Anda di halaman 1dari 20

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 E-Commerce

2.1.1 Definisi e-commerce

E-commerce merupakan proses membeli, menjual, atau memperdagangkan

data, barang, atau jasa melalui internet (Turban et al., 2015: 7). E-commerce

didefinisikan sebagai transaksi komersial yang melibatkan pertukaran nilai yang

dilakukan melalui atau menggunakan tekonologi digital antara individu (Laudon

dan Traver, 2017: 8-9). Media e-commerce melibatkan penggunaan internet,

world wide web, dan aplikasi atau browser pada perangkat selular atau mobile

untuk bertransaksi bisnis. Platform mobile adalah pengembangan terbaru dalam

infrastruktur Internet dari berbagai perangkat mobile seperti smartphone dan

tablet melalui jaringan nirkabel (wifi) atau layanan telepon seluler. Pada awal

berkembangnya e-commerce, satu-satunya media digital adalah web browser,

namun saat ini media yang lebih banyak digunakan adalah melalui aplikasi mobile

(Laudon dan Traver, 2017: 11-12).

2.1.2 Klasifikasi e-commerce

Laudon dan Traver (2017: 22-27) mengklasifikasikan e-commerce menjadi

enam jenis model, yaitu:

1) Business-to-Consumer (B2C) e-commerce, merupakan jenis e-commerce

yang paling sering dibahas, di mana bisnis online jenis ini menjangkau

konsumen individual. B2C e-commerce mencakup pembelian barang ritel,

9
10

travel, konten online dan jenis layanan lainnya. Jenis B2C e-commerce ini

tumbuh secara eksponensial sejak 1995, dan merupakan jenis e-commerce

yang paling sering ditemui konsumen.

2) Business-to-Business (B2B) e-commerce, merupakan jenis e-commerce

terbesar yang berfokus pada penjualan ke bisnis lain. Proses transaksi e-

commerce bertipe B2B melibatkan perusahaan atau organisasi yang dapat

bertindak sebagai pembeli atau penjual. Terdapat dua model bisnis utama

yang digunakan dalam B2B e-commerce: (1) net marketplace, yang meliputi

e-distributor, perusahaan e-procurement, bursa dan konsorsium industri, dan

(2) jaringan industri swasta.

3) Consumer-to-Consumer (C2C) e-commerce, merupakan jenis yang

menyediakan media bagi konsumen untuk menjual satu sama lain, dengan

bantuan pembuat pasar online (juga disebut penyedia platform). Dalam C2C

e-commerce, pihak individu menjual barang atau jasanya kepada individu,

organisasi atau perusahaan yang berperan sebagai konsumen melalui Internet.

4) Mobile e-commerce (m-commerce), mengacu pada penggunaan perangkat

mobile untuk memungkinkan bertransaksi online dengan menggunakan

jaringan seluler dan nirkabel untuk menghubungkan smartphone atau tablet

ke internet.

5) Social e-commerce, merupakan e-commerce yang menggunakan jejaring

sosial dan social media. Pertumbuhan Social e-commerce didorong oleh

sejumlah faktor, termasuk meningkatnya popularitas sign-on sosial, notifikasi

jaringan, kolaborasi alat belanja online, pencarian social toko virtual di


11

Facebook, Instagram, Pinterest, YouTube, dan situs jejaring sosial lainnya.

Social e-commerce sering kali dihubungkan dengan jenis m-commerce, hal ini

disebabkan karena semakin banyak pengguna jaringan sosial mengakses

jaringan tersebut melalui perangkat mobile. Proses social e-commerce

melibatkan penggunaan aplikasi mobile pengolahan pesan seperti Facebook

Messenger, WhatsApp, BBM, dan lain-lain sebagai media berinteraksi antara

penjual dengan konsumen.

6) Local e-commerce, merupakan bentuk e-commerce yang berfokus untuk

melibatkan konsumen berdasarkan lokasi geografis saat ini. Pedagang lokal

menggunakan berbagai teknik pemasaran online untuk mendorong konsumen

ke toko mereka. Local e-commerce adalah perpaduan dari m-commerce,

social e-commerce, dan local e-commerce yang didorong oleh banyaknya

minat terhadap layanan on-demand lokal seperti Uber, dan GOJEK.

2.1.3 Komponen e-commerce

Suatu perusahaan membutuhkan informasi, infrastruktur, dan layanan

pendukung yang tepat untuk dapat melakukan kegiatan e-commerce. Komponen

atau pilar pendukung e-commerce menurut Turban et al. (2015: 9) adalah sebagai

berikut:

1) Manusia. Penjual, pembeli, perantara, sistem informasi dan pakar teknologi,

karyawan lain, dan peserta lainnya.

2) Kebijakan publik. Masalah hukum dan kebijakan lain dan peraturan, seperti

perlindungan privasi dan perpajakan, yang ditentukan oleh pemerintah,

termasuk standar teknis dan kepatuhan.


12

3) Pemasaran dan periklanan. Seperti bisnis lainnya, e-commerce biasanya

membutuhkan dukungan pemasaran dan periklanan. Hal ini sangat penting

dalam transaksi online B2C, di mana pembeli dan penjual biasanya tidak

saling mengenal.

4) Layanan pendukung. Banyak layanan dibutuhkan untuk mendukung e-

commerce. Ini berkisar dari pembuatan konten hingga pembayaran hingga

pengiriman pesanan.

5) Kemitraan bisnis. Usaha patungan, pertukaran, dan kemitraan bisnis dari

berbagai jenis umum terjadi di e-commerce. Ini sering terjadi di seluruh rantai

pasokan yaitu, interaksi antara perusahaan dan pemasoknya, konsumen, dan

mitra lainnya).

2.2 Corporate Image

2.2.1 Definisi corporate image

Citra perusahaan (corporate image) merupakan hasil dari kumpulan proses

di mana konsumen membandingkan berbagai atribut seperti kualitas produk, atau

kualitas layanan yang dimiliki oleh suatu perusahaan, dan berdasarkan

pengalaman tersebut, konsumen akan memiliki persepsi yang subyektif terhadap

perusahaan dan segala aktivitasnya (Chiu dan Hsu, 2010).

Menurut Abdel-Salam et al. (2013) corporate image merupakan kesan

umum yang terdapat di benak konsumen sebagai hasil dari kumpulan perasaan,

ide, sikap dan pengalaman dengan perusahaan yang tersimpan dalam ingatan,

pengalaman tersebut yang nantinya akan mempengaruhi sikap publik terhadap

perusahaan tersebut. Corporate image memiliki elemen yang selalu terdapat di


13

dalamnya, Kotler dan Keller (2016) menyebutkan terdapat empat elemen pada

corporate image sebagai berikut:

1) Kepribadian, yaitu keseluruhan karakteristik yang dipahami publik sasaran

seperti perusahaan yang dapat dipercaya, perusahaan yang mempunyai

tanggung jawab.

2) Reputasi, yaitu hal yang telah dilakukan perusahaan dan diyakini publik

sasaran berdasarkan pengalaman sendiri maupun pihak lain seperti kinerja

keamanan transaksi sebuah bank.

3) Nilai, yaitu nilai-nilai yang dimiliki suatu perusahaan atau dengan kata lain

budaya perusahaan seperti sikap manajemen yang peduli terhadap konsumen,

karyawan yang cepat tanggap terhadap permintaan dan keluhan konsumen.

4) Identitas Perusahaan, yaitu komponen-komponen yang mempermudah

pengenalan publik sasaran terhadap perusahaan seperti logo, warna dan

slogan.

2.2.2 Komponen corporate image

Perusahaan dapat membangun corporate image yang baik dengan

memperhatikan pilar atau komponen utama pembangun corporate image. Chiu

dan Hsu (2010) membagi corporate image menjadi tiga komponen utama dengan

pendekatan konsumen, yaitu:

1) Citra institusi, merupakan sikap konsumen secara umum terhadap

perusahaan. Citra institusi ini terdiri dua elemen antara lain: (1) Corporate

image, yaitu kesan yang terbentuk dari persepsi di mana perusahaan dan

seluruh aktivitas sosialnya dipandang sebagai bagian dari masyarakat, (2)


14

Citra Toko, yaitu di mana konsumen membuat penilaian tentang perusahaan

dari pengalaman mereka tentang produk dan pelayanannya.

2) Citra fungsional, merupakan citra yang terbentuk melalui aktivitas

operasional yang dilakukan oleh manajemen perusahaan. Citra fungsional

dapat dibedakan menjadi tiga elemen antara lain: (1) Citra pelayanan, yaitu

persepsi konsumen tentang pelayanan yang diberikan oleh perusahaan, (2)

Citra harga, yaitu kesan konsumen mengenai harga dari produk atau jasa,

diskon yang diberikan dan kualitas yang ditawarkan oleh perusahaan, dan (3)

Citra promosional, yaitu persepsi konsumen mengenai metode promosi yang

dijalankan oleh perusahaan.

3) Citra komoditas, merupakan persepsi konsumen mengenai produk yang

ditawarkan oleh perusahaan. Citra komoditas dapat dibedakan menjadi tiga

elemen antara lain: (1) Citra produk, yaitu persepsi konsumen mengenai

produk, penerapan dan kualitas produk, (2) Citra merek, yaitu persepsi

konsumen mengenai nama merek perusahaan, dan (3) Citra lini merek, yaitu

persepsi konsumen mengenai desain merek, pengemasan dan atribut produk.

Komponen corporate image menurut Abdel-Salam et al. (2013) terdiri dari

dua komponen utama yaitu:

1) Komponen Fungsional. Komponen ini merupakan segala sesuatu yang

berhubungan dengan karakteristik dan fungsional dari corporate image yang

dapat diukur dan dievaluasi dengan mudah.

2) Komponen Emosional. Komponen ini merupakan hasil dari pengalaman yang

terakumulasi yang dimiliki oleh konsumen seiring berlalunya waktu dengan


15

perusahaan, misalnya perasaan, perilaku dan keyakinan seseorang terhadap

perusahaan.

2.2.3 Indikator pengukuran corporate image

Corporate image dapat diukur melalui beberapa indikator pengukuruan.

Berikut merupakan indikator-indikator pengukuran corporate image dari literatur

dan penelitian sebelumnya, yaitu:

1) Corporate image menurut Rahyuda dan atmaja (2011) dapat diukur

menggunakan indikator:

a) Advertising, ketertarikan konsumen terhadap kegiatan periklanan yang

dilakukan perusahaan.

b) Public relation, yaitu kegiatan komunikasi yang dilakukan untuk

membangun citra baik perusahaan.

c) Physical image, yaitu kesan konsumen terhadap segala bentuk fisik dalam

meningkatkan citra perusahaan.

d) Actual experience, yaitu semua kondisi atau aktivitas yang dirasakan oleh

konsumen ketika merasakan pelayanan yang ditawarkan oleh pihak

perusahaan.

2) Corporate image menurut Stan et al. (2013) dapat diukur menggunakan

indikator:

a) Competence (Kompetensi), merupakan persepsi konsumen terhadap

kinerja perusahaan seperti profesionalitas dan dapat diandalkan.

b) Agreeableness (Mudah menyetujui), merupakan persepsi konsumen

terhadap karakter perusahaan yang dianggap baik, simpatik, kooperatif,


16

dan berempati.

c) Innovation (Inovasi), merupakan persepsi konsumen terhadap kemampuan

perusahaan untuk berinovasi bagi konsumen.

3) Corporate image menurut Janita dan Miranda (2013) dapat diukur

menggunakan indikator:

a) Reputation (Reputasi), merupakan tingkat atau status yang cukup tinggi

bagi sebuah perusahaan karena telah terbukti mempunyai track record

yang baik.

b) Image (Citra), merupakan potitioning perusahaan terhadap kompetitor

secara umum.

2.3 E-Service Quality (E-Servqual)

2.3.1 Definisi e-servqual

Secara umum pelayanan adalah suatu aktivitas atau serangkaian aktivitas

yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang terjadi sebagai akibat

adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal-hal lain yang

disediakan oleh perusahaan pemberian pelayanan yang di maksudkan untuk

memecahkan permasalahan konsumen (Daryanto, 2014: 135).

Pelayanan dalam e-commerce yang pada penelitian ini disebut sebagai e-

servqual didefinisikan sebagai kesan konsumen secara keseluruhan, dari navigasi

awal hingga proses konsumen menerima barang atau jasa (Kassim dan Abdullah,

2010). Definisi yang lebih spesifik mengenai e-servqual dalam penelitian

Zeithaml et al. (2010) mendefinisikan e-servqual sebagai tingkat kemampuan

suatu website atau aplikasi mobile untuk memberikan pengalaman berbelanja,


17

pembayaran, dan pengiriman produk secara efektif dan efisien. Jadi e-servqual

merupakan pengembangan dari service quality yang terjadi sebagai akibat adanya

interaksi antara konsumen dan perusahaan melalui media elektronik (website atau

aplikasi) yang bertujuan untuk memberikan kesan dan pengalaman secara efektif

dan efisien.

2.3.2 Model e-servqual

Untuk memahami konsep model e-servqual dalam suatu perusahaan,

Zeithaml et al. (2010) merancang suatu model konseptual e-servqual menjadi dua

bagian yaitu konsumen dan perusahaan. Model konseptual e-servqual perusahaan

terdapat tiga rentang potensial terhadap e-servqual, yaitu: (1) rentang informasi

(information gap), (2) rentang desain (design gap) dan (3) rentang komunikasi

(communication gap), yang terjadi pada proses marketing, desain dan operasional

suatu situs. Kombinasi tiga rentang ini secara bersama-sama mempengaruhi

rentang pemenuhan kebutuhan (fullfilment gap) yang terdapat pada sisi konsumen,

sehingga akan berpengaruh terhadap tingkat e-servqual dan value yang dirasakan

oleh konsumen, dan juga akan mempengaruhi tingkah laku konsumen dalam

keputusan untuk membeli atau membeli kembali suatu barang atau jasa.

Rentang (gap) pada model konsep e-servqual menurut Zeithaml et al.

(2010) didefinisikan sebagai berikut:

1) Information Gap merupakan ketidak sesuaian antara kebutuhan konsumen

terhadap suatu situs dan keyakinan pihak manajemen untuk memenuhi

kebutuhan konsumen tersebut.


18

2) Design Gap merupakan kegagalan suatu perusahaan dalam memenuhi

kebutuhan konsumen dalam hal pembuatan struktur dan fungsi dari suatu

situs, misalnya saat konsumen membutuhkan bantuan ketika terjadi masalah

dalam melakukan transaksi pembelian.

3) Communication Gap merupakan kurang tepatnya pengertian dari staf

marketing tentang fitur, kemampuan dan keterbatasan dari suatu situs. Hal ini

merupakan akibat dari kurangnya komunikasi antara bagian operasional dan

bagian marketing, yang dapat berakibat pada ketepatan janji yang dijanjikan,

misalnya: batas waktu pengiriman barang/jasa.

4) Fullfilment gap terjadi di pihak konsumen yang merupakan ketidaksesuaian

antara kebutuhan dan pengalaman masa lalu konsumen. Rentang pemenuhan

kebutuhan dipengaruhi oleh kombinasi rentang informasi, desain dan

komunikasi. Fullfilment gap dapat terjadi karena adanya rentang komunikasi

(communication gap) yang terjadi karena ketidak sesuaian janji dari bagian

penjualan ke konsumen terkait desain dan operasional situs. Fullfilment gap

juga dapat terjadi karena adanya design gap dan information gap atau ketidak

sesuaian informasi dan kemudahan proses penggunaan atau pembelian dari

suatu situs.

2.3.3 Dimensi e-servqual

Menurut Parasuraman (2005), terdapat sebelas dimensi e-servqual yang

mempengaruhi penilaian konsumen terhadap kualitas jasa untuk membandingkan

harapan dan persepsi konsumen terhadap layanan yang diterima. Dimensi e-

servqual tersebut adalah sebagai berikut:


19

1) Reliabilitas (reliability), mencakup fungsi-fungsi situs yang benar dan

ketepatan dari pelayanan yang dijanjikan kepada para konsumen.

2) Daya tanggap (responsiveness), situs dapat memberikan kemampuan

memberikan tanggapan dengan cepat kepada konsumen untuk mendapatkan

bantuan ketika menemui permasalahan dalam menggunakan situs.

3) Akses (access), merupakan kemampuan untuk membuka suatu situs secara

cepat dan menghubungi perusahaan ketika dibutuhkan.

4) Fleksibilitas (flexibility), mencakup pilihan dalam hal cara pembayaran,

pengiriman, pembelian, pencarian, dan pengembalian barang.

5) Navigasi yang mudah (ease of navigation), situs mempunyai fungsi yang

dapat membantu konsumen mencari sesuatu yang mereka butuhkan tanpa

mengalami kesulitan, memiliki search engine, serta mampu memberikan

navigasi situs yang mudah dan cepat kepada konsumen.

6) Efisiensi (efficiency), situs terstruktur sedemikian rupa sehingga sangat mudah

dimengerti, dan hanya sedikit proses input oleh konsumen yang dibutuhkan

untuk bertransaksi menggunakan situs.

7) Kepercayaan (assurance/trust), mencakup kepercayaan yang para konsumen

rasakan dalam menggunakan situs terkait reputasi, kebenaran informasi yang

diberikan.

8) Keamanan Privasi (security privacy), mencakup rasa aman konsumen

menggunakan situs, seperti aman dari segala ancaman keamanan komputer

dan data pribadi konsumen dilindungi secara baik dan benar.


20

9) Pengetahuan tentang harga (price knowledge), merupakan perluasan

kemampuan konsumen dalam menentukan pemilihan produk, harga,

pemilihan ekspedisi pengiriman produk dan kemampuan melakukan

perbandingan harga selama proses pembelian.

10) Astetik Situs (site aesthetics), merupakan dimensi yang berhubungan dengan

desain tampilan suatu situs, seperti: kombinasi warna, grafik, gambar dan jenis

huruf (font) yang digunakan.

11) Personalisasi (customization/personalization), merupakan dimensi yang

mencakup tentang seberapa banyaknya dan seberapa mudahnya suatu situs

dapat dipersonalisasi sesuai dengan keinginan konsumen, seperti catatan

history transaksi pembelian konsumen.

Dimensi e-servqual juga turut berkembang seiring dengan berkembangnya

model e-commerce. Menurut Leeraphong et al. (2016) dimensi e-servqual dapat

diwakilkan menjadi 5 (lima) dimensi yakni:

1) Kualitas informasi (Information quality), dimensi ini berkaitan dengan

ketepatan informasi, kelengkapan, dan kemudahan memahami informasi yang

secara positif dapat mempengaruhi keputusan pembelian online konsumen.

Informasi kualitas baik teks maupun gambar merupakan faktor yang sangat

penting dalam m-commerce C2C.

2) Keandalan (Reliability), dimensi keandalan mengacu pada kemampuan untuk

menjalankan layanan yang dijanjikan secara akurat seperti mengantarkan

produk tepat waktu dengan produk yang sesuai dengan deskripsi yang

diiklankan dan tanpa cacat.


21

3) Reputasi (Reputation), dimensi reputasi berasal dari kualitas transaksi

sebelumnya yang bergantung pada kebutuhan dan kejujuran konsumen.

Transaksi historis berdasarkan pembelian dapat mempengaruhi reputasi

penjual. Reputasi penjual bisa berasal dari profil penjual, seperti informasi

pribadi, jumlah pengikut, dan aktivitas komersial masa lalu.

4) Jaminan (Assurance), dimensi jaminan mengacu kepada kesiagaan penjual

untuk merespon pertanyaan terkait produk, dan jaminan keamanan data

konsumen.

5) Responsif (Responsiveness), dimensi responsif menggambarkan seberapa

cepat penjual memberikan layanan (misalnya pertanyaan konsumen,

pencarian informasi dan kecepatan navigasi) yang penting bagi

konsumennya.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wen et al. (2014), disebutkan

bahwa selain kualitas informasi, keandalan, reputasi, jaminan dan responsif, perlu

ditambahkan juga dimensi efficiency di dalam e-servqual. Pengukuran dimensi

efficiency menggunakan indikator pengukuran sebagai berikut: (1) mudah

digunakan, (2) mudah melakukan pencarian produk, (3) proses transaksi yang

cepat, dan (4) terstruktur dengan baik.

2.4 E-Satisfaction

2.4.1 Definisi e-satisfaction

E-satisfaction didefinisikan sebagai akumulasi dari kepuasan yang

konsumen dapatkan pada setiap pembelian dan pengalaman mengonsumsi barang

atau jasa dari waktu ke waktu pada sebuah situs online. (Kim et al., 2009).
22

Menurut Zeithaml et al. (2010) e-satisfaction merupakan penilaian konsumen

akan terpenuhinya kebutuhan dan harapan yang dirasakan terhadap suatu produk

atau jasa dalam e-commerce.

Lovelock dan Wirtz (2011: 74) mendefinisikan kepuasan adalah suatu sikap

yang diputuskan berdasarkan pengalaman yang didapatkan, hal ini menyebabkan

sangat dibutuhkannya penelitian untuk membuktikan ada atau tidaknya harapan

sebelumnya yang merupakan bagian terpenting dalam kepuasan. Menurut Kotler

dan Keller (2016: 25), kepuasan mencerminkan penilaian seseorang terhadap

suatu kinerja produk yang dirasakan dalam hubungannya dengan harapan. Jika

kinerja tidak sesuai harapan, konsumen akan kecewa, jika sesuai dengan harapan,

konsumen merasa puas dan jika melebihi harapan maka konsumen sangat senang.

Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa tingkat kepuasan konsumen

yang lebih tinggi akan menghasilkan loyalitas konsumen yang lebih besar, dan hal

ini juga akan menghasilkan kinerja perusahaan yang lebih baik. Perusahaan

bertujuan untuk menyenangkan konsumen dengan menjanjikan hal yang dapat

mereka berikan dan kemudian perusahaan akan memberikan lebih dari yang

mereka janjikan. Dengan demikian konsumen yang merasa puas tidak hanya

melakukan pembelian berulang melainkan juga menjadi mitra pemasaran yang

bersedia menyebarkan berita tentang pengalaman baik mereka kepada orang lain

(Armstrong dan Kotler, 2017: 42).

Menurut Oliver (1992) sebagaimana dikutip oleh Tjiptono dan Chandra

(2011: 294), kepuasan adalah fenomena rangkuman atribut bersama-sama dengan

emosi konsumsi lainnya. Kajian literatur kepuasan konsumen menurut Giese dan
23

Cote (2000) yang dikutip Tjiptono dan Chandra (2011: 292), mendefinisikan 20

definisi yang diacu dalam riset kepuasan konsumen selama periode waktu 30

tahun, meskipun definisi-definisi tersebut bervariasi (bahkan beberapa diantaranya

saling tidak konsisten satu sama lain), kedua pakar dari Washington State

University ini menemukan kesamaan dalam hal tiga komponen utama:

1) Kepuasan konsumen merupakan respon (emosional atau kognitif)

2) Respon tersebut menyangkut fokus tertentu (ekspektasi, produk, pengalaman

konsumsi, dan seterusnya)

3) Respon terjadi pada waktu tertentu (setelah konsumsi, setelah pemilihan

produk/jasa, berdasarkan pengalaman akumulatif, dan lain-lain)

2.4.2 Indikator pengukuran e-satisfaction

Pengukuran variabel e-satisfaction menurut literatur atau penelitian

sebelumnya, dapat dilakukan dengan menggunakan indikator berikut, yaitu:

1) Menurut Rahyuda dan Atmaja (2011), e-satisfaction dapat diukur dengan

menggunakan indikator berikut:

a) Kesesuaian harapan merupakan kesesuaian harapan pelanggan terhadap

kualitas jasa yang ditawarkan oleh perusahaan.

b) Persepsi kinerja merupakan persepsi yang diciptakan oleh pelanggan

terhadap pelayanan yang diterima dari pihak perusahaan.

c) Penilaian pelanggan merupakan penilaian menyeluruh terhadap

keunggulan layanan dibandingkan dengan layanan perusahaan kompetitor

lainnya.
24

2) Menurut Anggreani dan Yasa (2012), e-satisfaction dapat diukur dengan

menggunakan indikator berikut:

a) Konsumen puas atas layanan yang diberikan. Secara keseluruhan layanan

internet banking mampu menjawab ekspektasi dari konsumen.

b) Konsumen puas ketika transaksi yang dilakukan berhasil dengan sukses.

Transaksi yang konsumen lakukan dapat berhasil dengan lancar dan tanpa

adanya hambatan.

c) Layanan yang diberikan memenuhi harapan konsumen.

3) Menurut Janita dan Miranda (2013), e-satisfaction dapat diukur dengan

menggunakan indikator berikut:

a) Persepsi konsumen menggunakan produk atau jasa dari perusahaan adalah

keputusan yang tepat.

b) Kepuasan secara keseluruhan, yaitu kepuasan yang diperoleh dari

pengalaman konsumen menggunakan produk/jasa perusahaan dari proses

awal hingga produk/jasa diterima konsumen.

c) Pelayanan yang ditawarkan dapat membuat senang konsumen dan

konsumen merasa mendapatkan pelayana yang sangat sempurna.

d) Layanan yang diberikan memenuhi harapan konsumen.

4) Menurut Amin (2016), e-satisfaction konsumen dapat diukur dengan

menggunakan indikator berikut:

a) Kepuasan secara keseluruhan, yaitu kepuasan yang diperoleh dari

pengalaman konsumen menggunakan produk/jasa perusahaan dari proses

awal hingga produk/jasa diterima konsumen.


25

b) Perasaan senang, yaitu tingkat kesenangan konsumen selama dan setelah

menggunakan produk atau jasa suatu perusahaan.

c) Kemudahan penggunaan, yaitu penilaian konsumen terhadap kebudahan

menggunakan website/aplikasi.

2.5 E-Loyalty

2.5.1 Definisi e-loyalty

Loyalitas merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam

kelangsungan hidup dunia usaha, model bisnis e-commerce sebaik apapun tidak

akan dapat bertahan tanpa adanya loyalitas (Anderson dan Srinivasan, 2003).

Menurut Kassim dan Abdullah (2010), pelaku usaha online harus berfokus pada

loyalitas agar dapat tetap bertahan dan tetap memperoleh keuntungan. Loyalitas

sangat penting bagi pertumbuhan perusahaan dan akan menguntungkan dalam

waktu jangka panjang (Eid, 2011).

Loyalitas konsumen yang dalam konteks penelitian e-commerce disebut

electronic loyalty (e-loyalty), didefinisikan sebagai preferensi dan komitmen

konsumen terhadap suatu situs online dan konsumen akan melakukan pembelian

ulang pada situs online tersebut (Srinivasan et al., 2002). Menurut Hapsari et al.

(2017) e-loyalty didefinisikan sebagai niat konsumen untuk kembali berkerja

sama, merekomendasikan kepada orang lain dan tetap setia kepada suatu brand

atau perusahaan e-commerce.

Menurut Oliver (2015: 433), proses atau tahapan terbentuknya loyalitas

terbagi menjadi empat tahap yaitu:


26

1) Cognitive Loyalty, merupakan tahap pertama dari loyalitas, tahap ini

menekankan loyalitas pada tahap kognitif atau loyalitas berdasarkan kepada

keyakinan konsumen terhadap suatu merek. Pengetahuan ini bisa berasal dari

pengetahuan sebelumnya atau pengalaman yang baru terjadi. Tahap ini

merupakan tahap loyalitas yang paling dangkal, jika sebuah transaksi

dilakukan secara rutin dan kepuasan tidak diproses sebagai contoh jasa

membersihkan sampah, maka kedalaman loyalitas tidak akan menjadi bagian

dari pengalaman konsumen.

2) Affective Loyalty, pada tahap affective loyalty kesukaan atau kepuasan

konsumen terhadap suatu merek berkembang berdasarkan akumulasi

menggunakan produk perusahaan. Mirip dengan tahap cognitive loyalty, pada

tahap ini konsumen cukup rentan untuk berganti merek atau mencoba produk

kompetitor, diketahui konsumen yang berganti merek atau produk

mengatakan bahwa mereka puas dengan merek atau produk sebelumnya.

Sehingga perusahaan lebih menginginkan konsumen ada pada tahap loyalitas

yang lebih dalam.

3) Conative Loyalty, merupakan komitmen untuk membeli kembali spesifik

terhadap suatu merek. Tahap conative dipengaruhi oleh pengaruh pengalaman

positif yang dirasakan oleh konsumen setelah berkali–kali menggunakan

produk atau merek. Pada tahap loyalitas ini konsumen mempunyai komitmen

yang cukup dalam untuk menggunakan produk atau brand perusahaan.

4) Action Loyalty, merupakan tahap terakhir dari tahap loyaty, di mana cognitive

loyalty fokus kepada aspek kinerja dari merek, affective loyalty fokus
27

terhadap bagaimana sebuah merek disukai oleh konsumen, sedangkan

conative loyalty diekspresikan dalam komitmen atau niat konsumen untuk

membeli kembali suatu merek. Action loyalty merupakan sebuah komitmen

untuk aksi atau tindakan membeli kembali sebuah produk atau merek

2.5.2 Indikator pengukuran e-loyalty

Loyalitas konsumen dapat diukur melalui beberapa indikator pengukuruan.

Berikut merupakan indikator-indikator pengukuran loyalitas konsumen dari

literatur dan penelitian sebelumnya, yaitu:

1) Menurut Janita dan Miranda (2013), loyalitas konsumen dapat diukur dengan

menggunakan indikator berikut:

a) Positive word of mouth, yaitu kesediaan konsumen untuk mengatakan hal

yang positif tentang produk atau jasa perusahaan kepada orang lain.

b) Rettention, yaitu ketahanan konsumen terhadap pengaruh dan penawaran

dari perusahaan kompetitor.

c) Willingness to pay more, yaitu kesediaan konsumen untuk tetap

menggunakan produk atau jasa meskipun harus membayar lebih mahal.

2) Menurut Kotler dan Keller (2016), loyalitas konsumen dapat diukur dengan

menggunakan indikator berikut:

a) Repeat Purchase, yaitu kesediaan konsumen untuk membeli ulang produk.

b) Rettention, yaitu ketahanan konsumen terhadap pengaruh yang negatif

mengenai perusahaan.

c) Referalls, yaitu kesediaan konsumen untuk menawarkan atau

menginformasikan produk kepada orang lain.


28

3) Menurut Lin et al. (2016), loyalitas konsumen dapat diukur dengan

menggunakan indikator berikut:

a) Word of mouth e-service, yaitu kesediaan konsumen merekomendasikan

perusahaan, website, atau aplikasi kepada orang lain.

b) Purchase intention e-service, yaitu kesediaan konsumen memprioritaskan

dan untuk terus menggunakan produk atau jasa perusahaan.

4) Menurut Amin (2016), loyalitas konsumen dapat diukur dengan menggunakan

indikator berikut:

a) Referalls, yaitu kesediaan konsumen untuk merekomendasikan,

menawarkan, atau menginformasikan produk kepada orang lain.

b) Rettention, yaitu ketahanan konsumen terhadap pengaruh dan penawaran

dari perusahaan kompetitor.

c) Positive word of mouth, yaitu kesediaan konsumen untuk mengatakan hal

yang positif tentang produk, atau jasa perusahaan kepada orang lain.

d) Repeat Purchase, yaitu kesediaan konsumen untuk membeli ulang produk.

Anda mungkin juga menyukai