Anda di halaman 1dari 26

Karya tulis ilmiah tentang redenominasi di indonesia sebuah

prestise rupiah atau tuntunan ekonomi


D
I
S
U
S
U
N
Oleh:
Nama : Cindy Yo Rike Tumanggor
Kelas : XI PIIS 2
BAB 1
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang menjadi lebih
kecil tanpa mengubah nilai tukarnya.Pada waktu terjadi inflasi, jumlah
satuan moneter yang sama perlahan-lahan memiliki daya beli yang
semakin melemah. Dengan kata lain, harga produk dan jasa harus
dituliskan dengan jumlah yang lebih besar. Ketika angka-angka ini
semakin membesar, mereka dapat memengaruhi transaksi harian
karena risiko dan ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh jumlah
lembaran uang yang harus dibawa, atau karena psikologi manusia yang
tidak efektif menangani perhitungan angka dalam jumlah besar. Pihak
yang berwenang dapat memperkecil masalah ini dengan redenominasi:
satuan yang baru menggantikan satuan yang lama dengan sejumlah
angka tertentu dari satuan yang lama dikonversi menjadi 1 satuan yang
baru. Jika alasan redenominasi adalah inflasi, maka rasio konversi dapat
lebih besar dari 1, biasanya merupakan bilangan positif kelipatan 10,
seperti 10, 100, 1.000, dan seterusnya. Prosedur ini dapat disebut
sebagai "penghilangan nol". Bank Indonesia menegaskan jika
redenominasi bukan pemotongan daya beli masyarakat melalui
pemotongan nilai uang atau sanering. Salah satu manfaat dari adanya
redenominasi adalah pemilik uang tidak perlu membawa uang dalam
jumlah yang besar ke manapun ketika akan melakukan transaksi
keuangan.

2. Rumusan Masalah

Secara umum, rumusan masalah pada makalah “redenominasi di indonesia


sebuah prestise rupiah atau tuntutan ekonomi “ ini dapat dirumuskan seperti
pada pertanyaan berikut. :
1. Apa dampak dari redenomasi pada mata uang ?
2. Apa resiko redenominasi uang?
3. Tujuan penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah ada, maka tujuan yang akan
dicapai pada penelitian ini adalah untuk mengetahui apa dampak dam
resiko redenominasi

4. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara


teoritis maupun secara praktis, yaitu sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dampak redenominasi pada mata uang


2. Resiko redenominasi uang

BAB 2

PEMBAHASAN
1. DAMPAK REDENOMINASI PADA MATA UANG

Berikut adalah dampak redenominasi pada mata uang rupiah baik secara
positif maupun negatif.

1. Meningkatkan Kredibilitas Mata Uang Rupiah

Bila dilihat lagi secara global, rencana redenominasi rupiah sesungguhnya


memang bisa memberikan nilai yang positif bagi bangsa Indonesia. Ini didapat
karena langkah penyederhanaan tersebut bisa membuat kredibilitas nilai mata
uang rupiah lebih meningkat dan mampu disejajarkan dengan mata uang
negara lain.

Karena nilai tukarnya menjadi hampir setara, misalnya tadinya USD 1 sama
dengan Rp 13.000, namun setelah adanya redenominasi USD 1 nantinya akan
setara dengan RP 13. Terlihat perbedaan yang signifikan bukan pada
penyebutan angkanya? Inilah yang dirasa akan mapu meningkatkan kredibilitas
uang rupiah.

2. Membuat Penghitungan Lebih Sederhana

Selain itu penyederhanaan ini juga akan membuat penghitungan keuangan


menjadi lebih simpel dan tidak rumit karena beberapa angka telah
disederhanakan. Karena redenominasi sejatinya hanya menyederhanakan
angka yang tertera pada uang rupiah saja dan bukan mengubah nilainya.

Jadi, bila tadinya uang Rp 10.000 setelah diredenominasi angkanya berubah


lebh sederhana menjadi Rp 10 saja tanpa mengubah nilai tukar awal. Dengan
begitu penyebutan uang juga tidak akan membuat pusing karena nilai pecahan
yang bisa sangat besar. Misanya sampai milyaran dan trilyunan dengan angka
nol yang berjejer.

3. Terjadi Pembulatan Nominal

Sering kita lihat bila di supermarket atau swalayan besar, nominal yang tertera
pada label harganya pasti ada beberapa angka dibelakangnya. Dan setelah
redenominasi pada rupiah, bisa dipastikan tidak akan melihat angka – angka
unik tersebut lagi. Mengapa? Sebab nominal tersebut baik langsung maupun
tidak pastilah akan mengalami pembulatan.
Bila sebelumnya di label harga tertulis Rp 49.491,- dan setelah adanya
redenominasi nilai tersebut pastilah akan dibulatkan menjadi Rp 50,- karena
biasanya akan dibulatkan ke nilai diatasnya bukan dibawahnya. Ini tentunya
akan lebih praktis karena tidak lagi perlu menggunakan embel-embel angka
cantik yang seolah sebagai kamuflase.

4. Dapat Memicu Inflasi

Sejatinya inflasi disebabkan oleh nilai tukar mata uang yang merosot karena
kenaikan pada harga-harga di pasar. Namun meskipun redenominasi bukan
memotong nilai dari mata uang rupiah, namun dampak redenominasi pada
mata uang rupiah akan sangat mungkin menciptakan inflasi.

Sebab penyederhanaan nilai mata uang ini yang akan menyebabkan


pembulatan nilai pada rupiah. Sehingga tadinya harga hanya Rp 15.500,-
setelah terjadi redenominasi pasti terjadi pembulatan menjadi Rp 16,- dan
bukannya Rp 15.5,-. Oleh sebab itu, setiap harga pasti akan terjadi kenaikan,
dan kenaikan inilah yang bisa memicu inflasi besar-besaran bila pemerintah
tidak mempersiapkan kebijakan redenominasi secara menyeluruh dan merata.

5. Menyebabkan Penurunan Daya Beli Masyarakat

Lebih lanjut lagi mengenai dampak yang ditimbulkan akibat dari pemberlakuan
redenominasi pada mata uang rupiah juga dapat mengakibatkan daya beli
menurun. Ini bisa disebabkan karena informasi yang belum merata, selain itu
juga karena perubahan nilai pada rupiah yang membuat harga-harga naik
disebabkan pembulatan angka.

Kenaikan-kenaikan harga bisa cepat maupun lambat, sangat tergantung dari


respon masyarakat dalam menerima kebijakan tersebut bila benar – benar
diterapkan nantinya.

2. RESIKO REDENOMINASI RUPIAH

Di bawah ini adalah risiko dari redenominasi rupiah, yaitu sebagai berikut
:

1. Adanya persepsi serta juga kekhawatiran masyarakat


Adanya persepsi serta juga kekhawatiran masyarakat bahwa Redenominasi
Rupiah ini sama dengan sanering. Dikhawatirkan juga akan banyak pemilik
modal yang akan mengkonversikan uang rupiahnya itu kedalam valuta asing
khususnya dengan dolar AS. Padahal kedua kebijakan itu berbeda,
redenominasi ini hanya mengurangi jumlah digit tanpa mengurangi nilai
uangnya.

2. Potensi kenaikan harga


Potensi kenaikan harga, hal ini disebabkan karena pembulatan harga ke atas
dengan secara berlebihan akibat dari pengusaha serta pedagang yang
menaikkan harga itu semaunya.

Untuk dapat mengatasi risiko saat pelaksanaannya, diperlukan landasan


hukum yang kuat serta juga dukungan masyarakat. Risiko tersebut terkait
dengan potensi kenaikan harga yang berlebihan. Sehingga akan berdampak
pada meningkatnya inflasi, penolakan dari masyarakat dan juga risiko
perselisihan.

BAB 3
PENUTUP
Redenominasi rupiah
KESIMP

memiliki banyak manfaat


penting bagi perekonomian
Indonesia, salah satunya
peningkatan kredibilitas rupiah
mengingat Indonesia
sudah mulai memasuki
liberalisasi pasar khususnya di
kawasan ASEAN. Tentu
kebijakan ini menjadi tonggak
penting yang mampu
membuka jalan sukses bagi
perekonomian kita, karena
redenominasi juga akan
membuat transaksi ekonomi
menjadi lebih efisien
melalui digit nominal yang
sedikit.
Namun di sisi lain, perlu
adanya kajian ulang
terkait dampak-dampak yang
berpotensi buruk bagi
perekonomian. Salah satunya
terkait biaya
pencetakan uang yang cukup
besar dan waktu transisi
yang tidak sebentar. Melihat
proses persiapan,
sosialisasi, hingga penerapan
dan pengawasan pasca
redenominasi bukanlah hal
yang dapat dilakukan
dalam jangka waktu 2 sampai
3 tahun. Namun
diperlukan persiapan yang
benar-benar matang yakni
sekitar 10 tahun, mulai dari
perencanaan, penarikan
uang lama secara perlahan
agar tidak menimbulkan
kepanikan ekonomi mikro,
hingga pemerintah yang
harus mampu menjaga
kestabilan kondisi
makroekonomi.
Untuk menghindari kegagalan
yang sama seperti
tahun 1965, perlu adanya
persiapan yang benar-benar
matang. Kondisi fundamental
perekonomian adalah
salah satu yang terpenting.
Pemerintah harus mampu
melihat secara keseluruhan
keadaan makroekonomi
dan memastikan redenominasi
dilakukan di timing
yang tepat, yakni saat kondisi
ekonomi stabil, laju
inflasi terjaga, dan
pertumbuhan ekonomi dalam
kondisi baik. Pemerintah juga
harus mampu
meyakinkan masyarakat bahwa
nantinya setelah
redenominasi sudah
diterapkan, tingkat harga tidak
akan mengalami kenaikan
yang signifikan dan tetap
mampu mengendalikan
indikator makroekonomi
lainnya. Terlebih lagi, dalam
Narasi Rencana
Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2020-
2024
dijelaskan bahwa pemerintah
akan memprioritaskan
penggunaan anggaran negara
pada infrastruktur dan
pembangunan sumber daya
manusia. Sehingga,
apabila ketersediaan anggaran
masih dialokasikan
untuk hal lain yang lebih
urgen, penerapan
redenominasi masih dapat
ditunda hingga negara
dalam kondisi perekonomian
yang baik dan stabil
(Pambudi, Juanda, &
Priyarsono, 2014).
Bila kita berkaca pada negara
yang berhasil
menerapkan redenominasi,
Turki misalnya, hal itu
disebabkan karena dilakukan
saat kondisi fundamental
perekonomian yang cukup kuat
dengan pertumbuhan
yang baik, tren inflasi yang
menurun, nilai tukar stabil,
dan defisit anggaran
pemerintah yang terus
mengalami penurunan
(Permana, 2015). Sementara
bisa kita belajar dari kegagalan
Brazil yang disebabkan
karena redenominasi dilakukan
saat kondisi
fundamental perekonomian
sedang kurang baik dan
pemerintah dianggap tidak
mampu mengelola
indikator makroekonominya.
Contoh lain yakni
Zimbabwe yang gagal dalam
menerapkan
redenominasi, karena
dilakukan ketika inflasi sangat
tinggi sehingga redenominasi
semakin memperkuat
efek inflasi tersebut (Mada,
2017)
KESIMPULAN

Redenominasi yang merupakan salah satu program kebijakan Bank


Indonesia untuk menyederhanakan nilai mata uang ternyata menuai
pro-kontra di dalamnya, hal ini dikarenakan adanya perdebatan
masyarakat mengenai hal tersebut. Ada yang setuju, tidak setuju bahkan
sempat menyalahartikan pengertian redenominasi dengan sanering yang
dulu pernah diberlakukan pada saat pemerintahan Orde Baru.
Kekhawatiran masyarakat cukup beralasan mengingat kebijakan
sanering yang diberlakukan justru semakin membuat rakyat menderita.
Materi redenominasi yang dulu sempat masuk dalam UU No. 7 Tahun
2011 tentang Mata Uang akhirnya dikeluarkan untuk menjadi
undangundang tersendiri, sesuai amanah Pasal 23B UUD Tahun 1945
dan Pasal 3 ayat (5) UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Ada
beberapa point penting kesiapan Indonesia dalam menghadapi
redenominasi, yakni: Pertama, perlu adanya payung hukum atau
landasan hukum tegas yang mengatur mengenai redenominasi untuk
memberikan perlindungan dan kepastian hukum. Hal ini telah
diantisipasi oleh Pemerintah melalui RUU tentang Perubahan Harga
Rupiah yang akan segera dibahas bersama DPR RI. Kedua, sosialisasi
intensif terkait RUU tentang Perubahan Harga Rupiah yang dilakukan
oleh Bank Indonesia beserta Pemerintah kepada masyarakat. Ketiga,
kesiapan infrastruktur untuk disesuaikan dan disetting sedemikian rupa
sehingga kompatibel dengan mata uang baru dengan lebih sedikit nol.
Tidak dipungkiri bahwa redenominasi diberlakukan selain untuk
memudahkan perekonomian menjadi lebih efisien juga untuk
meningkatkan kebanggaan terhadap rupiah. Namun disamping manfaat-
manfaat tersebut, redenominasi juga dapat menimbulkan dampak
negatif misalnya berpeluang untuk menimbulkan inflasi akibat
pembulatan harga, dikarenakan efek psikologis masyarakat yang
terserang kepanikan luar biasa serta perilaku moral hazard yang
memanfaatkan asymmetric information untuk spekulasi menyimpan
barang dan menaikkan harga. Selain itu redenominasi juga akan
berdampak kepada peraturan perundang-undangan lainnya, misalnya
dalam hal penerapan sanksi denda. Oleh karenanya perlu adanya
pengharmonisasian ketentuan perundangundangan yang sudah ada dan
perlu diatur di dalam ketentuan peralihan di dalam RUU tentang
Perubahan Harga Rupiah. Hal ini perlu menjadi perhatian serius bagi
Pemerintah, mengingat kondisi perekonomian Indonesia saat ini
belumlah stabil. Kewibawaan suatu negara tidak diukur dari nilai tukar
mata uang terhadap mata uang negara lainnya, melainkan dipandang
dari struktur, kekuatan dan kedaulatan ekonomi suatu negara tersebut.

Redenominasi rupiah memiliki banyak manfaat


penting bagi perekonomian Indonesia, salah satunya
peningkatan kredibilitas rupiah mengingat Indonesia
sudah mulai memasuki liberalisasi pasar khususnya di
kawasan ASEAN. Tentu kebijakan ini menjadi tonggak
penting yang mampu membuka jalan sukses bagi
perekonomian kita, karena redenominasi juga akan
membuat transaksi ekonomi menjadi lebih efisien
melalui digit nominal yang sedikit.
Namun di sisi lain, perlu adanya kajian ulang
terkait dampak-dampak yang berpotensi buruk bagi
perekonomian. Salah satunya terkait biaya
pencetakan uang yang cukup besar dan waktu transisi
yang tidak sebentar. Melihat proses persiapan,
sosialisasi, hingga penerapan dan pengawasan pasca
redenominasi bukanlah hal yang dapat dilakukan
dalam jangka waktu 2 sampai 3 tahun. Namun
diperlukan persiapan yang benar-benar matang yakni
sekitar 10 tahun, mulai dari perencanaan, penarikan
uang lama secara perlahan agar tidak menimbulkan
kepanikan ekonomi mikro, hingga pemerintah yang
harus mampu menjaga kestabilan kondisi
makroekonomi.
Untuk menghindari kegagalan yang sama seperti
tahun 1965, perlu adanya persiapan yang benar-benar
matang. Kondisi fundamental perekonomian adalah
salah satu yang terpenting. Pemerintah harus mampu
melihat secara keseluruhan keadaan makroekonomi
dan memastikan redenominasi dilakukan di timing
yang tepat, yakni saat kondisi ekonomi stabil, laju
inflasi terjaga, dan pertumbuhan ekonomi dalam
kondisi baik. Pemerintah juga harus mampu
meyakinkan masyarakat bahwa nantinya setelah
redenominasi sudah diterapkan, tingkat harga tidak
akan mengalami kenaikan yang signifikan dan tetap
mampu mengendalikan indikator makroekonomi

lainnya. Terlebih lagi, dalam Narasi Rencana


Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024
dijelaskan bahwa pemerintah akan memprioritaskan
penggunaan anggaran negara pada infrastruktur dan
pembangunan sumber daya manusia. Sehingga,
apabila ketersediaan anggaran masih dialokasikan
untuk hal lain yang lebih urgen, penerapan
redenominasi masih dapat ditunda hingga negara
dalam kondisi perekonomian yang baik dan stabil
(Pambudi, Juanda, & Priyarsono, 2014).
Bila kita berkaca pada negara yang berhasil
menerapkan redenominasi, Turki misalnya, hal itu
disebabkan karena dilakukan saat kondisi fundamental
perekonomian yang cukup kuat dengan pertumbuhan
yang baik, tren inflasi yang menurun, nilai tukar stabil,
dan defisit anggaran pemerintah yang terus
mengalami penurunan (Permana, 2015). Sementara
bisa kita belajar dari kegagalan Brazil yang disebabkan
karena redenominasi dilakukan saat kondisi
fundamental perekonomian sedang kurang baik dan
pemerintah dianggap tidak mampu mengelola
indikator makroekonominya. Contoh lain yakni
Zimbabwe yang gagal dalam menerapkan
redenominasi, karena dilakukan ketika inflasi sangat
tinggi sehingga redenominasi semakin memperkuat
efek inflasi tersebut (Mada, 2017).
Redenominasi rupiah memiliki banyak manfaat
penting bagi perekonomian Indonesia, salah satunya
peningkatan kredibilitas rupiah mengingat Indonesia
sudah mulai memasuki liberalisasi pasar khususnya di
kawasan ASEAN. Tentu kebijakan ini menjadi tonggak
penting yang mampu membuka jalan sukses bagi
perekonomian kita, karena redenominasi juga akan
membuat transaksi ekonomi menjadi lebih efisien
melalui digit nominal yang sedikit

Redenominasi rupiah memiliki banyak manfaat


penting bagi perekonomian Indonesia, salah satunya
peningkatan kredibilitas rupiah mengingat Indonesia
sudah mulai memasuki liberalisasi pasar khususnya di
kawasan ASEAN. Tentu kebijakan ini menjadi tonggak
penting yang mampu membuka jalan sukses bagi
perekonomian kita, karena redenominasi juga akan
membuat transaksi ekonomi menjadi lebih efisien
melalui digit nominal yang sedikit.
Namun di sisi lain, perlu adanya kajian ulang
terkait dampak-dampak yang berpotensi buruk bagi
perekonomian. Salah satunya terkait biaya
pencetakan uang yang cukup besar dan waktu transisi
yang tidak sebentar. Melihat proses persiapan,
sosialisasi, hingga penerapan dan pengawasan pasca
redenominasi bukanlah hal yang dapat dilakukan
dalam jangka waktu 2 sampai 3 tahun. Namun
diperlukan persiapan yang benar-benar matang yakni
sekitar 10 tahun, mulai dari perencanaan, penarikan
uang lama secara perlahan agar tidak menimbulkan
kepanikan ekonomi mikro, hingga pemerintah yang
harus mampu menjaga kestabilan kondisi
makroekonomi.
Untuk menghindari kegagalan yang sama seperti
tahun 1965, perlu adanya persiapan yang benar-benar
matang. Kondisi fundamental perekonomian adalah
salah satu yang terpenting. Pemerintah harus mampu
melihat secara keseluruhan keadaan makroekonomi
dan memastikan redenominasi dilakukan di timing
yang tepat, yakni saat kondisi ekonomi stabil, laju
inflasi terjaga, dan pertumbuhan ekonomi dalam
kondisi baik. Pemerintah juga harus mampu
meyakinkan masyarakat bahwa nantinya setelah
redenominasi sudah diterapkan, tingkat harga tidak
akan mengalami kenaikan yang signifikan dan tetap
mampu mengendalikan indikator makroekonomi

lainnya. Terlebih lagi, dalam Narasi Rencana


Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024
dijelaskan bahwa pemerintah akan memprioritaskan
penggunaan anggaran negara pada infrastruktur dan
pembangunan sumber daya manusia. Sehingga,
apabila ketersediaan anggaran masih dialokasikan
untuk hal lain yang lebih urgen, penerapan
redenominasi masih dapat ditunda hingga negara
dalam kondisi perekonomian yang baik dan stabil
(Pambudi, Juanda, & Priyarsono, 2014).
Bila kita berkaca pada negara yang berhasil
menerapkan redenominasi, Turki misalnya, hal itu
disebabkan karena dilakukan saat kondisi fundamental
perekonomian yang cukup kuat dengan pertumbuhan
yang baik, tren inflasi yang menurun, nilai tukar stabil,
dan defisit anggaran pemerintah yang terus
mengalami penurunan (Permana, 2015). Sementara
bisa kita belajar dari kegagalan Brazil yang disebabkan
karena redenominasi dilakukan saat kondisi
fundamental perekonomian sedang kurang baik dan
pemerintah dianggap tidak mampu mengelola
indikator makroekonominya. Contoh lain yakni
Zimbabwe yang gagal dalam menerapkan
redenominasi, karena dilakukan ketika inflasi sangat
tinggi sehingga redenominasi semakin memperkuat
efek inflasi tersebut (Mada, 2017).
Redenominasi rupiah memiliki banyak manfaat
penting bagi perekonomian Indonesia, salah satunya
peningkatan kredibilitas rupiah mengingat Indonesia
sudah mulai memasuki liberalisasi pasar khususnya di
kawasan ASEAN. Tentu kebijakan ini menjadi tonggak
penting yang mampu membuka jalan sukses bagi
perekonomian kita, karena redenominasi juga akan
membuat transaksi ekonomi menjadi lebih efisien
melalui digit nominal yang sedikit.
Namun di sisi lain, perlu adanya kajian ulang
terkait dampak-dampak yang berpotensi buruk bagi
perekonomian. Salah satunya terkait biaya
pencetakan uang yang cukup besar dan waktu transisi
yang tidak sebentar. Melihat proses persiapan,
sosialisasi, hingga penerapan dan pengawasan pasca
redenominasi bukanlah hal yang dapat dilakukan
dalam jangka waktu 2 sampai 3 tahun. Namun
diperlukan persiapan yang benar-benar matang yakni
sekitar 10 tahun, mulai dari perencanaan, penarikan
uang lama secara perlahan agar tidak menimbulkan
kepanikan ekonomi mikro, hingga pemerintah yang
harus mampu menjaga kestabilan kondisi
makroekonomi.
Untuk menghindari kegagalan yang sama seperti
tahun 1965, perlu adanya persiapan yang benar-benar
matang. Kondisi fundamental perekonomian adalah
salah satu yang terpenting. Pemerintah harus mampu
melihat secara keseluruhan keadaan makroekonomi
dan memastikan redenominasi dilakukan di timing
yang tepat, yakni saat kondisi ekonomi stabil, laju
inflasi terjaga, dan pertumbuhan ekonomi dalam
kondisi baik. Pemerintah juga harus mampu
meyakinkan masyarakat bahwa nantinya setelah
redenominasi sudah diterapkan, tingkat harga tidak
akan mengalami kenaikan yang signifikan dan tetap
mampu mengendalikan indikator makroekonomi

lainnya. Terlebih lagi, dalam Narasi Rencana


Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024
dijelaskan bahwa pemerintah akan memprioritaskan
penggunaan anggaran negara pada infrastruktur dan
pembangunan sumber daya manusia. Sehingga,
apabila ketersediaan anggaran masih dialokasikan
untuk hal lain yang lebih urgen, penerapan
redenominasi masih dapat ditunda hingga negara
dalam kondisi perekonomian yang baik dan stabil
(Pambudi, Juanda, & Priyarsono, 2014).
Bila kita berkaca pada negara yang berhasil
menerapkan redenominasi, Turki misalnya, hal itu
disebabkan karena dilakukan saat kondisi fundamental
perekonomian yang cukup kuat dengan pertumbuhan
yang baik, tren inflasi yang menurun, nilai tukar stabil,
dan defisit anggaran pemerintah yang terus
mengalami penurunan (Permana, 2015). Sementara
bisa kita belajar dari kegagalan Brazil yang disebabkan
karena redenominasi dilakukan saat kondisi
fundamental perekonomian sedang kurang baik dan
pemerintah dianggap tidak mampu mengelola
indikator makroekonominya. Contoh lain yakni
Zimbabwe yang gagal dalam menerapkan
redenominasi, karena dilakukan ketika inflasi sangat
tinggi sehingga redenominasi semakin memperkuat
efek inflasi tersebut (Mada, 2017).
Redenominasi rupiah memiliki banyak manfaat
penting bagi perekonomian Indonesia, salah satunya
peningkatan kredibilitas rupiah mengingat Indonesia
sudah mulai memasuki liberalisasi pasar khususnya di
kawasan ASEAN. Tentu kebijakan ini menjadi tonggak
penting yang mampu membuka jalan sukses bagi
perekonomian kita, karena redenominasi juga akan
membuat transaksi ekonomi menjadi lebih efisien
melalui digit nominal yang sedikit.
Namun di sisi lain, perlu adanya kajian ulang
terkait dampak-dampak yang berpotensi buruk bagi
perekonomian. Salah satunya terkait biaya
pencetakan uang yang cukup besar dan waktu transisi
yang tidak sebentar. Melihat proses persiapan,
sosialisasi, hingga penerapan dan pengawasan pasca
redenominasi bukanlah hal yang dapat dilakukan
dalam jangka waktu 2 sampai 3 tahun. Namun
diperlukan persiapan yang benar-benar matang yakni
sekitar 10 tahun, mulai dari perencanaan, penarikan
uang lama secara perlahan agar tidak menimbulkan
kepanikan ekonomi mikro, hingga pemerintah yang
harus mampu menjaga kestabilan kondisi
makroekonomi.
Untuk menghindari kegagalan yang sama seperti
tahun 1965, perlu adanya persiapan yang benar-benar
matang. Kondisi fundamental perekonomian adalah
salah satu yang terpenting. Pemerintah harus mampu
melihat secara keseluruhan keadaan makroekonomi
dan memastikan redenominasi dilakukan di timing
yang tepat, yakni saat kondisi ekonomi stabil, laju
inflasi terjaga, dan pertumbuhan ekonomi dalam
kondisi baik. Pemerintah juga harus mampu
meyakinkan masyarakat bahwa nantinya setelah
redenominasi sudah diterapkan, tingkat harga tidak
akan mengalami kenaikan yang signifikan dan tetap
mampu mengendalikan indikator makroekonomi

lainnya. Terlebih lagi, dalam Narasi Rencana


Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024
dijelaskan bahwa pemerintah akan memprioritaskan
penggunaan anggaran negara pada infrastruktur dan
pembangunan sumber daya manusia. Sehingga,
apabila ketersediaan anggaran masih dialokasikan
untuk hal lain yang lebih urgen, penerapan
redenominasi masih dapat ditunda hingga negara
dalam kondisi perekonomian yang baik dan stabil
(Pambudi, Juanda, & Priyarsono, 2014).
Bila kita berkaca pada negara yang berhasil
menerapkan redenominasi, Turki misalnya, hal itu
disebabkan karena dilakukan saat kondisi fundamental
perekonomian yang cukup kuat dengan pertumbuhan
yang baik, tren inflasi yang menurun, nilai tukar stabil,
dan defisit anggaran pemerintah yang terus
mengalami penurunan (Permana, 2015). Sementara
bisa kita belajar dari kegagalan Brazil yang disebabkan
karena redenominasi dilakukan saat kondisi
fundamental perekonomian sedang kurang baik dan
pemerintah dianggap tidak mampu mengelola
indikator makroekonominya. Contoh lain yakni
Zimbabwe yang gagal dalam menerapkan
redenominasi, karena dilakukan ketika inflasi sangat
tinggi sehingga redenominasi semakin memperkuat
efek inflasi tersebut (Mada, 2017).
Redenominasi rupiah memiliki banyak manfaat
penting bagi perekonomian Indonesia, salah satunya
peningkatan kredibilitas rupiah mengingat Indonesia
sudah mulai memasuki liberalisasi pasar khususnya di
kawasan ASEAN. Tentu kebijakan ini menjadi tonggak
penting yang mampu membuka jalan sukses bagi
perekonomian kita, karena redenominasi juga akan
membuat transaksi ekonomi menjadi lebih efisien
melalui digit nominal yang sedikit.
Namun di sisi lain, perlu adanya kajian ulang
terkait dampak-dampak yang berpotensi buruk bagi
perekonomian. Salah satunya terkait biaya
pencetakan uang yang cukup besar dan waktu transisi
yang tidak sebentar. Melihat proses persiapan,
sosialisasi, hingga penerapan dan pengawasan pasca
redenominasi bukanlah hal yang dapat dilakukan
dalam jangka waktu 2 sampai 3 tahun. Namun
diperlukan persiapan yang benar-benar matang yakni
sekitar 10 tahun, mulai dari perencanaan, penarikan
uang lama secara perlahan agar tidak menimbulkan
kepanikan ekonomi mikro, hingga pemerintah yang
harus mampu menjaga kestabilan kondisi
makroekonomi.
Untuk menghindari kegagalan yang sama seperti
tahun 1965, perlu adanya persiapan yang benar-benar
matang. Kondisi fundamental perekonomian adalah
salah satu yang terpenting. Pemerintah harus mampu
melihat secara keseluruhan keadaan makroekonomi
dan memastikan redenominasi dilakukan di timing
yang tepat, yakni saat kondisi ekonomi stabil, laju
inflasi terjaga, dan pertumbuhan ekonomi dalam
kondisi baik. Pemerintah juga harus mampu
meyakinkan masyarakat bahwa nantinya setelah
redenominasi sudah diterapkan, tingkat harga tidak
akan mengalami kenaikan yang signifikan dan tetap
mampu mengendalikan indikator makroekonomi

lainnya. Terlebih lagi, dalam Narasi Rencana


Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024
dijelaskan bahwa pemerintah akan memprioritaskan
penggunaan anggaran negara pada infrastruktur dan
pembangunan sumber daya manusia. Sehingga,
apabila ketersediaan anggaran masih dialokasikan
untuk hal lain yang lebih urgen, penerapan
redenominasi masih dapat ditunda hingga negara
dalam kondisi perekonomian yang baik dan stabil
(Pambudi, Juanda, & Priyarsono, 2014).
Bila kita berkaca pada negara yang berhasil
menerapkan redenominasi, Turki misalnya, hal itu
disebabkan karena dilakukan saat kondisi fundamental
perekonomian yang cukup kuat dengan pertumbuhan
yang baik, tren inflasi yang menurun, nilai tukar stabil,
dan defisit anggaran pemerintah yang terus
mengalami penurunan (Permana, 2015). Sementara
bisa kita belajar dari kegagalan Brazil yang disebabkan
karena redenominasi dilakukan saat kondisi
fundamental perekonomian sedang kurang baik dan
pemerintah dianggap tidak mampu mengelola
indikator makroekonominya. Contoh lain yakni
Zimbabwe yang gagal dalam menerapkan
redenominasi, karena dilakukan ketika inflasi sangat
tinggi sehingga redenominasi semakin memperkuat
efek inflasi tersebut (Mada, 2017)
Redenominasi rupiah memiliki banyak manfaat
penting bagi perekonomian Indonesia, salah satunya
peningkatan kredibilitas rupiah mengingat Indonesia
sudah mulai memasuki liberalisasi pasar khususnya di
kawasan ASEAN. Tentu kebijakan ini menjadi tonggak
penting yang mampu membuka jalan sukses bagi
perekonomian kita, karena redenominasi juga akan
membuat transaksi ekonomi menjadi lebih efisien
melalui digit nominal yang sedikit.
Namun di sisi lain, perlu adanya kajian ulang
terkait dampak-dampak yang berpotensi buruk bagi
perekonomian. Salah satunya terkait biaya
pencetakan uang yang cukup besar dan waktu transisi
yang tidak sebentar. Melihat proses persiapan,
sosialisasi, hingga penerapan dan pengawasan pasca
redenominasi bukanlah hal yang dapat dilakukan
dalam jangka waktu 2 sampai 3 tahun. Namun
diperlukan persiapan yang benar-benar matang yakni
sekitar 10 tahun, mulai dari perencanaan, penarikan
uang lama secara perlahan agar tidak menimbulkan
kepanikan ekonomi mikro, hingga pemerintah yang
harus mampu menjaga kestabilan kondisi
makroekonomi.
Untuk menghindari kegagalan yang sama seperti
tahun 1965, perlu adanya persiapan yang benar-benar
matang. Kondisi fundamental perekonomian adalah
salah satu yang terpenting. Pemerintah harus mampu
melihat secara keseluruhan keadaan makroekonomi
dan memastikan redenominasi dilakukan di timing
yang tepat, yakni saat kondisi ekonomi stabil, laju
inflasi terjaga, dan pertumbuhan ekonomi dalam
kondisi baik. Pemerintah juga harus mampu
meyakinkan masyarakat bahwa nantinya setelah
redenominasi sudah diterapkan, tingkat harga tidak
akan mengalami kenaikan yang signifikan dan tetap
mampu mengendalikan indikator makroekonomi

lainnya. Terlebih lagi, dalam Narasi Rencana


Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024
dijelaskan bahwa pemerintah akan memprioritaskan
penggunaan anggaran negara pada infrastruktur dan
pembangunan sumber daya manusia. Sehingga,
apabila ketersediaan anggaran masih dialokasikan
untuk hal lain yang lebih urgen, penerapan
redenominasi masih dapat ditunda hingga negara
dalam kondisi perekonomian yang baik dan stabil
(Pambudi, Juanda, & Priyarsono, 2014).
Bila kita berkaca pada negara yang berhasil
menerapkan redenominasi, Turki misalnya, hal itu
disebabkan karena dilakukan saat kondisi fundamental
perekonomian yang cukup kuat dengan pertumbuhan
yang baik, tren inflasi yang menurun, nilai tukar stabil,
dan defisit anggaran pemerintah yang terus
mengalami penurunan (Permana, 2015). Sementara
bisa kita belajar dari kegagalan Brazil yang disebabkan
karena redenominasi dilakukan saat kondisi
fundamental perekonomian sedang kurang baik dan
pemerintah dianggap tidak mampu mengelola
indikator makroekonominya. Contoh lain yakni
Zimbabwe yang gagal dalam menerapkan
redenominasi, karena dilakukan ketika inflasi sangat
tinggi sehingga redenominasi semakin memperkuat
efek inflasi tersebut (Mada, 2017)

Anda mungkin juga menyukai