Anda di halaman 1dari 57

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kesehatan merupakan hal yang paling mendasar bagi seseorang. Terdapat
dua macam kesehatan yakni kesehatan jasmani dan rohani. Seseorang yang sehat
secara jasmani bisa dilihat dari ukuran tubuh, kelengkapan anggota badan, dan ciri
lain yang masih berkaitan dengan tubuh. Individu yang sehat secara rohani dapat
dilihat dari caranya berpikir, menanggapi masalah, dan bersosialisasi dengan yang
lain.
Kesehatan haruslah menjadi hal yang paling diperhatikan oleh individu.
Vitamin merupakan salah satu masalah kompleks yang dapat mengakibatkan
banyak masalah lain. Salah satu vitamin yang banyak dibutuhkan tubuh adalah
vitamin C. Vitamin ini merupakan zat penting untuk tubuh, namun sayangnya,
tubuh manusia tidak dapat memproduksinya secara alami. Kita hanya dapat
memperolehnya dari asupan makanan sehari-hari.
Banyak sekali jenis makanan yang mengandung vitamin C, baik alami
maupun sintesis berupa suplemen vitamin maupun makanan dan minuman
bervitamin. Vitamin ini juga bisa didapat dari buah dan sayuran. R.F. Cathcart,
seorang praktisi kesehatan yang meneliti kegunaan vitamin C bagi tubuh,
mengatakan bahwa vitamin C diperlukan oleh tubuh untuk membantu fungsi
antioksidan tubuh dan menghalau radikal bebas.
Menurut Pauling (1970) dalam Nurani (2011), menyebutkan bahwa
asupan vitamin C dosis tinggi sangat berguna meningkatkan kekebalan tubuh dan
mencegah berbagai penyakit.Di beberapa negara, dosis yang dianjurkan berkisar
dari 60-90 miligram vitamin C perhari. Tapi, dari penghitungan Pauling, rata-rata
setiap orang membutuhkan 1.000 miligram atau lebih setiap harinya
Seorang individu disarankan untuk mengonsumsi vitamin C sesuai dengan
kadar minimum per hari. Hal itu dimaksudkan agar tidak terjadi penyakit
kekurangan vitamin C. Bermacam penyakit dapat timbul akibat kurang
memperhatikan vitamin C. Istilah untuk penyakit kekurangan vitamin C disebut
penyakit defisiensi vitamin C. Jumlah vitamin C sebesar itu seharusnya bisa
terpenuhi melalui pola makan yang baik.

3
Berdasarkan penjelasan diatas, maka kami menyusun makalah yang
berjudul “Hubungan Kebiasaan Konsumsi Buah yang Mengandung Vitamin C
Terhadap Penyakit Defisiensi Vitamin C pada Mahasiswa Universitas Negeri
Malang”. Makalah ini berusaha memaparkan cara memenuhi kebutuhan vitamin C
per hari agar tidak terjangkit penyakit defisiensi. Selain itu, makalah ini juga
memberi informasi cara penanggulangan penyakit defisiensi vitamin C.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah.
1. Bagaimana hubungan kebiasaan konsumsi buah yang mengandung vitamin C
terhadap penyakit defisiensi vitamin C?
2. Bagaimana solusi untuk menanggulangi banyaknya kejadian penyakit akibat
defisiensi Vitamin C?

1.3 ManfaatPenelitian
Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah.
Bagi peneliti:
 Dapat mengaji manfaat konsumsi vitamin C yang terdapat dalam buah
 Dapat mengaji penyakit akibat defisiensi vitamin C
 dapat membuktikan pengetahuan yang telah ada sebelumnya

4
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. PENYAKIT DEFISIENSI
Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi
baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi
yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik,
perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum pada tingkat
setinggi mungkin. Gizi kurang (defisiensi gizi) merupakan suatu keadaan yang
terjadi akibat tidak terpenuhinya asupan makanan (Khairina, 2008, Sampoerno,
1992). Gizi kurang dapat terjadi karena seseorang mengalami kekurangan
(ketidakseimbangan) salah satu atau lebih zat gizi di dalam tubuh (Khairina, 2008;
Almatsier, 2001).
Akibat yang terjadi apabila kekurangan gizi antara lain menurunnya
kekebalan tubuh (mudah terkena penyakit infeksi), terjadinya gangguan dalam
proses pertumbuhan dan perkembangan, kekurangan energi yang dapat
menurunkan produktivitas tenaga kerja, dan sulitnya seseorang dalam menerima
pendidikan dan pengetahuan (Khairina, 2008; Jalal & Atmojo, 1998). Gizi kurang
merupakan salah satu masalah gizi yang banyak dihadapi oleh negara yang sedang
berkembang. Hal ini dapat terjadi karena tingkat pendidikan yang rendah,
pengetahuan yang kurang mengenai gizi dan perilaku belum sadar akan status
gizi. Pada umumnya, penyakit defisiensi gizi ini terjadi pada balita. Penyakit
defisiensi gizi yang pernah terjadi di Indonesia, antara lain:
1. Penyakit Kekurangan Energi Protein (KEP)
Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2015) dalam
InfoDATIN:Situasi Kesehatan Anak Balita di Indonesia, di Indonesia masih
terdapat balita yang cenderung mempunyai status gizi kurang maupun buruk.
Kekurangan Energi Protein (KEP) terjadi jika asupan protein, terutama pad
balita, di bawah angka kecukupan gizi. KEP dapat dikelompokkan menjadi 3,
yaitu marasmus (umur 0-2 tahun, tidak mendapatkan kecukupan ASI),

5
kwashiorkor (umur 1-3 tahun, kurang mendapatkan asupan protein pada
makanannya), kwashiorkor marasmus / honger oedema / busung lapar

6
(disebabkan oleh kekurangan protein kronis pada anak karena tidak mendapat
asupan gizi yang memadai).

Gambar 2.1 Kecenderungan Prevalensi Gizi Kurang, Pendek, Kurus, dan Gemuk pada
Balita di Indonesia tahun 2007, 2010, dan 2013
Sumber: Riskesdas, Balitbangkes Kemenkes, 2013

2. Penyakit Defisiensi Zat Besi


Zat mineral besi tergolong mikromolekul yang dibutuhkan oleh tubuh,
Kebutuhan akan zat besi sangatlah bervariasi tergantung pada faktor usia, jenis
kelamin seseorang. Semakin cepat masa pertumbuhan seseorang maka pada saat
itu massa tulang meningkat dan terjadi remodeling tulang dan sel darah merah
meningkat sehingga menyebabkan kebutuhan zat besi meningkat (pada anak dan
ibu hamil).
Menurut Menkes RI, defisiensi zat besi (Fe) dapat dibagi menjadi 4 tingkatan,
yaitu:
a. Latent iron deficiency: cadangan Fe berkurang, tetapi Fe dalam eritrosit masih
normal.
b. Early iron deficiency anemia: cadangan Fe menurun (hampir habis), tetapi Fe
dalam eritrosit belum menurun.
c. Late iron deficiency anemia: Fe eritrosit menurun, tetapi Fe dalam jaringan
belum berkurang.
d. Iron tissue deficiency: Fe eritrosit dan jaringan menurun.
Gejala penderita penyakit anemia sering mengalami lemas, wajah pucat,
mudah kelelahan, sering bekerja tidak optimal dan mudah sekali terserang oleh

28
penyakit. Anemia dapat dideteksi melalui pengujian secara klinis pada bagian
muka yang pucat, kelopak mata, lidah, dan telapak tangan serta dengan uji kadar
hemoglobin dalam tubuh (WHO, 2001).
Kekurangan zat besi dapat diatasi dengan memperbanyak konsumsi makanan
segar yang mengandung zat besi (sayuran) dan pemberian suplemen yang mampu
menambah kandungan zat besi dalam tubuh. Perbaikan pertumbuhan pada anak
yang menderita anemia melalui suplemen zat besi sangat diperlukan untuk
menjadikan fungsi biokimia dan fisiologis tubuh anak menjadi normal dan tidak
lagi menghambat perkembangan kognitif dan psikomotorik dalam pertumbuhan
anak.

3. Penyakit Defisiensi Yodium


Iodin (yodium) adalah mineral yang ditemukan di ikan laut, rumput laut,
udang, dan makanan laut lainnya, serta produk susu dan produk yang dibuat dari
butir. Iodin digunakan oleh tubuh untuk menghasilkan hormon tiroid yang bekerja
untuk mengendalikan fungsi penting lainnya. Hormon tiroid yang juga diperlukan
untuk perkembangan otak dan tulang yang tepat selama kehamilan dan bayi. Kadar
iodin untuk usia 14 tahun dan lebih adalah 150 mg. Kekurangan yodium selama
perkembangan janin dan early-childhood dapat menyebabkan gangguan otak. Pada
orang dewasa, kekurangan yodium mild-to-moderate dapat menyebabkan goiter,
serta gangguan mental fungsi dan bekerja produktivitas. Kekurangan yodium
kronis dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker dari beberapa bentuk
tiroid.
WHO Global Database on Iodine Deficiency (2004) menyatakan proporsi
anak usia sekolah (6-12 tahun) mengalami defisiensi iodium sebesar 285.4 juta dan
pada populasi umum sebesar 1,988 milyar penduduk dunia. Di Asia, terdapat 187
juta (38,3 %) anak usia sekolah (6-12 tahun) dan 1,2 milyar populasi umum
(35,6%) dengan defisiensi iodium. Regional Oceania terdapat 2,1 juta (59,4%)
anak usia sekolah (6-12 tahun) dan 19,2 juta populasi umum (64,5%) mengalami
defisiensi iodium.

29
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menggambarkan proporsi
nilai Ekskresi Iodium Urin (EIU) 100 g/L (risiko kekurangan) pada anak usia 6-12
tahun sebesar 14,9%; pada WUS sebesar 22,1%; pada ibu hamil sebesar 24,3%
dan pada ibu menyusui sebesar 23,9%. Keadaan tersebut menjadi penanda akan
timbulnya gangguan metabolisme tiroid yang dapat menyebabkan kondisi penyakit
tiroid. Sementara, dalam Riskesdas (2013) juga tergambar prevalensi hipertiroid
sebesar 0,4%.

Gambar 2.2 Ibu Ari, penderita penyakit gondok.


Sumber: Dok. pribadi

4. Penyakit Defisiensi Seng (Zink)


Seng (zink) terdapat pada makanan berupa tiram, daging merah, unggas,
kacang-kacangan, biji-bijian dan susu yang sepenuhnya diserap oleh tubuh. Seng
ini penting untuk membantu sistem kekebalan tubuh dari bakteri dan virus. Kadar
seng yang dibutuhkan oleh tubuh adalah 11 mg untuk orang dewasa dan 8 mg
untuk wanita dewasa. Gejala kekurangan seng termasuk pertumbuhan yang lambat
pada bayi dan anak-anak, tertunda seksual pembangunan pada remaja dan
impotensi pada pria. Defisiensi seng dapat menyebabkan rambut rontok, hilangnya
nafsu makan, adanya masalah dengan penyembuhan luka.

30
Gambar 2.3 Defisiensi seng (zink) dapat diketahui melalui perubahan pada
kuku

31
5. Penyakit Defisiensi Imun
Penyakit defisiensi imun adalah penyakit yang ddisebabkan oleh adanya satu
atau lebih ketidaknormalan pada sistem imun, dimana kerentanan terhadap infeksi
meningkat.
Tabel 2.1 Jenis Penyakit Defisiensi Imun
Jenis penyakit Sel target
Acquired immine deficiencies Sel T (sel merusak sel Th )
syndrome (AIDS)
Immunodeficiencies sIgA Sel B dan sel t (rentan terhadap
infeksi pada mukosa)
Reticular disgenesis Sel B, sel T, dan sel induk
(defisiensi sel induk, sel B dan sel
T tidak berkembang)
Severe Combined immunodeficiency Sel B, sel t, dan sel induk (defisiensi
pada sel B dan selT)
Di Geeorge Syndrome Sel T (kelainan pada timus
menyebabkan difesiensi sel T)
Sindroma Wiskott-Aldrich Sel B dan sel T(ksedikit platelet
dalam darah dan sel T abnormal)
X-Linked agammaglobulinemia Sel B (penurunan produksi
immunoglobulin)
Sumber: Almatsier (2001)

6. Penyakit Defisiensi Vitamin


Vitamin adalah suatu senyawa organik yang terdapat di dalam makanan dalam
jumlah yang sedikit, dan dibutuhkan dalam jumlah yang besar untuk fungsi
metabolisme yang normal. Vitamin dapat larut di dalam air dan lemak. Vitamin
yang larut dalam lemak adalah vitamin A, D, E, dan K, dan yang larut dalam air
adalah vitamin B dan C.
a. Defisiensi Vitamin A
Kekurangan atau defisiensi vitamin A disebabkan oleh malfungsi berbagai
mekanisme seluler yang di dalamnya turut berperan senyawa-senyawa
retinoid. Defisiensi vitamin A terjadi gangguan kemampuan penglihatan pada
senja hari (rabun senja). Ini terjadi karena ketika simpanan vitamin A dalam
hati hampir habis. Deplesi selanjutnya menimbulkan keratinisasi jaringan
epitel mata, paru-paru, traktus gastrointestinal dan genitourinarius, serta

32
pengurangan sekresi mucus. Kerusakan jaringan mata, yaitu xeropthalmia
akan menimbulkan kebutaan. Defisiensi vitamin A terjadi terutama karena
kekurangan komsumsi sayuran, buah yang menjadi sumber provitamin A.
Masalah kekurangan (defisiensi) ini tidak terlalu tampak, padahal
kekurangan vitamin A subklinis merupakan masalah besar yang perlu
mendapat perhatian (Kemenkes, 2015). Kekurangan vitamin A subklinis ini
ditandai dengan rendahnya kadar vitamin A di dalam darah dan dapat
diketahui dengan melakukan periksa (cek) laboratorium. Defisiensi vitamin A
ini dapat menyebabkan xeropthalmia (prevalensi<0,5%). Ada beberapa cara
yang telah dilakukan untuk menanggulangi defisiensi ini, yaitu pemberian
kapsul vitamin A dosis tinggi (pada balita sejak 6 bulan), peningkatan integrasi
pelayanan kesehatan, sweeping pada daerah yang cakupannya masih rendah
serta melakukan kampanye (sosialisasi).

Gambar 2.4 Cakupan Pemberian Kapsul Vitamin A pada Anak Balita Menurut Provinsi
tahun 2013
Sumber: Profil Kesehatan Indonesia, Pusdatin Kemenkes, 2013

33
b. Defisiensi Vitamin C
Vitamin C (asam askorbat) adalah suatu senyawa beratom karbon 6 yang
dapat larut dalam air. Vitamin C merupakan vitamin yang disintesis dari
glukosa dalam hati dari semua jenis mamalia, kecuali manusia. Manusia tidak
memiliki enzim gulonolaktone oksidase, yang sangat penting untuk sintesis
dari prekursor vitamin C, yaitu 2-keto-1-gulonolakton, sehingga manusia tidak
dapat mensintesis vitamin C dalam tubuhnya sendiri. Di dalam tubuh, vitamin
C terdapat di dalam darah (khususnya leukosit), korteks anak ginjal, kulit, dan
tulang. Vitamin C akan diserap di saluran pencernaan melalui mekanisme
transport aktif (Sherwood, 2010).
Pemberian vitamin C pada keadaan normal tidak terlalu menunjukkan efek
samping yang jelas. Tetapi pada keadaan defisiensi, pemberian vitamin C akan
menghilangkan gejala penyakit dengan cepat. Efek samping penggunaan
vitamin C sebelum makan adalah rasa nyeri pada epigastrium.
Angka Kecukupan Gizi untuk vitamin C dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.2 Angka Kecukupan Gizi Vitamin C
Golongan AKG Golongan AKG Golongan umur AKG
umur (mg) umur (pria) (mg) (wanita) (mg)
0-6 bulan 30 10-12 tahun 50 10-12 tahun 50
7-12 bulan 35 13-15 tahun 60 13-15 tahun 60
1-3 tahun 40 16-19 tahun 60 16-19 tahun 60
4-6 tahun 45 20-45 tahun 60 20-45 tahun 60
7-9 tahun 45 46-59 tahun 60 46-59 tahun 60
≥60 tahun 60 ≥60 tahun 50
Ibu hamil +10
Ibu Menyusui:
0-6 bulan
+25
7-12 bulan +10
(Sumber: LIPI, 1998)
Defisiensi vitamin C adalah suatu keadaan dimana kadar vitamin C dalam
darah seseorang berkurang dari kadar normalnya. Nilai normal untuk vitamin
C dalam darah: untuk dewasa : 0,6-2 mg/dL dalam plasma dan 0,2-2 mg/dL
dalam serum, anak : 0,6-1,6 mg/dL dalam plasma.

34
Vitamin C mudah diabsorpsi secara aktif, tubuh dapat menyimpan hingga
1500 mg vitamin C bila dikonsumsi mencapai 100 mg sehari. Jumlah ini dapat
mencegah terjadinya skorbut selama tiga bulan. Tanda-tanda skorbut akan
terjadi bila persediaan di dalam tubuh tinggal 300 mg. Konsumsi vitamin C
melebihi taraf kejenuhan akan dikeluarkan melalui urin (Almatsier, 2001).

B. MACAM PENYAKIT DEFISIENSI VITAMIN C


1. Skorbut
Skorbut (scurvy) adalah penyakit yang ditandai dengan kegagalan dari
pembentukan osteoblastik, dengan hasil berkurangnya tulang (osteoporosis), dan
menyebabkan perdarahan superiosteal dan submukosa. Penyakit ini disebabkan
kekurangan vitamin C (asam askorbat) dan menyebabkan kekurangan sintesis
kolagen, yang ditemukan pada anak usia antara 6 bulan dan 1 tahun
(Salter,1999).
Scurvy ini jarang di Amerika Serikat. Pada pasien yang lebih tua terjadi jika
penderita menggunakan alkohol dan tidak mengkonsumsi buah dan sayuran.
Pada bayi dan anak disebabkan oleh ketidakmampuan, ekonomi atau alasan
sosial. Di Indonesia jarang ditemukan penderita defisiensi vitamin C atau
infantile scurvy. Biasanya terdapat pada anak yang mendapat makanan buatan
tanpa sayur dan buah-buahan.
Hipovitaminosis C atau penyakit skorbut dapat timbul apabila bayi selama 6-
12 bulan tidak mendapat vitamin C yang cukup. Gambaran klinis menunjukkan
bayi sakit berat, malaise dengan kecenderungan perdarahan di mukosa mulut,
gusi dan subperiosteal. Pada foto rontgen terdapat pelebaran garis epifisis dengan
korteks yang tipis pada daerah pertumbuhan yang cepat seperti di lutut,
pergelangan tangan, dan sisi proksimal humerus (Sjamsulhidajat, 2004).
Kematian yang berkaitan dengan gagal jantung dilaporkan pada janin dan anak-
anak dengan scurvy.
Selama defisiensi vitamin C, pembentukkan kolagen dan kondroitin sulfat
terganggu. Kecenderungan perdarahan, dentin gigi tidak sempurna dan

35
pelonggaran gigi disebabkan oleh kekurangan kolagen. Karena osteoblast tidak
lagi membentuk bahan interseluler normal (osteoid), pembentukan tulang
enkhondral berhenti. Trabekula tulang yang telah terbentuk menjadi rapuh dan
mudah patah. Periosteum menjadi longgar, dan perdarahan subperiosteal terjadi,
terutama pada ujung-ujung femur dan tibia. Pada skorbut berat dapat ada
degenerasi otot skelet, hipertrofi jantung, depresi sumsum tulang dan atrofi
adrenal. Penurunan pembentukan osteoblastik matriks tulang yang ada pada
resorpsi osteoklastic tulang menyebabkan osteoporosis. Karena matriks tulang
tidak terbentuk pada kalsifikasi inti dari tulang rawan di lempen epifiseal, daerah
tulang rawan yang kalsifikasi menetap dan menebal. Avitaminosis vitamin C
juga meningkatkan kerapuhan kapiler, terdapat perdarahan spontan, tidak hanya
di sub periosteum tetapi juga di membran mukosa gusidan usus. Ketika
perdarahan subperiostealnya ini terus berlangsung, perlengketan normal dari
epifisis dan lempeng epifisis ke metafisis terganggu dan pemisahan epifisis
(Wulansari, 2011; Arvin, 1996).
Skorbut terjadi secara bertahap (sesudah beberapa periode penipisan vitamin
C), adapun gambaran kliniknya yaitu:
 Irritable, mudah marah
 Takipnea (pernapasan abnormal, cepat dan dangkal, >60/menit)
 Gangguan pencernaan (diare, berat badan menurun)
 Nyeri akibat pseudoparalisis dan kaki mengambil posisi kodok (khas),
dimana pinggul dan lutut zemi fleksi dengan kaki terputar keluar.
 Pembengkakan anggota tubuh terutama paha
 Perdarahan subperiosteum (dapat diraba pada ujung femur)
 Perubahan pada gusi paling nyata bila gigi tumbuh, ditandai dengan
merah keabu-abuan, pembengkakan seperti spon membran mukosa,
biasanya pada gigi susu (insisivus) atas.
 Angulasi (tonjolan) atau bercak scorbutik yang lebih tajam daripada
rakhitis.

36
 Perdarahan petekhiae dapat terjadi pada kulit dan membran mukosa.
Hematuria, melena dan perdarahan orbital dan subdural dapat ditemukan.
 Demam ringan biasanya ada
 Anemia dapat menggambarkan ketidak mampuan menggunakan besi atau
gangguan metabolisme asam folat
 Penyembuhan luka tertunda
Gambaran Radiologi: pada stadium awal, penampakannya menyerupai
penampakan atrofi tulang sederhana. Trabeluka batang tidak dapat dilihat, dan
tulang memberi gambaran dasar gelas. Korteks menipis sampai setipis ujung
pensil, dan ujung epifisis berbatas tegas. Garis putih Fraenkel yang
menggambarkan daerah kartilago yang mengepur dengan baik dapat dengan jelas
dilihat sebagai garis putih tidak teratur tetapi tebal pada metafisis. Pusat
ossifikasi epifisea juga mempunyai penampakan dasar gelas dan dikelilingi oleh
cincin putih. Perdarahan subperiosteum tidak dapat tampak secara
roentgenografis pada skorbut aktif. Namun selama penyembuhan, periosteum
yang terangkat menalami kalsifikasi dan tulang yang yang terkena berbentuk
halter atau tongkat (Wulansari, 2011).

Gambar 1. Wimberger’s ring

37
Gambar 2. Radiology scurvy

Gambar 3. Foto AP Ekstrimitas bawah menunjukan ground glass osteopenia


Diagnosis didasarkan terutama pada gambaran klinis khas, gambaran
rongenografi tulang panjang, dan riwayat ambilan vitamin C yang jelek. Uji
laboratorium untuk skorbut tidak memuaskan. Kadar vitamin C plasma darah
puasa tidak melebihi 0,6 mg/dl membantu dalam mengesampingkan skorbut,
tetapi kadar vitamin C yang lebih rendah tidak membuktikan adanya defisiensi.

38
Bukti adanya defisiensi vitamin C lebih baik dilengkapi dengan kadar asam
askorbat dalam lapisan sel trombosit putih (trombosit buffy) darah teroksalat
yang disentrifuse. Kadar nol pada lapisan ini menunjukkan skorbut laten,
walaupun tidak ada tanda-tanda klinis defisiensi. Kejenuhan jaringan dengan
vitamin C dapat diperkirakan dalam jumlah ekskresi vitamin urin sesudah uji
dosis asam askorbat. Selama 3-5 hari setelah pemberian parenteral dosis uji, 80%
darinya dapat ditemukan dalam urin anak normal. Aminoasiduria nonspesifik,
menyeluruh, terjadi pada skorbut, sementara angka asam amino darah tetap
normal. Sesudah pembebenan tirosin, bayi penderita skorbut mengekskresikan
metabolit serupa dengan ekskresi metabolit bayi prematur. Waktu protombin
mungkin sangat naik (Wulansari, 2011; Arvin, 1996).
Diagnosis banding untuk penyakit ini dapat dilakukan dengan syphilis,
leukemia, arthritis. Dengan pengobatan yang tepat, penyembuhan terjadi dengan
cepat pada bayi, tetapi pembengkakan karena perdarahan subperiosteum
mungkin memerlukan berbulan-bulan untuk hilang. Pertumbuhan badan biasanya
cepat menyesuaikan.
Skorbut dicegah dengan mengkonsumsi makanan cukup vitamin C, buah
jeruk, dan sari buah sumber vitamin C yang baik. Bayi susu formula harus
mendapatkan 35 mg asam askorbat setiap hari. Ibu yang sedang menyusui harus
minum 100 mg. 45-60 mg/24 jam diperlukan oleh anak atau orang dewasa
(Wulansari, 2011).
Bayi yang dilahirkan dengan simpanan vitamin C yang cukup jika masukan
ibu cukup, kandungan vitamin C plasma darah tali pusat 2-4 kali lebih besar dari
pada kandungan vitamin C plasma ibu. Pada keadaan ini ASI mengandung
sekitar 4-7 mg/dl asam askorbat dan merupakan sumber vitamin C yang cukup.
Defisiensi vitamin C pada ibu dapat menimbulkan skorbut pada bayi yang
minum asi nya. Bayi yang minum susu formula harus mendapatkan tambahan
vitamin C. Kebutuhan vitamin C bertambah karena penyakit demam, terutama
penyakit infeksi dan diare dan karena defisiensi besi, paparan dingin, kehilangan
protein dan merokok (Wulansari, 2011)

39
Cara mengobati skorbut menurut Food and Nutrition Board of the National
Academy of Sciences, National Research Council's, kadar vitamin C yang
direkomendasikan:
Bayi - 30-40 mg
Anak-anak dan dewasa- 45-60 mg
Wanita hamil - 70 mg
Ibu menyusui - 90-95 mg
Asam askorbat 100-200 mg atau lebih, peroral atau parenteral. Digunakan
untuk sintesis kolagen dan perbaikan jaringan. Pemberian sari buah jeruk/tomat
setiap hari akan dengan cepat menghasilkan penyembuhan (Wulansari, 2011;
Arvin, 1996; Salter, 1999).
2. Sariawan (oral thrush)
Sariawan (stomatitis) adalah radang pada rongga mulut (bibir dan lidah) yang
disebabkan oleh jamur Candida albicans (Simanjuntak, 2011; Kristayanasari,
2010). Oral trush adalah lapisan atau bercak-bercak putih kekuningan yang
timbul di lidah yang dikelilingi oleh daerah kemerahan (Simanjuntak, 2011).
Berdasarkan lokasinya, sariawan pada anak, baik itu bayi maupun balita, lebih
sering terjadi pada bibir bagian dalam, lidah, pipi bagian dalam (mukosa),
gusi,langit-langit dalam rongga mulut dan tenggorokan. Bercak-bercak putih ini
menyerupai gumpalan susu yang jika dibersihkan akan terkelupas namun
meninggalkan bekas yang permukaannya merah dan mudah berdarah. Keadaan
putih tersebut harus dapat dibedakan dengan sisa susu karena putih pada
sariawan sukar diangkat bahkan menimbulkan perdarahan.
Penyakit ini sering dijumpai pada bayi dan anak kecil yang minum susu
dengan botol susu atau dot atau anak yang mengisap dot kempong (fopspeen)
yang tidak diperhatikan kebersihannya, seperti dot
yang tidak pernah direbus sehingga bakteri berkembang biak didalamnya
(Simanjuntak, 2011). Bentuk sariawan akan terlihat seperti vesikel atau bulatan
kecil berwarna putih atau kekuningan. Mula-mula berdiameter 1-3 mm kemudian

40
berkembang berbentuk selaput. Jika selaputnya mengikis, maka akan terlihat
seperti ulkus/lubang.

Gambar Penderita penyakit sariawan


Sumber: Dok. pribadi
Banyak hal yang mempengaruhi timbulnya sariawan ini namun hal yang
mendasari adalah adanya jamur. Oral trush merupakan penyakit yang diakibatkan
dengan adanya jamur pada mulut dan saluran kerongkongan. Jamur Candida
albicans, bersifat saprofit sering dijumpai pada neonatus. Hal ini terjadi karena
sisa susu atau ASI tersebut bereaksi dengan unsur-unsur yang terkandung dalam
air liur (saliva) dan mikroorganisme yang terdapat pada rongga mulut anak.
Selain itu oral trush juga terjadi karena beberapa hal sebagai berikut :
a. Makanan/ minuman panas
Saat membuatkan makanan ataupun minuman bagi bayi terlebih dahulu
perhatikan suhunya masih panas atau sudah cukup hangat untuk diterima oleh
mulut bayi. Sebab mulut bayi belum sekuat mulut orang dewasa. Suhu susu yang
masih panas dapat membuat perlukaan pada mulut bayi yang masih lembut.
b. Traumatik
Mulut anak terluka oleh sesuatu benda misalnya terkena gesekan dot yang
terlalu keras. Kejadian luka pada gusi ini berhubungan juga dengan gigi bayi
yang mulai tumbuh sehingga menimbulkan ketidaknyamanan pada bayi.
Gesekan-gesekan benda yang agak keras dan yang terbuat dari karet yang keras
dapat menimbulkan sariawan pada anak.
c. Zat Kimia

41
Pemakaian obat-obatan yang terlalu lama. Zat kimia yang terkandung didalam
obat bersifat asam. Bila tersisa dimulut dapat memicu timbulnya bakteri sehingga
menyebabkan sariawan (Simanjuntak, 2011; Rukiyah & Yulianti, 2010). Setelah
minum obat, minumlah air putih sehingga sisa-sisa obat tidak menempel di gusi
maupun dinding mulut.
Ada tiga jenis sariawan yang kerap menyerang anak; antara lain :
1) Stomatitis Aphtosa, yaitu sariawan yang terjadi akibat tergigit atau luka
akibat benturan dengan benda yang agak keras misalnya sikat gigi. Bila
kemudian kuman masuk dan daya tahan tubuh anak sedang turun, maka dapat
terjadi infeksi, sehingga menimbulkan peradangan dan menyebabkan nyeri.
2) Oral trush / monoliasis, sariawan yang disebabkan jamur candida albican
biasanya banyak dijumpai di lidah. Pada keadaan normal , jamur memang
terdapat didalam mulut. Namun, saat daya tahan tubuh menurun ditambah
penggunaan obat yang berlangsung lama atau melebihi jangka waktu pemakaian,
jamur candida akan tumbuh lebih banyak lagi.
3) Stomatitik herfetik, yang disebabkan virus herpes simpleks dan berlokasi
dibagian belakang tenggorokan. Sariawan ditenggorokan biasanya langsung
terjadi jika ada virus yang sedang mewabah dan pada saat itu daya tahan
tubuhmenurun.
Para orang tua diharapkan memperhatikan keadaan anaknya. Adapun tanda
dan gejala yang biasa ditimbulkan akibat sariawan, adalah:
a. Umumnya suhu badan meningkat hingga 40 derajat
b. Anak banyak mengeluarkan air liur lebih dari biasanya.
c. Anak akan rewel dan gelisah.
d. Tidak mau makan, tidak mau minum susu maupun menyusui.
e. Jika mulut anak dibuka maka akan terlihat bercak putih kekuningan di
sekitar mulut bayi bila dihilangkan akan mudahberdarah
f. Mulut anak akan berbau akibat kuman atau jamur yang ada pada
rongga mulut ( Simanjuntak, 2011)

42
Apabila oral trush tidak atasi maka dapat juga menyebabkan diare, sebab
jamur yang ada didalam rongga mulut ikut tertelan sehingga menimbulkan
infeksi usus.

3. Gingivitis
Gingivitis merupakan suatu peradangan yang terjadi pada gingiva yang
disebabkan oleh faktor lokal dan sistemik. Secara klinis gingivitis ditandai
dengan adanya inflamasi gingiva berupa perubahan warna, perubahan
konsistensi, perubahan tekstur permukaan, perubahan atau pertumbuhan ukuran,
perubahan kontur (Anggrainy, 2012).
Gingivitis (radang gusi) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri
(Actinomyces, Fusobacterium, Veillonella) dan organisme yang menempati
sulkus gusi. Klasifikasi gingivitis:
1. Gingivitis Akut
Gingivitis akut dibagi menjadi :
a. Gingivitis Ulseratif Nekrosis Akut / GUNA
(Acute Necrotizing Ulcerative Gingivitis / ANUG)
GUNA terbagi lagi menjadi:
- GUNA dengan faktor sistemik tidak dikenal
- GUNA yang berkaitan dengan H.I.V
b. Gingivostomatitis herpetis akut (Acute Herpetic Gingivostomatitis)
2. Gingivitis kronis
Gingivitis kronis terbagi lagi menjadi:
a. Gingivitis simpel / tidak berkomplikasi (Simple unicomplicated gingivitis)
b. Gingivitis berkomplikasi (complicatedgingivitis)
c. Gingivitis deskuamatif (descuamative gingivitis)
3. Gingivitis yang tidak berkaitan dengan plak bakteri.
Klasifikasi Gingivitis menurut lokasinya
a. Gingivitis Lokalisata
Gingivitis yang hanya terdapat pada satu gigi.

43
b. Gingivitis Generalisata
Gingivitis yang hampir menyeluruh pada semua gigi rahang atas atau
rahang bawah.
c. Gingivitis Marginalis
Gingivitis yang terdapat pada daerah margin dan bisa mencapai daerah
attached gingiva
d. Gingivitis Dims
Gingivitis yang melibatkan gingiva margin dan attached gingiva serta
papila interdental
e. Gingivitis Papilaris
Gingivitis yang melibatkan papila interdental dan meluas ke marginal
gingiva yang berbatasan.

Gambar : Gingivitis marginaiis karena plak (Robert P. Langlais dart Crate 51 Miller,
Atlas Berwarna Kelainan Rongga Mulut)

Gambar . Papila-papila berkawah : Gingivitis Ulseratif Akut yang Nekrosis (ANUG)


(Robert P. Langlais dan Craig S. Miller, Atlas Berwama Kelainan Rongga Mulut)

44
Gambar 3.Gingivitis Hormonal pada Wanita Pubertas (Atlas Berwarna Kelainan
Rongga Mulut yang Lazim), (Robert P. Langlais dan Craig S. Miller, Atlas Berwarna
Kelainan Rongga Mulut)
Secara umum penyebab penyakit gingiva dikelompokkan menjadi dua
golongan yaitu:
a. Faktor lokal adalah faktor yang berada di sekitar gigi, contoh: plak
bakteri-karang gigi, partikel makanan yang melekat pada gigi maupun
gingiva, karies di dekat gingiva, kebiasaan merokok, trauma.
b. Faktor sistemik adalah faktor yang dihubungkan dengan kondsi tubuh,
dapat berpengaruh pada respon periodontium penyebab local. Contoh:
faktor hormonal, defisiensi vitamin, mineral, protein, penggunaan
obat-obatan, faktor psikologis (Dalimunte, 1996)
Untuk membedakan gingiva normal dan gingivitis, diperlukan suatu indeks
gingiva dan indek titik pendarahan (Papillary Bleeding Index) agar bisa
dibedakan dan diketahui gingiva normal atau tidak. Perawatan dari gingiva
meliputi tiga komponen yang dapat dilakukan bersama:
1. Kontrol plak adekuat
2. Menghilangkan plak dan kalkulus
3. Memperbaiki faktor-faktor retensi plak
Ketiga macam perawatan ini saling berhubungan. Pembersihan plak tidak
dapat dilakukan sebelum faktor-faktor retensi plak diperbaiki, membuat mulut
bebas plak temyata tidak memberikan manfaat bila tidak dilakukan upaya untuk
mencegah rekurensi deposit plak.
Untuk penunjang perawatan gingivitis diberikan obat kumur untuk
mempercepat penyembuhan, dan pasien harus memperhatikan gizi seimbang

45
C. FUNGSI VITAMIN C
Fungsi vitamin C antara lain meningkatkan kekebalan tubuh dan mencegah
flu. Kekurangan vitamin C dalam tubuh dapat mengakibatkan beberapa penyakit
dan masalah kesehatan lainnya. Salah satu fungsi utama vitamin C berkaitan
dengan sintesis kolagen. Kolagen adalah sejenis protein yang merupakan salah
satu komponen utama dari jaringan ikat, tulang-tulang rawan, dentin, lapisan
endotelium pembuluh darah dan lain-lain. Kekurangan asupan vitamin C dapat
menyebabkan skorbut. Dalam kasus-kasus skorbut spontan, biasanya terjadi gigi
mudah tanggal, gingivitis, dan anemia, yang mungkin disebabkan oleh adanya
fungsi spesifik asam askorbat dalam sintesis hemoglobin. Skorbut dikaitkan
dengan gangguan sintesis kolagen yang manifestasinya berupa luka yang sulit
sembuh, gangguan pembentukan gigi dan robeknya kapiler (Tjokronegoro,
1985).
1. Vitamin C sebagai Penguat Sistem Imun Tubuh (Guyton, 2008).
2. Vitamin C sebagai Antioksidan

Vitamin C dapat dioksidasi oleh senyawa-senyawa lain yang berpotensi


pada penyakit. Jenis-jenis senyawa yang menerima elektron dan direduksi
oleh vitamin C, dapat dibagi dalam beberapa kelas, antara lain:
a. Senyawa dengan elektron (radikal) yang tidak berpasangan, contohnya
radikal-radikal oksigen (superoksida, radikal hidroksil, radikal
peroksil,radikal sulfur, dan radikal nitrogen-oksigen).

46
b. Senyawa-senyawa yang reaktif tetapi tidak radikal, misalnya asam
hipoklorit, nitrosamin, asam nitrat, dan ozon.
c. Senyawa-senyawa yang dibentuk melalui reaksi senyawa pada kelas
pertama atau kelas kedua dengan vitamin C.
d. Reaksi transisi yang diperantarai logam (misalnya ferrum atau cuprum)
Vitamin C dapat menjadi antioksidan untuk lipid, protein, dan DNA,
dengan cara : (1) Untuk lipid, misalnya Low-Density Lipoprotein
(LDL), akan beraksi dengan oksigen sehingga menjadi lipid peroksida.
Reaksi berikutnya akan menghasilkan lipid hidroperoksida, yang akan
menghasilkan proses radikal bebas. Asam askorbat akan bereaksi dengan
oksigen sehingga tidak terjadi interaksi antara lipid dan oksigen, dan akan
mencegah terjadinya pembentukan lipid hidroperoksida. (2) Untuk protein,
vitamin C mencegah reaksi oksigen dan asam amino pembentuk peptide,
atau reaksi oksigen dan peptida pembentuk protein. (3) Untuk DNA, reaksi
DNA dengan oksigen akan menyebabkan kerusakan pada DNA yang
akhirnya menyebabkan mutasi
3. Vitamin C sebagai Obat untuk Common Cold
Menurut Pauling (1981) dalam Douglas (2001), vitamin C megadosis dapat
menyembuhkan common cold, akan tetapi hal ini juga dipengaruhi
beberapa faktor, antara lain sistem imun penderita dan gejala yang timbul,
serta derajat keparahan penderitanya. Penggunaan vitamin C dengan dosis
3-10 g/ hari, akan dapat mengurangi insidensi dari common cold.
4. Vitamin C sebagai Obat Anti-penuaan
Vitamin C juga terkenal dengan fungsinya sebagai pencegah
penuaan. Menurut Hahn (1996), vitamin C bila dikonsumsi secara teratur
dapat melindungi kulit dari proses oksidasi ataupun sengatan sinar
ultraviolet, yang merupakan penyebab kerusakan kulit. Proses vitamin C
dalam mencegah penuaan adalah dengan terusmenerus mensintesis kolagen
pada kulit, seperti yang akan dijelaskan berikut.
Vitamin C diindikasikan untuk pencegahan dan pengobatan skorbut

47
dan common cold. Selain itu vitamin C digunakan sebagai obat terhadap
penyakit-penyakit yang tidak ada hubungannya dengan defisiensi vitamin
C, tetapi dosis yang diberikan adalah dosis yang paling besar, sehingga
kadang-kadang menimbulkan kelebihan C dan diare (Goodman & Gilman,
2006).
Dalam beraktivitas, vitamin C juga dibutuhkan, terutama untuk
berolahraga. Belajar, dan sebagainya. Aktivitas seperti berolahraga
biasanya membutuhkan vitamin C, tetapi jumlah yang dibutuhkan untuk
seseorang yang melakukan olahraga sama dengan kebutuhan sehari-hari,
yaitu 75 mg. Konsumsi vitamin C secara berlebihan pada orang yang
berolahraga tidak disarankan, karena sisa dari vitamin C yang telah
dikonsumsi akan dibuang melalui keringat dan urin

D. SUMBER MAKANAN YANG MENGANDUNG VITAMIN C


Vitamin C pada umumnya hanya terdapat di dalam pangan nabati, yaitu sayur
dan buah seperti jeruk, nenas, rambutan, papaya, gandaria, tomat, dan bawang
putih (Allium sativum L.) (Almatsier, 2001).
Vitamin C alami terdapat pada buah dan sayuran. Daftar buah dan sayuran
yang mengandung vitamin C dapat dilihat pada tabel berikut:

48
Tabel 2.3. Nilai Vitamin C berbagai bahan makanan dalam 100gr
Bahan Makanan mg Bahan Makanan mg
Daun singkong 275 Jambu monyet 197
Daun katuk 200 Gandaria 110
Daun melinjo 150 Jambu biji 95
Daun papaya 140 Pepaya 78
Sawi 102 Mangga muda 65
Kembang kol 65 Rambutan 58
Bayam 60 Durian 53
Kol 50 Kedondong 50
Kemangi 50 Jeruk manis 49
Tomat 40 Mangga masak 41
Kangkung 30 Jeruk nipis 27
Ketela pohon 30 Nanas 24
(Sumber: Daftar Analisis Bahan Makanan, FKUI, 1992).
Vitamin C buatan terdapat dalam berbagai preparat, baik dalam bentuk tablet
dan cairan yang mengandung 50-1500 mg maupun dalam bentuk larutan. Untuk
suntikan terdapat vitamin C 100-500 mg. Vitamin C dalam bentuk tablet berisi
500 mg, dan dalam bentuk cairan berisi 1000 mg (Goodman & Gilman, 2008).
Vitamin C mempunyai sifat paling mudah rusak dan mudah teroksidasi.
Proses tersebut dipercepat oleh panas, sinar, alkali, enzim, oksidator, serta oleh
katalis tembaga dan besi. Berbagai faktor yang dapat mempengaruhi kadar
vitamin C dalam makanan antara lain:
- Bahan makanan yang disimpan terlalu lama.
- Bahan makanan yang dijemur dengan cahaya matahari.
- Pemanasan yang terlalu lama.
Berdasarkan penelitian Masfufatun, et al terbukti bahwa kandungan vitamin C
pada buah jambu biji (Psidium guajava) dengan penyimpanan selama 10 hari
mengalami penurunan 50% dibandingkan buah jambu biji segar. Hal ini dapat
disebabkan oleh kulit buah yang tipis, sehingga mudah mengalami kerusakan dan
pembusukan jika disimpan dalam waktu lama.
Konsumsi bahan sayuran dan buah dalam keadaan segar, dapat menyediakan
kebutuhan tubuh akan vitamin ini. Hanya saja terkadang kita seringkali kurang
memperhatikan cara pengolahan bahan yang benar, sehingga vitamin C rusak dan
terbuang percuma. Saat proses merebus sayuran, guna mempertahankan

49
kesegaran warna sering ditambahkan baking soda. Penambahan baking soda pada
saat memasak sayuran, dapat merusak kandungan vitamin C pada sayuran. Oleh
karena itu sebaiknya dalam pengolahan sayuran tidak menggunakan bahan
tambahan yang dapat merusak kandungan zat gizi (Tjokronegoro, 1985).

50
E. SOLUSI YANG PERNAH DILAKUKAN
Solusi yang pernah dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat untuk
menyelesaikan permasalahan ini, antara lain:
1. Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2007, membuat kartu peraga dalam
rangka program Indonesia Sehat 2010.

2. Kampanye/sosialisasi. Sosialisasi Angka Kecukupan Gizi (AKG) Indonesia


2013: apa yang baru? Diadakan oleh Balitbangkes, Kemenkes RI.
3. Pemerintah dalam Indonesia Annual Report/Review: 2012, membuat World
Food Programme, terutama untuk wilayah Indonesia diluar pulau Jawa.
Pemerintah menjalin kemitraan antar badan nasional (Bappenas, BPS),
lembaga akademik (LIPI, IPB), badan swasta (unilever), swadaya
pangan/pemberian bahan pangan, memperkuat kapasitas Indonesia dalam
pemantauan, analisis dan pemetaan ketahanan pangan,
4. Kaderisasi Posyandu dan Ketenagaan Kesehatan di seluruh daerah Indonesia
terutama untuk Ibu dan balita.
5. Masyarakat sudah ‘melek’ informasi dan sudah meninggalkan mitos,
sehingga masyarakat tidak takut untuk berobat ke puskesmas maupun rumah
sakit
6. Masyarakat mengkonsumsi makanan yang mengandung vitamin C dalam
bentuk asli, diolah maupun suplemen

51
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian deduktif.
Pendekatan deduktif menekanan pada pengamatan dahulu, lalu menarik kesimpulan
berdasarkan pengamatan tersebut. Jenis penelitian ini merupakan bentuk penelitian
deskriptif kualitatif. Variabel penelitian dijabarkan pada tabel 3.1 sebagai berikut.
Tabel 3.1. JabaranVariabel Penelitian
NO JENIS JABARAN VARIABEL DEKRIPSI Formatted: Space After: 0 pt, Line spacing:
single
VARIABEL
1 Variabel bebas Kebiasaan konsumsi buah Kebiasaan konsumsi buah
yang mengandung vitamin
C oleh mahasiswa
2 Variabel Banyaknya kejadian penyakit Banyaknya kejadian salah
terikat defisiensi vitamin C pada satu atau lebih penyakit
mahasiswa defisiensi vitamin C yang
dialami oleh mahasiswa
3 Variabel Macam penyakit yang diteliti Macam penyakit yang
kontrol diteliti menggunakan
angket dalam penelitian
ini (Sariawan, gusi
berdarah, radang gusi,
kudis)

3.2 Populasi, Sampel, danTeknikSampel


Sugiyono (2012:117) mengatakan bahwa “dalam penelitian kuantitatif, populasi
diartikan sebagai wilayah generalisasi yang terdiri atas : objek/subjek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya”.
Sedangkansampeladalahsebagiandaripopulasitersebut.
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mahasiswa Universitas
Negeri Malang. Sedangkan sampel yang digunakan adalah 30mahasiswa Universitas
Negeri Malang.Tekniksampel yang digunakanmenggunakanmetode accidental
sampling, dimana sampel dipilih berdasarkan pada ketersediaan dan kenyamanan
mereka, dengan cara penyebaran angket. Angket ini menggunakan Skala Likert

52
dalam setiap pilihan jawabannya Munoz (2008) dalam Hanan A., Maryati, S. (Tanpa
tahun) dimana 30 Mahasiswa yang mengisi angket dari mahasiswa Universitas
Negeri Malang yang ditemukan di sekitar area Jurusan Biologi UM dan
Perpustakaan UM.

3.3 Tempat dan Waktu Penelitian


1. tempat penelitian
Penelitian penyebaran angket pada responden dilakukan di area Jurusan
Biologi UM dan Perpustakaan UM. Sedangkan pelaksanaan wawancara pada
narasumber dilaksanakan di Puskesmas Dinoyo dengan alamat Jl. MT Haryono,
Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang.
2. waktu penelitian
Penyebaran angket pada responden dan wawancara pada Narasumber
dilaksanakan pada hari Jumat, 9 Oktober 2015.

3.4 Instrumen Penelitian


1. Angket Pengisian Data Tentang Kekurangan Vitamin C
Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengetahui pola makan
mahasiswa dalam memenuhi kadar vitamin C dalam kehidupan sehari-hari. Menurut
Sugiyono (2012:199) “Angket merupakan teknikpengumpulan data yang
dilakukandengancaramemberiseperangkatpertanyaanatau pertanyaan
kepadarespondenuntukdijawabnya”.
Angket berisikan 9 butir pertanyaan pokok yang menanyakan tentang pola
makan mahasiswa dalam mengkonsumsi vitamin C dan penyakit-penyakit yang
sering dijumpai akibat dari defisiensi Vitamin C. (Terlampir)
2. Pedoman Wawancara Tentang Kekurangan Vitamin C
Pedoman wawancara yang digunakan berisikan 9 pertanyaaan pokok yang
digunakan untuk mengetahui apa saja penyakit yang disebabkan oleh defisiensi
Vitamin C dan cara menanggulanginya pada narasumber dari Puskesmas. (Terlampir)

53
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Dalam pelaksanaan penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan teknik-teknik
sebagai berikut.

3.6 Prosedur Penelitian


Prosedur dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut.
1. Melakukan studi literatur dengan jurnal penelitian atau buku yang terkait
defisiensi Vitamin C.
2. Melakukan wawancara pada narasumber terkait macam penyakit defisiensi
Vitamin C dan cara penanggunalangan defisiensi Vitamin C dalam kehidupan
sehari-hari.
3. Membuatangketpengisian data tentang kekurangan vitamin C.
4. Menyebar angket pengisian data tentang kekurangan vitamin C pada 30
mahasiswa UM.
5. Menganalisis secara deskriptif kualitatif pengaruh pola makan mahasiswa dalam
memenuhi kebutuhan vitamin C perhari dengan banyaknya kejadian penyakit
akibat defisiensi Vitamin C.
6. Menarik kesimpulan terkait pengaruh pola makan mahasiswa dalam memenuhi
kebutuhan vitamin C perhari dengan banyaknya kejadian penyakit akibat
defisiensi Vitamin C.

3.7 Tahap Pengumpulan Data


Dalam pelaksanaan penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan teknik-teknik
sebagai berikut.
1. Wawancara
Wawancara di lakukan di Puskesmas Dinoyo pada Narasumber Bapak Bayu
Tjahyawibawa sebagai Kepala Puskesmas Dinoyo untuk mengetahui macam penyakit
defisiensi Vitamin C dan cara penanggunalangan defisiensi Vitamin C dalam
kehidupan sehari-hari.
2. Angket

54
Angket diberikan kepada mahasiswa UM dalam rangka untuk mengetahui pola
makan mahasiswa dalam memenuhi kebutuhan Vitamin C dengan pengaruhnya pada
tingkat banyaknya kejadian penyakit kekurangan Vitamin C.
3. Dokumentasi
Dokumentasi yang dilakukan berupa foto dan video yang dibutuhkan sebagai
bukti telahdilakukannyapenelitia. Dokumentasi yang dibutuhkan adalah dokumentasi
video saat pelaksanaan wawancara, danfoto saat pengisian angket.

3.8 Teknik Analisis Data


Analisis data akandilakukandenganmenggunakanteknikanalisis deskriptif
kualitatif terkait prosentase ketepatan pola makan mahasiswa sehari-hari dalam
memenuhi kebutuhan Vitamin C dengan pengaruhnya pada tingkat prosentase
banyaknya kejadian penyakit kekurangan Vitamin C

55
56
BAB IV
DATA & ANALISIS DATA

Tabel 4.1 Hasil Jawaban Angket 30 Responden


N Persenta
Pernyataan Jumlah
o se
1. Anda mengetahui kadar vitamin C yang dibutuhkan tubuh per hari
sebesar 100mg 0 0
2. Anda selalu memenuhi kadar vitamin C tiap kali makan dalam
kehidupan sehari-hari. 14 47
3. Anda mengetahui dengan benar sumber-sumber vitamin C yang
dibutuhkan tubuh per hari. 17 57
4. Anda selalu memenuhi kadar vitamin C yang dibutuhkan tubuh per
hari dengan mengkonsumsi buah (pilih salah satu yang paling sering
dikonsumsi)
Jeruk 16 53
Jambu biji 1 3
Kedondong 0 0
Pepaya 12 40
Nanas 1 3
Rambutan 0 0
5. Anda mengkonsumsi buah untuk memenuhi vitamin C tubuh per hari
sebanyak (pilih salah satu yang paling sering dilakukan)
1 buah sehari 21 70
2—3 buah sehari 7 23
4—5 buah sehari 2 7
6. Anda mengkonsumsi buah-buahan dengan cara (pilih salah satu yang
paling sering dilakukan)
Makan langsung 10 33
Olahan jus 17 57
Manisan 3 10
7. Anda mengetahui dengan benar penyakit akibat kekurangan vitamin C. 22 73
8. Anda pernah mengalami penyakit akibat kekurangan vitamin C seperti:
Bercak putih seperti kudis 8 27
Gusi berdarah 7 23
Radang gusi 4 13
Sariawan 26 87
9. Solusi yang pernah anda lakukan untuk mengobati dan mencegah
penyakit diatas:
Memperbaiki pola pengolahan buah 12 40
Mengkonsumsi obat-obatan kimia 10 33
Mengkonsumsi obat herbal 7 23
Mengkonsumsi vitamin C 23 77
Meningkatkan konsumsi buah segar yang mengandung vitamin C 26 87
Berobat ke dokter/puskesmas/rumah sakit 11 37

57
Tabel 4.2 Buah yang paling sering dikonsumsi per hari dari 30 responden
Buah yang paling sering dikonsumsi Jumlah responden
Jeruk 16
Jambu biji 1
Kedondong 0
Pepaya 12
Nanas 1
Rambutan 0
Total 30
Vitamin C diperlukan oleh tubuh rata-rata 100 mg per hari (EFSA, 2013). Vitamin C
pada umumnya terdapat di dalam pangan nabati, misalnya pada buah-buahan, seperti buah
jeruk, jambu biji, kedondong, pepaya, nanas, rambutan (Almatsier, 2001).

Tabel 4.3 Hubungan Konsumsi Jumlah Buah Jeruk per Hari dari 16 responden
Konsumsi jumlah buah per hari Responden
1 buah sehari 14
2—3 buah sehari 1
4—5 buah sehari 1

Konsumsi Jumlah Buah Jeruk

1 buah sehari
2—3 buah sehari
4—5 buah sehari

Dari grafik diatas menunjukkan bahwa mayoritas responden mengonsumsi jumlah buah jeruk
tiap harinya ialah sebesar 1 buah yaitu sebanyak 14 orang.

58
Tabel 4.4 Hubungan Konsumsi Jumlah Buah Pepaya per Hari dari 12 responden
Konsumsi jumlah buah per hari Responden
1 buah sehari 6
2—3 buah sehari 5
4—5 buah sehari 1

Konsumsi Jumlah Buah Pepaya

1 buah sehari
2—3 buah sehari
4—5 buah sehari

Dari grafik diatas menunjukkan bahwa mayoritas responden mengonsumsi jumlah buah jeruk
tiap harinya ialah sebesar 1 buah yaitu sebanyak 6 orang.

Tabel 4.5 Hasil Angket dari Cara Pengolahan Buah


Cara pengolahan buah Responden
Makan langsung 10
Olahan jus 17

Cara mengolah buah

13%

27% bercak putih seperti kudis


gusi berdarah
radang gusi

23%

Berdasarkan data dapat diketahui bahwa paling banyak (57%) responden


mengonsumsi buah-buahan dalam bentuk jus. Selanjutnya, sebanyak 33%

59
responden mengonsumsi buah dengan cara dimakan langsung. Sisanya
sebanyak 10% mengonsumsi buah dalam bentuk manisan.

Macam penyakit akibat kekurangan


vitamin C

100% 87%
80%
60%
40% 27% 23%
13%
20% Responden
0%
bercak gusi radang gusi sariawan
putih berdarah
seperti
kudis

Berdasarkan data diatas penyakit akibat kekurangan vitamin C yang paling banyak
diderita oleh seseorang yaitu sariawan (87%) dan yang paling sedikit yaitu radang gusi
(13%).

solusi mengobati dan mencegah


penyakit defisiensi vitamin C
87%
100% 77%
80%
60% 40% 33% 37%
40% 23%
20%
0% presentase

Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa solusi yang paling banyak dilakukan
responden untuk mengobati dan mencegah penyakit vitamin C adalah mengonsumsi vitamin
C (87%) dan yang kedua adalah meningkatkan konsumsi buah segar yang mengandung
vitamin C (77%).

60
BAB V
PEMBAHASAN

a) Hasil Angket untuk Pengetahuan Mahasiswa tentang Vitamin C


Dari hasil data dan analisa data dari 30 mahasiswa dari hasil angket menunjukkan
bahwa rendahnya pengetahuan mahasiswa tentang kadar vitamin C maksimal per hari sebesar
100mg. Sedangkan untuk pernyataan selalu memenuhi kadar vitamin C dan sumber-sumber
vitamin C mahasiswa menunjukkan masing-masing presentase sebesar 47% dan 57%.
Vitamin C (asam askorbat) adalah kofaktor enzim untuk mengkatalis reaksi biokimia.
Vitamin C memiliki peran penting pada biosintesis kolagen. Penyerapan vitamin C oleh
lambung sebesar 80% untuk asupan sekitar 1000 mg/hari. Pada pria, kebutuhan rata-rata
vitamin C sebesar 90 mg/hari, sedangkan pada wanita sebesar 80 mg/hari. Untuk bayi
berumur 7-11 bulan diperlukan vitamin C sebesar 20 mg/hari saja. Ukuran tersebut berlaku
hingga bayi berumur 3 tahun. Untuk remaja berusia 15-17 tahun, disarankan mengonsumsi
vitamin sebesar 100 mg/hari bagi laki-laki dan 90 mg/hari bagi perempuan (EFSA, 2013).
Vitamin C bersifat menangkal radikal bebas dan dapat menurunkan laju mutasi dalam tubuh
sehingga resiko berbagai penyakit degeneratif dapat diturunkan. Peranan vitamin C dalam
tubuh sangat penting terutama untuk anak-anak dalam masa pertumbuhan sehingga konsumsi
makanan sumber vitamin C sangat baik untuk menjaga kesehatan (Azeliya, 2013).
Dari penjelasan diatas kita tahu bahwa kebutuhan vitamin C setiap individu berbeda.
Perbedaan itu didasarkan pada usia, aktivitas metabolisme tubuh dan berat badan. Jadi, untuk
ukuran mahasiswa diperkirakan membutuhkan asupan vitamin C sebesar ±110 mg/hari
mengingat aktivitas yang dilakukan sehari-hari. Data hasil penyebaran angket menunjukkan
bahwa hanya tidak ada mahasiswa yang mengetahui kadar vitamin C per hari. Hal ini
dimungkinkan karena kurangnya kesadaran diri untuk memenuhi kebutuhan kadar vitamin C
yang tepat di dalam tubuh per harinya.
Vitamin C dapat ditemukan di buah citrus, tomat, buah berwarna hijau, dan kentang.
Vitamin C terdapat dalam berbagai preparat baik dalam bentuk tablet yang mengandung 50-
1500 mg maupun dalam bentuk larutan. Kebanyakan sediaan multivitamin mengandung
vitamin C. Sediaan suntik mengandung vitamin C sebanyak 100-500 mg dalam larutan. Air
jeruk mengandung vitamin C yang tinggi sehingga dapat digunakan untuk terapi
menggantikan sediaan vitamin C (Sari, 2011). Ditambahkan oleh Yulia (2009), sumber
vitamin C pada umumnya hanya terdapat di dalam pangan nabati, yaitu sayur dan buah
terutama yang asam, seperti jeruk, nanas, rambutan, pepaya, dan tomat. Sedangkan yang

61
berasal dari buah diantaranya daun singkong, daun katuk, daun melinjo, daun pepaya dan
sawi.
Menurut Perdana (2010:1) dalam Aina & Dawam (2014), beberapa buah yang
mengandung vitamin C adalah jambu monyet (Anacardium occidentale), duwet (Syzgium
cumini), jambu biji putih (Psidium guajava L.), gandaria (Bouea macrophyla), dan mangga
(Mangivera indica). Setiap 100g jambu monyet mengandung vitamin C sebanyak 197mg.
Setiap 100g buah duwet mengandung 130mg vitamin C. Di setiap 100g jambu biji putih
mengandung vitamin C 116mg. Di dalam 100g buah gandaria masak mengandung vitamin C
111mg. Setiap 100g mangga mengandung vitamin C 61mg. Kelima buah diatas menempati
urutan 1-5 kategori buah yang paling banyak mengandung vitamin C. Buah lain seperti apel
hanya mengandung 5mg vitamin C dan jeruk manis mengandung 49mg/100g nya.
Bila dilihat dari data dan penjelasan diatas, keduanya memiliki keterkaitan. Hal ini
mengisyaratkan bahwa sesungguhnya vitamin C saat ini mudah didapat. Buah seperti jeruk,
apel, dan mangga banyak dijual di sekitar kita. Begitu juga dengan suplemen vitamin C yang
bisa didapatkan di toko terdekat dengan dosis yang berbeda-beda. Dari hasil angket
mendapatkan kurang dari 50% responden yang mengaku memenuhi kebutuhan vitamin C per
hari. Namun lebih dari 50% mahasiswa sebenarnya mengetahui sumber vitamin C. Jadi, bisa
diambil kesimpulan bahwa sebenarnya sebagian besar mahasiswa telah mengetahui sumber
vitamin C, namun mereka tidak memenuhinya dengan tepat karena mahasiswa tidak
mengetahui kadar vitamin C yang diperlukan oleh tubuh. Sehingga meskipun mahasiswa
menyatakan telah memenuhi kebutuhan vitamin C tiap kali makan, tapi masih ada
kemungkinan ketidaktepatan mahasiswa dalam memenuhi kadar vitamin C dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini dikembalikan pada kesadaran individu untuk mau memenuhi kebutuhan
vitamin Cnya sendiri mengingat pentingna vitamin C dalam menunjang kesehatan tubuh
manusia.

b) Hasil Angket untuk Kebiasaan Konsumsi Jenis Buah per Hari Mahasiswa
Dari hasil angket menunjukkan bahwa paling banyak yang dikonsumsi oleh
mahasiswa ialah buah jeruk dan pepaya yang hanya dikonsumsi 1 buah sehari saja. Vitamin
C pada umumnya terdapat di dalam pangan nabati, misalnya pada buah-buahan, seperti buah
jeruk, jambu biji, kedondong, pepaya, nanas, rambutan (Almatsier, 2001). Berdasarkan data
yang diperoleh, diketahui bahwa mayoritas responden mengkonsumsi buah jeruk 1 buah
sehari. Berat 1 buah jeruk dapat mencapai 100gr (misalnya jeruk siam Citrus nobilis var.
microcarpa) (Helmiyesi et al, 2008). Kandungan vitamin C pada jeruk tiap 100gr adalah ±

62
49mg, padahal tubuh memerlukan minimal ±100mg kandungan vitamin C tiap harinya,
sehingga diperlukan lebih dari 1 jeruk untuk dikonsumsi.
Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa mayoritas responden
mengkonsumsi buah pepaya 1 buah sehari. Berat 1 buah pepaya berkisar antara 600gr-2000gr
(misalnya pepaya varietas Callina Carica papaya L.) (Setiaty, 2011). Kandungan vitamin C
pada pepaya tiap 100gr adalah ± 78mg, sedangkan tubuh memerlukan minimal ±100mg
kandungan vitamin C tiap harinya, sehingga cukup diperlukan 1 buah pepaya untuk
dikonsumsi.
Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa satu responden mengonsumsi
jambu biji sebanyak 2-3 buah sehari. Berat 1 buah jambu biji ±120gr. Kandungan vitamin C
pada jambu biji tiap 100gr adalah ± 95mg, sedangkan tubuh memerlukan minimal ±100mg
kandungan vitamin C tiap harinya, sehingga diperlukan 1-2 buah jambu biji untuk
dikonsumsi. Responden yang mengonsumsinya 2-3 hari sudah bisa memenuhi kandungan
vitamin C. Satu responden mengonsumsi buah nanas. Satu buah nanas memiliki berat sekitar
±500gr. Kandungan vitamin C pada buah nanas tiap 100gr adalah 24mg. Cukup dibutuhkan
satu buah nanas untuk memenuhi kebutuhan vitamin C. Responden yang mengonsumsi sudah
sesuai kebutuhan (Setiawan et,.al: 2009)
Tabel. 5.1 Kandungan Vitamin C dalam 100gr
Bahan Makanan mg
Jambu monyet 197
Gandaria 110
Jambu biji 95
Pepaya 78
Mangga muda 65
Rambutan 58
Durian 53
Kedondong 50
Jeruk manis 49
Mangga masak 41
Jeruk nipis 27
Nanas 24
(Sumber: Daftar Analisis Bahan Makanan, FKUI, 1992).
Jumlah konsumsi buah yang disarankan untuk mendapatkan kecukupan vitamin C tiap
harinya berdasarkan perhitungan dari berat rata-rata per buah dengan kadar vitamin C tiap
100gram dari tabel diatas menunjukkan bahwa konsumsi buah per hari untuk buah jeruk 2-3
buah/hari atau buah jambu biji 1-2 buah/hari, kedondong (±300gr) 1 buah/hari, pepaya 1
buah/hari, nanas (±500gr) maksimal 1 buah, rambutan (±20gr) 3-5 buah/hari.
Konsumsi buah yang berlebihan pada jangka waktu pendek tidak menimbulkan
dampak yang serius, namun alangkah baiknya jika dalam mengkonsumsi makanan, terutama
buah-buahan itu tidak berlebihan atau secukupnya saja. Mengingat penumpukan jumlah
vitamin C yang di ginjal dapat menimbulkan penyakit batu ginjal bila terakumulasi dalam
jangka waktu yang lama. Selain itu menurut Santoso (2006) jumlah serat yang dikandung

63
pada buah juga dapat mempengaruhi kelancaran dalam proses pencernaan. Pada beberapa
kasus kelebihan jumlah serat normal yang dibutuhkan dalam proses pencernaan akan
menyebabkan diare.

c) Hasil Angket untuk Kebiasaan Pengolahan Buah Mahasiswa


Dari hasil angket menunjukkan bahwa paling banyakcara konsumsi buah per hari yang
dilakukan mahasiswa melalui produk olahan jus. Car akonsumsi ini menunjukkan dapat
mengurangi kadar vitamin C dikarenakan adanya sifat vitamin C yang mudah teroksidasi saat
larut di dalam air. Sehingga ketika dicampurkannya buah dengan air akan menyebabkan
peluang teroksidasi yang lebih cepat hal inilah yang menyebabkan bahwa jus sebaiknya
dikonsumsi sebelum 15 menit dari waktu pembuatan jus. Selain itu proses pembuatan manisan
juga dapat mengurangi efektivitas vitamin C dalam buah yang menyebabkan turunnya kadar
vitamin C karena adanya pengolahan buah yang direbus terlebih dahulu ataupun dengan
teknik penyimpanan buah dalam jangka waktu yang lama.
Wilis memaparkan bahwa penyimpanan buah segar sangat penting diperhatikan karena
berfungsi untuk mempertahankan mutu dan memperpanjang masa kesegaran dengan cara
mengendalikan laju transpirasi dan respirasi melalui pengaturan aerasi ruangan. Selain itu juga
bertujuan untuk melindungi buah dari serangan hama penyakit gudang atau faktor fisiologi,
sehingga saat sampai di tangan konsumen buah masih tetap segar. Beberapa faktor yang
memengaruhi umur simpan adalah: (1) Tingkat ketuaan buah; memengaruhi umur simpan,
karena buah yang disimpan pada kondisi kematangan 100% akan memberikan umur simpan
lebih pendek dibandingkan dengan buah dengan tingkat ketuaan 70%. (2) Kerusakan fisiologi
dan mekanis; seperti adanya getah kuning akan memperpendek umur simpan. Demikian juga
dengan kerusakan mekanis. (3) suhu, (4) kelembapan, (5) kemasan, dan (6) atmosfer ruang
penyimpanan. Menurut Yulia (2009), penyimpanan buah pada suhu 15-18º C dengan
kelembapan nisbi 85-90% memberikan umur simpan sampai 7 pekan namun hal ini
berpengaruh pada proses fisiologis dari nutrien pada buah tersebut seperti dengan teroksidasi
kandungan vitamin C yang rentan terhadp proses oksidasi.
Buah yang sudah diolah dapat berkurang kadar zat makananya, karena pengaruh berbagai
faktor selama memasak. Jumlah vitamin dan mineral yang dipertahankan tergantung pada sifat
yang di miliki oleh zat-zat makanan itu sendiri serta cara memasak yang di lakukan. Menurut
Santso (2006) sebagian besar vitamin yang mudah rusak ialah yang tergolong vitamin yang
mudah rusak oleh panas, yang larut dalam air dan yang mudah di oksidasikan sehingga
berubah sifat. Dalam golongan ini yang paling banyak menderita kerusakan ialah vitamin C.

64
jumlah mineral yang dapat berkurang karena larut dalam air pemasak terutama karena terdapat
asam-asam organik yang mempermudah pelarutan mineral itu. Dengan singkat, faktor-faktor
yang dapat merendahkan kadar nutrien di dalam buah yang di masak ialah :
1. bila jumlah air perebus yang di pakai terlalu banyak
2. bila air perebus ini kemudian bila di buang setelah di pakai, dan tidak terus di pergunakan
sebagai bagian dari masakan
3. bila buah akan di rebus itu di potong-potong dalam ukuran yang kecil-kecil, dan di biarkan
lama sebelum di masak
4. bila air perebus tidak di biarkan mendidih dahulu sebelum buah di masukan ke dalamnya
5. bila pada waktu merebus, panci di biarkan terbuka
6. bila di pergunakan panci atau lainya yang terbuat dari logam yang dapat mengkatalisa
proses oksidasi terhadap vitamin, misalnya alat-alat yang terbuat dari besi, tembaga dan lain-
lain.

d) Hasil Angket untuk Penyakit Defisiensi Vitamin C yang Banyak Terjadi


Menurut hasil angket yang telah dianalisis menunjukkan bahwa sebenarnya banyak
mahasiswa yang mengetahui macam-macam penyakit akibat defisiensi Vitamin C dan
mayoritas pernah mengalami Sariawan yang merupakan indikasi salah satu penyakit akibat
defisiensi vitamin C. Sedangkan prosentase tertinggi kedua merupakan gusi berdarah.
Gejala defisiensi vitamin C pada rongga mulut ditandai dengan adanya gusi berdarah,
meskipun menurut Gibson, (2005) gejala ini haruslah dapat dibedakan dengan penyakit gusi
lainnya yang dapat juga menimbulkan perdarahan pada gusi. Jaringan penyambung gusi
sebagian besar terdiri dari serat kolagen yang tersusun rapi keberbagai arah yang akan
menyangga gigi dengan baik selama berfungsi. Untuk mempertahankan struktur gigi yang
sehat maka diperlukan ikatan yang erat antara jaringan yang menyusun struktur gigi tersebut.
Menurut Dewoto (2007) Vitamin C diindikasikan untuk pencegahan dan pengobatan
skorbut. Selain itu, vitamin C juga digunakan untuk berbagai penyakit yang tidak ada
hubungannya dengan defisiensi vitamin C dan seringkali digunakan dengan dosis besar.
Namun, efektivitasnya belum terbukti. Vitamin C yang mempunyai sifat reduktor digunakan
untuk mengatasi methemoglobinemia idiopatik meskipun kurang efektif dibandingakan
dengan metilen blue. Vitamin C tidak mengurangi insidens common cold tetapi dapat
mengurangi berat sakit dan lama masa sakit. Skorbut sendiri menurut KBBI merupakan
penyakit yang terjadi akibat kekurangan Vitamin C dengan tanda perdarahan pada gusi.
Skorbut muncul sebagai salah satu indikasi defisiensi vitamin C. Ada beberapa penyakit

65
akibat defisiensi vitamin C, antara lain skorbut (scurvy), sariawan (stomatitis),gingivitis, dan
gusi berdarah. Skorbut merupakan penyakit yang disebabkan oleh defisiensi vitamin C akut
yang terjadi secara bertahap dan dapat menyebabkan terganggunya sintesis kolagen dalam
pembentukan osteoblastik.
Tahapan skorbut setelah terjadi defisiensi vitamin C menurut Hardiansyah, dkk (2004)
dalam bentuk berat sekarang jarang terjadi,karena sudah diketahui cara mencegah dan
mengobatinya. Tanda-tanda ringannya antara lain adalah lemah, nafas pendek, kejang otot,
tulang dan persendian sakit serta berkurangnya nafsu makan, kulit menjadi kering, kasar, dan
gatal seperti bercak putih seperti kudis, warna merah kebiruan di bawah kulit, perdarahan
gusi, sariawan, kedudukan gigi menjadi longgar, mulut dan mata kering dan rambut rontok.
Di samping itu luka akan menjadi sulit sembuh. Gejala skorbut akan terlihat apabila taraf
asam askorbat dalam serum menurun di bawah 0,20 mg/dl.
Kekurangan asam askorbat juga menyebabkan terhentinya pertumbuhan tulang. Sel
dari epifise yang sedang tumbuh terus berproliferasi, tetapi tidak ada kolagen baru yang
terdapat diantara sel, dan tulang mudah fraktur pada titik pertumbuhan karena kegagalan
tulang untuk berosifikasi. Juga, apabila terjadi fraktur pada tulang yang sudah terosifikasi
pada pasien dengan defisiensi asam askorbat, maka osteoblas tidak dapat membentuk matriks
tulang yang baru, akibatnya tulang yang mengalami fraktur tidak dapat sembuh. Pada skorbut
(defisiensi vitamin C) dapat meyebabkan dinding pembuluh darah menjadi sangat rapuh
karena terjadinya kegagalan sel endotel untuk saling merekat satu sama lain dengan baik dan
kegagalan untuk terbentuknya fibril kolagen yang biasanya terdapat di dinding pembuluh
darah (Guyton, 2008).
Stomatitis Aftosa Rekuren atau disingkat SAR yang juga dikenal dengan istilah
aphtae, atau canker sores merupakan suatu penyakit mukosa mulut yang paling sering terjadi.
Di Indonesia orang awam lebih mengenalnya dengan istilah sariawan. Karakteristik dari
penyakit ini yaitu ditandai oleh ulser berulang yang menyakitkan di rongga mulut dan
berbentuk bulat atau oval dan dikelilingi inflamasi. Istilah “stomatitis aftosa rekuren” dapat
diartikan sebagai ulser berulang yang terbatas pada rongga mulut saja dan dapat muncul
tanpa adanya pengaruh dari penyakit sistemik (Goodman and Gilman, 2008).
Sebenarnya SAR merupakan penyakit yang relatif ringan karena tidak bersifat
membahayakan jiwa dan tidak menular, namun bagi sebagian orang ini sangat mengganggu.
Menurut Groff et al (2009), orang-orang yang mengalami SAR akan merasa sangat terganggu
terutama dalam hal fungsi pengunyahan, penelanan dan berbicara. Masa penyembuhan SAR
yang relatif lama, berkisar antara 7 hari bahkan sampai berbulan-bulan dan sifat penyakit ini

66
yang sering kambuh juga membuat pasien menjadi kurang nyaman. Hal ini juga dipertegas
oleh Casiglia (2013) bahwa, Stomatitis Aftosa Rekuren merupakan penyakit mulut yang
penyebabnya belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa faktor predisposisi yang
diduga menjadi pencetus SAR. Beberapa faktor predisposisi seperti, stres, alergi makanan,
genetik, trauma, defisiensi vitamin C, malnutrisi dan ketidakseimbangan hormonal diduga
menjadi pencetus timbulnya SAR.
Menurut Hart et al (2002), SAR memang bisa dijadikan indikasi penyakit lain yang
lebih berbahaya. Namun hal yang perlu diperhatikan ialah adanya SAR pada seorang individu
tidak semata-mata menjadi indikator utama terjangkitnya penyakit-penyakit seperti kanker
dan HIV AIDS. Seperti halnya pernyataan dari narasumber wawancara yang menunjukkan
bahwa biasanya pasien HIV AIDS juga mengidap SAR bukan berarti orang yang terjangkit
sariawan selalu mengidap HIV AIDS. Hal ini sesuai dengan pendapat Scully et al (2010)
bahwa SAR Penyakit ini dalam jangka panjang digunakan sebagai indikasi penyakit lain,
seperti halnya kanker mulut yang di indikasikan dengan terjadinya SAR dalam kurun wkatu
lebih dari 1 bulan. Selain itu penyakit lain seperti HIV AIDS biasanya juga diiringi dengan
terjangkitnya SAR yang tidak kunjung sembuh 2—3 bulan.
Pada ODHA Dengan menurunnya penyakit primer, pada kebanyakan pasien diikuti
dengan masa asimtomatis yang lama, namun selama masa tersebut replikasi HIV terus
berlanjut, dan terjadi kerusakan sistem imun. Sariawan sering juga muncul pada stadium ini.
Seperti juga halnya kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia, dan eritema ginggivalis (gusi)
linier. Gingivitis ulesartif nekrotik akut, merupakan komplikasi oral yang sulit diobati
(Sherwood, 2010).
Selain itu menurut Ghom, A. G. dan Mhaske S. (2008) mengatakan bahwa salah satu
indikasi kanker ialah terjadinya kanker rongga mulut yang menjangkit lebih dari 2—3
minggu dan berulang-ulang terjadi. Hal ini terjadi akibat adanya kondisi autoimun dari
pertumbuhan kanker di mulur sehingga menyebabkan terbentuknya lesi yang berulang-ulang
karena keadaan autoimun ini diiringi dengan keadaan epitel mulut yang mengalami gangguan
malabsorbsi vitamin C. Dengan demikian para masyarakat dianjurkan untuk
memeriksakannya ke klinik dokter atau rumah sakit.
Menurut Sumintarti (2012), tingginya angka kejadian lesi (sariawan) yang diduga
sebagai SAR berdasarkan faktor predisposisi trauma disebabkan karena gejala-gejala awal
akibat trauma dalam rongga mulut seperti tergigit dan terbentur yang seolah-olah menusuk
mukosa mulut dan langsung disertai oleh munculnya ulser pada daerah yang trauma.
Kejadian trauma ini akan lebih sering menimbulkan lesi jika serat kolagen pada mukosa

67
mulut rapuh akibat kurangnya vitamin C yang diserap oleh tubuh. Selain itu akibat faktor luar
yang menyebabkan lesi yang diduga sebagai SAR paling besar diakibatkan oleh adanya
malnutrisi atau defisiensi dari asupan asam askorbat (Vitamin C).
Gejala defisiensi vitamin C pada rongga mulut ditandai dengan adanya gusi berdarah,
meskipun gejala ini haruslah dapat dibedakan dengan penyakit gusi lainnya yang dapat juga
menimbulkan perdarahan pada gusi. Jaringan penyambung gusi sebagian besar terdiri dari
serat kolagen yang tersusun rapi keberbagai arah yang akan menyangga gigi dengan baik
selama berfungsi. Untuk mempertahankan struktur gigi yang sehat maka diperlukan ikatan
yang erat antara jaringan yang menyusun struktur gigi tersebut (Winarno, 2008).
Sehingga dari penjelasan ini sebagai makhluk sosial kita tidak bisa mengatakan bahwa
seluruh penderita sariawan dalam jangka waktu yang lama juga terjangkit penyakit kronis
lain seperti kanker dan AIDS sebelum adanya diagnosis dari instansi kesehatan yang terlibat.
Sebaiknya sebagai makhluk sosial kita mengingatkan bagaimaan cara yang benar dalam
mengkonsumsi vitamin C yang tepat dengan mengkonsumsi buah segar serta memberikan
teknik yang tepat dalam mengobati defisiensi vitamin C yang terjadi pada orang-orang di
lingkungan sekitar kita.

e) Hasil Angket untuk Upaya yang Dilakukan dalam Mengatasi Penyakit Akibat Defisiensi
Vitamin C.
Pemilihan konsumsi vitamin C untuk menanggulangi penyakit yang timbul akibat
defisiensi vitamin C dirasa memang pemilihan upaya yang tepat. Hal ini di dukung dengan
opini sebagai berikut. Pemberian vitamin C pada keadaan normal tidak menunjukkan efek
farmakodinamik yang jelas. Namun pada keadaan defisiensi, pemberian vitamin C akan
menghilangkan gejala penyakit dengan cepat. Vitamin C sangatlah tepat dikarenakan
menurut Kamiensky & Keogh (2006) Pemberian vitamin C pada keadaan normal tidak
menunjukkan efek farmakodinamik yang jelas. Namun pada keadaan defisiensi, pemberian
vitamin C akan menghilangkan gejala penyakit dengan cepat. Karena vitamin C tidak
disimpan dalam tubuh. Tidak seperti vitamin yang larut lemak, vitamin C tidak disimpan
dalam tubuh dan diekskresikan di urin. Namun, serum level vitamin C yang tinggi merupakan
hasil dari dosis yang berlebihan dan diekskresi tanpa mengubah apapun. Pada kehidupan
sehari-hari hal yang perlu diperhatikan ialah Vitamin C bersifat menangkal radikal bebas dan
dapat menurunkan laju mutasi dalam tubuh sehingga resiko berbagai penyakit degeneratif
dapat diturunkan. Hasil penelitian Nurhayani, Haryani, dan Hastuti (2007) dalam Yulia
(2009) Vitamin C sangat mudah rusak oleh proses pengolahan, pemasakan, penyimpanan

68
lama, serta berbagai proses teknologi pangan sehingga dalan vitamin C yang tertinggal jauh
lebuh kecil dibandingkan dengan kadar vitamin C dalam bahan makanan segar. Vitamin C
mudah larut dalam air, maka dalam mengiris, mencuci, dan merebus bahan pangan sumber
vitamin C akan kehilangan sebagian besar vitamin C. Teknik pemasakan yang baik dapat
menekan kerusakan vitamin C sehingga kadar vitamin C dalam bahan pangan masih dapat
dipertahankan sekitar 50% dan kadar semula. Mengkonsumsi vitamin C selain dari buah
dalam pola makan kita terkadang memang diperlukan dalam kondisi defisiensi vitamin C
namun untuk menghindari resiko denaturasi vitamin C maka kita perlu mengkonsumsi buah
segar yang mengandung vitamin C.
Vitamin C yang dibutuhkan untuk masuk ke dalam tubuh pria dewasa ialah sekitar
110mg/hari dan wanita dewasa (tidak hamil) sekitar 90mg/hari jumlah ini diakumulasikan
berdasarkan jumlah kapasitas vitamin C yang mampu diserap oleh usus dan lambung sekitar
75—80% tiap hari dan jumlah sisanya yang dikeluarkan melalui urin 20—25% (EFSA,
2013). Jumlah ini merupakan jumlah yang harus dipenuhi oleh perempuan dan wanita
dewasa setiap harinya. Hal yang perlu kita perhatikan ialah kadar yang mampu diserap oleh
tubuh kita dalam yang harus kita penuhi sehingga kita tidak bisa hanya mengandalkan
vitamin C di saat sakit saja namun harus mulai memperbaiki pola makan yang tepat dengan
memenuhi kebutuhan vitamin C melalui mengkonsumsi buah dalam kehidupan sehari-hari.
Solusi untuk berobat di rumah sakit hanya diisi responden sebesar 20% saja. Hal ini
menunjukkan rendahnya kesadaran responden dalam mengobati penyakit defisiensi vitamin
C. Pentingnya pengobatan dirumah sakit atau instansi kesehatan lain digunakan untuk
mengevaluasi lebih lanjut penyakit defisiensi vitamin C yang tidak kunjung sembuh
meskipun telah dilakukan pengobatan dan penambahan konsumsi vitamin C untuk
mengantisipasi terjadinya penyakit yang lebih parah hal ini sesuai dengan pernyataan oleh
Ghom A. G. dan Mhaske S (2008) terkait adanya indikasi penyakit yang lebih berbahaya
seperti kanker dan AIDS melalui penyakit defisiensi vitamin C seperti sariawan yang tidak
kunjung sembuh.

f) Hubungan Kebiasaan Konsumsi Buah dengan Banyaknya Defisiensi Vitamin C yang


Terjadi
Menurut hasil pembahasan dan analisa data yang telah dilakukan menunjukkan bahwa
dari 30 mahasiswa responeden angket, menunjukkan tingginya kejadian defisiensi vitamin C
yang pernah dialami oleh mahasiswa meskipun mahasiswa mengakui bahwa telah memenuhi
kadar vitamin C tiap hari melalui sumber-sumber vitamin C seperti halnya dari buah jeruk

69
dan pepaya yang menunjukkan paling banyak dikonsumsi oleh mahasiswa. Tetap tingginya
angka kejadian defisiensi vitamin C yang pernah dialami oleh mahasiswa disebabkan
rendahnya pengetahuan mahasiswa terkait dengan kadar vitamin C yang dibutuhkan tubuh
per harinya. Dengan pengetahuan kadar vitamin C yang tepat mahasiswa dapat membuat pola
makan yang tepat dalam kebiasaannya mengkonsumsi jumlah buah segar untuk memenuhi
kebutuhan vitamin C yang diketahui dari jumlah vitamin C tiap 100gr pada buah yang
dikonsumsi mahasiswa per hari. Selain itu teknik pengelolaan dalam mengonsumsi buah juga
memberikan efek pada tingginya kejadian defisiensi vitamin C karena pengolaan buah dalam
mengonsumsi buah yang tidak tepat menyebabkan pengurangan kadar vitamin C dari buah
yang dimasukkan ke dalam tubuh. sehingga untuk menjaga kadar vitamin C dalam tubuh per
hari bisa dilakukan dengan mengkonsumsi secara langsung buah segar per hari yang
jumlahnya disesuaikan dengan besar kadar vitamin C tiap 100gr berat buah.

g) Solusi penanggulangan defisiensi vitamin C


Solusi dari penulis yang dapat digunakan sebagai alternatif upaya penanggulangan
defisiensi vitamin C ialah sebagai berikut.
1. Dilaksanakannya KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) yang diadakan untuk
mahasiswa oleh petugas dari instansi kesehatan dengan kemasan KIE yang lebih menarik
mahasiswa. Seperti halnya dialog interaktif ataupun seminar yang mampu menarik
perhatian banyak mahasiswa. Kegiatan ini juga seharusnya dilengkapi dengan pelatihan
penyusunan pola makan sehat terutama untuk pemenuhan kebutuhan vitamin C. Hal ini
perlu dilakukan karena berdasarkan penelitian dari Zulaekah (2007) menunjukkan bahwa
pendidikan gizi seperti KIE hanya ditujukan dengan sasaran pada siswa SD dan SMP
saja. Seharusnya hal ini dilakukan secara menyeluruh dari seluruh lapisan jenjang
pendidikan siswa, karena menurut hasil angket yang disebarkan oleh penulis
menunjukkan bahwa mahasiswa kurang memperhatikan kebutuhan vitamin C nya.
2. Perlu adanya inovasi dalam teknik penjualan buah dan sayur. Inovasi ini berupa
membuat kemasan buah dan sayur dapat menjadi salah satu rujukan bagi konsumen
dalam memenuhi kebutuhan gizi salah satunya ialah vitamin C. Caranya dengan
menuliskan kadar gizi per gram buah atau sayuran pada kemasan tersebut. Hal ini
diharapkan dapat menjadi upaya yang memudahkan konsumen seperti halnya mahasiswa
yang memiliki keterbatasan waktu untuk memperhatikan jumlah vitamin C per hari yang
seharusnya dikonsumsi. Adanya inovasi ini diharapkan dapat menjadi suatu jalan tengah
para mahasiswa mengubah kebiasan pola makan sehari-harinya menjadi lebih baik

70
karena adanya pemenuhan kebutuhan vitamin C akan menyebabkan beberapa penyakit
seperti dalam gejala skorbut sedangkan untuk kelebihan vitamin C yang berasal dari
makanan tidak menimbulkan gejala. Tetapi konsumsi vitamin C berupa suplemen secara
berlebihan setiap harinya akan menimbulkan hiperoksaluria dan risiko lebih tinggi untuk
menderita batu ginjal (Sari, 2011).
3. Alternatif lain bisa dengan menggunakan aplikasi android yang dapat digunakan oleh
mahasiswa untuk mengatur pola makan dalam memenuhi kebutuhan vitamin C. Aplikasi
dengan desain menggunakan sistem detector yang bisa mengetahui jumlah vitamin C
pada setiap makanan terutama buah dan sayur. Selain itu, aplikasi ini akan dilengkapi
dengan sistem reminder yang akan mengingatkan seseorang untuk mengonsumsi vitamin
C. Sistem reminder nantinya dapat diatur sesuai dengan jam makan sehari-hari dengan
saran pola menu makan yang mampu memenuhi kebutuhan vitamin C. Hal ini
disesuaikan dengan kemajuan tekhnologi terutama dengan adanya Smartphone yang
menggunakan sistem android yang banyak digunakan masyarakat terutama kalangan
mahasiswa. Menurut Mulyadi, (2010) android sebagai Sistem Operasi yang dapat
digunakan di berbagai perangkat mobile. Android memiliki tujuan utama untuk
memajukan inovasi piranti telepon bergerak agar pengguna mampu mengeksplorasi
kemampuan dan menambah pengalaman lebih dibandingkan dengan platform mobile
lainnya. Hingga saat ini Android terus berkembang, baik secara sistem maupun
aplikasinya. Untuk itu diperlukan adanya aplikasi berbasis android yang dapat digunakan
mahasiswa dengan mudah. Dengan adanya aplikasi berbasis android ini diharapkan bisa
memotivasi masyarakat dan pelajar untuk mau mempelajari atau memelihara pola makan
sehat sehari-hari.

71
BAB VI
PENUTUP

1.1 Simpulan
Simpulan dari hasil penelitian di atas ialah sebagai berikut.
1. Kebiasaan konsumsi buah berhubungan dengan angka terjadinya penyakit akibat
defisiensi vitamin C yang dialami oleh mahasiswa. Hal ini ditunjukkan dengan kebiasaan
cara konsumsi buah pepaya dan jeruk yang hanya dikonsumsi 1 kali sehari kurang tepat
karena tidak menyesuaikan dengan kadar vitamin C yang dibutuhkan tubuh per hari.
Selain itu hal ini juga didukung dengan adanya cara mengkonsumsi buah segar tidak
secara langsung memberikan dampak tidak efektifnya vitamin C yang masuk ke dalam
tubuh. Sehingga meskipun kebiasaan konsumsi buah pepaya dan jeruk pada mahasiswa
sudah tinggi angka terjadinya penyakit akibat defisiensi vitamin C yang dialami oleh
mahasiswa juga masih sering dialami mahasiswa.
2. Solusi yang diberikan mahasiswa dalam mengurangi angka terjadinya penyakit akibat
defisiensi vitamin C dengan jalan dilaksankannya dialog interaktif/seminar KIE,
membuat kemasan buah yang menyertakan AKG tiap gram dari buah dan sayur serta
aplikasi android detector dan reminder untuk mengkonsumsi vitamin C.

2.1 Saran
Dari hasil penelitian di atas peneliti mengusulkan beberapa saran dalam mengembangkan
hasil penelitian ini.
1. Bagi mahasiswa Universitas Negeri Malang untuk dapat meningkatkan kepeduliannya
dalam memenuhi kebutuhan vitamin C untuk mengurangi angka defisiensi vitamin C
dalam kehidupan sehari-hari.
2. Bagi mahasiswa / peneliti lain untuk mengembangkan solusi dari penelitian ini didukung
dengan mewujudkannya melalui teknologi yang ada sehingga dapat meningkatkan
kepedulian mahasiswa dengan pola hidupnya untuk memenuhi kebutuhan vitamin C.

72
DAFTAR RUJUKAN

Aina, M. & Dawam S. 2014. Uji Kualitatif Vitamin C pada Berbagai Makanan dan
Pengaruhnya Terhadap Pemanasan. (Online),
(http://download.portalgaruda.org/article.php?article=155896&val=899&title=UJI%
20KUALITATIF%20VITAMIN%20C%20PADA%20BERBAGAI%20MAKANA
N%20DAN%20PENGARUHNYA%20TERHADAP%20%20PEMANASAN)
diakses 03 Oktober 2015.

Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Anggrainy, D.P. 2012. Gingivitis. Padang: FKG

Arvin, BK.1996. Ilmu Kesehatan Anak Nelson vol. 1 Ed.15. Jakarta: EGC. Hal 225-226

Azeliya, R. M. 2013. Pembuatan Bolu Brokoli (Brassica Oleracea L) Dilihat dari Kadar
Beta Karoten dan Kadar Vitamin C serta Daya Terima. Naskah Publikasi. (Online),
(http://eprints.ums.ac.id/27229/18/02_NASKAH_PUBLIKASI.pdf) diakses 03
Oktober 2015.

Budiyanto, MAK. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Gizi. Malang: UMM press

Casiglia JM. 2013. Aphtous stomatitis. Medscape. (1):7. (Online).


(http://emedicine.medscape.com/article/1075570-overview#a0104) diakses 03
Oktober 2015.

Dalimunte, S.H. 1996. Pengantar Periodontitis Ed-1. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Dewoto HR 2007. Vitamin dan Mineral. dalam Farmakologi dan Terapi edisi kelima.
Jakarta: Percetakan Gaya Baru.

EFSA (European Food Safety Authority). 2013. Scientific Opinion on Dietary Reference
Values for vitamin C1. EFSA Journal, 11(11). (Online),
(http://www.efsa.europa.eu/sites/default/files/scientific_output/files/main_document
s/3418.pdf) diakses 03 Oktober 2015.

Ghom A., G. & Mhaske S. 2008. Allergic and immunological diseases of oral cavity. In:
Textbook of Oral Pathology. India: Jaypee Brothers Publishers.

Gibson, R. 2005. Principles of Nutritional Assesment. Oxford University. New York.

Goodman & Gilman. 2008. Manual of Pharmacology and Therapeutics 11th ed. Mc Graw
Hill.

Groff J. L., Gropper S. S., & Smith J. L. 2009. Advanced nutrition and human metabolism
4th edition.USA: a division of Thomson Learning Inc.

Guyton, A.C. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

Hardinsyah., Briawan, D., Retnaningsih., & Herawati, T. 2004 Analisis Kebutuhan Konsumsi
Pangan. Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi. Lembaga Penelitian dan
Pemberdayaan Masyarakat Institut Pertanian Bogor. 74-93.

73
Hart, K.H., Bishop, J.A., & Truby, H. 2002. An Investigation into School Children’s
Knowledge and Awareness of Food and Nutrition. J.Hum. Nutr. Diet. 15(2):129-40.

Helmiyesi, Hastuti, R.B., Prihastanti, E. 2008. Pengaruh Lama Penyimpanan Terhadap Kadar
Gula dan Vitamin C pada Buah Jeruk Siam. Buletin Anatomi dan Fisiologi vol XVI,
nomor 2. Semarang: UNDIP.
http://ejournal.undip.ac.id/index.php/janafis/article/viewFile/2620/2333

Kamiensky M, Keogh J 2006. Vitamins and Minerals.In: Pharmacology Demystified. USA:


Mc.GrawHill Companies Inc.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Situasi Kesehatan Anak Balita di


Indonesia. InfoDATIN, ISSN 2442-7659. Jakarta.

Khairina, D. 2008. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi. Jakarta: FKM UI.

Kurniadhi, Budi. (2015). Pengaruh Tahap Awal Defisiensi Vitamin C pada Serat Kolagen
Gusi (Cavia porcellus) Dilihat Secara Mikroskopik. UI: Tesis tidak diterbitkan.
(Online), (http://lib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=81832&lokasi=lokal)
diakses 03 Oktober 2015.

Langlais RP, Miller Cs, 1998. Atlas Berwarna Kelainan Rongga mulut yang Lazim. Jakarta:
Hipokrates

LIPI. 1998. Widya Karya Pangan dan Gizi VI. Jakarta: Depkes

Mulyadi. 2010. Membuat Aplikasi untuk Android. Yogyakarta: Multimedia Center


Publishing.

Ovedoff, David. 2002. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Batam: Binarupa Aksara.

Salter, RB. 1999. Textbook of Disorders and Injuries of the Musculoskeletal System 3rd ed.
USA.

Sari, R. K. 2011. Vitamin dan Mineral. (Online),


(http://skp.unair.ac.id/repository/webpdf/web_VITAMIN__dan_MINERAL_RATIH
_KUMALA_SARI.pdf) diakses 03 Oktober 2015.

Santoso. 2006. Teknologi Pengawetan Bahan Segar. Malang: FAPERTA UWIGA MALANG.

Scully C, Almeida O., P, Bagan J, Dioz P., D, & Taylor A., M. 2010. Ulcers and erosions:
aphtae. In: Oral medicine and pathology at a glance. West Sussex: Wiley-Blackwell.

Setiaty, E. D. 2011. Produksi Buah Pepaya Varietas Callina (Carica papaya L.) pada
Kombinasi Pupuk Organik dan Anorganik di Tanah Ultisol. Seminar Ilmiah
Tahunan Hortikultura. UNSRI

Setiawan, A., Sahudi., Wefi Mahrozah. 2009. Penentuan Kadar Vitamin C dalam Buah
Jambu Biji Merah. Yogyakarta: ATK

Sherwood, L. 2010. Fundamentals of Human Physiology 4ed. Virginia: Graphic World, Inc.

74
Simanjuntak, NM. 2011. Pengetahuan dan Sikap Ibu tentang Sariawan (oral trush) pada
anak usia 0-3 tahun di Klinik Sally Medan. Medan: USU

Sjamsulhidajat, R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah ed.2. Jakarta: EGC. Hal 943

Sumintarti, M. E. 2012. Hubungan antara level estradiol dan progesterone dengan stomatitis
aftosa rekuren. Dentofas. 11(3):137-41.

Tjokronegoro, A. 1985. Vitamin C dan penggunaan dewasa ini. Jakarta: FKUI

WHO. 2001. Is There a Causal Relationship between Iron Deficiency or Iron-Deficiency


Anemia and Weight at Birth, Length of Gestation and Perinatal Mortality? J. Nutr.
131:590S–603S, 2001.

WHO. 2004. Iodine Status Worldwide. Geneva: Departement of Nutrition for Health and
Development.

Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Wulansari, R. 2011. Scurvy. Jambi: Radiologi RSUD Raden Mattaher

Yulia, C. 2009. Pengetahuan Dasar Gizi. Jurnal Pelatihan dan Pendidikan Baby Sitter.
(Online),
(http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND._KESEJAHTERAAN_KELUARG
A/198007012005012-CICA_YULIA/Pengetahuan_Dasar_Gizi.pdf) diakses 03
Oktober 2015.

Zulaekah, S. 2007. Efek Suplementasi Besi, Vitamin C dan Pendidikan Gizi terhadap
Perubahan Kadar Hemoglobin Anak Sekolah Dasar yang Anemia di Kecamatan
Kartasura Kabupaten Sukoharjo. Thesis. Tidak diterbitkan. Semarang: Magister
Gizi Masyarakat UNDIP.

Wills, R.B.H., McGlasson, B., Graham, D., and Joice, D. 1998. Postharvest, An Introduction to
the Physiology and Handling of Fruit, Vegetables and Ornamentals. 4th Ed. Sydney:
The Univ. of New South Wales.

75
Lampiran 1

Pedoman Wawancara:
1. Berapa kadar vitamin C yang dibutuhkan per hari?
2. Defisiensi vitamin C menyebabkan apa saja?
3. Indikasi menderita defisiensi vitamin C?
4. Apa pernah ada penderita yang berobat dengan keluhan sariawan? Berapa banyak dan berapa
lama?
5. Jenis sariawan apa saja?Apakah benar jika sariawan dapat dikatakan sebagai indikasi penyakit
lain? jika iya, penyakit apa?
6. Apa saja cara mengobati sariawan?
7. Bagaimana cara mencegah penyakit sariawan?
8. Bagaimana cara memenuhi kebutuhan vitamin C tiap hari?

76
Lampiran 2
ANGKET PENGISIAN DATA TENTANG KEKURANGAN VITAMIN C

PETUNJUK PENGISIAN ANGKET


Angket ini sebagai salah satu media untuk mengukur penelitian kami. Oleh karena itu, kami
meminta kesediaan anda untuk menjawab pertanyaan berikut secara jujur untuk memberikan
informasi yang kami perlukan. Terima kasih atas partisipasi anda.

IDENTITAS RESPONDEN
Nama :
Jenis Kelamin :P/L
Umur :
Status Pekerjaan :
JAWABLAH PERNYATAAN BERIKUT DENGAN MEMBERIKAN TANDA
CENTANG () PADA KOLOM YANG TELAH DISEDIAKAN. ISILAH TITIK
PADA KOLOM UNTUK MENDUKUNG JAWABAN ANDA.
N Jawaban
Pernyataan Ket
o Ya Tidak
10. Anda mengetahui kadar vitamin C yang dibutuhkan tubuh per hari sebesar
100mg
11. Anda selalu memenuhi kadar vitamin C tiap kali makan dalam kehidupan
sehari-hari.
12. Anda mengetahui dengan benar sumber-sumber vitamin C yang dibutuhkan
tubuh per hari.
13. Anda selalu memenuhi kadar vitamin C yang dibutuhkan tubuh per hari
dengan mengkonsumsi buah (pilih salah satu yang paling sering dikonsumsi)
Jeruk
Jambu biji
Kedondong
Pepaya
Nanas
Rambutan
14. Anda mengkonsumsi buah untuk memenuhi vitamin C tubuh per hari sebanyak
(pilih salah satu yang paling sering dilakukan)
1 buah sehari
2—3 buah sehari
4—5 buah sehari
15. Anda mengkonsumsi buah-buahan dengan cara (pilih salah satu yang paling
sering dilakukan)
Makan langsung
Olahan jus
Manisan
16. Anda mengetahui dengan benar penyakit akibat kekurangan vitamin C.
17. Anda pernah mengalami penyakit akibat kekurangan vitamin C seperti:
Bercak putih seperti kudis
Gusi berdarah
Radang gusi
Sariawan
18. Solusi yang pernah anda lakukan untuk mengobati dan mencegah penyakit
diatas:
Memperbaiki pola pengolahan buah
Mengkonsumsi obat-obatan kimia
Mengkonsumsi obat herbal
Mengkonsumsi vitamin C
Meningkatkan konsumsi buah segar yang mengandung vitamin C

77
Berobat ke dokter/puskesmas/rumah sakit

78
Lampiran 3
Dokumentasi Pengisian Angket oleh Responden

79
Dokumentasi Wawancara

80

Anda mungkin juga menyukai