Dosen Pengampu:
Disusun oleh :
2020/2021
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, pemilik segala sesuatu yang ada di jagad raya ini, yang
maha sempurna mengatur semua kehidupan. Karena berkat rahmatNya dapat diselesaikan
makalah ini. Tidak terlupakan juga salawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini berjudul Sai: Pengertian sai, syarat-syarat sai, rukun mengerjakan sai,
macam-macam sai, sunnah dan larangan sai, dan cara melaksanakan sai. untuk memenuhi
tugas matakuliah Fiqih Haji &Umrah. Dengan terselesaikannya makalah ini, penulis
mengucapkan terimakasih kepada kedua orangtua yang telah meluangkan waktunya untuk
memberikan doa dan dukungan yang besar kepada penulis. Tidak lupa juga kepada Bapak Dosen
Mufti Labib, yang telah memberikan pengetahuannya kepada penulis di bidang keilmuan Fiqih
Haji & Umrah. Tidak lupa pula kepada teman-sahabat yang telah memberikan sebagian
pengetahuan kepada penulis.
Penulis sebagai insani mengharapkan kritik dan saran terhadap makalah yang telah
penulis buat. Karena, tanpa adanya kritik dan saran dari para pembaca mungkin tidak akan ada
kemajuan dari penulis. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi amal saleh bagi kami
semua.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................................-
DAFTAR ISI.................................................................................................................................- -
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................--
A. Latar Belakang.............................................................................................................................--
B. Rumusan Masalah.......................................................................................................................- -
C. Tujuan..........................................................................................................................................- -
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................................- -
A. Pengertian Sai..............................................................................................................................- -
C. Macam-Macam Sai.....................................................................................................................- -
A. Kesimpulan...................................................................................................................................- -
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................- -
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Siti Hajar, ibu dari Nabiyullah Ismail adalah orang yang pertama kali melakukan
sa’i (berjalan dengan bergegas) antara Shafa dan Marwah sejauh 405 meter. Sebuah
aktivitas yang menjadi salah satu ritual dalam ibadah haji dan umrah yang dilakukan
antara bukit Shafa dan bukit Marwah yang terletak di Masjidil Haram.
Ya, apabila jamaah telah melaksanakan thawaf, hendaknya keluar melalui Baab
Ash-Shafa (pintu Shafa), menuju bukit Shafa lalu menaiki beberapa anak tangganya
untuk melakukan sa’i. Sebab, sa’i adalah salah satu rukun haji yang dilakukan dengan
jalan cepat, lebih cepat dari jalan biasa dan lebih lambat dari lari.
Sa’i merupakan berjalan dari bukit Shafa ke bukit Marwah dan sebaliknya, sebanyak
tujuh kali yang berakhir di Marwah. Artinya perjalanan dari Shafa ke Marwah dihitung
satu kali, begitu pula dari Marwah ke Shafa dihitung satu kali. Dalam praktiknya, rincian
perjalanan itu empat kali dari Shafa ke Marwah dan tiga kali dari Marwah ke Shafa
secara berurutan.
Dalam pelaksanaanya, sebaiknya sa’i dimulai dengan langkah-langkah biasa,
sampai melintasi Bathnul Waadiditandai dengan lampu berwarna hijau pertama. Dari
tempat itu, jamaah haji pria disunatkan untuk berlari-lari kecil sedangkan untuk jamaah
wanita berjalan cepatsampai di tanda hijau yang kedua. Lalu dari tempat itu, jamaah
kembali berjalan biasa.Bagi jamaah haji yang sakit boleh menggunakan kursi roda.
Apabila telah sampai di bukit Marwah, hendaknya menaiki bukit Marwah seperti halnya
ketika di bukit Shafa. Dengan menghadap ke arah Shafa dan berdoa seperti sebelumnya.
Dengan demikian, jamaah haji telah selesai melakukan satu kali lintasan sa’i. Dan jika
telah kembali lagi ke bukit Shafa, maka dihitung dua kali. Begitulah selanjutnya hingga
tujuh kali lintasan. Setelah menyelesaikan tujuh kali lintasan, maka jamaah haji telah
menyelesaikan dua hal, yakni thawaf qudum dan sa’i.
Apabila, jamaah haji memulai sa’inya dari bukit Marwah, maka sa’i dianggap sah.
Tapi,jamaah harus menambah satu perjalanan lagi sehingga berakhir di Marwah. Dalam
melakukan sa’i, jamaah dianjurkan bersuci lebih dulu, tapi bukan wajib seperti ketika
mengerjakan thawaf. Ibadah sa’i boleh dilakukan keadaan tidak berwudhu maupun dalam
keadaan haid atau nifas bagi kaum wanita.
Dulu, pada saat zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (SAW), bukit
Shafa dan Marwah berada di luar Masjidil Haram. Namun seiring dengan terus
berlangsungnya perluasan Masjidil Haram, maka area perlintasan tersebut kini menjadi
satu dengan Masjidil Haram, meskipun dari segi syar’i kedua bangunan ini tetap tidak
dapat dipersamakan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud sai, syarat, dan rukun sai?
2. Apa yang saja, sunnah dan larangan sai ?
3. Bagaimana cara melaksanakan sai?
C. Tujuan
Untuk mengetahui dan memahami pengertian, syarat, rukun, sunnah, larangan dan cara
melaksanakan sai. Karena, hal tersebut sangat penting untuk dipelajari dalam bekal beribadah
ke tanah suci.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sai
1. Bahasa
Istilah sai sebenranya aslinya berbunyi as-sa’yu ()السّعي. Karena huruf terakhir
tidak diucapkan huruf vokalnya, maka umumnya orang menyebut menjadi sai saja.
Secara bahasa sai maknanya ada banyak, diantaranya masya yang artinya
berjalan. Selain itu juga bermakna qashada yang artinya menuju ke suatu arah. Dan
juga bermakna ‘amila yang artinya mengerjakan sesuatu.
Namun makna yang terkait dengan ritual ibadah haji adalah masya atrinya
berjalan, karena antara makna bahasa dengan makna istilah dalam manasik haji nyaris
tidak ada perbedaan.
2. Istilah
Secara istilah fikih, ritual ibadah sai didefinisikan oleh para ulama sebagai
فطع المسافة الكائنة بين الصفا والمروة سبع مرات ذهابا وإيابا بعد طواف في
نسك حج أو عمرة
"menempuh jarak yang terbentang antara shafa dan marwah sebanyak tujuh kali
pulang pergi setelah ibadah tawaf dalam rangka manasik haji atau umrah".
2. Rukun Sai
Dalil yang mereka kemukakan adalah dalil dari Al-Qur’an dan as-Sunah, di
antaranya firman Allah Swt:
Hadist ini menggunakan lafaz kataba yang secara umum maknanya menjadikan
ibadah yang tidak boleh ditinggalkan alias rukun. Selain itu juga melihat kepada
oraktik sai yang diajarkan Rasulullah Saw kepada Abu Musa Al-Asy’ari
Rukun Sai adalah berjalan tujuh kali antara Shafa dan Marwah menurut jumhur
ulama. Dasarnya adalah apa yang dikerjakan oleh Rasulullah Saw, bahwa beliau
melaksanakan sai tujuh kali. Dan juga didasarkan atas apa yang telah menjadi ijmak
di antara seluruh umat Islam.
Bila seseorang belum menjalankan ketujuh putaran itu, maka sai itu tidak sah.
Dan bila dia telah meninggalkan tempat sai, maka dia harus kembali lagi
mengerjakan dari putaran yang pertama. Dan tidak boleh melakukan tahalul bila sai
belum dikerjakan.
Berniat untuk melakukan sai adalah termasuk sunah menurut jumhur ulama.
Sedangkan Mazhab Al-Malikiyah menyebutkan bahwa berniat termasuk syarat
sai.
Kalau dikatakan bahwa berniat sai itu hukumnya sunah, maka bila seseorang
secara tidak sengaja berjalan antara Shafa dan Marwa tanpa berniat melakukan
sai, lalu tiba-tiba dia ingin menjadikan langkah-langkah yang sudah dilakukan
tadi sebagai ibadah sai, hukumnya sudah dianggap sah.
Dan ini merupakan syariat Islam. Sebagaimana tidak ada syarat niat wukuf di
Arafah.
Namun di masa sekarang ini, dengan jumlah tiga juta jamaah haji, nyaris
mustahil hal itu dilakukan oleh semua orang dalam waktu yang hampir
bersamaan.
Maka sebagai gantinya, tidak perlu mengusap secara langsung cukup dengan
melambaikan tangan saja dari kejauhan, yaitu dari atas Shafa.
Bagi laki-laki disunahkan untuk naik ke atas bukit shafa dan Marwa, saat di
atas lalu menghadap ke kiblat, namun bagi perempuan tidak disunahkan. Al-Imam
An-Nawawi menyebutkan setidaknya naik setinggi tubuhnya, meski tidak sampai
ke atas puncaknya.
Di masa lalu hal ini masih terasa berat, karena Shafa dan Marwa memang
masih berbentuk bukit. Namun di masa sekarang ini, keduanya sudah tidak lagi
berbentuk bukit, kecuali hanya gundukan batu buatan yang tingginya tidak
seberapa.
Apalagi bila saat melakukan sai dikerjakan di lantai dua taua tiga, kita sama
seklai sudah tidak lagi melihat gundukan batu-batuannya. Maka di masa sekarang
ini, sunahnya hanya menghadap ke kiblat atau ke Kakbah saja.
Disunahkan untuk berlari kecil pada bagian tertentu,khusus bagi laki-laki dan
tidak bagi perempuan.
Sunahnya menurut jumhur ulama adalah pergi dan pulang, yaitu dari Shafa
menuju Marwah ataupun dari Marwah menuju Shafa. Namun menurut Mazhab
Al-Malikiyah, sunahnya hanya sebatas dari Shafa Ke-Marwa, sedangkan kembali
dari Marwah ke Shafa bukan merupakan sunah.
Di masa sekarang ini, bagian tertentu itu ditandai dengan lampu berwarna
hijau sejauh beberapa meter. Sepanjang meter itu, gerakan sai yang hanya dengan
berjalan kaki biasa kemudian disunahkan untuk diubah menjadi berlai-lari kecil,
hingga batas lampu hijau itu selesai, kembali dengan berjalan biasa.
g) Al-Idhthiba’
Mahzab As-Syafi’iyah menyunahkan al-idthiba’ ketika melakukan sai. Yang
dimaksud dengan al-idthiba’ adalah mengenakan pakain ihram dengan cara kain
mengenakan baju ihram di bagian bawah ketiak kanan dan dililitkan ke atas
pundak kiri. Sehingga pundak kanan tidak tertutup, yang tertutup adalah pundak
kirinya.
Kesunahan ini sebenarnya berlaku pada saat melakukan ibadah tawaf. Namun
Mzahab asy-Syafi’iyah mengkiaskannya dengan sai.
h) Shalat Dua Rakaat Sesudahnya
2. Larangan Sai
Di masa sekarang ini tidak terbayang orang melakukan jual-beli ketika sedang
melaksanakan ibadah sai, karena secara fisik, semua tempat sai sekarang ini telah
dijadikan satu tempat khusus, tidak ada pasar atau warung tempat berjualan.
Namun di masa lalu, tempat untuk melakukan sai memang melewati para
pedagang, di mana orang bisa berjual-beli.
Di antara larangan dalam ibadah haji sai adalah menunda pelaksanaannya dari
waktu yang utama, sehingga terpisah jauh waktunya dari ibadah tawaf sebelumnya,
yang seharusnya bersambung atau berdekatan.
Kecuali bila terputus karena ada keharusan untuk mengerjakan shalat fardu yang
sudah waktunya untuk dikerjakan. Hal ini tidak membatalkan sai dan tidak perlu
mengulanginya dari awal.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sai maknanya ada banyak, diantaranya masya yang artinya berjalan. Selain itu
juga bermakna qashada yang artinya menuju ke suatu arah. Dan juga bermakna ‘amila
yang artinya mengerjakan sesuatu.
Dalam Al-Quran, surat Ibrahim ayat 37, Allah berfirman, yang artinya: “Ya
Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah
yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang
dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka
jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari
buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”
Ayat di atas menjadi cikal bakal sejarah terjadinya prosesi ibadah sa’i yang kini
dilakukan oleh para jamaah haji dan umrah.Orang pertama yang melakukan sa’i antara
dua bukit tersebut adalah ibu Nabi Ismail. Waktu itu, Siti Hajar kebingungan karena
putranya, Nabi Ismail menangis kehausan. Ia mencari air ke sana ke mari untuk minum
anaknya.
Akhirnya Allah memancarkan sebuah mata air untuk mereka berdua. Mata air
tersebut kemudian dinamai Zam-zam. Inilah pelajaran dan hikmah terkait peristiwa
sebabnya sa’i, yaitu ketaatan Nabiyullah Ibrahim dalam melaksanakan perintah
Allah.Termasuk keyakinan beliau dan isterinya Siti Hajar akan jaminan rezeki Allah
dalam melaksanakan perintahnya.
Perjalanan antara Shafa dan Marwah mengandung pengertian memohon
pertolongan kepada Allah dalam menghadapi kesulitan, dan memohon ampunan dari
seluruh perbuatan dosa. Akhirnya, sa’idikenal sebagai sunnah atau tradisi keluarga nenek
moyang umat Islam yakni Nabiyullah Ibrahim, Siti Hajar dan Nabiyullah Ismail. Selain
itu, sa’i juga merupakan perintah Allah SWT dan yang disunnahkan Nabi Muhammad
SAW.
DAFTAR PUSTAKA