Anda di halaman 1dari 10

TUGAS TERSTRUKTUR

FORTIFIKASI Fe (FERO FUMARAT) PADA MIE BASAH UNTUK


PERBAIKAN STATUS ANEMIA PADA REMAJA PUTRI

Disusun Oleh:

Kelompok 6

Fricha Andalina I1I017012

Puji Hastuti I1I017006

Dwi Putri Indriany G1H013029

Adinda Mala Melinda I1D015007

Puput Lestari I1D015013

Rina Setiawan I1D015020

Christy Nataly br Silaen I1D015025

Dzurria Majida I1D015035

Astrid Oktavia Mukti I1D015042

Nisa Chairunnisa I1D015048

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM STUDI ILMU GIZI
PURWOKERTO
2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masa remaja (adolescence) merupakan masa terjadinya perubahan


yang berlangsung cepat dalam hal pertumbuhhan fisik, kognitif, dan
psikososial. Masa ini merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju
remaja yang ditandai dengan banyak perubahan, di antaranya pertambahan
massa otot, jaringan lemak tubuh, dan perubahan hormon. Perubahan tersebut
mempengaruhi kebutuhan gizi. Selain itu kebutuhan gizi pada remaja juga
dipengaruhi oleh faktor psikologis dan sosial (Supariasa, 2014).
Pada umumnya remaja putri mempunyai pola dan kebiasaan makan
yang homogen dimana asupan energi dan zat gizi kurang dari angka
kecukupan gizi (AKG) yang sudah dianjurkan. Hal ini juga terlihat bahwa
hampir separuh remaja putri mempunyai berat badan rendah dan tinggi badan
yang kurus, serta sepertiga dari mereka kurus, yang menunjukkan adanya
hambatan pertumbuhan (Sayogo, 2011).
Di Indonesia sendiri, anemia defisiensi besi masih merupakan satu
dari empat masalah gizi utama. Masalah anemia defisiensi besi dapat ditemui
di setiap siklus hidup, salah satunya pada kelompok remaja putri. Remaja
putri merupakan salah satu kelompok yang memiliki resiko tinggi terhadap
kejadian anemia. Prevalensi anemia pada remaja putri di Indonesia masih
cukup tinggi yakni sebesar 20-40%. Hal ini dikarenakan pola konsumsi
masyarakat Indonesia yang rata-rata hanya mampu mencukupi angka
kebutuhan zat besi dibawah 50%. Dengan kata lain, kebutuhan zat gizi yang
tinggi pada remaja putri akan sulit terpenuhi apabila asupannya hanya berasal
dari konsumsi pangan yang biasa dikonsumsi sehari-hari, tanpa dilakukannya
fortifikasi pangan, sehingga penting dilakukan program fortifikasi.
Fortifikasi pangan adalah penambahan satu atau lebih zat gizi
(nutrient) ke dalam suatu bahan pangan. Tujuan utamanya untuk
meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan untuk
meningkatkan status gizi suatu populasi. Fortifikasi memiliki beberapa
keunggulan dibanding suplementasi. Salah satunya adalah tidak
membutuhkan kepatuhan masyarakat, karena tidak merubah pola konsumsi
masyarakat, dan tidak membutuhkan pengetahuan akan manfaat produk.
Berbagai teknologi pengolahan mie berbahan baku tepung ini telah
berkembang meski pada skala kecil. Salah satu peningkatan mutu mie yaitu
dengan cara fortifikasi. Fortifikasi adalah penambahan suatu komponen zat
yang ditambahkan secara sengaja terhadap suatu produk pada yang telah
memiliki kandungan tersebut atau belum. Pada pembuatan mie biasanya
diikut sertakan dengan penambahan zat besi Zat besi (Fe) merupakan jenis
mineral mikro esensial yang mempunyai fungsi penting di dalam tubuh.
Dibutuhkan dengan jumlah konsumsi sekitar 1.5-2.2 mg per- harinya (Rianto
2006).
B. Manfaat

1. Mengatasi masalah anemia pada remaja putri melalui fortifikasi Fe ke


dalam mie
2. Menurunkan resiko anemia pada remaja putri
3. Meningkatkan status gizi dan kesehatan Remaja Putri
4. Meningkatkan kemampuan belajar
5. Mengganti darah yang hilang selama haid
6. Memberikan alternatif makanan yang dapat memenuhi kebutuhan Fe
C. Tujuan

a. Tujuan Umum
Makalah ini bertujuan untuk mengkaji produk mie basah yang
difortifikasi Fe sebagai upaya penanggulangan anemia defisiensi besi
berbasis pangan.
b. Tujuan Khusus
1. Mengetahui jenis fortifikan pada mie basah
2. Mengetahui teknologi fortifikasi mie basah
3. Mengetahui bahan dan cara pembuatan mie basah
4. Mengetahui kelebihan dan kelemahan mie basah dalam meningkatkan
asupan besi sehari
BAB II

PEMBAHASAN

Anemia merupakan masalah kesehatan global yang prevalensinya terus


meningkat setiap tahun. Anemia yang paling banyak terjadi baik di negara maju
maupun negara berkembang adalah anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi
ini merupakan anemia yang disebabkan karena defisiensi zat besi dan dapat
diderita oleh siapapun termasuk bayi, anak-anak, bahkan orang dewasa baik pria
maupun wanita (World Health Organization, 2008).
Di Indonesia anemia defisiensi besi juga merupakan salah satu masalah
kesehatan utama yang angka kejadiannya cukup tinggi. Berdasarkan laporan Riset
Kesehatan Dasar (2013), sebanyak 21,7% penduduk di Indonesia mengalami
anemia. Kondisi ini perlu mendapat perhatian serius karena anemia memiliki
dampak yang luas yang dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia karena
dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan pada anak, menurunkan konsentrasi,
dan menurunkan produktivitas kerja (World Health Organization, 2008).
Dalam mengatasi permasalahan defisiensi zat gizi mikro, program yang
sudah sering dijalankan salah satunya adalah fortifikasi. Fortifikasi adalah sebuah
upaya yang sengaja dilakukan untuk menambahkan mikronutrien yang penting,
yaitu vitamin dan mineral ke dalam makanan.Akibatnya, dapat meningkatkan
kualitas zat gizi dari pasokan makanan dan bermanfaat bagi kesehatan masyarakat
dengan risiko yang minimal untuk kesehatan (WHO, 2006). Fortifikasi
didefinisikan sebagai penambahan zat-zat gizi ke dalam bahan pangan. Fortifikasi
terhadap suatu bahan pangan bertujuan meningkatkan nilai gizi bahan pangan dan
juga untuk meningkatkan konsumsi suatu zat gizi tertentu oleh masyarakat.
Peraturan fortifikasi pertama kali diterbitkan oleh Food And Drug Administration
United States of America (FDA USA) pada tahun 1960. Pada tahun 1992
diadakan konferensi International Conference on Nurtrition (ICN) di Roma untuk
menentukan kebijakan fortifikasi dalam menyikapi permasalahan zat gizi mikro.
Berdasarkan konferensi tersebut maka fortifikasi menjadi suatu ketentuan di
seluruh negara dan tahun 2006 ditetapkan standar penentuan zat gizi mikro yang
dapat difortifikasikan (Gustian, 2013).
Komponen fortifikasi pangan dipengaruhi oleh zat fortifikan dan pangan
pembawa (Vehicle). Zat fortifikan adalah zat gizi yang ditambahkan kedalam
pangan pembawa. Fortifikan yang ditambahkan ke dalam pangan pembawa harus
memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:
1. Zat gizi yang ditambahkan tidak mengubah warna dan cita rasa makanan.
2. Dapat dimanfaatkan tubuh.
3. Stabil selama penyimpanan.
4. Tidak menyebabkann timbulnya interaksi negatif dengan zat gizi lain yang
ditambahkan atau yang ada dalam bahan pangan.
5. Jumlah yang ditambahkan harus memperhitungkan kebutuhan tiap individu
(Untoro, 2002).
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pangan pembawa yaitu :
a. Pangan merupakan makanan yang sering dan banyak dikonsumsi penduduk
termasuk penduduk miskin.
b. Pangan hasil fortifikasi, sifat organoleptiknya tidak berubah dari sifat aslinya.
c. Pangan yang difortifikasi, aman untuk dikonsumsi dan ada jaminan terhadap
kemungkinan efek samping negatip.
d. Pangan yang difortifikasi, diproduksi dan diolah oleh produsen yang terbatas
jumlahnya.
e. Tersedia teknologi fortifikasi sesuai dengan pangan pembawa dan fortifikan
yang digunakan.
f. Harus ada sistim monitoring yang tegas terhadap pabrik-pabrik fortifikasi,
g. Ada kerjasama yang nyata antara pihak pemerintah, non pemerintah dan
swasta.
h. Perlu mekanisme untuk melakukan evaluasi perkembangan fortifikasi.
i. Pangan hasil fortifikasi, harganya tetap terjangkau oleh kelompok target.
j. Dari sisi konsumen diyakini tidak akan terjadi konsumsi berlebihan (Untoro,
2002)
Mie merupakan bahan pangan alternatif pengganti nasi yang digemari
masyarakat karena harga yang terjangkau dan cara penyajian yang mudah. Variasi
mie yang berkembang adalah mie instan. Mie ini disebut instan karena proses
pemasakannya yang sangat singkat.
Fortifikan yang digunakan dalam pembuatan mie basah adalah Fero Fumarat,
karena Fero Fumarat memiliki persentase besi elemental lebih tinggi dari ferrous
sulphate, yaitu 33 %. Fero Fumarat biasa digunakan sebagai fortifikan pada
makanan kering tanpa pelarutan. Semakin tinggi persentase besi elemental yang
dimiliki suatu bentuk garam zat besi semakin baik karena itu berarti jumlah mg
bentuk garam yang dipakai semakin sedikit. Besi elemental adalah jumlah zat besi
dalam bentuk garamnya yang akan tersedia dalam darah untuk diserap. Dalam
program ini, sasaran yang akan diintervensi dengan mie basah yang difortifikas
Fe adalah remaja putri. Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (2013),
sebanyak 21,7% penduduk di Indonesia mengalami anemia. Meningkatkan asupan
Fe pada remaja putri akan diberikan mie basah sebanyak 200 gram per hari,
sehingga dapat mengurangi dampak dari kejadian anemia. Maka akan ditambah
dari fortifikasi sebesar 50% RDA. Jumlah fortifikan yang akan ditambahkan yaitu:
- RDA Fe untuk remaja putri adalah 26 mg.
- Jumlah konsumsi Fe dari 200 gram mie basah dari tepung kentang dan
tepung terigu per hari adalah 13 mg.
1475
- Rendemen tepung komposit = × 100% = 295 % (Lestari dan
500

Susilawati, 2015).
- Jadi dalam 1 kg tepung komposit mejadi = 295% x 1.000 gr = 2.950 gr
- Jumlah Fe yang akan difortifikasikan :
2950
× 13 𝑚𝑔 = 191,75 𝑚𝑔
200
- Dalam Fero Fumarat mengandung 33% Fe, jadi Fero Fumarat yang harus
ditambahkan dalam per kg tepung komposit adalah :
100
× 191,75 𝑚𝑔 = 581 𝑚𝑔.
33

Berdasarkan perhitungan tersebut maka diperoleh jumlah fortifikan (Fero


Fumarat) yang harus ditambahkan dalam 1 kg tepung komposit sebesar 581 mg.
Bahan pembawa yang digunakan untuk fortifikasi adalah tepung kentang dan
tepung terigu. Tepung kentang mempunyai banyak kelebihan yaitu: (1) rendah
lemak, (2) tekstur lebih mudah larut, (3) tidak memiliki rasa yang aneh, (4) tidak
mengubah rasa dan warna. Hasil penelitian tepung kentang dapat digunakan
sebagai bahan campuran pada pembuatan berbagai produk antara lain kue-kue
kering, mie dan roti.
Teknologi yang digunakan dalam proses fortifikasi Fe pada mie basah dari
campuran tepung kentang dan tepung terigu sangatlah sederhana, karena tidak
memerlukan tekhnologi khusus untuk memfortifikasikannya, cukup dengan
mencampurkan bahan fortifikan ke dalam adonan tepung kentang dan tepung
terigu yang akan digunakan untuk membuat mie basah, lalu dicetak dengan
gilingin mie, sehingga dihasilkan mie basah campuran tepung kentang dan tepung
terigu yang sudah difortifikasi dengan Fe.
Sebelum dihasilkan mie basah yang difortifikasi dengan Fero Fumarat, maka
perlu disiapkan bahan apa saja yang digunakan dan bagaiamana proses
pembuatannya. Dalam produk ini, bahan-bahan yang diperlukan dan proses
pembuatan yang dilakukan :
a. Bahan
1. 250 gram tepung kentang
2. 750 gram tepung terigu protein sedang
3. 1 kg telur ayam
4. 8 sdm minyak goreng
5. 2 sdt garam
6. 39,4 mg fero fumarat
7. Air secukupnya

b. Cara Membuat
1. Campur tepung kentang, tepung terigu protein sedang, Fero Fumarat.
Tambahkan air, telur dan garam lalu aduk rata. Masukan minyak
goreng sambil terus diuleni hingga tercampur.
2. Giling adonan mie dengan ukuran 1 hingga kalis, pindah ke ukuran 2
hingga halus dan seterusnya hingga ukuran 5.
3. Masukan ke dalam pemotong, pilih yang ukuran kecil.
4. Rebus hasil cetakan mie hingga terapung, angkat lalu perciki dengan
minyak goreng, aduk lalu dinginkan.
Terdapat beberapa kelebihan dan kelemahan dari produk mie fortikfikasi Fe
ini, yaitu:

1. Kelebihannya

1) Banyak dikonsumsi, umum dikonsumsi oleh hampir semua remaja


bahkan menjadi makanan favorit karena penyajiannya yang cepat,
praktis, dan mengenyangkan.

2) Relatif murah dan ekonomis, menjadi pilihan bagi sebagian masyarakat


saat ini. Bahan dasar yang ada saling melengkapi, yaitu tepung terigu
dan tepung kentang.

2. Kelemahan

1) Kelemahan dari produk ini yaitu bahan dasar yang digunakan salah
satunya adalah tepung terigu yang berasal dari gandum. Gandum sendiri
merupakan bahan dasar yang harus diimport, sehingga kurang
memaksimalkan potensi pangan di Indonesia.

2) Produk ini tidak cocok untuk penderita yang tidak bisa mengonsumsi
gluten atau alergi gluten.
BAB III
KESIMPULAN

Fortifikan yang digunakan dalam pembuatan mie basah adalah Fero Fumarat,
karena Fero Fumarat memiliki persentase besi elemental lebih tinggi dari ferrous
sulphate, yaitu 33 %. Fero Fumarat biasa digunakan sebagai fortifikan pada
makanan kering tanpa pelarutan. Teknologi yang digunakan dalam proses
fortifikasi Fe pada mie basah, sangatlah sederhana, karena tidak memerlukan
teknologi khusus. Kelebihan mie basah banyak dikonsumsi, relatif murah dan
ekonomis. Kelemahannya adalah bahan dasar gandum yang harus di impor dan
tidak cocok untuk penderita yang tidak bisa mengonsumsi gluten atau alergi
gluten.
DAFTAR PUSTAKA

Gustian, A El. 2013. Skripsi.Pengembangan Prpgram Fortifikasi Pangan dan


Identifikasi Pangan yang Difortifikasi. Bogor: Institusi Pertanian Bogor.
Sayogo, S., 2011. Gizi Remaja Putri. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Untoro, R. 2002. Masalah gizi Mikro di Indonesia dan Potensi
Penanggulangannya.Hal.5-20. Dalam: Hardinsyah, L.Amalia dan
B.Setiawan (Eds). FortifikasiTepung Terigu dan Minyak Goreng.Pusat
Studi Kebijakan Pagan dan Gizi(PSKPG) IPB, Komisi Fortifikasi Nasional
(KFN) ADB- Manil dan KeystoneCenter-USA.
WHO and Agriculture Organization of the United Nation. 2006. Guidelines on
Food Fortification with Micronutrients.

Anda mungkin juga menyukai