Anda di halaman 1dari 5

PANCASILA – HAL 363-368

Sebagai tandingan dari perspektif “modernis”, muncul perspektif “primordialis” serta


versi yang lebih moderat dalam perspektif “penrenialis”. Perspektif “primordialis”, seperti
ditunjukkan oleh Clifford Geertz (1963), berpandangan bahwa bangsa adalah suatu pemberia
historis (historical givens), yang terus hadir dalam sejarah manusia dan memperlihatkan
kekuatan inheren pada masa lalu dan generasi masa kini. Sedangkan perspektif “perenialis”,
seperti ditunjukkan oleh Adrian Hastings (1997), memandang bahwa bangsa bisa ditemukan di
pelbagai zaman sebelum periode modern. Singkat kata, dalam pandangan kedua perspektif I I,
bangsa modern bukanlah fenomena baru karena adanya keberlanjutan dari anasir lama. Dengan
menekankan pada dimensi perubahan (diakronik), perspektif ini kurang memerhatikan dimensi
perubahan (sinkronik) dalam formasi bangsa modern.

Diluar kedua kutub teori tentang “bangsa”, muncul usaha untuk mencari titik-tengah
(middle-ground). Usaha ini antara lain diwakili oleh perspektif “etnosimbolis” (ethnosymbolist),
seperti ditunjukkan dalan karya John Armstrong (1982) dan Anthony Smith (1986). Perspektif
ini memandang bahwa kelahiran bangsa pasca-abad ke-18 merupakan suatu spesies baru dari
kelompok etnis yang pembentukannya harus dimengerti dalam jangka panjang ( la longue
durée). Dari perspektif primordialis, etnosimbolis mengambil sisi penting perlunya
memperhitungkan kekuatan efektif berjangka panjang dari sentimen dan simbol-simbol etnis dan
dari perspektif “perenialis”, etnosimbolis mengambil sisi perlunya memperhitungkan kehadiran
dunia politik etnis yang kompleks dalam sejarah dan perannya dalam menyediakan blok
bangunan (building blocs) bagi bangsa modern. Di sisi lain, etnosimbolis setuju dengan argumen
modernis tentang perbdaan bangsa-bangsa yang muncul pasca abad ke-18 serta peran penting
yang dimainkan oleh ideologi nasionalisme dan proses sosial baru seperti sekularisasi,
birokratisasi, dan industrialisasi.

Perspektif “etnosimbolis” lebih mendekati konsepsi kebangsaan di Indonesia karena


tuntutan para pendiri bangsa, terutama di BPUPK, untuk mencari titik-temu diantara kutub
pandangan yang saling berseberangan. Konsepsi kebangsaan Indonesia merupakan suatu usaha
untuk mencari persatuan dalam perbedaan. Persatuan diupayakan dengan menghadirkan loyalitas
baru dan kebaruan dalam bayangan komunitas politik. Hal ini terutama direpresentasikan oleh
negara persatuan-dengan segala simbolnya--yang mengatasi paham golongan dan perseorangan,
konstitusi dan perundang-undangan, ideologi negara (Pancasila), kesamaan kewargaan di depan
hukum, dan bahsa perstauan. Perbedaan dimungkinkan terutama dengan menghormati masa lalu,
keberlanjutan etnisitas, warisan kerajaan, local genius, dan kearifan tradisional, dan bahasa
daerah, penghormatan hak-hak adat dan golongan minoritas, serta kebebasan untuk memeluk dan
mengembang agama dan keyakinan masing-masing.

Bukanlah suatu kecelakaan jika negara Indonesia harus menampung kebangsaan yang
bercorak multikultural. Keragaman tidak selalu berakhir dengan pertikaian asal tersedia sistem
pengelolaan negara yang kongruen dengan pluralitas kebangsaan. Kita juga tidak perlu terobsesi
dengan penyeragaman, karena kesatuan bukanlah ukuran kedamaian dan kesejahteraan . pada
kenyataannya, realitas sejagad kontemporer menunjukkan banyak negara yangsanggup
menampung aneka bangsa, sehingga yang terakhir ini lebih tepat dikatakan sebagai “nations-
state” ketimbang “nation-state”. Sebutlah contohnya United Kingdom of Great Britain and
Ireland dan Negara Perancis. Jika orang-orang dari Britania raya ditanya: “what is your
nationality?”, jawabannya bisa jadi English, Wales, Scotish, atau bahkan Irish. Namun jik
ditanya: “ what is your citizenship?”, jawabannya adalah British. Tengok juga Perancis karena
Negara Perancis merupakan hasil pengambilalihan dari bekas kerajaan (dynasty state), seluruh
penduduk di wilayah bekas jajahan Perancis mempunyai hak untuk menjadi warga negara
Perancis. Dengan demikian, negara Perancis dihuni oleh warga negara dengan imajinasi
kebangsaan yang beragam. Singkat kata, suatu negara dengan banyak bangsa bukanlah suatu
yang mustahil. Kelangsungannya dimungkinkan asal didukung oleh keberadaan negara yang
mampu menegakkan prinsip-prinsip supremasi hukum, keamanan, ketertiban, dan keadilan.

Kebangsaan multikultural hanya bisa dipertahankan oleh suatu budaya politik jika
kewargaan demokratis (democratic citizenship) bisa menjamin bukan saja hak-hak sipil dan
politik setiap individu (individual rights), tetapi juga hak-hak sosial-budaya kelompok
masyarakat (communitarian rights). Seperti kata Habermas (1999: 119), “Warga harus dapat
mengalami nilai keadilan dari hak-haknya juga dalam bentuk keamanan sosial dang pengakuan
secara timbal balik diantara pelbagai bentuk budaya yang berbeda dari kehidupan” (The citizen
must be able to experience the fair valus of their rights also in the form pf social security and the
reciprocal recognition of different cultural forms of life).

Masalah multikulturalisme bisa dijelaskan dengan fakta bahwa setiap warga negara,
bahkan jika dipandang sebagai subjek hukum, bukanlah individu-individu abstrak yang tercabut
dari akar-akar sosialnya. Pengakuan terhadap hak-hak budaya kelompok etnis terutama golongan
minoritas, harus dibuka terlebih dahulu sebagai prakondisi menuju pembentukan individu warga
negara yang bisa melampaui identitas etniknya (post ethnic condition).

Dalam kaitan dengan hak-hak individu dan kelompok, David Hollinger (1995)
membedakan dua jenis multikulturalisme: (1) “model pluralis” yang memperlakukan kelompok
sebagai sesuatu yang permanen, dan sebagai subjek dari hak-hak kelompok sebagai sesuatu yang
permanen, dan sebagai subjek dari hak-hak kelompok (group rights), (2) “model kosmopolitan”
yang mengidealkan peleburan batas-batas kelompok, afiliasi ganda, dan identitas hibrida yang
menekankan hak-hak individu (individual rights).

Mengacu pada pengalaman “melting pot” Amerika Serikat, Hollinger lebih mengidealkan
model kosmopolitan. Menurutnya, model ini memberi fleksibilitas kepada individu untuk
menentukan seberapa ketat atau seberapa cair ikatannya dengan salah satu atau pelbagai
komunitas. Dengan demikian, identitas bukanlah sesuatu yang fixed, melainkan senantiasa
dalam proses menjadi.

Sementara itu, Will Kymlicka (2000), dengan merujuk pada kebijakan multikulturalisme
di Kanada, menghadirkan kesimpulan yang lain. Menurutnya, di satu sisi, Kanada menerapkan
“model pluralis” dengan mengakui hak-hak aneka kelompok etnis untuk mengekspresikan
identitas masing-masing di ruang publik. Di sisi cara mendorong pelbagai kelompok etnis untuk
saling berinteraksi dan berbagi warisan budaya mereka, serta berpartisipasi bersama dalam
institusi-intitusi pendidikan, ekonomi, politik, dan hukum. Dalam jangka panjang, diharapkan
terjadinya proses penyerbukan silang budaya yang bisa mencairkan hambatan-hambatan
prasangka antarkelompok, mendorong hibriditas budaya, yang pada akhirnya lebih memberi
keleluasaan bagi individu untuk memenuhi hak dan menentukan pilihannya sendiri.

Sejarah membuktikan, nasionalisme politik Indonesia cukup mampu merajut kepentingan


masyarakat plural yang sulit menemukan kehendak bersama. Akan tetapi, keampuhan
nasionalisme politikal ini baru teruji sebagai kekuatan nasionalisme negatif-defensif, ketika
dihadapkan pada keburukan musun bersama dari luar (penjajahan). Padahal, dengan berlalunya
kolonial, proyek kebanggan Indonesia yang berlandaskan pada penemuan “batas” dan “lawan”
dengan kolonial itu bersifa kaladuwarsa.
Nasionalisme politikal dituntut merealisasikan cita-cita kemerdekaan dan tujuan
nasionalnya. Untuk mempertahankan kehendak bersama dan horizontal comradeship,
nasionalisme harus memecahkan masalah-masalah konkret, yang sumber-sumber masalahnya
tidak bisa melulu dialamatkan kepada kejahatan musuh dari luar.

Ketika nasionalisme politikal gagal merealisasikan janji-janjinya, anasir-anasir


nasionalisme kultural akan menguat kembali. Hendaklah disadari pula bahwa kesadaran
(rasionalitas) nasionalisme politik tidaklah beroperasi dalam suatu tabula rasa, melainkan
tumbuh diatas pola-pola ketidaksadaran kolektif terdahulu, yang disebut Carl Gustav Jung
sebagai archetypes, yakni pelbagai bentuk sumber daya etno-kumunal seperti imaji, simbol,
mitos, dan ritus etno-religius yang diwariskan ribuan tahun lamanya.

Berbeda dengan keyakinan utopia perspektif modernis yang percaya bahwa sekali negara
bangsa terbentuk, negara nasional akan beroperasi sebagai satu kesatuan sosial yang koheren,
yang pembangunannya akan diarahkan dari pusat politik. Kenyataannya selalu ada batas
sekularisasi, rasionalisasi dan kemampuan negara-nasional untuk memberikan makna dan
mempertahankan dominasi terhadap penduduknya.

Bahkan Perancis, sebagai contoh terbaik dari negara sipik (civic-state) yang berbasis
konsepsi nasion yang bersifat rasional dan voluntaris, pada kenyataannya tidak bisa sepenuhnya
menghabisi simbol-simbol etno-komunal terdahulu. Universalisme dari Revolusi Perancis
berpijak pada konsepsi etnis terdahulu bahwa Perancis memiliki mis khusus terhadap Eropa
sebagai pewaris peradaban Romawi dan Caroling dan sebagai penjaga terpilih dari Kekristenan
Katolik Eropa (Armstrong, 1982). Lebih dari itu, meskipun Republik Perancis mengemban
negara sekuler yang hidup tersentralisasi secara kuat, kenyataannya tidak pernah mampu untuk
mencerabut budaya Katolik yang hidup di tengah-tengah warganya, yang mempertahankan
sumber-sumber tandingan terhadap republikan yang berlanjut hingga saat ini (Hutchison, 2005:
38).

Perlu juga diingat bahwa perubahan-perubahan alam yang tidak terduga--penyakit,


kelaparan, kerusakan ekologis, dan pergeseran pola fertilitas-- memiliki dampak distruptif dalam
relasi antarpenduduk, yang pada gilirannya juga memengaruhi keampuhan nasionalisme politik.
Ketidakmampuan pemerintah Britania untuk mengatasi kelaparan hebat di Irlandia pada
pertengahan abad ke-19 menyebabkan alienasi secara permanen orang-orang Katolik Irlandia
dari pertautannya dengan Britania.

Di dalam ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintahan pusat, dan didalam kompetisi


antarkelompok etno-komunal, kerap kali usaha untuk bertahan hidup diperjuangkan dengan
kembali berpaling ke sumber-sumber moral dan politik dari nasionalisme kultural. Berkaitan
dengan hal itu, ketidakmampuan pemerintahan dan elite politik untuk membuat politik bermakna
bagi warganya, mendorong mereka berpaling ke simbol dan sentimen etno-komunal dalam
rangka memobilisasi dukungan massa.

Tantangan menegakkan efektivitas nasionalisme politik itu lebih sulit bagi kebangsaan
majemuk seperti Indonesia dengan kehendak untuk menampung unsur-unsur lama dari kergaman
tradisi Nusantara ke dalam wadah kebangsaan baru. Namun demikian, tidaklah berarti tidak
mungkin. Seperti kata Arend Lijphart (1977), adalah mungkin untuk mengembangkan
nasionalisme dan pemerintahan demokratis yang tsabil dalam masyarakat plural, sejauh elite
politiknya mau bekerja sama. Elite settlement merupakan kunci penting dalam usaha mencari
titik-temu dari kebangsaan multikultural.

Pada akhirnya, seperti dikatakan oleh John Rawls (1980: 540), sumber persatuan dari
kebangsaan multikultural adalah apa yang disebutnya sebagai “konsepsi keadilan bersama” (a
share conception of justice). Dalam pandangannya, “Meskipun suatu masyarakat yag tertata baik
tercerai-berai dan pluralistis… kesepakatan publik atas persoalan keadilan sosial dan politik
mendukung kesetiakawanan sipil dan menyelamatkan ikatan asosiasi” (Although a well-ordered
society is divided and pluralistic… public aggreement on questionns of policital and social
justice supports ties of civic friendship and secures the bonds of association).

Anda mungkin juga menyukai