Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN PRAKTIKUM

FORMULASI TEKNOLOGI SEDIAAN STERIL


PERCOBAAN VI
PEMBUATAN STERIL HIDROCORTISON ACETAT SUSPENSI

Kelompok : 4

Anggota : Sherly Vega Andwi (M3518049)

Sukma Uswatun Niswah (M3518050)

Talitha Oksi V.I. (M3518051)

Vita Nur Endahsari (M3518053)

Widi Rahmawati (M3518054)

Yunnisa Sholikah (M3518057)

Tanggal Praktikum : Selasa, 10 November 2020

Pertemuan : VI

D3 FARMASI
SEKOLAH VOKASI
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2020
LAPORAN PRAKTIKUM
FORMULASI TEKNOLOGI SEDIAAN STERIL
PERCOBAAN VI
PEMBUATAN STERIL HIDROCORTISON ACETAT SUSPENSI

I. TUJUAN
Tujuan dari percobaan ini adalah dapat memahami dan membuat sterile cortisone acetat
suspensi.
II. DASAR TEORI
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang
harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan
dengan cara menusuk jaringan ke dalam otot atau melalui kulit. Pemberian injeksi
merupakan prosedur invasif yang harus dilakukan dengan menggunakan teknik steril.
Jenis injeksi antara lain injeksi subkutan (SC), injeksi intramuscular (IM), injeksi
intradermal (ID), dan injeksi intravena (IV). Obat diresepkan secara injeksi ketika hasil
pemeriksaan klinis dokter menyatakan pasien membutuhkan obat yang diberikan
dengan cepat, pasien memiliki keterbatasan tidak dapat meminum obat oral dan
mendapatkan reaksi obat yang cepat diabsorbsi. Sediaan injeksi diberikan kepada
pasien yang tidak kooperatif, misalnya pasien tidak bisa menelan obat, namun
diperlukan efek cepat (Muti dan Octavia, 2018).
Kortikosteroid terbagi atas mineralokortikoid yang mengatur keseimbangan air
dan elektrolit dengan aldosteron sebagai prototipenya, serta glukokortikoid yang
mengatur metabolisme dalam mempertahankan homeostasis, dengan kortisol
(hidrokortison) sebagai prototipenya. Hidrokortison lebih aman digunakan untuk anak
karena efek supresi rendah terhadap pertumbuhan. Prednison, karena murah, mungkin
adalah kortikosteroid sistemik yang paling luas digunakan untuk kondisi kronis
(Siagian dkk., 2018).
Selain efek metabolik, kortikosteroid juga mempunyai efek anti-inflamasi,
imunosupresi, antiproliferatif, dan vasokonstriksi. Kortikosteroid memberikan efek
yang luas karena memengaruhi banyak sel di dalam tubuh. Efeknya berhubungan
dengan besarnya dosis. Makin besar dosis, makin besar efek yang didapat, selain itu
ada kaitan antara kortikosteroid dengan hormon lainnya. Kerjasama ini disebut
permissive effects yaitu kortikosteroid diperlukan supaya timbul efek hormon lain
(Rianyta, 2019).
III. ALAT & BAHAN
A. Alat yang digunakan :
1. Alat-alat gelas (@2 buah)
2. Timbangan (1 buah)
3. Autoclave (1 buah)
4. Oven (1 buah)
5. Batang pengaduk (1 buah)
6. Vial 10 mL (1 buah)
7. Bunsen (1 buah)
8. Inkubator (1 buah)
9. LAF (1 buah)

B. Bahan yang digunakan :


1. Hidrokortison asetat (25 mg)
2. NaCl (90 mg)
3. Tween-80 (40 mg)
4. CMC (50 mg)
5. Benzyl alkohol (90 mg)
6. Aqua p.i. (ad 10 mL)
7. Media NA (secukupnya)

IV. FORMULASI
Tiap Vial dengan volume 10 mL mengandung :

R/ Hidrokortison asetat 25 mg
NaCl 90 mg
Tween-80 40 mg
CMC 50 mg
Benzyl alkohol 90 mg
Aqua p.i. ad 10 mL
V. CARA KERJA
1. Pembuatan Sediaan Steril Hidrokortison Asetat

CMC

dilarutkan,
disterilkan dengan

Autoclave suhu 121ºC selama 15


menit bersama aquadest

dilakukan sterilisasi

Cortison asetat, NaCl, Tween-80

disterilkan metode kering


dengan

Oven suhu 160ºC selama 1 jam

disiapkan

Larutan CMC

ditambah

Cortison asetat +Tween 80

diaduk, ditambah

Benzyl alkohol

dimasukkan dalam

Vial 10 mL

ditutup kedap, diamati

Suspensi yang terjadi

diberi

Etiket
2. Uji Sterilitas

Laminar Air Flow

dinyalakan, dibuka,
diambil

Larutan sampel sebanyak 1 mL

dinyalakan

Bunsen

dibuka

Media Nutrient Agar di dekat bunsen

dimasukkan

Sampel ke dalam media Nutrient Agar

ditutup, diputar

Searah angka 8

dimasukkan

Inkubator selama 24 jam


suhu 37ºC

diamati

Hasil
3. Uji Keseragaman Volume

Sediaan

diletakkan sejajar, diamati

Keseragaman volume
masing-masing

4. Uji Kebocoran

Sediaan

diletakkan dalam

Zat warna metilen blue 0,5 –


1% pada ruangan vakum

diamati

Perubahan tekanan di luar dan dalam wadah,


sehingga larutan dalam wadah akan
berwarna biru apabila terdapat kebocoran

5. Uji Partikel Asing

Sediaan dalam botol

diletakkan

Pada background terang atau gelap

disinari

Cahaya dari samping

diamati

Ada tidaknya partikel yang tidak terlarut


dengan mengamati ada tidaknya bahan yang
melayang yang ditandai adanya kilauan
dicatat

Hasil

6. Uji Kejernihan

Sediaan dalam botol

diletakkan

Dalam tempat yang terang

diamati

Terdapat endapan atau tidak

dicatat

Hasil

VI. HASIL PERCOBAAN


1. Pengujian Kualitas
No. Pengujian Replikasi I Replikasi II Replikasi III

1. Keseragaman 12 mL 11 mL 11,5 mL
Volume

2. pH 6,8 6,7 7,3

2. Pengujian Kualitas Lainnya


No. Pengujian Hasil

1. Kebocoran Tidak bocor

2. Partikel Asing Ada, halus

3. Kejernihan Keruh (Putih susu)

3. Pengujian Sterilitas
Media Mikroba Uji Hasil Cemaran

Eschericia coli Negatif

Nutrient Agar Streptococcus mutans Negatif

Bacillus subtilis Negatif

VII. PEMBAHASAN
Praktikum kali ini dilakukan pembuatan injeksi hidrokortison asetat yang
bertujuan untuk dapat memahami dan membuat sterile cortison acetat suspense.
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, atau suspense atau serbuk
yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang
disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melebihi kulit atau
selaput lender. Steril adalah suatu keadaan dimana suatu alat, bahan atau sediaan
sama sekali bebas dari mikroorganisme hidup yang pathogen maupun tidak, baik
dalam bentuk vegetatif maupun spora (Depkes, 1979).
Sediaan parenteral bisa didefinisikan sebagai obat steril, larutan, atau suspensi
yang dikemas dengan cara yang sesuai untuk pemberian melalui suntikan
hiperdermis, baik dalam bentuk siap pakai maupun bentuk yang perlu
ditambahkan pelarut yang sesuai atau agen pensuspensi. Penggunaan parenteral
digunakan untuk obat yang absorbsinya buruk melalui saluran cerna, dan untuk
obat seperti insulin yang tidak stabil dalam saluran cerna. Pemberian parenteral
juga digunakan untuk pengobatan pasien yang tidak sadar dan dalam keadaan
yang memerlukan kerja obat yang cepat. Pemberian parenteral memberikan
kontrol paling baik terhadap dosis yang sesungguhnya dimasukkan kedalam
tubuh. Jalur pemberian obat parenteral merupakan jalur dimana obat dimasukkan
ke dalam tubuh pasien menggunakan jarum suntik. Ada tiga rute pemberian
sediaan parenteral atau injeksi yang umum digunakan, yaitu: subkutan (SC),
intramuskular (IM), dan intravena (IV) (Noviani dan Nurilawati, 2017).
Mekanisme absorbsi dari sediaan parenteral yaitu:
1. Subkutan (SC)
Pada daerah subcutan hanya boleh dilakukan untuk obat yang tidak iritatif
terhadap jaringan. Absorbsi biasanya berjalan lambat dan konstan,
sehingga efeknya bertahan lebih lama. Absorbsi menjadi lebih lambat jika
diberikan dalam bentuk padat yang ditanamkan dibawah kulit atau dalam
bentuk suspensi. Pemberian obat bersama dengan vasokonstriktor juga
dapat memperlambat absorbsinya.
2. Intramuskular (IM)
Pada intramuscular, kelarutan obat dalam air menentukan kecepatan dan
kelengkapan absorbsi. Obat yang sukar larut seperti dizepam dan penitoin
akan mengendap di tempat suntikan sehingga absorbsinya berjalan
lambat, tidak lengkap dan tidak teratur. Obat yang larut dalam air lebih
cepat diabsorbsi. Tempat suntikan yang sering dipilih adalah gluteus
maksimus dan deltoid.
3. Intravena (IV)
Intravena tidak mengalami tahap absorbsi. Obat langsung dimasukkan ke
pembuluh darah sehingga kadar obat didalam darah diperoleh dengan
cepat, tepat dan dapat disesuaikan langsung dengan respons penderita.
Injeksi larutan obat secara langsung ke aliran darah memberikan prediksi
respon farmakologik yang lebih baik.
Injeksi diracik dengan melarutkan, mengemulsikan, atau mensuspensikan
sejumlah obat ke dalam sejumlah pelarut atau dengan mengisikan sejumlah obat
ke dalam wadah dosis tunggal atau wadah dosis ganda. Adapun kelebihan dan
kekurangan dari sediaan injeksi, antara lain (Saptaning dkk., 2015):
Kelebihan:
1. Bekerja dengan cepat
2. Dapat digunakan untuk obat yang rusak oleh adanya cairan lambung atau
obat yang merangsang lambung, maupun tidak diabsorbsi secara baik oleh
cairan lambung
3. Kemurnian dan dan takaran atau dosis zat khasiat lebih terjamin
4. Dapat digunakan depo terapi
Kerugian:
1. Karena bekerja cepat, jika terjadi kekliruan sukar dilakukan pencegahan
2. Cara pemberian lebih sukar, harus memakai tenaga medis khusus
3. Kemungkinan terjadi infeksi pada bekas suntikan
4. Secara ekonomi lebih mahal dibanding dengan sediaan yang digunakan
peroral

Hidrokortison asetat merupakan antiinflamasi golongan kortikosteroid yang


dapat digunkaan dalam pengobatann heumatoid arthritis. Hidrokortison asetat
memiliki kelarutan praktis tidak larut dalam air, sehingga sediaan dibuat suspensi
steril. Pembuatan hidrokortison asetat dalam bentuk sediaan parenteral juga
berfungsi untuk meningkatkan bioavailabilitas dan langsung berefek pada tujuan
terapi. Suspensi farmasi adalah dispersi kasar, dimana partikel padat yang tak
larut terdispersi dalam medium cair. Partikelnya mempunyai diameter yang
sebagian besar lebih dari 0,1 mikron. Beberapa partikel terlihat dibawah
mikroskop menunjukan gerakan Brown bila dispersinya mempunyai viskositas
yang rendah, (Anief, 2000). Suspensi obat suntik harus steril, mudah disuntikan
dan tidak menyumbat jarum suntik. Suspensi obat mata harus steril dan zat yang
terdispersi harus sangat halus, bila untuk dosis ganda harus mengandung
bakterisida. Pada etiket harus tertera kocok dahulu dan disimpan dalam wadah
tertutup baik dan disimpan ditempat sejuk, (Anief, 1997). Penggunaan injeksi
hidrokortison asetat digunakan untuk tujuan intramuscular atau subcutan dan
tidak boleh digunakan secara intravena dikarenakan mengandung partikel yang
dapat menyebabkan emboli pada pembuluh darah. Penggunan secara
intramuscular, yaitu penggunaan dilakukan dalam otot, absorsi obat berlangsung
10-30 menit untuk memperpanjang kerja obat, biasanya dilakukan di otot pantat
atau lengan atas sedangkan penggunaan secara subcutan dilakuakn di bawah kulit
dan hanya digunakan untuk obat yang tidak merangsang dengan efek agak lambat
disbanding penggunaan secara i.m dan i.v (Turdiyanto dkk., 2014).Suspensi
sterile cortison asetat dalam media air yang sesuai mengandung tidak kurang dari
90,0% dan tidak lebih dari 110,0% kortison asetat (C23H30O6) dari jumlah yang
tertera ada etiket, dengan pH 5,0 – 7,0 (Depkes RI, 1979).
Suspensi hidrokortison asetat steril dibuat dengan cara aseptis, untuk
menjaga kesterilan produk sehingga memerlukan sterilisasi bahan dan alat di
awal. Teknik aseptis didefinisikan sebagai prosedur kerja yang meminimalisir
kontaminan mikroorganisme dan dapat mengurangi risiko paparan terhadap
petugas. Kontaminan kemungkinan terbawa ke dalam daerah aseptis dari alat
kesehatan, sediaan obat, atau petugas jadi penting untuk mengontrol faktor-faktor
ini selama proses pengerjaan produk aseptis (Depkes RI, 2009). Tahap awal yang
dilakukan adalah menghitung tonisitasya, karena sediaan injeksi sebaiknya dibuat
pada keadaan isotonis, yaitu keadaan dimana obat memiliki tekanan osmosis yang
sama dengan cairan tubuh sehingga jika digunakan tidak menimbulkan iritasi.
Suatu sediaan injeksi masih boleh atau dapat ditoleransi jika terjadi keadaan
hipertonis, yaitu keadaan dimana tekanan osmosis sediaan lebih besar dari
tekanan osmosis cairan tubuh, namun sama sekali tidak boleh terjadi keadaan
hipotonis, yaitu keadaan dimana tekanan osmosis sediaan lebih rendah dari
tekanan osmosis cairan tubuh. Hal tersebut karena jika larutan injeksi yang
hipertonis disuntikkan, air dalam sel tubuh akan ditarik ke luar dari sel sehingga
sel akan mengkerut dan hasil ini kaan bersifat sementara serta tidak menyebabkan
rusaknya sel, namun jika larutan injeksi yang hipotonis disuntikkan, air dari
larutan injeksi akan diserap dan masuk ke dalam sel yang mengakibatkan sel
mengembang dan menyebabkan pecahnya sel yang bersifat tetap. Jika yang pecah
adalah sel darah merah, maka keadaan tersebut disebut hemolisis dan dapat
berakibat pada penyumbatan pembuluh darah yang kecil (Saptaning dkk., 2015).
Hasil perhitungan tonisitas sediaan adalah 0,2893 > 0,28 yang menunjukkan
bahwa sediaan bersifat hipertonis dan nilainya hampir sama, sehingga tidak
diperlukan penambahan NaCl.
Zat berkhasiat yang digunakan dalam praktikum ini adalah hidrokortison
asetat yang berkhasiat sebagai antiinflamasi golongan glukokortikoid yang
berbentuk serbuk hablur, berwarna putih atau hamper putih, tidak berbau, dan
berasa tawar kemudian pahit (Depkes RI, 1979). Proses pertama CMC
dikembangkan terlebih dahulu dalam aqua pro injeksi panas, lalu setelah
mengembang disterilkan dengan metode panas basah menggunakan autoklaf pada
suhu 121ᵒC selama 15 menit. CMC berfungsi sebagai suspending agent yang
memiliki bentuk serbuk atau butiram, berwarna putih atau putih kuning gading,
tidak berbau atau hamper tidak berbau, dan bersifat higroskopik. CMC
dikembangkan dalam aqua pro injeksi untuk menghindarkan sediaan dari partikel
dan mikroba. Tahap selanjutnya, bahan hidrokortison, tween 80, dan benzyl
alcohol disterilkan terlebih dahulu dengan metode panas kering menggunakan
oven pada suhu 160ᵒC selama 1 jam, lalu setelah selesai proses sterilisasi larutan
CMC disiapkan untuk selanjutnya dilakukan pencampuran dengan bahan lain.
Tahap selanjutnya larutan CMC ditambahkan dengan hidrokortison dan tween 80
sampai homogen lalu ditambahkan dengan benzyl alkohol. Tween 80 berfungsi
sebagai surfaktan yang dapat menurunkan tegangan permukaan yang terjadi pada
sediaan suspensi sehingga produk suspensi dapat terdispersi dengan baik.
Pemerian dari bahan ini adalah merupakan cairan kental seperti minyak, berwarna
kuning yang jernih, dan berbau khas asam lemak (Depkes RI, 1979). Benzyl
alkohol berfungsi sebagai bahan pengawet untuk menghindari pertumbuhan
mikroba pada sediaan. Pemerian bahan ini adalah cairan yang tidak berwarna,
hamper tidak berbau, dan berasa tajam dan membakar (Depkes RI, 1979). Semua
bahan diaduk sampai homogen, lalu dimasukkan ke dalam vial berukuran 10 ml
dan ditutup kedap. Fungsi tutup kedap adalah untuk menghindari masuknya
kontaminan ke dalam sediaan, sedingga sediaa injeksi tetap memenuhi syarat.
Tahap selanjutnya adalah pemberian etiket yang berisikan keterangan Sterile
Cortison Acetat Suspense, tiap ml mengandung 0,25 gram hidrokortison asetat.
Tahap selanjutnya dilanjutkan uji atau pemeriksaan keseragaman volume, pH,
kebocoran, partikel asing, dan kejernihan, serta uji sterilitas. Tujuan dilakukan
pengujian ini adalah untuk menjamin bahwa suatu sediaan suspensi steril ini
dapat digunakan dengan baik dan benar serta suatu sediaan tidak terjadi
kerusakan.
Uji keseragaman volume dilakukan untuk mengetahui mengetahui dan
menjamin bahwa sediaan yang dibuat memiliki volume yang sama dan sesuai. Uji
keseragaman volume dilakukan dengan mengukur volume sediaan yang telah
diisi pada wadah. Pada replikasi 1, 2, 3 secara berturut-turut didapatkan volume
sebesar 12 mL, 11 mL, dan 11,5 mL. Perbedaan volume ini terjadi karena
ketidaktlitian praktikan dalam melakukan pengisian. Selanjutnya dilakukan uji
pH bertujuan untuk menetapkan pH suatu sediaan larutan agar sesuai dengan
monografi sehingga sediaan yang dibuat aman digunakan tubuh. Pengujian pH
pada percobaan ini dilakukan 3 kali replikasi dengan tujuan untuk mendapatkan
hasil yang akurat. Didapatkan pH pada replikasi 1, 2, dan 3 secara berturut-turut
yaitu 6,8; 6,7; dan 7,3. Persyaratan pH injeksi menurut FI III yaitu 5-7,5.
Sehingga hasil uji pH semua replikasi menunjukkan berada diatas rentang syarat
dan sedikit tinggi namun hal ini dapat ditoleransi karena tidak mencapai angka 9
lebih. Jika pH mencapai angka 9 dapat menyebabkan nekrosis jaringan atau
jaringan menjadi mati.
Uji kebocoran bertujuan untuk menjamin suatu sediaan steril tidak terjadi
kebocoran. Uji kebocoran dilakukan dengan menggunakan larutan metilen blue
0,8-0,9 %. Apabila terdapat kebocoran maka wadah sediaan akan terdapat warna
biru yang menandakan adanya kebocoran (Sinko dan Patrick, 2006). Hasil akhir
menunjukkan tidak terdapat warna biru pada wadah sediaan, sehingga wadah
sediaan tidak terdapat kebocoran. Evaluasi selanjutnya adalah uji partikel asing.
Sediaan steril harus bebas dari partikel melayang karena dapat menyebabkan
kontaminasi dan membawa mikroorganisme. Partikel asing tersebut merupakan
partikel-partikel yang tidak larut yang dapat berasal dari larutan dan zat kimia
yang terkandung, lingkungan, peralatan, personal, maupun dari wadah. Partikel
asing apabila masuk ke dalam tubuh dapat menyebabkan pembentukan
granuloma patologis dalam organ vital tubuh. Uji partikel asing dilakukan untuk
mengetahui apakah ada partikel asing dalam sediaan. Uji partikel asing dapat
dilakukan dengan pengamatan visual dengan cara menerawang sediaan pada
sumber cahaya. Dari hasil pengujian ditemukan partikel asing yang halus dalam
sediaa yang dibuat. Hal tersebut dapat disebabkan oleh alat dan bahan yang
digunakan masih kurang steril atau dari praktikan pada saat melakukan peracikan.
Uji kejernihan dilakukan untuk memastikan sediaan yang dibuat jernih dan
bebas dari pengotor. Uji kejernihan dilakukan dengan menyinari wadah sediaan
dari samping dengan latar belakang hitam untuk menyelidiki pengotor berwarna
putih dan latar belakang putih untuk menyelidiki pengotor berwarna. Berdasarkan
hasil pengujian diperoleh sediaan injeksi hidrokortison asetat yang dibuat keruh
dan berwarna putih susu. Hal tersebut dikarenakan sediaan yang dibuat adalah
suspensi sehingga terdapat partikel-partikel zat yang tidak terlarut yang
menyebabkan sediaan terlihat keruh dan berwarna putih susu. Uji selanjutnya
yaitu uji sterilisasi hasil sediaan menggunakan media agar. Menurut Farmakope
Indonesia IV, uji sterilitas berprinsip pada sediaan diinokulasi pada medium agar
dan diamati pertumbuhan mikroba setelah inkubasi beberapa hari. Laminar Air
Flow pada pengujian ini digunakan sebagai meja kerja steril untuk kegiatan
inokulasi/ penanaman. Laminar Air Flow mengutamakan adanya hembusan udara
steril yang digerakkan oleh blower yang disaring oleh HEPA Filter. Cawan petri
diletakan di dekat lampu bunsen sambil diputar agar panas dari lampu bunsen
mengenai seluruh bagiancawan petri. Tujuannya agar media untuk isolasi
mikroba berada dalam kondisi yang steril sehingga tidak ada kontaminasi dari
mikroba lainnya. Sembari masih berada didekat lampu bunsen, tutup cawan petri
dibuka lalu sampel yang berada di tabung reaksi dituangkan ke media agar.
Cawan petri kembali diputar di dekat lampu Bunsen. Setelah itu, lampu bunsen
dimatikan dan cawan petri digerakan searah angka 8, tujuannya agar mikroba dan
NA menyatu di dalam cawan petri. Pada uji sterilisasi, tujuan dari inkubasi adalah
agar mikroba yang telah diinokulasi pada media, mendapat suhu optimum untuk
tumbuh dengan baik sehingga nantinya didapatkan mikroba yang diinginkan.
Mikroba uji yang digunakan yaitu Escherichia coli, Streptococcus mutans, dan
Bacillus subtilis. Dari hasil pengujian tidak ditemukan cemaran pada sedian yang
dibuat.
VIII. KESIMPULAN
Injeksi hidrokortison asetat dibuat dengan mensuspensikan sejumlah obat ke
dalam sejumlah pelarut. Pembuatan injeksi hidrokortison asetat dilakukan dengan
tahap awal menghitung tonisitasnya, karena sediaan injeksi sebaiknya dibuat pada
keadaan isotonis. Didapatkan hasil 0,2893 > 0,28 yang artinya hipertonis dan
tidak perlu penambahan NaCl. Sediaan injeksi aminophilin juga dilakukan
beberapa pengujian seperti uji keseragaman volume, pH, kejernihan, kebocoran,
partikel asing, dan uji sterilisasi untuk mengetahui kualitas sediaan.

IX. DAFTAR PUSTAKA


Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. 2009. Pedoman Dasar Dispensing Sediaan Steril. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Muti, A. F., dan Octavia, N. 2018. Kajian Penggunaan Obat Berdasarkan


Indikator Peresepan WHO dan Prescribing Errors Di Apotek Naura
Medika, Depok. Sainstech Farma, 11 (1) : 25 – 30.

Noviani, N. dan Nurilawati, V. 2017. Bahan Ajar Keperawatan Gigi,


Farmakologi. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Rianyta, Purwantyastuti, Menaldi, S. L., dan Paramitha, L. 2019. Kortikosteroid


Intralesi: Aspek Farmakologik Dan Penggunaan Klinis Di Bidang
Dermatologi. MDVI, 46(1): 51-57.

Saptaning, A., Listiowati, E., Imamulatifah, Eliananwati, S., dan Hidayati, R.


2015. Ilmu Resep. Jakarta: EGC.
Sinko, Patrick J., 2006, Farmasi Fisika dan Ilmu Farmesetika, Edisi 5. Jakarta:
EGC.
Siagian, J. N., Purwantyastuti, Menaldi, S. L., dan Paramitha, L.2018.
Kortikosteroid Sistemik: Aspek Farmakologi Dan Penggunaan Klinis Di
Bidang Dermatologi. MDVI, 45(3) : 165 – 171.
Turdiyanto, T., Prastijanti, W., Rukminingsih, F., Wardiyati, S. A., dan Palupi, P.
D. 2014. Farmakologi. Jakarta: EGC.
X. LAMPIRAN
1. Perhitungan
2. Jawaban pertanyaan
3. Jurnal
4. Laporan sementara

Surakarta, 15 November 2020


Mengetahui,
Asisten Praktikum Praktikan

Yonica Ryan R. Kelompok 4


LAMPIRAN I
PERHITUNGAN

Rumus
� �

� � + � � � + ... : 0,28

Keterangan :
Ma, Mb : BM zat-zat terlarut (obat)
Mh : BM zat-zat pembantu (misal NaCl, glukosa, dll).
Xa, Xb : Kadar obat (gram/L)
fa, fb, fh : Faktor disosiasi
*Zat yang tidak terdisosiasi (glukosa, gliserin)
*Basa dan asam lemah (1 derajat disosiasi)
* Basa dan asam kuat garam-garam uni valen

Diketahui :
BM Hidrokortison = 404,5 g/mol BM NaCl = 58,5 g/mol
F Hidrokortison = 1,5 F NaCl = 1,8
X Hidrokortison = 2,5 g/L X NaCl = 9 g/L

Perhitungan tonisitas
� �
�� +� �� = 0,28

, ,8
,
� 2,5 + 8,
�9 = 0,28

0,0093 + 0,28 = 0,28


0,289 > 0,28
 Hipertonis, namun nilainya hampir sama sehingga tidak perlu dilakukan penambahan
NaCl.
LAMPIRAN 2

JAWABAN PERTANYAAN

1. Jelaskan penggunaan tween-80 !


Jawab :
Tujuan penggunaan Tween-80 yaitu untuk menurunkan tegangan antarmuka yang
terjadi pada obat dan medium. Selain itu, untuk membentuk misel sehingga molekul
yang terbawa oleh misel larut dalam medium.
2. Mengapa injeksi suspense tidak diberikan secara i.v?
Jawab : Umumnya hanya larutan obat dalam air yang bisa diberikan secara intravena.
Injeksi suspense tidak dapat diberikan secara intravena karena berbahaya dan dapat
menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah kapiler.
3. Buatlah kualifikasi oven!
Jawab : Kualifikasi hendaklah dilakukan terhdap oven dalam kedaan kosong maupun
terisi untuk tiap jenis muatan, misal : wadah kosong, nozzle, dan sebagainya.
A. Pemeriksaan jumlah partikel dalam oven, dengan prosedur :
a) Hidupkan oven tanpa pemanasan
b) Ukur partikel pada tiga titik di depan masing-masing HEPA Filter (Ada tiga
HEPA filter) dengan menggunakan Particle Counter
c) Lakukan 3 kali pengukuran
d) Lampirkan data yang diperoleh ke dokumen kualifikasi. Kriteria pemerimaan :
jumlah partikel dalam oven harus memenuhi persyaratan untuk kelas A
B. Verifikasi kebocoran oven, dengan prosedur :
a) Tutup pintu pada sisi steril maupun sisi non steril dan pasang Grendel pintu
b) Set oven pada temperatur rendah (40oC) dan nyalakan oven dengan memutar
tombol oven-pressure fan
c) Uji kebocoran dengan menggunakan asap yang diciptakan dengan “smoke stick”
di sepanjang sela-sela pintu. Kebocoran ditandai dengan hembusan angina dari
sela-sela pintu yang menghalau asap. Kriteria penerimaan : tidak ada kebocoran
dari dalam oven baik ke ruangan nonsteril maupun ruangan steril yang
ditunjukkan dengan tidak ada hembusan angin dari sela-sela pintu yang
menghalau asap baik pada sisi steril maupun sisi non-steril
C. Kalibrasi termokopel, kalibrasi termokopel harus dilaksanakan segera sebelum
dan sesudah kualifikasi kinerja oven
a) Kalibrasi dilakukan dengan cara memasukkan secara bersamaan semua
termokopel ke dalam gelas beker yang berisi minyak silikon yang dilengkapi
dengan thermometer standar dipanaskan dengan menggunakan pelat pemanas dan
pengaduk otomatis sampel temperature 230oC
b) Setelah temperatur 230 ºC tercapai selama 10 menit, catat hasil dari 5 kali
pengukuran pada waktu berbeda.
c) Tentukan temperatur tertinggi dan terendah pada tiap pengukuran.
d) Lakukan penghitungan perbedaan antara temperatur tertinggi dan temperatur
terendah dengan menggunakan rumus sbb:
dT maks (1) = Maks dari (Tx(maks)-Ty(min)); Termokopel x dan y
e) Tentukan juga perbedaan hasil pengukuran terbesar antara termokopel yang
sedang
diukur dan termokopel standar sesuai dengan rumus :
dT maks (2) = Maks dari (Tstd(t)-Tx(min)), std = standar, x = termokopel
D. Pengamatan Distribusi Panas dalam Keadaan Kosong
a) Pasang minimal 10 - 12 buah termokopel dalam chamber secara horizontal,
vertikal dan lateral pada titik-titik yang ditunjuk.
b) Hubungkan termokopel dengan recorder.
c) Mulai siklus pemanasan.
d) Catat hasil pada Lembar Kerja
e) Lampirkan hasil rekam grafik sterilisasi.
E. Pengamatan Distribusi Panas dengan Muatan
a) Masukkan ampul 2ml kosong ke dalam oven sampai penuh (Konfigurasi Muatan
1) atau tangki baja serta peralatan
b) Pasang termokopel pada oven pada posisi yang sama dengan yang digambarkan
c) Jalankan oven dan mulai sterilisasi/ depirogenisasi pada setting 230oC selama 90
menit.
d) Catat temperatur pada saat program tersebut dimulai sampai dengan siklus
sterilisasi
otomatis dimulai.Pada saat siklus sterilisasi dimulai, catat temperatur pada lembar
kerja
lanjutkan pencatatan sampai siklus sterilisasi berakhir.
e) Lampirkan hasil rekam grafik sterilisasi.
f) Tentukan titik terendah & titik tertinggi.
g) Tentukan perbedaan temperatur masing-masing pada waktu tertentu.
F. Pengamatan Penetrasi Panas dengan Muatan Maksimal
a) Lakukan percobaan ini pada peralatan yang disterilkan.
b) Letakkan peralatan/ vial/ ampul/ tangki yang akan disterilkan dalam oven yang
dikualilfikasi.
c) Masukkan probe thermocouple ke dalam masing-masing perlengkapan/ alat/ vial/
ampul atau bahan yang disterilkan.
d) Jalankan oven dan mulai sterilisasi pada setting 230°C selama 90 menit.
e) Catat temperatur pada saat program tersebut dimulai sampai dengan siklus
sterilisasi
otomatis dimulai.
f) Setelah tercapai temperatur sterilisasi/ depirogenisasi (230oC), catat temperatur
tiap 5
menit pada tabulasi.
g) Lampirkan hasil rekam grafik sterilisasi. Tentutan titik terendah & titik tertinggi.
h) Hitung L dari tiap termokopel.
G. Uji Tantang Endotoksinsn
a) Gunakan minimal 10 buah indikator biologi endotoksin untuk masing-masing
pola
pengujian.
b) Tentukan kadar endotoksin sebelum digunakan untuk Uji Tantang Endotoksin.
c) Letakkan minimal 50 % endotoksin pada daerah yang diketahui temperaturnya
terendah dan letakkan endotoksin berdekatan dengan ujung termokopel pada
bagian dalam alat yang disterilkan.
d) Catat hasil pada pada lembar kerja

Sumber : Badan POM RI


LAMPIRAN

LAPORAN SEMENTARA
Scanned by TapScanner
Scanned by TapScanner
Scanned by TapScanner
Scanned by TapScanner

Anda mungkin juga menyukai