Anda di halaman 1dari 14

TUGAS STASE IKAKOM TAHAP I

TINJAUAN PUSTAKA
PENYAKIT TERBANYAK DI PUSKESMAS BANJAR I - ISPA (INFEKSI SALURAN
NAPAS AKUT)

DISUSUN OLEH :
FADHILAH AISYAH 2017730043

PEMBIMBING :
DR. NURUL FAUZIAH

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS TAHAP I
PUSKESMAS BANJAR I KOTA BANJAR
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

ISPA (infeksi saluran napas akut) merupakan penyakit yang menginfeksi


saluran pernapasan bagian atas yang meliputi hidung, faring, laring dan saluran napas
bagian bawah meliputi trakea, bronkus, bronkiolus dan alveolus. Proses infeksi
saluran napas yang terjadi berlangsung akut yakni kurang dari 14 hari.

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan


atas atau bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum
penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit
yang parah dan mematikan, tergantung pada patogen penyebabnya, faktor lingkungan,
dan faktor pejamu. Timbulnya gejala biasanya cepat, yaitu dalam waktu beberapa jam
sampai beberapa hari. Gejalanya meliputi demam, batuk, dan sering juga nyeri
tenggorok, sesak napas, mengi, atau kesulitan bernapas.

Penyebaran dan dampak penyakit berkaitan dengan kondisi lingkungan yakni


polutan udara, kepadatan anggota keluarga, kelembaban, kebersihan, musim,
ketersediaan dan efektivitas pelayanan kesehatan serta langkah pencegahan infeksi
untuk mencegah penyebaran melalui vaksin, akses terhadap fasilitas pelayanan
kesehatan, faktor pejamu dan faktor virulensi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi
ISPA adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia.
Hampir empat juta orang meninggal akibat ISPA setiap tahun, 98%-nya disebabkan oleh
infeksi saluran pernapasan bawah. Penyakit ISPA lebih sering diderita oleh anak-anak.
Tingkat mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak-anak, dan orang lanjut usia, terutama di
negara-negara dengan pendapatan per kapita rendah dan menengah. Begitu pula, ISPA
merupakan salah satu penyebab utama konsultasi atau rawat inap di fasilitas pelayanan
kesehatan terutama pada bagian perawatan anak.

2.2 Etiologi
Infeksi saluran pernapasan akut dapat disebabkan virus, bakteri, fungal, parasit dan
polusi udara. Tetapi kasus ISPA paling sering diakibatkan oleh bakteri dan virus. bakteri
penyebab terbanyak berasal dari genus streptokokus, haemofilus, pnemokokus, bordetella
dan korinebakterium. Berdasarkan penelitian virus yang paling sering menyebabkan ISPA
adalah Influenza-A, Adenovirus, Parainfluenza Virus, Rhinovirus, Respiratory Syntical
Viruses (Rsvs).

2.3 Klasifikasi
A. Klasifikasi berdasarkan umur (Kemenkes RI, 2011b), sebagai berikut :
Kelompok umur < 2 bulan, diklasifikasikan atas :
a) Pneumonia berat: bila disertai dengan tanda-tanda klinis seperti berhenti menyusu
(jika sebelumnya menyusu dengan baik), kejang, rasa kantuk yang tidak wajar
atau sulit bangun, stridor pada anak yang tenang, mengi, demam (38ºC atau lebih)
atau suhu tubuh yang rendah (di bawah 35,5 ºC), pernapasan cepat 60 kali atau
lebih per menit, penarikan dinding dada berat, sianosis sentral (pada lidah),
serangan apnea, distensi abdomen dan abdomen tegang.
b) Bukan pneumonia: jika anak bernapas dengan frekuensi kurang dari 60 kali per
menit dan tidak terdapat tanda pneumonia seperti di atas.
Kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun, diklasifikasikan atas :
a) Pneumonia sangat berat: batuk atau kesulitan bernapas yang disertai dengan
sianosis sentral, tidak dapat minum, adanya penarikan dinding dada, anak kejang
dan sulit dibangunkan.
b) Pneumonia berat: batuk atau kesulitan bernapas dan penarikan dinding dada,
tetapi tidak disertai sianosis sentral dan dapat minum.
c) Pneumonia: batuk (atau kesulitan bernapas) dan pernapasan cepat tanpa penarikan
dinding dada.
d) Bukan pneumonia (batuk pilek biasa): ditandai secara klinis oleh batuk pilek (atau
kesulitan bernapas), bisa disertai demam, tanpa tarikan dinding dada kedalam,
tanpa napas cepat. Rinitis, faringitis, laringitis dan tonsilitis tergolong bukan
pneumonia.
e) Pneumonia persisten: anak dengan diagnosis pneumonia tetap sakit walaupun
telah diobati selama 10-14 hari dengan dosis antibiotik yang 14 adekuat dan
antibiotik yang sesuai, biasanya terdapat penarikan dinding dada, frekuensi
pernapasan yang tinggi, dan demam ringan.

Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi, sebagai berikut :


a) Infeksi Saluran Pernapasan atas Akut (ISPaA) Infeksi yang menyerang hidung
sampai bagian laring, seperti pilek, faringitis, dan laryngitis.
b) Infeksi Saluran Pernapasan bawah Akut (ISPbA) Infeksi yang menyerang mulai
dari bagian trakea sampai dengan alveoli, dinamakan sesuai dengan organ saluran
napas, seperti laringotrakeitis, bronkitis, bronkiolitis, pneumonia.
2.4 Patomekanisme

Bakteri, virus, jamur, parasit, bahan iritan


(benda asing)

Terhirup masuk ke saluran napas

Menempel pada epitel mukosa hidung,


faring,laring, trakea,bronkus,
bronkiolus, alevolus

Terjadi proses infeksi

Timbul respon peradangan Respon imun baik Tidak sakit

Pengeluaran mediator Release sitokin IL-1, IL-6


proinflamasi (PMN, Makrofag) TNFα, INFδ

Respon pertahanan saluran Sebabkan Respon sistemik, menyebabkan


napas : pengeluaran mukus peningkatan pengeluaran PG E2 di epitel
oleh sel goblet permeabilitas mukosa hipotalamus sebabkan gangguan
saluran napas termoregulasi
Batuk Akumulasi mukus dan
eksudat Hiperemis dan edema Demam
mukosa saluran napas

Hidung tersumbat, Suara serak


rinorea (rhinitis) (laryngitis) Edema mukosa
sebabkan
penyempitan saluran
napas

Sesak napas - Stridor


-Wheezing
-Ronkhi
A. Influenza
Influenza merupakan gejala flu akibat infeksi yang disebabkan oleh virus influenza A,
B, dan C yang dapat menyerang saluran napas atas maupun bawah. Penyakit ini
bersifat self limited disease yang dapat sembuh tanpa diobati. Infeksi virus akut
menular, umumnbya terjadi pada penyakit epidemi musiman (influenza musiman)
atau penyakit pandemi langka (influenza pandemik), yang ditandai oleh radang
saluran pernapasan dan biasanya ditunjukkan oleh terjadinya demam mendadak,
menggigil, nyeri otot, keletihan luar biasa, nyeri tenggorok, dan batuk. Penularan
infeksi terjadi dalam jarak dekat, terutama melalui droplet dan kadang-kadang melalui
kontak. Sampai sekarang, belum diperoleh cukup bukti yang menunjukkan bahwa
infeksi ditularkan melalui udara di antara manusia di fasilitas pelayanan kesehatan.
Keluhan (hasil anamnesis) :
 Demam dan malaise
 Rinorea / hidung meler
 Bersin-bersin
 Sefalgia, dapat disertai mialgia
 Pasien dapat disertai keluhan batuk
 Nyeri tenggorokan

Pemeriksaan fisik

 Pemeriksaan tanda-tanda vital meliputi tekanan darah, denyut nadi, frekuensi


napas dalam batas normal,
 Ditemukan peningkatan suhu tubuh,
 Pemeriksaan rinoskopi anterior, mukosa hidung edema dan adanya sekret
hidung yang keluar.

Tatalaksana medikamentosa

 Pemberian antipiretik, seperti paracetamol 3x500 mg/hari, atau ibuprofen


3x200-400 mg/hari
 Dekongestan, seperti eferdrin
 Antihistamin, seperti klorferinamin 4-6mg, difenhidramin 25-50 mg,
loratadine atau cetirizine 10 mg dosis tunggal
 Diberikan antitusif dan ekspektoran
Tatalaksana non medikamentosa

 Istirahat cukup serta asupan makanan bergizi dan seimbang


 Perbanyak asupan vitamin
 Kurangi aktivitas fisik

B. Rinitis akut
Rhinitis akut merupakan radang pada mukosa hidung yang terjadi <12 minggu, dapat
disebabkan oleh infeksi virus dan bakteri atau terjadi akibat reaksi sekunder dari
iritasi lokal disekitar hidung. Rhinitis akut dapat diklasifikan menjadi rhinitis viral,
rhinitis bacterial dan rhinitis iritan.
Keluhan (hasil anamnesis) :
 Rinorea (keluar ingus/sekret dari hidung)
 Hidung tersumbat disertai bersin-bersin
 Gejala panas dan gatal pada hidung
 Pasien dapat disertai keluhan batuk
 Demam dan malaise

Pemeriksaan fisik

 Pemeriksaan tanda-tanda vital meliputi tekanan darah, denyut nadi, frekuensi


napas dalam batas normal. Tetapi pada pemeriksaan suhu, dapat ditemukan
adanya peningkatan suhu tubuh.
 Pemeriksaan rinoskopi anterior, ditemukan sekret serous atau mukopurulen
disertai dengan edema dan hiperemis pada konka. Pada rhinitis akibat difteri
dapat ditemukan membran keabu-abuan yang menutupi konka inferior,
bersifat lengket dan berdarah apabila diangkat.

Tatalaksana medikamentosa

 Pemberian obat-obatan simtomatik : antipiretik (paracetamol), dekongestan


nasal topikal atau oral (pseudoefedrin, fenilefrin atau phenylpropanolamine)
 Pemberian antibiotik, dapat diberikan apabila terjadi infeksi sekunder bakteri
dengan pemberian amoksisilin, eritromisin dan sefadroksil. Pemberian
penisilin dan anti-toksin difteri dapat di berikan pada infeksi difteri.
Tatalaksana non medikamentosa

 Istirahat cukup serta asupan makanan bergizi dan seimbang


 Perbanyak asupan vitamin

C. Faringitis akut
Faringitis akut merupakan peradangan pada dinding faring akibat virus, bakteri, iritan
maupun trauma. Dapat terjadi pada anak-anak dan dewasa.
Keluhan (hasil anamnesis) :
 Nyeri tenggorokan, terutama saat menelan (disfagia)
 Penurunan nafsu makan
 Demam, malaise
 Dapat disertai batuk atau tidak
 Sefalgia
 Mual, muntah
 Keluhan sekret hidung (karena dapat diawali rhinitis sebelumnya)

Faringitis dapat dibedakan menjadi beberapa klasifikasi yakni faringitis viral,


faringitis bacterial, faringitis fungal, faringitiskronik hiperplastik, faringitis kronik
atropi, faringitis tuberculosis, faringitis gonore atau leutika. Dengan bergitu, temuan
pada pemeriksaan fisiknya pun berbeda-beda dan akan menentukan pemberian terapi
pada pasien.

Pemeriksaan fisik

 Faringitis viral, tampak faring dan tonsil hiperemis, terdapat eksudat tetapi
pada infeksi inluenza, coxsachie virus dan cytomegali virus tidak timbul
eksudat. Pada coxsachie virus dapat timbul bercak maculopapular rash.
 faringitis bacterial, tampak tomsil membesar, hiperemis pada faring dan tonsil
dengan eksudat dipermukaannya, dalam beberapa hari dapat timbul bercak
petekie pada palatum dan faring. Dapat pula disertai pembesaran kelenjar limf
pada leher anterior.
 faringitis fungal, adanya plak putih pada orofaring dan pangkal lidah, sekitar
faring hiperemis.
 Faringitis tuberculosis, tampak granuloma perkejuan pada mukosa faring dan
laring
Tatalaksana medikamentosa

 Pemberian obat-obatan simtomatik : antipiretik-analgetik (paracetamol), obat


batuk antitusif atau ekspektoran
 Untuk faringitis fungal, dapat diberikan nystatin 100.000-400.00 IU 2x/hari
 Pada infeksi virus, diberikan Isoprinosine 60-100 mg/KgBB
 Faringitis bakteri dapat diberikan antribiotik amoksisilin 50mg/kgBB dosis
dibagi 3x/hariselama 10 hari
 Pada faringitis kornik, dapat dilakukan kautik dengan larutan Nitras Argentin
1x/hari selama 3-5 hari
 Faringitis gonore, diberikan sefalosporin generasi ke-3, seperti seftriakson 2 gr
IV/IM single dose

Tatalaksana non medikamentosa

 Istirahat cukup serta asupan makanan bergizi dan seimbang


 Perbanyak minum air mineral
 Dapat menggunakan obat kumur antiseptik dan berkumur dengan air hangat

D. Laringitis akut
Laringitis akut merupakan peradangan pada laring yang berlangusng < 3 minggu
akibat infeksi virus, bakteri, polutan serta akibat pemakaian pita suara yang
berlebihan dan infeksi pada pita suara. Penyakit ini paling sering pada anak, dan
biasanya disertai peradangan pada trakea dan bronkus yang disebut Croup.
Keluhan (hasil anamnesis) :
 Gejala lokal seperti suara parau/serak/suaranya hilang (afonia)
 Nyeri tenggorokan utamanya saat menelan atau berbicara
 Disertai sesak napas dan batuk kering
 Demam, malaise
 Gejala common cold : bersin-bersin, disfagia, hidung tersumbat, dan sefalgia

Pemeriksaan fisik

 Pada pemeriksaan suhu, dapat ditemukan adanya peningkatan suhu tubuh.


 Adanya stridor pada auskultasi suara napas.
 Pemeriksaan laringoskopi indirek, ditemukan hiperemis pada laring serta
pembengkakan pada bagian atas dan bawah pita suara.
 Adanya tanda radang akut pada hidung dan paranasal.

Tatalaksana medikamentosa

 Pemberian obat-obatan simtomatik : antipiretik (paracetamol/ibuprofen),


 Pemberian antibiotik, pemberian penisilin apabila dari hasil kultir didapatkan
kuman penyebab golongan Streptokokus Grup A,
 Pertimbangkan pemberian kortikosteroid pada laryngitis berat
 Pemberian OAT pada laryngitis TB, dan pemberian penisilin pada laryngitis
leutika

Tatalaksana non medikamentosa

 Meminimalkan bicara (vocal rest),


 Pastikan asupan cairan cukup,
 Makan makanan bergizi dan seimbang serta menghindari makanan yang
mengiritasi.

E. Bronkitis akut
Bronkitis akut merupakan peradangan pada bronkus, sering terjadi pada anak-anak
usia < 5 tahun yang ditandai dengan hipersekresi mucus dan batuk produktif.
Keluhan (hasil anamnesis) :
 Batuk, dapat berdahak ataupun tidak selama 2-3 minggu
 Dahak dapat berwarna [utih atau kuning kehijauan
 Demam, malaise
 Dyspneu
 Dapat terjadi batuk darah, apanila terjadi iritasi saluran napas

Pemeriksaan fisik

 Pemeriksaan tanda-tanda vital meliputi tekanan darah, denyut nadi dalam batas
normal, frekuensi napas dapat meningkat (takipneu) serta dapat ditemukan
adanya peningkatan suhu tubuh.
 Pemeriksaan paru : inspeksi (dapat ditemui retraksi otot bantu napas), palpasi
(fremitus taktil normal), perkusi (sonor), auskultasi (suara napas vesikuler atau
bronkovesikuler, ekspirasi memanjang, ronkhi basah kasar yang dapat hilang
setelah batuk, dapat terdengar wheezing dan krepitasi.

Tatalaksana medikamentosa

 Pemberian oksigen,
 Pemberian obat-obatan simtomatik : antitusif (dekstrometorphan 15 mg
2-3x/hari atau kodein 10 mg 3x/hari), ekspektoran (bromheksin, GG,
ambroksol) antipiretik (paracetamol),
 Pemberian bronkodilator, salbutamol, teofilin dan aminofilin,
 Pemberian antibiotik, ampisilin, amoksisilin, dan eritromisin .

Tatalaksana non medikamentosa

 Istirahat cukup ,
 Menghindari faktor iritan,
 Makanan sehat dan bergizi disertai asupan cairan yang cukup.

F. Pneumonia
Pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh
mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan peradangan paru yang
disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik,
obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis.
Klasifikasi Pneumonia
1. Berdasarkan klinis dan epideologis :
a) Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
b) Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia/ nosocomial
pneumonia)
c) Pneumonia aspirasi
d) Pneumonia pada penderita Immunocompromised pembagian ini penting untuk
memudahkan penatalaksanaan.
2. Berdasarkan bakteri penyebab
a) Pneumonia bakterial/tipikal. Beberapa bakteri mempunyai tendensi
menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada penderita alkoholik,
Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.
b) Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
c) Pneumonia virus
d) Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama
pada penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised)
3. Berdasarkan predileksi infeksi
a) Pneumonia lobaris, sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan
orang tua. Merupaka pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen
kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya : pada
aspirasi benda asing atau proses keganasan
b) Bronkopneumonia, ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan
paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan
orang tua.
c) Pneumonia interstisial

Anamnesis Gambaran klinik

Dapat ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat


melebihi 40oC, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai
darah, sesak napas dan nyeri dada.

Pemeriksaan fisik

Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi
dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus
dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang
kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.

Pemeriksaan penunjang

a) Pemeriksaan labolatorium pada pemeriksaan labolatorium terdapat


peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang
mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke
kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi
diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat
positif pada 20- 25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah
menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi
asidosis respiratorik.
b) Gambaran radiologis Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan
penunjang utama untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat
berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan "air broncogram",

Diagnosis

Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis


pemeriksaan fisis, foto toraks dan labolatorium. Diagnosis pasti pneumonia
komuniti ditegakkan jika pada foto toraks trdapat infiltrat baru atau infiltrat
progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini :

 Batuk-batuk bertambah
 Perubahan karakteristik dahak / purulen
 Suhu tubuh > 38oC (aksila) / riwayat demam
 Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas
bronkial dan ronki
 Leukosit > 10.000 atau < 4500

Tatalaksana Medikamentosa

Pada pneumonia komunitas dapat diberikan terapi antibiotik empiris sebelum


didapatkan hasil uji kultur bakteri.

Antibiotik masih tetap merupakan pengobatan utama pada pneumonia


termasuk atipik. Antibiotik terpilih pada pneumonia atipik yang disebabkan oleh
M.pneumoniae, C.pneumoniae dan Legionella adalah golongan Makrolid baru
(azitromisin, klaritromisin, roksitromisin), Fluorokuinolon dan Doksisiklin.
REFERENSI :
1. PB IDI, 2017. Panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan Kesehatan
tingkat pertama
2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FK UI
3. Depkes RI, Jakarta, 2012. Kemenkes R.I. Faktor Resiko Kejadian Infeksi Saluran
Pernapasan Akut. (ISPA)
4. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
yang cenderung menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Pedoman Interim WHO, 2007.
5. Pneumonia Komuniti Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2003.

Anda mungkin juga menyukai