Anda di halaman 1dari 50

MAKALAH MK PATOFISIOLOGIS

ASUHAN LANJUT DENGAN PENDEKATAN


HOLISTIC PADA KASUS ISPA

DOSEN :

Atik Ismiyati, SST,M.Keb

DISUSUN OLEH :

Lia badria (P07124520100)


Silfa iryani (P07124520101)
Marita Mardiastuti (P07124520102)

PROGRAM STUDI PROFESI KEBIDANAN


JURUSAN KEBIDANAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN
YOGYAKARTA
TAHUN 2020
BAB 1

KAJIAN TEORI

A. Pengertian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)


Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah infeksi saluran
pernafasan akut yang menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang
berlangsung kurang lebih 14 hari, ISPA mengenai struktur saluran di
ataslaring, tetapi kebanyakan penyakit ini mengenai bagian saluran atas
danbawah secara stimulan atau berurutan (Muttaqin, 2008). ISPA adalah
penyakit yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran
pernafasan mulai dari hidung hingga alveoli termasuk jaringan adneksanya
seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Jadi disimpulkan bahwa
ISPA adalah suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi yang terjadi
disetiap bagian saluran pernafasan atau struktur yang berhubungan dengan
pernafasan yang berlangsung tidak lebih dari 14 hari.
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) telah menjadi penyakit
umumbagi masyarakat. ISPA berdasarkan wilayah infeksinya terbagi
menjadi infeksi saluran pernapasan atas dan infeksi saluran pernapasan
bawah.Penyebab dari infeksi saluran pernapasan pada umumnya yaitu
dikarenakan adanya berbagai mikroorganisme, namun yang terbanyak
yakni karena adanyainfeksi virus dan bakteri. Penyakit yang termasuk
kedalamISPA adalah influenza, campak, faringitis, trakeitis, bronchitis
akut, bronkiolitis dan pneumonia (Depkes RI)
Infeksi saluran pernapasan dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu
pneumonia dan bukan penumonia. Penyakit-penyakit yang berada dalam
kelompok bukan pneumonia adalah rinitis, faringitis, tonsilitis danpenyakit
jalan napas bagian atas lainnya. Ditengarai dalam survei tersebut bahwa
ISPA merupakan pandemic yang kurang mendapat perhatian dan perlu
ditangani secara lintas sektor. Gejala pneumonia mungkin sulit dikenali
oleh orang awam maupun tenaga kesehatan tidak terlatih.Mengingat
bahwa pneumonia merupakan penyakit yang telah ada sejak dahulu, maka
telah timbul kebiasaan dan kepercayaan yang berkembang dimasyarakat
yang bayinya pernah menderita pneumonia.

B. Klasifikasi ISPA
ISPA dibagi menjadi infeksi saluran pernafasan bagian atas (Upper
Respiratory Tract Infections) dan infeksi saluran pernafasan bagian bawah
(Lower Respiratory Tract Infectons). Klasifikasi penyakit ISPA dibedakan
untuk golongan umur dibawah 2 bulan dan golongan 2 bulan- 5 Tahun
(Kemenkes RI,2019)
1. Golongan umur 2 bulan-5 tahun
a. Pneumonia Berat
Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan di dinding dada
bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas (pada
saatdiperiksa anak harus dalam keadaan tenang, tidak menangis
ataumeronta) atau saturnasi oksigen < 90 %.
b. Pneumonia sedang
Bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah:
1) Untuk usia 2 bulan-12 bulan = 50 kali per menit atau lebih
2) Untuk usia 1-4 tahun = 40 kali per menit atau lebih.
c. Bukan Pneumonia
Tidak ada tanda-tanda pneumonia berat maupun pneumonia.
Tanda bahaya untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun yaitu:
1) Tidak bisa minum
2) Kejang
3) Kesadaran menurun
4) Stridor
5) Gizi buruk
2. Golongan umur 2 bulan
a. Pneumonia Berat
Bila disertai salah satu tanda tarikan kuat di dinding pada
bagianbawah atau napas cepat.Batas napas cepat untuk
golongan umurkurang 2 bulan yaitu 60x per menit atau lebih.
b. Bukan Pneumonia (batuk pilek biasa)
Bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian
bawahatau napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur
kurang 2bulan, yaitu:
1) Kejang
2) Kesadaran menurun
3) Stridor
4) Wheezing
5) Demam / dingin

Menurut Depkes RI tahun2012, klasifikasi ISPA dapat dibedakan


berdasarkan berat ringannya gejala yang ditimbulkan, yaitu tanda dan
gejala ringan (bukan pneumonia), sedang (pneumonia sedang/pneumonia),
dan berat (pneumonia berat). Penyakit batuk-pilek seperti rinitis, faringitis,
tonsilitis dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya digolongkan sebagai
bukan pneumonia.
1. Ringan (Bukan Pneumonia)
Tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
(TDDK), batuk tanpa pernafasan cepat atau kurang dari 40 kali/menit,
hidung tersumbat atau berair, tenggorokan merah, dan telinga berair.
Tanda emergency untuk golongan umur 2 bulan- 5 tahun yaitu tidak
bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, dan gizi buruk.
2. Sedang (Pneumoni sedang/pneumoni)
Tidak ada TDDK, batuk dan nafas cepat tanpa stridor, gendang
telinga merah, dari telinga keluar cairan kurang dari 2 minggu.
Faringitis purulen dengan pembesaran kelenjar limfe yang nyeri tekan
(adentis servikal).
3. Berat ( Penumoni Berat)
Terdapat TDDK pada waktu anak menarik nafas (pada saat
diperiksa anak harus dalam keadaan tenang, tidak menangis atau
meronta),batuk dengan nafas berat, cepat dan stridor, membran
keabuan ditaring, kejang, apnea, dehidrasi berat / tidur terus, sianosis
dan adanya penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke
dalam.

C. Anatomi dan Fisiologi Sistem Respirasi Anak


Tabel 1. Anatomi dan Fisiologi Sistem Respirasi Anak
Anatomi Pediatric Adult
Tongue Large Normal
Epiglottiss Shape Floppy, omega shaped Firm, Flatter
Epiglottis Level Level C3-C4 Level of C5-C6
Trackea Smaller, shoter Wider,longer
Larynx Shape Funnel shaped column
Llarynx Position Angel Posteriorly away Straight up and down
from glottis
Narrowest Point Sub-glottic region At level of vocal cords
Lung Volume 250ml at birth 6000 as adult

1. Pembagian sistem respirasi anak berdasarkan posisi anatomi


a. Atas
1) Rongga hidung
2) Sinus paranasalis
3) Faring ( nasofaring, orofaring, laringorofaring)
a. Bawah
1) Laring
2) Trakea
3) Bronkus
4) Bronkiolus
5) Alveoli
b. Pembagian sistem respirasi berdasarkan fungsi
a. Pars konduktiva
1) Hidung
2) Rongga hidung
3) Faring
4) Laring
5) Trakea
6) Nronkus
7) Broniolus terminalis
b. Pars respiratoria
1) Bronkiolus respitorius
2) Duktus alveolaris
3) Sakus alveolaris
4) Alveoli

D. Etiologi
ISPA disebabkan oleh bakteri atau virus yang masuk kesaluran
nafas dan menimbulkan reaksi inflamasi. Selain itu polusi dari bahan
bakar kayu tersebut mengandung zat-zat seperti Dry basis, Ash, Carbon,
Hidrogen, Sulfur, Nitrogen dan Oxygen juga bisa menyebabkan ISPA
karena sangat berbahaya bagi kesehatan pernafasan. Infeksi Saluran
Pernafasan Atas disebabkan oleh bakteri dan virus yang jumlahnya lebih
dari 300 macam.
Infeksi saluran pernafasan bawah terutama pneumonia disebabkan
oleh bakteri dari genus streptokokus, haemofilus, pnemokokus, bordetella
korinebakterium, dan virus miksovirus, koronavirus, pikornavirus dan
herpesvirus. Berdasarkan penelitian virus yang paling sering menyebabkan
ISPA pada balita adalah influenza-A, adenovirus, dan parainfluenza virus.
Tabel 2. Etiologi ISPA
Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang
Lahir- 20 Bakteri Bakteri
hari
E.colli Bakteri Anaerob
Streptococcus grub B Sstreptococus grub D
Listeria monocytogenes Haemophilus Influenza
Streptococus Pneumonie
Virus
CMV
HMV
3 minggu-3 Bakteri Bakteri
bulan
Clamydia pneumonia Bordetella pertusis
Streptococus pneumoniae Haemophilus influenza tipe
b
Virus Moraxella catharalis
Adenovirus Staphylacocus aerosus
Influenza Virus
Parainfluenza 1,2,3 CMC
4 bulan-5 Bakteri Bakteri
tahun
Clamydia pneumoniae Haemophillus influenza tipe
B
Streptococus pneumoniae Legionella sp
Mycoplasma pneumoniae Staphyloccocus aerosus
Virus Virus
Adenovirus Adenovirus
Rinovirus Epstein- barr
Influenza Rinovirus
Parainfluenza Varisela zoster
Influenza/ parainfluenza
E. Patogenesis
Infeksi patogen mudah terjadi pada saluran nafas yang sel-sel
epitel mukosanya telah rusak akibat infeksi yang terdahulu. ISPA
melibatkan invasi langsung ke dalam mukosa yang melapisi saluran
pernafasan. Inokulasi atau masuknya bakteri atau virus terjadi ketika
tangan seseorang kontak dengan patogen, kemudian orang tersebut
memegang hidung atau mulut, atau ketika seseorang secara langsung
menghirup droplet dari batuk penderita ISPA.
Setelah terjadinya inokulasi, virus dan bakteri akan melewati
beberapa pertahanan tubuh, seperti pertahanan fisik dan mekanikal,
humoral, pertahanan imunitas. Pertahanan fisik dan mekanikal seperti
rambut halus yang melapisi hidung sehingga dapat menangkap dan
menyaring patogen, lapisan mukosa banyak terdapat pada saluran
pernafasan atas sehingga dapat mencegah masuknya bakteri yang
potensial, sudut yang dihasilkan dari persimpangan antara hidung dan
faring menyebab kanpartikel-partikel besar akan jatuh kebelakang
tenggorokan, sel-sel bersilia pada saluran pernafasan bawah menangkap
dan membawa patogen kembali ke faring dan dari situ pathogen tersebut
akan dibawa ke lambung.
Inflamatory cytokines dari sel host memediasi respon imun untuk
menyerang patogen. Flora normal nasofaring seperti spesies staphilokokus
dan sterptokokus membantu pertahanan melawan patogen yang potensial.
Pasien dengan fungsi imun dan humoral yang kurang optimal
meningkatkan risikotertular ISPA, dan mereka berada dalam risiko tinggi
untuk penyakit yang lebih lama dan berat.
Penyebaran virus dari manusia ke manusia sering terjadi pada
ISPA. Patogen menyebabkan kerusakan dengan berbagai mekanisme
seperti dengan memproduksi toxin, protease, dan faktor dari bakteri
sendiri seperti pembentukan kapsul yang tahan terhadap fagositosis
Waktu inkubasi sebelum munculnya gejala sangat bervariasi tergantung
darijenis patogen yang meninfeksi. Rhinovirus dan grup A dari
streptokokusmungkin memiliki masa inkubasi 1 – 5 hari, influenza dan
parainfluenzamungkin memiliki masa inkubasi 1 – 4 hari, dan respiratory
syncytial virus (RSV) mungkin memiliki masa inkubasi sampai satu
minggu.Infeksi awal pada nasofaring mungkin menyerang beberapa
struktursaluran nafas dan menyebabkan sinusitis, otitis media, epiglottitis,
laringitis,trakeobronkitis, dan pneumonia. Inflamasi yang menyerang pada
level epiglotis dan laring dapat membahayakan jalannya udara terutama
pada balita.
F. Manifestasi klinis
ISPA merupakan proses inflamasi yang terjadi pada setiap bagian
saluran pernafasan atas maupun bawah, yang meliputi infiltrat
peradangandan edema mukosa, kongestif vaskuler, bertambahnya sekresi
mukus serta perubahan struktur fungsi siliare (Muttaqin, 2008). Tanda dan
gejala ISPA banyak bervariasi antara lain demam, pusing, malaise (lemas),
anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus (muntah), photophobia (takut
cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret, stridor (suaranafas), dyspnea
(kesakitan bernafas), retraksi suprasternal (adanya tarikandada), hipoksia
(kurang oksigen), dan dapat berlanjut pada gagal nafasapabila tidak
mendapat pertolongan dan mengakibatkan kematian.. Sedangkan tanda
gejala ISPA menurut Depkes RI (2002) adalah :
1. Gejala dari ISPA Ringan
Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika
ditemukan satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:
a. Batuk
b. Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan
suara(misal pada waktu berbicara atau menangis).
c. Pilek, yaitu mengeluarkan lender atau ingus dari hidung.
d. Panas atau demam, suhu badan lebih dari 370 C atau jika dahi
anakdiraba.
2. Gejala dari ISPA Sedang
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai
gejala dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala
sebagaiberikut:
a. Pernafasan lebih dari 50 kali per menit pada anak yang
berumurkurang dari satu tahun atau lebih dari 40 kali per menit
pada anakyang berumur satu tahun atau lebih. Cara menghitung
pernafasanialah dengan menghitung jumlah tarikan nafas dalam
satu menit.Untuk menghitung dapat digunakan arloji.
b. Suhu lebih dari 390C (diukur dengan termometer).
c. Tenggorokan berwarna merah.
d. Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak
campak.
e. Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga.
f. Pernafasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur).
g. Pernafasan berbunyi menciut-ciut.
3. Gejala dari ISPA berat
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai
gejala-gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau
lebih gejala-gejala sebagai berikut:
a. Bibir atau kulit membiru
b. Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada
waktu bernafas.
c. Anak tidak sadar atau kesadaran menurun.
d. Pernafasan berbunyi seperti orang mengorok dan anak tampak
gelisah.
e. Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas.
f. Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba.
g. Tenggorokan berwarna merah.

G. Faktor yang Mempengaruhi ISPA


Faktor yang mempengaruhi adalah faktor yangmemudahkan
terjadinya penyakit. Menurut Depkes RI 2001, faktor-faktor yang
meningkatkan insiden ISPA adalah sebagaiberikut:
1. Umur anak
Adanya hubungan antara umur anak dan ISPA mudah
dipahami, karena semakin muda umur balita, maka akansemakin
sering terkena penyakit infeksi karena sistemimunitas yang belum
sempurna.ISPA yang terjadi pada balita menggambarkan
gambaranklinis yang lebih jelek dari orang dewasa. Gambaran
klinisakan lebih berat terutama yang disebabkan oleh virus padabalita.
Bayi dan balita mudah terserang infeksi karena organpernafasan yang
belum kuat.
2. Gizi Kurang
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat darikonsumsi
makanan dan penggunaan zat-zat gizi.Keadaan gizi buruk muncul
akibat faktor yang pentinguntuk terjadinya ISPA. Penelitian banyak
membuktikanbahwa adanya hubungan gizi buruk dengan infeksi
paru,sehingga anak-anak dengan status gizi buruk seringmenderita
pneumonia. Disamping itu, adanya hubunganantara gizi buruk dan
terjadinya campak serta infeksi viruslainnya serta menurunnya sistem
kekebalan tubuh terhadapinfeksi. Balita dengan status gizi kurang akan
memudahkanterserangnya penyakit ISPA dibandingkan balita
denganstatus gizi baik karena daya tahan tubuh yang
kurang.Sedangkan penyakit infeksi menyebabkan nafsu makanbalita
mengalami penurunan sehingga mengakibatkan kekurangan gizi. Pada
kasus balita gizi kurang balita lebihmudah terserang ISPA berat
bahkan serangannya lebihlama. Pada penelitian di Philipina
menemukan bahwa peningkatan risiko ISPA pada anak dengan z-score
kurang dari -3 untuk indikator BB/U.
3. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
BBLR dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas akibat ISPA.
Bayi dengan BBLR memiliki risiko 50% lebih besar dibanding bayi
dengan berat lahir ≥2500 gram untuk terkena pneumonia. BBLR juga
dikaitkan dengan episode batuk dan sesak nafas berulang pada anak
ditahun pertama kehidupannya. Peningkatan risiko morbiditas dan
mortalitas pada bayi BBLR kemungkinan karena pembentukan zat anti
kekebalan kurang sempurna atau fungsi paru-paru yang belum
sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama
pneumonia dan penyakit infeksi saluran pernafasan lainnya (Lanata
dan Black, 2008).
4. ASI Eksklusif
ASI eksklusif ditegakkan bila anak umur 0-6 bulan hanya
diberi ASI saja pada 24 jam terakhir dan tidak diberi makanan dan
minuman lain selain ASI (Riskesdas, 2013). Kurangnya konsumsi ASI
diidentifikasi sebagai faktor risiko utama meningkatkan angka
morbiditas dan mortalitas pada anak dengan ISPA. Hal tersebut
dikarenakan ASI mengandung substansi-substansi anti bakteri dan anti
virus yang melindungi bayi terhadap ISPA (Lanata dan Black, 2008).
5. Imunisasi
Ada dua jenis imuniasasi yaitu imunisasi aktif dan imunisasi
pasif. Pemberian imunisasi pada anak biasanya dilakukan dengan cara
imunisasi aktif, karena imunisasi aktif akan memberi efek kekebalan
yang lebih lama. Imunisasi pasif diberikan saat keadaan yang
mendesak, yaitu bila tubuh anak diduga belum mempunyai kekebalan
ketika terinfeksi oleh kuman penyakit yang ganas. Imunisasi tidak
memadai menyebabkan kurangnya imunitas pada tubuh anak sehingga
lebih mudah terkena penyakit infeksi (Depkes, 2002a).
6. Kepadatan Hunian
Banyaknya jumlah anggota dapat mempengaruhi terjadinya
risiko ISPA karena kurangnya udara bersih di dalam rumah dan jika
anggota keluarga yang terkena penyakit infeksi akan memudahkan
penularannya pada anggota keluarga yang lain (Wati, 2005).
Kepadatan hunian dalam rumah menurut keputusan menteri kesehatan
nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan
rumah, satu orang minimal menempati luas rumah 8 m 2 dengan kriteria
tersebut diharapkan dapat mencegah penularan penyakit infeksi dan
melancarkan aktivitas. ISPA bila mengenai saluran pernafasan bawah,
khususnya pada bayi, anak-anak dan orang tua, memberikan gambaran
klinis yang berat dan jelek, berupa bronkitis dan banyak berakhir
dengan kematian. ISPA disebabkan karena virus maka yang lebih
rentan terkena yaitu perempuan dibanding laki-laki namun pada waktu
mensis mereka lebih tahan terhadap infeksi virus (Depkes, 2002a).

H. Penatalaksanaan Kasus ISPA


Kemenkes RI (2019) penatalaksaan ISPA berdasarkan klasifikasi ISPA:
1. Batuk tanpa pneumonia
a. Beri pelega tenggorokan dan pereda batuk yang aman
b. Obati wheezing bila ada
c. Apabila batuk > 14 hari rujuk untuk pemeriksaan TB dan sebab
lain
d. Nasihati kapan kembali segera
e. Kunjungan ulang 2 hari jika tidak ada perbaikan
2. Pneumonia
a. Beri amoksilin 2x sehari selama 3 hari atau 5 hari
b. Beri pelega tenggorokan dan pereda batuk yang aman
c. Obati wheezing bila ada
d. Apabila batuk> 14 hari RUJUK untuk pemeriksaan lanjutan
e. Nasehati kapan kembali segera
f. Kunjungan ulang 2 hari
3. Pneumonia berat
a. Beri oksigen maksimal 2-3 liter/menit dengan menggunakan nasal
prolong
b. Beri dosis pertama antibiotik yang sesuai
c. Rujuk segera.
**
Jika rujukan tidak memungkinkan, tangani anak sesuai dengan
pedoman nasional rujukan pneumonia atau sesbagaimana pada
buku saku tatalaksanan anak di RS
***
Pemberian amoksilin oral untuk 5 hari dapat digunakan pada pasien
dengan pneumonia disertai klasifikasi terpajan HIV, diduga
terinfeksi HIV atau infeksi HHIV terkonfirmasi. Dimaksud kata
RUJUK disini adalah ke dokter Puskesmas, Puskesas perawatan
atau RS.
Tatalaksana wheexing pada pneumonia berat dilakukan difasilitas
kesehatan rujukan kecuali untuk yang membutuhkan waktu yang
lama.

Untuk pneumonia: Beri antibiotik amoksilin oral


Berat Amoksilin 45 mg/kgBB
Badan
2 x sehari selama 3 hari untuk Pneumonia
2x sehari 5 hari untuk pneumonia dengan klasifikasi HIV
merah
Tablet (500mg) Sirup
125 mg/5 ml 250 mg/ 5 ml
4-<6 kg 1/2 10 ml 5 ml
6-< 10 kg 3/4 12 ml 7,5 ml
10-<16 kg 1 1/4 25 ml 10 ml
16-<19 kg 1 1/2 30 ml 12,5 ml
\
Amoksilin adalah obat pilihan yang dianjurkan karena efikasinya dan
tingginya resistensi terhadap kotrimoksasol. Jika tidak merespon dengan
amoksilin berikan Erittromisin 500mg/KgBB dalam 3 dosis pemberian
BAB II
TINJAUAN KASUS

A. Kasus ISPA
Anak R umur 15 bulan dengan ISPA ringandi Puskesmas
Tawangsari, Kecamatan Tawangsari, Kabupaten Sukoharjopada tanggal 6
Juli 2020. Format asuhan kebidanan pada balita sakit menurut Hellen
Varney meliputi pengkajian, interpretasi data, diagnose potensial,
antisipasi tindakan segera, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
B. Dokumentasi Kebidanan
Ruang : Periksa
Tanggal : 6 Juli 2020
I. Pengkajian
Tanggal : 6 Juli 2020 Pukul : 08.50 WIB
A. Identitas
1. Identitas Anak
a. Nama : An. R
b. Umur : 15 bulan
c. Jenis kelamin : Laki-laki
d. Anak ke :3
e. Alamat : Cemetuk Lorog, Tawangsari, Sukoharjo
2. Identitas Ibu Identitas Ayah
Nama : Ny. S Nama : Tn. S
Umur : 32 tahun Umur : 40 tahun
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : SD Pendidikan : SMP
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Buruh
Alamat : Cemetuk Lorog, Tawangsari,Sukoharjo
B. Anamnesa (Data Subyektif)
1. Alasan datang ke puskesmas:
Ibu mengatakan ingin memeriksakan anaknya yang sejak
kemarin batuk, pilek dan ibu juga mengatakan anaknya belum
diberi obat apapun.
2. Riwayat kesehatan
a. Imunisasi
Ibu mengatakan :
1) BCG : Tanggal 1 Mei 2019
2) DPT 1 : Tanggal 1 Juni 2019
3) DPT 2 : Tanggal 1 Juli 2019
4) DPT 3 : Tanggal 7 Agustus 2019
5) Polio 1 : Tanggal 1 Mei 2019
6) Polio 2 : Tanggal 1 Juni 2019
7) Polio 3 : Tanggal 1 Juli 2019
8) Polio 4 : Tanggal 7 Agustus 2019
9) Campak : Tanggal 8 Januari 2020
10) Imunisasi yang lain : Tidak ada
b. Riwayat penyakit yang lalu
Ibu mengatakan sebelumnya, anaknya belum pernah
menderita penyakit apapun yang menyebabkan harus dibawa
ke rumah sakit.
c. Riwayat penyakit sekarang
Ibu mengatakan bahwa anaknya sekarang sedang menderita
batuk, pilek, sejak kemarin.
d. Riwayat penyakit keluarga/menurun
Ibu mengatakan dalam keluarganya maupun keluarga
suaminya tidak ada yang mempunyai riwayat penyakit
menurun seperti DM, Jantung, Asma dan tidak ada yang
menderita penyakit menular seperti hepatitis, TBC.
3. Riwayat sosial
a. Yang mengasuh
Ibu mengatakan mengasuh anaknya dengan suami.
b. Hubungan dengan anggota keluarga
Ibu mengatakan hubungan dengan anggota keluarga baik dan
harmonis.
c. Hubungan dengan teman sebaya
Ibu mengatakan anak senang bermain-main dengan teman
sebayanya.
d. Lingkungan rumah
Ibu mengatakan lingkungan rumah aman, rapi dan bersih,
letak rumah berdekatan dengan rumah yang lain, jumlah
anggota keluarga 5 orang.
4. Pola kebiasaan sehari-hari
a. Nutrisi
1) Makanan yang disukai
Ibu mengatakan makanan yang disukai anaknya antara
lain nasi, sayur, lauk, buah, ASI, roti/biskuit.
2) Makanan yang tidak disukai : tidak ada
3) Pola makan yang digunakan
Sebelum sakit :
a) Pagi: Ibu mengatakan anaknya makan pagi pukul 07.00
WIB, jenis makanan nasi, sayur, lauk, jenis minumanair
putih, ASI.
b) Siang: Ibu mengatakan anaknya makan siang pukul
11.30 WIB, jenis makanan nasi, sayur, lauk, buah
(pisang, pepaya), jenis minuman air putih, ASI.
c) Malam: Ibu mengatakan anaknya makan malam
pukul18.00 WIB, jenis makanan nasi, sayur, lauk, jenis
minuman air putih, ASI.
Selama sakit :
a) Pagi: Ibu mengatakan anaknya makan pagi pukul 07.00
WIB, jenis makanan nasi, sayur, lauk, jenis minuman
air putih, ASI.
b) Siang: Ibu mengatakan anaknya makan siang pukul
11.30 WIB, jenis makanan nasi, sayur, lauk, buah
(pisang, pepaya), jenis minuman air putih, ASI.
c) Malam: Ibu mengatakan anaknya makan malam
pukul 18.00 WIB, jenis makanan nasi, sayur, lauk, jenis
minuman air putih, ASI.
b. Istirahat / tidur
1) Tidur siang
a) Sebelum sakit: Ibu mengatakan setiap hari anaknyatidur
siang mulai jam 11.30 WIB ± 2-3 jam /hari.
b) Selama sakit: Ibu mengatakanselamasakit
polaistirahat anaknya tidak ada perbedaan dengan
sebelum sakit, anak tidur siang mulai jam 11.30 WIB ±
2-3 jam/hari.
2) Tidur malam
a) Sebelum sakit: Ibu mengatakan tidur lamanya ± 10-
11jam, kadang terbangun untuk minum dan kadang
ngompol.
b) Selama sakit: Ibu mengatakan tidur lamanya ± 10jam
sering terbangun karena batuk.
c. Mandi
1) Sebelum sakit: Ibu mengatakan anaknya mandi 2 kali
sehari, ganti baju sewaktu-waktu ketika baju kotor terkena
kencing, berak atau keringat dan selesai mandi.
2) Selama sakit: Ibu mengatakan anaknya tidak dimandikan
karena masih demam dan hanya dibasuh dengan air
hangat.
d. Aktivitas
Ibu mengatakan sehari-hari anak bermain dengan teman
sebayanya dengan pengawasan ibu/ayah.
e. Eliminasi
1) BAK : Ibu mengatakan ± 5 – 6 x/hari, warna kuning
jernih.
2) BAB : Ibu mengatakan ± 1 – 2 x/hari, warna kuning,
konsistensi lunak.
C. Pemeriksaan Fisik (Data Obyektif)
Tanggal : 6 Juli 2020 Pukul : 08.55 WIB
1. Keadaan umum
a. Keadaan umum : Baik
b. Kesadaran : Composmentis
c. TTV : S : 36,3o C, R : 33x /menit, N: 110x /menit
d. BB/TB : 8400 gram/ 86 cm
e. LK/LLA : 45 cm/15 cm
2. Pemeriksaan Fisik
a. Kulit: Bersih, lembut, turgor baik.
b. Muka: Simetris kanan dan kiri, tidak ada oedema, tidak
pucat.
c. Mata: Simetris kanan kiri, conjungtiva merah muda, sklera
putih dan bersih.
d. Telinga: Kanan dan kiri simetris, bersih, tidak ada
kotoran dan tidak ada cairan yang keluar.
e. Hidung: Hidung simetris, terdapat cairan/lendir berwarna
jernih dan encer, kulit hidung bagian luar tampak kemerahan.
f. Mulut: Bibir berwarna merah muda, lidah bersih, tidak ada
stomatitis,gusi tidak bengkak/berdarah, tenggorokan
kemerahan, tumbuh gigi seri sebanyak 4 buah bagian atas 2
buah bagian bawah.
g. Dada: Tidak ada tarikan dinding dada saat bernafas, tampak
simetris, tidak ada bunyi stridor dan tidak ada bunyi weezing.
h. Perut: Tidak ada nyeri tekan dan tidak kembung.
i. Ekstremitas : Dapat bergerak aktif/bebas,simetris kanan dan
kiri, jari-jari tangan dan kaki lengkap, tidak ada kelainan.
j. Pemeriksaan tingkat perkembangan
1) Perkembangan motorik kasar : Berjalan
2) Perkembangan motorik halus : Mencoret-coret
3) Perkembangan bahasa
a) Mengerti dan melakukan perintah sederhana atau
larangan dari orang lain.
b) Mengulang bunyi yang didengarnya
c) Dapat mengatakan 5-10 kata
4) Perkembangan tingkah laku social
Memperlihatkan minat dan rasa ingin tahu yang besar
terhadap hal-hal yang ada disekitarnya
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium : tidak dilakukan
b. Pemeriksaan penunjang lain : tidak dilakukan

II. Interpretasi Data


Tanggal : 6 Juli 2020 Pukul : 09.00 WIB
A. Diagnosa kebidanan
An. R umur 15 bulan dengan ISPA ringan
Data Dasar
1. Data Subyektif :
a. Anak lahir tanggal 5 April 2019
b. Ibu mengatakan anaknya berumur 15 bulan
c. Ibu mengatakan anaknya batuk dan pilek sejak satu hari
yang lalu dan anak agak rewel
2. Data Obyektif :
a. Keadaan umum: baik
b. Kesadaran : composmentis
c. TTV
S : 36,3 °C
N : 110 x/menit
R : 33 x/menit
d. BB/TB : 8400 gram/86 cm
e. LK/LLA : 45 cm/ 15 cm
f. Telinga : Kanan dan kiri simetris, bersih tidak ada serumen
dan tidak ada cairan yang keluar.
g. Hidung : Hidung simetris, terdapat cairan/lendir berwarna
jernih dan encer, kulit hidung bagian luar tampak
kemerahan.
h. Mulut : Bibir berwarna merah muda, lidah bersih, gusi tidak
bengkak/berdarah, tenggorokan merah.
i. Dada : Tidak ada tarikan dinding dada saat bernafas,
tampak simetris, tidak ada bunyi stridor dan tidak ada bunyi
weezing.
B. Masalah
Anak batuk pilek dan rewel
C. Kebutuhan
1. Beritahu ibu agar anaknya istirahat cukup.
2. Anjurkan ibu untuk menenangkan/memberikan rasa nyaman
pada anaknya.

III. Diagnosa Potensial


ISPA Sedang
IV. Antisipasi / Tindakan Segera
Memberikan terapi secara mandiri berupa obat batuk dan pilek
a. Chlorpheniramine (CTM) 2 tablet 4 mg
b. Dexamethasone 2 tablet 0,5 mg
c. Vit. C 2 tablet 25 mg
d. Glyceryl Guaiacolate (GG) 2 tablet 100 mg Dibentuk puyer 10
bungkus, diminum 3 x 1/hari. Jeruk nipis ½ sendok teh dicampur
dengan kecap cara pengobatan infeksi lokal ddirumah.

V. Perencanaan
a. Beritahu ibu tentang keadaan anaknya.
b. Anjurkan pada keluarga/ ibu untuk tetap memberikan nutrisi yang
seimbang pada anaknya.
c. Anjurkan pada ibu untuk menjaga kebersihan perorangan dan
lingkungan.
d. Anjurkan pada keluarga/ ibu untuk membersihkan hidung jika anak
pilek.
e. Anjurkan ibu untuk membawa anaknya kontrol ulang jika terjadi
tanda bahaya pada anak.

VI. Pelaksanaan
Tanggal : 6 Juli 2020 pukul : 09.05 WIB
a. Memberitahu pada ibu tentang penyakit anaknya, bahwa anaknya
mengalami ISPA ringan.
b. Menganjurkan pada keluarga/ ibu untuk tetap memberikan nutrisi
yang seimbang pada anaknya, yaitu menu yang mengandung
karbohidrat, protein, vitamin dan mineral.
c. Menganjurkan pada ibu untuk menjaga kebersihan perorangan dan
lingkungan.
d. Menganjurkan pada keluarga/ ibu untuk membersihkan hidung jika
anak pilek agar mempercepat kesembuhan dan menghindari
komplikasi yang lebih parah.
e. Menganjurkan ibu pada anak untuk istirahat yang cukup.
f. Menganjurkan ibu untuk menenangkan/memberikan rasa nyaman
pada anaknya.
g. Memberikan terapi obat.
h. Menganjurkan ibu untuk kontrol ulang jika terjadi tanda bahaya
pada anak, sepertianak tidak mau minum/menyusu, anak selalu
memuntahkan semua yang telah dimakan dan anak mengalami
kejang.

VII. Evaluasi
Tanggal : 6 Juli 2020 Pukul : 09.30 WIB
a. Ibu sudah mengerti tentang penyakit anaknya
b. Ibu bersedia untuk memberikan nutrisi yang cukup pada anaknya.
c. Ibu bersedia untuk menjaga kebersihan perorangan anaknya dan
lingkungan.
d. Ibu bersedia untuk membersihkan hidung anaknya.
e. Ibu bersedia melakukan anjuran bidan agar anaknya istirahat
cukup.
f. Terapi sudah diberikan, ibu bersedia untuk
memberikan/meminumkan obat pada anaknya.
g. Ibu bersedia untuk kontrol ulang bila terjadi tanda bahaya pada
anak.
C. Pembahasan
Pembahasan pada bab ini didasarkan ada atau tidaknya kesenjangan
antara teori dengan kenyataan dilapangan pada pengelolaan manajemen
kebidanan pada An.R dengan ISPA ringan. Hasil anannesa pada An.R
umur 14 bulan, ibu mengatakan ingin memeriksakan anaknya sejak
kemarin batuk, pilek dan ibu mengatakan anaknya belum diberi obat
apapun. Menurut Kemenkes RI bahwa usia mempengaruhi kejadia ISPA
pada anak,semakin muda umur balita,akan semakin sering terkena
penyakit infeksi karena sistem imunitas yang belum sempurna. Bayi dan
balita mudah terserang infeksi dibandingkan dengan orang dewasa karena
anatomi sistem respirasi anak dengan orang dewasa yaitu epiglotis,
trackea,posisi, bentuk laring,dan volume paru yang berbeda.
Menurut WHO, bahwa kejadian ISPA ditularkan melalui kontak,
inokulasi atau masuknya bakteri atau virus terjadi ketika tangan seorang
kontak dengan patogen, kemudian orang tersebut memegang hidung atau
mulut atau ketika seseorang langsung menghirup droplet dari batuk
penderita ISPA. Droplet ditimbulkan dari orang (sumber) yang terinfeksi
terutama selama terjadinya batuk, bersin, dan berbicara. Penularan terjadi
bila droplet yang mengandung mikroorganisme ini tersembur dalam jarak
dekat (biasanya < 1m) melalui udara dan terdeposit di mukosa mata,
mulut, hidung, tenggorokan, atau faring orang lain. Karena droplet tidak
terus melayang di udara, penanganan udara dan ventilasi khusus tidak
diperlukan untuk mencegah penularan melalui droplet.
Pada kasus An.R, ibu mengatakan anak senang bermain dengan teman
sebayanya, lingkungan rumah rapi, dan bersih, letak rumah saling
berdekatan dengan rumah tetangga, jumlah anggota keluarga 5orang. Oleh
karena itu kemungkinan An.R tertular oleh kawan sepermainannya yang
membawa virus atau bakteri. .Hal tersebut sejalan dengan teori, menurut
WHO, terjadinya ISPA bervariasi menurut beberapa faktor. penyebab dan
dampak penyakit berkaitan dengan kondisi lingkungan misalnya (polutan,
kepadatan anggota keluarga, kelembaban, kebersihan, musim,
temperatur) ,ketersediaan dan efektivitas pelayanan kesehatan dan langkah
pencegahan infeksi untuk mencegah penyebaran, faktor penjamu, dan
karakteristik patogen. Dilakukan pengkajian lebih lanjut bahwa riwayat
imunisasi dasar An.R lengkap. Keluarga mengatakan bahwa tidak
memiliki riwayat asma, TBC,Hepatitis. Menurut Depkes RI bahwa
pemberian imunisasi pada anak akan memberikan kekebalan pasif ketika
terinfeksi oleh kuman yang ganas. Imunisasi yang tidak memadai
menyebabkan anak mudah terkena penyakit infeksi. Imunisasi dasar
lengkap dapat membangun kekebalan pasif dari Corynebacterium
diptheriae, Bordetella pertusis yang menerang sistem saluran pernafasan.
Hal ini sesuai dengan teori dimana anak yang sudah diimunisasi
memberikan kekebalan pasif pada anak, ditandai dengan tidak terdapat
gejala dari penyakit difteri maupun pertusis.
Hasil pengkajian data objektif didapatkan TTV suhu 36,3 0 C, nadi
110 x/ menit, respirasi 33 x/menit, BB 8400 gram TB: 86 cm hidung
terdapat cairan/ lendir berwarna jernih dan encer, kulit hidung bagian luar
tampak kemerahan. Dada tidak terdapat tarikan dinding dada saat bernafas,
tampak simetris, tidak ada bunyi stridor dan tidak ada bunyi wheezing.
Menurut teori bahwa infeksi saluran berdasarkan anatomi sistem respirasi
dibedakan menjadi 2 yaitu atas dan bawah keluhan yang tampak terjadi
pada pernafasan atas. Bersadarkan gejala maka diagnosa kebidanan yang
ditetapkan adalah balita sakit An. R umur 15 bulan dengan ISPA ringan.
Sejalan dengan teori, dalam Depkes ISPA ringan ditandai dengan tidak ada
tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (TDDK), batuk tanpa
pernafasan cepat atau kurang dari 40 kali/menit, hidung tersumbat atau
berair, tenggorokan merah, dan telinga berair. Untuk dikatakan pernafasan
cepat adalah pada usia 2 bulan-12 bulan 50 kali per menit atau lebih, untuk
usia 1-4 tahun = 40 kali per menit atau lebih.
Terapi yang diberikan adalah CTM 2 Tablet 25 mg, Dexamethasone 2
tablet 25 mg, Vit.C 2 tablet 25 mg, GG 2 tablet 50 mg, dibentuk puyer 10
bungkus, diminum 3x 1/hari dan menjelaskan pemberian Jeruk nipis ½
sendok teh dicampur dengan kecap cara pengobatan infeksi lokal dirumah.
Tidak terdapat kesenjangan antara penatalaksanaan puskesmas dengan
pengobatan terhadap An.R, untuk ISPA ringan menjelaskan kepada
keluarga mengenai pemberian obat untuk infeksi lokal dirumah diberikkan
pelega tenggorokan dan pereda batuk yang aman yaitu kecap manis ataau
madu dicampur dengan air jeruk nipis (madu tidak dianjurkan untuk anak
< 5 tahun). Tidak diberikannya antibiotik tetapi diberikan obat kombinasi
yaitu (GG,CTM,Dexa, dan Vitamin C) untuk menunjang pengobatan dan
perlu disampaikan kunjungan ulang 2 hari jika tidak terdapat perbaikan.
BAB III
ARTIKEL TERKAIT ISPA
A. Artikel

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN


KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA UPT.
PUSKESMAS RAWAT INAP BERANGAS KABUPATEN BARITO
KUALA TAHUN 2020

Muhammad Rizwan Abdillah1, Ridha Hayati2, M. Bahrul Ilmi3


1Kesehatan Masyarakat, 13201, fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Islam Kalimantan (UNISKA) Muhammad Arsyad Al-Banjari,
16070187 2Kesehatan Masyarakat, 13201, fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Islam Kalimantan (UNISKA) Muhammad Arsyad Al-Banjari,
1124028301 3Kesehatan Masyarakat, 13201, fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Islam Kalimantan (UNISKA) Muhammad Arsyad
Al-Banjari, 1112029001 E-mail: abdillahrizwan01@gmail.com

ABSTRAK

ISPA masih menjadi masalah kesehatan dunia. Di Provinsi Kalimantan


Selatan, prevalensi penyakit ISPA pada tahun 2018 sebesar 2,3%. Di
wilayah kerja UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas pada tahun 2018
ISPA menempati urutan ke 1 dari 10 penyakit terbanyak dengan jumlah
kasus 3.562. Faktor pemicu ISPA seperti kepadatan hunian, luas ventilasi,
imunisasi, dan kebiasaan merokok. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk
mengetahui hubungan antara kepadatan hunian, luas ventilasi, imunisasi,
dan kebiasaan merokok dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja
UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas. Jenis penelitian yang di gunakan
adalah survei analitik dengan pendekatan cross sectional. Cara
pengambilan sampel dengan teknik simple random sampling, dengan
sampel sebanyak 81 responden. Instrumen dalam penelitian ini adalah
pengukuran (kepadatan hunian, luas ventilasi) dan wawancara (imunisasi,
kebiasaan merokok). Data yang di peroleh di analisis dengan
menggunakan statistik uji Chi Square dengan derajat kemaknaan α=0,05.
Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat di simpulkan bahwa ada
hubungan antara kepadatan hunian (p.value = 0,001) dan kebiasaan
merokok (p.value = 0,000) dan tidak ada hubungan antara luas ventilasi
(p.value = 0,664) dan imunisasi (p.value = 0,806) dengan kejadian ISPA
pada balita di wilayah kerja UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas
Kabupaten Barito Kuala. Di sarankan pada Puskesmas agar dapat
melakukan penyuluhan atau promosi secara berkala dan langsung kepada
masyarakat tentang kondisi lingkungan rumah yang sehat dan bahaya asap
rokok. Kata Kunci : Kepadatan Hunian, Luas Ventilasi, Imunisasi,
Kebiasaan Merokok, Kejadian ISPA.

ABSTRACT

ISPA is still a world health problem. In the province of South Kalimantan,


the prevalence of ISPA disease in 2018 amounted to 2.3%. In the UPT
working area. Puskesmas hospitalization of inpatient in the year 2018
ISPA ranks to 1 of the 10 most diseases with the number of cases 3,562.
ISPA trigger factors such as occupancy density, ventilation area,
immunization, and smoking habit. The purpose of this study is to know the
relationship between occupancy density, ventilation area, immunization,
and smoking habit with ISPA incidence in infants in UPT working area.
Inpatient health clinics in Berangas. The type of research used is an
analytical survey with a cross sectional approach. Sampling techniques
with simple random sampling technique, with a sample of 81 respondents.
The instruments used in this study are measurements (occupancy density,
ventilation area) and interviews (immunization, smoking habits). Data
obtained in the analysis using Chi Square test statistics with a degree of
efficacy of α = 0.05. From the results of research and discussion can be
concluded that there is a relationship between occupancy density (p. value
= 0.001) and smoking habit (p. value = 0.000) and there is no connection
between ventilation area (p. value = 0.664) and immunization (p. value =
0.806) with ISPA incidence in infants in UPT working area.
Hospitalization of inpatient Berangas District Barito Kuala. Suggest to the
Puskesmas in order to be able to perform counseling or promotion
periodically and directly to the public about the condition of healthy home
environment and the danger of cigarette smoke. Keywords: residential
density, area ventilation, immunization, smoking habits, ISPA Genesis.

PENDAHULUAN

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) menurut World Health


Organization (WHO) adalah salah satu penyebab kematian pada anak di
Negara berkembang ISPA menyebabkan 4 dari 15 juta perkiraan kematian
pada anak berusia lima tahun setiap tahunnya. Berdasarkan prevalensi
ISPA tahun 2016 di Indonesia sudah mencapai 25% dengan rentang
kejadian yaitu sekitar 17,5%41,4% dengan 16 provinsi di antaranya
mempunyai prevalensi di atas angka nasional. Selain itu ISPA juga sering
berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Survey mortalitas
yang di lakukan oleh subdit ISPA tahun 2016 menempatkan ISPA sebagai
penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan presentase 32,10%
dari seluruh kematian balita (Kemenkes RI,2016). Kejadian ISPA masih
menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia. Prevalensi ISPA di
Indonesia pada tahun 2013 yaitu 25,0% tidak jauh berbeda dengan
prevalensi pada tahun 2007 sebesar 25,5%. Prevalensi ISPA yang tertinggi
terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun sebesar 25,8% dan <1 tahun sebesar
22,0%. ISPA mengakibatkan sekitar 20-30% kematian pada balita
(Depkes, 2010). Prevalensi ISPA menurut Provinsi, Riskesdas 2018: Aceh
4,3%, Sumatera Utara 2,8%, Sumatera Barat 4,1%, Riau 2,2%, Jambi
3,2%, Sumatera Selatan 3,5%, Bengkulu 8,9%, Lampung 4,2%, Bangka
Belitung 1,5%, Kepulauan Riau 3,8%, DKI Jakarta 2,7%, Jawa Barat
4,7%, Jawa Tengah 4,6%, Di Yogyakarta 2,8%, Jawa Timur 6,0%, Banten
5,3%, Bali 4,6%, Nusa Tenggara Barat 2,7%, Nusa Tenggara Timur 7,3%,
Kalimantan Barat 3,2%, Kalimatan Tengah 6,2%, Kalimantan Selatan
2,3%, Kalimantan Timur 3,8%, Kalimantan Utara 2,1%, Sulawesi Utara
2,1%, Sulawesi Tengah 2,6%, Sulawesi Selatan 1,9%, Sulawesi Tenggara
2,8%, Gorontalo 2,0%, Sulawesi Barat 1,8%, Maluku 5,6%, Maluku Utara
2,4%, Papua Barat 7,5%, Papua 10,5%. (Riskesdas, 2018). Berdasarkan
data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Barito Kuala sejak januari hingga
juli tahun 2019 dari 17 puskesmas, sekitar 13.654 warga yang berusia 5
tahun ke atas terserang ISPA. Selama 7 bulan terakhir, ISPA terbanyak
terjadi sepanjang bulan januari, februari dan mei yang menyentuh angka
lebih dari 2.000 orang. Sementara juni 2019 atau menjelang peningkatan
intensitas kabut asap, penyakit ISPA di derita 1.998 warga. Namun khusus
pasien berusia 0 hingga 5 tahun, terjadi peningkatan dalam rentang januari
hingga juli 2019. Angka tertinggi terjadi februari 2019 sebanyak 1.023.
Kemudian mulai juli 2019 atau menjelang peningkatan intensitas kabut
asap, balita yang di serang penyakit ISPA di Kabupaten Barito Kuala
mencapai 955 orang (Dinkes Batola, 2019). Faktor – faktor yang
mempengaruhi tingginya kejadian ISPA diantaranya yaitu status
imunisasi, dimana status imunisasi yang kurang akan menjadi faktor resiko
yang penting terjadinya ISPA. Balita dengan imunisasi yang kurang akan
lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan imunisasi normal
karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan
menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan
kekurangan tenaga dan daya tahan tubuh yang kuat (Dharmage, 2009).
Menurut laporan tahunan UPT.Puskesmas Rawat Inap Berangas pada
tahun 2018 ISPA menempati urutan ke 1 dari 10 penyakit terbanyak
dengan jumlah kasus 3.562. Berdasarkan data uraian tersebut di atas
nampak kasus ISPA cukup tinggi, itupun belum termasuk kasus-kasus
ISPA yang belum tercatat pelayanan kesehatan karena mungkin saja
keluarga atau ibu balita mencari alternatif pengobatan lain untuk anaknya.
Sehingga berdasarkan beberapa data tersebut dan hasil studi yang telah di
lakukan, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang
“FaktorFaktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di
Wilayah Kerja UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas Kabupaten Barito
Kuala Tahun 2020”.

METODE

Berdasarkan jenis penelitian yang di gunakan adalah penelitian


observasional dengan menggunakan rancangan atau desain analitik atau
cross sectional yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika kolerasi
antara faktor-faktor dengan efek cara menggunakan cara pendekatan,
observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time
approach). Artinya tiap subjek penelitian hanya di observasi sekali saja
dan pengukuran di lakukan terhadap status karakter atau variabel subjek
penelitian di amati pada waktu yang sama (Notoatmodjo, 2010). Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui atau mendapatkan faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian ISPA di wilayah kerja UPT. Puskesmas
Rawat Inap Berangas di mana seluruh variabel di amati dan di ukur pada
saat bersamaan pada waktu penelitian berlangsung. Tujuan dari penelitian
ini yaitu untuk mengetahui hubungan antara kepadatan hunian, luas
ventilasi, imunisasi, dan kebiasaan merokok dengan kejadian ISPA pada
balita di wilayah kerja UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas. Jenis
penelitian yang di gunakan adalah cross sectional. Cara pengambilan
sampel dengan teknik simple random sampling dengan sampel sebanyak
81 responden. Instrumen dalam penelitian ini adalah pengukuran
(kepadatan hunian, luas ventilasi) dan wawancara (imunisasi, kebiasaan
merokok). Data yang di peroleh di analisis dengan menggunakan uji Chi
Square dengan derajat kemaknaan α=0,05.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil
a. Analisis Univariat
Tabel 1.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Golongan Usia,
Pendidikan terakhir, Pekerjaan, Umur balita, Jenis kelamin balita,
Kejadian ISPA pada balita, Kepadatan hunian kamar, Luas ventilasi,
Imunisasi, Kebiasaan Merokok Di Wilayah Kerja UPT. Puskesmas
Rawat Inap Berangas Kabupaten Barito Kuala Tahun 2020

Berdasarkan tabel 1.1 di atas di ketahui bahwa golongan usia responden


yang terbanyak adalah usia 26-35 tahun berjumlah 47 responden
(58,0%) dan paling sedikit yaitu kelompok usia 46-55 tahun berjumlah
1 responden (1,2%), pendidikan terakhir responden yang terbanyak
adalah Sekolah Menengah Atas yang berjumlah 35 responden (43,2%),
dan yang paling sedikit yaitu Akademi/Perguruan Tinggi berjumlah 6
Responden (7,4%), pekerjaan responden yang terbanyak adalah Ibu
Rumah Tangga yaitu berjumlah 66 responden (81,5%), sedangkan yang
paling sedikit yaitu PNS berjumlah 6 responden (7,4%), Umur Balita
yang terbanyak adalah 1-3 yaitu berjumlah 68 balita (84,0%),
sedangkan yang paling sedikit adalah 4-5 yaitu berjumlah 13 balita
(16,0%), Jenis Kelamin Balita yang terbanyak adalah Laki-laki yaitu
berjumlah 42 balita (51,9%), sedangkan yang sedikit adalah Perempuan
yaitu berjumlah 39 balita (48,1%). Berdasarkan tabel di atas di ketahui
bahwa responden di wilayah kerja UPT. Puskesmas Rawat Inap
Berangas yang balitanya ISPA sebanyak 51 balita (63,0%) dan tidak
ISPA sebanyak 30 balita (37,0%), kepadatan hunian kamarnya padat
sebanyak 65 responden (80,2%), dan tidak padat sebanyak 16
responden (19,8%), luas ventilasinya tidak memenuhi syarat sebanyak
42 responden (51,9%), dan memenuhi syarat sebanyak 39 responden
(48,1%), imunisasinya tidak lengkap sebanyak 16 responden (19,8%),
dan lengkap sebanyak 65 responden (80,2%), anggota keluarganya
mempunyai kebiasaan merokok sebanyak 46 responden (56,8%), dan
anggota yang tidak ada mempunyai kebiasaan merokok sebanyak 35
responden (43,2%).

b. Analisis Bivariat
Tabel 1.2 Distribusi Silang Hubungan Kepadatan Hunian Kamar, Luas
Ventilasi, Imunisasi, Kebiasaan merokok Dengan Kejadian ISPA Pada
Balita di wilayah kerja UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas
Kabupaten Barito Kuala Tahun 2020
Be
rdasarkan tabel di atas terlihat bahwa responden di wilayah kerja UPT.
Puskesmas Rawat Inap Berangas Kabupaten Barito Kuala yang
kepadatan hunian kamarnya padat dan balitanya ISPA sebanyak 47
(72,0%), sedangkan yang kepadatan hunian kamarnya tidak padat dan
balitanya tidak ISPA sebanyak 12 (75,0%). Berdasarkan uji korelasi
Chi-Square menggunakan software statistik antara hubungan kepadatan
hunian kamar dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja UPT.
Puskesmas Rawat Inap Berangas Kabupaten Barito Kuala di dapatkan
p.value = 0,001 dengan demikian p.value lebih kecil dari nilai α (0,05),
hal ini berarti secara statistik ada hubungan kepadatan hunian kamar
dengan kejadian ISPA Pada Balita di wilayah kerja UPT. Puskesmas
Rawat Inap Berangas Kabupaten Barito Kuala.
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa responden di wilayah kerja
UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas Kabupaten Barito Kuala yang
luas ventilasinya tidak memenuhi syarat dan balitanya ISPA sebanyak
25 (59,5%), sedangkan yang luas ventilasinya memenuhi syarat dan
balitanya tidak ISPA sebanyak 13 (33,3%). Berdasarkan uji korelasi
Chi-Square menggunakan software statistik antara hubungan luas
ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja UPT.
Puskesmas Rawat Inap Berangas Kabupaten Barito Kuala di dapatkan
p.value = 0,664 dengan demikian p.value lebih besar dari nilai α (0,05),
hal ini berarti secara statistik tidak ada hubungan luas ventilasi dengan
kejadian ISPA Pada Balita di wilayah kerja UPT. Puskesmas Rawat
Inap Berangas Kabupaten Barito Kuala.
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa responden di wilayah kerja
UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas Kabupaten Barito Kuala yang
Imunisasinya tidak lengkap dan balitanya ISPA sebanyak 11 (68,8%),
sedangkan yang Imunisasinya lengkap dan balitanya tidak ISPA
sebanyak 25 (38,5%).
Berdasarkan uji korelasi Chi-Square menggunakan software statistik
antara hubungan Imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita di
wilayah kerja UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas Kabupaten Barito
Kuala di dapatkan p.value = 0,806 dengan demikian p.value lebih besar
dari nilai α (0,05), hal ini berarti secara statistik tidak ada hubungan
Imunisasi dengan kejadian ISPA Pada Balita di wilayah kerja UPT.
Puskesmas Rawat Inap Berangas Kabupaten Barito Kuala.
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa responden di wilayah kerja
UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas Kabupaten Barito Kuala yang
Kebiasaan Merokok dan balitanya ISPA sebanyak 38 (82,6%),
sedangkan yang tidak ada Kebiasaan Merokok dan balitanya tidak ISPA
sebanyak 22 (62,9%).
Berdasarkan uji korelasi Chi-Square menggunakan software statistik
antara hubungan Kebiasaan Merokok dengan kejadian ISPA pada balita
di wilayah kerja UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas Kabupaten
Barito Kuala di dapatkan p.value = 0,000 dengan demikian p.value
lebih kecil dari nilai α (0,05), hal ini berarti secara statistik ada
hubungan Kebiasaan Merokok dengan kejadian ISPA Pada Balita di
wilayah kerja UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas Kabupaten Barito
Kuala.
2. Pembahasan
a. Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja UPT. Puskesmas Rawat
Inap Berangas Kabupaten Barito Kuala Berdasarkan tabel 4.9 di ketahui
bahwa responden yang balitanya terkena ISPA sebanyak 51 balita (63,0%)
sedangkan yang tidak ISPA sebanyak 30 balita (37,0%). Dari hasil
penelitian di dapatkan balita yang terkena ISPA sebagian besar berusia 1-3
tahun yaitu sebanyak 44 balita (64,7%) sedangkan berusia 4-5 tahun yang
terkena ISPA sebanyak 7 balita (53,8%). Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan bahwa balita yang memiliki riwayat ISPA proporsinya lebih
banyak dari pada balita yang tidak ISPA. Hal ini di sebabkan karena
masyarakat kurang memahami cara pencegahan penyakit ISPA, berbagai
upaya telah di lakukan pihak puskesmas seperti penyuluhan kesehatan,
namun dampak keberhasilan belum dirasakan, kelambatan keberhasilan
upaya penyuluhan kesehatan ini dapat di pahami mengingat sasaran dari
penyuluhan kesehatan adalah perilaku manusia. Selain hal di atas terdapat
masalah lain yang bisa jadi salah satu penyebab kejadian ISPA pada balita
di wilayah kerja UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas yaitu kebakaran
hutan dan lahan di wilayah kerja UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas
masih sering terjadi, terutama pada musim kemarau sehingga
menyebabkan kabut asap dan polusi udara. Upaya pihak dinas Kehutanan
dan Kepolisian sudah di laksanakan dalam mengatasi pembakaran lahan
dan hutan, salah satunya memasang spanduk larangan di setiap desa agar
tidak membakar lahan dan hukuman pidana yang akan di berikan jika
terbukti melakukan pembakaran. Namun hal tersebut masih di indahkan
oleh sebagian oknum sehingga tetap terjadi pembakaran lahan.

b. Kepadatan Hunian Kamar di Wilayah Kerja UPT. Puskesmas Rawat


Inap Berangas Kabupaten Barito Kuala Berdasarkan tabel 4.10 terlihat
bahwa responden di wilayah kerja UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas
yang kepadatan hunian kamarnya padat sebanyak 65 responden (80,2%),
dan tidak padat sebanyak 16 responden (19,8%). Dari hasil penelitian di
wilayah kerja UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas di temukan proporsi
kepadatan hunian kamar yang padat lebih tinggi daripada yang tidak padat.
Hal ini menandakan mayoritas responden mengetahui bahwa luas lantai
kamar yang sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya agar tidak
terjadi kelebihan penghuni dalam satu ruangan. Dan di wilayah kerja
UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas, kepadatan di hunian yang rendah
di wilayah kerja UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas ini sebagian besar
di sebabkan karena sudah banyak masyarakat yang mampu untuk tinggal
mandiri. Untuk Kepadatan Hunian Kamar dalam penelitian ini banyak
responden yang luas kamarnya tidak memenuhi syarat atau bisa di katakan
padat karena masih banyak responden dengan luas kamar yang seharusnya
hanya dapat di huni 2 orang/8m² saja tetapi pada kenyataannya di huni 3-4
orang bahkan lebih dengan luas kamar kurang dari 8m², sehingga
menyebabkan overcrowded di dalam kamar tersebut dan di kategorikan
padat. Menurut penelitian Evytrisna Kusuma Ningrum (2015)
menjelaskan bahwa kepadatan hunian kamar akan meningkatkan suhu
ruangan yang di sebabkan oleh pengeluaran panas badan yang akan
meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernafasan tersebut.

c. Luas Ventilasi di Wilayah Kerja UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas


Kabupaten Barito Kuala Berdasarkan tabel 4.11 terlihat bahwa responden
di wilayah kerja UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas yang luas
ventilasinya tidak memenuhi syarat sebanyak 42 responden (51,9%), dan
memenuhi syarat sebanyak 39 responden (48,1%). Berdasarkan penelitian
di lapangan pada saat melakukan pengukuran di setiap kamar responden
terdapat luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat dengan rata-rata ukuran
ventilasi tiap kamar 50-60 cm² ukuran tersebut tidak memenuhi syarat
karena ≤ 10% dari luas lantai. Sedangkan luas ventilasi yang memenuhi
syarat yaitu 80 cm² dari luas ukuran lantai 8 m²/2 orang. Rumah sehat
merupakan komponen yang tidak dapat di pisahkan, dan ventilasi
merupakan salah satu bagian dari rumah sehat. Dari hasil penelitian di
temukan 42 responden yang luas ventilasinya tidak memenuhi syarat di
wilayah kerja UPT.

Puskesmas Rawat Inap Berangas. Jadi masih ada masyarakat tidak


menyadari bahwa sumber polusi tidak hanya berasal dari luar, tapi juga
dari dalam rumah contohnya seperti asap rokok dan asap dapur. Dengan
ventilasi kamar yang tidak memenuhi syarat maka sirkulasi udara di dalam
rumah tidak akan berjalan maksimal sehingga akan berdampak pada
penghuninya dan potensi tersebarnya infeksi pernafasan juga bisa terjadi.
Menurut penelitan Patmawati Dongky (2016) menyatakan bahwa Kejadian
ISPA pada Balita di Kelurahan Takatidung Kabupaten Polewali Mandar
berkaitan dengan faktor lingkungan fisik rumah penderita, dengan variabel
ventilasi setelah dilakukan analisis data diperoleh nilai p = 0,112 (p >
0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara
ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita.

d. Imunisasi di Wilayah Kerja UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas


Kabupaten Barito Kuala Berdasarkan tabel 4.12 terlihat bahwa responden
di wilayah kerja UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas yang imunisasinya
tidak lengkap sebanyak 16 responden (19,8%) dan imunisasinya lengkap
sebanyak 65 responden (80,2%). Hasil ini menunjukan pengetahuan dan
kesadaran pentingnya pemberian imunisasi dasar di wilayah kerja UPT.
Puskesmas Rawat Inap Berangas sudah cukup baik. Berdasarkan
penelitian yang terjadi di lapangan, kegiatan posyandu tidak di lakukan
oleh pihak puskesmas karena adanya pandemi covid 19. Imunisasi hanya
di lakukan dengan cara datang rumah ke rumah, hal ini menyebabkan
kurang efektifnya pendataan imunisasi karena ada beberapa warga yang
tidak ada di rumah. Adapun imunisasi yang jarang di lakukan salah
satunya adalah imunisasi campak karena ada beberapa ibu dari balita
merasa takut jika sewaktu-waktu bisa mengalami demam atau sakit karena
adanya efek samping imunisasi campak tersebut. Hasil ini sejalan
dengan hasil penelitian Maryati Sutarno (2019) yaitu dengan adanya
pemberian imunisasi dasar yang lengkap maka risiko terserang penyakit
ISPA akan semakin kecil.

e. Kebiasaan Merokok di Wilayah Kerja UPT. Puskesmas Rawat Inap


Berangas Kabupaten Barito Kuala Berdasarkan tabel 4.13 terlihat bahwa
responden di wilayah kerja UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas yang
anggota keluarganya mempunyai kebiasaan merokok sebanyak 46
responden (56,8%), dan anggota yang tidak ada mempunyai kebiasaan
merokok sebanyak 35 responden (43,2%). Kebiasaan merokok pada
penelitian ini menunjukkan bahwa banyak anggota keluarga yang tinggal
satu rumah dengan balita yang menderita ISPA. Berdasarkan observasi
yang di lakukan di lapangan, anggota keluarga yang merokok bahkan ada
yang lebih dari satu orang di dalam rumah, kebiasaan merokok di dekat
balita pada saat di ruang tamu atau di depan TV, serta kurangnya
pengetahuan anggota keluarga bahwa merokok merupakan salah satu
faktor penyebab ISPA. Anggota keluarga yang di katakan perokok ringan
mengkonsumsi rokok kurang dari 10 batang per hari, di katakan perokok
sedang mereka mengkonsumsi 10-20 batang per hari, dan di katakana
perokok berat mereka mengkonsumsi >20 batang per hari. Menurut
penelitian Delima Kurnia Sari (2018) menunjukkan ada hubungan yang
signifikan antara keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan
kejadian ISPA pada balita (p value=0,035).

f. Hubungan Kepadatan Hunian Kamar Dengan Kejadian ISPA Pada


Balita Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara
kepadatan hunian kamar dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah
kerja UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas Kabupaten Barito Kuala.
Pada uji Chi Square di peroleh nilai p value = 0,001. (p value <0,05). Hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa dari 81 responden terlihat bahwa
responden di wilayah kerja UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas
Kabupaten Barito Kuala yang kepadatan hunian kamarnya tidak padat dan
balitanya tidak ISPA sebanyak 12 (75,0%) dan yang ISPA sebanyak 4
(25,0%), sedangkan yang kepadatan hunian

kamarnya padat dan balitanya ISPA sebanyak 47 (72,3%) dan yang tidak
ISPA sebanyak 18 (27,7%). Hal ini dapat di simpulkan bahwa kepadatan
hunian di wilayah kerja UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas yang
kepadatan huniannya padat lebih banyak terkena ISPA di bandingkan
kepadatan huniannya yang tidak padat dan mengakibatkan adanya
hubungan kepadatan hunian dengan kejadian ISPA. Faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya kejadian ISPA di wilayah kerja UPT. Puskesmas
Rawat Inap Berangas khususnya pada balita di sebabkan oleh tingkat
kepadatan hunian kamar yang melebihi kapasitas yang seharusnya. Hal ini
yang memungkin bakteri atau virus dapat menular melalui pernafasan dari
satu orang ke orang lainnya yang ada di dalam ruangan tersebut. Selain hal
di atas kepadatan hunian kamar juga dapat mempersempit ruangan
sehingga mempunyai dampak kekurangan oksigen di dalam ruangan
khususnya ruangan kamar sehingga daya tahan tubuh responden menjadi
menurun, yang mengakibatkan timbulnya penyakit ISPA. Bangunan
yang sempit dan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya akan
mempunyai dampak kurangnya oksigen dalam ruangan sehingga daya
tahan tubuh penghuninya menurun, kemudian cepat timbulnya penyakit
saluran pernafasan seperti ISPA. Ruangan yang sempit akan membuat
sesak nafas dan mudah tertular penyakit oleh anggota keluarga yang lain.
Kepadatan hunian akan meningkatkan suhu ruangan yang di sebabkan oleh
pengeluaran panas badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap
air dari pernafasan. Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian yang di
lakukan oleh Evytrisna Kusuma Ningrum (2015) di wilayah kerja
Puskesmas Sungai Pinang tahun 2011. Yang menunjukkan hasil nilai
Pvalue = 0,281 (pvalue > 0,05), yang artinya tidak terdapat hubungan
antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita.

g. Hubungan Luas Ventilasi Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Hasil


penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara luas ventilasi
dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja UPT. Puskesmas Rawat
Inap Berangas. Pada uji Chi Square di peroleh nilai p value = 0,664 (p
value >0,05). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dari 81 responden,
ada 42 responden yang luas ventilasinya tidak memenuhi syarat yaitu
kurang dari 10% luas lantai. Dan dari 42 responden tersebut 25 (59,5%)
diantaranya mempunyai balita yang menderita ISPA dan tidak ISPA
sebanyak 17 (40,5%). Sedangkan dari 39 responden yang luas ventilasinya
memenuhi syarat terdapat 26 (66,7%) responden yang balitanya menderita
ISPA dan tidak ISPA sebanyak 13 (33,3%). Berdasarkan data tersebut
dapat di lihat bahwa masyarakat yang ventilsasinya memenuhi syarat lebih
banyak terkena ISPA dari pada yang tidak memenuhi syarat, sehingga
dapat di simpulkan bahwa luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat tidak
mempengaruhi adanya kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja UPT.
Puskesmas Rawat Inap Berangas. Selain hal di atas, pada saat turun
kelapangan di temukan bahwa mayoritas rumah responden di wilayah
kerja UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas sudah memenuhi syarat yang
artinya keadaan ventilasi rumah responden tidak mempengaruhi kejadian
ISPA khususnya pada balita karena keadaan ventilasi rumah yang baik
atau sudah memenuhi syarat hal ini dapat memperkecil resiko terjadinya
kejadian ISPA terutama pada balita. Sedangkan jika keadaan ventilasi
rumah tidak baik atau tidak memenuhi syarat maka sangat memungkinkan
balita lebih banyak terkena ISPA. Hasil ini sejalan dengan penelitian
Patmawati Dongky (2016) yang menunjukkan bahwa kejadian ISPA pada
Balita di Kelurahan Takatidung Kabupaten Polewali Mandar berkaitan
dengan faktor lingkungan fisik rumah penderita, dengan variabel ventilasi
setelah dilakukan analisis data diperoleh nilai p = 0,112 (p > 0,05)
sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara ventilasi
dengan kejadian ISPA pada balita.

h. Hubungan Imunisasi Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Hasil


penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara Imunisasi
dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja UPT. Puskesmas Rawat
Inap Berangas. Pada uji Chi Square di peroleh nilai p value = 0,806 (p
value >0,05). Dari hasil penelitian menunjukan tabulasi silang antara
imunisasi dasar dengan kejadian ISPA diketahui bahwa responden dengan
imunisasi dasar lengkap dan ISPA yaitu sebanyak 40 balita (61,5%),
selanjutnya responden dengan imunisasi dasar lengkap dan tidak ISPA
yaitu sebanyak 25 balita (38,5%). Responden dengan cakupan imunisasi
dasar tidak lengkap dan ISPA sebanyak 11 balita (68,8%), selanjutnya
responden dengan imunisasi dasar tidak lengkap dan tidak ISPA sebanyak
5 balita (31,3%). Berdasarkan data tersebut dapat di lihat bahwa
masyarakat yang imunisasinya lengkap lebih banyak terkena ISPA
daripada yang tidak lengkap, sehingga dapat di simpulkan bahwa
imunisasi yang tidak lengkap tidak mempengaruhi adanya kejadian ISPA
pada balita di wilayah kerja UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas. Selain
itu data yang di temukan saat penelitian melalui wawancara di temukan
bahwa orang tua balita banyak yang melakukan imunisasi lengkap pada
balitanya. Hal ini di karenakan mayoritas orang tua balita banyak yang
sudah mengetahui dampak positif dilakukannya imunisasi lengkap pada
balita. Hasil ini tidak sejalan dengan hasil penelitian dari Maryati Sutarno
(2019) dengan p value 0,019 (p value <0,05) yang menyatakan ada
hubungan yang signifikan antara status imunisasi dengan kejadian ISPA
pada balita.

i. Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Kejadian ISPA Pada Balita


Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kebiasaan
merokok dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja UPT.
Puskesmas Rawat Inap Berangas. Pada uji Chi Square di peroleh nilai p
value = 0,000 (p value <0,05). Hasil penelitian ini juga menunjukkan
bahwa responden di wilayah kerja UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas
yang tidak ada memiliki kebiasaan merokok dan balitanya tidak ISPA
sebanyak 22 (62,9%) dan ISPA sebanyak 13 (37,1%), sedangkan yang ada
memiliki kebiasaan merokok dan balitanya ISPA sebanyak 38 (82,6%) dan
tidak ISPA sebanyak 8 (17,4%). Dari hasil di atas menunjukkan keluarga
yang ada memiliki kebiasaan merokok yang balitanya ISPA lebih tinggi
daripada yang tidak memiliki kebiasaan merokok. Namun demikian, pada
keluarga yang merokok terdapat balita yang tidak ISPA hal ini berkaitan
dengan kebiasaan keluarga yang tidak merokok di dekat balitanya. Hal ini
dapat di simpulkan bahwa adanya anggota keluarga yang merokok di
wilayah kerja UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas ini juga menjadi
salah satu pemicu terjadinya kejadian ISPA khususnya pada balita.
Apalagi masih ada orang tua balita yang merokok di dekat balita yang
mengakibatkan terjadinya kejadian ISPA pada balita. Hasil penelitian ini
juga sesuai dengan penelitian yang di lakukan oleh Delima Kurnia Sari
(2018) yang menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara
keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadian pneumonia
pada balita dengan (p value=0,035).

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian pada responden di Wilayah Kerja UPT.


Puskesmas Rawat Inap Berangas Kabupaten Barito Kuala Tahun 2020
adalah sebagai berikut: 1. Univariat Kejadian ISPA pada balita di wilayah
kerja UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas Kabupaten Barito Kuala
Tahun 2020 sebanyak 51 balita (63,0%). Kepadatan hunian kamar di
wilayah kerja UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas Kabupaten Barito
Kuala Tahun 2020 kepadatan hunian kamarnya padat sebanyak 65
responden (80,2%). Luas ventilasi di wilayah kerja UPT. Puskesmas
Rawat Inap Berangas Kabupaten Barito Kuala Tahun 2020 yang luas
ventilasinya tidak memenuhi syarat sebanyak 42 responden (51,9%).
Imunisasi di wilayah kerja UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas
Kabupaten Barito Kuala Tahun 2020 yang imunisasinya lengkap sebanyak
65 responden (80,2%). Kebiasaan merokok di wilayah kerja UPT.
Puskesmas Rawat Inap Berangas Kabupaten Barito Kuala Tahun 2020
yang anggota keluarganya mempunyai kebiasaan merokok sebanyak 46
responden (56,8%). 2. Bivariat Ada hubungan kepadatan hunian kamar
dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja UPT. Puskesmas Rawat
Inap Berangas Kabupaten Barito Kuala Tahun 2020 (p value = 0,001).
Tidak hubungan luas ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita di
wilayah kerja UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas Kabupaten Barito
Kuala Tahun 2020 (p value = 0,664). Tidak ada hubungan imunisasi
dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja UPT. Puskesmas Rawat
Inap Berangas Kabupaten Barito Kuala Tahun 2020 (p value = 0,806). Ada
hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian ISPA pada balita di
wilayah kerja UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas Kabupaten Barito
Kuala Tahun 2020 (p value = 0,000).

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat di sarankan beberapa hal yaitu:

Di sarankan pada Puskesmas agar dapat melakukan penyuluhan atau


promosi secara berkala dan langsung kepada masyarakat tentang kondisi
lingkungan rumah yang sehat dan bahaya asap rokok di dalam rumah.
Perlunya media misalkan televisi untuk menggantikan tenaga promosi
menyampaikan penyuluhan tentang bahaya merokok jadi televisi ini bisa
di putar berulang-ulang kali setiap hari untuk menambah informasi pasien
waktu di ruang tunggu. Di sarankan bagi keluarga yang memiliki anggota
keluarga perokok untuk tidak membiasakan merokok di dalam rumah
dengan cara menegur untuk merokok di luar rumah, dan peningkatan
kesadaran perokok untuk berhenti merokok sama sekali dan bukan hanya
untuk mengurangi merokok. Penelitian ini hanya menganalisis apakah ada
faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita. Karena
kejadian ISPA tidak hanya di pengaruhi oleh satu faktor, di harapkan dapat
melakukan penelitian selanjutnya untuk menganalisis faktor-faktor lain
seperti bahayanya obat nyamuk bakar dan kebiasaan menggunakan kayu
bakar saat masak.

REFERENSI

1. Depkes RI. 2010. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta : Depkes RI,


http://scholar.unand.ac.id/17098/2/BAB%20I.pdf. Diakses: 04
Februari 2020.

2. Dharmage. 2009. Risk Factor of Acute lower tract infection in children


under five years of age. Medical Public Health. USA. Alih bahasa
Oleh Amin dkk. Jakarta: EGC. http://repository.poltekkes-
kdi.ac.id/603/. Diakses: 04 Februari 2020.

3. Dinkes Batola, (2019). Penderita ISPA di Batola Berpotensi


Meningkat. https://apahabar.com/2019/09/penderita-ispa-di-batola-
berpotensi-meningkat/. Diakses: 04 Februari 2020.

4. Dongky, P., dkk. (2016). Faktor Risiko Lingkungan Fisik Rumah


dengan Kejadian ISPA Balita di Kelurahan Takatidung Polewali
Mandar. Unnes Journal of Public Health, 5(4), 324329.
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph/article/view/13962.
Diakses: 04 Februari 2020.

5. Kemenkes RI. 2016. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta:


Balitbang Kemenkes RI.
6. Ningrum, E. K. (2015). Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan
Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA Non Pneumonia pada Balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Sungai Pinang. Jurnal Publikasi
Kesehatan Masyarakat Indonesia,
2(1).https://ppjp.ulm.ac.id/journal/index.php/JPKMI/article/view/2714.
Di akses: 24 Juli 2020

7. Notoatmodjo, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: PT


Renika Cipta. 2010.

8. Riset Kesehatan Dasar. (2018). Laporan Nasional Riskesdas 2018.


Kementerian Kesehatan RI

9. Sari, D. K., Rahardjo, M., dkk. (2018). Hubungan Kondisi Lingkungan


Fisik Rumah Dengan Kejadian Pneumonia Pada Anak Balita Di
Kecamatan Pacitan Kabupaten Pacitan. Jurnal Kesehatan Masyarakat
(E-Journal), 6(6), 61-68.
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jkm/article/view/22157.
Diakses: 04 Februari 2020.

10. Sutarno Maryati. dkk (2019). Faktor-Faktor Yang Berhubungan


Dengan Kejadian ISPA, 2(2).

11. UPT Puskesmas Rawat Inap Berangas 2018. Laporan tahunan program
UPT Puskesmas Rawat Inap Berangas.

12. WHO.2007.Pencegahan dan Pengendalian Infeksi saluran


pernafasanakut (ISPA) yang cenderung menjadi epidemi dan pandemi
di fasilitas pelayanan kesehatan.
B. Pembahasan
Pada sub bab ini akan dibahas mengenai isi atau hasil dari artikel
yang dimuat diatas bahwasannya Infeksi Saluran Pernapasan Akut
merupakan suatu penyakit saluran pernapasan akut dengan berbagai
macam gejala (sindrom). Penyakit ini disebabkan oleh berbagai sebab
(multifaktorial) yang menyerang pada bagian pernapasan atas yakni dari
melibatkan hidung dan tenggorokan serta pernapasan bawah yakni trakea,
bronkus dan paru-paru. Meskipun organ saluran pernapasan tersebut diatas
terlibat tetapi yang menjadi fokus adalah paru-paru karena tingginya
mortalitas radang paru-paru.
Balita merupakan generasi yang perlu mendapat perhatian, karena
daya tahan tubuh yang lemah sehingga mudah terserang berbagai
penyakit. Balita di harapkan tumbuh dan berkembang dalam keadaan sehat
jasmani, sosial dan bukan hanya terbebas dari penyakit. Masalah kesehatan
pada balita merupakan kesehatan nasional mengingat angka kesakitan dan
angka kematian pada balita masih cukup tinggi dan salah satu penyakit
penyebabnya adalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Rizwan menyatakan
bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian kamar dengan kejadian
ISPA pada balita di wilayah kerja UPT. Puskesmas Rawat Inap Berangas
Kabupaten Barito Kuala Tahun 2020 dengan nilai (p value = 0,001) dan
ada hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian ISPA pada balita
dengan milai p-value sebesar (0,000). Artinya haru ada langkah
penyelesaian yang harus dilakukan baik dari pihak Puskesmas terkait
dengan kepadatan kamar dan juga keluarga terkait dengan kebiasaan
merokok khususnya merokok didalam rumah karena balita akan rentan
terkena gangguan pernafasan diakibatkan daya tahan tubuhnya yang masih
lemah.
Seperti yang disampaikan didalam artikel bahwa bangunan yang
sempit dengan kapasitas yang tidak sesuai dengan penghuninya akan
berdampak pada kurangnya oksigen didalam ruangan. Ruangan yang
sempit akan membuat sesak nafas dan akan mudah tertular penyakit
kepada anggota keluarga yang sedang menjenguk atau menemani.
Kepadatan hunian akan meningkatkan suhu ruangan yang di sebabkan
oleh pengeluaran panas badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat
uap air dari pernafasan. Hal ini yang memungkin bakteri atau virus dapat
menular melalui pernafasan dari satu orang ke orang lainnya yang ada di
dalam ruangan tersebut. Sehingga perlu manajemen yang baik bagi pihak
Puskesmas agar dapat meminimalisir kejadian seperti ini, dengan
membatasi jumlah pengunjung seperti keluarga pasien yang ingin
menjenenguk apabila memang kapasitass ruangan sedang padat serta
memberi pengertian pada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang
menular lewar pernafasan ini agar tidak terjadi kesalahpahaman atau
kejadian yang tidak diinginkan lainnya.
Analisis WHO, menunjukkan bahwa efek buruk asap rokok lebih
besar bagi perokok pasif dibandingkan perokok aktif. Asap rokok dari
orang tua atau penghuni rumah yang satu atap dengan balita merupakan
bahan pencemaran dalam ruang tempat tinggal yang serius serta akan
menambah resiko kesakitan pada anak-anak. Paparan yang terus-menerus
akan menimbulkan gangguan pernafasan terutama memperberat timbulnya
infeksi saluran pernafasan akut dan gangguan paruparu pada saat dewasa.
Semakin banyak rokok yang dihisap oleh keluarga semakin besar
memberikan resiko terhadap kejadian ISPA, khususnya apabila merokok
dilakukan oleh ibu bayi. keterpaparan asap rokok pada anak sangat tinggi
pada saat berada dalam rumah. Disebabkan karena anggota keluarga
biasanya merokok dalam rumah pada saat bersantai bersama anggota,
misalnya sambil nonton TV atau bercengkerama dengan anggota keluarga
lainnya, sehingga balita dalam rumah tangga tersebut memiliki risiko
tinggi untuk terpapar dengan asap rokok yang berdampak dengan ISPA.
Maka dari itu perlunya kesadaran para anggota keluarga betapa
bahayanya asap rokok apabila terpapar pada balita, sehingga diharapkan
dapat megurangi aktifitas merokok atau bahkan berhenti sama sekali. Di
sarankan bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga perokok untuk
tidak membiasakan merokok di dalam rumah dengan cara menegur untuk
merokok di luar rumah. Selain itu perlunya peran aktif dari Puskesmas
untuk memberikan penyuluhan atau promosi secara berkala dan langsung
kepada masyarakat tentang kondisi lingkungan rumah yang sehat dan
bahaya asap rokok di dalam rumah. Sehingga diharapkan masyarakat akan
sadar mengenai dampak rokok ini bagi keluarganya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI. 2002. Keputusan Menkes RI No. 228/MENKES/SK/III/2002


tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit Yang
Wajib Dilaksanakan Daerah
2. Erna Kusuma Wati. (2005). Hubungan Episode Infeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA) dengan Pertumbuhan bayi umur 3-6 Bulan Di Kecamatan Suruh
Kabupaten Semarang. Tesis. Semarang: Program Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro. Dikutip dari: Buletin Penelitian RSU dr. Soetomo, Vol 10 No.
03 September 2008.
3. FakultasKedokteran Universitas Maranatha. Modul 2 Blok 13-14. Bandung
4. Kemenkes RI. 2019. Buku Bagan MTBS. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta
5. Muttaqin,Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan
Gangguan Sistem Imunologi. Jakarta: Salemba Medika
6. Rizwan,Muhammad. 2020. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian Ispa Pada Balita di Wilayah Kerja Upt. Puskesmas Rawat Inap
Berangas Kabupaten Barito Kuala Tahun 2020. Barito: Universitas Islam
Kalimantan
7. Febry, Yorida dkk. 2017. Profil Pengobatan Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA) Pada Balita di Puskesmas Rambangaru Tahun 2015 (Jurnal info
Kesehatan Vol 15,No 2, Desember 2017,pp.435-4500. Kupang: Poltekkes
Kemenkes Kupang)
8. World Health Organization. Infection prevention and control of epidemic-and
pandemic-prone acute respiratory diseases in health care. Geneva: WHO;
2007
9. Depkes RI. Profil kesehatan indonesia. Jakarta: Kementerian kesehatan
republik indonesia; 2002.

Anda mungkin juga menyukai