inhibitor atau dengan ARB apabila pasien
kontraindikasi dengan penggunaan ACE inhibitor. Apabila target
tekanan darah tidak tercapai, maka dapat ditambahkan dengan obat
golongan CCB dan diuretic tiazid (Dipiro et al., 2015).
(Dipiro et al., 2015).

b. NSTEMI
Pasien mengalami NSTEMI (Non ST Elevation Myocard
Infark) yang ditandai dengan meningkatnya troponin 0,06 (N: <0,04).
Berdasarkan algoritma diatas menyatakan bahwa melalui interpretasi
EKG pada NSTEMI ditandai dengan peningkatan Troponin atau
beresiko tinggi dapat dilakukan pertimbangan invasif dini jika Nyeri
dada refraktori iskemik, Deviasi ST-Persisten (berulang), Takikardi
ventrikel, Ketidakstabilan hemodinamik, Tanda-tanda gagal jantung.
Terapi yang dapat diberikan yaitu dengan pemberian Nitrogliserin,
Heparin, pertimbangkan Beta Blocker, Clopidogrel, Glikoprotein
IIb/IIIa (ACLS, 2018).
c. AF
Algoritma terapi pada penyakit atrial fibrilasi pada pasien di
kasus ini yaitu pasien SKA baru dengan CHADS yang dimiliki yaitu
hipertensi, resiko stroke maka diberikan aspirin, clopidogrel dan
antikoagulan.

(PERKI,2015)
d. CAP
Terapi awal pada pneumonia CAP tergantung pada tingkat
keparahan penyakit pasien, kondisi medis yang mendasari dan faktor
resiko. Rawat inap merupakan keputusan yang harus dilakukan setelah
pasien terdiagnosis CAP. Pasien dengan gejala batuk dengan atau
tanpa dahak, sesak napas, nyeri dada pleuritik selama kurang dari satu
minggu disertai setidaknya satu fitur sistemik (suhu badan >37°C,
menggigil atau rasa tidak enak) serta ada tanda-tanda focal pada
pemeriksaan dada disarankan untuk melakukan radiografi dada dan
dilanjutkan proses skoring (Gupta et al., 2012).
Beberapa sistem skoring yang dapat digunakan diantaranya
CURB-65 dan CRB-65. CURB-65 merupakan prediksi skoring yang
dikembangkan oleh British Thoracic Society. Parameter CURB-65
terdiri dari beberapa item antara lain : kebingungan mental, urea> 7
mmol / L, laju pernapasan ≥30 napas / menit, tekanan darah sistolik
<90 mmHg atau tekanan darah diastolik ≤60 mmHg dan usia ≥65
tahun. Pada sistem skoring ini dapat diperoleh total skor 5 poin dengan
tiga kategori risiko: risiko rendah (0-1 poin), risiko menengah (2 poin)
dan risiko tinggi (> 3 poin). CURB-65 dapat lebih disederhanakan
dengan menghilangkan parameter laboratorium darah urea nitrogen
(BUN), sehingga diperoleh kriteria CRB-65. CURB-65 dan CRB-65
sama-sama efektif dalam memprediksi 30-day mortality. CRB-65
lebih nyaman digunakan pada pasien rawat jalan, sedangkan skoring
CURB-65 yang lengkap harus diterapkan pada pasien yang dirawat di
rumah sakit (Uwaezuoke and Ayuk, 2017).
Dari data laboratorium pasien, diperoleh urea> 7 mmol / L, laju
pernapasan ≥30 napas / menit, dan usia ≥65 tahun. Sehingga, skoring
pasien adalah 3 poin (resiko tinggi) menggunakan CURB-65 dan 2
poin menggunakan CRB-65. Selain itu, dalam kasus ini, pasien
diketahui sudah mendapat perawatan ICU. Menurut Watkins and
lemonovich, pasien dengan skor CURB-65 ≥3 poin memerlukan
perawatan ICU.
Pengobatan pneumonia CAP biasanya menggunakan antibiotik
yang bersifat empiris karena organisme penyebab sulit teridentifikasi
pada banyak pasien. Semua pasien dengan CAP yang dirawat di ICU
harus diberikan terapi ganda, yang berhubungan dengan menurunkan
mortalitas dan meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien dengan
CAP dan syok. Terapi antibiotik empiris pasien CAP pada ICU dengan
menggunakan antibiotik beta laktam (ceftriaxon, cefotaxim atau
ampisilin/sulbactam) kombinasi azithromisin atau fluoroquinolon
(Watkins and lemonovich., 2011). Dosis yang digunakan untuk
ceftriaxone sebanyak 1-2 gram 2x sehari secara intravena dan 500 mg
1x sehari untuk azitromisin baik secara per oral maupun intravena
(Gupta et al., 2012).

(Gupta et al., 2012).


(Gupta et al., 2012).

(Gupta et al., 2012).


(Watkins and lemonovich., 2011).
C. PENATALAKSANAAN KASUS DAN PEMBAHASAN

Problem
No. Subjektif Objektif Assasment Plan
Medik
1. Gangguan Melena - DRP : Terapi kurang Lansoprazole
gastrointestinal efektif diberikan sejak
(melena) Pembahasan : MRS
Lansoprazole di indikasikan
sebagai terapi gangguan
gastrointestinal (melena)
tetapi terapinya tidak
diberikan dari awal
2. Hipertensi, Nyeri Tekanan DRP : Terapi Kurang Pemberian
NSTEMI, AF dada Darah Efektif Digoxin
hingga meningkat Pembahasan: dihentikan dan
punggung (180/110 Pasien Ny. A mengalami TD diganti dengan
mmHg) yang tinggi dan peningkatan Bisoprolol 10
nadi sehingga pemberian mg/hari
Nadi digoxin yang merupakan (PERKI,
meningkat merupakan obat inotropik 2015).
(127 x/ menit) positif pada pasien AF
kurang sesuai karena dapat
meningkatkan TD dan nadi
pasien sehingga dapat
memperberat kerja jantung.
Pemilihan obat inotropik
untuk pasien lebih tepat
diberikan β-blocker yang
merupakan inotropik negatif.
3. CAP Sesak, RR meningkat DRP : Terapi kurang Azitromicin
Batuk (> 20 x/menit) efektif diganti dengan
Pembahasan : golongan
Azitromicin merupakanfluorquinolon
terapi yang digunakan untuk yang tidak
CAP yang seharusnya memiliki
diberikan sejak MRS namun interaksi
azitromicin memiliki
dengan arixtra
interaksi dengan arixtra. yaitu
moxifloxacin
4. CAP Sesak, RR meningkat DRP : Terapi kurang Ceftriaxon
batuk, (> 20 x/menit efektif diganti dengan
Pembahasan : cefotaxim yang
Ceftriaxone merupakan tidak memiliki
terapi yang digunakan untuk interaksi
CAP yang seharusnya dengan arixtra.
diberikan sejak MRS namun
ceftriaxone memiliki
interaksi dengan arixtra.
5. CAP Batuk RR meningkat DRP : Terapi kurang N-asetilsistein
(> 20 x/menit efektif diberikan sejak
Pembahasan : awal masuk
N-asetilsistein diindikasikan KRS
sebagai terapi batuk tetapi
pemberiannya tidak dari
awal MRS.
6. CAP Sesak RR meningkat DRP : Terapi kurang Pasien tidak
(> 20 x/menit efektif mengalami
Pembahasan : tabas syrup obstruktif
diindikasikan sebagai saluran
vasodilator pada pasien asma pernafasan
yang disebabkan karena sehingga untuk
obstruktif saluran mengatasi
pernafasan. sesak
digunakan
oksigen
7. Mual DRP : Indikasi tanpa Untuk
terapi mengatasi
Pembahasan : pasien mual pasien
mengalami mual dan belum disarankan
mendapatkan terapi. pemberian obat
antiemetic
yaitu
metoklopramid
8 Hipertensi dan Sesak TD meningkat DRP : Resiko ADR Amlodipin
Edema Nafas RR meningkat Pembahasan : dihentikan.
Nadi Amlodipine memiliki efek
meningkat samping yaitu diantaranya
Diagnosa CAP dapat menyebabkan edema
(1,8 – 10,8%) dan edema
pulmonal (7 – 15%)
(Medscape, 2019). Penggu-
naan Amlodipin pada pasien
Ny. A dapat memperburuk
edema paru dan pneumonia
yang dialami pasien.
PEMBAHASAN

1. Furosemide

Menurut PERKI (2015), terapi untuk mengatasi Hipertensi dan


edema pulmunal akut meliputi Furosemide, ACEi/ARB, dan Nitrogliserin
IV. Golongan loop diuretic lebih sering diresepkan daripada golongan
tiazid karena loop diuretic mempunyai efisiensi diuresis dan natriuresis
lebih tinggi. Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai status
euvolemia dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai
kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau reistensi. Penggunaan
furosemide biasanya dimulai dari dosis 20 – 40 mg sehari sampai
memenuhi dosis target 40-240 mg/hari, obat ini juga bisa diberikan secara
intravena maupun peroral sesaui dengan keadaan pasien (PERKI, 2015).

2. Arixtra dan Miniaspi

Kombinasi antiplatelet (aspirin) dan antikoagulan (injeksi


fondaparinux) memiliki resiko pendarahan. Namun, pemberian
antikoagulan (injeksi fondaparinux) lebih efektif apabila dikombinasikan
dengan aspirin dibandingkan terapi tunggal antikoagulan atau aspirin.
Untuk terapi jangka panjang pasien yang mengalami SKA dengan
penggunaan antikoagulan dan antiplatelet dapat menurunkan resiko
kematian, dan terjadinya tromboembolisme (Eikelboom dan Hirsh, 2007).
Pada pasien atrial fibrilasi terapi antitrombotik (antagonis vitamin K dan
antikoagulan baru), dan antiplatelet digunakan untuk mencegah terjadinya
stroke (PERKI, 2015).
(PERKI, 2015)

(Eikelboom dan Hirsh, 2007)

3. Kalnex ( asam traneksamat )dan Vitamin K

Pada kasus ini pasien mengalami mengalami melena. Terapi yang


digunakan untuk mengatasi melena yaitu dengan pemberian asam
traneksamat dan kombinasi dengan vitamin K dapat dilakukan, dimana
asam traneksamat untuk antifibrinolitik (mengurangi atau menghentikan
pendarahan aktif) dan vitamin K digunakan untuk mengatasi melena
dengan membantu proses pembekuan darah (Amalina, H.A, et al., 2015).
Digunakan asam traneksamat dan vitamin K yaitu pada saat terjadi melena
pada tanggal 18/2 dan 19/2.
4. Prosogan

Perdarahan merupakan komplikasi non kardiak yang paling umum


terjadi pada Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Perdarahan postprosedural
terjadi terkait dengan kematian jangka pendek dan jangka panjang,
nonfatal infark miokard, transfusi darah, dll. Endoskopi awal dianjurkan
untuk kebanyakan pasien dengan perdarahan saluran cerna atas akut.
Setelah hemostasis edoskopi berhasil, segera dimulakan kembali terapi
antiplatelet dengan pemberian penghambat pompa proton (PPI) untuk
mencegah kejadian iskemik lebih lanjut. Profilaksis PPI selama terapi
antiplatelet mengurangi resiko perdarahan saluran cerna bagian atas (Putra
et al, 2018).
Penghambat Pompa Proton (PPI) memiliki hasil klinis yang
merugikan setelah penggunaan clopidogrel pada sindrom koroner akut
(SKA). Hasil praklinis terbaru meunjukkan bahwa resiko ini dapat meluas
ke subyek tanpa riwayat penyakit kardiovaskular sebelumnya. Untuk
individu dengan riwayat sindrom koroner akut (SKA), PPI mengurangi
kemanjuran Clopidogrel yang merupakan antiplatelet. Ada beberapa teori
yang menyebutkan tentang apakah (dan bagaimana) PPI meningkatkan
resiko Major Adverse Cardiovascular Event (MACE) diantara individu
dengan riwayat ACS. Hipotesis utama adalah PPI dapat menghambat
CYP2C19 , sehingga mengganggu kapasitas clopidogrel untuk mencegah
pembentukan gumpalan pada subyek yang beresiko thrombosis pada
koroner dan infark miokard (MI) ( Shah et al, 2015).
Penjelasan alternatif bahwa resiko yang diamati dari PPI adalah
karena beberapa jalur mekanistik yang tidak diketahui dan bahwa jalur ini
mungkin tidak terbatas pada pasien vasculophatic. PPI menghambat
aktivitas enzimatik dimethylarginine dimethylaminohydrolase (DDAH),
yang bertanggung jawab atas 80% dari pembersihan dimethylarginine
asimetris (ADMA) , molekul endogen yang diketahui menghambat
aktivitas enzimatik nitric oxide sythase (NOS). Gangguan pada endotel
NOS (eNOS) diketahui dapat meningkatkan resistensi pembuluh darah,
dan memicu peradangan dan thrombosis (Shah et al,2015).
Pada kasus pasien mendapatkan terapi Aspirin IV (dosis 1x 80 mg)
sebagai antiplatelet dan Inj Prosugan sebagai profikasis ulcer bleeding
(dosis 1x30 mg). Sehingga terapi yang diberikan sudah sesuai karena tidak
menimbulkan interaksi, namun Inj prosugan baru diberikan pada hari
ketiga setelah MRS. Hal ini yang meyebabkan terjadinya kebocoran pada
GI. Sehingga perlu diberikan profilaksis PPI pada awal masuk Rumah
Sakit bersamaan dengan peggunaan Aspirin IV, untuk mencegah terjadiya
ulcer bleeding.

5. Alprazolam
Pasien mendapatkan terapi alprazolam untuk mengatasi ansietas
(kecemasan) pada pasien. Menurut Polikandrioti M. dan C. Olympios
(2013) Prevalensi kecemasan yang tinggi didokumentasikan pada pasien
dengan penyakit arteri koroner. Secara khusus, 70−80% dari individu yang
menderita serangan jantung akut mengalami kecemasan, yang bertahan
lama pada sekitar 20-25%. Kecemasan dapat memberikan pengaruh akut
dan jangka panjang yang signifikan pada pasien dengan sindrom koroner
akut. Diperkirakan bahwa kecemasan tiga kali lipat dapat berrisiko untuk
semua kematian karena infark miokard dan hampir dua kali lipat berrisiko
untuk infarksi ulang dalam 5 tahun berikutnya. Selain itu, kecemasan juga
merupakan prediktor independen yang merugikan pada kejadian
kardiovaskular dan dapat menghambat pemulihan. Penatalaksanaan terapi
untuk mengatasi ansietas dapat dilakukan dengan pemberian obat
golongan benzodiazepin yaitu alprazolam 1x 0,5 mg.
6. Brilinta

Brilinta (Ticagrelor) direkomendasikan untuk semua pasien dengan


risiko kejadian iskemik sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan
troponin) dengan dosis loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali sehari.
Pemberian dilakukan tanpa memandang strategi pengobatan awal.
Pemberian ini juga dilakukan pada pasien yang sudah mendapatkan
clopidogrel (pemberian clopidogrel kemudian dihentikan) (PERKI, 2015).

7. Atorvastatin

Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa


mempertimbangkan modifikasi diet, inhibitor hydroxymethylglutary-
coenzyme A reductase (statin) harus diberikan pada semua penderita
UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang telah menjalani terapi
revaskularisasi, jika tidak terdapat kontraindikasi. Terapi statin dosis tinggi
hendaknya dimulai sebelum pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran
terapi untuk mencapai kadar kolesterol LDL. Dosis awal atorvastatin 10
mg sekali sehari, bila perlu dapat ditingkatkan dengan interval 4 minggu
hingga maksimal 80 mg sekali sehari (PERKI, 2015). Statin adalah obat
penurun lipid paling efektif untuk menurunkan kolesterol LDL dan
terbukti aman tanpa efek samping yang berarti. Selain berfungsi untuk
menurunkan kolesterol LDL, statin juga mempunyai efek meningkatkan
kolesterol HDL dan menurunkan TG.

8. ISDN (Isosorbide Dinitrate)

ISDN (Isosorbide Dinitrate) merupakan obat anti angina golongan


nitrat. Nitrat bekerja meningkatkan aliran darah dengan merelaksasi dan
melebarkan vena dan arteri, termasuk arteri koroner. Selain itu, nitrat juga
menurunkan jumlah darah yang kembali ke jantung (Kannam dan Gersh,
2019). Menurut PERKI (2015), pasien yang mengalami nyeri dada
berlanjut sebaiknya mendapatkan nitrat sublingual setiap 5 menit sampai
maksimal 3 kali pemberian, sehingga diberikan ISDN sublingual pada hari
pertama MRS dengan dosis 5 mg.
9. Amlodipine

Pada kasus ini pasien didiagnosa mengalami NSTEMI. Dalam


rekomendasi pengobatan NSTEMI, penggunaan CCB dihidropiridin
(Amlodipin, Nifedipin) diberikan ketika tekanan darah atau angina belum
terkontrol dengan pemberian β-blocker. Sedangkan CCB Non-
dihidropiridin (Verapamil, Diltiazem) digunakan bila terdapat
kontraindikasi atau intoleransi pemberian betablocker, tetapi tidak
dianjurkan pada pasien dengan gangguan fungsi ventrikel kiri, AV block,
dan bradikardi (Dipiro, 2015). CCB bekerja dengan menurunkan resistensi
vaskular perifer dan menurunkan tekanan darah sehingga mengurangi
kebutuhan oksigen miokard. Selain itu, CCB juga akan meningkatkan
suplai oksigen miokard dengan efek vasodilatasi coroner (PERKI, 2015).

Nifedipin tidak direkomendasikan karena dapat mengaktivasi


refleks simpatis, takikardia, dan memperburuk iskemia miokard (Dipiro,
2015). Amlodipine memiliki efek samping yaitu diantaranya dapat
menyebabkan edema (1,8 – 10,8%) dan edema pulmonal (7 – 15%)
(Medscape, 2019). Efek samping umum edema ini disebabkan karena
terjadinya vasodilatasi arteriol preferensial dan peningkatan permeabilitas
kapiler, yang mengarah ke hiperfiltrasi cairan dan edema. Maka,
penggunaan Amlodipin pada pasien Ny. A lebih baik dihentikan agar tidak
memperburuk edema paru dan pneumonia yang dialami pasien.

(Medscape, 2019).

10. Digoxin

Digoxin merupakan obat inotropik positif yang bekerja dengan


meningkatkan kontraktilitas jantung sehingga tekanan darah dan detak
jantung meningkat (Dipiro, 2015). Pasien Ny. A mengalami tekanan darah
yang tinggi pada tanggal 16/2 yaitu sebesar 180/110 mmHg dan
peningkatan detak jantung (nadi) hingga 127 x/ menit pada tanggal 16/2
sehingga pemberian digoxin pada pasien AF kurang sesuai karena dapat
memperberat kerja jantung. Pemilihan obat inotropik untuk pasien lebih
tepat diberikan β-blocker yang merupakan inotropik negatif yang
mekanisme kerjanya berkebalikan dengan digoxin sehingga dapat
menurunkan tekanan darah dan nadi pasien (Dipiro, 2015). Maka,
pemberian digoxin dihentikan dan diganti dengan β-blocker.

11. Bisoprolol
Pasien dengan kondisi hipertensi berat dengan edema pulmonal
akut dapat disertai juga dengan peningkatan biomarker enzim jantung,
sehingga termasuk dalam kelompok sindromakoroner akut. Terapi awal
yang direkomendasikan pada pasien dengan kondisi ini meliputi
furosemide, ACEi, dan nitrogliserin (IV) dan selanjutnya dapat
ditambahkan obat lain dibawah pengawasan yang ketat (PERKI, 2015).
Menurut PERKI (2015), pada pasien unstable angina pectoris atau
NSTEMI, terapi awal untuk hipertensi setelah nitrat adalah β-blocker,
terutama golongan kardioselektif yang tidak memiliki efek
simpatomimetik intrinsik.
β-blocker merupakan obat pilihan pertama dalam tatalaksana
hipertensi pada pasien dengan penyakit jantung koroner terutama yang
menyebabkan timbulnya gejala angina. Obat ini akan bekerja mengurangi
iskemia dan angina, karena efek utamanya sebagai inotropik dan
kronotropik negatif. Dengan menurunnya frekuensi denyut jantung maka
waktu pengisian diastolik untuk perfusi koroner akan memanjang (PERKI,
2015). β-blocker menduduki reseptor beta-adrenergik sehingga kekuatan
dan kecepatan detak jantung berkurang karena preload dan afterload
berkurang. β-blocker yang digunakan adalah betablocker cardioselektif
yang hanya mengeblock reseptor β1. Obat yang dapat digunakan yaitu
carvedilol, metoprolol suksinat, dan bisoprolol. Bisoprolol merupakan beta
bloker generasi kedua secara selektif mengantagonis reseptor β1
(kardioselektif) (Aaronson and Ward, 2010). Maka, Bisoprolol
direkomendasikan diberikan sejak awal MRS dengan dosis 10 mg/hari
(PERKI, 2015).

12. Nitrokaf (Nitrogliserin/ NTG)

Pasien didiagnosa mengalami NSTEMI. Tatalaksana pengobatan


NSTEMI menurut Dipiro (2015), adalah pemberian Oxygen (jika saturasi
O2 kurang dari 90%) Aspirin, SL NTG, dan IV NTG. Nitrogliserin
menyebabkan venodilatasi yang mengakibatkan berkurangnya preload dan
volume akhir diastolik ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen
miokardium berkurang. Selain itu, vasodilatasi arteri dapat menurunkan
tekanan darah, sehingga mengurangi kebutuhan oksigen miokard. Dilatasi
arteri juga mengurangi vasospasme arteri koroner dan meningkatkan aliran
darah dan oksigenasi miokard. Nitrogliserin intravena diberikan pada
pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual
(PERKI, 2015).
13. Diatab

Pasien mengalami diare pada tanggal 18 dan 19 april dan telah


mendapatkan terapi Diatab yang mengandung Attapulgit 600 mg (MIMS,
2019). Diare yang dialami pasien dapat disebabkan karena penggunaan
laksatif (laksadin syr) atau efek samping penggunaan obat yang memiliki
efek samping diare seperti fondaparinux (2-3%), furosemide, alprazolam
(10-15%), ticagrelor (3,7%), atorvastatin (5-4%) (Medscape, 2019).
Pemberian terapi untuk mengatasi diare pasien yaitu menggunakan diatab
tepat yaitu 2 tablet diminum setiap pasien buang air besar dengan maksimal
12 tablet dalam 24 jam (MIMS, 2019).

14. Laxadin
Pasien mendapatkan terapi Laxadine yang mengandung
Fenolftalein 55 mg, parafin cair 1.200 mg, gliserin 378 mg yang
digunakan untuk mengatasi konstipasi baik sebelum atau setelah operasi
atau sebelum terapi radiologi (MIMS,2019). Sembelit pada pasien yang
terkena gangguan hati sebaiknya dapat dihindari karena apabila pasien
mengalami terjadinya sembelit dapat menyebabkan pasien mengejan atau
mendorong untuk buang air besar, hal ini dapat menyebabkan nyeri dada,
pendeknya napas atau detak jantung yang tidak teratur pada seseorang
dengan resiko penyakit jantung. Mengejan juga dapat melemahkan otot-
otot dasar panggul yang penting untuk kontrol kandung kemih dan usus
yang baik. Sembelit dapat membuat seseorang merasa tidak nyaman dan
kembung, dan itu dapat mengiritasi kandung kemih yang menyebabkan
kebutuhan mendesak untuk buang air kecil (National Heart Foundation
Australia, 2010). Penatalaksanaan terapi yang dapat dilakukan untuk
mengatasi atau mencegah sembelit pada pasien dapat dilakukan pemberian
obat laksatif seperti laxadin 15-30 mL (1-2 sendok makan) sekali sehari
sebelum tidur (MIMS, 2019).
15. Valsartan

Penggunaan ARB sebagai terapi hipertensi pada pasien coronary


artery disease telah sesuai dengan guideline Dipiro (2015) yang diadaptasi
dari JNC 8 (James et al., 2014). Indikasi pemberian ARBs adalah pada
pasien yang intoleran terhadap ACEi. Beberapa penelitian, menyatakan
Valsartan dan Captopril memiliki efektifitas yang sama pada pasien paska
infark miokard dengan risiko kejadian kardiovaskular yang tinggi. Maka,
Valsartan diberikan sejak awal MRS tanpa perubahan dosis yaitu 160 mg
1 kali sehari.

16. Sukralfat

Pada kasus pasien di berikan terapi aspirin sebagai Antiplatelet.


Aspirin merupakan golongan obat NSAID yang memiliki efek analgetik,
atipiretik,dan antiinflamasi yang bekerja secara perifer. Diketahui efek
samping aspirin adalah sebagai salah satu faktor agresif eksogen yang
dapat menyebabkan kerusaka mukosa lambung, baik secara lokal maupun
sistemik. Lesi mukosa lambung tersebut dikenal dengan gastritis dan ulkus
(Basic Pharmacology & Drug notes, 2017).

Melihat dari efek samping penggunaan aspirin, maka dibutuhkan


terapi tambahan untuk megurangi toksisitas dari aspirin. Salah satunya
adalah dengan pemberian terapi sukralfat. Sukralfat bekerja melalui
pelepasan kutub aluminium hidroksida yang berikatan dengan kutub
positif molekul protein membentuk lapisan fisikokemikal pada dasar
tukak, yang melindungi tukak dari pengaruh asam dan pepsin (Santika
dkk, 2019). Efek lainnya adalah membantu sintesa prostaglandin,
menambah sekresi bikarbonat dan mukus, meningkatkan daya tahan dan
perbaikan mukosa (Basic Pharmacology & Drug Notes, 2017). Dosis
sukralfat yang diberikan 1g (10 mL) setiap 4 jam (DIH, 2009).

Pemberian sukralfate pada pasien baru diberikan pada hari ketiga


setelah MRS. Penggunaan sukralfat hari ketiga kurang efektif karena
pasien telah mendapatkan terapi Aspirin pada awal MRS. Sehingga
sebaiknya sukralfat diberikan pada awal MRS, dan di gunakan 30 menit
sebelum pemberian Aspirin.
17. Ceftriaxone

(Watkins dan lemonovich., 2011).


(Medscape, 2019).

Pemilihan ceftriaxon sebagai terapi pneumonia CAP sudah tepat. Namun,


ceftriaxon memiliki interaksi yang serius apabila digunakan bersamaan
dengan fondaparinux. Interaksi yang ditembulkan yaitu ceftriaxon dapat
meningkatkan efek dari fondaparinux (Medscape, 2019). Penggunaan
ceftriaxon dapat diganti menggunakan antibiotik cefotaxim. Cefotaxim
merupakan golongan beta laktam yang juga dapat digunakan pada terapi CAP
pasien ICU dengan dosis 1 gram 3x sehari secara intravena (Gupta et al.,
2012).

(Gupta et al., 2012).

18. Azitromicin

(Watkins and lemonovich., 2011).


(Medscape, 2019).

Pemilihan azitromisin sebagai terapi pneumonia CAP sudah tepat


namun, dosis yang diberikan perlu dinaikkan menjadi 500 mg 1x sehari
agar efek terapinya tercapai (Gupta et al., 2012). Terapi azitromisin dapat
mengalami interaksi yang serius apabila digunakan bersamaan dengan
fondaparinux dan digoxin. Azitromisin yang digunakan secara oral
dengan digoxin akan meningkatkan efek terapi digoxin dengan mengubah
flora usus. Sedangkan interaksi azitromisin dengan fondaparinux yaitu
meningkatkan efek fondaparinux dengan menurunkan metabolisme
sehingga perlu diberikan terapi alternatif (Medscape, 2019). Sehingga
azitromicin diganti dengan golongan floroquinolone yaitu moxifloxacin.
(Wiersing et al., 2018).

Antibiotik golongan floroquinolon dapat digunakan sebagai


pilihan alternatif antibiotik terapi ganda pada pasien pneumonia CAP yang
dirawat dengan ICU. Pemilihan moxifloxacin dikarenakan aktivitasnya
lebih tinggi terhadap pneumokokus, memiliki karakteristik
farmakodinamik yang baik dan penetrasi yang lebih baik dari pada
levofloxacin . Dosis moxifloxacin yang digunakan pada terapi ganda CAP
sebesar 400 mg 1x sehari.

(Kuzman et al., 2014).

19. N- asetilsistein

N-asetilsistein adalah golongan obat mukolitik yang berfungsi


untuk mengencerkan dahak yang mengganggu saluran pernafasan.
Penggunaan N-asetilsitein pada kasus ini sudah tepat untuk pasien CAP
(Zhang, 2018), namun interval pemberiannya tidak diberikan sejak awal
MRS. Sehingga rekomendasi terapi yang disarankan yaitu pemberian
terapi N-asetilsistein diberikan sejak awal MRS.
(Zhang, 2018).

20. Tabas syr

Tabas syr (terbutalin) merupakan obat golonga beta 2 agonis yang


memiliki indikasi sebagai vasodilator atau bronkodilator (Medscape, 2019)
Terbutalin biasanya digunakan pada pasien sesak karena asma atau karena
penyakit paru obstruktif kronik. Pada kasus ini pasien mengalami sesak
akibat penumpukan cairan pada paru-paru sehingga penggunaan terbutalin
kurang tepat. Sehingga rekomendasi terapi yang disarankan yaitu
penggantian terapi terbutalin dengan terapi oksigen. Oksigen digunakan
untuk mempertahankan saturasi pasien dan pemberian oksigen pada pasien
pneumonia dapat meningkatkan outcome klinik pasien ( Zhang, 2012).

21. Metoklopramid

Pada kasus ini pasien mengalami mual muntah sejak masuk rumah
sakit, namun pasien belum mendapatkan terapi untuk mualnya sehingga
diperlukan antiemetic untuk mengatasi mualnya. Antiemetik yang
disarankan ke pasien yaitu menggunakan metoklopramid. Metoklopramid
merupakan antiemetic yang menjadi pilihan pertaman dalam mengatasi
mual dan muntah ( IKNL, 2014).

TUJUAN TERAPI :

1. Menghilangkan tanda dan gejala pneumonia


2. Menormalkan nilai tekanan darah
3. Menjaga fungsi jantung
4. Meningkatkan kualitas hidup pasien
TERAPI NON FARMAKOLOGI

1. Melakukan diet rendah Na


2. Melakukan diet rendah kolesterol
3. Melakukan diat rendah karbohidrat
4. Menjaga pola makan dan hidup yang sehat
5. Mengurangi aktivitas yang berlebihan untuk menjaga fungsi jantung
TERAPI FARMAKOLOGI

Terapi obat Dosis 21/2 22/2 23/2 24/2 25/2 26/2


Inj furosemide 2 x 1 amp √ 1x1 √ √ √ √
amp
Inj arixtra 1 x 2,5 mg √ √ stop stop stop stop
Inj kalnex 3 x 500 - - √ √ Jika melena
mg
Vit K 2 x 10 mg - - √ √ stop Stop
Inj prosogan 1 x 30 mg √ √ √ √ √ √
Alprazolam 1 x 0,5 mg √ √ √ √ √ √
Miniaspi 1 x 80 mg √ √ stop stop stop Stop
Brilinta 2 x 90 mg √ √ √ tunda tunda Tunda
Atorvastatin 1 x 20 mg √ √ √ √ √ √
ISDN 3 x 5 mg √ - - - - √
Bisoprolol 1 x 10 mg √ √ √ √ √ √
Nitrokaf 2x1 - √ √ √ √ Tunda
Diatab 3 x 2 tab - √ √ √ stop Stop
Laxadin syr 0-0-2 cth √ tunda tunda tunda tunda Tunda
Valsartan 1 x 160 √ √ √ √ √ √
mg
Sukralfat 3 x 2 cth - - - √ √ √
Cefotaxim 3 x 1 gr √ √ √ √ √ √
Moxifloxacin 1 x 400 √ √ √ √ √ √
mg
N – asetilsistein 3 x 200 √ √ √ √ √ √
mg
Metoklopramid 10 mg √ √ √ √ √ √

KIE
a. KIE untuk pasien
- Memberikan jadwal minum obat
- Menyarankan kepada pasien untuk patuh minum obat dan sesuai dengan
anjuran dokter dan apoteker
b. KIE untuk tenaga kesehatan lain
- Memberikan jadwal terapi pasien
- Mengkonfirmasi kepada dokter terkait terapi yang disarankan
- Monitoring tekanan darah, frekuensi nadi, dan pernafasan setiap hari
- Monitoring biomarker jantung seperti troponin, CK-MB
- Menyarankan untuk dilakukan kultur bakteri cairan paru

c. KIE untuk keluarga pasien


- Memberikan jadwal minum obat
- Menyarankan agar turut berperan dalam pengobatan pasien (memantau
dan mengingatkan)
- Menyarankan untuk membantu pemulihan kesehatan pasien

MONITORING

Monitoring
Target Jadwal
Obat Keberhasila
ESO Keberhasilan Pemantauan
n
Furosemide Edema pada Hyperkalemia Edema Monitoring edema
paru berkurang, setiap hari
berkurang Kadar Na 135- Monitoring kadar
145 elektrolit setiap 3
hari sekali
Tidak terjadi
Troponin < Monitoring kadar
Arixtra plak, Perdarahan
0,04 biomarker jantung
thrombus
Diare, mual,
Kalnex
muntah
Tidak terjadi
Syok anafilaksis, Tidak terjadi Monitoring Melena
Vitamin K perdarahan
dyspnea, sianosis Melena setiap hari
(melena)
Pusing, diare,
Prosogan
konstipasi
Tidak gelisah Tidak gelisah
Depresi, Monitoring gelisah
Alprazolam dan tidak dan tidak sulit
konstipasi setiap hari
sulit tidur tidur
Angidema,
Miniaspi bronkopasme,
Troponin < Monitoring kadar
perdaraha
Tidak terjadi 0,04 biomarker jantung
Dyspnea,
Brilinta plak,
perdarahan
thrombus
Monitoring kadar
LDL <130
Atorvastatin Diare, nasofaring kolesterol 3 hari
mg/dL
sekali
Nyeri dada Nyeri dada
hingga Mual, muntah, hingga Monitoring nyeri
ISDN
punggung neuropati punggung setiap hari
berkurang berkurang
Tekanan Insomnia, diare, Monitoring tekanan
Bisoprolol TD 120/80
darah turun bradiaritmia darah setiap hari
Nyeri dada Nyeri dada
hingga Diare, nyeri hingga Monitoring nyeri
Nitrokaf
punggung kepala punggung setiap hari
berkurang berkurang
Monitoring kadar
elektrolit setiap 3
Diatab Tidak diare konstipasi Tidak diare
hari sekali
Monitoring cairan
Defekasi Defekasi Monitoring setiap
Laxadin syr diare
lancar lancar hari
Tekanan Hyperkalemia, Monitoring tekanan
Valsartan TD 120/80
darah turun hipotensi darah setiap hari
Lapisan Tidak
Monitoring setiap
Sukralfat syr mukosa Konstipasi, diare mengalami
hari
terlapisi peptic ulcer
cefotaxim Mengatasi Colitis, diare, Tidak sesak, Monitoring setiap
CAP mual tidak batuk, hari
foto thoraks
moxifloxacin Mual, diare
normal
Mengatasi Bronkokonstriksi, Batuk Monitoring setiap
n-asetilsistein
batuk bronkopasme berkurang hari
Mengatasi Ekstrapiramidal Monitoring setiap
Metoklopramid Tidak mual
mual syndrome hari

KESIMPULAN
1. Pasien mengalami HHD (Hypertensi Heart Desease), AF (Atrium
Fibrilasi), CAP (Community Aquaired Pneumoniae), N-STEMI yang
ditandai dengan nyeri dada hingga punggung, pusing, mual, muntah,
keringat dingin, sesak, lemas, dan batuk.
2. Penatalaksanaan terapi yang diberikan yaitu furosemide, arixtra,
kalnex,vitamin K, prosogan, alprazolam, miniaspi, brilinta, atorvastatin,
ISDN, amlodipine, bisoprolol, nitrokaf, diatab, laxadin syr, valsartan,
sukralfat syr, cefotaxim, moxifloxacin, N-asetilsistein, metoklopramid
DAFTAR PUSTAKA
ACLS, 2018, Acute Coronary Syndromes Algorithm, https://www.acls.net/acute-
coronary-syndromes-algorithm.htm, diakses tanggal 27 April 2019

Amalina, H.A., dan Rina Kriswiatiny, 2015, Perdarahan Saluran Cerna Bagian
Atas karena Sirosis Hepatis, Jurnal Medula Unila, Fakultas Kedokteran,
Universitas Lampung

Dayyal Dg., 2019, Acute Coronary Syndrome: Causes, Symptoms, and Diagnosis,
https://www.bioscience.com.pk/topics/cardiovascular/item/1201-acute-
coronary-syndrome-causes-symptoms-and-diagnosis, diakses pada tanggal
27 April 2019

Dipiro, J. T., Barbara G. W., Terry L. S., Cecily V. D., 2015, Pharmacotherapy
Handbook Ninth Edition, McGraw-Hill Education, New York.

Drug Information Handbook. 2009. A Comprehensive Resource for All Clinicians


and Healthcare Proffesionals 17th Edition. American Pharmacists
Association

Eikelboom, J. W., dan Hirsh, J, 2007, Combined antiplatelet and anticoagulant


therapy: clinical benefits and risks, Journal of Thrombosis and Haemostasis,
5 (Suppl. 1): 255–263.

Feldman et al, 2015, Community -Acquired Pneumonia Pathogenesis of Acute


Cardiac Events and Potential Adjunctive Therapies, CHEST journal.

Gupta, Dheeraj., Agarwal, R., Agarwal, A.N., Singh, N., Mishra, N., Khilnani,
G.C., Samaria, J. K., Gaur, S. N., and Jindah, S. K. 2012. Guidelines for
Diagnosis and Management of Commmunity and Hospital Acquired
Pneumonia in Adults : Joint ICS/ NCCP (I) Recommendations. The Indian
Journal of Chest Disease & Allied Sciences. 54 : 267-281.

IKNL, 2014, Nausea and vomiting Nation-wide guideline, Version: 4.0

James P.A., Ortiz E., et al., 2014, Evidence-Based Guideline for the Management
of High Blood Pressure in Adults: (JNC8), JAMA, 311(5): 507-20.
Kannam, J.P., and Gersh, B.J., 2019, Nitrates in The Management of Stable
Angina Pectoris,  www.uptodate.com, Diakses pada tanggal 5 Mei 2019.
Kuzman, Ilja., Bazlepko, A., Topuzovska, I. K., Rokusz, L., Iudina, L., Marschall,
h., and Thomas Petri. 2014. Efficacy and Safety of Moxifloxacin in
Community Acquired Pneumonia : A Prospective, Multicenter,
Observa.tional Study (CAPRIVI). BMC Pulmonary Medicine. 14(105) : 1-
14.

Medscape, 2019, http://medscape.com, diakses tanggal 2 Mei 2019

Medscape. 2019. Drug Interaction Checker, (online).


https://reference.medscape.com/drug-interactionchecker , diakses tanggal 30
April 2019.

MIMS,2019,Laxadine, http://mims.com/indonesia/drug/info/laxadine/?
type=brief, diakses tanggal 2 Mei 2019

MIMS,2019,NewDiatabs, http://mims.com/indonesia/drug/info/new%20diatabs/?
type=brief, diakses tanggal 2 Mei 2019

National Heart Foundation Australia, 2010, Chronic heart failure and bladder
and bowel issues, Continence Foundation of Australia National Office
Level 1, 30‐32 Sydney Road, Brunswick VIC 3056.

PERKI, 2015, Pedoman Tatalaksana Fibrilasi Atrium pada Penyakit


Kardiovaskular, edisi pertama, Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia, Jakarta.

PERKI. 2013. Pedoman Tatalaksana Dislipidemia Edisi Pertama. Perhimpunan


Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, Jakarta.

PERKI, 2015, Pedoman Tatalaksana Sindrom Gagal Jantung, Perhimpunan


Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia, Edisi 1, Jakarta.

PERKI, 2015, Pedoman Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular


Edisi Pertama, Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia,
Jakarta.

PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut Edisi Ketiga.


Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, Jakarta.

Polikandrioti M. dan C. Olympios, 2013, Anxiety and coronary artery disease,


Archives of Hellenic Medicine 31(4): 403-411, Department of Nursing,
Technological Educational Institute, Athens

Santika, N.Y, Desnita, R, dan Yuswar, M.A, 2019. Evaluasi Penggunaan Obat
Tukak Peptik pada Pasien Tukak Peptik di Instalasi Rawat Inap RSUD
Sultan Syarif Mohamad Alkadrie Pontianak. Majalah Farmaseutik. Vol.15
No.1

Satoto, 2014, Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner, Jurnal anastesiologi


Indonesia, Volume VI, Nomor 3.
Shah, H.N, LePendu, P, Mehren, A.B, Ghebremariam, Y.T, Iyer, S.V, Marcus, J,
Nead, K.T, Cooke, J.P, Leeper,J, 2015. Proton Pump Inhibitor Usage and
the Risk of Myocardial Infarction in the General Population. PLOS ONE|
DOI:10.1371.

Tim Penyusun. 2017. Basic Pharmacology & Drug Notes. Makassar

Uwaezuoke, Samuel N., and Ayuk, A.C. 2017. Prognostic Scores and Biomarkers
for Pediatric Community-Acquired Pneumonia: How Far Have We Come?.
Pediatric Health, Medicines and Therapeutics. 8 : 9-18.

Vasiliki, V, Georgiopoulou, MD, Andreas, P, Kalogeropoulas, MD, Paolo, R, &


Javed, B, 2010, Prevention, Diagnosis, and Treatment of Hypertensive
Heart Diesease, Elsevier, Inc, USA.

Vilches, JM, Diego, F & Amalia, EA, 2015, Contribution of mRNAS to Ion,
Channel Remodelling in Atrial Fibrillation, Word Hypertens, ISSN 2220-
3168.

Wakili, R, Niels, V, Stefan, U, Dobromir, D & Stanley, N, 2011, Recent


Advances in The Molecular Pathopysiology of Atrial Fibrillation, The
Journal of Clinical Investigation, Vol. 121, No. 8, Germany.

Watkins, R.R., and Lemonovich,T.L 2011. Diagnosis and Management of


Community-Acquired Pneumonia in Adults. American Family Physician.
83(11) : 1299-1306.

Wiersinga, W. J., Bonten, M. J., Boersma, W.G., Jonkers, R.E., Aleva, R.M.,
Kullberg, B.J., Schouten, J. A., Degener, J.E., Van de garde, E.M.W.,
Verheij, T.J., Sachs, A.P.E., and Prins, J.M. 2018. Management of
Community-Acquired Pneumonia in Adults: 2016 Guideline Update from
the Dutch Working Party on Antibiotic Policy (SWAB) and Dutch
Association of Chest Physicians (NVALT). The Netherlands Journal of
Medicine. 76(1) : 4-13.

Zhang, et al., 2018, N-acetylcysteine improves oxidative stress and inflammatory


response in patients with community acquired pneumonia, Medicine (2018)
97:45(e13087)

Zhang, et al., 2012, Oxygen therapy for pneumonia in adults, Cochrane Database
of Systematic Reviews 2012, Issue 3.

Anda mungkin juga menyukai