Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH FIQIH HAJI DAN UMROH

SAI: PENGERTIAN SAI, SYARAT-SYARAT DAN RUKUN MENGERJAKAN SAI, SUNAH


DAN LARANGAN SAI, CARA MELAKSANAKAN SAI

Makalah ini di ajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah

Fiqih Haji & Umrah

Dosen Pengampu:

H. Mufti Labib, Lc, MCL

Disusun oleh :

Roy Maulana Racman (B74218066)

FAKULTAS DAKWAH & KOMUNIKASI

PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAKWAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2020/2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, pemilik segala sesuatu yang ada di jagad raya ini, yang
maha sempurna mengatur semua kehidupan. Karena berkat rahmatNya dapat diselesaikan
makalah ini. Tidak terlupakan juga salawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW.

Makalah ini berjudul Sai: Pengertian sai, syarat-syarat sai, rukun mengerjakan sai,
macam-macam sai, sunnah dan larangan sai, dan cara melaksanakan sai. untuk memenuhi
tugas matakuliah Fiqih Haji &Umrah. Dengan terselesaikannya makalah ini, penulis
mengucapkan terimakasih kepada kedua orangtua yang telah meluangkan waktunya untuk
memberikan doa dan dukungan yang besar kepada penulis. Tidak lupa juga kepada Bapak Dosen
Mufti Labib, yang telah memberikan pengetahuannya kepada penulis di bidang keilmuan Fiqih
Haji & Umrah. Tidak lupa pula kepada teman-sahabat yang telah memberikan sebagian
pengetahuan kepada penulis.

Penulis sebagai insani mengharapkan kritik dan saran terhadap makalah yang telah
penulis buat. Karena, tanpa adanya kritik dan saran dari para pembaca mungkin tidak akan ada
kemajuan dari penulis. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi amal saleh bagi kami
semua.

Lamongan, 29 Oktober 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................-

DAFTAR ISI.................................................................................................................................- -

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................--

A. Latar Belakang.............................................................................................................................--

B. Rumusan Masalah.......................................................................................................................- -

C. Tujuan..........................................................................................................................................- -

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................................- -

A. Pengertian Sai..............................................................................................................................- -

B. Syarat dan Rukun Mengerjakan Sai..........................................................................................- -

C. Macam-Macam Sai.....................................................................................................................- -

D. Sunnah dan Larangan Sai...........................................................................................................- -

E. Cara Melaksanakan Sai..............................................................................................................- -

BAB III PENUTUP......................................................................................................................- -

A. Kesimpulan...................................................................................................................................- -

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................- -
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Siti Hajar, ibu dari Nabiyullah Ismail adalah orang yang pertama kali melakukan
sa’i (berjalan dengan bergegas) antara Shafa dan Marwah sejauh 405 meter. Sebuah
aktivitas yang menjadi salah satu ritual dalam ibadah haji dan umrah yang dilakukan
antara bukit Shafa dan bukit Marwah yang terletak di Masjidil Haram.
Ya, apabila jamaah telah melaksanakan thawaf, hendaknya keluar melalui Baab
Ash-Shafa (pintu Shafa), menuju bukit Shafa lalu menaiki beberapa anak tangganya
untuk melakukan sa’i. Sebab, sa’i adalah salah satu rukun haji yang dilakukan dengan
jalan cepat, lebih cepat dari jalan biasa dan lebih lambat dari lari.
Sa’i merupakan berjalan dari bukit Shafa ke bukit Marwah dan sebaliknya, sebanyak
tujuh kali yang berakhir di Marwah. Artinya perjalanan dari Shafa ke Marwah dihitung
satu kali, begitu pula dari Marwah ke Shafa dihitung satu kali. Dalam praktiknya, rincian
perjalanan itu empat kali dari Shafa ke Marwah dan tiga kali dari Marwah ke Shafa
secara berurutan.
Dalam pelaksanaanya, sebaiknya sa’i dimulai dengan langkah-langkah biasa,
sampai melintasi Bathnul Waadiditandai dengan lampu berwarna hijau pertama. Dari
tempat itu, jamaah haji pria disunatkan untuk berlari-lari kecil sedangkan untuk jamaah
wanita berjalan cepatsampai di tanda hijau yang kedua. Lalu dari tempat itu, jamaah
kembali berjalan biasa.Bagi jamaah haji yang sakit boleh menggunakan kursi roda.
Apabila telah sampai di bukit Marwah, hendaknya menaiki bukit Marwah seperti halnya
ketika di bukit Shafa. Dengan menghadap ke arah Shafa dan berdoa seperti sebelumnya.
Dengan demikian, jamaah haji telah selesai melakukan satu kali lintasan sa’i. Dan jika
telah kembali lagi ke bukit Shafa, maka dihitung dua kali. Begitulah selanjutnya hingga
tujuh kali lintasan. Setelah menyelesaikan tujuh kali lintasan, maka jamaah haji telah
menyelesaikan dua hal, yakni thawaf qudum dan sa’i.
Apabila, jamaah haji memulai sa’inya dari bukit Marwah, maka sa’i dianggap sah.
Tapi,jamaah harus menambah satu perjalanan lagi sehingga berakhir di Marwah. Dalam
melakukan sa’i, jamaah dianjurkan bersuci lebih dulu, tapi bukan wajib seperti ketika
mengerjakan thawaf. Ibadah sa’i boleh dilakukan keadaan tidak berwudhu maupun dalam
keadaan haid atau nifas bagi kaum wanita.
Dulu, pada saat zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (SAW), bukit
Shafa dan Marwah berada di luar Masjidil Haram. Namun seiring dengan terus
berlangsungnya perluasan Masjidil Haram, maka area perlintasan tersebut kini menjadi
satu dengan Masjidil Haram, meskipun dari segi syar’i kedua bangunan ini tetap tidak
dapat dipersamakan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud sai, syarat, dan rukun sai?
2. Apa yang saja, sunnah dan larangan sai ?
3. Bagaimana cara melaksanakan sai?
C. Tujuan
Untuk mengetahui dan memahami pengertian, syarat, rukun, sunnah, larangan dan cara
melaksanakan sai. Karena, hal tersebut sangat penting untuk dipelajari dalam bekal beribadah
ke tanah suci.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sai
1. Bahasa
Istilah sai sebenranya aslinya berbunyi as-sa’yu (‫)السّعي‬. Karena huruf terakhir
tidak diucapkan huruf vokalnya, maka umumnya orang menyebut menjadi sai saja.

Secara bahasa sai maknanya ada banyak, diantaranya masya yang artinya
berjalan. Selain itu juga bermakna qashada yang artinya menuju ke suatu arah. Dan
juga bermakna ‘amila yang artinya mengerjakan sesuatu.

Kata sa’a-yas’a juga digunakan di dalam Al-Qur’an Al-Karim dengan makna


berjalan secara sungguh-sungguh.

‫فاسعوا إلى ذكر هللا وذروا البيع‬


Maka berjalanlah kamu menuju dzikrullah dan tinggalkan jual-beli. (QS. Al-
Jumuah:9)

Juga bisa bermakna berjalan dengan bergegas-gegas, sebagaimana disebutkan di


dalam ayat berikut ini.

‫وجاء من أقصى المدينة رجل يسعى قال ياقوم اتبعوا المرسلين‬


“Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas-gegas ia
berkata “hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu.” (QS.Yasin:20)

Namun makna yang terkait dengan ritual ibadah haji adalah masya atrinya
berjalan, karena antara makna bahasa dengan makna istilah dalam manasik haji nyaris
tidak ada perbedaan.

2. Istilah

Secara istilah fikih, ritual ibadah sai didefinisikan oleh para ulama sebagai
‫فطع المسافة الكائنة بين الصفا والمروة سبع مرات ذهابا وإيابا بعد طواف في‬
‫نسك حج أو عمرة‬
"menempuh jarak yang terbentang antara shafa dan marwah sebanyak tujuh kali
pulang pergi setelah ibadah tawaf dalam rangka manasik haji atau umrah".

B. Syarat dan Rukun Mengerjakan Sai


1. Syarat Sai
a) Didahului oleh thawaf yang sah, tanpa dipisahkan oleh wukuf di Arafah, karena
demikianlah contoh dari Nabi saw., dan beliau bersabda, "Tirulah manasik kalian
dariku." fuga, karena sa'i adalah "buntut" yang menjadi ikutan thawaf. fika
seseorang sudah bersa'i setelah thawaf qudum, dia tidak perlu mengulanginya
lagi. Yang paling afdhal bagi pelaksana haji qiran, menurut madzhab Hanafi,
adalah mendahulukan sa'i. Madzhab Hanafi membolehkan sa'i ini dikerjakan
setelah terlaksananya sebagian besar thawaf, meskipun belum selesai secara
sempurna, karena sebagian besar punya hukum yang sama dengan keseluruhan.
Sa'i terhitung sah jika dilakukan setelah thawaf apa pun- meskipun itu adalah
thawaf sunnah (menurut jumhur); atau setelah thawaf rukun atau qudum nurut
madzhab Syafi'i.
b) Tertib /berurutan, yakni dimulai dari bukit Shafa dan diakhiri di bukit Marwah,
c) Terdiri atas tujuh putaran. Yaitu, dengan berdiri di atas bukit Shafa empat kali
dan di atas bukit Marwah empat kali, dan di bukit inilah sa'i diakhiri. Perjalanan
ke Marwah dihitung sebagai satu kali putaran, dan kembalinya ke Shafa dihitung
satu kali putaran juga. fika ragu jumlah yang sudah dikerjakannya, hendaknya dia
berpegang kepada jumlah terkecil. Dalil atas ukuran ini adalah ijma serta
perbuatan Rasulullah saw.
d) Melewati keseluruhan jarak antara bukit Shafa dan Marwah. Wajib menempuh
keseluruhan jarak antara Shafa dan Marwah. Jika masih ada satu langkah yang
tidak ditempuhnya, sa'i-nya tidak sah, karena dalam hal ini mesti mengikuti
perbuatan Nabi saw.
e) Muwaalaah (berkelanjutan) antara ketujuh putaran. Ini adalah syarat menurut
madzhab Maliki dan Hambali, sunnah menurut selain mereka; sama seperti
thawaf.

2. Rukun Sai

Jumhur ulama di antaranya Mahzab Al-Malikiyah, As-Syafi’iyah, dan hanabilah


sepakat menempatkan sai sebagai salah satu rukun dalam manasik haji dan juga rukun
dalam ibadah umrah. Rangkain ibadah haji dan umrah itu tidak sah tanpa adanya sai.

Asiyah dan Urwah bin Az-Zubair radhiyallahuanmuha termasuk di antara sahabat


nabi yang mendukung hal ini.

Dalil yang mereka kemukakan adalah dalil dari Al-Qur’an dan as-Sunah, di
antaranya firman Allah Swt:

‫ان الصفا والمروة منشعائرهللا‬


“Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syair Allah.” (QS.Al-
Baqarah: 158)

Selain itu juga ada dalil dari sunah Nabi Saw:

‫اسعوا فإن هللا كتب عليكم السعي‬


“Lakukanlah ibadah sai, karena Allah telah mewajibkannya atas kalian.”
(HR.Ad-Daruqthuny)

Hadist ini menggunakan lafaz kataba yang secara umum maknanya menjadikan
ibadah yang tidak boleh ditinggalkan alias rukun. Selain itu juga melihat kepada
oraktik sai yang diajarkan Rasulullah Saw kepada Abu Musa Al-Asy’ari

Rukun Sai adalah berjalan tujuh kali antara Shafa dan Marwah menurut jumhur
ulama. Dasarnya adalah apa yang dikerjakan oleh Rasulullah Saw, bahwa beliau
melaksanakan sai tujuh kali. Dan juga didasarkan atas apa yang telah menjadi ijmak
di antara seluruh umat Islam.
Bila seseorang belum menjalankan ketujuh putaran itu, maka sai itu tidak sah.
Dan bila dia telah meninggalkan tempat sai, maka dia harus kembali lagi
mengerjakan dari putaran yang pertama. Dan tidak boleh melakukan tahalul bila sai
belum dikerjakan.

Sedangkan menurut Al-Hanafiyah, rukunnya hanya empat kali saja. Bila


seseorang telah melewati empat putaran dan tidak meneruskan sainya hingga putaran
yang ketujuh, dia wajib membayar dam.

C. Cara Mengerjakan Sai

Cara-cara mengerjakan sai, sesuai dengan petunjuk/sunnah Rasulullah saw adalah


sebagai berikut:

a) Sesudah mendekati Safa, membaca:


Innash-shafa wal-marwata min sya’aa-irilliahi, abda’u bima bada’allahu
bihi
“sesungguhnya Safa dan Marwa termasuk tanda-tanda (peribadatan
kepada) Allah. Aku mulai dan apa yang Allah memulai dengannya.”
b) Naik ke atas bukit shafa, kemudian menghadap ke Ka’bah, lalu
mengangkat kedua tangan dan membaca:
Allahu akbar, la ilaha ilallahu wahdahu la syarikalah, lahul-mulku wa
lahul-hamdu, wa huwa ‘ala kuli syai in qadir. La ilaha ilallahu wahda,
anjaza wa’dah, wa nashara ab’dah, wa hazanal ahzaba wahda.
“Allah Maha Besar, tiada Tuhan kecuali Allah sendiri, tiada sekutu bagi-
Nya kepunyaan-Nya segala kerajaan, dan bagi-Nya segala pujian, dan dia
berkuasa atas segala sesuatu. Tiada Tuhan selain Allah sendiri, Dia
lestarikan janji-Nya, Dia tolong hamba-Nya dan Dia sendiri
mengancurkan musuh-musuh-Nya”
Bacaan tersebut dibaca sebanyak atau diulang-ulang sebanyak tiga kali
dan diselingi dengan do’anya.
c) Turun dari Shafa Menuju Marwa
Sesampainya di batas tiang hijau hendaknya laki-laki berlari-lari kecil,
sedangkan perempuan berjalan biasa sampai ke batas tiang hijau
berikutnya, lalu berjalan menuju Marwa.
d) Di atas Marwa seperti dilakukan pada angka 2, menghadap ke Ka’bah dan
membaca bacaan seperti dalam urutan ke dua di atas tadi.
e) Kemudian berangkat lagi ke Shafa sampai cukup tujuh kali yang berakhir
di Marwah.
D. Sunnah dan Larangan Sai
1. Sunnah Sai
a) Al-Muwalat
Istilah al-muwalat maksudnya bersambung, berkisnambungan, atau tidak terputus
antara satu putaran ke putaran berikutnya dengan jeda yang lama atau panjang.
Ketersambungan ini bukan rukun atau kewajiban, sifanya hanya sunnah, yang apabila
ditinggalkan tidak akan merusak sai, namun mengurangi pahalanya.
b) Niat

Berniat untuk melakukan sai adalah termasuk sunah menurut jumhur ulama.
Sedangkan Mazhab Al-Malikiyah menyebutkan bahwa berniat termasuk syarat
sai.

Kalau dikatakan bahwa berniat sai itu hukumnya sunah, maka bila seseorang
secara tidak sengaja berjalan antara Shafa dan Marwa tanpa berniat melakukan
sai, lalu tiba-tiba dia ingin menjadikan langkah-langkah yang sudah dilakukan
tadi sebagai ibadah sai, hukumnya sudah dianggap sah.

Dan ini merupakan syariat Islam. Sebagaimana tidak ada syarat niat wukuf di
Arafah.

c) Mengusap Hajar Aswad Sebelumnya

Disunahkan sebelum memulai sai untuk mengusap Hajar Aswad sebelumnya,


setelah mengerjakan shalat sumah tawaf dua rakaat. Namun kesunahan ini hanya
berlaku manakala mengusap Hajar Aswad itu dimungkinkan atau tidak ada
halangan. Di masa lalu hal seperti itu masih dimungkinkan, karena jumlah jamaah
haji tidak terlalu membeludak.

Namun di masa sekarang ini, dengan jumlah tiga juta jamaah haji, nyaris
mustahil hal itu dilakukan oleh semua orang dalam waktu yang hampir
bersamaan.

Maka sebagai gantinya, tidak perlu mengusap secara langsung cukup dengan
melambaikan tangan saja dari kejauhan, yaitu dari atas Shafa.

d) Suci Dari Hadas


Disunahkan ketika melakukan sai dalam keadaan suci dari hadas, baik hadas
kecil atau hadas besar. Dasarnya adalah sabda Nabi Saw:
‫ير أن‬ss‫اج غ‬ss‫ل الح‬ss‫ا يفع‬ss‫ افعلي كم‬: ‫ت‬ss‫ال لهالماحاض‬ss‫بي ق‬ss‫ا أن الن‬ss‫ي هللا عنه‬ss‫ة رض‬ss‫عن عائش‬
‫التطوفي بالبيت حتى تطهري‬
Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa Nabi Saw, berkata kepadanya ketika
mendapatkan haid (saat haji), “Kerjakan semuanya sebagaimana orang-orang
mengerjakan haji, namun jangan lakukan tawaf di kakbah hingga kamu suci.”
(HR. Bukhari)
Hadist ini hanya menebutkan bahwa bagi wanita yang sedang mendapat haid
tidak boleh melakukan tawaf, namun hadist ini tidak menyebutkan larangan untuk
melakukan sai. Sehingga sai tetap boleh dilakukan oleh orang yang berhadas.
e) Naik Ke Atas Bukit

Bagi laki-laki disunahkan untuk naik ke atas bukit shafa dan Marwa, saat di
atas lalu menghadap ke kiblat, namun bagi perempuan tidak disunahkan. Al-Imam
An-Nawawi menyebutkan setidaknya naik setinggi tubuhnya, meski tidak sampai
ke atas puncaknya.

Di masa lalu hal ini masih terasa berat, karena Shafa dan Marwa memang
masih berbentuk bukit. Namun di masa sekarang ini, keduanya sudah tidak lagi
berbentuk bukit, kecuali hanya gundukan batu buatan yang tingginya tidak
seberapa.
Apalagi bila saat melakukan sai dikerjakan di lantai dua taua tiga, kita sama
seklai sudah tidak lagi melihat gundukan batu-batuannya. Maka di masa sekarang
ini, sunahnya hanya menghadap ke kiblat atau ke Kakbah saja.

f) Berlari Kecil Pada bagian Tertentu

Disunahkan untuk berlari kecil pada bagian tertentu,khusus bagi laki-laki dan
tidak bagi perempuan.

Sunahnya menurut jumhur ulama adalah pergi dan pulang, yaitu dari Shafa
menuju Marwah ataupun dari Marwah menuju Shafa. Namun menurut Mazhab
Al-Malikiyah, sunahnya hanya sebatas dari Shafa Ke-Marwa, sedangkan kembali
dari Marwah ke Shafa bukan merupakan sunah.

Di masa sekarang ini, bagian tertentu itu ditandai dengan lampu berwarna
hijau sejauh beberapa meter. Sepanjang meter itu, gerakan sai yang hanya dengan
berjalan kaki biasa kemudian disunahkan untuk diubah menjadi berlai-lari kecil,
hingga batas lampu hijau itu selesai, kembali dengan berjalan biasa.
g) Al-Idhthiba’
Mahzab As-Syafi’iyah menyunahkan al-idthiba’ ketika melakukan sai. Yang
dimaksud dengan al-idthiba’ adalah mengenakan pakain ihram dengan cara kain
mengenakan baju ihram di bagian bawah ketiak kanan dan dililitkan ke atas
pundak kiri. Sehingga pundak kanan tidak tertutup, yang tertutup adalah pundak
kirinya.
Kesunahan ini sebenarnya berlaku pada saat melakukan ibadah tawaf. Namun
Mzahab asy-Syafi’iyah mengkiaskannya dengan sai.
h) Shalat Dua Rakaat Sesudahnya

Mazhab Al-Hanafiyah menyunahkan bagi mereka yang telah selesai


menjalankan ibadah sai untuk mendekati Kakbah dan melakukan shalat sunah dua
rakaat. Maksudnya agar sai itu diakhiri dengan shalat sunah sebagaimana yang
disunahkan pada tawaf.

Dalam masalah ini, para ulama di Mazhab Asy-Syafi’iyah berbeda pendapat.


Al-Juwaini menyatakan bahwa hal itu hasan (baik) dan menambahkan ketaatan.
Sebaliknya, Ibnu Shalah mengatakan justru hal itu kurang disukai karena
dianggap mengada-ada.
Al-imam An-Nawawi mengomentari bahwa apa yang dikatakan Ibnu Shalah itu
lebih kuat.

2. Larangan Sai

a). Berjual Beli

Di masa sekarang ini tidak terbayang orang melakukan jual-beli ketika sedang
melaksanakan ibadah sai, karena secara fisik, semua tempat sai sekarang ini telah
dijadikan satu tempat khusus, tidak ada pasar atau warung tempat berjualan.

Namun di masa lalu, tempat untuk melakukan sai memang melewati para
pedagang, di mana orang bisa berjual-beli.

Maka sangat dimungkinkan orang-orang yang sedang malaksanakan sai berhenti


sejenak sekedar untuk berbelanja. Dan hal itu termasuk di antara larangan sai yang
banyak disebutkan oleh para ulama di masa lalu.

b). Menunda Sai

Di antara larangan dalam ibadah haji sai adalah menunda pelaksanaannya dari
waktu yang utama, sehingga terpisah jauh waktunya dari ibadah tawaf sebelumnya,
yang seharusnya bersambung atau berdekatan.

Kecuali bila terputus karena ada keharusan untuk mengerjakan shalat fardu yang
sudah waktunya untuk dikerjakan. Hal ini tidak membatalkan sai dan tidak perlu
mengulanginya dari awal.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sai maknanya ada banyak, diantaranya masya yang artinya berjalan. Selain itu
juga bermakna qashada yang artinya menuju ke suatu arah. Dan juga bermakna ‘amila
yang artinya mengerjakan sesuatu.
Dalam Al-Quran, surat Ibrahim ayat 37, Allah berfirman, yang artinya: “Ya
Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah
yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang
dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka
jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari
buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”
Ayat di atas menjadi cikal bakal sejarah terjadinya prosesi ibadah sa’i yang kini
dilakukan oleh para jamaah haji dan umrah.Orang pertama yang melakukan sa’i antara
dua bukit tersebut adalah ibu Nabi Ismail. Waktu itu, Siti Hajar kebingungan karena
putranya, Nabi Ismail menangis kehausan. Ia mencari air ke sana ke mari untuk minum
anaknya.
Akhirnya Allah memancarkan sebuah mata air untuk mereka berdua. Mata air
tersebut kemudian dinamai Zam-zam. Inilah pelajaran dan hikmah terkait peristiwa
sebabnya sa’i, yaitu ketaatan Nabiyullah Ibrahim dalam melaksanakan perintah
Allah.Termasuk keyakinan beliau dan isterinya Siti Hajar akan jaminan rezeki Allah
dalam melaksanakan perintahnya.
Perjalanan antara Shafa dan Marwah mengandung pengertian memohon
pertolongan kepada Allah dalam menghadapi kesulitan, dan memohon ampunan dari
seluruh perbuatan dosa. Akhirnya, sa’idikenal sebagai sunnah atau tradisi keluarga nenek
moyang umat Islam yakni Nabiyullah Ibrahim, Siti Hajar dan Nabiyullah Ismail. Selain
itu, sa’i juga merupakan perintah Allah SWT dan yang disunnahkan Nabi Muhammad
SAW.
DAFTAR PUSTAKA

1. Al – Imam-Nawawi. Al-Majmu. Syara Al-Muhadzdzab, Jilid 8 hal 76.


2. Fathul Qadir, Jilid 2 hal 156
3. Az – Zuhaili, Wahbah. Kitab Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 3. Gema Insani Darul Fikir.
4. Ghazali, Al “Rahasia Haji dan Umrah”. (Bandung: Karisma, 1997)
5. Rasjid, Sulaiman. “Fiqih Islam”. (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2013)
6. Irkham, Slamet. 2014, skripsi, Strategi Bimbingan Manasik Haji Kelompok Bimbingan
Ibadah Haji (KBIH) Muhammadiyah Kota Semarang Dalam Mewujudkan Jama’ah Haji
Yang Mandiri, Semarang: Fakultas Dakwah & Komunikasi Institut Agama Islam Negeri
Walisongo Semarang.
7. Slamet Abidin, Fiqih Ibadah, Bandung: CV, Pustaka Setia, 1998.

Anda mungkin juga menyukai