PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kesehatan merupakan hal yang paling mendasar bagi seseorang. Terdapat
dua macam kesehatan yakni kesehatan jasmani dan rohani. Seseorang yang sehat
secara jasmani bisa dilihat dari ukuran tubuh, kelengkapan anggota badan, dan ciri
lain yang masih berkaitan dengan tubuh. Individu yang sehat secara rohani dapat
dilihat dari caranya berpikir, menanggapi masalah, dan bersosialisasi dengan yang
lain.
Kesehatan haruslah menjadi hal yang paling diperhatikan oleh individu.
Vitamin merupakan salah satu masalah kompleks yang dapat mengakibatkan
banyak masalah lain. Salah satu vitamin yang banyak dibutuhkan tubuh adalah
vitamin C. Vitamin ini merupakan zat penting untuk tubuh, namun sayangnya,
tubuh manusia tidak dapat memproduksinya secara alami. Kita hanya dapat
memperolehnya dari asupan makanan sehari-hari.
Banyak sekali jenis makanan yang mengandung vitamin C, baik alami
maupun sintesis berupa suplemen vitamin maupun makanan dan minuman
bervitamin. Vitamin ini juga bisa didapat dari buah dan sayuran. R.F. Cathcart,
seorang praktisi kesehatan yang meneliti kegunaan vitamin C bagi tubuh,
mengatakan bahwa vitamin C diperlukan oleh tubuh untuk membantu fungsi
antioksidan tubuh dan menghalau radikal bebas.
Menurut Pauling (1970) dalam Nurani (2011), menyebutkan bahwa asupan
vitamin C dosis tinggi sangat berguna meningkatkan kekebalan tubuh dan
mencegah berbagai penyakit.Di beberapa negara, dosis yang dianjurkan berkisar
dari 60-90 miligram vitamin C perhari. Tapi, dari penghitungan Pauling, rata-rata
setiap orang membutuhkan 1.000 miligram atau lebih setiap harinya
Seorang individu disarankan untuk mengonsumsi vitamin C sesuai dengan
kadar minimum per hari. Hal itu dimaksudkan agar tidak terjadi penyakit
kekurangan vitamin C. Bermacam penyakit dapat timbul akibat kurang
memperhatikan vitamin C. Istilah untuk penyakit kekurangan vitamin C disebut
penyakit defisiensi vitamin C. Jumlah vitamin C sebesar itu seharusnya bisa
terpenuhi melalui pola makan yang baik.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. PENYAKIT DEFISIENSI
Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi
baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi
yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik,
perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum pada tingkat
setinggi mungkin. Gizi kurang (defisiensi gizi) merupakan suatu keadaan yang
terjadi akibat tidak terpenuhinya asupan makanan (Khairina, 2008, Sampoerno,
1992). Gizi kurang dapat terjadi karena seseorang mengalami kekurangan
(ketidakseimbangan) salah satu atau lebih zat gizi di dalam tubuh (Khairina, 2008;
Almatsier, 2001).
Akibat yang terjadi apabila kekurangan gizi antara lain menurunnya
kekebalan tubuh (mudah terkena penyakit infeksi), terjadinya gangguan dalam
proses pertumbuhan dan perkembangan, kekurangan energi yang dapat
menurunkan produktivitas tenaga kerja, dan sulitnya seseorang dalam menerima
pendidikan dan pengetahuan (Khairina, 2008; Jalal & Atmojo, 1998). Gizi kurang
merupakan salah satu masalah gizi yang banyak dihadapi oleh negara yang sedang
berkembang. Hal ini dapat terjadi karena tingkat pendidikan yang rendah,
pengetahuan yang kurang mengenai gizi dan perilaku belum sadar akan status
gizi. Pada umumnya, penyakit defisiensi gizi ini terjadi pada balita. Penyakit
defisiensi gizi yang pernah terjadi di Indonesia, antara lain:
1. Penyakit Kekurangan Energi Protein (KEP)
Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2015) dalam
InfoDATIN:Situasi Kesehatan Anak Balita di Indonesia, di Indonesia masih
terdapat balita yang cenderung mempunyai status gizi kurang maupun buruk.
Kekurangan Energi Protein (KEP) terjadi jika asupan protein, terutama pad
balita, di bawah angka kecukupan gizi. KEP dapat dikelompokkan menjadi 3,
yaitu marasmus (umur 0-2 tahun, tidak mendapatkan kecukupan ASI),
kwashiorkor (umur 1-3 tahun, kurang mendapatkan asupan protein pada
makanannya), kwashiorkor marasmus / honger oedema / busung lapar
5
(disebabkan oleh kekurangan protein kronis pada anak karena tidak mendapat
asupan gizi yang memadai).
Gambar 2.1
28
Gambar 2.3 Defisiensi seng (zink) dapat diketahui melalui perubahan pada
kuku
30
Sel target
Sel T (sel merusak sel Th )
Sel B dan sel t (rentan terhadap
infeksi pada mukosa)
Sel B, sel T, dan sel induk
(defisiensi sel induk, sel B dan sel
T tidak berkembang)
Sel B, sel t, dan sel induk (defisiensi
pada sel B dan selT)
Sel T (kelainan pada timus
menyebabkan difesiensi sel T)
Sel B dan sel T(ksedikit platelet
dalam darah dan sel T abnormal)
Sel B (penurunan produksi
immunoglobulin)
Reticular disgenesis
Severe Combined immunodeficiency
Di Geeorge Syndrome
Sindroma Wiskott-Aldrich
X-Linked agammaglobulinemia
31
Gambar 2.4 Cakupan Pemberian Kapsul Vitamin A pada Anak Balita Menurut Provinsi
tahun 2013
Sumber: Profil Kesehatan Indonesia, Pusdatin Kemenkes, 2013
32
b. Defisiensi Vitamin C
Vitamin C (asam askorbat) adalah suatu senyawa beratom karbon 6 yang
dapat larut dalam air. Vitamin C merupakan vitamin yang disintesis dari
glukosa dalam hati dari semua jenis mamalia, kecuali manusia. Manusia tidak
memiliki enzim gulonolaktone oksidase, yang sangat penting untuk sintesis
dari prekursor vitamin C, yaitu 2-keto-1-gulonolakton, sehingga manusia tidak
dapat mensintesis vitamin C dalam tubuhnya sendiri. Di dalam tubuh, vitamin
C terdapat di dalam darah (khususnya leukosit), korteks anak ginjal, kulit, dan
tulang. Vitamin C akan diserap di saluran pencernaan melalui mekanisme
transport aktif (Sherwood, 2010).
Pemberian vitamin C pada keadaan normal tidak terlalu menunjukkan efek
samping yang jelas. Tetapi pada keadaan defisiensi, pemberian vitamin C akan
menghilangkan gejala penyakit dengan cepat. Efek samping penggunaan
vitamin C sebelum makan adalah rasa nyeri pada epigastrium.
Angka Kecukupan Gizi untuk vitamin C dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.2 Angka Kecukupan Gizi Vitamin C
Golongan
umur
0-6 bulan
7-12 bulan
1-3 tahun
4-6 tahun
7-9 tahun
AKG
(mg)
30
35
40
45
45
Golongan
umur (pria)
10-12 tahun
13-15 tahun
16-19 tahun
20-45 tahun
46-59 tahun
60 tahun
AKG
(mg)
50
60
60
60
60
60
Golongan umur
(wanita)
10-12 tahun
13-15 tahun
16-19 tahun
20-45 tahun
46-59 tahun
60 tahun
Ibu hamil
Ibu Menyusui:
0-6 bulan
7-12 bulan
AKG
(mg)
50
60
60
60
60
50
+10
+25
+10
terjadi bila persediaan di dalam tubuh tinggal 300 mg. Konsumsi vitamin C
melebihi taraf kejenuhan akan dikeluarkan melalui urin (Almatsier, 2001).
B. MACAM PENYAKIT DEFISIENSI VITAMIN C
1. Skorbut
Skorbut (scurvy) adalah penyakit yang ditandai dengan kegagalan dari
pembentukan osteoblastik, dengan hasil berkurangnya tulang (osteoporosis), dan
menyebabkan perdarahan superiosteal dan submukosa. Penyakit ini disebabkan
kekurangan vitamin C (asam askorbat) dan menyebabkan kekurangan sintesis
kolagen, yang ditemukan pada anak usia antara 6 bulan dan 1 tahun
(Salter,1999).
Scurvy ini jarang di Amerika Serikat. Pada pasien yang lebih tua terjadi jika
penderita menggunakan alkohol dan tidak mengkonsumsi buah dan sayuran.
Pada bayi dan anak disebabkan oleh ketidakmampuan, ekonomi atau alasan
sosial. Di Indonesia jarang ditemukan penderita defisiensi vitamin C atau
infantile scurvy. Biasanya terdapat pada anak yang mendapat makanan buatan
tanpa sayur dan buah-buahan.
Hipovitaminosis C atau penyakit skorbut dapat timbul apabila bayi selama 612 bulan tidak mendapat vitamin C yang cukup. Gambaran klinis menunjukkan
bayi sakit berat, malaise dengan kecenderungan perdarahan di mukosa mulut,
gusi dan subperiosteal. Pada foto rontgen terdapat pelebaran garis epifisis dengan
korteks yang tipis pada daerah pertumbuhan yang cepat seperti di lutut,
pergelangan tangan, dan sisi proksimal humerus (Sjamsulhidajat, 2004).
Kematian yang berkaitan dengan gagal jantung dilaporkan pada janin dan anakanak dengan scurvy.
Selama defisiensi vitamin C, pembentukkan kolagen dan kondroitin sulfat
terganggu. Kecenderungan perdarahan, dentin gigi tidak sempurna dan
pelonggaran gigi disebabkan oleh kekurangan kolagen. Karena osteoblast tidak
lagi membentuk bahan interseluler normal (osteoid), pembentukan tulang
enkhondral berhenti. Trabekula tulang yang telah terbentuk menjadi rapuh dan
34
Perubahan pada gusi paling nyata bila gigi tumbuh, ditandai dengan
merah keabu-abuan, pembengkakan seperti spon membran mukosa,
biasanya pada gigi susu (insisivus) atas.
36
37
Bukti adanya defisiensi vitamin C lebih baik dilengkapi dengan kadar asam
askorbat dalam lapisan sel trombosit putih (trombosit buffy) darah teroksalat
yang disentrifuse. Kadar nol pada lapisan ini menunjukkan skorbut laten,
walaupun tidak ada tanda-tanda klinis defisiensi. Kejenuhan jaringan dengan
vitamin C dapat diperkirakan dalam jumlah ekskresi vitamin urin sesudah uji
dosis asam askorbat. Selama 3-5 hari setelah pemberian parenteral dosis uji, 80%
darinya dapat ditemukan dalam urin anak normal. Aminoasiduria nonspesifik,
menyeluruh, terjadi pada skorbut, sementara angka asam amino darah tetap
normal. Sesudah pembebenan tirosin, bayi penderita skorbut mengekskresikan
metabolit serupa dengan ekskresi metabolit bayi prematur. Waktu protombin
mungkin sangat naik (Wulansari, 2011; Arvin, 1996).
Diagnosis banding untuk penyakit ini dapat dilakukan dengan syphilis,
leukemia, arthritis. Dengan pengobatan yang tepat, penyembuhan terjadi dengan
cepat pada bayi, tetapi pembengkakan karena perdarahan subperiosteum
mungkin memerlukan berbulan-bulan untuk hilang. Pertumbuhan badan biasanya
cepat menyesuaikan.
Skorbut dicegah dengan mengkonsumsi makanan cukup vitamin C, buah
jeruk, dan sari buah sumber vitamin C yang baik. Bayi susu formula harus
mendapatkan 35 mg asam askorbat setiap hari. Ibu yang sedang menyusui harus
minum 100 mg. 45-60 mg/24 jam diperlukan oleh anak atau orang dewasa
(Wulansari, 2011).
Bayi yang dilahirkan dengan simpanan vitamin C yang cukup jika masukan
ibu cukup, kandungan vitamin C plasma darah tali pusat 2-4 kali lebih besar dari
pada kandungan vitamin C plasma ibu. Pada keadaan ini ASI mengandung
sekitar 4-7 mg/dl asam askorbat dan merupakan sumber vitamin C yang cukup.
Defisiensi vitamin C pada ibu dapat menimbulkan skorbut pada bayi yang
minum asi nya. Bayi yang minum susu formula harus mendapatkan tambahan
vitamin C. Kebutuhan vitamin C bertambah karena penyakit demam, terutama
penyakit infeksi dan diare dan karena defisiensi besi, paparan dingin, kehilangan
protein dan merokok (Wulansari, 2011)
38
Cara mengobati skorbut menurut Food and Nutrition Board of the National
Academy of Sciences, National Research Council's, kadar vitamin C yang
direkomendasikan:
Bayi - 30-40 mg
Anak-anak dan dewasa- 45-60 mg
Wanita hamil - 70 mg
Ibu menyusui - 90-95 mg
Asam askorbat 100-200 mg atau lebih, peroral atau parenteral. Digunakan
untuk sintesis kolagen dan perbaikan jaringan. Pemberian sari buah jeruk/tomat
setiap hari akan dengan cepat menghasilkan penyembuhan (Wulansari, 2011;
Arvin, 1996; Salter, 1999).
2. Sariawan (oral thrush)
Sariawan (stomatitis) adalah radang pada rongga mulut (bibir dan lidah) yang
disebabkan oleh jamur Candida albicans (Simanjuntak, 2011; Kristayanasari,
2010). Oral trush adalah lapisan atau bercak-bercak putih kekuningan yang
timbul di lidah yang dikelilingi oleh daerah kemerahan (Simanjuntak, 2011).
Berdasarkan lokasinya, sariawan pada anak, baik itu bayi maupun balita, lebih
sering terjadi pada bibir bagian dalam, lidah, pipi bagian dalam (mukosa),
gusi,langit-langit dalam rongga mulut dan tenggorokan. Bercak-bercak putih ini
menyerupai gumpalan susu yang jika dibersihkan akan terkelupas namun
meninggalkan bekas yang permukaannya merah dan mudah berdarah. Keadaan
putih tersebut harus dapat dibedakan dengan sisa susu karena putih pada
sariawan sukar diangkat bahkan menimbulkan perdarahan.
Penyakit ini sering dijumpai pada bayi dan anak kecil yang minum susu
dengan botol susu atau dot atau anak yang mengisap dot kempong (fopspeen)
yang tidak diperhatikan kebersihannya, seperti dot
yang tidak pernah direbus sehingga bakteri berkembang biak didalamnya
(Simanjuntak, 2011). Bentuk sariawan akan terlihat seperti vesikel atau bulatan
kecil berwarna putih atau kekuningan. Mula-mula berdiameter 1-3 mm kemudian
39
Gambar
40
Pemakaian obat-obatan yang terlalu lama. Zat kimia yang terkandung didalam
obat bersifat asam. Bila tersisa dimulut dapat memicu timbulnya bakteri sehingga
menyebabkan sariawan (Simanjuntak, 2011; Rukiyah & Yulianti, 2010). Setelah
minum obat, minumlah air putih sehingga sisa-sisa obat tidak menempel di gusi
maupun dinding mulut.
Ada tiga jenis sariawan yang kerap menyerang anak; antara lain :
1) Stomatitis Aphtosa, yaitu sariawan yang terjadi akibat tergigit atau luka
akibat benturan dengan benda yang agak keras misalnya sikat gigi. Bila
kemudian kuman masuk dan daya tahan tubuh anak sedang turun, maka dapat
terjadi infeksi, sehingga menimbulkan peradangan dan menyebabkan nyeri.
2) Oral trush / monoliasis, sariawan yang disebabkan jamur candida albican
biasanya banyak dijumpai di lidah. Pada keadaan normal , jamur memang
terdapat didalam mulut. Namun, saat daya tahan tubuh menurun ditambah
penggunaan obat yang berlangsung lama atau melebihi jangka waktu pemakaian,
jamur candida akan tumbuh lebih banyak lagi.
3) Stomatitik herfetik, yang disebabkan virus herpes simpleks dan berlokasi
dibagian belakang tenggorokan. Sariawan ditenggorokan biasanya langsung
terjadi jika ada virus yang sedang mewabah dan pada saat itu daya tahan
tubuhmenurun.
Para orang tua diharapkan memperhatikan keadaan anaknya. Adapun tanda
dan gejala yang biasa ditimbulkan akibat sariawan, adalah:
a. Umumnya suhu badan meningkat hingga 40 derajat
b. Anak banyak mengeluarkan air liur lebih dari biasanya.
c. Anak akan rewel dan gelisah.
d. Tidak mau makan, tidak mau minum susu maupun menyusui.
e. Jika mulut anak dibuka maka akan terlihat bercak putih kekuningan di
sekitar mulut bayi bila dihilangkan akan mudahberdarah
f. Mulut anak akan berbau akibat kuman atau jamur yang ada pada
rongga mulut ( Simanjuntak, 2011)
41
Apabila oral trush tidak atasi maka dapat juga menyebabkan diare, sebab
jamur yang ada didalam rongga mulut ikut tertelan sehingga menimbulkan
infeksi usus.
3. Gingivitis
Gingivitis merupakan suatu peradangan yang terjadi pada gingiva yang
disebabkan oleh faktor lokal dan sistemik. Secara klinis gingivitis ditandai
dengan adanya inflamasi gingiva berupa perubahan warna, perubahan
konsistensi, perubahan tekstur permukaan, perubahan atau pertumbuhan ukuran,
perubahan kontur (Anggrainy, 2012).
Gingivitis (radang gusi) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri
(Actinomyces, Fusobacterium, Veillonella) dan organisme yang menempati
sulkus gusi. Klasifikasi gingivitis:
1. Gingivitis Akut
Gingivitis akut dibagi menjadi :
a. Gingivitis Ulseratif Nekrosis Akut / GUNA
(Acute Necrotizing Ulcerative Gingivitis / ANUG)
GUNA terbagi lagi menjadi:
- GUNA dengan faktor sistemik tidak dikenal
- GUNA yang berkaitan dengan H.I.V
b. Gingivostomatitis herpetis akut (Acute Herpetic Gingivostomatitis)
2. Gingivitis kronis
Gingivitis kronis terbagi lagi menjadi:
a. Gingivitis simpel / tidak berkomplikasi (Simple unicomplicated gingivitis)
b. Gingivitis berkomplikasi (complicatedgingivitis)
c. Gingivitis deskuamatif (descuamative gingivitis)
3. Gingivitis yang tidak berkaitan dengan plak bakteri.
Klasifikasi Gingivitis menurut lokasinya
a. Gingivitis Lokalisata
Gingivitis yang hanya terdapat pada satu gigi.
b. Gingivitis Generalisata
Gingivitis yang hampir menyeluruh pada semua gigi rahang atas atau
rahang bawah.
c. Gingivitis Marginalis
42
Gingivitis yang terdapat pada daerah margin dan bisa mencapai daerah
attached gingiva
d. Gingivitis Dims
Gingivitis yang melibatkan gingiva margin dan attached gingiva serta
papila interdental
e. Gingivitis Papilaris
Gingivitis yang melibatkan papila interdental dan meluas ke marginal
gingiva yang berbatasan.
Gambar : Gingivitis marginaiis karena plak (Robert P. Langlais dart Crate 51 Miller,
Atlas Berwarna Kelainan Rongga Mulut)
2.
3.
mudah tanggal, gingivitis, dan anemia, yang mungkin disebabkan oleh adanya
fungsi spesifik asam askorbat dalam sintesis hemoglobin. Skorbut dikaitkan
dengan gangguan sintesis kolagen yang manifestasinya berupa luka yang sulit
sembuh, gangguan pembentukan gigi dan robeknya kapiler (Tjokronegoro,
1985).
1. Vitamin C sebagai Penguat Sistem Imun Tubuh (Guyton, 2008).
2. Vitamin C sebagai Antioksidan
45
46
mg
275
200
150
140
102
65
60
50
50
40
30
30
Bahan Makanan
Jambu monyet
Gandaria
Jambu biji
Pepaya
Mangga muda
Rambutan
Durian
Kedondong
Jeruk manis
Mangga masak
Jeruk nipis
Nanas
mg
197
110
95
78
65
58
53
50
49
41
27
24
47
Konsumsi bahan sayuran dan buah dalam keadaan segar, dapat menyediakan
kebutuhan tubuh akan vitamin ini. Hanya saja terkadang kita seringkali kurang
memperhatikan cara pengolahan bahan yang benar, sehingga vitamin C rusak dan
terbuang percuma. Saat proses merebus sayuran, guna mempertahankan
kesegaran warna sering ditambahkan baking soda. Penambahan baking soda pada
saat memasak sayuran, dapat merusak kandungan vitamin C pada sayuran. Oleh
karena itu sebaiknya dalam pengolahan sayuran tidak menggunakan bahan
tambahan yang dapat merusak kandungan zat gizi (Tjokronegoro, 1985).E.
SOLUSI YANG PERNAH DILAKUKAN
Solusi yang pernah dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat untuk
menyelesaikan permasalahan ini, antara lain:
1. Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2007, membuat kartu peraga dalam
rangka program Indonesia Sehat 2010.
48
49
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian deduktif.
Pendekatan deduktif menekanan pada pengamatan dahulu, lalu menarik kesimpulan
berdasarkan pengamatan tersebut. Jenis penelitian ini merupakan bentuk penelitian
deskriptif kualitatif. Variabel penelitian dijabarkan pada tabel 3.1 sebagai berikut.
Tabel 3.1. JabaranVariabel Penelitian
NO
1
JENIS
VARIABEL
Variabel bebas
JABARAN VARIABEL
DEKRIPSI
Variabel
kontrol
50
mereka, dengan cara penyebaran angket. Angket ini menggunakan Skala Likert
dalam setiap pilihan jawabannya Munoz (2008) dalam Hanan A., Maryati, S. (Tanpa
tahun) dimana 30 Mahasiswa yang mengisi angket dari mahasiswa Universitas
Negeri Malang yang ditemukan di sekitar area Jurusan Biologi UM dan
Perpustakaan UM.
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian
1. tempat penelitian
Penelitian penyebaran angket pada responden dilakukan di area Jurusan
Biologi UM dan Perpustakaan UM. Sedangkan pelaksanaan wawancara pada
narasumber dilaksanakan di Puskesmas Dinoyo dengan alamat Jl. MT Haryono,
Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang.
2. waktu penelitian
Penyebaran angket pada responden dan wawancara pada Narasumber
dilaksanakan pada hari Jumat, 9 Oktober 2015.
3.4 Instrumen Penelitian
1. Angket Pengisian Data Tentang Kekurangan Vitamin C
Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengetahui pola makan
mahasiswa dalam memenuhi kadar vitamin C dalam kehidupan sehari-hari. Menurut
Sugiyono (2012:199) Angket merupakan teknikpengumpulan data yang
dilakukandengancaramemberiseperangkatpertanyaanatau pertanyaan
kepadarespondenuntukdijawabnya.
Angket berisikan 9 butir pertanyaan pokok yang menanyakan tentang pola
makan mahasiswa dalam mengkonsumsi vitamin C dan penyakit-penyakit yang
sering dijumpai akibat dari defisiensi Vitamin C. (Terlampir)
2. Pedoman Wawancara Tentang Kekurangan Vitamin C
Pedoman wawancara yang digunakan berisikan 9 pertanyaaan pokok yang
digunakan untuk mengetahui apa saja penyakit yang disebabkan oleh defisiensi
Vitamin C dan cara menanggulanginya pada narasumber dari Puskesmas. (Terlampir)
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Dalam pelaksanaan penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan teknik-teknik
sebagai berikut.
51
52
Dokumentasi yang dilakukan berupa foto dan video yang dibutuhkan sebagai
bukti telahdilakukannyapenelitia. Dokumentasi yang dibutuhkan adalah dokumentasi
video saat pelaksanaan wawancara, danfoto saat pengisian angket.
3.8 Teknik Analisis Data
Analisis data akandilakukandenganmenggunakanteknikanalisis deskriptif
kualitatif terkait prosentase ketepatan pola makan mahasiswa sehari-hari dalam
memenuhi kebutuhan Vitamin C dengan pengaruhnya pada tingkat prosentase
banyaknya kejadian penyakit kekurangan Vitamin C
53
54
BAB IV
DATA & ANALISIS DATA
Tabel 4.1 Hasil Jawaban Angket 30 Responden
N
o
1.
2.
3.
4.
11.
15.
19.
20.
25.
Pernyataan
Anda mengetahui kadar vitamin C yang dibutuhkan tubuh per hari
sebesar 100mg
Anda selalu memenuhi kadar vitamin C tiap kali makan dalam
kehidupan sehari-hari.
Anda mengetahui dengan benar sumber-sumber vitamin C yang
dibutuhkan tubuh per hari.
Anda selalu memenuhi kadar vitamin C yang dibutuhkan tubuh per
hari dengan mengkonsumsi buah (pilih salah satu yang paling sering
dikonsumsi)
Jeruk
Jambu biji
Kedondong
Pepaya
Nanas
Rambutan
Anda mengkonsumsi buah untuk memenuhi vitamin C tubuh per hari
sebanyak (pilih salah satu yang paling sering dilakukan)
1 buah sehari
23 buah sehari
45 buah sehari
Anda mengkonsumsi buah-buahan dengan cara (pilih salah satu yang
paling sering dilakukan)
Makan langsung
Olahan jus
Manisan
Anda mengetahui dengan benar penyakit akibat kekurangan vitamin
C.
Anda pernah mengalami penyakit akibat kekurangan vitamin C
seperti:
Bercak putih seperti kudis
Gusi berdarah
Radang gusi
Sariawan
Solusi yang pernah anda lakukan untuk mengobati dan mencegah
penyakit diatas:
Memperbaiki pola pengolahan buah
Mengkonsumsi obat-obatan kimia
Mengkonsumsi obat herbal
Mengkonsumsi vitamin C
Meningkatkan konsumsi buah segar yang mengandung vitamin C
Berobat ke dokter/puskesmas/rumah sakit
55
Jumlah
Persent
ase
14
47
17
57
16
1
0
12
1
0
53
3
0
40
3
0
21
7
2
70
23
7
10
17
3
33
57
10
22
73
8
7
4
26
27
23
13
87
12
10
7
23
26
11
40
33
23
77
87
37
Tabel 4.2 Buah yang paling sering dikonsumsi per hari dari 30 responden
Buah yang paling sering dikonsumsi
Jeruk
Jambu biji
Kedondong
Pepaya
Nanas
Rambutan
Total
Jumlah responden
16
1
0
12
1
0
30
Vitamin C diperlukan oleh tubuh rata-rata 100 mg per hari (EFSA, 2013). Vitamin C
pada umumnya terdapat di dalam pangan nabati, misalnya pada buah-buahan, seperti buah
jeruk, jambu biji, kedondong, pepaya, nanas, rambutan (Almatsier, 2001).
Tabel 4.3 Hubungan Konsumsi Jumlah Buah Jeruk per Hari dari 16 responden
Konsumsi jumlah buah per hari
1 buah sehari
23 buah sehari
45 buah sehari
Responden
14
1
1
1 buah sehari
23 buah sehari
45 buah sehari
56
Dari grafik diatas menunjukkan bahwa mayoritas responden mengonsumsi jumlah buah jeruk
tiap harinya ialah sebesar 1 buah yaitu sebanyak 14 orang.
57
Tabel 4.4 Hubungan Konsumsi Jumlah Buah Pepaya per Hari dari 12 responden
Konsumsi jumlah buah per hari
Responden
1 buah sehari
6
23 buah sehari
5
45 buah sehari
1
1 buah sehari
23 buah sehari
45 buah sehari
Dari grafik diatas menunjukkan bahwa mayoritas responden mengonsumsi jumlah buah jeruk
tiap harinya ialah sebesar 1 buah yaitu sebanyak 6 orang.
Tabel 4.5 Hasil Angket dari Cara Pengolahan Buah
Cara pengolahan buah
Makan langsung
Olahan jus
Responden
10
17
21%
gusi berdarah
43%
radang gusi
37%
58
Responden
Berdasarkan data diatas penyakit akibat kekurangan vitamin C yang paling banyak
diderita oleh seseorang yaitu sariawan (87%) dan yang paling sedikit yaitu radang gusi
(13%).
90%
80%
77%
70%
60%
50% 40%
40%
30%
presentase
37%
33%
23%
20%
10%
0%
memperbaiki pola pengolahan buah
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa solusi yang paling banyak dilakukan
responden untuk mengobati dan mencegah penyakit vitamin C adalah mengonsumsi vitamin
59
C (87%) dan yang kedua adalah meningkatkan konsumsi buah segar yang mengandung
vitamin C (77%).
60
BAB V
PEMBAHASAN
a) Hasil Angket untuk Pengetahuan Mahasiswa tentang Vitamin C
Dari hasil data dan analisa data dari 30 mahasiswa dari hasil angket menunjukkan
bahwa rendahnya pengetahuan mahasiswa tentang kadar vitamin C maksimal per hari sebesar
100mg. Sedangkan untuk pernyataan selalu memenuhi kadar vitamin C dan sumber-sumber
vitamin C mahasiswa menunjukkan masing-masing presentase sebesar 47% dan 57%.
Vitamin C (asam askorbat) adalah kofaktor enzim untuk mengkatalis reaksi biokimia.
Vitamin C memiliki peran penting pada biosintesis kolagen. Penyerapan vitamin C oleh
lambung sebesar 80% untuk asupan sekitar 1000 mg/hari. Pada pria, kebutuhan rata-rata
vitamin C sebesar 90 mg/hari, sedangkan pada wanita sebesar 80 mg/hari. Untuk bayi
berumur 7-11 bulan diperlukan vitamin C sebesar 20 mg/hari saja. Ukuran tersebut berlaku
hingga bayi berumur 3 tahun. Untuk remaja berusia 15-17 tahun, disarankan mengonsumsi
vitamin sebesar 100 mg/hari bagi laki-laki dan 90 mg/hari bagi perempuan (EFSA, 2013).
Vitamin C bersifat menangkal radikal bebas dan dapat menurunkan laju mutasi dalam tubuh
sehingga resiko berbagai penyakit degeneratif dapat diturunkan. Peranan vitamin C dalam
tubuh sangat penting terutama untuk anak-anak dalam masa pertumbuhan sehingga konsumsi
makanan sumber vitamin C sangat baik untuk menjaga kesehatan (Azeliya, 2013).
Dari penjelasan diatas kita tahu bahwa kebutuhan vitamin C setiap individu berbeda.
Perbedaan itu didasarkan pada usia, aktivitas metabolisme tubuh dan berat badan. Jadi, untuk
ukuran mahasiswa diperkirakan membutuhkan asupan vitamin C sebesar 110 mg/hari
mengingat aktivitas yang dilakukan sehari-hari. Data hasil penyebaran angket menunjukkan
bahwa hanya tidak ada mahasiswa yang mengetahui kadar vitamin C per hari. Hal ini
dimungkinkan karena kurangnya kesadaran diri untuk memenuhi kebutuhan kadar vitamin C
yang tepat di dalam tubuh per harinya.
Vitamin C dapat ditemukan di buah citrus, tomat, buah berwarna hijau, dan kentang.
Vitamin C terdapat dalam berbagai preparat baik dalam bentuk tablet yang mengandung 501500 mg maupun dalam bentuk larutan. Kebanyakan sediaan multivitamin mengandung
vitamin C. Sediaan suntik mengandung vitamin C sebanyak 100-500 mg dalam larutan. Air
jeruk mengandung vitamin C yang tinggi sehingga dapat digunakan untuk terapi
menggantikan sediaan vitamin C (Sari, 2011). Ditambahkan oleh Yulia (2009), sumber
vitamin C pada umumnya hanya terdapat di dalam pangan nabati, yaitu sayur dan buah
terutama yang asam, seperti jeruk, nanas, rambutan, pepaya, dan tomat. Sedangkan yang
61
berasal dari buah diantaranya daun singkong, daun katuk, daun melinjo, daun pepaya dan
sawi.
Menurut Perdana (2010:1) dalam Aina & Dawam (2014), beberapa buah yang
mengandung vitamin C adalah jambu monyet (Anacardium occidentale), duwet (Syzgium
cumini), jambu biji putih (Psidium guajava L.), gandaria (Bouea macrophyla), dan mangga
(Mangivera indica). Setiap 100g jambu monyet mengandung vitamin C sebanyak 197mg.
Setiap 100g buah duwet mengandung 130mg vitamin C. Di setiap 100g jambu biji putih
mengandung vitamin C 116mg. Di dalam 100g buah gandaria masak mengandung vitamin C
111mg. Setiap 100g mangga mengandung vitamin C 61mg. Kelima buah diatas menempati
urutan 1-5 kategori buah yang paling banyak mengandung vitamin C. Buah lain seperti apel
hanya mengandung 5mg vitamin C dan jeruk manis mengandung 49mg/100g nya.
Bila dilihat dari data dan penjelasan diatas, keduanya memiliki keterkaitan. Hal ini
mengisyaratkan bahwa sesungguhnya vitamin C saat ini mudah didapat. Buah seperti jeruk,
apel, dan mangga banyak dijual di sekitar kita. Begitu juga dengan suplemen vitamin C yang
bisa didapatkan di toko terdekat dengan dosis yang berbeda-beda. Dari hasil angket
mendapatkan kurang dari 50% responden yang mengaku memenuhi kebutuhan vitamin C per
hari. Namun lebih dari 50% mahasiswa sebenarnya mengetahui sumber vitamin C. Jadi, bisa
diambil kesimpulan bahwa sebenarnya sebagian besar mahasiswa telah mengetahui sumber
vitamin C, namun mereka tidak memenuhinya dengan tepat karena mahasiswa tidak
mengetahui kadar vitamin C yang diperlukan oleh tubuh. Sehingga meskipun mahasiswa
menyatakan telah memenuhi kebutuhan vitamin C tiap kali makan, tapi masih ada
kemungkinan ketidaktepatan mahasiswa dalam memenuhi kadar vitamin C dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini dikembalikan pada kesadaran individu untuk mau memenuhi kebutuhan
vitamin Cnya sendiri mengingat pentingna vitamin C dalam menunjang kesehatan tubuh
manusia.
b) Hasil Angket untuk Kebiasaan Konsumsi Jenis Buah per Hari Mahasiswa
Dari hasil angket menunjukkan bahwa paling banyak yang dikonsumsi oleh
mahasiswa ialah buah jeruk dan pepaya yang hanya dikonsumsi 1 buah sehari saja. Vitamin C
pada umumnya terdapat di dalam pangan nabati, misalnya pada buah-buahan, seperti buah
jeruk, jambu biji, kedondong, pepaya, nanas, rambutan (Almatsier, 2001). Berdasarkan data
yang diperoleh, diketahui bahwa mayoritas responden mengkonsumsi buah jeruk 1 buah
sehari. Berat 1 buah jeruk dapat mencapai 100gr (misalnya jeruk siam Citrus nobilis var.
microcarpa) (Helmiyesi et al, 2008). Kandungan vitamin C pada jeruk tiap 100gr adalah
62
49mg, padahal tubuh memerlukan minimal 100mg kandungan vitamin C tiap harinya,
sehingga diperlukan lebih dari 1 jeruk untuk dikonsumsi.
Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa mayoritas responden
mengkonsumsi buah pepaya 1 buah sehari. Berat 1 buah pepaya berkisar antara 600gr-2000gr
(misalnya pepaya varietas Callina Carica papaya L.) (Setiaty, 2011). Kandungan vitamin C
pada pepaya tiap 100gr adalah 78mg, sedangkan tubuh memerlukan minimal 100mg
kandungan vitamin C tiap harinya, sehingga cukup diperlukan 1 buah pepaya untuk
dikonsumsi.
Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa satu responden mengonsumsi
jambu biji sebanyak 2-3 buah sehari. Berat 1 buah jambu biji 120gr. Kandungan vitamin C
pada jambu biji tiap 100gr adalah 95mg, sedangkan tubuh memerlukan minimal 100mg
kandungan vitamin C tiap harinya, sehingga diperlukan 1-2 buah jambu biji untuk
dikonsumsi. Responden yang mengonsumsinya 2-3 hari sudah bisa memenuhi kandungan
vitamin C. Satu responden mengonsumsi buah nanas. Satu buah nanas memiliki berat sekitar
500gr. Kandungan vitamin C pada buah nanas tiap 100gr adalah 24mg. Cukup dibutuhkan
satu buah nanas untuk memenuhi kebutuhan vitamin C. Responden yang mengonsumsi sudah
sesuai kebutuhan (Setiawan et,.al: 2009)
Tabel. 5.1 Kandungan Vitamin C dalam 100gr
Bahan Makanan
Jambu monyet
Gandaria
Jambu biji
Pepaya
Mangga muda
Rambutan
Durian
Kedondong
Jeruk manis
Mangga masak
Jeruk nipis
Nanas
mg
197
110
95
78
65
58
53
50
49
41
27
24
pada buah juga dapat mempengaruhi kelancaran dalam proses pencernaan. Pada beberapa
kasus kelebihan jumlah serat normal yang dibutuhkan dalam proses pencernaan akan
menyebabkan diare.
c) Hasil Angket untuk Kebiasaan Pengolahan Buah Mahasiswa
Dari hasil angket menunjukkan bahwa paling banyakcara konsumsi buah per hari yang
dilakukan mahasiswa melalui produk olahan jus. Car akonsumsi ini menunjukkan dapat
mengurangi kadar vitamin C dikarenakan adanya sifat vitamin C yang mudah teroksidasi saat
larut di dalam air. Sehingga ketika dicampurkannya buah dengan air akan menyebabkan
peluang teroksidasi yang lebih cepat hal inilah yang menyebabkan bahwa jus sebaiknya
dikonsumsi sebelum 15 menit dari waktu pembuatan jus. Selain itu proses pembuatan manisan
juga dapat mengurangi efektivitas vitamin C dalam buah yang menyebabkan turunnya kadar
vitamin C karena adanya pengolahan buah yang direbus terlebih dahulu ataupun dengan
teknik penyimpanan buah dalam jangka waktu yang lama.
Wilis memaparkan bahwa penyimpanan buah segar sangat penting diperhatikan karena
berfungsi untuk mempertahankan mutu dan memperpanjang masa kesegaran dengan cara
mengendalikan laju transpirasi dan respirasi melalui pengaturan aerasi ruangan. Selain itu juga
bertujuan untuk melindungi buah dari serangan hama penyakit gudang atau faktor fisiologi,
sehingga saat sampai di tangan konsumen buah masih tetap segar. Beberapa faktor yang
memengaruhi umur simpan adalah: (1) Tingkat ketuaan buah; memengaruhi umur simpan,
karena buah yang disimpan pada kondisi kematangan 100% akan memberikan umur simpan
lebih pendek dibandingkan dengan buah dengan tingkat ketuaan 70%. (2) Kerusakan fisiologi
dan mekanis; seperti adanya getah kuning akan memperpendek umur simpan. Demikian juga
dengan kerusakan mekanis. (3) suhu, (4) kelembapan, (5) kemasan, dan (6) atmosfer ruang
penyimpanan. Menurut Yulia (2009), penyimpanan buah pada suhu 15-18 C dengan
kelembapan nisbi 85-90% memberikan umur simpan sampai 7 pekan namun hal ini
berpengaruh pada proses fisiologis dari nutrien pada buah tersebut seperti dengan teroksidasi
kandungan vitamin C yang rentan terhadp proses oksidasi.
Buah yang sudah diolah dapat berkurang kadar zat makananya, karena pengaruh berbagai
faktor selama memasak. Jumlah vitamin dan mineral yang dipertahankan tergantung pada sifat
yang di miliki oleh zat-zat makanan itu sendiri serta cara memasak yang di lakukan. Menurut
Santso (2006) sebagian besar vitamin yang mudah rusak ialah yang tergolong vitamin yang
mudah rusak oleh panas, yang larut dalam air dan yang mudah di oksidasikan sehingga
berubah sifat. Dalam golongan ini yang paling banyak menderita kerusakan ialah vitamin C.
64
jumlah mineral yang dapat berkurang karena larut dalam air pemasak terutama karena terdapat
asam-asam organik yang mempermudah pelarutan mineral itu. Dengan singkat, faktor-faktor
yang dapat merendahkan kadar nutrien di dalam buah yang di masak ialah :
1. bila jumlah air perebus yang di pakai terlalu banyak
2. bila air perebus ini kemudian bila di buang setelah di pakai, dan tidak terus di pergunakan
sebagai bagian dari masakan
3. bila buah akan di rebus itu di potong-potong dalam ukuran yang kecil-kecil, dan di biarkan
lama sebelum di masak
4. bila air perebus tidak di biarkan mendidih dahulu sebelum buah di masukan ke dalamnya
5. bila pada waktu merebus, panci di biarkan terbuka
6. bila di pergunakan panci atau lainya yang terbuat dari logam yang dapat mengkatalisa
proses oksidasi terhadap vitamin, misalnya alat-alat yang terbuat dari besi, tembaga dan lainlain.
d) Hasil Angket untuk Penyakit Defisiensi Vitamin C yang Banyak Terjadi
Menurut hasil angket yang telah dianalisis menunjukkan bahwa sebenarnya banyak
mahasiswa yang mengetahui macam-macam penyakit akibat defisiensi Vitamin C dan
mayoritas pernah mengalami Sariawan yang merupakan indikasi salah satu penyakit akibat
defisiensi vitamin C. Sedangkan prosentase tertinggi kedua merupakan gusi berdarah.
Gejala defisiensi vitamin C pada rongga mulut ditandai dengan adanya gusi berdarah,
meskipun menurut Gibson, (2005) gejala ini haruslah dapat dibedakan dengan penyakit gusi
lainnya yang dapat juga menimbulkan perdarahan pada gusi. Jaringan penyambung gusi
sebagian besar terdiri dari serat kolagen yang tersusun rapi keberbagai arah yang akan
menyangga gigi dengan baik selama berfungsi. Untuk mempertahankan struktur gigi yang
sehat maka diperlukan ikatan yang erat antara jaringan yang menyusun struktur gigi tersebut.
Menurut Dewoto (2007) Vitamin C diindikasikan untuk pencegahan dan pengobatan
skorbut. Selain itu, vitamin C juga digunakan untuk berbagai penyakit yang tidak ada
hubungannya dengan defisiensi vitamin C dan seringkali digunakan dengan dosis besar.
Namun, efektivitasnya belum terbukti. Vitamin C yang mempunyai sifat reduktor digunakan
untuk mengatasi methemoglobinemia idiopatik meskipun kurang efektif dibandingakan
dengan metilen blue. Vitamin C tidak mengurangi insidens common cold tetapi dapat
mengurangi berat sakit dan lama masa sakit. Skorbut sendiri menurut KBBI merupakan
penyakit yang terjadi akibat kekurangan Vitamin C dengan tanda perdarahan pada gusi.
Skorbut muncul sebagai salah satu indikasi defisiensi vitamin C. Ada beberapa penyakit
65
akibat defisiensi vitamin C, antara lain skorbut (scurvy), sariawan (stomatitis),gingivitis, dan
gusi berdarah. Skorbut merupakan penyakit yang disebabkan oleh defisiensi vitamin C akut
yang terjadi secara bertahap dan dapat menyebabkan terganggunya sintesis kolagen dalam
pembentukan osteoblastik.
Tahapan skorbut setelah terjadi defisiensi vitamin C menurut Hardiansyah, dkk (2004)
dalam bentuk berat sekarang jarang terjadi,karena sudah diketahui cara mencegah dan
mengobatinya. Tanda-tanda ringannya antara lain adalah lemah, nafas pendek, kejang otot,
tulang dan persendian sakit serta berkurangnya nafsu makan, kulit menjadi kering, kasar, dan
gatal seperti bercak putih seperti kudis, warna merah kebiruan di bawah kulit, perdarahan
gusi, sariawan, kedudukan gigi menjadi longgar, mulut dan mata kering dan rambut rontok.
Di samping itu luka akan menjadi sulit sembuh. Gejala skorbut akan terlihat apabila taraf
asam askorbat dalam serum menurun di bawah 0,20 mg/dl.
Kekurangan asam askorbat juga menyebabkan terhentinya pertumbuhan tulang. Sel
dari epifise yang sedang tumbuh terus berproliferasi, tetapi tidak ada kolagen baru yang
terdapat diantara sel, dan tulang mudah fraktur pada titik pertumbuhan karena kegagalan
tulang untuk berosifikasi. Juga, apabila terjadi fraktur pada tulang yang sudah terosifikasi
pada pasien dengan defisiensi asam askorbat, maka osteoblas tidak dapat membentuk matriks
tulang yang baru, akibatnya tulang yang mengalami fraktur tidak dapat sembuh. Pada skorbut
(defisiensi vitamin C) dapat meyebabkan dinding pembuluh darah menjadi sangat rapuh
karena terjadinya kegagalan sel endotel untuk saling merekat satu sama lain dengan baik dan
kegagalan untuk terbentuknya fibril kolagen yang biasanya terdapat di dinding pembuluh
darah (Guyton, 2008).
Stomatitis Aftosa Rekuren atau disingkat SAR yang juga dikenal dengan istilah aphtae,
atau canker sores merupakan suatu penyakit mukosa mulut yang paling sering terjadi. Di
Indonesia orang awam lebih mengenalnya dengan istilah sariawan. Karakteristik dari
penyakit ini yaitu ditandai oleh ulser berulang yang menyakitkan di rongga mulut dan
berbentuk bulat atau oval dan dikelilingi inflamasi. Istilah stomatitis aftosa rekuren dapat
diartikan sebagai ulser berulang yang terbatas pada rongga mulut saja dan dapat muncul
tanpa adanya pengaruh dari penyakit sistemik (Goodman and Gilman, 2008).
Sebenarnya SAR merupakan penyakit yang relatif ringan karena tidak bersifat
membahayakan jiwa dan tidak menular, namun bagi sebagian orang ini sangat mengganggu.
Menurut Groff et al (2009), orang-orang yang mengalami SAR akan merasa sangat terganggu
terutama dalam hal fungsi pengunyahan, penelanan dan berbicara. Masa penyembuhan SAR
yang relatif lama, berkisar antara 7 hari bahkan sampai berbulan-bulan dan sifat penyakit ini
66
yang sering kambuh juga membuat pasien menjadi kurang nyaman. Hal ini juga dipertegas
oleh Casiglia (2013) bahwa, Stomatitis Aftosa Rekuren merupakan penyakit mulut yang
penyebabnya belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa faktor predisposisi yang
diduga menjadi pencetus SAR. Beberapa faktor predisposisi seperti, stres, alergi makanan,
genetik, trauma, defisiensi vitamin C, malnutrisi dan ketidakseimbangan hormonal diduga
menjadi pencetus timbulnya SAR.
Menurut Hart et al (2002), SAR memang bisa dijadikan indikasi penyakit lain yang
lebih berbahaya. Namun hal yang perlu diperhatikan ialah adanya SAR pada seorang individu
tidak semata-mata menjadi indikator utama terjangkitnya penyakit-penyakit seperti kanker
dan HIV AIDS. Seperti halnya pernyataan dari narasumber wawancara yang menunjukkan
bahwa biasanya pasien HIV AIDS juga mengidap SAR bukan berarti orang yang terjangkit
sariawan selalu mengidap HIV AIDS. Hal ini sesuai dengan pendapat Scully et al (2010)
bahwa SAR Penyakit ini dalam jangka panjang digunakan sebagai indikasi penyakit lain,
seperti halnya kanker mulut yang di indikasikan dengan terjadinya SAR dalam kurun wkatu
lebih dari 1 bulan. Selain itu penyakit lain seperti HIV AIDS biasanya juga diiringi dengan
terjangkitnya SAR yang tidak kunjung sembuh 23 bulan.
Pada ODHA Dengan menurunnya penyakit primer, pada kebanyakan pasien diikuti
dengan masa asimtomatis yang lama, namun selama masa tersebut replikasi HIV terus
berlanjut, dan terjadi kerusakan sistem imun. Sariawan sering juga muncul pada stadium ini.
Seperti juga halnya kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia, dan eritema ginggivalis (gusi)
linier. Gingivitis ulesartif nekrotik akut, merupakan komplikasi oral yang sulit diobati
(Sherwood, 2010).
Selain itu menurut Ghom, A. G. dan Mhaske S. (2008) mengatakan bahwa salah satu
indikasi kanker ialah terjadinya kanker rongga mulut yang menjangkit lebih dari 23
minggu dan berulang-ulang terjadi. Hal ini terjadi akibat adanya kondisi autoimun dari
pertumbuhan kanker di mulur sehingga menyebabkan terbentuknya lesi yang berulang-ulang
karena keadaan autoimun ini diiringi dengan keadaan epitel mulut yang mengalami gangguan
malabsorbsi vitamin C. Dengan demikian para masyarakat dianjurkan untuk
memeriksakannya ke klinik dokter atau rumah sakit.
Menurut Sumintarti (2012), tingginya angka kejadian lesi (sariawan) yang diduga
sebagai SAR berdasarkan faktor predisposisi trauma disebabkan karena gejala-gejala awal
akibat trauma dalam rongga mulut seperti tergigit dan terbentur yang seolah-olah menusuk
mukosa mulut dan langsung disertai oleh munculnya ulser pada daerah yang trauma.
Kejadian trauma ini akan lebih sering menimbulkan lesi jika serat kolagen pada mukosa
67
mulut rapuh akibat kurangnya vitamin C yang diserap oleh tubuh. Selain itu akibat faktor luar
yang menyebabkan lesi yang diduga sebagai SAR paling besar diakibatkan oleh adanya
malnutrisi atau defisiensi dari asupan asam askorbat (Vitamin C).
Gejala defisiensi vitamin C pada rongga mulut ditandai dengan adanya gusi berdarah,
meskipun gejala ini haruslah dapat dibedakan dengan penyakit gusi lainnya yang dapat juga
menimbulkan perdarahan pada gusi. Jaringan penyambung gusi sebagian besar terdiri dari
serat kolagen yang tersusun rapi keberbagai arah yang akan menyangga gigi dengan baik
selama berfungsi. Untuk mempertahankan struktur gigi yang sehat maka diperlukan ikatan
yang erat antara jaringan yang menyusun struktur gigi tersebut (Winarno, 2008).
Sehingga dari penjelasan ini sebagai makhluk sosial kita tidak bisa mengatakan bahwa
seluruh penderita sariawan dalam jangka waktu yang lama juga terjangkit penyakit kronis
lain seperti kanker dan AIDS sebelum adanya diagnosis dari instansi kesehatan yang terlibat.
Sebaiknya sebagai makhluk sosial kita mengingatkan bagaimaan cara yang benar dalam
mengkonsumsi vitamin C yang tepat dengan mengkonsumsi buah segar serta memberikan
teknik yang tepat dalam mengobati defisiensi vitamin C yang terjadi pada orang-orang di
lingkungan sekitar kita.
e) Hasil Angket untuk Upaya yang Dilakukan dalam Mengatasi Penyakit Akibat Defisiensi
Vitamin C.
Pemilihan konsumsi vitamin C untuk menanggulangi penyakit yang timbul akibat
defisiensi vitamin C dirasa memang pemilihan upaya yang tepat. Hal ini di dukung dengan
opini sebagai berikut. Pemberian vitamin C pada keadaan normal tidak menunjukkan efek
farmakodinamik yang jelas. Namun pada keadaan defisiensi, pemberian vitamin C akan
menghilangkan gejala penyakit dengan cepat. Vitamin C sangatlah tepat dikarenakan menurut
Kamiensky & Keogh (2006) Pemberian vitamin C pada keadaan normal tidak menunjukkan
efek farmakodinamik yang jelas. Namun pada keadaan defisiensi, pemberian vitamin C akan
menghilangkan gejala penyakit dengan cepat. Karena vitamin C tidak disimpan dalam tubuh.
Tidak seperti vitamin yang larut lemak, vitamin C tidak disimpan dalam tubuh dan
diekskresikan di urin. Namun, serum level vitamin C yang tinggi merupakan hasil dari dosis
yang berlebihan dan diekskresi tanpa mengubah apapun. Pada kehidupan sehari-hari hal yang
perlu diperhatikan ialah Vitamin C bersifat menangkal radikal bebas dan dapat menurunkan
laju mutasi dalam tubuh sehingga resiko berbagai penyakit degeneratif dapat diturunkan.
Hasil penelitian Nurhayani, Haryani, dan Hastuti (2007) dalam Yulia (2009) Vitamin C sangat
mudah rusak oleh proses pengolahan, pemasakan, penyimpanan lama, serta berbagai proses
68
teknologi pangan sehingga dalan vitamin C yang tertinggal jauh lebuh kecil dibandingkan
dengan kadar vitamin C dalam bahan makanan segar. Vitamin C mudah larut dalam air, maka
dalam mengiris, mencuci, dan merebus bahan pangan sumber vitamin C akan kehilangan
sebagian besar vitamin C. Teknik pemasakan yang baik dapat menekan kerusakan vitamin C
sehingga kadar vitamin C dalam bahan pangan masih dapat dipertahankan sekitar 50% dan
kadar semula. Mengkonsumsi vitamin C selain dari buah dalam pola makan kita terkadang
memang diperlukan dalam kondisi defisiensi vitamin C namun untuk menghindari resiko
denaturasi vitamin C maka kita perlu mengkonsumsi buah segar yang mengandung vitamin
C.
Vitamin C yang dibutuhkan untuk masuk ke dalam tubuh pria dewasa ialah sekitar
110mg/hari dan wanita dewasa (tidak hamil) sekitar 90mg/hari jumlah ini diakumulasikan
berdasarkan jumlah kapasitas vitamin C yang mampu diserap oleh usus dan lambung sekitar
7580% tiap hari dan jumlah sisanya yang dikeluarkan melalui urin 2025% (EFSA,
2013). Jumlah ini merupakan jumlah yang harus dipenuhi oleh perempuan dan wanita
dewasa setiap harinya. Hal yang perlu kita perhatikan ialah kadar yang mampu diserap oleh
tubuh kita dalam yang harus kita penuhi sehingga kita tidak bisa hanya mengandalkan
vitamin C di saat sakit saja namun harus mulai memperbaiki pola makan yang tepat dengan
memenuhi kebutuhan vitamin C melalui mengkonsumsi buah dalam kehidupan sehari-hari.
Solusi untuk berobat di rumah sakit hanya diisi responden sebesar 20% saja. Hal ini
menunjukkan rendahnya kesadaran responden dalam mengobati penyakit defisiensi vitamin
C. Pentingnya pengobatan dirumah sakit atau instansi kesehatan lain digunakan untuk
mengevaluasi lebih lanjut penyakit defisiensi vitamin C yang tidak kunjung sembuh
meskipun telah dilakukan pengobatan dan penambahan konsumsi vitamin C untuk
mengantisipasi terjadinya penyakit yang lebih parah hal ini sesuai dengan pernyataan oleh
Ghom A. G. dan Mhaske S (2008) terkait adanya indikasi penyakit yang lebih berbahaya
seperti kanker dan AIDS melalui penyakit defisiensi vitamin C seperti sariawan yang tidak
kunjung sembuh.
f) Hubungan Kebiasaan Konsumsi Buah dengan Banyaknya Defisiensi Vitamin C yang
Terjadi
Menurut hasil pembahasan dan analisa data yang telah dilakukan menunjukkan bahwa
dari 30 mahasiswa responeden angket, menunjukkan tingginya kejadian defisiensi vitamin C
yang pernah dialami oleh mahasiswa meskipun mahasiswa mengakui bahwa telah memenuhi
kadar vitamin C tiap hari melalui sumber-sumber vitamin C seperti halnya dari buah jeruk
69
dan pepaya yang menunjukkan paling banyak dikonsumsi oleh mahasiswa. Tetap tingginya
angka kejadian defisiensi vitamin C yang pernah dialami oleh mahasiswa disebabkan
rendahnya pengetahuan mahasiswa terkait dengan kadar vitamin C yang dibutuhkan tubuh
per harinya. Dengan pengetahuan kadar vitamin C yang tepat mahasiswa dapat membuat pola
makan yang tepat dalam kebiasaannya mengkonsumsi jumlah buah segar untuk memenuhi
kebutuhan vitamin C yang diketahui dari jumlah vitamin C tiap 100gr pada buah yang
dikonsumsi mahasiswa per hari. Selain itu teknik pengelolaan dalam mengonsumsi buah juga
memberikan efek pada tingginya kejadian defisiensi vitamin C karena pengolaan buah dalam
mengonsumsi buah yang tidak tepat menyebabkan pengurangan kadar vitamin C dari buah
yang dimasukkan ke dalam tubuh. sehingga untuk menjaga kadar vitamin C dalam tubuh per
hari bisa dilakukan dengan mengkonsumsi secara langsung buah segar per hari yang
jumlahnya disesuaikan dengan besar kadar vitamin C tiap 100gr berat buah.
g) Solusi penanggulangan defisiensi vitamin C
Solusi dari penulis yang dapat digunakan sebagai alternatif upaya penanggulangan
defisiensi vitamin C ialah sebagai berikut.
1. Dilaksanakannya KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) yang diadakan untuk
mahasiswa oleh petugas dari instansi kesehatan dengan kemasan KIE yang lebih menarik
mahasiswa. Seperti halnya dialog interaktif ataupun seminar yang mampu menarik
perhatian banyak mahasiswa. Kegiatan ini juga seharusnya dilengkapi dengan pelatihan
penyusunan pola makan sehat terutama untuk pemenuhan kebutuhan vitamin C. Hal ini
perlu dilakukan karena berdasarkan penelitian dari Zulaekah (2007) menunjukkan bahwa
pendidikan gizi seperti KIE hanya ditujukan dengan sasaran pada siswa SD dan SMP
saja. Seharusnya hal ini dilakukan secara menyeluruh dari seluruh lapisan jenjang
pendidikan siswa, karena menurut hasil angket yang disebarkan oleh penulis
menunjukkan bahwa mahasiswa kurang memperhatikan kebutuhan vitamin C nya.
2. Perlu adanya inovasi dalam teknik penjualan buah dan sayur. Inovasi ini berupa
membuat kemasan buah dan sayur dapat menjadi salah satu rujukan bagi konsumen
dalam memenuhi kebutuhan gizi salah satunya ialah vitamin C. Caranya dengan
menuliskan kadar gizi per gram buah atau sayuran pada kemasan tersebut. Hal ini
diharapkan dapat menjadi upaya yang memudahkan konsumen seperti halnya mahasiswa
yang memiliki keterbatasan waktu untuk memperhatikan jumlah vitamin C per hari yang
seharusnya dikonsumsi. Adanya inovasi ini diharapkan dapat menjadi suatu jalan tengah
para mahasiswa mengubah kebiasan pola makan sehari-harinya menjadi lebih baik
70
71
BAB VI
PENUTUP
1.1 Simpulan
Simpulan dari hasil penelitian di atas ialah sebagai berikut.
1. Kebiasaan konsumsi buah berhubungan dengan angka terjadinya penyakit akibat
defisiensi vitamin C yang dialami oleh mahasiswa. Hal ini ditunjukkan dengan kebiasaan
cara konsumsi buah pepaya dan jeruk yang hanya dikonsumsi 1 kali sehari kurang tepat
karena tidak menyesuaikan dengan kadar vitamin C yang dibutuhkan tubuh per hari.
Selain itu hal ini juga didukung dengan adanya cara mengkonsumsi buah segar tidak
secara langsung memberikan dampak tidak efektifnya vitamin C yang masuk ke dalam
tubuh. Sehingga meskipun kebiasaan konsumsi buah pepaya dan jeruk pada mahasiswa
sudah tinggi angka terjadinya penyakit akibat defisiensi vitamin C yang dialami oleh
mahasiswa juga masih sering dialami mahasiswa.
2. Solusi yang diberikan mahasiswa dalam mengurangi angka terjadinya penyakit akibat
defisiensi vitamin C dengan jalan dilaksankannya dialog interaktif/seminar KIE,
membuat kemasan buah yang menyertakan AKG tiap gram dari buah dan sayur serta
aplikasi android detector dan reminder untuk mengkonsumsi vitamin C.
2.1 Saran
Dari hasil penelitian di atas peneliti mengusulkan beberapa saran dalam mengembangkan
hasil penelitian ini.
1. Bagi mahasiswa Universitas Negeri Malang untuk dapat meningkatkan kepeduliannya
dalam memenuhi kebutuhan vitamin C untuk mengurangi angka defisiensi vitamin C
dalam kehidupan sehari-hari.
2.
Bagi mahasiswa / peneliti lain untuk mengembangkan solusi dari penelitian ini didukung
dengan mewujudkannya melalui teknologi yang ada sehingga dapat meningkatkan
kepedulian mahasiswa dengan pola hidupnya untuk memenuhi kebutuhan vitamin C.
72
DAFTAR RUJUKAN
Aina, M. & Dawam S. 2014. Uji Kualitatif Vitamin C pada Berbagai Makanan dan
Pengaruhnya Terhadap Pemanasan. (Online),
(http://download.portalgaruda.org/article.php?article=155896&val=899&title=UJI
%20KUALITATIF%20VITAMIN%20C%20PADA%20BERBAGAI
%20MAKANAN%20DAN%20PENGARUHNYA%20TERHADAP
%20%20PEMANASAN) diakses 03 Oktober 2015.
Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Anggrainy, D.P. 2012. Gingivitis. Padang: FKG
Arvin, BK.1996. Ilmu Kesehatan Anak Nelson vol. 1 Ed.15. Jakarta: EGC. Hal 225-226
Azeliya, R. M. 2013. Pembuatan Bolu Brokoli (Brassica Oleracea L) Dilihat dari Kadar
Beta Karoten dan Kadar Vitamin C serta Daya Terima. Naskah Publikasi. (Online),
(http://eprints.ums.ac.id/27229/18/02_NASKAH_PUBLIKASI.pdf) diakses 03
Oktober 2015.
Budiyanto, MAK. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Gizi. Malang: UMM press
Casiglia JM. 2013. Aphtous stomatitis. Medscape. (1):7. (Online).
(http://emedicine.medscape.com/article/1075570-overview#a0104) diakses 03
Oktober 2015.
Dalimunte, S.H. 1996. Pengantar Periodontitis Ed-1. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Dewoto HR 2007. Vitamin dan Mineral. dalam Farmakologi dan Terapi edisi kelima. Jakarta:
Percetakan Gaya Baru.
EFSA (European Food Safety Authority). 2013. Scientific Opinion on Dietary Reference
Values for vitamin C1. EFSA Journal, 11(11). (Online),
(http://www.efsa.europa.eu/sites/default/files/scientific_output/files/main_documents
/3418.pdf) diakses 03 Oktober 2015.
Ghom A., G. & Mhaske S. 2008. Allergic and immunological diseases of oral cavity. In:
Textbook of Oral Pathology. India: Jaypee Brothers Publishers.
Gibson, R. 2005. Principles of Nutritional Assesment. Oxford University. New York.
Goodman & Gilman. 2008. Manual of Pharmacology and Therapeutics 11th ed. Mc Graw
Hill.
Groff J. L., Gropper S. S., & Smith J. L. 2009. Advanced nutrition and human metabolism
4th edition.USA: a division of Thomson Learning Inc.
Guyton, A.C. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Hardinsyah., Briawan, D., Retnaningsih., & Herawati, T. 2004 Analisis Kebutuhan Konsumsi
Pangan. Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi. Lembaga Penelitian dan
Pemberdayaan Masyarakat Institut Pertanian Bogor. 74-93.
73
Hart, K.H., Bishop, J.A., & Truby, H. 2002. An Investigation into School Childrens
Knowledge and Awareness of Food and Nutrition. J.Hum. Nutr. Diet. 15(2):129-40.
Helmiyesi, Hastuti, R.B., Prihastanti, E. 2008. Pengaruh Lama Penyimpanan Terhadap Kadar
Gula dan Vitamin C pada Buah Jeruk Siam. Buletin Anatomi dan Fisiologi vol XVI,
nomor 2. Semarang: UNDIP.
http://ejournal.undip.ac.id/index.php/janafis/article/viewFile/2620/2333
Kamiensky M, Keogh J 2006. Vitamins and Minerals.In: Pharmacology Demystified. USA:
Mc.GrawHill Companies Inc.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Situasi Kesehatan Anak Balita di
Indonesia. InfoDATIN, ISSN 2442-7659. Jakarta.
Khairina, D. 2008. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi. Jakarta: FKM UI.
Kurniadhi, Budi. (2015). Pengaruh Tahap Awal Defisiensi Vitamin C pada Serat Kolagen
Gusi (Cavia porcellus) Dilihat Secara Mikroskopik. UI: Tesis tidak diterbitkan.
(Online), (http://lib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=81832&lokasi=lokal)
diakses 03 Oktober 2015.
Langlais RP, Miller Cs, 1998. Atlas Berwarna Kelainan Rongga mulut yang Lazim. Jakarta:
Hipokrates
LIPI. 1998. Widya Karya Pangan dan Gizi VI. Jakarta: Depkes
Mulyadi. 2010. Membuat Aplikasi untuk Android. Yogyakarta: Multimedia Center Publishing.
Ovedoff, David. 2002. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Batam: Binarupa Aksara.
Salter, RB. 1999. Textbook of Disorders and Injuries of the Musculoskeletal System 3rd ed.
USA.
Sari, R. K. 2011. Vitamin dan Mineral. (Online),
(http://skp.unair.ac.id/repository/webpdf/web_VITAMIN__dan_MINERAL_RATIH
_KUMALA_SARI.pdf) diakses 03 Oktober 2015.
Santoso. 2006. Teknologi Pengawetan Bahan Segar. Malang: FAPERTA UWIGA MALANG.
Scully C, Almeida O., P, Bagan J, Dioz P., D, & Taylor A., M. 2010. Ulcers and erosions:
aphtae. In: Oral medicine and pathology at a glance. West Sussex: Wiley-Blackwell.
Setiaty, E. D. 2011. Produksi Buah Pepaya Varietas Callina (Carica papaya L.) pada
Kombinasi Pupuk Organik dan Anorganik di Tanah Ultisol. Seminar Ilmiah Tahunan
Hortikultura. UNSRI
Setiawan, A., Sahudi., Wefi Mahrozah. 2009. Penentuan Kadar Vitamin C dalam Buah
Jambu Biji Merah. Yogyakarta: ATK
Sherwood, L. 2010. Fundamentals of Human Physiology 4ed. Virginia: Graphic World, Inc.
74
Simanjuntak, NM. 2011. Pengetahuan dan Sikap Ibu tentang Sariawan (oral trush) pada
anak usia 0-3 tahun di Klinik Sally Medan. Medan: USU
Sjamsulhidajat, R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah ed.2. Jakarta: EGC. Hal 943
Sumintarti, M. E. 2012. Hubungan antara level estradiol dan progesterone dengan stomatitis
aftosa rekuren. Dentofas. 11(3):137-41.
Tjokronegoro, A. 1985. Vitamin C dan penggunaan dewasa ini. Jakarta: FKUI
WHO. 2001. Is There a Causal Relationship between Iron Deficiency or Iron-Deficiency
Anemia and Weight at Birth, Length of Gestation and Perinatal Mortality? J. Nutr.
131:590S603S, 2001.
WHO. 2004. Iodine Status Worldwide. Geneva: Departement of Nutrition for Health and
Development.
Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Wulansari, R. 2011. Scurvy. Jambi: Radiologi RSUD Raden Mattaher
Yulia, C. 2009. Pengetahuan Dasar Gizi. Jurnal Pelatihan dan Pendidikan Baby Sitter.
(Online),
(http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND._KESEJAHTERAAN_KELUARG
A/198007012005012-CICA_YULIA/Pengetahuan_Dasar_Gizi.pdf) diakses 03
Oktober 2015.
Zulaekah, S. 2007. Efek Suplementasi Besi, Vitamin C dan Pendidikan Gizi terhadap
Perubahan Kadar Hemoglobin Anak Sekolah Dasar yang Anemia di Kecamatan
Kartasura Kabupaten Sukoharjo. Thesis. Tidak diterbitkan. Semarang: Magister
Gizi Masyarakat UNDIP.
Wills, R.B.H., McGlasson, B., Graham, D., and Joice, D. 1998. Postharvest, An Introduction to
the Physiology and Handling of Fruit, Vegetables and Ornamentals. 4 th Ed. Sydney: The
Univ. of New South Wales.
75
Lampiran 1
Pedoman Wawancara:
1.
2.
3.
4.
lama?
5. Jenis sariawan apa saja?Apakah benar jika sariawan dapat dikatakan sebagai indikasi penyakit
lain? jika iya, penyakit apa?
6. Apa saja cara mengobati sariawan?
7. Bagaimana cara mencegah penyakit sariawan?
8. Bagaimana cara memenuhi kebutuhan vitamin C tiap hari?
76
Lampiran 2
ANGKET PENGISIAN DATA TENTANG KEKURANGAN VITAMIN C
PETUNJUK PENGISIAN ANGKET
Angket ini sebagai salah satu media untuk mengukur penelitian kami. Oleh karena itu, kami
meminta kesediaan anda untuk menjawab pertanyaan berikut secara jujur untuk memberikan
informasi yang kami perlukan. Terima kasih atas partisipasi anda.
IDENTITAS RESPONDEN
Nama
:
Jenis Kelamin
:P/L
Umur
:
Status Pekerjaan
:
JAWABLAH PERNYATAAN BERIKUT DENGAN MEMBERIKAN TANDA
CENTANG () PADA KOLOM YANG TELAH DISEDIAKAN. ISILAH TITIK PADA
KOLOM UNTUK MENDUKUNG JAWABAN ANDA.
77
N
o
28.
29.
30.
31.
38.
42.
46.
47.
52.
Jawaban
Ya
Tidak
Pernyataan
Anda mengetahui kadar vitamin C yang dibutuhkan tubuh per hari sebesar
100mg
Anda selalu memenuhi kadar vitamin C tiap kali makan dalam kehidupan
sehari-hari.
Anda mengetahui dengan benar sumber-sumber vitamin C yang
dibutuhkan tubuh per hari.
Anda selalu memenuhi kadar vitamin C yang dibutuhkan tubuh per hari
dengan mengkonsumsi buah (pilih salah satu yang paling sering
dikonsumsi)
Jeruk
Jambu biji
Kedondong
Pepaya
Nanas
Rambutan
Anda mengkonsumsi buah untuk memenuhi vitamin C tubuh per hari
sebanyak (pilih salah satu yang paling sering dilakukan)
1 buah sehari
23 buah sehari
45 buah sehari
Anda mengkonsumsi buah-buahan dengan cara (pilih salah satu yang
paling sering dilakukan)
Makan langsung
Olahan jus
Manisan
Anda mengetahui dengan benar penyakit akibat kekurangan vitamin C.
Anda pernah mengalami penyakit akibat kekurangan vitamin C seperti:
Bercak putih seperti kudis
Gusi berdarah
Radang gusi
Sariawan
Solusi yang pernah anda lakukan untuk mengobati dan mencegah
penyakit diatas:
Memperbaiki pola pengolahan buah
Mengkonsumsi obat-obatan kimia
Mengkonsumsi obat herbal
Mengkonsumsi vitamin C
Meningkatkan konsumsi buah segar yang mengandung vitamin C
Berobat ke dokter/puskesmas/rumah sakit
78
Ket
Lampiran 3
Dokumentasi Pengisian Angket oleh Responden
79
Dokumentasi Wawancara
80