Anda di halaman 1dari 12

SEkolah Tinggi Teologi Jakarta

Kabar Baik

I. Pengantar

Mereka tidak malas. Para buruh dan petani bekerja dengan sangat tekun. Ketekunan para
buruh dan petani selalu kita dengar dan saksikan hampir setiap hari. Akan tetapi, banyak dari
mereka ini, buruh dan petani, yang tetap tinggal dalam kondisi miskin.

Kondisi miskin adalah kondisi dimana orang hidup dalam kekurangan, kemelaratan, dan
kesengsaraan. Soritua Nababan mendeskripsikan kondisi miskin dengan aksentuasi yang kuat
dan jelas, yakni kondisi dimana orang hidup dengan hak yang terampas, mereka berada
dalam situasi haus dan lapar, tak bertempat tinggal, dan dikejar-kejar; kondisi dimana orang
kehilangan unsur-unsur minimal hidup, kehilangan jaminan sosial dan ekonomis, kekurangan
material, dan juga berarti kelemahan dan ketidakmampuan.(Nababan 1966, 21)

Berdasarkan kondisi di atas, tepat kalau dikatakan bahwa orang miskin adalah orang
sengsara. Tulisan ini memakai judul “Kabar Baik Kepada Orang-Orang Sengsara” dengan
maksud mengangkat sisi sengsara dari orang miskin dan kemiskinannya, sekaligus menolak
untuk meromantisir kemiskinan sebagai sebuah sikap saleh. Kemiskinan bukanlah takdir.
Allah tak menghendaki manusia hidup sengsara. Dalam sejarah (iman), Allah justru
membongkar kuasa dan struktur kemiskinan serta mengundang manusia menjadi mitra-Nya
untuk memberantas kemiskinan.

Guna mendukung posisi dan sikap di atas, kami akan menelusuri dua teks Alkitab, yakni
Yesaya 61:1-3 dan Lukas 4:18,19,21, mengintepretasinya, lalu mencoba untuk
merelevansikannya dengan kondisi kita.

I.1. Alasan Pemilihan Teks

Kedua teks tersebut kami pilih sebab keduanya pararel. Lebih tepatnya, teks di Lukas
mengutip teks di Yesaya. Kedua teks ini juga sudah sangat familiar, khususnya di kalangan
jemaat-jemaat Kristen. Kedua teks tersebut sering dibawakan dalam khotbah, atau ditulis
dalam renungan di gereja-gereja. Akan tetapi, kita masih menjumpai bahwa kedua teks ini
kerap dipersamakan begitu saja. Konteks masing-masing teks dilupakan dan keunikan tiap-
tiap teks pun diabaikan.

1
2

Selain itu, masih pula terdapat kecenderungan dari apa yang dikatakan oleh James
Barr, bahwa Perjanjian Lama dilihat hanya sebagai prolegomena historis terhadap Perjanjian
Baru (Barr 2012, 223). Dalam hal ini teks di Yesaya 61:1-3 dibaca sebagai pengantar bagi
penggenapan teks Lukas 4:18-19 di dalam diri Yesus Kristus. Hasil dari pembacaan semacam
ini adalah pengukuhan pada dimensi ontologis Yesus Kristus dan pengabaian terhadap aspek
fungsional dari karya Yesus sebagai agen yang di utus Allah untuk menghadirkan tanda-tanda
Kerajaan Allah di tengah dunia, khususnya di antara orang-orang miskin dan marginal yang
sengsara.

Karena itu, kedua teks ini kami akan baca dan tempatkan dalam konteks masing-
masing, mengambil keunikan beritanya, dan kemudian merangkainya menjadi sebuah
pemikiran teologi biblika yang kiranya bermanfaat bagi gereja-gereja di Indonesia dalam
menanggapi dan merespon realita kemiskinan di lingkungannya.

II. Teks kitab Nabi Yesaya 61:1-3


(1) Roh Tuhan ALLAH ada padaku, oleh karena TUHAN telah mengurapi aku; Ia
telah mengutus Aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara,
dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk menyampaikan pembebasan
kepada orang-orang tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari
penjara, (2) untuk memberitakan tahun rahmat TUHAN dan hari pembalasan Allah
kita, untuk menghibur semua orang berkabung, (3) untuk mengaruniakan kepada
mereka perhiasan kepala ganti abu, minyak untuk pesta ganti kain kabung, nyanyian
puji-pujian ganti semangat yang pudar, supaya orang menyebutkan mereka “pohon
terbantin kebenaran,” “tanaman TUHAN” untuk memperlihatkan keagungan-Nya.

II.1. Latar Belakang Teks dan Konteks kitab Yesaya 61:1-3

Telah lazim di kalangan ahli biblika bahwa Yesaya 61:1-3 adalah bagian dari Trito
Yesaya atau Yesaya yang ketiga. Trito Yesaya dimulai dari pasal 56 sampai pasal 66.
Menurut Groenen, pasal-pasal tersebut dihimpunkan ke dalam Trito Yesaya berdasarkan
penilaian bahwa pasal-pasal tersebut senada dalam hal menyuarakan berita pengharapan bagi
orang Israel pasca pembuangan di Babel (Groenen 1992, 253).

Trito Yesaya sendiri terdiri dari berbagai lapisan. Artinya, Trito Yesaya adalah hasil
peredaksian dari berbagai bahan yang ditulis oleh beberapa penulis yang hidup di jaman yang
berbeda-beda. Ada bahan yang ditulis di jaman raja-raja (sebelum zaman pembuangan),
misalnya pasal 56:9-57:13. Ada juga bahan-bahan yang muncul di tengah-tengah kaum
buangan, misalnya pasal 63:7- 64:12. Dan sebagian bahan lainnya disampaikan pada masa
3

pasca pembuangan, ketika sebagian besar orang Israel sudah kembali ke Yerusalem. Barth
dan Frommel mencatat apa yang telah disepakati secara umum oleh para ahli, bahwa tak
diketahui siapa mereka yang menuliskan bahan-bahan dalam Trito Yesaya ini, pun waktu
penulisan dan pembukuannya (Barth dan Frommel 2012, 394).

Begitu juga sang tokoh dalam Yesaya 61:1-11, yang menyebut dirinya sebagai orang
yang diurapi Allah, kita tidak mengetahui siapa dia. Nabi anonim ini oleh Groenen disebut
sebagai ahli waris Deutro Yesaya, sedangkan Lasor menamainya murid Deutero Yesaya.
Bagi kami sendiri, sang nabi ini adalah orang yang sudah mengenal pemberitaan Deutero
Yesaya. Dan kami sepakat dengan Barth dan Frommel, bahwa ketika sang nabi ini
menyampaikan perkataannya, ia dan orang Israel di Yerusalem pasca pembuangan belum
mengalami perubahan yang didatangkan Ezra dan Nehemia (Barth dan Frommel 2012, 293).

Situasi di Yerusalem tidak seindah apa yang dinubuatkan oleh Deutero Yesaya.
Kesejahteraan yang dinantikan Hagai dan Zakaria tak kunjung datang. Kebanyakan orang
Yehuda menderita kekurangan sedangkan sebagian kecil warga kota menjadi kaya. Terjadi
apa yang kita namakan kesenjangan sosial-ekonomi yang mencemaskan. Situasi kian
merisaukan ketika ibadah ritual giat dilakukan, tetapi kesalehan sosial tak banyak mendapat
perhatian.Orang sibuk menjalankan upacara keagamaan, tetapi kurang perhatian terhadap
sesamanya yang menderita. Terjadi pengeroposan kepedulian sosial. Alhasil, yang kaya
semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin.

Dalam situasi seperti itu, tampillah sang nabi anonim dalam Yesaya 61. Ia bersandar
pada pemberitaan Deutero Yesaya. Itu berarti bahwa sang nabi anonim ini ingin
mengaktualkan apa yang dahulu diserukan nabi Deutero Yesaya di dalam zamannya di masa
kini, dengan mengingat bahwa Roh Tuhan bebas dan menyertai angkatan demi angkatan
untuk menggugah situasi (Barth dan Frommel 2012, 272). Ia ingin membangkitkan harapan
dan mengajak Israel untuk hidup dalam iman dan pengharapan akan Yahwe, Allah yang
gandrung akan keadilan. Brueggemann mencatat, Yahwe dalam tradisi kenabian di Israel
selalu tampil sebagai pelaku pembaruan sosial yang tak kenal lelah (Brueggemann 2009,
273). Karena itu, dengan mengaktualkan kembali nyanyian “hamba Yahwe ini”, sang nabi
anonim ingin menggelorakan dan mengaktualkan kembali pesan transformasi dalam praksis
kehidupan Israel pasca pembuangan.

II.2. Tafsiran Teks kitab Yesaya 61:1-3


4

Ayat 1: Roh Tuhan ALLAH ada padaku, oleh karena TUHAN telah mengurapi
aku; Ia telah mengutus Aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang
sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk menyampaikan
pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan kepada orang-orang yang
terkurung kelepasan dari penjara

Roh Tuhan Allah ada padaku, mengingatkan kembali pada nyanyian hamba dalam
pasal 42:1. John Goldingay melihat bahwa dalam hal ini sang nabi menempatkan dirinya atau
mendasarkan pemberitaannya pada Deutero Yesaya. Ia mau menubuhkan nyanyian hamba
dalam Deutero Yesaya itu di masanya (Goldingay 2001, 345-346). Akan tetapi, “ada
padaku” janganlah diartikan seolah-olah nabi mempunyai Roh pada dirinya, melainkan Allah
yang menaruh Roh-Nya ke atasnya (Barth 2003, 57).

Hal tersebut diperjelas dalam anak kalimat selanjutnya, oleh karena TUHAN telah
mengurapi aku. Di Israel, raja dan imam ketika dilantik kepala mereka diurapi dengan
minyak. Akan tetapi, sang nabi yang diurapi ini tidak dengan minyak, tetapi diurapi dengan
Roh Allah. Hal ini mengingatkan kita juga pada pengurapan Daud menjadi raja, dimana Roh
Tuhan hinggap dan berkuasa pada Daud (1 Sam. 16:13).1 Seperti Daud yang diurapi dan di
utus kepada rakyat atau umat, maka demikian juga sang nabi anonim ini. Ia diurapi oleh Roh
Allah dan diutus kepada umat (Goldingay 2001, 346). Dengan demikian, pengurapan ini
menunjukan kepada penugasan, fokus tugas, dan otoritas. Ia bicara dan bertugas dengan
wibawa dan perintah Yahwe di waktu dan tempat tertentu.

Brueggemann mencatat bahwa para nabi dalam tradisi Israel berbicara karena dipaksa
oleh satu kekuatan yang tak dapat dijelaskan. Mereka kadang terlihat aneh dan
menyampaikan sesuatu secara otentik. Mereka hadir dan berbicara saat terjadi krisis. Mereka
sangat imajinatif dan mempunyai kepekaan yang luar biasa terhadap kemalangan
(Brueggemann 2009, 935-941). Di ayat 1 dari Yesaya 61 ini, sang nabi tampil kepada orang-
orang sengsara (anawim, poor), mereka yang remuk hati, para tawanan, dan kepada mereka
ini diwartakan kabar baik. Di sini berarti ada keberpihakan Yahwe pada orang-orang tertentu,
yakni mereka yang termarginalkan. M.C.Barth mengatakan bahwa Injil atau kabar baik ini
diberitakan bukan kepada Israel atau Yerusalem seluruhnya, tetapi hanya kepada orang-
orang sengsara, orang-orang yang berkekurangan, miskin, dan tertekan (Barth 2003, 58).
Namun, pada sisi lain kita harus pula menegaskan bahwa Yahwe sebagai sosok yang
gandrung dengan keadilan pun menentang setiap tindakan sewenang-wenang dari orang-

1
Yohanes Krismantyo Susanta, Mengenal Dunia Perjanjian Lama: Suatu Pengantar (Surakarta: Kekata
Publisher, 2018).
5

orang yang menyalahgunakan kekuasaan, baik kekuasaan jahat dari bangsa-bangsa asing,
maupun dari orang Israel sendiri.

Istilah “orang-orang sengsara” dalam teks ini berasal dari kata anawim. Ada yang
mengartikan anawim secara spiritual sebagai orang-orang yang saleh dan rendah hati. Tetapi
dalam konteks ini kami lebih menyukai terjemahan anawim sebagai orang-orang miskin,
orang-orang yang sengsara. Hal ini dikarenakan anawim dalam banyak kesempatan, seperti
yang diperlihatkan oleh Erick Sudarma, dipakai secara bergantian dengan istilah ani yang
berarti miskin secara ekonomi (Sudarma 2012, 1-4). Istilah ani dipakai untuk menyebut
orang-orang yang menjadi korban kelaliman dari orang-orang yang lebih kuat darinya (Yes.
3:14; Yer. 22:16); mereka yang mendapat perlindungan Yahwe dan yang dalam persekutuan
umat Yahwe harus dipandang sebagai saudara (Yes.14:32; Yes.58:7); dan juga untuk
menyebut orang-orang yang miskin karena kesalahannya sendiri (Yes.51:21) (Ihromi 1973,
6). Jadi, menurut kami, anawim dalam teks ini adalah orang-orang yang dalam situasi objektif
miskin dan sengsara. Kepada merekalah sang nabi memberitakan kabar baik, berita kesukaan
atau kabar pembebasan. Akan tetapi, menurut kami, kabar baik ini tidak terbatas hanya pada
orang-orang miskin dan sengsara saja, tetapi berita ini pun harus didengar oleh semua orang
Israel, termasuk mereka yang melakukan kejahatan dengan memanipulasi orang-orang miskin
dan lemah, supaya keadilan dan kepedulian yang diharapkan Yahwe bisa terwujud.

Ayat 2 dan 3 : untuk memberitakan tahun rahmat TUHAN dan hari


pembalasan Allah kita, untuk menghibur semua orang berkabung, untuk
mengaruniakan kepada mereka perhiasan kepala ganti abu, minyak untuk pesta
ganti kain kabung, nyanyian puji-pujian ganti semangat yang pudar, supaya orang
menyebutkan mereka “pohon terbantin kebenaran,” “tanaman TUHAN” untuk
memperlihatkan keagungan-Nya.

Dari ayat kedua dan ketiga kita melihat bahwa dalam kabar baik itu, Yahwe
membalikan situasi anawim atau orang-orang sengsara.Yang berkabung menjadi terhibur dan
bersukacita, kepala yang berabu dipakaikan perhiasan, minyak pesta dikenakan mengganti
kain kabung, dan di situ terdengar nyanyian pujian menggeser semangat yang patah. Kiasan
ini menggambarkan gerak aktif Yahwe melakukan transformasi melalui sebuah pembalikan
total, sehingga orang dapat melihat dan menyebut mereka “pohon terbantin kebenaran”,
“tanaman TUHAN” untuk memperlihatkan keagungan-Nya. Kiasan “pohon terbantin”
mengingatkan pada perjanjian yang Allah ikat dengan Abraham, leluhur Israel (Kej.12:6).
Dengan mengatakan hal ini berarti sang nabi menghendaki agar Israel dapat hidup dalam
6

ikatan perjanjian, dimana mereka harus menyaksikan kebenaran dan keadilan Allah kepada
bangsa-bangsa, dengan atau melalui kepedulian kepada orang-orang sengsara.

Selanjutnya kita melihat dalam ayat kedua bagaimana kabar baik dan gerak
transformasi Yahwe secara kreatif dihubungkan oleh nabi dengan “tahun rahmat Tuhan” dan
“hari pembalasan Tuhan.” Tahun atau hari pembalasan berlaku bagi mereka yang menentang
keputusan Allah. Di mana “hukum terserak ke belakang dan keadilan berdiri jauh-jauh”, di
mana “orang yang melawan kejahatan menjadi korban penindasan, di situ TUHAN
melihatnya; jahat di mata-Nya bahwa tidak ada hukum/keadilan”(Yes.59:14-15). Karena
perbuatan ketidak-adilan itulah mereka terhukum (Barth dan Frommel 2012, 396).

Sementara itu, tahun rahmat yang diperdengarkan oleh sang nabi, oleh para ahli
dihubungkan dengan tahun Sabat dan tahun Yobel (Barth 2003, 58). Inilah tahun
penghapusan hutang. Tahun dimana para budak dibebaskan, orang-orang yang tertawan
mendapatkan kembali kemerdekaan. Tahun Sabat yang dikembangkan dari hari Sabat dalam
kehidupan Israel bisa kita sebut sebagai tahun kepedulian, sebab seperti yang dikatakan oleh
Samuele Bacchiocchi, kepedulian kepada yang menderita dan sengsara adalah dimensi Sabat
yang tidak dapat diabaikan dan dilupakan. Dimensi ini sama dengan ketaatan dan kecintaan
kepada Allah (Bacchiocchi 1991, 76-77).

II.3. Inti Pesan

Dengan demikian kami mengambil kesimpulan bahwa nabi dalam kitab Yesaya 61:1-
3 adalah sosok nabi yang dengan otoritas Yahwe memberitakan kabar baik melalui upaya
penegakan hukum (Sabat) dan keadilan bagi orang-orang sengsara, kaum miskin yang
kehilangan kebebasan dan hak untuk hidup layak sebagai umat Allah. Dalam penegakan
hukum Sabat itu, ada jaminan sosial bagi orang-orang lemah. Di situ yang kuat diajak untuk
berbelarasa dan peduli. Sedangkan bagi mereka yang menyalahgunakan kekuasaan, dengan
sendirinya mereka akan terhukum, karena mereka telah menyimpang dari ketetapan Allah
dalam peraturan Sabat. Di sini sang nabi secara kreatif menubuhkan dan menghidupkan
transformasi yang dikehendaki Allah dalam kenyataan konkrit dengan menjadikan hukum
Sabat sebagai instrumen dan jaminan kepastian secara riil.

III. Nas kitab Injil Lukas 4:18,19,21


7

(18) “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk
menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus
Aku, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan
penglihatan bagi orang-orang buta, (19) untuk membebaskan orang-orang yang
tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.” ….. (21) Lalu Ia
mulai mengajar mereka, kata-Nya: “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu
mendengarnya.”

III.1. Latar Belakang Teks dan Konteks


Injil Lukas adalah sebuah karya anonim, walaupun Irenaeus menyebutkan bahwa
Lukas, pendamping Paulus, yang menuliskan Injil ini. Begitu juga Kanon Muratorion
menyebut Lukas sang tabib sebagai penulis. Namun, melalui penelitian mutakhir, karya ini
dinilai anonim dan ditulis dengan memakai sumber Markus, Q, dan juga bahan khusus Lukas
Diperkirakan Injil Lukas ditulis pada generasi Kristen ketiga, sekitar tahun 90 untuk pembaca
Yunani (Marxsen 1996, 186-194).
Injil Lukas oleh para ahli diletakan dalam kesimbungan dengan kitab Kisah Para
Rasul. John Drane misalnya menyebutkan bahwa baik Injil Lukas maupun Kisah Para Rasul
berasal dari satu orang penulis dan keduanya diperuntukkan bagi seseorang yang bernama
Teofilus (Lukas 1: 1-4; Kisah 1: 1). Teofilus mungkin adalah seorang tokoh masyarakat
bukan Yahudi yang cukup terkemuka. Dia adalah seorang Kristen yang baru bertobat yang
tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang kepercayaan yang baru dianutnya (Tafsiran
Alkitab Wycliffe 2008, 216). Namun kami sependapat dengan Marxsen, bahwa Teofilus
bukanlah satu-satunya pembaca (Marxsen 1996, 187)
Kedua kitab ini memaparkan sejarah kekristenan mula-mula yang dimulai dari
gerakan Yesus sampai terbentuknya gereja Kristen mula-mula (Drane 1996, 211). Adapun
tujuan penulisan kitab ini adalah untuk menolong Teofilus dan juga orang-orang Kristen
lainnya agar mereka memperoleh pengertian yang lebih baik tentang iman Kristen dan
mengaplikasikan iman itu dalam konteks hidupnya. Iman Kristen itu memiliki
kesinambungan dengan agama Yahudi dan Perjanjian Lama. Sebab itu, dalam injilnya Lukas
memperlihatkan kesinambungan tersebut. Dalam injilnya ia amat menekankan Yesus sebagai
penggenapan semua janji Allah dalam Perjanjian Lama (Drane 1996, 213-214). Di sini Yesus
oleh penulis dilukiskan sebagai “pusat sejarah.”
Sebagai penggenap semua janji Allah dan pusat sejarah, Yesus diutus Allah untuk
menyampaikan kabar baik bagi semua orang, khususnya bagi kaum yang dimarjinalkan pada
zaman-Nya. Dalam banyak bagian di Injil Lukas, Yesus ditampilkan secara khas sebagai
sahabat orang-orang yang dianggap rendah oleh masyarakat (9: 51-56; 10: 25-37; 17: 11-19)
8

(Drane 1996, 215). Ia ditampilkan sebagai penyelamat orang-orang berdosa, miskin, dan
yang tersisihkan.

3.2. Tafsiran Lukas 4: 18, 19, 21


Ayat 18,19 dan 21 berada dalam konteks cerita tentang Yesus yang berada di kota
Nazaret, khususnya dalam rumah sembahyang orang Yahudi (Sinagoge). B. J. Boland
menulis bahwa menurut Injil Matius dan Markus, Yesus memulai pekerjaan-Nya di Galilea
sesudah Yohanes Pembaptis ditangkap (Mrk 1: 14; Mat 4: 12). Kota Kapernaum dijadikan
pusat pelayanan Yesus (Mrk 1: 21; Mat 4: 13; Luk 4: 31). Namun Lukas mendahulukan
semacam “hijrah” dari Nazaret ke Kapernaum. Lukas sengaja mencatumkan cerita ini dengan
maksud untuk memperlihatkan bahwa apa yang terjadi di Nazaret itu merupakan contoh yang
mencirikan kehidupan Yesus selanjutnya. Sebab terkadang Ia dikagumi dan dipuji oleh
sebagian orang pada zaman-Nya, namun pada akhirnya Ia ditolak dan disalibkan oleh mereka
(bdk 19: 38 dengan 23: 21) (Boland 1996, 100-102).

Sebagai orang Yahudi yang taat, Yesus mendatangi Sinagoge setiap hari Sabat untuk
beribadah di sana. William Manson menguraikan proses ibadah di Sinagoge sebagai berikut:
pengajaran dari kitab para nabi yang dibaca Yesus biasanya didahului dengan pembacaan
Shema (Ulangan 4: 4 – 9; 11: 13 – 21), lalu suatu pasal dari kitab Taurat akan dibacakan
dalam bahasa Ibrani, dan diterjemahkan dengan lisan ayat per ayat ke dalam bahasa Aram
(Manson 1948, 41). Injil Lukas menceritakan bahwa ketika Yesus sedang beribadah di
Sinagoge itu, maka ia diundang untuk membacakan suatu bagian dari kitab suci, yaitu dari
kitab nabi Yesaya. Ketika Ia membuka gulungan kitab Yesaya itu, maka didapatnyalah nas
dari Yesaya 61: 1 – 2.

Jika diamati dengan cermat, maka kutipan ayat yang dibuat Lukas ini agak bebas dari
nas aslinya, yaitu Yesaya 61: 1 – 3. Alfred Plumer menyimpulkan bahwa kutipan yang
dibuat oleh penginjil Lukas ini memang agak bebas dari LXX (Septuaginta), kemungkinan
dibuat hanya berdasarkan ingatan dan di bawah pengaruh pasal-pasal lain dalam kitab suci
(Plummer 1922, 120). Lebih lanjut Plummer menyatakan bahwa dalam konteks asli kitab
Yesaya, penulis dengan sengaja menaruh ke dalam mulut hamba Tuhan yang ideal itu suatu
pesan penuh pengharapan, yang dutujukan bagi kaum buangan di Babel, menjanjikan bagi
mereka kelepasan dan kembali (pulangnya) mereka ke Yerusalem untuk membangun kembali
kota itu, suatu gambaran sukacita yang dapat disejajarkan dengan sukacita dari tahun Yobel
(Plummer 1922, 121).
9

Boland menyebutkan bahwa Yesaya 61 yang dikutip Yesus ini merupakan nas yang
berbicara tentang hamba Tuhan yang telah menerima Roh Allah, dan dengan demikian telah
“diurapi” (ditahbiskan) oleh Allah untuk memangku jabatannya. Atas dorongan Roh Tuhan
yang ada padanya, ia kemudian memberitakan bahwa telah datang zaman Mesias, yaitu suatu
zaman di mana Allah akan mewujudkan di bumi ini keselamatan yang daripada-Nya.
Keselamatan itu meliputi berkat dan kebahagiaan, baik yang bersifat jasmani maupun rohani,
baik secara lahiriah maupun batiniah (Boland 1996, 103). Dengan demikian arti keselamatan
yang dimaksudkan di sini adalah terwujudnya shalom (damai sejahtera) bagi semua orang.

Kutipan ayat dari Yesaya 61 ini kemudian diterapkan pada diri Yesus. Menurut
Plummer, perkataan “Roh Tuhan ada pada-Ku,…” sebenarnya menunjuk kembali pada
peristiwa pembaptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis di Sungai Yordan (3: 21 – 22)
(Plummer 1922, 103). Dengan turunnya Roh Allah pada peristiwa pembaptisan, maka nyata
kehadiran Allah dalam diri Yesus, mengurapi dan memperlengkapi Dia untuk melaksanakan
tugas perutusan-Nya sebagai Mesias-Hamba yang Diurapi.

Setelah membacakan nas kutipan itu, Yesus kemudian berkata bahwa nubuat nabi itu
kini telah digenapi sewaktu mereka mendengarnya (ayat 21). Secara tidak langsung Yesus
mau menyatakan bahwa nubuat Yesaya itu kini telah digenapi di dalam hidup dan pekerjaan-
Nya. Penulis Lukas ini hendak menegaskan kepada para pendengar dan pembaca pada masa
itu bahwa Yesus adalah Hamba Tuhan itu, Hamba yang diutus untuk memberitakan kabar
baik bagi orang-orang miskin dan sengsara, dan karya pembebasan bagi yang tertawan dan
tertindas, serta penglihatan bagi orang-orang buta (secara jasmanih dan rohani). Ia hadir
untuk mengumumkan datangnya tahun rahmat/ kebaikan Tuhan (tahun Yobel, yaitu tahun ke-
50, bdk. Imamat 25: 10) atas umat-Nya.

Sebagai seorang Yahudi yang taat, Yesus tentu sangat memahami tahun Sabat dan
tahun Yobel. Bahkan, Ia juga menginternalisasikan dan menghayatinya arti dan makna
hukum Sabat itu menyatu dengan diri-Nya dan mendorong-Nya untuk berkarya demi
pembebasan orang-orang miskin dan sengsara.2 Dalam terang kesadaran yang seperti inilah
pemahaman akan ucapan Yesus: “..pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu
mendengarnya...” Genap di sini berarti Yesus menghayati dan melakukan hal tersebut secara
utuh sebagai seorang Hamba Allah yang Diurapi, yakni untuk menyampaikan kabar baik bagi
orang-orang miskin dan sengsara.
2
Susanta, Yohanes Krismantyo. "Memahami Kesia-sian dalam Kitab Pengkhotbah." DUNAMIS:
Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani 2.1 (2017): 75-87.
10

Kabar baik yang disampaikan Yesus ini memang lebih diperuntukkan bagi mereka
yang menderita dan yang telah kehilangan pengharapan dalam dunia ini. Erick Sudarma
mengungkapkan bahwa orang-orang miskin (Yun: ptokhoi) dalam Manifesto Nazararet ini
adalah orang-orang yang miskin secara ekonomi, yang merupakan korban dari struktur-
struktur sosial yang bersifat menindas (Sudarma 2012:12). Dalam konteks itu, Yesus yang
oleh Lukas ditempatkan dalam tradisi kenabian Israel dan dijadikan sebagai pusat sejarah,
menghayati panggilan-Nya memberitakan kabar baik bagi orang-orang miskin dan sengsara.

3.3. Inti pesan


Berdasarkan hasil kajian eksegetis Injil Lukas ini, kita dapat memahami bahwa Yesus
hadir untuk membawa kabar baik bagi orang-orang miskin dan sengsara, terutama bagi
orang-orang miskin yang merupakan korban dari struktur-struktur sosial yang bersifat
menindas pada zaman itu. Dengan demikian Yesus meneruskan karya kenabian yang telah
ada sebelumnya, namun dengan sebuah kesadaran penuh dalam situasi yang baru di masa-
Nya.3 Dalam Injil Lukas ini, Yesus dilukiskan sebagai yang telah Diurapi dan menghayati
hukum Sabat secara utuh, sehingga hidup serta karya-Nya kemudian menjadi pusat sejarah
keselamatan. Perwujudan tahun rahmat Tuhan akan nyata didalam kabar baik bagi orang-
orang miskin dan pembebasan bagi orang yang tertindas.

IV. Penutup dan Relevansi


Dua teks Alkitab yang telah kita telaah di atas, memberikan kepada kita sebuah
gambaran dari spritualitas pembebasan yang berpusat pada karya Allah. Allah senantiasa
hadir dan berkarya dalam sejarah keselamatan melalui para hamba yang diutus-Nya, yang
secara kreatif berusaha untuk membumikan dan menghidupkan kehendak Allah di tengah
situasi krisis yang sedang melanda.

Dalam teks Yesaya 61:1-3, sang penulis menautkan gerakan transformasi sosial melalui
sebuah ajakan yang imperatif untuk menegakan hukum Sabat sehingga hak-hak hidup orang
miskin terpenuhi dalam kehidupan sosial. Dengan kata lain, hukum Sabat menjadi jaminan
pengamanan sosial bagi kaum lemah. Sementara dalam Injil Lukas, hukum Sabat itu
diinternalisasi ke dalam kesadaran diri Yesus, sehingga Yesus bergerak
mengimplementasikan semangat Sabat itu dalam kehidupan dan pelayanan-Nya bagi orang-
orang miskin dan kaum marginal lainnya. Lewat telaah di kedua bahan ini, perspektif kita

3
Yohanes Krismantyo Susanta, Harapan Di Tengah Penderitaan: Tafsir Atas Daniel 7 Dan Hubungannya
Dengan Injil Sinoptik (Yogyakarta: Kanisius, 2019).
11

dibuka untuk menyadari ensensi dari hukum, bahwa hukum ada untuk manusia. Hukum dan
manusia ada untuk melayani sesama demi terwujudnya syaloom dan keadilan dalam
kehidupan bersama. Dalam kesadaran hukum yang seperti inilah Yesus menyatakan kasih-
Nya kepada orang-orang yang miskin dan sengsara.

Kedua hal tersebut, hukum (Sabat) dan kesadaran akan hukum (baca: nilai) yang
terinternalisasi dan terimplementasi dalam tindakan pembebasan, sangat penting untuk
diaktualkan kembali dalam kehidupan kita dewasa ini, mengingat jumlah orang miskin yang
tak kunjung berakhir, menguatnya konsumerisme dan indivualisme, serta makin parahnya
korupsi yang turut didalangi dan dilakukan oleh aparat penegak hukum. Maka tugas
panggilan yang terdapat dalam “Nyanyian Hamba” di Trito Yesaya dan Injil Lukas, penting
untuk digemakan dan diaktualkan kembali, khususnya oleh gereja-gereja dan orang Kristen di
Indonesia yang mengakui bahwa Yesus Kristus adalah Kepala Gereja dan Tuhan. Cara
terbaik untuk mewujudkan pengakuan itu adalah dengan merepresentasikan apa yang sudah
Yesus lakukan.

Daftar Acuan

Bacchiocchi, Samuele.1991. Dalam Remembering The Sabbath: The Creation-Sabbath in


Jewish and Christian History. Dalam The Sabbath in Jewish and Christian Traditions, ed.
Tamara C. Eskenazi et.al., 69-88. New York: The Crossroad.
Barr, James. 2012. Alkitab di Dunia Modern. Terj. I.J.Cairns. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Barth, Christoph, dan Marie Claire Barth-Frommel. 2012. Teologi Perjanjian Lama 2.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Boland, B. J. 1996. Tafsiran Injil Lukas. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Barth, M.C. 2003. Tafsiran Alkitab Kitab Yesaya Pasal 56-66. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Brueggemann, Walter. 2009. Teologi Perjanjian Lama: Kesaksian, Tangkisan, Pembelaan.
Terj. Yosef Maria Florisan, dkk. Maumere: Penerbit Ledalero.
Groenen, C. 1992. Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius.
Drane, John. 1996. Memahami Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Ihromi. 1973. Dalam Sedikit Mengenai Bahan tentang Orang-Orang Miskin Menurut Kitab
Nabi-Nabi. Dalam Karangan-Karangan Theologia Sekolah Tinggi Theologia: Sekitar Tema
Kemiskinan, peny. Ihromi, dkk, 3-8. Jakarta: STT Jakarta.
12

Goldingay, John. 2001. New International Biblical Commentary: Isaiah. Massachusetts:


Hendrickson Publishers.
Manson, William. 1948. The Gospel of Luke. London: Hodder and Stoughton.
Marxsen, Willi. 1996. Pengantar Perjanjian Baru:Pendekatan Terhadap Masalah-
Masalahnya. Terj. Stephen Suleeman. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Nababan, S.A.E. 1966. Iman dan Kemiskinan: Mentjari Pengertian Kristen tentang
Kemiskinan. Djakarta: Badan Penerbit Kristen.
Plummer, Alfred. 1922. International Critical Commentary: The Gospel According to S.
Luke. Edinburgh: T & T Clark.
Sudarma, Erick. 2012. Perspektif Perjanjian Lama tentang Anawim sebagai Komunitas
Perjanjian Yahwe. Gema Vol 36, no. 1 (April): 1 – 20.
Susanta, Yohanes Krismantyo. Harapan Di Tengah Penderitaan: Tafsir Atas Daniel 7 Dan
Hubungannya Dengan Injil Sinoptik. Yogyakarta: Kanisius, 2019
Susanta, Yohanes Krismantyo. Mengenal Dunia Perjanjian Lama: Suatu Pengantar.
Surakarta: Kekata Publisher, 2018.
Susanta, Yohanes Krismantyo. "Memahami Kesia-sian dalam Kitab Pengkhotbah." DUNAMIS: Jurnal
Teologi dan Pendidikan Kristiani 2.1 (2017): 75-87.
Tenney, Merril C. Dalam Injil Menurut Lukas. Dalam Tafsiran Alkitab Wycliffe, peny.
Charles F. Pfeiffer dan Everett F. Harrison. Malang: Gandum Mas.

Anda mungkin juga menyukai