Anda di halaman 1dari 7

LITERASI SENJA DALAM REFLEKSI

Lelaki itu memandang sinis seorang perempuan di seberang jalan, sembari


mengunyah makanan di atas pohon Jambu. Perempuan bernama Sri itu menyadari
bahwa ia sedang diamati, memutuskan menghampiri lelaki itu.
"Eh Gus, apa yang kau lakukan di atas sana? Bukankah sore ini ada kuliah?"

"Ah, kau ini Sri, bolos sekali-kali tidak masalah „kan? Lagipula, kenapa kau
berdiri di bibir jalan begitu?" Lelaki bernama Agus balik bertanya.
"Menunggu si Pande nih, katanya hendak mengajak pulang. Eh, sedari tadi tak
juga terlihat batang hidungnya" Seloroh Sri ketus.
"Ke sinilah dulu, mumpung pemandangannya bagus" Lanjut Agus. Sri dengan
sigapnya memanjat pohon Jambu itu, duduk bersebelahan.

Sore itu matahari hendak melewati garis langit, warna oren kejinggaan
mendominasi. Sepasang sahabat terlena dengan pikiran masing-masing. Ya, sepasang.
Ada lelaki dan perempuan. Sepasang tidak selalu identik dengan kekasih „kan? Begitu
matahari menyentuh garis langit, salah seorang dari mereka memulai sebuah
percakapan.
Tema yang sederhana, tentang alam dan perempuan.

"Hei Sri, tahukah apa keterkaitan antara alam dan perempuan?" Agus memulai.
"Entahlah." Sri menggeleng pelan.

"Aduh, kau kan perempuan, masak tidak tahu?"


"Kenapa juga bertanya demikian?" Sri menuntut balik, sedikit jengkel.
"Entahlah." Agus menjawab santai.

"Eh, sialan. Kau pun tak paham dengan pertanyaanmu sendiri? Ah, yang benar
saja." Sri mulai jengkel, sembari melempar ranting pohon ke wajah Agus. Ia meringis,
kemudian tertawa.

Gemericik air terdengar syahdu, ombak mulai menghantam bibir pantai. Para
nelayan mempersiapkan perahu, bersiap menjamu ombak nanti malam. Sepasang
sahabat ini kembali sibuk dengan pikiran masing-masing, terjadi lagi. Pertanyaan itu,
bagaikan layang-layang, terbang bersama semilir angin, terikat benang “pikiran” dua
sejoli.
"Sepertinya aku bisa menjawab pertanyaanmu, Gus. Aku pernah mengalaminya,
semacam pengalaman batin dengan alam." Ujar Sri mengumbar senyum, merekah.
Agus menunggu kata-kata yang akan keluar dari sahabatnya itu. Cukup lama Sri
terdiam.
"Hanya saja aku merasa..." Suaranya pelan, hampir tidak terdengar. Hingga desir
angin seolah-olah berbisik mewakili apa yang hendak diucapkan gadis itu. Agus tetap
menunggu kelanjutannya, menatap lekat mata gadis itu. Ia menelan ludah. Sri terlihat
cantik dengan rambut indah panjangnya yang tergerai diterpa angin.
Senja itu terasa sempurna, batinnya.

"Hanya saja apa, Sri?" Pertanyaan Agus memecah lamunan, sedikit membuat Sri
tersentak. "Maaf, aku tidak bermaksud—“ Agus merespon spontan, mengalihkan
pandang.

"Dahulu ibuku pernah berkata, manusia yang tumbuh sehat tidak terlepas dari
alam yang asri, yang tidak tercemar." Sri mulai menjelaskan, raut wajahnya sendu,
menambah aura kecantikan yang alami.

"Apa yang kau maksud dengan yang asri? Tidak tercemar? Apakah alam
sekarang tidak lagi alami atau bagaimana?” Agus mengejar.
"Memang benar, ternyata lelaki tidak begitu peka." Sri menoleh, menatap lekat
mata lelaki itu, tersenyum tipis.
"Apa yang kau maksud dengan tidak peka?" Agus sedikit terlihat berusaha
mempertahankan diri dari pertanyaan gadis itu, sekaligus pernyataan yang seringkali
keluar dari pikiran dan lisan kaum hawa.
"Lihatlah sekelilingmu, Gus. Hari-hari ini tidak ada yang tidak tercemar. Bahkan
laut ini sekalipun, semenjak terjadi penggunaan bom dan pukat harimau, pendapatan
nelayan menurun. Tidakkah kondisi yang demikian itu juga menimpa bapakmu salah
satunya? Selain berdampak pada nelayan, hal itu juga merusak ekosistem. Terumbu
karang dan rumput laut menjadi korban." Lanjut Sri sedikit menggebu, sembari
menghela napas panjang, berembus pelan.
Mendengar penjelasan Sri, pikiran Agus kembali menggeliat. Wajahnya
termangu, ia teringat sesuatu.
"Maaf Gus, aku tidak bermaksud—“ Sri merasa tidak enak.
"Tidak masalah, lanjutkan penjelasanmu." Agus segera menyela, tersenyum tipis.

Sore itu cahaya langit mulai meredup, menyisakan sedikit warna jingga. Agus
menatap wajah gadis itu, lagi.
"Mungkin kau benar Sri, laut ini telah tercemar. Namun sepertinya tidak dengan
wajahmu, kalau kau tahu tentunya." Gumamnya dalam hati.
"Kenapa memandangku seperti itu, ada yang aneh?" Sri mengernyitkan dahi.
"Tidak, bukan apa-apa." Sanggah Agus, melempar pandang. "Selain itu, apa lagi
yang dibilang ibumu?" Agus mengembalikan percakapan menuju alurnya.
"Beliau berkata, alam yang tidak tercemar mampu memberikan banyak manfaat
bagi kehidupan. Tidak sekadar menjadi objek yang dengan bebas dieksploitasi atas
nama pemanfaatan atau semacamnya, padahal hakikatnya justru merusak. Seperti yang
terjadi sekarang ini." Pandangannya melesat jauh ke depan, seolah ingin mengintip apa
yang ada di balik lautan.

"Kau benar, kata 'eksploitasi' itu seolah menjadi momok yang mengerikan, seperti
monster." Sambung Agus sembari melirik Sri, hendak meminta persetujuan akan
pendapatnya. Tidak ada respon, hanya angin yang berbisik. Sepasang sahabat ini
kembali berkelit dengan pikiran masing-masing. Sedangkan air laut perlahan naik,
ombak bergulung-gulung menghantam bibir pantai. Perahu-perahu berjajar rapi, bersiap
menjadi sahabat para pemburu rezeki. Angin malam berembus pelan, membasuh wajah
dua manusia.
Agus tidak dapat menahan diri untuk tidak diam-diam mencuri pandang.
"Ya Tuhan, kenapa Engkau tega menyiksaku dengan perasaan ini? Tidak adakah
keindahan lain yang dapat engkau tawarkan, selain wajah sendu gadis ini? Juga rambut
itu—" Cepat-cepat ia membuang muka ketika Sri membalas tatapannya.
"Oh ya Gus, kau juga menyinggung tentang perempuan, bukan?" Pertanyaan Sri
memecah keheningan.
"Eh, apa?" Seloroh Agus sedikit terhenyak.

"Aduh, pertanyaan yang tadi kau ajukan" Sri sedikit jengkel.


"Aaahh, benar. Tentang perempuan. Maaf Sri, telingaku agak terganggu.
Anginnya terlalu kencang." Agus terlihat salah tingkah. Sri hanya tersenyum, enggan
merespon.
"Aargh, bodohanyaa aku, sungguh bodoh! Kenapa angin yang aku salahkan?"
Sekarang ia benar-benar jengkel terhadap dirinya sendiri.

Langit mulai gelap, pertunjukan senja hampir berakhir, namun dua pasang mata
masih enggan melepas pandang.
“Oh ya, berbicara tentang eksploitasi, kau tentu tahu Francis Bacon bukan? Ia
yang disebut sebagai bapak ilmu pengetahuan alam modern." Ucap Sri memulai
penjelasan.
"Ya, aku pernah membaca sedikit tentangnya. Seorang yang hebat, pendobrak
revolusioner ilmu pengetahuan di abad ke-17. Memangnya apa hubungannya dengan
eksploitasi dan perempuan?" Agus penasaran.
"Pernah suatu ketika ia berkata, bahwa alam harus dipaksa dengan kekerasan
untuk mengungkapkan tabir rahasia yang menutupi sesuatu di dalamnya. Karena alam
bagaikan seorang perempuan jahat yang serakah, menumpuk harta untuk dirinya sendiri
dan menyembunyikannya dari anak-anaknya. Kau tahu? Kitalah anak-anak itu." Sri
menambahkan.
"Aku belum pernah mendengarnya, tidak cukup referensi." Agus menyimak
dengan antusias.

"Sialnya lagi, pernyataan itu keluar dari kaum laki-laki." Sri melanjutkan, pelan.
Kalimat terakhir itu membuat Agus menerka-nerka, apa yang hendak dimaksud gadis
ini dengan ucapannya?

"Apa maksudmu dengan „kaum laki-laki‟?" Ia memberanikan diri bertanya.


"Ah, tentu kau masih bertanya-tanya, Gus. Ternyata benar dugaanku, lelaki
memang tidak begitu peka." Ia tersenyum, manis sekali.

Agus yang hendak memprotes perkataan gadis itu, menghadapi senyum setulus
dan semanis itu, membatalkan niatnya. Ia akui dalam hatinya, ia lemah, "Lanjutkan..."
Hanya itu yang keluar dari mulutnya, sembari mengalihkan pandang. “Sialan!”
Umpatnya.
Sri kemudian menjelaskan panjang lebar tentang perbuatan eksploitatif, yang
tidak hanya berlaku terhadap alam. Tapi juga manusia, terkhusus perempuan—sebagai
objek. Wajahnya sendu, mulut dan tubuhnya sedikit bergetar, matanya sedikit berkilat
karena basah. Agus memilih diam, membiarkan gadis itu sejenak dalam suasana hati
dan pikirannya.

Langit semakin gelap, angin malam menyelimuti tubuh mereka. "Maaf Gus, kau
harus melihatku seperti ini" Ucap Sri sedikit terisak, setelah agak lama terdiam.

"Tidak masalah, Sri." Agus berusaha mengumbar senyum, menenangkan.


Ternyata di balik pikiranmu yang cemerlang, kau begitu rapuh.
"Oh ya, bolehkah giliranku sekarang yang bertanya? Tapi jawablah dengan
sungguh-sungguh." Sri akhirnya memulai, matanya masih terlihat sembap.
"Ya, boleh saja." Agus berusaha mengerti apa yang dimaksudkannya dengan
“sungguh-sungguh”, enggan dikatai “tidak peka” lagi.

"Kenapa kau menanyakan hal ini?" Pertanyaan retoris. Raut wajah Agus sekilas
berubah, nampak berpikir, menimbang-nimbang.
"Kau tentulah bisa meraba-raba apa alasanku, Sri. Seperti kau bilang, bukankah
perempuan memiliki kepekaan yang melebihi laki-laki?" Agus memancing, tidak
langsung menjawab.
"Tidak semua laki-laki berpikiran untuk mengajukan pertanyaan semacam itu.
Kau pasti memiliki alasan tersendiri." Seloroh Sri.
"Kau memang gadis cerdas, Sri."
"Sejak lahir." Sri menimpali, tersenyum. Kemudian mereka berdua tertawa, lepas.
Orkestrasi senja benar-benar berakhir, langit mulai diselimuti malam. Suara
deburan ombak terdengar bagaikan instrumen musik yang mengalun indah.
Perbincangan sore ini benar-benar menyenangkan, Agus mendapatkan semacam pikiran
baru terhadap pemahamannya mengenai alam dan perempuan. Sri tidak hanya memiliki
paras yang memikat, tapi juga pikirannya. Kecantikan dan kecerdasan seolah menyatu
dalam dirinya. Ia menjelaskan tentang keterkaitan antara eksploitasi, alam, dan
perempuan secara runut dan sistematis.

Sekarang ia dituntut untuk bertanggungjawab atas pertanyaannya sendiri.


"Aku merasa alam bukan hanya sekadar sesuatu yang mati, ia hidup, bahkan
mungkin kehidupan itu sendiri." Agus memulai. Sri mendengarkan dengan antusias, ia
menatap lekat mata lelaki itu.
"Hari-hari ini kehidupan itu perlahan diambil secara paksa oleh mereka yang
rakus kepentingan. Mereka yang merasa diri tidak membutuhkan alam, segalanya
dirampas. Merampas alam berarti merampas kehidupan. Sialnya, benar apa yang kau
katakan, pelakunya seringkali berasal dari kaumku. Menyedihkan, bukan?" Seraya
tertawa kecil.

"Pada titik itulah aku merasa bahwa perempuan—”


"Sri, di mana kau? Sriiii!" Mereka berdua mencoba mencari asal suara. Ternyata
si Pande.

"Jangan pedulikan! Lanjutkan saja penjelasanmu, Gus." Sri melirik sinis,


kemudian beralih pandang.

"Ia selalu begitu, menjengkelkan." Gerutunya, sembari tertawa kecil. Sedangkan


Pande celingukan di bawah sana, mondar-mandir di tepi jalan, mencari keberadaan Sri
tentunya.

Dua sahabat baiknya ini, Sri dan Pande, memang selalu begitu, tidak pernah
senyap dari keusilan satu sama lain. Agus yang hendak berteriak memanggil lelaki itu,
mengurungkan niat, melanjutkan penjelasan.

"Perempuan dan alam, kurasa keduanya adalah sumber kehidupan. Mengasihi,


menyayangi, mengayomi, merawat, melestarikan, memberdayakan. Itu semua melekat
pada keduanya. Frekuensi perempuan selalu tune in dengan alam. Seolah-olah
keduanya menyediakan nada yang sama, irama yang mengalun harmonis." Agus
melirik Sri, menunggu apakah ia akan merespon.
"Apakah itu artinya laki-laki tidak memiliki semua itu? Sehingga kau
beranggapan demikian?" Sri membuka suara.
"Oh tidak, sama sekali tidak. Kau salah menyasar, Sri. Bagaimanapun, bukannya
perempuan yang sering beranggapan demikian? Salah satu buktinya ialah frasa „tidak
peka‟ yang sering kau sematkan padaku." Agus bertanya balik.
Sri mengernyitkan dahi, merasa dijebak oleh Agus. Seolah-olah pertanyaan yang
ia ajukan seharusnya tertuju pada dirinya sendiri. "Hei Sri, apakah itu artinya laki-laki
tidak memiliki semua itu? Rasa kasih, sayang dan semacamnya. Kau pikir hanya
perempuan yang memiliki semua itu? merasa dirinya lebih peka terhadap kehidupan,
terhadap alam." Sri nampak berpikir, itu pertanyaan sulit baginya.

Langit akhirnya benar-benar gelap, angin malam semakin giat menyergap.


Sepasang sahabat ini kembali bergelut dengan pikiran masing-masing. Pertanyaan
terakhir itu tetap menjadi misteri, tentu bagi mereka berdua.

"Mencari jawaban tentang pertanyaan ini tentu sangat panjang, Gus. Sayangnya
hari sudah malam." Sri melepas pandang, menatap jauh ke depan.
Rembulan mulai menampakkan diri, membentuk refleksi di atas permukaan laut,
gemericik air membuat semburat cahaya yang terpecah-pecah, gemerlapan. Agus
menghela napas, bisa jadi ini menjadi perbincangan terakhir dengan Sri. Wajah itu
semakin terlihat sendu diterpa cahaya rembulan, sendu yang mengisyaratkan
ketenangan, namun sebenarnya menyimpan gejolak dalam dirinya. Seperti laut malam
ini.
"Kau benar Sri, hari sudah malam, tentunya kau tidak berniat menginap di atas
pohon bukan? Atau hendak mencari pengalaman batin dengan alam sebagaimana tadi
kau katakan? Mari pulang." Ucap Agus, diikuti tawa mereka berdua.
Sedangkan Pande masih terlihat mondar-mandir di tepi jalan.
BIODATA PENULIS
1. Nama Lengkap : M. „Izzuddin Robbani Habe
2. Email : Jud365502@gmail.com
3. Nomoe WA : 0881036203050
4. ID Instagram : @Haruma
5. Alamat : Dukuhtunggal, Glagah, Lamongan, Jawa Timur

Anda mungkin juga menyukai