Anda di halaman 1dari 2

Redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai

tukarnya. Pada waktu terjadi inflasi, jumlah satuan moneter yang sama perlahan-lahan memiliki daya
beli yang semakin melemah. Dengan kata lain, harga produk dan jasa harus dituliskan dengan jumlah
yang lebih besar. Ketika angka-angka ini semakin membesar, mereka dapat memengaruhi transaksi harian
karena risiko dan ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh jumlah lembaran uang yang harus dibawa, atau
karena psikologimanusia yang tidak efektif menangani perhitungan angka dalam jumlah besar. Pihak
yang berwenang dapat memperkecil masalah ini dengan redenominasi: satuan yang baru menggantikan
satuan yang lama dengan sejumlah angka tertentu dari satuan yang lama dikonversi menjadi 1 satuan
yang baru. Jika alasan redenominasi adalah inflasi, maka rasio konversi dapat lebih besar dari 1, biasanya
merupakan bilangan positif kelipatan 10, seperti 10, 100, 1.000, dan seterusnya. Prosedur ini dapat
disebut sebagai "penghilangan nol".
Uang dalam ilmu ekonomi tradisional didefinisikan sebagai setiap alat tukar yang dapat diterima
secara umum. Alat tukar itu dapat berupa benda apapun yang dapat diterima oleh setiap orang
di masyarakat dalam proses pertukaran barang dan jasa. Dalam ilmu ekonomi modern, uang didefinisikan
sebagai sesuatu yang tersedia dan secara umum diterima sebagai alat pembayaran bagi pembelian barang-
barang dan jasa-jasa serta kekayaan berharga lainnya serta untuk pembayaran hutang. Beberapa ahli juga
menyebutkan fungsi uang sebagai alat penunda pembayaran. Secara kesimpulan, uang adalah suatu benda
yang diterima secara umum oleh masyarakat untuk mengukur nilai, menukar, dan melakukan pembayaran
atas pembelian barang dan jasa, dan pada waktu yang bersamaan bertindak sebagai alat penimbun
kekayaan.
Keberadaan uang menyediakan alternatif transaksi yang lebih mudah daripada barter yang lebih
kompleks, tidak efisien, dan kurang cocok digunakan dalam sistem ekonomi modern karena
membutuhkan orang yang memiliki keinginan yang sama untuk melakukan pertukaran dan juga kesulitan
dalam penentuan nilai. Efisiensi yang didapatkan dengan menggunakan uang pada akhirnya akan
mendorong perd

agangan dan pembagian tenaga kerja yang kemudian akan meningkatkan produktifitas dan kemakmuran.

Dampak Positif Redenominasi Rupiah:


1. Redenominasi rupiah berdampak pada psikologis Masyarakat
Masyarakat yang memegang rupiah merasa seolah-olah mata uangnya menjadi lebih
kuat. Dengan adanya redenominasi, masyarakat tak perlu membawa rupiah dalam jumlah yang
banyak jika ingin menukarkan ke mata uang lain yang nilainya lebih tinggi.
2. Memudahkan sistem perhitungan karena jumlah digitnya berkurang
Anggota DPR RI Muhammad Misbakhun mengaku telah beberapa kali melakukan focus group
discussion (FGD) dengan Bank Indonesia (BI) untuk membahas penyederhanaan nominal rupiah
(redenominasi). Terakhir, ia melakukan diskusi tersebut pada kemarin, Senin (17/7) malam di BI. Diskusi
tersebut menurutnya dihadiri oleh sejumlah pejabat BI dan tertutup bagi awak media.
Komisi XI dari Fraksi Partai Golkar ini mengatakan, pihaknya mendukung agar Indonesia bisa
menjalankan redenominasi. Saat ini kondisi perekonomian Indonesia, baik dilihat dari sisi inflasi ataupun
pertumbuhan ekonomi terhadap produk domestik bruto (PDB) menunjukkan hal yang positif
dampak negatif yang potensial yang mana harus diantisipasi pemerintah kalau tetap nekat buru buru
melakukan redenominasi?

1. Kepanikan di Masyarakat. Terlalu buru-burunya pemerintah melakukan redenominasi akan


menyebabkan kurangnya waktu sosialisasi. Terutama untuk masyarakat di luar kota besar yang
kurang terjangkau media massa dan instansi keuangan, mereka mungkin saja panik karena
menyangka bahwa nilai uang mereka dipotong. Kepanikan tersebut bisa menyebabkan masyarakat
mengkonversi uang yang ada di tangan menjadi barang-barang kebutuhan. Permintaan barang
menjadi tinggi. Ujungnya, redenominasi justru menjadi biang inflasi meroket.
2. Kekacauan dan High Cost Adjustment di Pengusaha. Jangan salah, dengan adanya
redenominasi yang buru-buru berarti pengusaha juga hanya punya waktu yang sedikit untuk
beradaptasi. Jangan dipikir gampang. Paling tidak sistem pencatatan yang terkomputerisasi harus
dirubah ke nominal baru dulu, kemudian berbagai pembukuan yang sudah ada harus pula disesuaikan,
belum juga penyesuaian dengan menu cost yang sudah ada. Bayangkan berapa ongkos yang harus
dikeluarkan pengusaha untuk menghitung ulang penetapan harga mereka dan merubah menu cost
yang sudah ada?! Misalkan McDonald’s di Indonesia, tentu mereka harus merubah sistem harga yang
tertera di komputer mereka, lalu merubah penetapan harga (terutama harga yang memiliki pecahan
panjang misalkan Rp 9,909, berarti kan harus diputuskan apakah akan menjadi Rp 9,90 atau Rp 9,91),
kemudian juga harus merubah papan harga yang ada di tiap gerai.
3. Membesarnya Potensi Inflasi di Masa Depan secara Teknis. Karena mau gagah-gagahan
justru potensi inflasi makin besar. Karena sebelumnya gerakan inflasi bisa bergerak hingga di desimal
terakhir. Misalkan harga bisa terekam naik di Rp 1100 menjadi Rp 1156. Namun kalau sudah di
redenominasi, angka digit paling akhir tidak akan terekam lagi. Harga yang tadinya Rp 1,10 akan
menjadi Rp 1,16.
4. Membesarnya Potensi Inflasi di Masa Depan secara Psikologis. Terlalu terbiasa memegang
uang dengan 3 digit nol, membuat masyarakat pasca redenominasi akan ‘menganggap remeh’ uang
bernilai se-rupiahan. Hipotesisnya, pedagang akan relatif lebih mudah menaikkan harga, misalkan,
dari Rp 1 ke Rp 2. Kalau sekarang menaikkan harga Rp 1000 bisa lebih dahulu ke angka Rp 1500,
dsb.

Anda mungkin juga menyukai