Anda di halaman 1dari 48

GANGGUAN ASAM BASA

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Kritis


Dosen Pembimbing: Santy Sanusi, S.Kep., Ners, M.Kep

Disusun Oleh :

3020170
Nur Ranti Luthfiani
52
3020170
Widya Astuti
81
3020170
Winy Anggraeni 82

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ‘AISYIYAH BANDUNG


2020-2021
SISTEM PERNAPASAN
Menurut (Syaiffuddin, 2012), Respirasi adalah suatu peristiwa ketika
tubuh kekurangan oksiden ( O2) dan O2 yang berada diluar tubuh dihirup
( inspirasi) melalui organ pernafasan. Fungsi utama respirasi adalah
memperoleh O2 untuk digunakan oleh sel tubuh dan mengeluarkan CO2 yang
diproduksi oleh sel.

Fungsi dari paru-paru sebagai alat pertukaran gas yairu dengan menarik
oksigen keluar dari udara kemudian nelepaskan karbondioksida. Oksigen adalah
bahan bakar utama dalam menggabungkan glukosa sebagai rantai transpor
elektron untuk metabolisme tubuh.
A. Komponen dan Cara kerja

Pertukaran gas dimulai dari kita menghirup udara. Ada dua cara dalam
menghirup udara : udara masuk melalui hidung atau udara masuk melalui
mulut. Jika udara masuk melalui hidung, udara akan masuk melalui nasofaring,
sedangkan jika melalui mulut udara akan masuk melalui orofaring. Setelah
melalui jalur itu udara akan masuk ke dua jalur yang berbeda, meskipun udara
masuk melalui dua jalur udara tetap saja udara akan bertemu di bagian
belakang tenggorokan yang disebut dengan faring lorenzo atau sering disebut
faring atau laring.
Pada dasarnya, jalur masuk udara dan makanan memiliki jalur yang
sama. Pada makanan yang masuk akan terus turun ke kerongkongan dan akan
dicegah ke sistem pernapasan oleh epiglotis. Sedangkan udara akan langsung
masuk ke faring lorenzo, udara akan terus berjalan ke area berikutnya yaitu ke
laring, disini kita akan menemukan kotak suara yang dapat membedakan jalur
udara yang terpisah dari jalur untuk makanan yang masuk.
Pada jalur ini ada sebuah dinding yang membatasi saluran laring,
disebut sebagai daerah imajiner atau jalan napas atas. Dari sini udara akan terus
turun ke bagian jalan napas bawah atau trakea. Disini terdapat cincin rulang
rawan yang berfungsi sebagai penahan agar jalan napas tetap terbuka. Pada
jalur napas bagian bawah sebenarnya terdapat banyak cabang . ada dua batang
cabang bronkus , yaitu : Cabang batang utama kanan dan Cabang batang utama
kiri. Jika kita melakukan pemeriksaan x-ray pada dada biasanya di tempatkan
di daerah sini. Jika udara sudah masuk ke bronkus dan trakea, udara akan
langsung masuk ke paru-paru. Jika udara sudah berada di paru-paru kemudian
akan masuk kembali ke daerah hilus paru ( daerah paru-paru yang terdiri dari
pembuluh-pembuluh darah, sistem limfatik, bronkus dan lomfonodus ). Daerah
ini adalah daerah terpenting karena daerah ini merupakan pintu masuk dan titik
keluar pada arteri pulmonalis dan vena pulmonalis.
Paru-paru kana dan kiri ukurannya tidak sama. Paru-paru kanan
memiliki tiga lobus berbeda yang disebut lobus tengah, atas dan bawah.
Sedangkan paru-paru kiri hanya memiliki dua lobus saja yaitu lobus atas dan
bawah. Pada bagian ini terdapat sebuah takik jaantung (lekukan perbatasan
antara paru-paru dengan tempat jantung berada).
B. Otot yang membantu pernapasan

Disini ada doafragma yang terletak dibagian paling bawah paru-paru


dan jantung. Ketika kita berkontraksi diafragma akan mebentuk lantai untuk
organ-organ yang menyebabkan diafragma lebih rendah. Pada saat bernafas
kita akan memiliki otot pernapasan tambahan di sepanjang rongga dada. Otot
ini akan mengembang yang akan membuat rongga daerah tersebut terbuka lalu
mengembang. Apabila rongga dada sudah meluas paru-paru akan mengembang
akan menghasilkan tekanan negatif yang dapat menghisap udara kemudian di
akhir inspirasi otot-otot tersebut akan mengendurkan diafragma, kemudian
rongga-rongga dada akan menutup kembali secara otomatis.
C. Sistem pernapasan seperti sebuah pohon yang bercabang
Seluruh sistem ini seperti sebuah pohon yang bercabang-cabang. Pada
bagian bronkial memiliki beberapa cabang yang akan terus bercabang sampai
ukuran cabang yang lebih kecil. Bronkus akan terus membelah cabang menjadi
semakin kecil yang disebut dengan bronkhiolus.
Pada bagian bawah terdapat sebuah terminal bronkial. Pada titik ini
terdapat sebuah kantung gelembung-gelembung yang disebut alveoli yang
besatu dan membentuk kantung alveolar. Pada pasru-paru terdapat 300-500
juta alveoli kecil. Udara yang masuk akan turun dan bekerja pada titik ini, pada
titik ini merupakan tujuan akhir dari udara yang kita hirup. Dari semua cabang
ini memiliki pembuluh darah yang bekerja dengan cara melapisi kantung
alveoli yangterdapat sebuah tempat kapiler dan akan terjadi proses pertukaran
gas disini yang nantinya akan terdeoksigenasi dalam darah dari ventrikel kanan
yang masuk melalui arteri pulmonalis lalu kembali lagi ke jantung kiri, dari
sini oksigen akan dipompa keseluruh bagian tubuh lainnya.
Pada dinding alveolar sel-sel mebentuk alveolus yang diluarmya
terdapat sel-sel endotel yang membentuk dinding kapiler. Didalam alveoli
terdapat surfaktan (lapisan cair yang melapisi bagian dalam alveoli). Pada
bagian luar dinding alveolar dan dinding kapiler memiliki membran yang
disebut membran basal yang mengandung protein yang mebantu menahan
struktur jaringan ikat yang terdapat oksigen didalmnya. Oksigen akan bekerja
sesuai caranya dan berdifusi melintasi aliran darah didalam kapiler kemdusian
pada titik ini juga terdapat sel darah merah dengan molekul hemoglobin
oksigen dengan sendirinya langsung dibawa pergi keseluruh tubuh untuk
mengoksidasi jaringan dengan baik.
D. Pengaturan Pernafasan terhadap Keseimbangan Asam-Basa
Garis pertahanan kedua terhadap gangguan asam-basa adalah
pengaturan konsentrasi CO2 cairan ekstraselular oleh paru. Peningkatan
ventilasi akan mengeluarkan edua dari cairan ekstraselular, yang melalui kerja
massal, akan mengurangi konsentrasi H. Sebaliknya, penurunan ventilasi akan
meningkatkan CO2, yang juga meningkatkan konsentrasi H+ dalam cairan
ekstraselular.
1. Ekspirasi CO2 oleh Paru Mengimbangi Pembentukan CO2
Metabolik

CO2 dibentuk secara terus-menerus dalam tubuh melalui proses


metabolisme intrasel. Setelah dibentuk, CO2 berdifusi dari sel masuk ke
dalam cairan interstisial dan darah, dan aliran darah mengangkut CO2 ke
paru, tempat CO2 berdifusi ke dalam alveoli dan kemudian dipindahkan ke
atmosfer melalui ventilasi paru. Normalnya, terdapat sekitar 1,2 mol/L
CO, yang terlarut di dalam cairan ekstraselular, yang sama dengan PCO2
sebesar 40 mm Hg. Bila kecepatan pembentukan CO, metabolik
meningkat, PCO2 cairan ekstraselular juga meningkat. Sebaliknya,
penurunan kecepatan metabolik menurunkan PCO2. Bila kecepatan
ventilasi paru meningkat, CO2 dihembuskan keluar dari paru dan PCO2
dalam cairan ekstraselular menurun. Oleh karena itu, perubahan ventilasi
paru atau perubahan kecepatan pembentukan CO2 oleh jaringan dapat
mengubah PCO2 cairan ekstraselular.
2. Peningkatan Ventilasi Alveolus Menurunkan Konsentrasi H+ Cairan
ekstraselular dan Meningkatkan pH

Bila pembentukan CO2 metabolik tetap konstan, satu- satunya


faktor lain yang memengaruhi PCO2 cairan ekstraselular adalah kecepatan
ventilasi alveolus. Semakin tinggi ventilasi alveolus, semakin rendah
PCO2; sebaliknya, semakin rendah kecepatan ventilasi alveolus, semakin
tinggi PCO2. Seperti telah dibahas sebelumnya, bila konsentrasi CO2
meningkat, konsentrasi H2CO3 dan konsentrasi H+ juga meningkat,
sehingga menurunkan pH cairan ekstraselular.Gambar 1 menunjukkan
perkiraan perubahan pH darah yang disebabkan oleh peningkatan atau
penurunan kecepatan ventilasi alveolus. Perhatikan peningkatan ventilasi
alveolus sampai sekitar dua kali nilai normal akan meningkatkan pH
Gambar. 1 Perubahan pH cairan ekstraselularyang disebabkan
oleh peningkatan atau penurunan kecepatan ventilasi alveolus,
dinyatakan dalam beberapa kali normal.

Cairan ekstraselular sekitar 0,23. Bila pH cairan tubuh 7,40 dengan


ventilasi alveolus normal, peningkatan 2 kali kecepatan ventilasi akan
meningkatkan pH menjadi sekitar 7,63. Sebaliknya, penurunan ventilasi
alveolus sampai seperempat normal akan mengurangi pH sebesar 0,45.
Artinya, bila pH 7,4 pada ventilasi alveolus normal, penurunan ventilasi
sampai seperempat normal akan mengurangi pH menjadi 6,95. Oleh
karena kecepatan ventilasi alveolus dapat berubah dengan nyata, dan
serendah 0 sampai 15 kali normal, kita dapat dengan mudah memahami
seberapa besar pH cairan tubuh dapat diubah oleh sistem pernapasan.
3. Peningkatan Konsentrasi H+ Merangsang Ventilasi Alveolus
Tidak hanya kecepatan ventilasi alveolus saja yang memengaruhi
konsentrasi H+ dengan mengubah PCO2 cairan tubuh, tetapi konsentrasi
H+ juga memengaruhi kecepatan ventilasi alveolus. Jadi, Gambar 2
menunjukkan bahwa kecepatan ventilasi alveolus meningkat empat sampai
lima kali kecepatan normal sewaktu pH turun dan nilai normal 7,4 menjadi
7,0 yang sangat asam. Sebaliknya, saat pH plasma meningkat di atas 7,4;
keadaan ini menyebabkan penurunan kecepatan ventilasi. Seperti yang
dapat kita lihat pada grafik perubahan kecepatan ventilasi perperubahan
unit pH jauh lebih besar pada penurunan kadar pH (sama dengan
peningkatan konsentrasi H+) dibandingkan.
Gambar.2 Pengaruh pH darah terhadap kecepatan ventilasi alveolus.
Seperti yang dapat kita lihat pada grafik perubahan kecepatan
ventilasi per perubahan unit pH jauh lebih besar pada penurunan kadar pH
(sama dengan peningkatan konsentrasi H+) dibandingkandengan
peningkatan kadar pH. Alasan untuk hal ini adalah bahwa sewaktu
kecepatan ventilasi alveolus menurun, karena peningkatan pH (penurunan
konsentrasi H+), jumlah penambahan oksigen ke dalam darah menurun
dan tekanan parsial oksigen (PO2) di dalam darah juga menurun, yang
merangsang kecepatan ventilasi. Oleh karena itu, kompensasi pernapasan
untuk peningkatan pH tidak seefektif respons terhadap penurunan pH yang
nyata.
4. Pengaturan Umpan Balik Konsentrasi H+ oleh Sistem Pernapasan

Karena peningkatan konsentrasi H+ merangsang pernapasan dan


karena peningkatan ventilasi alveolus menurunkan konsentrasi H+, sistem
pernapasan bekerja sebagai pengatur umpan balik negatif lazim untuk
konsentrasi H+:

Jadi, bila konsentrasi H+ meningkat di atas normal, sistem


pernapasan dirangsang, dan ventilasi alveolus meningkat. Keadaan ini
menurunkan PCO2 cairan ekstraselular dan mengurangi konsentrasi H+
kembali menuju normal. Sebaliknya, bila konsentrasi H+ turun di bawah
normal, terjadi depresi pusat pernapasan, ventilasi alveolus menurun, dan
konsentrasi H* meningkat kembali menuju normal.
5. Efisiensi Pengaturan Pernapasan Terhadap Konsentrasi H+

Pengaturan pernapasan tidak dapat mengembalikan konsentrasi H+


sepenuhnya menjadi normal bila gangguan di luar sistem pernapasan telah
mengubah pH. Biasanya, mekanisme pernapasan untuk mengatur
konsentrasi H+ mempunyai efektivitas antara 50 dan 75 persen, sama
dengan peningkatan umpan balik dari 1 ke 3. Artinya, bila pH tiba-tiba
menurun melalui penambahan asam ke dalam cairan ekstraselular dan pH
turun dan 7,4 menjadi 7,0; sistem pernapasan dapat mengembalikan pH
menjadi sekitar 7,2 sampai 7,3. Respons ini terjadi dalam waktu 3 sampai
12 menit.
Kekuatan Pendaparan Sistem Pernapasan. Pengaturan pernapasan
terhadap keseimbangan asam basa merupakan sistem dapar jenisfisiologis
karena pengaturan ini bekerja dengan cepat dan menjaga konsentrasi H+
dari perubahan yang terlalu besar sampai ginjal yang berespons lambat
dapat menghilangkan ketidak seimbangan tersebut. Pada umumnya,
keseluruhan kekuatan dapar sistem pernapasan satu sampai dua kali lebih
besar dan pada kekuatan dapar gabungan seluruh dapar kimia lain dalam
cairan ekstraselular. Artinya, satu sampai dua kali lebih banyak asam atau
basa yang secara normal dapat didapar oleh mekanisme ini dari pada oleh
dapar kimia.
E. Pengaturan Keseimbangan Asam-Basa oleh Ginjal

Ginjal mengatur keseimbangan asam-basa dengan mengekskresikan


urine yang asam atau basa. Pengeluaran urine asam akan mengurangi
jumlah asam dalam cairan ekstraselular, sedangkan pengeluaran urine basa
berarti menghilangkan basa dari cairan ekstraselular.Keseluruhan
mekanisme ekskresi urine asam atau basa oleh ginjal adalah sebagai
berikut. Sejumlah besar HCO3- difiltrasi secara terus-menerus ke dalam
tubulus, dan bila HCO3- ini diekskresikan ke dalam urine, keadaan ini
menghilangkan basa dan darah. Sejumlah besar H+ juga disekresikan ke
dalam lumen tubulus oleh sel epitel tubulus, sehingga menghilangkan
asam dan darah. Bila lebih banyak H+ yang disekresikan daripada HCO3-
yang difiltrasi, akan terjadi kehilangan neto asam dan cairan ekstraselular.
Sebaliknya, bila lebih banyak HCO3- yang difiltrasi daripada H+ yang
disekresikan, akan terjadi kehilangan basa.
Seperti telah dibahas sebelumnya, setiap hari tubuh menghasilkan
sekitar 80 mEq asam non-volatil (tak menguap), terutama dari
metabolisme protein. Asam-asam ini disebut non-volatil karena asam
tersebut bukan H2CO3 dan, oleh karena itu, tidak dapat diekskresikan oleh
paru. Mekanisme primer untuk mengeluarkan asam ini dan tubuh adalah
melalui ekskresi ginjal. Ginjal juga harus mencegah kehilangan bikarbonat
dalam urine, suatu fungsi kuantitatif lebih penting daripada ekskresi asam
non-volatil. Setiap hari ginjal memfiltrasi sekitar 4.320 mEq bikarbonat
(180 L/hari x 24 mEq/L), dan dalam kondisi normal, hampir semua
direabsorbsi dari tubulus, sehingga mempertahankan sistem dapar utama
cairan ekstraselular.
Seperti yang akan dibahas kemudian, reabsorpsi bikarbonat dan
ekskresi H+, dicapai melalui proses sekresi H+ oleh tubulus. Oleh karena
HCO3- harus bereaksi dengan satu H+ yang disekresikan untuk
membentuk H2CO3 sebelum dapat direabsorbsi, 4.320 mEq H+ harus
disekresikan setiap hari hanya untuk mereabsorbsi bikarbonat yang
difiltrasi. Kemudian ada tambahan 80 mEq H+ harus disekresikan untuk
menghilangkan asam non-volatil yang diproduksi oleh tubuh setiap hari,
sehingga tota14.400 mEq H+ disekresikan ke dalam cairan tubulus setiap
harinya.
Bila terdapat pengurangan konsentrasi H+ cairan ekstraselular
(alkalosis), ginjal gagal mereabsorbsi semua HCO3- yang difiltrasi,
sehingga meningkatkan ekskresi HCO3-. Oleh karena HCO3- normalnya
mendapar H+ dalam cairan ekstraselular, kehilangan HCO3 ini sama
dengan penambahan satu H+ ke dalam cairan ekstraselular. Oleh karena
itu, pada alkalosis, pengeluaran HCO3- akan meningkatkan konsentrasi
H+cairan ekstraselular kembali menuju normal.
Pada asidosis, ginjal tidak mengekskresikan HCO3 ke dalam urine
tetapi mereabsorbsi semua HCO3- yang difiltrasi dan menghasilkan
HCO3, baru, yang ditambahkan kembali ke cairan ekstraselular. Hal ini
mengurangi konsentrasi H+ cairan ekstraselular kembali menuju normal.
Jadi, ginjal mengaturkonsentrasi H+ cairan ekstraselular melalui
tiga mekanisme dasar: (1) sekresi H+, (2) reabsorpsi HCO3 yang difiltrasi,
dan (3) produksi HCO3 baru.

1. Sekresi H+ dan Reabsorpsi HCO3- oleh Tubulus Ginjal

Sekresi ion hidrogen dan reabsorpsi HCO3- terjadi hampir di seluruh


bagian tubulus kecuali segmen tipis pars desenden dan asenden ansa
Henle. Gambar 30-4 merangkum reabsorpsi HCO3- di sepanjang tubulus.
Ingatlah bahwa untuk setiap HCO3- yang direabsorbsi, satu H+ harus
disekresikan.
Sekitar 80 hingga 90 persen reabsorpsi bikarbonat (dan sekresi H+)
terjadi di tubulus proksimal, sehingga hanya sejumlah kecil HCO3- yang
mengalir ke tubulus distal dan duktus koligens. Di segmen tebal pars
asenden ansa Henle, terjadi tambahan reabsorpsi 10 persen HCO3- dari
yang difiltrasi, dan sisanya direabsorpsi di tubulus distal dan duktus
koligens. Seperti telah dibahas sebelumnya, mekanisme reabsorpsi HCO3
juga melibatkan sekresi H+ oleh tubulus, tetapi dengan cara yang berbeda-
beda di tiap segmen tubulus yang berbeda.
Gambar.3 Reabsorpsi bikarbonat di berbagai segmen tubulus ginjal
Persentase beban filtrasi HCO3 yang diabsorbsi oleh berbagal segmen
tubulus diperlihatkan dan juga jumlah reabsorbsi dalam miliekuivalen per
hari pada keadaan normal.

2. H+ Disekresikan oleh Transpor Aktif Sekunder di Awal Segmen


Tubulus

Sel epitel tubulus proksimal, segmen tebal pars asenden ansa Henle,
dan bagian awal tubulus distal, semuanya menyekresikan H+ ke dalam
cairan tubulus melalui konter-transpor natrium hidrogen, seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 30-5. Sekresi aktif sekunder dan H ini
berpasangan dengan transpor Na+ ke dalam sel pada membran luminal
oleh protein penukar (exchanger) natrium-hidrogen, dan energi untuk
sekresi H+ melawan gradien konsentrasi berasal dari gradien natrium yang
membantu pergerakan Na+ ke dalam sel. Gradien ini dihasilkan oleh
pompa natrium-kalium adenosin trifosfatase (ATPase) di membran
basolateral. Kira- kira 95 persen bikarbonat direabsorbsi dengan cara ini,
yang membutuhkan sekresi sekitar 4.000 mEq H' oleh tubulus setiap
harinya. Akan tetapi, mekanisme ml tidak menghasilkan konsentrasi H'
yang tinggi dalam cairan tubulus; cairan tubulus menjadi sangat asam
hanya di tubulus koligentes dan duktus koligens.
Gambar 4 menunjukkan bagaimana proses sekresi H2 menghasilkan
reabsorpsi HCO3-. Proses sekresi dimulai ketika CO2 berdifusi ke dalam
sel tubulus atau dibentuk melalui metabolisme di dalam sel epitel tubulus.
CO„ di bawah pengaruh enzim anhidrase karbonat, bergabung dengan
H2O untuk membentuk H2CO3, yang berdisosiasi menjadi HCO3- dan H.
H2 disekresikan dari sel masuk ke dalam lumen tubulus melalui konter-
transpor natrium-hidrogen. Artinya, ketika Na+ bergerak dan lumen
tubulus ke bagian dalam sel, Na+ mula-mula bergabung dengan protein
pembawa di luminal membran sel; pada waktu yang bersamaan, H+ di
bagian dalam sel bergabung dengan protein pembawa. Na' bergerak ke
dalam sel mengikuti gradien konsentrasi yang telah dihasilkan oteh pompa
natrium kalium ATPase di membran basolateral. Gradien untuk
pergerakan Na+ ke dalam sel kemudian menyediakan energi untuk
menggerakkan H+ ke arah yang berlawanan, dan dalam sel ke lumen
tubulus. HCO3- yang dihasilkan di dalam sel (ketika H+ berdisosiasi dari
H2CO3) kemudian bergerak mengikuti gradien melintasi membran
basolateral masuk ke dalam cairan interstisial ginjal dan darah kapiler
peritubulus. Hasil neto adalah bahwa untuk setiap H+ yang disekresikan ke
dalam lumen tubulus, satu HCO3- masuk ke dalam darah.

Gambar 4 Mekanisme selular untuk (1) sekresi aktif H+ ke dalam tubulus


ginjal; (Z) reabsorpsi HCO3 oleh tubulus melalui penggabungan dengan H+
guna membentuk asam karbonat, yang akan terurai menjadi karbon
dioksida dan air; serta (3) reabsorpsi ion natrium sebagai pertukaran dengan
H+ yang disekresi. Pola sekresi ion hidrogen ini terjadi di tubulus proksimal,
segmen tebal asenden ansa Henle, dan bagian awal tubulus distal.

3. HCO3- yang Difiltrasi, Direabsorbsi melalui Interaksi dengan H+


dalam Tubulus

Ion bikarbonat tidak mudah menembus membran luminal sel


tubulus ginjal; oleh karena itu, HCO3- yang difiltrasi oleh glomerulus
tidak dapat direabsorbsi secara langsung. Sebaliknya, HCO3- direabsorbsi
melalui proses khusus; mula-mula HCO3- bergabung dengan H+ untuk
membentuk H2CO3, yang akhirnya menjadi CO, dan H2O3 seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 4.
Reabsorpsi HCO3- ini diawali oleh reaksi di dalam tubulus antara
HCO3 yang difiltrasi pada glomerulus dan H* yang disekresi oleh sel
tubulus. H2CO3 yang terbentuk kemudian berdisosiasi menjadi CO2 dan
H2O. CO2 dapat bergerak dengan mudah melewati membran tubulus; oleh
karena itu, CO2 segera berdifusi masuk ke dalam sel tubulus, tempat CO2
bergabung kembali dengan H2O, di bawah pengaruh anhidrase karbonat,
untuk menghasilkan molekul H2CO3 yang baru. H2CO3 ini kemudian
berdisosiasi membentuk HCO3- dan H'; HCO3kemudian berdifusi melalui
membran basolateral masuk ke dalam cairan interstisial dan dibawa ke
darah kapiler peritubulus.
Transpor HCO3 melalui membran basolateral difasilitasi oleh dua
mekanisme: (1) ko-transpor Na-HCO3 - di tubulus proksimal dan (2)
pertukaran CI-HCO3- di akhir tubulus proksimal, bagian tebal pars
asendens ansa Henle, dan di tubulus dan duktus koligens.Jadi setiap kali
satu H+ dibentuk di dalam sel epitel tubulus, satu HCO3- juga dibentuk
dan dilepaskan kembali ke dalam darah. Pengaruh neto reaksi ini adalah
"reabsorpsi" HCO3- dan tubulus, walaupun HCO3- yang sebenarnya
memasuki cairan ekstraselular bukan yang difiltrasi ke dalam tubulus.
Reabsorpsi HCO3- yang difiltrasi tidak menghasilkan sekresi H+ neto
karena H+ yang disekresikan bergabung dengan HCO3- yang difiltrasi dan
karena itu, tidak diekskresikan. HCO3- "Dititrasi" terhadap H dalam
Tubulus. Dalam kondisi normal, kecepatan sekresi H+ tubulus adalah
sekitar 4.400 mEq/hari dan kecepatan filtrasi HCO3- adalah sekitar 4.320
mEq/hari. Jadi, jumlah kedua ion yang memasuki tubulus ini hampir sama,
dan ion-ion itu bergabung untuk membentuk CO2 dan H2O. Oleh karena
itu, dikatakan bahwa HCO3- dan ion H+normalnya melakukan "titrasi"
satu dengan lainnya di dalam tubulus.
Proses titrasi ini tidak begitu tepat karena biasanya terdapat sedikit
kelebihan H+ dalam tubulus yang akan diekskresikan dalam urine.
Kelebihan H+ ini (sekitar 80 mEq/hari) membersihkan tubuh dari asam
non-volatil yang dihasilkan oleh metabolisme. Seperti akan dibahas
kemudian, sebagian besar H+ini tidak diekskresikan sebagai H+ bebas
tetapi dalam bentuk kombinasi dengan dapar urine lainnya, terutama fosfat
dan amonia.
Bila terdapat kelebihan HCO3- melebihi H+ dalam urine, seperti
yang terjadi pada alkalosis metabolik, kelebihan HCO3- tidak dapat
direabsorbsi; oleh karena itu, kelebihan HCO3- tetap di dalam tubulus dan
akhirnya diekskresikan ke dalam urine, yang membantu mengoreksi
alkalosis metabolik. Pada asidosis, terdapat kelebihan jumlah H+
dibandingkan dengan HCO3- menyebabkan reabsorpsi pembawaHCO3
seluruhnya, dan kelebihan H+ dikeluarkan ke dalam urine.
Kelebihan H+ ini didapar di dalam tubulus oleh fosfat dan amonia
dan akhirnya diekskresikan sebagai garam. Jadi, mekanisme dasar
pengoreksian asidosis atau alkalosis oleh ginjal adalah titrasi tidak lengkap
H+ terhadap HCO3- yang menyebabkan salah satu ion ini dikeluarkan ke
dalam urine dan dihilangkan dan cairan ekstraselular.

GANGGUAN ASAM BASA


1. Definisi Asam Basa
a. Asam
Asam adalah kelompok khusus bahan yang mengandung hidrogen yang
terdisosiasi atau terurai, ketika berada dalam larutan untuk membebaskan
H +¿¿ bebas dan anion (ion bermuatan negatif). Banyak bahan lain (misalnya
karbohidrat) juga mengandung hidrogen, tetapi senyawa ini tidak digolongkan
sebagai asam karena hidrogen terikat erat di dalam struktur molekul dan tidak
pernah dilepaskan sebagai H +¿¿ bebas. (Sherwood, 2010)
Suatu asam kuat memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk terurai
dalam larutan dibandingkan dengan asam lemah yaitu presentase molekul
asam kuat yang terurai menjadi H +¿¿ dan anion lebih besar. Tingkat
penguraian suatu asam selalu konstan yaitu ketika dalam larutan, proporsi
yang sama dari suatu molekul asam selalu terurai untuk menghasilkan H +¿¿
bebas, dengan bagian lainnya selalu tetap utuh.
b. Basa
Basa adalah suatu bahan yang dapat berikatan dengan H +¿¿ bebas dan
karenanya menyingkirkannya dari larutan. Basa kuat dapat mengikat H +¿¿
lebih mudah daripada basa lemah.
Basa adalah ion molekul yang menerima ion hidrogen. Sebagai contoh
ion bikarbonat (HCO3-), adakah stuatu basa karena dia dapat bergabung
dengan satu ion hidrogen untuk membentuk asam karbonat(HCO3-). Protein-
protein dalam tubuh juga berfungsi sebagai basa karena beberapa asam amino
yang membangun protein dengan muatan aktif negatif siap menerima ion-ion
hidrogen. Protein hemoglobin dalam sel darah merah dan protein dalam sel-sel
tubuh yang lain merupakan basa-basa tubuh yang paling penting.
2. Definisi Keseimbangan Asam Basa
Keseimbangan asam-basa adalah homeostasis dari kadar ion hydrogen
(H+) pada cairan tubuh. Asam terus menerus diproduksi dalam metabolisme
yang normal. Meskipun terbentuk banyak asam sebagai hasil metabolisme,
namun (H+) cairan tubuh tetap rendah. Kadar H+ normal darah arteri adalah
0,00000004 (4 x 10-8) mEq/L atau sekitar 1 persejuta dari kadar Na+. meskipun
rendah, kadar H+ yang stabil perlu dipertahankan agar fungsi sel dapat berjalan
normal, karena sedikit fluktuasi sangat mempengaruhi aktivitas enzim sel.
Perubahan H+ yan relative kecil dapat sangat mempengaruhi hidup seseorang
karena berefek terhadap enzim sel. (Price & Wilson, 2005)
Istilah keseimbangan asam-basa merujuk kepada regulasi akurat
konsentrasi ion hidrogen (H+) bebas (yaitu, tidak terikat) dalam cairan tubuh.
Untuk menunjukkan konsentrasi suatu bahan kimia, simbolnya dikurung oleh
tanda kurung persegi. Karena itu, [H+ ] menunjukkan konsentrasi H+ .
(Sherwood, 2010)
Dalam keadaan normal tubuh manusia memproduksi asam dari hasil
metabolisme sel (protein, karbohidrat, lemak) dalam bentuk asam volatile
(asam karbonat) dan nonvolatile (metabolic acids, laktat, keton, sulfat, fosfat,
dll). Untuk mempertahankan keseimbangan asambasa (homeostasis),
kelebihan asam karbonat akan dikeluarkan melalui paru-paru dalam bentuk
karbondioksida, dan kelebihan asam nonvolatile akan dinetralisasikan oleh
sistem dapar (buffer).
3. Faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan Asam dan Basa

Pengaturan keseimbangan asam basa diselenggarakan melalui koordinasi dari


3 sistem:
1. Sistem Buffer
Sistem penyangga asam basa kimiawi dalam cairan tubuh, yang dengan
segera bergabung dengan asam atau basa untuk mencegah perubahan
konsentrasi ion hidrogen yang berlebihan. Sistem buffer ini menetralisir
kelebihan ion hidrogen, bersifat temporer dan tidak melakukan eliminasi.
Fungsi utama sistem buffer adalah mencegah perubahan pH yang
disebabkan oleh pengaruh asam fixed dan asam organic pada cairan
ekstraseluler. Sebagai buffer, sistem ini memiliki keterbatasan yaitu:
a. Tidak dapat mencegah perubahan pH di cairan ekstraseluler yang
disebabkan karena peningkatan CO2.
b. Sistem ini hanya berfungsi bila sistem respirasi dan pusat pengendali
sistem pernafasan bekerja normal
c. Kemampuan menyelenggarakan sistem buffer tergantung pada
tersedianya ion bikarbonat.

Ada 4 sistem buffer:


a. Buffer bikarbonat merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel terutama
untuk perubahan yang disebabkan oleh non-bikarbonat
b. Buffer protein merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel dan intrasel
c. Buffer hemoglobin merupakan sistem dapar di dalam eritrosit untuk
perubahan asam karbonat
d. Buffer fosfat merupakan sistem dapar di sistem perkemihan dan cairan
intrasel.
Sistem dapar kimia hanya mengatasi ketidakseimbangan asam-basa
sementara. Jika dengan buffer kimia tidak cukup memperbaiki
ketidakseimbangan, maka pengontrolan pH akan dilanjutkan oleh paru-
paru yang berespon secara cepat terhadap perubahan kadar ion H dalam
darah akinat rangsangan pada kemoreseptor dan pusat pernafasan,
kemudian mempertahankan kadarnya sampai ginjal menghilangkan
ketidakseimbangan tersebut. Ginjal mampu meregulasi ketidakseimbangan
ion H secara lambat dengan menskresikan ion H dan menambahkan
bikarbonat baru ke dalam darah karena memiliki dapar fosfat dan amonia.
Proses eliminasi dilakukan oleh paru dan ginjal. Mekanisme paru
dan ginjal dalam menunjang kinerja sistem buffer adalah dengan mengatur
sekresi, ekskresi, dan absorpsi ion hidrogen dan bikarbonat serta
membentuk buffer tambahan (fosfat, ammonia). Untuk jangka panjang,
kelebihan asam atau basa dikeluarkan melalui ginjal dan paru sedangkan
untuk jangka pendek, tubuh dilindungi dari perubahan pH dengan sistem
buffer. Mekanisme buffer tersebut bertujuan untuk mempertahankan pH
darah antara 7,35- 7,45.4
2. Gangguan pada sistem paru
Paru-paru dibawah kendali medula otak, mengendalikan karbondioksida, dan
karena itu juga mengendalikan kandungan asam karbonik dari cairan
ekstraseluler. Paru-paru melakukan hal ini dengan menyesuaikan ventilasi
sebagai respons terhadap jumlah karbon dioksida dalam darah. Kenaikan dari
tekanan parsial karbondioksida dalam darah arteri (PaCO2) merupakan
stimulan yang kuat untuk respirasi. Tentu saja, tekanan parsial
karbondioksida dalam darah arteri (PaCO2) juga mempengaruhi respirasi.
Meskipun demikian, efeknya tidak sejelas efek yang dihasilkan oleh PaCO2.
Pada keadaan asidosis metabolik, frekuensi pernapasan meningkat
sehingga menyebabkan eliminasi karbon dioksida yang lebih besar (untuk
mengurangi kelebihan asam). Pada keadaan alkalosis metabolik, frekuensi
pernapasan diturunkan, dan menyebabkan penahanan karbondioksida
(untuk meningkatkan beban asam).
3. Gangguan pada sitem sistem ginjal
Untuk mempertahankan keseimbangan asam basa, ginjal harus
mengeluarkan anion asam non volatile dan mengganti HCO3 - . 3 Ginjal
mengatur keseimbangan asam basa dengan sekresi dan reabsorpsi ion
hidrogen dan ion bikarbonat. Pada mekanisme pemgaturan oleh ginjal ini
berperan 3 sistem buffer asam karbonat, buffer fosfat dan pembentukan
ammonia. Ion hidrogen, CO2, dan NH3 diekskresi ke dalam lumen tubulus
dengan bantuan energi yang dihasilkan oleh mekanisme pompa natrium di
basolateral tubulus.3 Pada proses tersebut, asam karbonat dan natrium
dilepas kembali ke sirkulasi untuk dapat berfungsi kembali. Tubulus
proksimal adalah tempat utama reabsorpsi bikarbonat dan pengeluaran
asam.
Ion hidrogen sangat reaktif dan mudah bergabung dengan ion
bermuatan negative pada konsentrasi yang sangat rendah. Pada kadar yang
sangat rendahpun, ion hidrogen mempunyai efek yang besar pada sistem
biologi. Ion hidrogen berinteraksi dengan berbagai molekul biologis
sehingga dapat mempengaruhi struktur protein, fungsi enzim dan
ekstabilitas membrane. Ion hidrogen sangat penting pada fungsi normal
tubuh misalnya sebagai pompa proton mitokondria pada proses fosforilasi
oksidatif yang menghasilkan ATP.
Produksi ion hidrogen sangat banyak karena dihasilkan terus
meneru1s di dalam tubuh. Perolehan dan pengeluaran ion hidrogen sangat
bervariasi tergantung diet, aktivitas dan status kesehatan. Ion hidrogen di
dalam tubuh berasal dari makanan, minuman, dan proses metabolism
tubuh. Di dalam tubuh ion hidrogen terbentuk sebagai hasil metabolism
karbohidrat, protein dan lemak, glikolisis anaerobik atau ketogenesis.
4. Primary Disorder
A. pH
pH darah arteri normalnya adalah 7,45, darah vena 7,35 dan untuk pH
rerata 7,4 darah vena sedikit lebih rendah ( lebih asam) daripada darah
arteri karena dihasilkan H+ dari pembentukan H2CO3 dari CO2 yang
diserap di kapler jaringan. pH naik disebut alkalemia dan pH turun disebut
asedemia. Terjadi Asidosis jika pH darah turun di bawah 7,35 dan
alkalosis jika pH di atas 7,45 ( Sherwood, 2010).
B. pCO2 dan Ion bikarbonat ( HCO3-)
Dalam keadaan normal tubuh mempertahankan kadar
karbondioksida darah antara 35- 45mmHg (sekitar 40mmHg) dengan
mengatur ventilasi alveolar. Jika di bawah 35 disebut alkalosis dan di atas
45 disebut asidosis. Bila peningkatan atau penurunan ventilasi alveolar
tidak sebanding dengan produksi karbondioksida, maka akan terjadi
gangguan keseimbangan asam-basa respiratorik. Di dalam darah
karbondioksida akan bereaksi dengan molekul air membentuk H2CO3
yang kemudian berdisosiasi menjadi ion hidrogen (H+ ) dan ion
bikarbonat (HCO3 - ) reaksi tersebut dikatalisasi oleh enzim karbonat
anhidrase.
Kadar normal HCO3- adalah 22-26 mEq/L. jika dibawah 22 adalah
asidosis dan diatas 26 adalah alkalosis. Sebenarnya penggunaan ion
bikarbonat (HCO3 - ) sebagai petanda asidosis/alkalosis tidaklah begitu
tepat karena ion bikarbonat tidak saja dipengaruhi oleh asam metabolik
tetapi juga oleh asam volatile (PaCO2, respiratorik). Meskipun demikian
hubungan antara kadar ion bikarbonat dan PaCO2 dapat dipakai untuk
memperkirakan besarnya kompensasi tubuh. Perhitungan didasari atas
asumsi sistem buffer bikarbonat akan menetralisir kelebihan asam
nonvolatine (asam metabolik), satu ion bikarbonat akan mengikat satu ion
hidrogen asam nonvolatile, ion bikarbonat akan menurun sebanding
dengan ion hidrogen, jumlah total kelebihan asam nonvolatile sama
dengan jumlah penurunan ion bikarbonat dari nilai normal. Kelainan
asam-basa yang terjadi dapat disimpulkan berdasarkan perbandingan
bikarbonat atau PaCO2 yang terukur dengan yang diharapkan dari proses
kompensasi.

5. Sistem Kompensasi
Kompensasi yaitu proses tubuh mengatasi gangguan asam basa primer dan
sekunder yang bertujuan membawa pH darah mendekati normal. Kompensasi
dilakukan oleh buffer, respirasi dan ginjal. Gangguan keseimbangan asam
basa karena proses respiratorik akan dikompensasi oleh proses metabolik,
demikian juga sebaliknya.

Terdapat jenis-jenis Keseimbangan asam basa yaitu Gangguan asam basa


sederhana (Simple acid base disorder) yang hanya disebabkan oleh satu
ganggaun primer dan gangguan asam basa campuran (Mixed acid base
disorder) adalah keadaan dimana terdapat satu atau lebih gangguan asam basa
sederhana yang terjadi bersama-sama. Disebabkan oleh lebih dari satu
gangguan primer
6. Asisdosis Respiratorik
Asidosis respiratorik adalah keasamaan darah yang berlebihan karena
penumpukan karbondioksida dalam darah sebagai akibat dari fungsi paru-
paru yang buruk atau pernafasan yang lambat. Ini terjadi jika paru-paru tidak
dapat mengeluarkan karbondioksida secara adekuat dan kemungkinan
penyebab mencakup penyakit paru, depresi pusat pernapasan oleh obat atau
penyakit, gangguan saraf atau otot yang mengurangi kemampuan. Normal
PaCO2 adalah 35-45 mm Hg.
Penyakit paru-paru lainnya yang terjadi akibat asidosis respiratorik :
1. Emfisema
2. Bronkhitis kronis
3. Pneumonia berat
4. Edema pulmoner
5. Asma
6. Asidosis respiratorik terjadi karena peningkatan [CO2].
7. Alkalosis Respiratorik

Suatu keadaan dimana darah menjadi basa karena pernafasan yang cepat
dan dalam, sehingga menyebabkan kadar karbondioksida dalam darah
menjadi rendah. Penyebab nya adalah pernafasan yang cepat dan dalam
disebut hiperventilasi, yang menyebabkan terlalu banyaknya jumlah
karbondioksida yang dikeluarkan dari aliran darah. Alkalosis respiratorik juga
terjadi karena mekanisme fisiologik di tempat yang tinggi. Ketika konsentrasi
O2 yang rendah dalam darah arteri secara refleks merangsang ventilasi untuk
memperoleh lebih banyak O2, CO2 akan keluar dalam jumlah terlalu besar
yang secara taksengaja menyebabkan keadaan alkalotik.
Tanda dan gejala :
1. Rasa nyeri
2. Sirosis hati
3. Kadar oksigen darah yang rendah
4. Deman
5. Overdosis aspirin
8. Asidosis Metabolic
Asidosis metabolik (juga dikenal sebagai asidosis non-respiratorik)
mencakup semua jenis asidosis selain yang disebabkan oleh kelebihan CO2 di
cairan tubuh. Pada keadaan tak- terkompensasi asidosis metabolik selalu
ditandai oleh penurunan [HCO3-] (Sherwood, 2010).
Anion Gap
Anion gap" (yang hanyalah konsep diagnostik) merupakan perbedaan
antara anion yang tidak terukur dan kation yang tidak terukur. Anion gap
akan meningkat bila anion yang tidak terukur meningkat atau bila kation yang
tidak terukur menurun. Kation tidak terukur yang paling penting meliputi
kalsium. magnesium, dan kalium (Sherwood, 2010).
Anion gap (AG) adalah perbedaan antara konsentrasi kation Na +
terukur utama dan anion terukur utama Cl - dan HCO 3 -. Peningkatan AG
dapat disebabkan oleh penurunan kation yang tidak terukur (misalnya,
hipokalemia, hipokalsemia, hipomagnesemia) atau peningkatan anion yang
tidak terukur (misalnya, hiperfosfatemia, kadar albumin yang tinggi). Dalam
bentuk asidosis metabolik tertentu, anion lain menumpuk; dengan mengenali
AG yang meningkat, dokter dapat merumuskan diagnosis banding untuk
penyebab asidosis tersebut.
Anion gap harus dicantumkan secara individual karena mungkin
memiliki wide gap, dengan tidak ada hal lain yang terjadi di bikarbonat
karena situastuasi sehingga mereka memiliki celah anion yang sangat lebar,
jika lebih dari 20 pasien ini mengalami asidosis matabolik, mengatasinya
dengan menutup celah besi, pada dasarnya Tersusun dari serum albumin
berkontribusi antara 2-4 gram terhadap selisih anion Metabolik Asidosis.
a. Wide Anion Gap / high Anion Gap
Anion gap plasma digunakan terutama dalam mendiagnosis berbagai
penyebab asidosis metabolik. Pada asidosis metabolik, HCO3 plasma
menurun. Bila konsentrasi natrium plasma tidak berubah, konsentrasi anion
(baik CI- atau suatu anion tidak terukur) harus meningkat untuk
mempertahankan kenetralan listrik. Bila Cl- plasma meningkat sebanding
dengan penurunan HCO3 plasma, anion gap akan tetap normal. Keadaan ini
sering disebut sebagai asidosis metabolik hiperkloremik.
Ada beberapa contoh asidosis metabolic dengan anion gap wide. Antara lain :
1) Asam Laktat
L-Laktat adalah produksi metabolism asam piruvat dalam reaksi
yang dikatalisis oleh dehigrogenase laktat yang juga melibatkan
konvensi nicotinamide adinine dinucleotide (NADH) menjadi bentuk
teroksidasi dari nicotinamide adinine dinucleotide ( NAD+). Ini adalah
reaksi keseimbangan yang dua arah, dan jumlah laktat yang dihasilkan
berhubungan dengan konsentrasi reaktan dan sitoso; ( piruvat,
NADH/NAD+).
Produksi laktat pada orang sehat sangat besar ( sekitar 20mRq/kg/hari),
dan biasanya dimetabolisme menjadi piruvat di hati, ginjal dan pada
tingkat yang lebih rendah di jantung. Jadi, produksi dan penggunaan
laktat (yaitu, siklus Cori) adalah konstan, menjaga laktat plasma tetap
rendah.
Jalur metabolisme utama piruvat adalah dengan asetil koenzim A,
yang kemudian memasuki siklus asam sitrat. Dengan adanya disfungsi
mitokondria, piruvat terakumulasi di sitosol dan lebih banyak laktat
diproduksi. Asam laktat terakumulasi dalam darah setiap kali produksi
meningkat atau penggunaan menurun. Nilai yang lebih besar dari 4-5
mEq / L dianggap sebagai diagnosis asidosis laktat.
Asidosis laktat tipe A terjadi pada keadaan hipoksia, sedangkan
tipe B terjadi tanpa hipoksia jaringan terkait. Asidosis D-laktat adalah
salah satu bentuk asidosis laktat yang terjadi akibat kelebihan produksi
D-laktat oleh bakteri usus. Ini diamati dalam hubungan dengan
sindrom pertumbuhan berlebih bakteri usus. D-laktat tidak diukur
secara rutin ketika kadar laktat dipesan dan harus diminta secara
khusus ketika kasus tersebut dicurigai.
2) Ketoasidosis
Diabetes melitus disebabkan oleh tidak adanya sekresi insulin oleh
pankreas (diabetes tipe I) atau oleh insufisiensi sekresi insulin untuk
mengompensasi penurunan sensitivitas pada efek insulin (diabetes tipe
II). Keadaan dengan insulin yang tidak cukup, menghalangi
penggunaan glukosa dalam metabolisme secara normal. Sebaliknya,
beberapa lemak dipecah menjadi asam asetoasetat, dan asam ini
dimetabolisme oleh jaringan untuk menghasilkan energi menggantikan
glukosa. Pada diabetes melitus yang berat, kadar asam asetoasetat
darah dapat meningkat sangat tinggi, sehingga menyebabkan asidosis
metabolik yang berat. Dalam usaha untuk mengompensasi asidosis ini,
sejumlah besar asam diekskresikan dalam urine, terkadang sebanyak
500 mmol/hari.
Alcohol ketoasidosis terjadi Ketika asupan alcohol berlebih disertai
dengan nutrisi yang buruk. Alcohol menghambat gluconeogenesis dan
keaddan puasa menyebabkan insulin rendah dan kadar glucagon tinggi.
Ketoasidosis starvasion (kepalaparan) dapat terjadi setelah puasa
berkepanjangan dan dapat diperburuk oleh olahraga.
3) Asam Sulfat
Gagal ginjal
Pada gagal ginjal, Bila fungsi ginjal sangat menurun, terdapat
pembentukan anion dari asam lemah dalam cairan tubuh yang tidak
diekskresikan oleh ginjal. Selain itu, penurunan laju filtrasi glomerulus
mengurangi ekskresi fosfat dan NH3, yang mengurangi jumlah HCO3-
yang ditambahkan kembali ke dalam cairan tubuh. Jadi, gagal ginjal
kronis dapat menyebabkan asidosis metabolik berat.
Pasien dengan penyakit ginjal kronis lanjut (laju filtrasi glomerulus
kurang dari 20 mL / menit) datang dengan asidosis AG tinggi. Asidosis
terjadi dari pengurangan ammoniagenesis yang menyebabkan
penurunan jumlah buffer H+ dalam urin. Peningkatan AG diperkirakan
terjadi karena akumulasi sulfat, urat dan fosfat dari penurunan filtrasi
glomerulus dan dari fungsi tubular yang berkurang.
Pada orang dengan asidosis uremik kronis, garam tulang
berkontribusi buffering, dan serum HCO 3 - tingkat biasanya tetap
lebih besar dari 12 mEq / L. Penyangga tulang ini dapat menyebabkan
hilangnya kalsium tulang secara signifikan yang mengakibatkan
osteopenia dan osteomalacia.
4) Ingestions
Konsumsi Methanol dikaitkan dengan perkembangan asidosis
metabolic AG tinggi. Methanol dimetabolisme oleh alcohol
dehydrogenase menjadi formaldehida dan kemudian menjadi asam
format. Formaldehida bertanggung jawab atas keracunan saraf optik
dan SSP, sedangkan peningkatan AG berasal dari asam format dan dari
asam laktat dan akumulasi asam keto. Manifestasi klinis termasuk
cedera saraf optik yang dapat dilihat dengan pemeriksaan funduskopi
sebagai edema retinal, depresi SSP, dan asidosis metabolik yang tidak
dapat dijelaskan dengan anion tinggi dan celah osmolar. (Christie,
2018)
Mengonsumsi etilen glikol menyebabkan asidosis AG tinggi.
Etilen glikol diubah oleh alcohol dehydrogenase telebih dahulu
menjadi glycoaldehyde dan kemudian menjadi asam glikolat dan
glioksilat. Asam glioksilat kemudian diuraikan menjadi beberapa
senyawa diantaranya asam oksalat yang bersifat toksik dan glisin yang
relatif tidak berbahaya.
b. Normal gap
Ketika melihat gap menjadi normal dalam pengaturan metabolic
asidosis , berarti ada hilangnya bikarbonat. Jadi setiap kali bikarbonat itu
lolos akan mendapatkan hydrogen klorida karena bikarbonat turun dengan
hydrogen dan siap ditarik lebih tinggi karena penambahan senyawa ini gap
tidak berubah kehilangan bikarbonat jika terjadi asidosis metabolic tubulus
ginjal dan terjadi karena diare kronis, dan bisa kehilangan GI bikarbonat.
Ini adalah dua ideologi utama asidosis gap normal
Contoh di ICU Ketika pasien mendapatkan EPN mereka
mendapatkan hydrogen klorida yang dicampur DPM untuk
menyeimbangkan zat warna asa amino basa untuk membuat pH netral jadi
saat asam amino dimetabolisme HCI dan hydrogen klorida tertinggal yang
dapat menekan bikarbonat.
Dalam asidosis gap normal dengan melihat pada anion cap urinary
dan gap pada dasarnya memberitahu kita pa yang dilakukan nefron distal
dalam kaitannya dengan keseimbangan asam basa sehingga Ketika
mengalmi asidosis sistemik ginjal akan meresponmengeluarkna
ammonium yang mengikat hydrogen di nefron distal, jadi jika ada yang
salah dengan nefron distal misalnya RTA distal atau Tipe 4 RTA tidak
dapat mendapatkan gap wide karena kurangnya ammonium klorida yang
diproduksi dan jika terdapat gap yang sangat negative itu menyiratkan
bahwa ada kehilangan ekstra ginjal misalnya diare atau RT proksimal.
Penyebab nya antara lain :
1) Kehilangan HCO 3 - melalui saluran GI
Sekresi saluran GI, dengan pengecualian lambung, relatif basa,
dengan konsentrasi basa yang tinggi (50-70 mEq / L). Hilangnya
sekresi GI bagian bawah yang signifikan menyebabkan asidosis
metabolik, terutama bila ginjal tidak mampu beradaptasi dengan
kehilangan tersebut dengan meningkatkan ekskresi asam ginjal bersih.
Kehilangan tersebut dapat terjadi pada keadaan diare, fistula
dengan drainase dari pankreas atau saluran GI bagian bawah, dan
kadang muntah jika terjadi akibat obstruksi usus. Ketika transplantasi
pankreas dilakukan, saluran pankreas kadang-kadang dialihkan ke
kandung kemih penerima, di mana sekresi pankreas eksokrin hilang
dalam urin akhir. Kerugian yang signifikan juga terjadi pada pasien
yang menyalahgunakan obat pencahar, yang harus dicurigai bila
etiologi untuk asidosis metabolik non-AG tidak jelas.
Urine pH akan kurang dari 5,3, dengan urin negatif AG
mencerminkan pengasaman urin normal dan meningkat NH 4 +
ekskresi. Namun, jika pengiriman Na + distal terbatas karena penipisan
volume, pH urin tidak dapat diturunkan secara maksimal. Mengganti
HCO 3 yang hilang - setiap hari dapat mengobati bentuk asidosis
metabolik ini.
2) Early renal failure
Asidosis metabolik biasa terjadi pada pasien dengan gagal ginjal,
dan pada tahap awal hingga sedang dari penyakit ginjal kronis (laju
filtrasi glomerulus 20-50 mL / menit), hal ini berhubungan dengan AG
normal (hiperkloremik). Pada gagal ginjal lanjut, asidosis berhubungan
dengan AG yang tinggi. Pada asidosis hiperkloremik, ammoniagenesis
yang berkurang (akibat hilangnya massa ginjal yang berfungsi) adalah
cacat primer, yang menyebabkan ketidakmampuan ginjal untuk
mengeluarkan beban asam harian normal. Selain itu, NH 3 reabsorpsi
dan daur ulang mungkin terganggu, yang menyebabkan berkurangnya
interstitial NH meduler 3 konsentrasi.
Secara umum, pasien cenderung memiliki serum HCO 3 - level lebih
besar dari 12 mEq / L, dan buffer oleh kerangka mencegah penurunan
lebih lanjut dalam serum HCO 3 - . Perhatikan bahwa pasien dengan
hypobicarbonatemia dari gagal ginjal tidak dapat mengimbangi
tambahan HCO 3- kerugian dari sumber extrarenal (misalnya, diare)
dan asidosis metabolik yang berat dapat berkembang dengan cepat.
3) RTA type 4
Ini adalah bentuk RTA yang paling umum pada orang dewasa dan
diakibatkan oleh defisiensi atau resistensi aldosteron. Saluran
pengumpul adalah tempat utama aksi aldosteron, di sana ia merangsang
reabsorpsi Na + dan sekresi K + dalam sel utama dan menstimulasi
sekresi H + dalam sel selingan tipe A. Hipoaldosteronisme, oleh karena
itu, berhubungan dengan penurunan reabsorpsi Na + duktus
pengumpul , hiperkalemia, dan asidosis metabolik.
Hiperkalemia juga mengurangi proksimal tubulus NH 4 + produksi
dan menurunkan NH 4 + penyerapan oleh asenden tebal, mengarah ke
penurunan interstitial NH meduler 3 konsentrasi. Ini mengurangi
kemampuan ginjal untuk mengeluarkan muatan asam dan memperburuk
asidosis.
berikut ini adalah penyebab RTA tipe 4:
 Hipoaldosteronisme (renin rendah) - Hipoaldosteronisme
hiporeninemik (diabetes mellitus / gangguan ginjal ringan, nefritis
interstitial kronis, obat antiinflamasi nonsteroid, beta-blocker)
 Hipoaldosteronisme (renin tinggi) - Cacat adrenal primer (terisolasi:
hipoaldosteronisme kongenital; umum: penyakit Addison,
adrenalektomi, AIDS), penghambatan sekresi aldosteron (heparin,
penghambat ACE, penghambat reseptor AT1)
 Resistensi aldosteron (obat-obatan) - Diuretik (amilorida, triamteren,
spironolakton), penghambat kalsineurin (siklosporin, takrolimus),
antibiotik (trimetoprim, pentamidin)
 Resistensi aldosteron (genetik) - Pseudohypoaldosteronism (PHA)
tipe I dan II
8. Alkalosis Metabolik
Alkalosis metabolik (atau non-respiratorik) adalah penurunan [H+] plasma
akibat defisiensi relatif asam-asam non-karbonat. Gangguan asam-basa ini
berkaitan dengan peningkatan [HCO3-] yang, pada keadaan tak-
terkompensasi, tidak disertai oleh perubahan [CO2].
Penyebab Alkalosis Metabolik
1. Penyebab alkalosis responsive klorida ( Urine klorida <20 mEq/L) yaitu
:
 Kehilangan sekresi lambung- muntah
 Kehilangan sekresi kolon
 Tiazid dan dieuretik loop
2. Penyebab alkalosis resisten klorida ( Urine klorida >20 mEq/L) yaitu :
 Hiperaldosteronisme primer – adrenal adenoma, bilateral adrenal
hyperplasia, adrenal karsinoma, glukokortiroid-remediable
hyperaldosteronism
 Chusing sindrom
 Renovascular hypertension
Keadaan ini timbul terutama karena hal-hal berikut.
a. Muntah menyebabkan pengeluaran abnormal H+ dari tubuh akibat
hilangnya getah lambung yang asam. Asam hidroklorida hidroklorida
disekresikan ke dalam lumen lambung selama pencernaan. Selama
sekresi HC1, bikarbonat ditambahkan ke plasma. HCO3- ini dinetralkan
oleh H+ sewaktu sekresi lambung akhirnya diserap kembali ke dalam
plasma sehingga dalam keadaan normal tidak terjadi penambahan neto
HCO3- ke plasma dari sumber ini. Namun, jika asam ini keluar dari
tubuh sewaktu muntah, tidak saja [H+] plasma menurun tetapi juga tidak
lagi terjadi reabsorpsi H+ untuk menetralkan HCO3- ekstra yang
ditambahkan ke plasma sewaktu sekresi HCl lambung. Karena itu,
keluarnya HC1 pada hakikatnya meningkatkan [HCO3-] plasma.
(Sebaliknya, pada muntah yang "lebih dalam", HCO3- di getah
pencernaan yang disekresikan ke dalam usus halus bagian atas mungkin
keluar bersama muntahan sehingga yang terjadi adalah asidosis bukan
alkalosis.)
b. Konsumsi obat alkali dapat menyebabkan alkalosis, misalnya saat soda
kue (NaHCO3, yang terurai menjadi Na+ dan HCO3+ dalam larutan)
digunakan sendiri sebagai terapi hiperasiditas lambung. Dengan
menetralkan kelebihan asam di lambung, HCO3- meredakan gejala
iritasi lambung dan heartburn; tetapi jika HCO3- yang ditelan melebihi
kebutuhan, kelebihan HCO3- akan diserap dari saluran cerna dan
meningkatkan [HCO3-] plasma. Kelebihan HCO3- ini berikatan dengan
sebagian H+ bebas yang normalnya ada di plasma dari sumber-sumber
non-karbonat, menurunkan [H+] bebas. (Sebaliknya, produk alkali
komersial untuk mengobati hiperasiditas lambung sama sekali tidak
diserap dari saluran cerna sehingga tidak mengubah status asam-basa
tubuh).
c. Alkalosis Metabolik Disebabkan oleh Peningkatan Konsentrasi HCO3
Cairan Ekstraselular.
Bila terdapat retensi HCO yang berlebihan atau hilangnya H+ dan dalam
tubuh, keadaan ini menyebabkan alkalosis metabolik. Alkalosis
metabolik tidak begitu umum seperti asidosis metabolik, tetapi beberapa
penyebab alkalosis metabolik adalah sebagai berikut
1) Pemberian Diuretika (Kecuali Penghambat Anhidrase Karbonat).
Semua diuretika yang menyebabkan peningkatan aliran cairan di
sepanjang tubulus, biasanya meningkatkan aliran dalam tubulus
distal dan tubulus koligens. Keadaan ini menimbulkan peningkatan
reabsorpsi Na+ dari bagian nefron ini. Oleh karena reabsorpsi
natrium di sini berpasangan dengan sekresi H+ , peningkatan
reabsorpsi natrium juga menimbulkan peningkatan sekresi H+ dan
peningkatan reabsorpsi bikarbonat. Perubahan ini menyebabkan
terjadinya alkalosis, yang ditandai dengan peningkatan konsentrasi
bikarbonat cairan ekstraselular.
2) Kelebihan Aldosteron. Bila sejumlah besar aldosteron disekresikan
oleh kelenjar adrenal, akan terjadi alkalosis metabolik ringan.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, aldosteron meningkatkan
reabsorpsi Na+ dalam jumlah banyak dari tubulus distal dan
tubulus koligens, dan pada waktu yang bersamaan, merangsang
sekresi H+ oleh sel interkalatus pada tubulus koligens.
Peningkatkan sekresi H+ ini menimbulkan peningkatan ekskresi
H+ oleh ginjal sehingga menimbulkan alkalosis metabolik.
d. Banyak penyebab alkalosis metabolik juga berhubungan dengan
hipokalemia. Pada gilirannya, hipokalemia mempertahankan alkalosis
metabolik dengan mekanisme berbeda.
1) Hipokalemia menyebabkan pergeseran ion hidrogen ke intraseluler.
Asidosis intraseluler yang dihasilkan meningkatkan reabsorpsi
bikarbonat di duktus pengumpul.
2) Hipokalemia merangsang H + / K + ATPase apikal di duktus
pengumpul. Peningkatan aktivitas ATPase ini mengarah ke
reabsorpsi ion kalium yang sesuai secara teleologis tetapi sekresi
ion hidrogen yang sesuai. Hal ini menyebabkan perolehan bersih
bikarbonat, mempertahankan alkalosis sistemik.
3) Hipokalemia merangsang terjadinya amonia ginjal, reabsorpsi, dan
sekresi. Ion amonium (NH 4 + ) diproduksi di tubulus proksimal
dari metabolisme glutamin. Selama proses ini, alfa-ketoglutarat
diproduksi, metabolisme yang menghasilkan bikarbonat yang
dikembalikan ke sirkulasi sistemik. Hipokalemia menstimulasi
serapan NH 4 + melalui Na + / K + / 2Cl - kotransporter TAL
karena NH 4 + bersaing dengan K + untuk transporter.
Hipokalemia meningkatkan ekspresi dari amonia transporter
RhBG, yang meningkatkan NH 3 ekskresi di saluran pengumpul
4) Menyebabkan gangguan reabsorpsi ion klorida di nefron distal. Hal
ini menghasilkan peningkatan elektronegativitas luminal, dengan
peningkatan sekresi ion hidrogen selanjutnya.
9. Penatalaksanaan
A. Gangguan Metabolik.
1) Asidosis Metabolik.
Pengobatan asidosis metabolik akut dengan terapi alkali biasanya
diindikasikan untuk meningkatkan dan mempertahankan pH plasma
hingga lebih dari 7,20.
Ketika pH serum di bawah 7.20, penurunan lanjutan di HCO
serum 3- tingkat dapat mengakibatkan penurunan yang signifikan
dalam pH. Hal ini terutama benar bila PCO 2 mendekati batas bawah
kompensasi, yang pada individu muda yang sehat kira-kira 15 mm Hg.
Dengan bertambahnya usia dan penyakit rumit lainnya, batas
kompensasi cenderung berkurang. Penurunan kecil lebih lanjut dalam
HCO 3 - pada saat ini sehingga tidak diimbangi oleh penurunan yang
sesuai dalam PaCO 2 , dan dekompensasi cepat dapat terjadi.
Sodium bikarbonat (NaHCO 3 ) adalah agen yang paling
umum digunakan untuk memperbaiki asidosis metabolik. HCO 3 -
defisit dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:
HCO3- deficit = deficit/L (serum HCO3 yang di inginkan)- - HCO3-
yang di ukur) × 0.5 × body weight (volume of distribution for HCO3-)
HCO 3 - dapat diberikan secara intravena untuk meningkatkan serum
HCO 3 - tingkat memadai untuk meningkatkan pH untuk lebih besar
dari 7.20. Koreksi lebih lanjut tergantung pada situasi individu dan
mungkin tidak diindikasikan jika proses yang mendasari dapat diobati
atau pasien asimtomatik.
2) Asidosis Tubulus Ginjal Tipe 4
Karena hiperkalemia merupakan penyebab utama dari
gangguan ini, tujuan pengobatan utama adalah untuk menurunkan
kadar K + serum . Hal ini dapat dicapai dengan menempatkan pasien
pada diet rendah K + (1 mEq / kg K + / hari) dan dengan penghentian
obat yang dapat menyebabkan hiperkalemia (misalnya, penghambat
enzim pengubah angiotensin [ACE], antiinflamasi nonsteroid.
narkoba). Loop diuretik dapat membantu dalam mengurangi kadar
kalium serum selama pasien tidak hipovolemik.
Dalam kasus resisten, fludrokortison, mineralokortikoid
sintetik, dapat digunakan untuk meningkatkan sekresi K + , tetapi hal
ini dapat meningkatkan retensi Na + . Terapi alkali biasanya tidak
diperlukan, karena, pada banyak pasien, asidosis derajat ringan
dikoreksi dengan mencapai normokalemia. Hiperkalemia dan asidosis
memburuk seiring dengan penurunan fungsi ginjal; akhirnya, pasien
mengembangkan asidosis ginjal AG tinggi. Terapi penggantian ginjal
harus dipertimbangkan setelah tindakan yang dijelaskan gagal untuk
mengontrol hiperkalemia atau asidosis.
3) Penyakit ginjal kronis
Pengobatan asidosis metabolik kronis pada orang dengan
penyakit ginjal kronis diindikasikan karena dapat membantu
mencegah pengeroposan tulang yang dapat berkembang menjadi
osteopenia atau osteoporosis. Pada anak-anak, retardasi pertumbuhan
dapat terjadi. Selain itu, pengobatan memperlambat perkembangan
hiperparatiroidisme dan membantu mengurangi keadaan katabolik
protein tinggi yang terkait dengan asidosis uremik, yang menyebabkan
hilangnya massa otot dan malnutrisi.
Pengobatan alkali disarankan jika konsentrasi bikarbonat
serum turun di bawah 22 mEq / L, karena pengobatan dapat
mengurangi pengecilan otot, memperbaiki penyakit tulang, dan
memperlambat perkembangan CKD. Pada pasien dengan stadium 3b
dan 4 CKD, pengobatan asidosis metabolik dengan natrium
bikarbonat juga telah terbukti secara signifikan meningkatkan fungsi
endotel vaskular.
Asidosis metabolik pada pasien CKD juga dapat diobati
dengan modifikasi pola makan. Pengurangan asam makanan dapat
dilakukan dengan membatasi asupan makanan penghasil asam seperti
protein hewani dan menekankan makanan penghasil basa seperti
buah-buahan dan sayuran
4) Ketoasidosis
Starvation dan penggunaan alkohol yang mengakibatkan
asidosis diobati dengan glukosa intravena, yang diberikan untuk
merangsang sekresi insulin dan menghentikan lipolisis dan ketosis.
Untuk ketoasidosis diabetik (DKA), insulin diberikan,
biasanya secara intravena, untuk memfasilitasi pengambilan glukosa
dalam sel, mengurangi glukoneogenesis, dan menghentikan lipolisis
dan produksi badan keton. Sebagai tambahan, saline normal diberikan
untuk mengembalikan volume ekstraseluler; penggantian kalium dan
fosfat juga mungkin diperlukan. Asidosis dikoreksi sebagian oleh
metabolisme keton menjadi HCO 3 - , sebagian dengan peningkatan
sekresi H + oleh duktus pengumpul, dan sebagian lagi dengan ekskresi
H + sebagai NH 4 + .
5) Asidosis Laktat
Peran terapi alkali masih kontroversial, beberapa penulis
merekomendasikan untuk menaikkan pH serum menjadi 7,20 jika
memungkinkan. Beberapa bukti menunjukkan, bagaimanapun, bahwa
HCO 3 - Terapi hanya menghasilkan peningkatan sementara dalam
serum HCO 3 - tingkat dan bahwa ini dapat menyebabkan asidosis
intraseluler dan memburuknya asidosis laktat. Selain itu, biasanya
diperlukan NaHCO 3 dalam jumlah besar , dan kelebihan volume
serta hipernatremia dapat terjadi. Dalam situasi seperti itu,
hemodialisis atau hemofiltrasi vena terus menerus dapat digunakan
untuk memperbaiki kelainan metabolik.
Jika proses yang mengarah ke asidosis laktat diperbaiki, asam
laktat dapat digunakan lagi oleh hati untuk menghasilkan HCO 3 -
pada basis ekuimolar. Ini penting, karena alkalosis rebound dapat
terjadi jika pasien menerima alkali dalam jumlah berlebihan selama
asidemia.
6) Keracunan Metanol atau Etilen Glikol
Pengobatan harus segera dimulai untuk mencegah gejala sisa
neurologis. Fomepizole (4-methylpyrazole; Antizol) adalah
penghambat kuat alkohol dehidrogenase dan sekarang menjadi terapi
pilihan, meskipun jauh lebih mahal daripada etanol. Fomepizole
diberikan sebagai dosis awal dan dilanjutkan selama beberapa dosis
sampai tingkat toksin menurun secara substansial. Kadar fomepizole
tidak perlu dipantau.
Etanol bersaing untuk alkohol dehidrogenase dan dapat
digunakan sebagai alternatif untuk fomepizole. Ini diberikan secara
oral atau intravena untuk menjenuhkan dehidrogenase alkohol, yang
memiliki afinitas lebih tinggi, sehingga menghambat metabolisme
metanol atau etilen glikol ke metabolit toksiknya. Tingkat etanol darah
harus dipertahankan pada 100-150 mg / dL.
B. Alkalosis Metabolik.
Penatalaksanaan alkalosis metabolik terutama bergantung pada
etiologi yang mendasari dan status volume pasien. Dalam kasus muntah,
berikan antiemetik, jika memungkinkan. Jika pengisapan lambung terus
menerus diperlukan, sekresi asam lambung dapat dikurangi dengan H2-
blocker atau lebih efisien dengan penghambat pompa proton. Pada pasien
yang menggunakan thiazide atau loop diuretik, dosis dapat dikurangi atau
obat dapat dihentikan jika sesuai. Acetazolamide juga tampak aman dan
efektif pada pasien dengan alkalosis metabolik setelah pengobatan asidosis
pernapasan akibat eksaserbasi penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
1) Alkalosis Responsif Klorida
Jika alkalosis responsif klorida terjadi dengan penipisan volume,
obati alkalosis dengan infus larutan natrium klorida isotonik intravena.
Karena jenis alkalosis ini biasanya berhubungan dengan hipokalemia,
gunakan juga kalium klorida untuk memperbaiki hipokalemia
tersebut. Jika alkalosis yang responsif terhadap klorida terjadi dalam
keadaan edema (misalnya, gagal jantung kongestif [CHF]), gunakan
kalium klorida sebagai pengganti natrium klorida untuk memperbaiki
alkalosis dan menghindari kelebihan volume. Jika diuresis diperlukan,
penghambat karbonat anhidrase (misalnya, acetazolamide) atau
diuretik hemat kalium (misalnya, spironolakton, amilorida, triamteren)
dapat digunakan untuk memperbaiki alkalosis.
2) Alkalosis Metabolik Tahan Klorida
Penatalaksanaan alkalosis metabolik resisten klorida didasarkan pada
penyebab spesifiknya.
 Hiperaldosteronisme primer
Alkalosis metabolik dikoreksi dengan spironolakton antagonis
aldosteron atau dengan diuretik hemat kalium lainnya
(misalnya amilorida, triamteren). Jika penyebab
hiperaldosteronisme primer adalah adenoma atau karsinoma
adrenal, operasi pengangkatan tumor harus memperbaiki
alkalosis. Pada hiperaldosteronisme yang dapat diperbaiki
glukokortikoid, alkalosis metabolik dan hipertensi responsif
terhadap deksametason.
 Sindrom Cushing
Diuretik hemat kalium harus memperbaiki alkalosis sampai
terapi bedah dilakukan. Terapi definitif termasuk mikroreseksi
transsphenoidal dari hormon adrenokortikotropik (ACTH) -
yang menghasilkan adenoma hipofisis dan adrenalektomi
untuk tumor adrenal.
Terapi Khusus di Semua Jenis Alkalosis Metabolik :
 Asam hidroklorik
HCl intravena diindikasikan pada alkalosis metabolik berat
(pH> 7,55) atau bila natrium atau kalium klorida tidak dapat
diberikan karena kelebihan volume atau gagal ginjal lanjut.
HCl juga dapat diindikasikan jika koreksi cepat dari
alkalosis metabolik yang parah diperlukan (misalnya,
aritmia jantung, ensefalopati hati, kardiotoksisitas
digoksin).
 Dialisis
Baik dialisis peritoneal dan hemodialisis dapat digunakan
dengan modifikasi dialisat tertentu untuk memperbaiki
alkalosis metabolik. Indikasi utama dialisis pada alkalosis
metabolik adalah pada pasien dengan gagal ginjal lanjut,
yang biasanya mengalami kelebihan volume dan resisten
terhadap acetazolamide.
Dengan hemodialisis, alkalosis metabolik dapat
dikoreksi dengan menggunakan dialisat rendah-bikarbonat
(bikarbonat bisa serendah 18 mmol / L). Jika tidak,
biofiltrasi bebas asetat (dialisat bebas penyangga), di mana
bikarbonat tidak terdapat dalam dialisat tetapi diinfuskan
secara terpisah sesuai kebutuhan, dapat digunakan. Pada
dialisis peritoneal, dialisis dapat dilakukan dengan
menggunakan larutan natrium klorida isotonik sebagai
dialisat.
C. Asidosis Respiratori
Terapi oksigen digunakan untuk mencegah gejala sisa dari
hipoksemia yang berlangsung lama. Tindakan terapeutik yang dapat
menyelamatkan nyawa pada hiperkapnia berat dan asidosis pernapasan
termasuk intubasi endotrakeal dengan ventilasi mekanis dan teknik
ventilasi tekanan positif noninvasif (NIPPV) seperti ventilasi tekanan
positif kontinu hidung (NCPAP) dan ventilasi bilevel hidung. Teknik
NIPPV yang terakhir adalah pengobatan untuk sindrom hipoventilasi
obesitas (OHS) dan gangguan neuromuskuler, karena mereka membantu
meningkatkan tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) dan menurunkan
tekanan parsial karbon dioksida arteri (PaCO2).
Alat ventilasi tekanan negatif eksternal non-invasif juga tersedia
untuk pengobatan pasien tertentu dengan gagal napas kronis. Koreksi
hiperkapnia yang cepat dengan penerapan ventilasi tekanan positif
noninvasif eksternal atau ventilasi mekanis invasif dapat menyebabkan
alkalemia. Oleh karena itu, teknik ini harus digunakan dengan hati-hati.
Beberapa penatalaksanaan lain :
1) Bronkodilator
Bronkodilator seperti agonis beta (misalnya, albuterol dan salmeterol),
agen antikolinergik (misalnya, ipratropium bromida dan tiotropium),
dan metilxantin (misalnya, teofilin) sangat membantu dalam mengobati
pasien dengan penyakit saluran napas obstruktif dan bronkospasme
berat. Teofilin dapat meningkatkan kontraktilitas otot diafragma dan
dapat merangsang pusat pernapasan.
2) Stimulan pernapasan
 Medroksiprogesteron meningkatkan dorongan pernapasan
sentral dan mungkin efektif dalam mengobati sindrom obesitas-
hipoventilasi (OHS). Medroksiprogesteron juga telah terbukti
merangsang ventilasi pada beberapa pasien COPD dan
hipoventilasi alveolar. Obat ini tidak memperbaiki frekuensi
apnea atau gejala kantuk pada pasien apnea tidur. Ada
peningkatan risiko tromboemboli dengan agen progestasional.
Banyak ahli yang tidak merekomendasikan penggunaan
medroksiprogesteron sebagai sarana untuk meningkatkan
ventilasi alveolar.
 Acetazolamide adalah diuretik yang meningkatkan ekskresi
bikarbonat dan menginduksi asidosis metabolik, yang kemudian
merangsang ventilasi. Namun, acetazolamide harus digunakan
dengan hati-hati dalam pengaturan ini. Mendorong asidosis
metabolik pada pasien dengan asidosis respiratorik dapat
menyebabkan pH yang sangat rendah. Jika sistem pernapasan
pasien tidak dapat mengimbangi asidosis metabolik yang
diinduksi, pasien mungkin menderita hiperkalemia dan
berpotensi aritmia jantung yang mengancam jiwa.
 Teofilin meningkatkan kekuatan otot diafragma dan
menstimulasi penggerak ventilasi sentral. Selain itu, teofilin
adalah bronkodilator.
3) Antagonis obat
Terapi obat yang ditujukan untuk membalikkan efek obat penenang
tertentu dapat membantu jika terjadi overdosis yang tidak disengaja atau
disengaja. Nalokson dapat digunakan untuk membalikkan efek narkotika.
Flumazenil dapat digunakan untuk membalikkan efek benzodiazepin.
Namun, perawatan harus diambil dalam membalikkan efek benzodiazepin
karena pasien mungkin mengalami kejang jika pembalikan benzodiazepin
dilakukan terlalu kuat.
4) Bikarbonat
natrium bikarbonat jarang diindikasikan. Pengukuran ini dapat
dipertimbangkan setelah serangan kardiopulmoner dengan pH yang sangat
rendah (<7.0-7.1). Dalam kebanyakan situasi lain, natrium bikarbonat
tidak berperan dalam pengobatan asidosis pernapasan.
D. Alkalosis Respiratori
1) Perawatan medis
Perawatan alkalosis terutama pada pernapasan ditujukan untuk
memperbaiki gangguan yang terjadi. Alkalosis prespiratori sendiri jarang
mengancam jiwa. Oleh karena itu, pengobatan darurat biasanya tidak
diindikasikan kecuali tingkat pH lebih dari 7,5. Karena alkalosis
respiratori biasanya terjadi sebagai respon akibat dari beberapa
rangsangan, pengobatan biasanya tidak berhasil kecuali rangsangan nya
yang dikendalikan. Jika PaCO2 diobati dengan cepat pada pasien dengan
alkalosis respiratori kronis, asidosis metabolik dapat terjadi karena
penurunan kompensasi ginjal pada bikarbonat serum.
Pada pasien dengan ventilasi mekanis yang mengalami alkalosis
respiratori, volume tidal dan / atau laju pernapasan mungkin perlu
diturunkan. Sedasi yang tidak adekuat dan kontrol nyeri dapat
menyebabkan alkalosis respiratori pada pasien yang bernapas melebihi
laju ventilator yang ditetapkan.
Pada sindrom hiperventilasi, pasien mendapat terapi pernapasan
ulang ke dalam kantong kertas selama periode akut, dan pengobatan untuk
stres psikologis. Sedatif dan / atau antidepresan harus disediakan untuk
pasien yang menggunakan pengobatan konservatif. Penghambat beta-
adrenergik dapat membantu mengontrol gejala keadaan hiperadrenergik
yang dapat menyebabkan sindrom hiperventilasi pada beberapa pasien.
Pada pasien yang mengalami hiperventilasi, pendekatan sistematis
harus digunakan untuk menyingkirkan penyebab organik yang berpotensi
mengancam jiwa terlebih dahulu sebelum mempertimbangkan gangguan
yang kurang serius.
2) Konsultasi
Berdasarkan temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, studi
laboratorium, dan modalitas pencitraan, kebutuhan bantuan dari konsultan
seperti ahli paru, ahli saraf, atau nephrologist dapat menentukan
penatalaksanaan selanjutnya untuk alkalosis respiratori.

PEMERIKSAAN GANGGUAN ASAM BASA


1. ANION GAP
Langkah terakhir dalam asesmen asam basa adalah menentukan Anion
Gap (AG). AG adalah selisih dari kation (positif) dan anion (negatif). Cairan
dalam tubuh adalah normal secara elektrikal, sehingga antara ion positif dan
negatif jumlahnya relatif sebanding.
a. Perhitungan Anion Gap (AG).
Dalam praktek sehari hari, pemeriksaan laboratorium yang rutin
adalah natrium, kalium, klorida dan ion bikarbonat. Berdasarkan
keempat elemen inilah perhitungan AG dilakukan. Jumlah anion yang
paling banyak di dalam tubuh adalah klorida dan bikarbonat. Dan
natrium adalah kation dengan jumlah terbanyak di dalam tubuh. Dan
dasar dari penghitungan AG adalah ketika natrium dan kalium
dijumlahkan, mereka akan melebihi jumlah dari anion klorida dan
bikarbonat. Perbedaan inilah yang disebut dengan Anion Gap (AG),
dimana persamaannya adalah Na + K Cl + HCO3 mmol/L. Namun
oleh karena kalium di ekstraseluler sangatlah rendah, maka jumlah
kalium dalam perhitungan AG sering diabaikan sehingga
perhitungannya menjadi lebih sederhana yaitu Na Cl + HCO3. Nilai
normal dari AG bervariasi, namun AG yang lebih besar dari 18 (bila
Kalium dihitung) dianggap meningkat dan dibawah 10 dianggap
berkurang.
b. Perhitungan Anion Gap Dengan Faktor Lain
Pada keadaan asidosis metabolik, adanya peningkatan AG
membuktikan adanya peningkatan asam kuat di cairan ekstraseluler.
Sementara itu, AG yang normal mengindikasikan adanya bicarbonat
loss dari suatu keadaan asidosis metabolik. Pada penghitungan AG ini,
ikut melibatkan Albumin, Asam asam organik, fosfat, sulfat (UA =
unmeasured anions), kalsium, kalium, magnesium (UC = unmeasured
cations). Dimana angka normal dari AG adalah UAUC = 12meq/L,
dengan range + 4meq/L
Berdasarkan AG, maka penyebab asidosis metabolik dapat dibagi
menjadi 2:
 High Anion Gap Asidosis Sumber yang paling sering dari
asidosis jenis ini adalah Asidosis Laktat, Ketoasidosis dan End
Stage Renal Failure (disebabkan hilangnya H+ melalui tubulus
distal ginjal). Penyebab yang lain adalah metanol, etilen glikol,
dan salisilat.
 Normal Anion Gap Asidosis
Penyebab asidosis jenis ini adalah diare, infus larutan salin
isotonik, dan early renal failure (disebabkan oleh hilangnya
reabsorpsi HCO3 di tubulus proksimal ginjal). Kehilangan
HCO3 inilah yang kemudian digantikan oleh klorida untuk
netralitas elektrik, oleh karena itu asidosis normal anion disebut
juga Hiperkloremik Asidosis. Pada High Anion Gap Asidosis,
asam asamnya berdisosiasi dan menghasilkan anion yang
menyeimbangkan penurunan HCO3, sehingga tidak terjadi
Hiperkloremik Asidosis.
2. ANALISIS GAS DARAH ARTERI (ABG)
Analisis gas darah arteri (ABG) diperlukan dalam evaluasi pasien dengan
dugaan asidosis pernapasan atau gangguan asam basa lainnya. Temuan
elektrolit serum abnormal yang paling umum pada asidosis respiratorik kronis
adalah adanya peningkatan konsentrasi bikarbonat serum sebagai
kompensasi.
Pengambilan sampel gas darah arteri (ABG) dengan tusukan vaskular
langsung adalah prosedur yang sering dilakukan di rumah sakit. Insiden
komplikasi mayor yang relatif rendah, digunakan oleh dokter untuk
mengarahkan pengobatan pasien, terutama pada pasien yang mengalami fase
kritis, untuk mengetahui tingkat pertukaran gas dalam darah yang
berhubungan dengan fungsi pernafasan, metabolisme, dan ginjal.
Pengambilan sampel ABG memberikan informasi berharga tentang
keseimbangan asam-basa. Pemeriksaan ini adalah satu-satunya penentuan
keberhasilan ventilasi yang dapat dilakukan. Ini merupakan pengukuran yang
lebih tepat antara pertukaran gas dan oksigenasi. Pengambilan sampel ABG
adalah satu-satunya cara untuk secara akurat menentukan gradien oksigen
arteri alveolar.
Karena hasil pengambilan sampel ABG hanya mencerminkan keadaan
fisiologis pasien pada saat pengambilan sampel, penting agar hasil tersebut
dikorelasikan secara cermat.
a. Indikasi :
Indikasi pengambilan sampel ABG meliputi :
 Identifikasi gangguan pernapasan, metabolik, dan asam basa
campuran, dengan atau tanpa kompensasi fisiologis, melalui kadar
pH ([H +]) dan CO 2 (tekanan parsial CO 2)
 Pengukuran tekanan parsial gas pernapasan yang terlibat dalam
oksigenasi dan ventilasi
 Pemantauan status asam basa, seperti pada pasien dengan
ketoasidosis diabetik (DKA) pada infus insulin; ABG dan gas darah
vena (VBG) dapat diperoleh secara bersamaan untuk perbandingan,
dengan pengambilan sampel VBG selanjutnya digunakan untuk
pemantauan lebih lanjut.
 Penilaian respon terhadap intervensi terapeutik seperti ventilasi
mekanis pada pasien dengan gagal napas
 Penentuan gas pernapasan arteri selama evaluasi diagnostik
(misalnya, penilaian kebutuhan terapi oksigen di rumah pada pasien
dengan penyakit paru kronis lanjut)
 Kuantifikasi oksihemoglobin, yang dikombinasikan dengan
pengukuran tekanan oksigen arteri (PaO2), memberikan informasi
yang berguna tentang kapasitas pembawa oksigen pasien
 Kuantifikasi tingkat dishemoglobin (misalnya, karboksihemoglobin
dan methemoglobin) Pengadaan sampel darah dalam keadaan darurat
akut ketika pengambilan sampel vena tidak memungkinkan (banyak
tes kimia darah dapat dilakukan dari sampel arteri)
b. Kontraindikasi
Kontraindikasi absolut untuk pengambilan sampel ABG meliputi:
 Tes Allen yang dimodifikasi secara abnormal (lihat Perencanaan
Praprosedural), dalam hal ini pertimbangan harus diberikan untuk
mencoba melakukan tusukan di lokasi yang berbeda
 Infeksi lokal atau kelainan anatomi di lokasi tusukan potensial
(misalnya, dari intervensi bedah sebelumnya, kelainan bawaan atau
didapat, atau luka bakar)
 Adanya fistula arteriovenosa atau cangkok vaskular, dalam hal ini
tusukan vaskular arteri tidak boleh dilakukan.
 Diketahui atau dicurigai adanya penyakit vaskular perifer parah pada
anggota gerak yang terlibat
Kontraindikasi relatif meliputi:
 Koagulopati parah
 Terapi antikoagulasi dengan warfarin, heparin dan turunannya,
inhibitor trombin langsung, atau inhibitor faktor X; aspirin bukanlah
kontraindikasi untuk pengambilan sampel pembuluh darah arteri
dalam banyak kasus
 Penggunaan agen trombolitik, seperti streptokinase atau aktivator
plasminogen jaringan
c. Prosedur :
1) Meminta persetujuan pasien
Petugas kesehatan harus menjelaskan prosedur pengambilan sampel
gas darah arteri (ABG) kepada pasien, dengan perhatian khusus pada
risiko dan manfaat yang terkait. Jika pasien dalam keadaan kritis
seperti pasien yang sakit kritis dengan dekompensasi cepat atau
pasien dengan tingkat kesadaran yang berubah (misalnya, dari
ensefalopati atau demensia lanjut). Persetujuan tertulis tidak
diperlukan.
2) Pemilihan lokasi tusukan
Pemilihan tempat penusukan. Ada tiga daerah tempat penusukan
yaitu (Arteri radial, brachial dan femoral)
3) Lakukan allen test
Allen test berfunhsi untuk menilai sirkulasi kolateral. Pasien diminta
untuk mengepalkan tinju beberapa kali hingga kulit palmar memucat
(lihat gambar kedua di bawah), kemudian melepas kepalan. Tangan
yang terlalu tegang atau jari yang melebar harus dihindari, karena
dapat menyebabkan hasil yang tidak normal. Tekanan pada arteri
ulnaris dilepaskan sementara oklusi arteri radial dipertahankan (lihat
gambar ketiga di bawah). Waktu yang dibutuhkan untuk pengisian
kapiler palmar dicatat.
4) Alat yang harus disipakan
 Sarung tangan non steril
 Alat suntik untuk pengambilan sampel
Alat suntik standar dengan jarum ukuran 25 dan kapasitas 3
mL (alat suntik berkapasitas lebih tinggi mungkin sulit untuk
digerakkan, dan ukuran jarum yang lebih kecil dapat
meningkatkan risiko hemolisis traumatis, menurunkan
keakuratan hemoglobin dan kalium pengukuran); jarum
berukuran 23 juga bisa digunakan.
 Siapkan heparin
Litium heparin - 1-2 mL litium heparin (1000 U / mL) heparin
harus sudah dimasukan kedalam spuit, dorong sedikit keluar,
lalu tutup kemnali spuit
 Jarum suntik ABG (alternatif)
Beberapa peralatan ABG berisi jarum suntik heparin yang
telah diisi sebelumnya bersama dengan selongsong jarum
pelindung dan tutup jarum suntik (lihat gambar kedua di
bawah); selongsong, saat masih menempel pada semprit,
mengunci jarum di dalam dirinya sendiri untuk mencegah
kontak langsung antara operator dan jarum; beberapa model
jarum suntik memiliki plunger berventilasi yang
memungkinkan operator untuk mengatur jumlah darah yang
akan diambil, dan dengan model ini, plunger ditempatkan di
tengah-tengah jarum suntik dan tidak ditarik ke belakang saat
tusukan dilakukan; sebelum prosedur, heparin yang telah diisi
akan dikeluarkan, dan plunger berventilasi kemudian diubah
posisinya pada tanda 2-mL
 Larutan kulit antiseptik
Klorheksidin dan povidon-iodin adalah larutan yang biasa
digunakan
 Kain kasa steril, 2 × 2 in. (5 × 5 cm)
 Plester
 Tas dengan es
 Wadah benda tajam
 Lidokain HCl 1% tanpa epinefrin (opsional)
 Jarum ukuran 25 dengan syringe untuk anestesi lokal
(opsional)
3. CHEM 7 ( TES KIMIA DARAH)
Chem 7 merupakan tes kimia yang melihat 7 zat berbeda yang ditemukan di
dalam darah.
7 komponen nya yaitu :
1) Natrium serum ( Na)
Natirum serum berfungsi untuk mengetahui fungsi ginjal, status hidrasi
& efek lain yang terkait dengan apa yang dikonsumsi. Natirum sodium
ini termasuk dalam muatan positif. Normalnya yaitu 136-144 mEq/L
2) Serum Kalium ( K)
Serum kalium ini untuk menunjukan tingkat kalium dalam darah.
Serum kalium juga termasuk dalam muatan positif. Normalnya yaitu
3,7-5,2 mEq/L
3) Serum Chloride ( CI)
Serum chloride (CI) untuk menunjukan tingkat klorida dalam darah. Ini
termasuk dalam muatan negative. Normalnya 96-106 mmol/L
4) HCo3- atau CO2
Karbon dioksida (CO2) untuk mengukur kadar karbon dioksida di
dalam darah. Ini termasuk dalam muatan negative. Normalnya adalah
23-29 mmol/L
5) Nitrogen Urea Darah (BUN)
Nitrogen Urea Darah (BUN) untuk menilai fungsi ginjal. Normalnya
adalah 7-20 mg/dl
6) Kreatinin
Produk pemecahan kreatinin adalah komponen penting otot
dieksresikan secara khusus oleh ginjal. Normalnya adalah 0,8-1,4 mg/dl
7) Glukosa
Glukosa untuk mengetahui kadar gula dalam darah. Normalnya 64-100
mg/dl
LINK VIDEO :

https://www.youtube.com/watch?v=1Q96vhCVxn4 (Respiratory System


Anatomy | Arterial Blood Gas (Part 1)
https://www.youtube.com/watch?v=EFGMf5CYGnM Acid-Base Disorders

https://www.youtube.com/watch?v=sQnEFVNrY74 Anion Gap EXPLAINED


DAFTAR PUSTAKA

https://emedicine.medscape.com/article/242975-treatment#d17
https://emedicine.medscape.com/article/301680-overview-treatment?
src=mbl_msp_iphone
https://emedicine.medscape.com/article/301574-overview-overview?
src=mbl_msp_iphone
https://emedicine.medscape.com/article/1902703-overview#a4
Guyton, A. C., & Hall, J. E. (2006). GUYTON & HALL: Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran (12th ed.).
Putu Aksa Viswanatha, d. K. (2017). KESEIMBANGAN ASAM BASA.
BAGIAN/SMF ILMU ANESTESIA DAN TERAPI INTESIF FK
UNUD/RSUP SANGLAH 2017.
Sherwood, L. (2010). FISIOLOGI MANUSIA. BROOKS/COLE
CENGAGELearning. file:///C:/Users/ASUS/Downloads/Sherwood.pdf
Siahaan, R. R. M., Kedokteran, F., Padjadjaran, U., Intensive, K., Fakultas,
C., & Padjadjaran, K. (2020). Asam Basa Pendekatan Tradisional Vs
Pendekatan. Ilmiah WIDYAKesehatan Dan Lingkungan, 1.

Anda mungkin juga menyukai