Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Telur merupakan makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat

dengan berbagai olahan dan mudah didapat dengan harga yang murah. (1)

Berdasarkan data dari Badan Data Statistik (BPS) Indonesia produksi telur

di Indonesia dan Kalimantan Barat dari 2017 sampai 2019 mengalami

kenaikan. Produksi telur pada tahun 2019 mencapai 4,7 juta di Indonesia

dan 115 ribu ton di Kalimantan Barat.(2) Telur menghasilkan limbah berupa

cangkang telur sebanyak 10%, sehingga limbah cangkang telur melimpah. (3)

Limbah cangkang telur yang terakumulasi dilingkungan berpotensi sebagai

polusi dengan adanya aktivitas mikroba, padahal cangkang telur memiliki

kandungan senyawa yang baik untuk kebutuhan gizi manusia.(4)

Cangkang telur memiliki ketersediaan yang melimpah dan merupakan

sumber kalsium, mengandung 94-97% CaCO3.(5) Cangkang telur

mengandung bahan anorganik, protein, dan air. Komposisi kimia dari kulit

telur terdiri dari lemak, serat kasar, abu, fosfor, natrium, magnesium,

kalium, dan sulfur.(6)(7) Kalsium yang terkandung dalam cangkang telur dapat

dijadikan sebagai sumber kalsium bagi manusia.(4) Cangkang telur dalam

bentuk serbuk dapat dimanfaatkan sebagai baking powder dalam pembuatan

cookies, fortifikasi pembuatan kerupuk, dan suplemen.(8)(9)(10) Serbuk

cangkang telur juga memiliki potensi untuk melawan bakteri pada mulut. (11)

Hal ini menunjukkan bahwa cangkang telur berpotensi djadikan sediaan


yang bermanfaat sebagai dental cement dan pasta gigi tradisional.(11)(7)

Cangkang telur juga dimanfaatkan sebagai suplemen sumber kalsium.(11)

Keputusan kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)

mengatur suplemen dan obat tradisional harus diproduksi menggunakan

bahan yang memenuhi standar mutu dan persyaratan keamanan.(12) Dalam

rangka pemanfaatan potensi limbah cangkang telur menjadi sediaan farmasi

maka harus dipastikan kualitas dan keamanannya. Oleh karena itu, sangat

penting untuk dilakukan uji toksisitas. Hal tersebut karena adanya beberapa

potensial toksik yang mungkin terjadi disebabkan oleh cangkang telur

dengan tekstur berpori diketahui dapat mengadsorbsi logam timbal.(13)

Beberapa bakteri seperti Pseudomonas sp., Alcaligenes sp., dan Salmonella

sp. juga ditemukan dapat berpenetrasi pada cangkang telur.(15)(16) Timbal

pada cangkang telur berbahaya jika dikonsumsi, bahkan jika terkumulasi

dalam jumlah yang besar dapat mempengaruhi dan mengganggu sistem

saraf dan meningkatkan stres.(17)(18) Bakteri yang ditemukan berpenetrasi

pada cangkang telur yaitu Pseudomonas sp dapat mengakibatkan infeksi

saluran pencernaan dan Salmonella sp. dapat menimbulkan infeksi penyakit

tifus.(19)(20) Nanopartikel kalsium karbonat dari cangkang kerang

menunjukkan hasil uji toksisitas dermal yaitu tidak adanya kematian pada

tikus. Namun, terdapat tanda klinis dan lesi yang menunjukkan adanya

toksisitas organ pada dosis (29.500 mg/m2).(21)

Sesuai dengan standar mutu dari World Health Organization (WHO),

obat tradisional harus memenuhi beberapa persyaratan meliputi kualitas,


keamanan, dan khasiat.(22) Oleh karena itu, cangkang telur perlu dilakukan

pemenuhan syarat bahan dalam pembuatan sediaan baru dengan 3 kriteria

yaitu berkhasiat, bermutu, dan aman.(23) Keamanan suatu bahan dapat

dianalisis dengan pengujian toksisitas akut oral. Uji toksistas akut oral

merupakan pengujian secara in vivo untuk medeteksi efek toksik yang

muncul setelah pemberian suatu senyawa uji dengan dosis tunggal dalam

rentang waktu 24 jam. Prinsip uji toksisitas akut oral adalah mengujikan

sediaan pada beberapa kelompok dengan satu dosis per kelompok dan akan

didapatkan parameter berupa Lethal Dose (LD50). LD50 adalah besarnya

dosis suatu senyawa uji yang dapat menyebabkan 50% kematian pada

hewan uji setelah pemberian dosis tunggal. Dalam pedoman Organisation

for economic co-operation and development (OECD) uji toksisitas akut

secara oral melalui pengujian limit test dan main test. Limit test diawali

dengan pemberian sampel dengan dosis 2000 mg/kgBB pada hewan uji.

Pengujian limit test selanjutnya yaitu dengan dosis 5000 mg/kgBB pada

hewan uji. Jika terdapat tiga atau lebih hewan uji yang mati maka dilakukan

pengujian main test.(24) Pengamatan dilakukan dengan meninjau adanya

toksik atau kematian dilihat dari perilaku, aktivitas motorik, berat badan,

dan indeks organ pada hewan uji serta data kuantitatif nilai Lethal Dose

(LD50).

I.2 Rumusan Masalah


Bagaimanakah pengaruh efek toksisitas akut dari pemberian serbuk

cangkang telur ras petelur terhadap parameter kuantitatif yang meliputi nilai

LD50 dan parameter kualitatif yang meliputi perilaku, aktivitas motorik,

berat badan, dan indeks organ pada tikus putih betina (Rattus norvegicus L.)

galur Wistar?

I.3 Tujuan Penelitian

Mengetahui pengaruh efek toksisitas akut dari pemberian serbuk

cangkang telur ras petelur terhadap parameter kuantitatif yang meliputi nilai

dan parameter kualitatif yang meliputi perilaku, aktivitas motorik, berat

badan, dan indeks organ pada tikus putih betina (Rattus norvegicus L.) galur

Wistar

I.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini ysitu dapat memberikan informasi tentang

nilai LD50 dan penggunaan dosis yang tepat untuk membuat suplemen yang

berasal dari serbuk cangkang telur serta pengaruhnya terhadap perilaku,

aktivitas motorik, berat badan dan indeks organ pada tikus betina galur

Wistar.
DAFTAR PUSTAKA

1. Azis MY, Putri TR, Aprilia FR, Ayuliasari Y, Hartini OAD, Putra MR.

Eksplorasi Kadar Kalsium (Ca) dalam Limbah Cangkang Kulit Telur

Bebek dan Burung Puyuh Menggunakan Metode Titrasi dan AAS. al-

Kimiya. 2019;5(2):74–7.

2. Nurdiman M, Ramadhany, A D, Ermansyah L. Statistik Peternakan dan

Kesehatan Hewan. Livestock and Animal Health Statistics. Jakarta; 2019.

2–236 p.

3. Mahreni, Sulistyowati E, Sampe S, Chandra W. Pembuatan Hidroksi Apatit

dari Kulit Telur. Pros Semin Nas Tek Kim. 2012;1(1):1–5.

4. Yonata D, Aminah S, Hersoelistyorini W. Kadar Kalsium dan Karakteristik

Fisik Tepung Cangkang Telur Unggas dengan Perendaman Berbagai

Pelarut. J Pangan Dan Gizi. 2017;7(2):82–93.

5. Dewi SU, Dahlan K, Soejoko DS. Pemanfaatan Limbah Cangkang Telur

Ayam dan Bebek sebagai Sumber Kalsium untuk Sintesis Mineral Tulang.

J Pendidik Fis Indones. 2014;10(1):81–5.

6. Syam ZZ, Kasim HA. Pengaruh Serbuk Cangkang Telur Ayam terhadap

Tinggi Tanaman Kamboja Jepang ( Adenium obesum ). e-Jipbiol.

2014;3(1):9–15.

7. Warsy, S.Chadijah WR. Optimalisasi Kalsium Karbonat dari Cangkang

Telur untuk Produksi Pasta Komposit. Al-Kimia. 2016;4(2):86–97.

8. Rahmawati WA, Nisa FC. Fortifikasi Kalsium Cangkang Telur pada

Pembuatan Cookies. J Pangan dan Agroindustri. 2015;3(3):1050–60.


9. Qolis N, Handayani CB, Asmoro NW, . A. Fortifikasi Kalsium pada

Kerupuk dengan Subtitusi Tepung Cangkang Telur Ayam Ras. J Teknol

Pangan. 2020;14(1):30–9.

10. Swasono RDP dan MAH. Pengaruh Lama Perebusan Kulit Telur pada

Pembuatan Bubuk Suplemen Kalsium. Teknol PANGAN Media Inf dan

Komun Ilm Teknol Pertan. 2018;9(1):20–7.

11. Alkhalidi EF, Alsalman TH, Taqa AA. Antibacterial Properties of New

Calcium Based Cement Prepared from Egg Shell. Edorium J Dent.

2015;2(April):21–8.

12. BPOM Republik Indonesia. Ketentuan Pokok Pengawasan Suplemen

Makanan. Jakarta; 2005. 26 p.

13. Satriani D, Ningsih P, Ratman R. Serbuk Dari Limbah Cangkang Telur

Ayam Ras Sebagai Adsorben Terhadap Logam Timbal (Pb). J Akad Kim.

2017;5(3):103.

14. Bautista AC, Puschner B, Poppenga RH. Lead Exposure from Backyard

Chicken Eggs: A Public Health Risk? J Med Toxicol. 2014;10(3):311–5.

15. De Reu K, Grijspeerdt K, Messens W, Heyndrickx M, Uyttendaele M,

Debevere J, et al. Eggshell Factors Influencing Eggshell Penetration and

Whole Egg Contamination by Different Bacteria, Including Salmonella

enteritidis. Int J Food Microbiol. 2006;112(3):253–60.

16. Messens W, Grijspeerdt K, Herman L. Eggshell Penetration by Salmonella:

A review. Worlds Poult Sci J. 2005;61(1):71–86.

17. Raharjo P, Raharjo M, Setiani O. Analisis Risiko Kesehatan dan Kadar


Timbal Dalam Darah: (Studi Pada Masyarakat yang Mengkonsumsi Tiram

Bakau (Crassostrea gigas) di Sungai Tapak Kecamatan Tugu Kota

Semarang). J Kesehat Lingkung Indones. 2018;17(1):9–15.

18. Amaral JH, Rezende VB, Quintana SM, Gerlach RF, Barbosa F, Tanus-

Santos JE. The Relationship between Blood and Serum Lead Levels in

Peripartum Women and their Respective Umbilical Cords. Basic Clin

Pharmacol Toxicol. 2010;107(6):971–5.

19. Zikra Hayati, Siti Nur Jannah AS. Isolasi Bakteriofag Spesifik

Pseudomonas sp. DA1 dari Biofilm pada Sistem Pengisian Air Minum Isi

Ulang. J Biol. 2016;5(3):29–35.

20. Afifah N. Uji Salmonella-Shigella pada Telur Ayam yang Disimpan Pada

Suhu dan Waktu yang Berbeda. J Ilm Edu Res [Internet]. 2013;2(1):35–46.

Available from: http://e-

journal.upp.ac.id/index.php/EDU/article/view/122/_18

21. Jaji AZ, Zakaria ZAB, Mahmud R, Loqman MY, Hezmee MNM, Abba Y,

et al. Safety Assessments of Subcutaneous Doses of Aragonite Calcium

Carbonate Nanocrystals in Rats. J Nanoparticle Res. 2017;19(5).

22. Wolrd Health Organization. General Guidelines for Methodologies on

Research and Evaluation of Traditional Medicine. Geneva: WHO Tech;

2000.

23. BPOM Republik Indonesia. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan

Makanan Nomor: HK.00.05.4.2411 Tahun 2004 Tentang Ketentuan Pokok,

Pengelompokan Dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia. Jakarta;


2004. 43 p.

24. Organization for Economic Co-operation and Development. OECD

Guidelines for Testing of Chemicals. Test No.425: Acute Oral Toxicity-

Up-and-Down Procedure (UDP). OECD Environment Directorate. Paris;

2008. 1–21 p.

Anda mungkin juga menyukai