Anda di halaman 1dari 3

FORTIFIKASI ZAT GIZI PANGAN

Oleh
Arzahrawani Katira Putri
Pangan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Manusia tidak dapat
mempertahankan hidupnya tanpa adanya pangan. Berdasarkan penjelasan dari Undang-undang
Republik Indonesia No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang menyatakan bahwa “Pangan sebagai
kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya merupakan hak asasi setiap rakyat Indonesia
harus senantiasa tersedia cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi, dan beragam dengan
harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat”. Beberapa negara sudah menetapkan target
untuk menghilangkan kekurangan zat gizi mikro termasuk Indonesia. Tujuan dasar dari semua
program-program zat gizi mikro adalah untuk manjamin bahwa zat gizi mikro yang dibutuhkan
tersedia dan dikonsunsi dalam jumlah yang cukup, oleh penduduk (terutama penduduk yang
rentan terhadap kekurangan zat gizi mikro tersebut). Oleh karena itu sesuai dengan Peraturan
Pemerintah No 28 Tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan yang menyatakan
bahwa “Dalam hal terjadi kekurangan dan/atau penurunan status gizi masyarakat perlu dilakukan
upaya perbaikan gizi melalui pengayaan dan/atau fortifikasi gizi pangan tertentu yang
diedarkan”.
Fortifikasi adalah penambahan zat gizi makro atau mikro pada salah satu atau beberapa
bahan pangan yang biasa dikonsumsi dengan tujuan meningkatkan nilai gizi bahan pangan
(Helmyati dkk., 2013). Program fortifikasi zat gizi dalam bahan pangan agar masyarakat yang
menengah ke bawah juga mendapat asupan zat gizi yang cukup sehingga masyarakat tidak
mengalami malgizi (kekurangan asupan zat gizi). Biasanya, kekurangan zat gizi mikro
(mikronutrien) memiliki dampak yang sangat serius seperti ketidakmampuan belajar secara baik,
penurunan produktivitas kerja, kesakitan, dan bahkan kematian. Zat gizi yang ditambahkan
biasanya satu atau lebih dari satu macam zat gizi. Jenis zat gizi yang biasanya difortifikasi yaitu
vitamin A, zat besi dan yodium. Ketiga zat gizi tersebut merupakan zat mikro utama yang
ditambahkan ke dalam suatu bahan pangan yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam melengkapi
asupan zat gizinya.
Zat besi merupakan trace element yang penting bagi tubuh manusia (Helmyati dkk.,
2013). Anemia Besi adalah penyakit kekurangan zat besi yang paling lazim di dunia
mencangkup setengah dari semua jenis penyakit anemia. Zat gizi besi ditemukan pada pangan
produk hewani, sayuran, biji-bijian atau padi-padian, dan tumbuhan. Daging mengandung zat
besi yang siap untuk diserap, akan tetapi zat besi yang bersumber dari sayuran-sayuran (nabati)
hanya sedikit yang terserap. Susu merupakan salah satu bahan makanan yang sering digunakan
untuk fortifikasi zat besi. Zat besi yang biasa digunakan untuk fortifikasi susu adalah kelompok
iron binding protein.
Fortifikasi dengan vitamin A adalah strategi jangka panjang untuk mempertahankan
kecukupan vitamin A. Penyebab utama kekurangan vitamin A adalah asupan zat gizi vitamin A
(preformed retinol) atau prekursor vitamin A yang tidak mencakupi peningkatan kebutuhan
vitamin A pada kondisi fisiologis dan patologis tertentu, penyerapan yang kurang kehilangan
karena diare sering merupakan penyebab kekurangan vitamin A (Siagian, 2003). Jenis fortifikasi
vitamin A utaman untuk fortifikasi adalah retinil asetat, retinil palmitat serta provitamin A (B-
Karoten). Retinil asetat dan retinil palmitat merupaakan bentuk sterifikasi vitamin A komersial
yang biasa digunakan sebagai bahan fortifikasi makanan dan memiliki warna kuning kemerahan.
Hal ini menyebabkan provitamin A lebih banyak digunakan untuk fortifikasi margarin jika
vitamin tersebut berbentuk lemak. Sedangkan untuk fortifikan vitamin A yang berbasis air atau
kering dapat digunakan untuk fortifikasi bahan makanan seperti tepung terigu, susu bubuk, dan
lain-lain.
Bentuk kimiawi dari yodium yang dapat digunakan untuk fortifikasi bahan makanan
yaitu iodide dan iodat. Bentuk iodat memiliki kelarutan dalam air lebih rendah daripada bentuk
iodide. Namun, iodat lebih tahan terhadap reaksi oksidasi dan penguapan, lebih stabil dalam
kondisi lingkungan yang kurang baik dan tidak membutuhkan senyawa stabilisator (Helmyati
dkk., 2013). Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) merupakan penyakit malgizi karena
kekurangan asupan zat gizi mikro yodium. Dampak GAKI dapat lebih buruk apabila
dikombinasikan dengan kemiskinan, malagizi umum, dan buruknya sanitasi. Beberapa contoh
produk yang telah difortifikasi dengan yodium salah satunya yaitu garam yang beryodium.
Garam beryodium merupakan produk bahan tambahan makanan untuk memberi rasa dan harga
yang murah dan terjangkau sehingga masyarakat menengah ke bawah bisa mendapatkannya.
Oleh karena itu, fortifikasi pangan harus dipandang penting karena sebagai upaya untuk
memperbaiki kualitas pangan selain dari perbaikan praktek-praktek pertanian yang baik,
perbaikan pengolahan dan penyimpangan pangan, dan memperbaiki pendidikan konsumen untuk
mengadopsi praktek-praktek penyediaan pangan yang baik.
DAFTAR PUSTAKA

Helmyati, S., E. Yuliati, N.P Pamungkas, N.Y. Hendarta. 2013. Fortifikasi Pangan Berbasis
Sumber Daya Nusantara: Upaya Mengatasi Masalah Defisiensi Zat Gizi Mikro di
Indonesia. UGM Press : Yogyakarta

Siagian, A. 2003. Pendekatan Fortifikasi Pangan Untuk Mengatasi Masalah Kekurangan Zat
Gizimikro. Fakultas Kesehatan Masyarakat : Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai