Anda di halaman 1dari 6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klorinasi
Klorinasi merupakan suatu cara desinfeksi yang bersifat kimia, dengan
menggunakan klor sebagai desinfektannya. Cara klorinasi merupakan cara yang
memuaskan untuk melakukan desinfeksi air dengan kontaminasi tidak terlalu berat
(Winarno, 1986). Selain dapat membasmi bakteri dan mikroorganisme seperti
amuba, ganggang dan lain-lain, klor dapat mengoksidasi ion-ion logam seperti Fe 2+,
Mn2+ menjadi Fe3+ dan Mn4+, dan memecah molekul organik. Selama proses tersebut,
klor sendiri direduksi sampai menjadi ion klorida (Cl-) yang tidak mempunyai daya
desinfeksi.
Senyawa klor yang biasa digunakan pada perusahaan pengolahan air minum
adalah gas klor (Cl2), Ca(OCl)2, NaOCl dan ClO2. NaOCl dan Ca(OCl)2 merupakan
senyawa klor yang paling sering digunakan dalam perusahaan pengolahan air
(Metcalf & Eddy, 1991).
2.2. Reaksi Klor dengan Air
Saat gas klor (Cl2) ditambahkan pada air maka akan terjadi dua reaksi, yaitu
reaksi hidrolisis dan ionisasi (Metcalf & Eddy, 1991).
a). Hidrolisis
Cl2 + H2O HOCl + H+ + Cl-
Pada suhu air normal, reaksi tersebut telah selesai secara lengkap hanya
dalam beberapa detik saja. Pada larutan encer dimana pH sedikit lebih besar dari 4
keseimbangan akan berjalan ke kanan, karena itu hanya sedikit sekali Cl2 yang
berada dalam larutan (Vogel, 1985).
b). Ionisasi
HOCl H+ + OCl-
Asam hipoklorit dapat terionisasi menjadi ion hidrogen dan ion hipoklorit,
reaksi yang terjadi merupakan reaksi bolak-balik, karena itu derajat disosiasinya
tergantung pada pH dan suhu. Asam hipoklorit merupakan asam lemah yang sukar
terdisosiasi pada pH sekitar 6 atau lebih rendah (Vogel, 1985). Klor yang terdapat
dalam air sebagai asam hipoklorit dan ion hipoklorit itulah yang diartikan sebagai
free available chlorine atau dikenal dengan sebutan klor tersedia bebas (Lawrence &
Block, 1968).
2.3. Reaksi Klor dengan Amoniak
Reaksi klor dengan amoniak penting artinya dalam proses klorinasi air untuk
desinfeksi. Bila klor ditambahkan ke dalam air yang mengandung amoniak, amoniak
akan bereaksi dengan HOCl untuk membentuk kloramin. Reaksi tersebut dapat
dituliskan sebagai berikut :

NH3 + HOCl NH2Cl + H2O


(monokloramin)
NH2Cl + HOCl NHCl2 + H2O
(dikloramin)
NHCl2 + HOCl NCl3 + H2O
(trikloramin)

Klor juga bereaksi dengan senyawa organik yang mengandung nitrogen,


misalnya protein atau asam amino, sehingga membentuk senyawa kompleks
kloramin, klor yang terdapat dalam air yang tergabung atau terikat dengan amoniak
atau senyawa nitrogen itulah yang diartikan sebagai combined available chlorine
(klor tersedia terikat). Penjumlahan antara klor tersedia bebas dengan klor tersedia
terikat menunjukan klor aktif dalam larutan. Klor tersedia bebas dan klor tersedia
terikat memiliki daya desinfeksi yang berbeda-beda

Berbagai senyawa yang berada di dalam air yang bereaksi dengan klor akan
dapat menginaktifkan klor. Karena itu masih banyak terkandung senyawa-senyawa
tersebut klorin yang ditambahkan tidak dapat berdaya sebagai desinfektan terhadap
jasad-jasad renik. Hidrogen sulfida dan senyawa-senyawa organik lainnya tidak
dikehendaki adanya di dalam air. Hanya setelah kebutuhan klor (chlorine demand)
telah cukup banyak memenuhi atau memuaskan senyawa-senyawa tersebut di atas,
baru penambahan klorin selebihnya dapat berfungsi dalam membunuh dan
menghambat pertumbuhan mikroba. Dari sifat air tersebut, timbulah konsep titik
retak klorinasi (Break Point Chlorination) (PDAM, 1992).
2.4. Titik Retak Klorinasi
Setiap jenis sumber air memiliki kebutuhan klor yang berbeda dan jumlahnya
disesuaikan dengan karakteristik sumber air itu sendiri. Bila air tidak mengandung
senyawa yang dapat bereaksi dengan klor, maka semua klor yang ditambahkan akan
menjadi klor bebas, berbanding lurus dengan konsentrasi klor yang ditambahkan.
Air tersebut dinamakan memiliki kebutuhan klor nol. Tetapi jika air mengandung
senyawa yang dapat bereaksi dengan klor, maka air tersebut dikatakan memiliki
kebutuhan klor tinggi dan sisa klor dapat berfungsi sebagai desinfektan akan terlihat
setelah mencapai titik retak klorinasi (Break Point Chlorination).
Titik retak klorinasi merupakan jumlah klor yang dibutuhkan sehingga
semua zat yang dapat dioksidasi akan teroksidasi, amoniak hilang sebagai gas N 2
dan masih ada residu klor aktif terlarut yang konsentrasinya dianggap perlu untuk
pembasmian kuman-kuman. Dengan sisa klor bebas, warna menjadi jernih dan bahan
organik digumpalkan dan diendapkan oleh klor. Sebagian besar dari senyawa-
senyawa penyebab rasa dan bau dihancurkan dan rusak, rasa dan bau juga dicegah
oleh klor. Dan yang sangat penting, pertumbuhan berbagai mikroba yang tidak
dikehendaki juga dapat dihindarkan asalkan jumlah residu klor bebas selalu dijaga
konsentrasinya dalam air agar selalu cukup. Menurut Darsono (1992), sisa klor bebas
yang harus tersedia pada air yang sampai pada konsumen sebagai air minum adalah ±
0,3 ppm.
Hubungan antara dosis penambahan klor dengan residu klor aktif
membentuk suatu grafik klorinasi. Pada Gambar 1, terlihat pada absis adalah dosis
klor yang ditambahkan ke dalam air, sedang pada ordinat menunjukan residu klor
yang terjadi. Reaksi yang terjadi dari waktu mulai pemberian klor dapat dibagi
menjadi empat tahap reaksi sebagai berikut :

Gambar 2. Grafik Titik Retak Klorinasi (Sumber : Winarno, 1992)


Pada tahap 1 terjadi pemecahan klorin oleh senyawa pereduksi dan pada
tahap ini belum nampak adanya residu klor. Air yang banyak mengandung bahan
organik yang dapat mengkonsumsi klor. Zat-zat yang dapat mengkonsumsi klor
diantaranya (PDAM, 1992) :
2 Fe2+ + Cl2 2 Fe3+ + 2 Cl-
Mn2+ + Cl2 Mn4+ + 2 Cl-

Tahap 2 merupakan tahap terbentuknya senyawa kloramin dan kloro-


organik, atau terbentuknya combined available chlorine (klor tersedia terikat). Pada
tahap ini akan terjadi reaksi antara amoniak dan klor menjadi kloramin, serta
senyawa organik dengan klor menjadi kloro-organik (Metcalf & Eddy, 1991). Reaksi
terbentuknya kloramin dapat dilihat dari reaksi dibawah ini :
NH3 + HOCl NH2Cl + H2O
(monokloramin)
NH2Cl + HOCl NHCl2 + H2O
(dikloramin)
NHCl2 + HOCl NCl3 + H2O
(trikloramin)

Pada tahap 3 terbentuk gas nitrogen (N2) dan terjadinya titik retak (break
point). Kebutuhan klor adalah jumlah klor yang perlu dibubuhkan untuk mencapai
break point. Menurut Alaerts & Santika (1984), terbentuknya gas nitrogen terjadi
berdasarkan reaksi :
NH4+ + HOCl NH2Cl + H2O + H+
2 NH2Cl + HOCl N2 + 3 HCl + H2O

Tahap 4 merupakan daerah yang sudah melewati break point hanya klor
yang tersedia bebas terbentuk karena pada titik tersebut semua zat amoniak sudah
dirubah menjadi gas N2 yang keluar dari larutan sebagai gelembung, namun sedikit
kloramin masih tertinggal. Pada tahap ini pula setiap penambahan dosis klor mulai
berfungsi untuk membasmi kuman.
Secara umum keaktifan proses desinfeksi pada klorinasi dipengaruhi oleh
waktu kontak dan konsentrasi klor (Sawyer & McCarty, 1978). Namun menurut
Viessman & Hammer (1985), keefektifan proses klorinasi tidak hanya dipengaruhi
oleh waktu kontak dan konsentrasi klor saja, tapi juga dipengaruhi oleh pH dan suhu.

2.5. Faktor Yang Mempengaruhi Efek Klorinasi


2.5.1. Pengaruh pH Terhadap Klorinasi
Derajat keasaman (pH) menunjukan kadar asam atau basa dalam suatu
larutan, melalui konsentrasi ion hidrogen (H+). Menurut Alaerts dan Santika
(1984), bila pH larutan ≥ 7 maka akan terbentuk monokloramin dan sekaligus
sedikit dikloramin (reaksi 1). Antara pH 4 ≤ pH ≤ 6 terbentuk dikloramin (reaksi
2). Kloramin juga terbentuk sebagai hasil reaksi antara klor dan salah satu jenis
amin organis (-NH2) seperti protein.

NH3 + HOCl NH2Cl + H2O pH ≥ 7 (1)


(monokloramin)
NH2Cl + HOCl NHCl2 + H2O 4 ≤ pH ≤ 6 (2)
(dikloramin)
NHCl2 + HOCl NCl3 + H2O pH < 3 (3)
(trikloramin)

Ion klorida (Cl-) tidak aktif, sedangkan Cl2, HOCl dan OCl- dianggap
sebagai bahan yang aktif untuk desinfektan. HOCl yang tidak terpecah adalah zat
pembasmi yang paling efisien bagi bakteri.
2.5.2. Pengaruh Suhu Terhadap Klorinasi
Pada suhu tinggi klorinasi akan berlangsung lebih efektif, karena zat
padat yang menghalangi kontak antara mikroorganisme dengan desinfektan
menjadi larut (PDAM, 1992). Apabila semakin rendahnya suhu air ini
dikombinasikan dengan pH yang tinggi, pengurangan efisiensi klor bebas dan
kloramin akan semakin jelas (Johnson, 1997).
2.5.3. Pengaruh Konsentrasi Klor dan Waktu Kontak Terhadap Klorinasi
Menurut Johnson (1997), waktu kontak yang dibutuhkan oleh klor
tersedia bebas (free available chlorine) mungkin hanya beberapa menit saja,
namun untuk klor tersedia terikat (combined available chlorine) waktu kontak
yang dibutuhkan bisa mencapai satu atau dua jam. Klor sebagai kloramin
memerlukan waktu kontak yang lebih lama karena pelepasan klor dari kloramin
berlangsung lambat. Apabila konsentrasi klor yang ditambahkan menurun, maka
waktu kontak harus dinaikkan supaya desinfeksi berjalan dengan baik (Sawyer &
McCarty, 1978).
Hubungan antara konsentrasi klor, waktu kontak dan pemusnahan bakteri
dijelaskan melalui persamaan berikut :
K=CxT
Dimana :
K = pemusnahan Bakteri (kill)
C = konsentrasi klor (mg Cl2/L)
T = waktu kontak (menit)

Anda mungkin juga menyukai