Anda di halaman 1dari 54

Scanned by CamScanner

Scanned by CamScanner
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................. i
DAFTAR TABEL......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
A. Latar Belakang.......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian........................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian......................................................................... 4
E. Keaslian Penelitian....................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 6
A. Penyakit Hirschsprung............................................................. 6
1. Etiologi dan Basis Genetik Penyakit Hirschsprung..................... 7
2. Diagnosis...................................................................................... 8
3. Diagnosis Banding................................................................. 14
4. Persiapan Preoperatif................................................................... 15
5. Managemen Pembedahan............................................................ 15
6. Kolostomi............................................................................. 19
7. Managemen Pasca Operasi.......................................................... 20
8. Hasil Jangka Panjang................................................................... 21
9. Varian Hirschsprung.................................................................... 25
B. Transanal Endorektal Pullthroug................................................ 26
1. Sejarah........................................................................................ 26
2. Persiapan Operasi....................................................................... 27
3. Tehnik Operasi.......................................................................... 28
4. Perawatan Paska Operasi........................................................... 31
5. Hasil Operasi.............................................................................. 32
C. Klasifikasi Kikernberg................................................................... 33
1. Klasifikasi internasional untuk tindak lanjut penilaian............. 35

i
2. Klasifikasi outcome fungsional................................................. 37
D. Kerangka Teori....................................................................... 39
E. Kerangka Konsep.......................................................................... 40
F. Hipotesis.......................................................................................... 40
BAB III METODOLOGI PENELITIAN.................................................. 41
A. Desain Penelitian.................................................................... 41
B. Tempat dan Waktu................................................................ 41
C. Populasi dan Sampel............................................................... 41
D. Kriteria Inklusi dan Ekslusi.................................................... 41
E. Besar Sampel........................................................................... 42
F. Alur Penelitian........................................................................ 43
G. Variabel Penelitian....................................................................... 43
H. Rencana Pengolahan dan Analisis Data.................................. 43
I. Definisi Operasional..................................................................... 44
J. Keterbatasan Penelitian ........................................................... 45
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 46

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Daftar Artikel tentang Evaluasi Luaran Paska Pull-through


menurut klasifikasi krickenbeck................................................. 5
Tabel 2. klasifikasi Krickenbeck untuk Hasil Post Operatif....................... 38

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Hirschsprung (PH), yang pertama kali dijelaskan oleh Ruysch pada
tahun 1691 dan Hirschsprung pada tahun 1886, adalah penyumbatan fungsional
usus bagian distal karena kurangnya inervasi enterik intrinsik, yang disebabkan
oleh kegagalan migrasi sel ganglion kolon selama masa gestasi. Tidak adanya sel
ganglion menyebabkan kegagalan relaksasi dan non transmisi peristaltik dengan
dilatasi lumen usus ke arah oral dari bagian yang berubah. PH juga disebut
aganglionosis kolon atau megacolon kongenital (istilah ini harus ditinggalkan
karena mengacu pada efeknya). Usus yang membesar adalah bagian yang sehat,
sementara lumen yang patologis menyempit. PH menyebabkan 15-20% obstruksi
usus neonatal, bervariasi panjangnya tapi selalu meluas secara proksimal dari
saluran anus, dan yang paling umum melibatkan daerah rektosigmoid kolon
(80%) namun dapat mempengaruhi keseluruhan usus besar dan jarang terjadi pada
usus halus. Penyakit segmen Ultrashort terbatas pada daerah sfingter internal dan
sangat jarang terjadi (Barbuti, 2016).
Penyakit Hirschsprung memiliki efek jangka panjang terhadap kesehatan fisik
dan psikososial pasien. Hasil pembedahan semakin membaik dalam beberapa
dekade terakhir dan tersedia peningkatan pengenalan literatur yang berfokus pada
hasil fungsional pasien anak saat mereka menjadi dewasa. Gejala jangka panjang
meliputi sembelit, kembung, soiling dan inkontinensia tinja. Sedangkan sebagian
besar gejala ini dapat ditangani secara medis atau melalui intervensi bedah
terbatas, beberapa pasien memiliki enterostomi untuk meningkatkan kualitas
hidup mereka. Hirschsprung Associated Enterocolitis (HAEC) juga memiliki
morbiditas dan mortalitas yang diketahui dengan baik yang dapat terus
mempengaruhi pasien pasca operasi (Thakkar, 2017).

1
PH biasanya didiagnosis pascakelahiran, walaupun mungkin ada ciri umum
penyumbatan usus pada pencitraan antenatal seperti polihidramnion, peningkatan
ketebalan perut dan loop usus yang buncit. Kemungkinan besar PH dicurigai
secara antenatal karena riwayat keluarga, atau karena fitur antenatal tidak
langsung, seperti sindrom Down yang sugestif. Neonatus biasanya mengalami
distensi sekitar 48 jam kehidupan, muntah-muntah sedang dan pengeluaran
mekonium terlambat (Wetherill, 2014).
Pada tahun 1998, De la Torre dan Ortega melaporkan prosedur Soave
modifikasi satu tahap yaitu transanal endorectal pull-through (TEPT). Dilaporkan
bahwa tehnik TEPT ini lebih aman, efisien dan memiliki kelebihan yaitu tidak
diperlukannya kolostomi dan mobilisasi kolon perabdominal sehingga nyeri paska
operasi, lama operasi, lama mondok dan resiko kontaminasi intraperitoneal,
adhesi dan kerusakan struktur pelvis menjadi lebih rendah. Dengan demikian,
tehnik TEPT telah menjadi pilihan yang semakin populer untuk mengobati PH
(Chen, et al., 2013; Sulkowski, et. al., 2014; Langer J, et al., 2003).
Hal yang menjadi perhatian pada tehnik TEPT adalah diseksi ektensif rektum
dan kolon yang dapat menyebabkan peregangan dan kerusakan struktur sfingter
yang berakibat gangguan fungsi jangka panjang anorektum terutama inkontinensia
dan konstipasi. Pada pasien PH, inkontinensia dianggap komplikasi iatrogenik
akibat tehnik operasi. Sehingga komplikasi ini masih menjadi perdebatan (Chen,
et al., 2013; Stensrud, 2010).
Pada pertemuan Krickenbeck 2005, kelompok internasional prosedur
pembedahan juga dikembangkan. Standarisasi ini diperlukan untuk membuat
berbagai prosedur pembedahan sebanding satu sama lain. Untuk bisa
membandingkan hasil operasi yang berbeda dengan hasil penulis lainnya, tidak
hanya tipe fistula atau malformasi yang harus dibandingkan namun juga jenis
operasi yang digunakan. Hal ini dapat ditentukan oleh klasifikasi internasional
baru untuk diagnosis, prosedur dan tindak lanjut pemindaian baru untuk hasil
pasca operasi. Oleh karena itu, klasifikasi Krickenbeck yang baru akan
memungkinkan follow up pasien dengan malformasi anorektal (Murphy, 2006).

2
Peserta konferensi Krickenbeck menyimpulkan bahwa klasifikasi yang lebih
sederhana untuk studi lanjutan diperlukan. Menurut publikasi Pena pada tahun
1995, gerakan usus spontan, soiling, dan konstipasi dianggap sebagai parameter
utama pascaoperasi untuk mengevaluasi keberhasilan operasi. Gerakan usus
spontan didefinisikan sebagai merasakan dorongan untuk BAB, kemampuan
untuk mengungkapkan perasaan ini secara verbal, dan kemampuan menahan
gerakan usus. Untuk soiling, Penaa mengajukan 3 grade. Grade 1, kadang-kadang
soiling (sampai satu atau dua kali per minggu). Grade 2, soiling setiap hari tapi
tidak ada masalah sosial. Dan grade 3, soiling konstan dengan masalah sosial.
Untuk konstipasi, Penaa juga mengajukan 3 grade. Grade 1 didefinisikan sebagai
konstipasi yang dapat diatur oleh perubahan diet. Grade 2 memerlukan obat
pencahar. Grade 3 tahan resisten terhadap obat pencahar dan diet. Skor ini
didasarkan pada definisi parameter kontinuitas yang jelas. Namun hal itu belum
divalidasi, yang harus dilakukan di masa depan (Murphy, 2006).
Klasifikasi Krickenbeck mengklasifikasikan gerakan usus spontan, soiling,
dan konstipasi. Klasifikasi ini bertujuan untuk menggambarkan hasil fungsional
setelah operasi untuk malformasi anorektal, seperti sudah dijelaskan diatas.
Sembelit dan soiling diberi skor 0 (normal) sampai 3. Nilai Krickenbeck
mencerminkan fungsi usus pada anak yang tidak menjalani terapi. Jadi, anak yang
menggunakan enema untuk mengobati sembelit atau mempertahankan kontinuitas
dinilai sebagai sembelit grade 3 (resisten terhadap diet dan obat pencahar) atau
soiling grade 3 (konstan, masalah sosial). Kami telah mendefinisikan soiling
sebagai kebocoran paksa dari sejumlah kecil tinja, yang membutuhkan
penggantian pakaian dalam atau popok (Stensrud, 2010).
Di RSUP Dr Sardjito TEPT mulai dikerjakan sejak tahun 2005 tetapi belum
ada laporan yang melakukan evaluasi luaran TEPT menurut klasifikasi
Krickenbeck. Pada penelitian ini kami akan mengevaluasi luaran operasi TEPT
menurut klasifikasi Krickenbeck.

3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas didapatkan evaluasi luaran operasi TEPT menurut
klasifikasi krickenbeck yaitu, gerakan usus spontan, soiling, dan konstipasi. Maka
timbul pertanyaan antara lain:
1. Bagaimanakah evaluasi jangka pendek luaran operasi TEPT menurut
klasifikasi Krickenbeck?
2. Bagaimanakah evaluasi jangka panjang luaran operasi TEPT menurut
klasifikasi Krickenbeck?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi tata
laksana operasi TEPT pada penyakit Hirschsprung di RSUP Dr Sardjito
Tujuan khusus. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi luaran
operasi TEPT menurut klasifikasi Krickenbeck.

D. Manfaat Penelitian
1. Bidang Akademik
Diharapkan dengan penelitian ini dapat mengetahui evaluasi luaran
operasi TEPT menurut klasifikasi krickenbeck berupa gerakan usus
spontan, soiling, dan konstipasi yang dioperasi di Rumah Sakit Dr.
Sardjito
2. Kepada Masyarakat
Diharapkan dengan hasil penelitian ini menjadi acuan bagi ahli
Bedah Anak dalam menentukan pilihan operasi yang akan dikerjakan guna
meningkatkan pelayanan dan kualitas hidup pada pasien Hirschsprung.

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran pustaka yang dilakukan, dengan kata kunci
Krickenbeck evaluation for transanal endorectal pull-through for Hirschsprung’s
disease, dengan menggunakan mesin pencari Clinikelkey, Pubmed didapatkan
antara lain :

4
Tabel 1. Daftar Artikel tentang Evaluasi Luaran Paska Pull-through menurut
klasifikasi krickenbeck
Jumlah
No Judul Penelitian Desain Persamaan Perbedaan
Sampel
1 10-Year outcome 53 pasien Cohort Menggunakan Posterior
of children born retrospecti klasifikasi sagital
with anorectal f krickenbeck anorectoplasty
malformation,
treated by
posterior sagittal
anorectoplasty,
assessed according
to the Krickenbeck
classification
2 Do Low-Type 21 pasien Cohort Menggunakan Prognosis
Anorectal retrospecti klasifikasi Anorectal
Malformations f krickenbeck Malformations
Have a Better
Prognosis than the
Intermediate and
High Types? A
Preliminary
Report Using the
Krickenbeck
Score

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Hirschsprung
Penyakit Hirschsprung (PH), atau dikenal juga sebagai ‘megacolon congenital’
ditandai dengan tidak adanya sel ganglion di pleksus myenteric dan submukosa
usus. Deskripsi pertama yang diketahui dari kondisi ini disebutkan oleh ahli bedah
Hindu kuno di Shushruta Samheta, dan deskripsi pertama dalam literatur medis
modern berasal dari abad ke-17. Pada tahun 1887, Harald Hirschsprung, seorang
dokter anak dari Kopenhagen, menjelaskan dua kasus dengan kondisi tersebut.
Sebagian besar anak-anak dengan megakolon kongenital meninggal dikarenakan
kekurangan gizi dan enterocolitis. Sebagai dasar patologis yang mendasari
penyakit ini tidak diketahui, pada awalnya ahli bedah menghilangkan usus bagian
proksimal yang melebar secara masif dan membuat kolostomi. Upaya re-
anastomosis yang seragam belum berhasil (Langer, 2014).
Pada tahun 1967, Okamoto dan Ueda menerbitkan sebuah makalah penelitian
yang dilakukan dengan embrio manusia yang memungkinkannya untuk
mempresentasikan teorinya tentang migrasi neuroblastik kranial pada saluran
cerna. Seiring berjalannya waktu dan lebih banyak penelitian dilakukan, berbagai
hal mulai tampak lebih kompleks daripada yang diperkirakan sebelumnya. Dari
sudut pandang yang lebih praktis, kita dapat mengatakan bahwa megacolon
kongenital (PH) ditandai dengan penyumbatan kolon fungsional yang biasanya
termanifestasi pada bayi yang baru lahir. Pasien-pasien ini tidak memiliki
penyumbatan mekanis yang nyata namun memiliki peristaltik abnormal atau tidak
ada pada usus besar (biasanya bagian yang paling distal). Bagian usus besar yang
tidak memiliki sel ganglion tidak memiliki peristaltik yang diperlukan untuk
mengeluarkan tinja. Segmen aganglionik usus selalu berada distal, dan panjang
segmen aganglionik bervariasi dari satu pasien ke pasien lainnya. Biasanya,
segmen aganglionik mempengaruhi rectosigmoid. Pada kira-kira 15-25% kasus,

6
aganglionosis mempengaruhi segmen yang lebih panjang sampai fleksura lienalis
atau bahkan kolon transversal. Sekitar 3-8% pasien menderita aganglionosis pada
seluruh usus besar termasuk segmen ileum terminal yang disebut "aganglionosis
total kolon". Pasien sangat jarang terlahir dengan "aganglionosis universal"
dimana sebagian besar merupakan kondisi mematikan kecuali jika diobati dengan
transplantasi usus. Kondisi yang dikenal sebagai "aganglionosis segmen
ultrashort" masih diperdebatkan; Analisis yang rasional dan obyektif, pada
referensi ilmiah yang diterbitkan dapat menimbulkan banyak keraguan dan skeptis
mengenai keberadaan kondisi ini (Langer, 2014).

1. Etiologi dan Dasar Genetik Penyakit Hirschsprung


Dasar genetik untuk PH telah lama dicurigai dalam banyak kasus karena
adanya riwayat keluarga, asosiasi yang dikenal dengan trisomi 21 dan kondisi
yang berdasarkan genetik lainnya. Selama dua dekade terakhir, peningkatan
jumlah peneliti telah membuat kemajuan yang signifikan dalam
mengidentifikasi genetik dan mekanisme yang bertanggung jawab terhadap
penyakit ini. Gen pertama dan yang paling umum untuk diidentifikasi adalah
RET proto-onkogen, yang mengkode reseptor tirosin kinase. Dan telah
dijelaskan juga mutasi gen RET proto-onkogen dan gen terkait, seperti
neurturin dan glial cell line-derived neurotrophic factor (GDNF). Masih
belum jelas bagaimana mutasi ini menghasilkan aganglionosis, tetapi ada
bukti bahwa kematian awal sel neuronal mungkin merupakan mekanisme
yang menonjol. Kelainan RET yang paling sering ditemukan pada pasien
dengan keterlibatan keluarga dan panjang segmen. Mutasi pada familial gen
endotelin, khususnya endotelin-3 dan reseptor endotelin-B, juga umumnya
terkait dengan PH. Banyak dari anak-anak ini memiliki neurocristopathi lain
seperti disfungsi melanosit, tuli kongenital, hipoventilasi pusat, dan
neuroblastoma. (Langer, 2014).
PH juga terkait dengan sejumlah sindrom yang dasar genetik yang tepat
dari aganglionosis yang belum dijelaskan. Ini termasuk trisomi-21, sindrom
konginetal hipoventilasi sentral, sindrom Goldberg-Shprintzen, sindrom

7
Smith-Lemli-Opitz, neurofibromatosis, neuroblastoma, dan berbagai anomali
kongenital lainnya (Langer, 2012).
Sel-sel ganglion berasal dari neural crest. Pada 13 minggu paska konsepsi,
sel-sel neural pial telah mengalami proses migrasi melalui saluran pencernaan
dari proksimal ke distal, setelah itu mereka berdiferensiasi menjadi sel-sel
ganglion yang matang. Pada bayi dengan PH proses ini terganggu, sehingga
sel-sel ganglion tidak ditemukan pada usus bagian distal. Ada dua teori
mengapa ini terjadi. Yang paling umum adalah bahwa sel-sel neural pial tidak
pernah mencapai usus distal. Data pendukung teori ini datang secara spontan
dimana terjadi aganglionosis dari hewan coba dan dari studi normal migrasi
sel saraf crest pada embrio ayam dan janin manusia. Teori kedua adalah
bahwa sel-sel ganglion telah mencapai tujuan mereka tetapi gagal untuk
bertahan hidup atau berkembang biak. Selain itu, sejumlah studi telah
menjelaskan bahwa otot polos dan matriks ekstraselular dalam usus
aganglionik menyediakan lingkungan mikro yang tidak ramah bagi
pertumbuhan neuronal. Sangat mungkin bahwa PH sebenarnya merupakan
kondisi yang heterogen dengan beberapa penyebab genetik dan mekanisme
etiologi, sehingga masing-masing dari teori ini mungkin benar dalam kasus-
kasus individual (Langer, 2012).

2. Diagnosis
Diagnosis prenatal dari PH jarang bisa dilakukan dan biasanya bisa
dilakukan karena mengenai seluruh kolon dan menghasilkan temuan
ultrasonografi (USG) berupa obstruksi usus pada janin. Pasien paling sering
datang selama periode neonatal dengan distensi abdomen, muntah empedu,
dan intoleransi makanan. Mekonium yang keluar tertunda pada 24 jam
pertama ada sekitar 90%. Terkadang, perforasi sekum atau appendix mungkin
merupakan kejadian awal. Foto polos khas menunjukkan dilatasi loop usus
diseluruh perut. Langkah selanjutnya adalah kontras enema yang larut dalam
air. Temuan patognomonik dari PH adalah zona transisi antara usus normal
dan aganglionik, meskipun sekitar 10% dari neonatus dengan PH mungkin

8
tidak dapat dibuktikan memiliki zona transisi radiologi. Kadang-kadang, studi
positif palsu terjadi. Hal ini juga penting untuk mendapatkan rotgen polos 24
jam kemudian. Retensi kontras sangat sugestif untuk PH. Hal ini juga penting
untuk menggunakan bahan yang larut dalam air seperti enema sebagai
pengobatan definitif untuk kondisi lain dalam diferensial diagnosis, seperti
mekonium ileus dan sindrom plug mekonium. Setelah dicurigai diagnosis PH
dengan diagnosis harus dikonfirmasi dengan biopsi rektal, dimana pada
neonatus dapat dilakukan pada pasien tanpa obat penenang dan menggunakan
teknik hisap (Langer, 2014).
Biopsi ketebalan penuh harus dilakukan pada anak berusia di atas satu
tahun. Spesimen patologi menunjukkan tidak adanya sel ganglion dan adanya
saraf hipertrofik (> 40 μm). Spesimen diambil paling sedikit 0,5 cm di atas
linea dentate untuk menghindari area berumbai yang biasanya aganglionik.
Pewarnaan asetilkolinesterase sering digunakan seperti pada calretinin, yang
lebih sensitif. Calretinin adalah transporter kalsium yang ditemukan pada sel
ganglion enterik, sehingga tidak ada yang menunjukkan PH. Manometri
anorektal dapat digunakan pada anak yang lebih tua. Pada pasien dengan PH,
manometri menunjukkan kegagalan untuk melemaskan sfingter internal saat
rektum membesar. Pasien sembelit dengan hasil manometri yang normal
terkadang dapat menghindari biopsi rektum yang tidak perlu. Pada pasien
yang dipull-through yang mengalami soiling maka manometri anorektal
digunakan untuk menilai secara obyektif kualitas sfingter (Avansino, 2017).
a. Bentuk Klinis
1) Obstruksi Neonatal
Sekitar 50% sampai 90% anak-anak dengan PH hadir selama
periode neonatal dengan distensi abdomen, muntah-muntah sedang, dan
intoleransi makan yang menandakan obstruksi usus distal. Pengeluaran
mekonium yang tertunda lebih dari 24 jam pertama merupakan
karakteristik tetapi hanya ada pada sekitar 90% anak-anak dengan PH.
Pada beberapa pasien perforasi sekum atau appendix mungkin
merupakan kejadian awal. (Langer, 2014; Burki, 2010).

9
2) Konstipasi Kronis
Beberapa pasien hadir kemudian di masa kanak-kanak, atau bahkan
saat dewasa, dengan konstipasi kronis. Hal ini paling sering terjadi pada
bayi yang disusui, yang biasanya mengalami sembelit sekitar waktu
penyapihan. Meskipun kebanyakan anak yang hadir setelah masa
neonatal memiliki tipe segmen pendek, riwayat ini mungkin juga
ditemukan pada mereka yang memiliki segmen lebih lama atau bahkan
keterlibatan kolon total, terutama jika anak tersebut diberi ASI
eksklusif. Karena konstipasi sering terlihat pada masa kanak-kanak,
mungkin sulit untuk membedakan PH dari penyebab konstipasi yang
lebih umum. (Langer, 2012; burki, 2010).
3) Enterocolitis
Sekitar 10% anak-anak dengan PH hadir dengan demam, distensi
abdomen, dan diare karena HAEC, yang mungkin kronis, atau mungkin
parah dan mengancam jiwa. Karena PH umumnya dianggap sebagai
penyebab konstipasi sehingga presentasi dengan diare mungkin
membingungkan Dan diagnosisnya mungkin tidak dipertimbangkan.
Anamnesis yang hati-hati termasuk riwayat pengeluaran mekonium
yang tertunda dan adanya episode obstruksi intermiten harus mengarah
pada penyelidikan PH. Etiologi HAEC sendiri masih kontroversial.
Teori yang paling umum adalah bahwa stasis yang disebabkan oleh
penyumbatan fungsional akibat usus aganglionik memungkinkan
pertumbuhan berlebih bakteri dengan infeksi sekunder. Agen infeksius
seperti Clostridium difficile atau rotavirus telah dipostulasikan sebagai
penyebab, namun ada sedikit data untuk mendukung patogen tertentu.
Ada beberapa bukti yang melibatkan perubahan produksi mucin usus
dan perubahan produksi imunoglobulin mukosa pada anak-anak dengan
HAEC, yang kemungkinan berakibat pada hilangnya fungsi penghalang
usus dan memungkinkan invasi bakteri (Langer, 2012; Peña, 2015).

10
4) Kelainan kongenital lainnya
PH dikaitkan dengan berbagai kelainan kongenital lainnya, yang
kehadirannya harus meningkatkan kecurigaan klinisi. Ini termasuk
malrotasi, kelainan genitourinari, penyakit jantung kongenital, kelainan
fungsi, lipatan bibir sumbing, gangguan pendengaran, keterbelakangan
mental, dan fitur dermatorfik. Selain itu, PH dapat menjadi bagian dari
sejumlah besar sindrom yang diakui seperti trisomi 21, berbagai
neurocristopathies, dan sindrom hipoventilasi sentral kongenital
(Langer, 2012).
b. Evaluasi Radiologis
Untuk neonatus dengan gambaran klinis dan radiografi polos yang
menunjukkan penyumbatan usus neonatal distal, langkah pertama dalam
jalur diagnostik adalah enema kontras yang dapat larut dalam air. Temuan
patognomonik PH pada kontras enema adalah zona transisi antara usus
normal dan aganglionik, walaupun sekitar 10% neonatus dengan PH
mungkin tidak memiliki zona transisi radiologis yang dapat ditunjukkan.
Penting untuk menggunakan bahan yang larut dalam air karena enema
berpotensi menjadi pengobatan definitif untuk kondisi lain dalam
diagnosis banding seperti mekonium ileus dan sindrom mekonium. Pada
anak yang lebih tua, enema barium yang tidak disiapkan harus dilakukan
daripada studi kontras yang larut dalam air. Tidak adanya zona transisi
pada kelompok usia ini namun masih mungkinkan adanya kecurigaan PH,
karena segmen aganglionik pendek. Pada neonatus dan anak-anak yang
lebih tua, rotgen yang paling penting adalah proyeksi lateral, di mana zona
transisi rektal akan terlihat paling jelas. Temuan lain pada kontras enema
yang menunjukkan PH termasuk indeks recto-sigmoid terbalik dan retensi
kontras di usus besar pada rotgen 24 jam paska evakuasi (Langer, 2012; Al
salem, 2014).
Segmen aganglionik dalam PH secara radiologis disebut sebagai
"segmen sempit." Kenyataannya ini adalah bagian nondistended atau
bagian spastik usus besar. Usus proksimal dari bagian aganglionosis

11
menjadi sangat melebar. Saat lahir, dilatasi kolon proksimal mungkin tidak
begitu parah. Namun, seiring berjalannya waktu, dilatasi menjadi lebih
buruk, dan perbedaan ukuran antara normoganglionik proksimal yang
melebar dan segmen aganglionik distal, menjadi lebih mencolok, yang
pada akhirnya menunjukkan citra radiologis yang khas. Literatur bedah
sering mengacu pada "zona transisi" yang mengacu pada bagian usus yang
berada di antara segmen ganglionik melintang normal dan non-dilatasi.
Studi histologis dari usus distal yang tidak berdilatasi menunjukkan tidak
adanya sel ganglion superfisial submukosa (Meissner), sel ganglion dalam
submukosa (Henle), dan intramuskular (Auerbach). Selain itu, ada
peningkatan ukuran yang mencolok dari serabut saraf yang prominen.
Aktivitas enzim acetylcholine esterase meningkat secara nyata. Sel
ganglion bertindak sebagai jalur umum akhir untuk aktivitas simpatik dan
parasimpatis. Segmen aganglionik mengalami spasme, kekurangan
peristaltik pendorong, dan kontraksi. Selain itu, secara khas pasien
menderita kekurangan relaksasi otot yang mengelilingi bagian bawah
rektum yang digambarkan sebagai sfingter internal, dan ini merupakan
penemuan manometrik (Peña, 2015).
c. Manometri Anorectal
Recto-anal Inhibitor Reflex (RAIR) didefinisikan sebagai relaksasi
refleks sfingter internal anus sebagai respons terhadap distensi rektum dan
terjadi pada anak normal namun tidak ada pada anak-anak dengan PH.
RAIR dapat didokumentasikan menggunakan manometri anorektal dengan
menggembungkan balon di rektum sambil mengukur tekanan sfingter
internal secara bersamaan. Manometri anorektal tidak banyak tersedia
untuk neonatus dan seringkali bergantung pada operator. Pada anak yang
lebih besar, tes ini secara teknis lebih mudah, namun hasil false-positive
mungkin terjadi karena menutupi respons relaksasi dengan kontraksi
sfingter eksternal, serta artefak yang diciptakan oleh gerakan atau tangisan.
Manometri anorektal paling berguna dalam evaluasi anak yang lebih tua
dengan konstipasi kronis, di mana dokumentasi RAIR normal secara

12
efektif menyingkirkan PH dan menghindari kebutuhan akan biopsi rektum
(Langer, 2012).
d. Biopsi Rektal
Diagnosis pasti PH didasarkan pada evaluasi histologis dari biopsi
rektum, yang tetap merupakan teknik diagnostik standar emas. Temuan
definitif yang mendefinisikan PH adalah tidak adanya sel ganglion pada
pleksus submukosa dan myenterik. Sebagian besar pasien juga akan
memiliki batang saraf yang hipertropi, walaupun temuan ini tidak selalu
ada, terutama pada anak-anak dengan penyakit kolon total atau segmen
aganglionik pendek. Karena biasanya terdapat kekurangan sel ganglion di
daerah 0,5 sampai 1 cm di atas linea dentate, biopsi harus diambil paling
sedikit 1 sampai 1,5 cm di atasnya. Namun, biopsi yang terlalu proksimal
mungkin tidak akan mendeteksi segmen aganglionik pendek. Kebanyakan
ahli bedah menggunakan teknik biopsi hisap, karena memiliki risiko
perforasi atau pendarahan yang rendah. Untuk anak-anak yang biopsi hisap
menghasilkan spesimen yang tidak memadai dan pada anak yang lebih tua
di antaranya mukosa terlalu tebal untuk biopsi hisap, biopsi pukulan atau
biopsi ketebalan penuh memberi lebih banyak jaringan dan tingkat yang
lebih dalam. Di banyak center penelitian, pewarnaan hematoxylin dan
eosin rutin dilengkapi dengan pewarnaan untuk asetilkolinesterase, yang
memiliki pola karakteristik pada submukosa dan mukosa (Langer, 2012).
Kadang-kadang bayi prematur akan mengalami obstruksi usus distal,
dan kemungkinan PH akan meningkat berdasarkan parameter klinis dan
radiologis. Biopsi rektum dini pada anak-anak ini tidak disarankan karena
dua alasan: (1) Ahli patologi mungkin mengalami kesulitan mengenali sel
ganglion karena ketidakmatangannya, dan (2) sulit untuk mendapatkan
jaringan yang cukup tanpa meningkatkan risiko komplikasi dalam kecil.
Bayi prematur Yang terbaik dalam situasi ini adalah dekompresi rektum
menggunakan rangsangan dan / atau irigasi dan tunggu sampai anak
tersebut mendekati istilah sebelum melakukan biopsi rektum. Meskipun
beberapa ahli bedah percaya bahwa PH tidak terlihat pada bayi prematur,

13
kondisi ini telah terdokumentasi dengan baik dalam sejumlah rangkaian
(Langer, 2014).
e. Pembagian menurut panjang aganglionosis usus
1) Short segmen
Aganglionosis terjadi pada segmen distal dari colon. Terjadi pada
80% kasus PH, dengan angka kejadian empat kali lebih banyak
pada laki-laki dibandingkan perempuan.
2) Long segment
Terjadi aganglionosis pada hampir keseluruhan kolon. Terjadi pada
20% kasus PH, dengan angka kejadian sama antara laki-laki
dibandingkan perempuan. Kasus yang sangat jarang terjadi
aganglionosis pada semua segmen kolon dan beberapa bagian usus
halus (aganglionosis kolon total) atau semua usus halus dan kolon
(aganglionosis intestinal total).
3) Suspended Hirschsprung
Sebuah kondisi kontroversial dimana sebagian dari kolon adalah
aganglionik diatas segmen distal yang normal (Amiel et al., 1998;
Holschneider dan Ure, 2005)

3. Diagnosis Banding
Beberapa kondisi harus dipertimbangkan pada bayi yang didiagnosis
penyakit Hirschsprung. Atresia kolon memberikan temuan rotgen polos
abdomen yang serupa terhadap PH namun mudah disingkirkan dengan
barium enema yang menunjukkan penyumbatan mekanis yang lengkap. Pada
mekonium ileus mekonium khas kental berbintik dapat terlihat. Namun,
penyakit hirschsprung kadang-kadang dapat mensimulasikan mekonium ileus
di film polos dan mungkin memberikan temuan yang tidak jelas pada
Gastrografi n atau barium enema. Sumbat mekonium yang menghalangi usus
besar dapat hadir sebagai penyakit Hirschsprung dengan sejarah yang sangat
sugestif dan film polos. Sindrom kolon kiri kecil dengan distensi distal yang
proksimal ke kolon tetes yang menyempit juga mensimulasikan penyakit

14
Hirschsprung di lentik kolon kiri. Kedua kondisi ini biasanya diatasi dengan
enema Gastrografin namun sebagian kecil dari kasus ini sebenarnya
mengandung Hirschsprung yang harus dikecualikan secara klinis (Puri,
2009).
Diagnosis banding penyakit Hirschsprung
Obstruksi usus neonatal
Atresia kolon
Ileus mekonium
Sindrom plug mekonium
Sindrom usus halus kiri
Malrotasi
Malformasi anorektal rendah
Gangguan motilitas usus / pseudo-obstruksi
Necrotizing enterocolitis
Penyebab sistemik: sepsis, kelainan elektrolit, obat-obatan terlarang,
Hipotiroidisme, dll.
Konstipasi kronis
Megacolon fungsional
Gangguan motilitas usus / pseudo-obstruksi
Penyebab sistemik: kelainan elektrolit, obat-obatan, hipotiroidisme

4. Persiapan Preoperatif
Anak harus diberi resusitasi dengan cairan intravena dan diobati dengan
antibiotik spektrum luas, drainase nasogastrik, dan dekompresi rektum
dengan menggunakan rangsangan rektum dan / atau irigasi. Pasien dengan
kelainan terkait seperti penyakit jantung atau sindrom hipoventilsi kongenital
harus dievaluasi secara menyeluruh sebelum koreksi operasi (Langer, 2012).
Begitu bayi atau anak telah diresusitasi dan distabilkan, operasi bisa
dilakukan secara semi-elektrik. Sambil menunggu, banyak bayi bisa pulang
ke rumah dengan menggunakan ASI atau formula elemental, dikombinasikan
dengan rangsangan rektum atau irigasi. Pada anak yang lebih tua dengan

15
kolon yang sangat melebar, penarikan harus ditunda sampai diameter usus
besar telah menurun secukupnya untuk melakukan prosedur yang aman.
Beberapa dari anak-anak ini mungkin memerlukan kolostomi awal untuk
secara cukup dekompresi usus besar yang melebar (Langer, 2012).
Beberapa dokter telah menganjurkan manajemen jangka panjang
nonoperatif PH segmen pendek menggunakan enema dan obat pencahar.
Yang lain menyarankan bahwa myectomy sederhana mungkin memadai.
Namun, pendekatan ini tidak memberikan kualitas hidup yang baik bagi
kebanyakan bayi dan anak-anak dengan PH, dan kebanyakan ahli bedah anak
merekomendasikan prosedur penarikan bahkan untuk penyakit segmen
pendek (Langer, 2012).

5. Managemen Pembedahan
Tujuan pengelolaan bedah untuk PH adalah untuk menghilangkan usus
aganglionik dan merekonstruksi saluran usus dengan membawa usus yang
normal masuk ke anus sambil menjaga fungsi sfingter normal. Operasi yang
paling sering dilakukan adalah prosedur Swenson, Duhamel dan Soave,
walaupun sejumlah operasi lainnya, seperti prosedur Rebhein dan State,
masih dilakukan di beberapa pusat. Karena hanya sedikit penelitian prospektif
yang membandingkan tehnik operasi, operasi terbaik untuk pasien secara
individual adalah praktik ahli bedah yang harus terus dilakukan dan sering
dikerjakan (Langer, 2012).
Ahli bedah harus memutuskan antara pull-through proksimal ke segmen
yang terkena, sebagai operasi satu tahap atau operasi yang dilakukan
beberapa bertahap. Pasien dengan penyakit segmen pendek yang dapat
defekasi secara teratur dengan penggunaan irigasi rektal biasanya aman untuk
pull-through. Pasien dengan penyakit segmen panjang yang tidak dapat tinja
bahkan dengan irigasi rektum memerlukan kolostomi yang merata.
Kontraindikasi lain terhadap tarikan utama adalah pelebaran besar-besaran,
enterokolitis, perforasi, malnutrisi, dan ketidakmampuan untuk menentukan
zona transisi.

16
Kolostomi leveling dilakukan melalui laparotomi dibagian yang lebih
rendah dari kolon transversum, dan lokasi kolostomi dipilih 5 cm di atas zona
transiasi dari dilatasi menjadi kolon yang sempit, biasanya di kolon sigmoid.
Data dari pemeriksaan visual, dan kontras enema dapat digunakan untuk
menemukan tingkat yang tepat, namun hasil biopsi dengan adanya sel
ganglion adalah satu-satunya cara untuk memastikan bahwa tempat kolostomi
yang dipilih adalah kolon normal.
Waktu operasi tergantung pada panjang penyakit dan preferensi ahli
bedah. Penarikan primer dapat terjadi pada hari-hari kehidupan pertama, atau
dapat ditunda beberapa minggu atau bulan dengan dilakukan irigasi rektal
tiga kali setiap hari di rumah oleh orang tuanya. Penarikan bertahap harus
dilakukan setelah anak pulih dari kolostomi dan telah mampu tumbuh, kira-
kira 3 bulan. (Cappola, 2014)
a. Prosedur Swenson
Tujuan dari pullover Swenson adalah membuang seluruh kolon
aganglionik, dengan anastomosis end-to-end di atas sfingter anus. Operasi
ini awalnya dilakukan melalui laparotomi, dengan anastomosis dilakukan
dari perineum setelah eversi aganglionik. Penting untuk menjaga
pembedahan pada bidang yang benar di sepanjang dinding rektal untuk
menghindari cedera pada saraf pelvis dalam, pembuluh dan struktur
lainnya seperti vagina, prostat, vas deferens, dan vesikula seminalis.
Terlepas dari risiko teoritis yang melekat pada diseksi pelvis dalam, hasil
fungsional jangka panjang setelah prosedur Swenson sangat baik (Langer,
2014; Langer, 2012).
b. Prosedur Soave
Prosedur Soave, yang kemudian dimodifikasi oleh Boley dalam 1 tahap,
dirancang untuk menghindari risiko cedera pada struktur pelvis yang
penting dengan melakukan pembedahan endorektal submukosa dan
memposisikan usus melalui 'manset' usus aganglionik. Meskipun ada
kekhawatiran oleh beberapa orang bahwa prosedur Soave dapat
menyebabkan konstipasi jangka panjang karena eksisi dubur aganglionik

17
yang tidak lengkap, sebagian besar penelitian lanjutan telah melaporkan
hasil yang serupa antara operasi Soave dan Swenson (Langer, 2014).
c. Prosedur Duhamel
Prosedur Duhamel meneroboskan kolon normal ke bawah melalui
bidang avaskuler antara rectum dan sakrum, dan menggabungkan dua
dinding, awalnya menggunakan klem kocher kemudian dengan stapler
linier untuk menciptakan lumen baru yang aganglionik di anterior. Operasi
Duhamel dirasakan oleh banyak ahli bedah lebih mudah dan aman
daripada prosedur Swenson atau Soave dan juga menghasilkan
anastomosis yang sangat besar, yang mengurangi risiko penyempitan.
Hasil jangka panjang prosedur Duhamel yang dilaporkan serupa dengan
yang ada pada dua operasi lainnya, walaupun penelitian terbaru
menunjukkan bahwa hasil dari prosedur Duhamel mempunyai respons
transanal yang lebih rendah (Langer, 2014).
d. Laparoscopic Pull-through
Dengan dimulainya operasi laparoskopi pada akhir 1980an, teknik
minimal akses menjadi semakin diterapkan pada penyakit bedah anak.
Georgeson pertama kali menggambarkan pendekatan laparoskopi untuk
PH pada tahun 1995. Dengan teknik ini, biopsi pada awalnya dilakukan
untuk mengidentifikasi zona transisi, rektum dimobilisasi di bawah
refleksi peritoneum, dan diseksi mukosa pendek dilakukan melalui
pendekatan perineum. Rektum kemudian di prolaps melalui anus dan
anastomosis yang dilakukan dari bawah. Prosedur ini dikaitkan dengan
waktu yang lebih singkat di rumah sakit, dan hasil awal dan menengah
tampaknya setara dengan yang dilaporkan untuk prosedur lainnya.
Pendekatan laparoskopi juga telah dijelaskan untuk operasi Duhamel dan
Swenson, dengan hasil jangka pendek yang sangat baik (Langer, 2014).
e. Transanal (Perineal) Pull-through
Pendekatan transanal pertama kali dijelaskan oleh de la Torre pada
tahun 1998 dan oleh Langer pada tahun 1999, dan telah diadopsi dan
dilaporkan oleh sejumlah ahli bedah. Operasi bisa dilakukan dengan posisi

18
litotomi. Insisi mukosa dibuat 0,5-1,0 cm di atas linea dentate, tergantung
ukuran anak, dan mukosa dilucuti dari otot yang mendasari seperti pada
operasi Soave. Panjang pembedahan submukosa bervariasi menurut ahli
bedah, walaupun manset anus lebih pendek dapat dikaitkan dengan
kejadian enterokolitis yang lebih rendah dan kebutuhan untuk dilatasi.
Beberapa ahli bedah tidak melakukan pembedahan submukosa, dan secara
efektif melakukan prosedur Swenson transanal (Langer, 2014).
f. Long-Segment Aganglionosis
PH segmen panjang biasanya didefinisikan sebagai zona transisi yang
proksimal berada pada pertengahan kolon transversum. Bentuk yang
paling umum adalah aganglionosis kolon total, yang biasanya juga
mencakup beberapa ileum distal. Dalam kasus yang jarang terjadi
aganglionosis seluruh kolon dan sebagian besar usus halus. Sebagian besar
neonatus dengan penyakit segmen panjang datang dengan keluhan
obstruksi usus kecil distal, walaupun terkadang anak-anak dengan penyakit
segmen panjang mungkin tidak datang setelah masa disapih.
Ada tiga jenis operasi yang tersedia untuk anak-anak dengan penyakit
segmen panjang: tarikan lurus melalui salah satu teknik standar (Swenson,
Duhamel, atau Soave), patch usus besar menggunakan kolon kiri (Martin)
atau kolon kanan (Kimura ), Dan ileal J-pouch. Tidak ada penelitian yang
melaporkan hasil operasi jangka panjang untuk PH jangka panjang.
Meskipun prosedur patch usus besar secara teoritis menghasilkan output
tinja yang menurun karena penyerapan air yang lebih baik, kolon
aganglionik cenderung melebar dan banyak dari pasien ini mengalami
enterokolitis parah, yang memerlukan pengangkatan patch atau stoma
permanen. Anak-anak yang menjalani pull-through lurus cenderung
mengalami penurunan frekuensi tinja secara bertahap dari waktu ke waktu,
dengan kualitas hidup yang dapat diterima. Anak-anak ini membutuhkan
total parenteral nutrisi (TPN) sejak lahir. Pada saat eksplorasi pertama,
tujuannya adalah untuk menentukan tingkat aganglionosis berdasarkan
bagian beku, dan untuk menciptakan stoma yang baik pada titik paling

19
distal yang biasanya masuk ke dalam usus atau lebih jauh dengan usus
aganglionik. Kateter vena sentral dipasang untuk memasukkan TPN, dan
gastrostomi harus dipertimbangkan untuk pemberian ASI atau formula
elemental secara terus-menerus (Langer, 2012).

6. Kolostomi
Operasi awal Swenson digambarkan sebagai prosedur satu tahap, namun
insiden penyempitan, kebocoran, dan hasil buruk lainnya pada anastomosis
yang relatif tinggi menjadikan kolostomi awal sebagai prosedur rutin, diikuti
operasi rekonstruktif berikutnya sesuai periode pertumbuhannya. Pendekatan
ini menjadi dogma bedah, yang diperkuat oleh fakta bahwa banyak anak-anak
dengan PH yang hadir terlambat dengan kekurangan gizi dan usus besar yang
melebar, sehingga kolostomi adalah prosedur life saving. Pada 1980-an,
sejumlah ahli bedah melaporkan serangkaian prosedur pull-through satu tahap
bahkan pada bayi kecil. Selama 10 sampai 15 tahun ke depan, operasi satu
tahap menjadi semakin populer dan banyak laporan mendokumentasikan
tentang keamanan pendekatan ini. Prosedur satu tahap menghindari
morbiditas stoma pada bayi yang diketahui dan juga lebih hemat biaya.
Penting untuk diingat bahwa stoma mungkin masih diindikasikan untuk anak-
anak dengan enterokolitis berat, perforasi, malnutrisi, atau usus proksimal
yang melebar secara besar-besaran, dan juga pada situasi di mana terdapat
patologi yang tidak memadai untuk memastikan adanya zona transisi pada
potong beku (Langer, 2014).

7. Managemen Pasca Operasi


Paska operasi, anak tersebut segera diberi makan dan sebagian besar dapat
dipulangkan dalam waktu 24-48 jam. Anastomosis harus dikalibrasi dengan
dilator atau jari 1-2 minggu setelah operasi. Meskipun banyak ahli bedah
menyarankan orang tua untuk melebarkan anus setiap hari, kami telah
menemukan bahwa ini tidak diperlukan dalam banyak kasus dan kalibrasi
mingguan cukup untuk jangka waktu 4-6 minggu. Pantat sebaiknya diberi
krim pelindung, karena setidaknya 50% anak-anak akan sering buang air

20
besar paska operasi dan rentan terhadap kerusakan kulit perineum. Keluarga
harus dididik tentang tanda dan gejala enterokolitis (demam, kelesuan,
distensi perut, diare, darah atau lendir dari anus) dan diminta segera
membawa anak ke rumah sakit jika ada keluhan. Masalah jangka panjang
pada anak-anak dengan penyakit Hirschsprung meliputi gejala obstruktif,
inkontinensia dan enterocolitis yang sedang berlangsung. Komplikasi ini
lebih sering terjadi daripada yang telah diketahui sebelumnya dan pasien
harus diikuti perkembangannya dengan ketat, setidaknya sampai mereka
menjalani proses pelatihan toilet (Langer, 2012).

8. Masalah Jangka Panjang


Masalah jangka panjang pada anak-anak dengan PH mencakup gejala
obstruktif yang sedang berlangsung, pengerasan feces, dan enterokolitis.
Penting bagi ahli bedah untuk mengikuti anak-anak ini dengan saksama,
setidaknya sampai mereka menjalani proses pelatihan toilet, untuk
mengidentifikasi dan memberikan perawatan tepat waktu untuk masalah
tersebut (Langer, 2014).
a. Gejala Obstruktif
Gejala obstruktif bisa berupa distensi abdomen, kembung, muntah, atau
konstipasi parah yang sedang berlangsung. Ada lima alasan utama untuk
gejala ini setelah pull-through: obstruksi mekanis, aganglionosis rekuren
atau didapat, motilitas tidak teratur pada kolon residu atau usus kecil,
achalasia sfingter internal, atau megacolon fungsional yang disebabkan
oleh perilaku menahan tinja. Dokter akan memiliki kesuksesan yang jauh
lebih besar dalam mengelola pasien yang sulit ini jika pendekatan
terorganisir diambil (Langer, 2014).
1) Obstruksi Mekanik
Penyebab paling umum dari obstruksi mekanis setelah tarikan
adalah striktur, yang biasanya terjadi setelah prosedur Swenson atau
Soave. Pasien yang menjalani prosedur Duhamel mungkin memiliki
"taji" yang ditahan yang terdiri dari usus aganglionik anterior, yang

21
dapat diisi dengan tinja dan menghalangi usus yang ditarik. Dalam
kasus lain, mungkin ada penyumbatan yang merupakan akibat dari twist
pada pull-through. Usus atau penyempitan karena manset berotot
panjang pada anak-anak yang telah menjalani prosedur Soave Obstruksi
dapat diidentifikasi dengan menggunakan kombinasi pemeriksaan
digital pada rektal dan barium enema. Pengelolaan awal striktur
anastomis terdiri dari dilatasi berulang menggunakan jari, dilator, atau
balon yang melebar secara radial. Beberapa peneliti telah menganjurkan
teknik inovatif untuk striktur bandel termasuk dilatasi menggunakan
dilator Tucker dan penggunaan steroid intralesional (Langer, 2012).
2) Aganglionosis Persistent atau Acquired
Masalah ini mungkin disebabkan oleh kesalahan dalam analisis
histologis, zona transisi atau hilangnya sel ganglion, dan dapat
didiagnosis dengan melakukan biopsi di atas anastomosis colo-anus.
Spesimen dari operasi awal harus ditinjau dan bagian selanjutnya harus
diambil secara melingkar pada batas reseksi karena zona transisi dapat
asimetris pada anak-anak dengan PH. Dalam kebanyakan kasus,
pengobatan terbaik untuk aganglionosis persisten atau yang didapat
adalah tarikan berulang, yang dapat dilakukan dengan menggunakan
pendekatan Soave atau Duhamel (Langer, 2014).
3) Gangguan Motilitas
Anak-anak dengan PH sering memiliki motilitas abnormal di
seluruh saluran usus, termasuk refluks gastroesophageal dan
pengosongan lambung yang tertunda. Kelainan ini mungkin bersifat
fokal, biasanya melibatkan kolon kiri, atau mungkin digeneralisasi, dan
mungkin atau mungkin tidak terkait dengan kelainan histologis lainnya
seperti intestinal neuronal displasia (IND). Teknik untuk mendiagnosis
gangguan motilitas meliputi studi radiologis studi radionuklida, kolon
transit, manometri kolon, dan biopsi laparoskopi untuk mencari bukti
IND. Jika terjadi kelainan fokal, reseksi dengan pengulangan pull-
through menggunakan usus normal sangat dibutuhkan. Dismotilitas

22
difus paling baik ditangani dengan penanganan usus, yang mungkin
termasuk enema anterior melalui cecostomy, dan penggunaan agen
prokinetik (Langer, 2014).
4) Internal Sphincter Achalasia
Istilah ini mengacu pada gejala obstruktif yang disebabkan oleh
kurangnya refleks hambat recto-anal normal yang ditemukan pada
semua anak dengan PH. Kebanyakan anak akhirnya bebas dari masalah
ini dari waktu ke waktu, biasanya pada usia 5 tahun. Diagnosis dapat
dikonfirmasi dengan menunjukkan respons klinis terhadap toksin
botulinum intraspinterik. Pendekatan operatif tradisional untuk
achalasia sfingter internal adalah sphincterotomy internal atau
myectomy. Namun, karena masalah ini bisa diatasi dengan sendirinya,
dan ada kekhawatiran tentang operasi pemotongan sfingter yang
berdampak pada kontinuitas, kita lebih suka menggunakan
sfingterotomi kimia dengan toksin botulinum intrasphincteric. Dalam
banyak kasus, suntikan toksin botulinum berulang-ulang, atau
penerapan pasta nitrogliserin atau nifedipina topikal, masih diperlukan
sambil menunggu resolusi masalah (Langer, 2014).
5) Megacolon Fungsional
Megacolon fungsional adalah hasil perilaku menahan tinja, yang
sangat umum pada anak normal. Perilaku ini mungkin lebih sering
terjadi pada anak-anak dengan PH karena kecenderungan mereka untuk
sembelit. Masalah ini paling baik diobati dengan rejimen pengelolaan
usus yang terdiri dari strategi pencahar dan modifikasi perilaku. Pada
kasus yang parah, anak mungkin memerlukan cecostomy untuk antigen
enkapsulasi, atau bahkan stoma proksimal. Dalam banyak kasus,
cecostomy atau stoma dapat dibalik saat anak mencapai masa remaja
(Langer, 2014).

b. Pengerasan Feces

23
Ada tiga penyebab pengerasan feces setelah dilakukan pull-through:
fungsi sfingter abnormal, sensasi abnormal, atau 'pseudo-incontinence'.
Fungsi sfingter abnormal mungkin disebabkan oleh cedera sfingter selama
pull-through atau myectomy atau sphincterotomy sebelumnya, dan
biasanya dapat diidentifikasi dengan menggunakan manometri anorektal
atau ultrasound endorektal. Ada dua bentuk sensasi abnormal. Yang
pertama adalah kurangnya sensasi rektum penuh, yang juga dapat
diidentifikasi dengan menggunakan manometri anorektal, dan yang
lainnya adalah ketidakmampuan untuk mendeteksi perbedaan antara gas
dan tinja. Masalah ini biasanya karena hilangnya epitel transisional karena
anastomosis dilakukan di bawah garis dentate. Perbedaan ini biasanya
terlihat pada pemeriksaan fisik. Kelemahan sphincter maupun sensasi
abnormal tidak dapat diperbaiki dengan solusi bedah. Sebagian besar anak-
anak ini paling baik dikelola dengan menggunakan managemen rutin usus,
termasuk makanan tinggi serat, obat pencahar stimulan, dan enema
rektum. Pelatihan biofeedback telah dianjurkan, terutama bagi anak-anak
dengan kelemahan sfingter. Dalam beberapa kasus, anak paling baik
ditangani dengan kolostomi (Langer, 2014).
c. Enterocolitis
Etiologi HAEC tidak diketahui, dan mungkin multi faktoral. Stasis yang
disebabkan oleh obstruksi fungsional memungkinkan pertumbuhan
berlebih bakteri dengan infeksi sekunder. Agen infeksius seperti
Clostridium dificile atau rotavirus telah dipostulasikan sebagai penyebab,
namun hanya sedikit data yang mendukung patogen tertentu. Ada beberapa
bukti yang melibatkan perubahan pada produksi mucin usus dan produksi
imunoglobulin mukosa, yang kemungkinan berakibat pada hilangnya
penghalang usus dan memungkinkan invasi bakteri (Langer, 2014).
HAEC tetap menjadi penyebab paling umum kematian pada PH. Hal ini
dapat terjadi kapan saja, termasuk sebelum dan sesudah prosedur pull-
through. Kejadian enterokolitis dalam PH sangat bervariasi di antara
rangkaian yang diterbitkan tergantung pada definisi dan tingkat keparahan

24
enterokolitis. Penelitian multisenter besar menunjukkan kejadian berkisar
antara 22-42%. Kejadian HAEC pra operasi terjadi sekitar 15-20%.
Enterokolitis pascaoperasi dapat mempengaruhi sepertiga pasien, dengan
tingkat mortalitas bervariasi dari 0-30%. Banyak pasien memiliki lebih
dari satu episode HAEC. Hilangannya enterokolitis dapat terjadi meski ada
kolostomi yang rusak atau prosedur definitif yang berhasil. Oleh karena
itu, sangat penting bahwa pengobatan enterokolitis dimulai lebih awal dan
dikejar untuk mencegah agar tidak menjadi kronis. Juga menarik untuk
mengetahui bahwa frekuensi serangan enterokolitis cenderung menurun
seiring berjalannya waktu (El Sawaf, 2008).

9. Varian Hirschsprung
Varian PH adalah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan
anak dengan gambaran klinis yang sugestif dari PH, namun pada biopsi
rektum ditemukan sel ganglion. Ada sejumlah besar kontroversi seputar
definisi dan fitur dari banyak kondisi ini. Dalam beberapa kasus, keberadaan
mereka bahkan telah dipertanyakan (Langer, 2014).
a. Intestinal Neuronal Dysplasia (IND)
Kondisi ini pertama kali dijelaskan oleh Meier-Ruge pada tahun 1971.
Biasanya dideskripsikan 2 tipe. Tipe A kurang umum dan ditandai dengan
berkurangnya persarafan simpatis pada pleksus myenterik dan submukosa,
disertai hiperplasia pleksus myenterik. Tipe B terdiri dari displasia pleksus
submukosa dengan serat saraf menebal dan ganglia raksasa, pewarnaan
asetilkolinesterase meningkat, dan identifikasi sel ganglion ektopik di
lamina propria. Tipe B dapat terjadi secara independen atau bersamaan
dengan PH. Sebagai tambahan, IND bisa berupa diffuse atau focal
(Langer, 2014).
b. Hypoganglionosis
Hipoganglionosis ditandai dengan ganglia yang jarang dan kecil,
biasanya di usus distal, sering dikaitkan dengan kelainan pada distribusi
asetilkolinesterase. Pengobatan yang tepat adalah reseksi usus abnormal

25
dengan prosedur pull-through seperti yang akan dilakukan pada anak
dengan PH. Kondisi ini harus dibedakan dari ganglia belum matang, yang
terlihat pada anak prematur, dan sebaiknya tidak diobati dengan
pembedahan (Langer, 2014).
c. Internal Sphincter Achalasia
Ada beberapa anak yang memiliki sel ganglion normal pada biopsi
rektum, tapi kekurangan refleks hambat recto-anal pada manometri
anorektal. Kondisi ini disebut achalasia sfingter internal. Perlakuan awal
adalah pengelolaan usus yang terdiri dari diet, obat pencahar, dan enema
atau irigasi. Jika ini tidak berhasil, beberapa ahli menganjurkan
miomektomi sfingter anal. Karena konstipasi yang terkait dengan kondisi
ini biasanya membaik selama lima tahun pertama, pengobatan mencakup
tindakan sfingteroktomi sementara atau reversibel seperti toksin
botulinum, pasta nitrogliserin, atau nifedipin topikal, seperti yang telah
dibahas sebelumnya (Langer, 2014).
d. ‘Ultra-short Segment’ Penyakit Hirschsprung
Beberapa ahli bedah menggunakan istilah ini untuk menggambarkan
anak-anak dengan sel ganglion normal pada biopsi rektum, namun tidak
adanya refleks hambat recto-anal, yang identik dengan definisi achalasia
sfingter internal. Kami lebih memilih untuk anak-anak yang memiliki
segmen aganglionik yang terdokumentasi kurang dari 3-4 cm. Pada anak-
anak dengan kondisi ini, temuan saraf hipertrofik dan pewarnaan
kolinesterase abnormal mungkin tidak ada. Perawatan segmen ultra-short
PH masih kontroversial. Beberapa peneliti menganjurkan miomektomi
sfingter anal sederhana, sedangkan yang lain lebih menyukai eksisi
segmen aganglionik dengan pull-through (Langer, 2014).
e. Desmosis Coli
Ini adalah kondisi langka digambarkan oleh Meier-Ruge yang ditandai
dengan konstipasi kronis yang terkait dengan total atau kekurangan fokal
jaringan ikat pada otot sirkuler dan longitudinal dan lapisan jaringan ikat
pleksus myenterik, tanpa kelainan pada sistem saraf enterik. Satu keluarga

26
telah dijelaskan di mana PH dan desmosis coli hidup berdampingan,
meskipun dalam kebanyakan kasus mereka adalah entitas yang terpisah
(Langer, 2014).

B. Transanal Endorektal Pullthrough


1. Sejarah
Sejak operasi pertama dilakukan oleh Swenson dan Bill pada tahun 1948,
pengobatan untuk PH telah berevolusi dan berbagai teknik operasi telah
dikembangkan dari waktu ke waktu. Setelah menjalani operasi abdomen dan
laparoskopi, transanal endorectal pull-through (TEPT) satu tahap pertama
kali dijelaskan pada tahun 1998 oleh De la Torre dan Ortega. Sejak itu
beberapa penelitian telah menunjukkan hasil jangka pendek dan paruh waktu
yang baik dibandingkan dengan teknik lain dengan panjang operasi yang
lebih pendek, tinggal di rumah sakit yang lebih pendek dan tingkat
komplikasi yang lebih rendah (Zimmer, 2016).
Pada tahun 1980 So et al. menggambarkan penggunaan prosedur
endorektal Soave sebagai tahap tunggal tanpa melalui kolostomi awal. Sejak
laporan awal ini, ada banyak studi tunggal dan multi-institusi yang diterbitkan
yang menunjukkan perbaikan keamanan satu tahap operasi yang dilakukan.
Selain mengurangi tingkat komplikasi karena adanya stoma dan penurunan
jumlah rawat inap dan biaya, penghindaran kolostomi telah secara dramatis
memperbaiki kualitas perawatan pada anak-anak dengan penyakit
Hirschsprung di negara-negara berkembang, di mana beberapa kunjungan ke
Rumah sakit mungkin tidak praktis dan adanya stoma merupakan stigma
sosial yang signifikan.

2. Persiapan Operasi
Diagnosis ditegakkan dengan biopsi dubur. Sebelum operasi, usus besar
harus didekompresi dan jika terdapat enterocolitis maka sebabnya harus
dikontrol. Status gizi juga harus dievaluasi dan dioptimalkan. Telah
ditunjukkan bahwa bahkan pasien yang mengalami obstruksi usus atau

27
enterokolitis dapat merespons dengan baik penanganan nonsurgical yang
agresif dengan antibiotik dan dekompresi. Pada anak yang lebih tua dengan
enterokolitis berat atau distensi kolon masif, stoma yang tidak dianjurkan
harus dipertimbangkan. Irigasi mekanis dari usus dapat dilakukan dengan
efektivitas yang sama dari bawah setelah anak tersebut telah mengalami
anestesi. Antibiotik spektrum luas profilaksis intravena digunakan pada
semua pasien (Somme, 2008).

3. Tehnik Operasi
a. Posisi
Pasien ditempatkan dalam posisi litotomi secara melintang atau
longitudinal di ujung meja operasi. Kolon rektum dan sigmoid diirigasi
dari bawah sampai bersih. Kateter urin bersifat opsional. atau memilih
untuk sebentar-sebentar mengosongkan kandung kemih dengan manuver
Crede selama prosedur berlangsung. Beberapa ahli bedah lebih menyukai
posisi prone jacknife untuk Pull-through transanal. Meskipun posisi ini
memberikan visualisasi yang bagus, penggunaan laparotomi atau
laparoskopi secara bersamaan, untuk biopsi atau mobilisasi, tidak mungkin
dilakukan. (Somme, 2008)
b. Diseksi submukosa

28
Dalam prosedur TEPT yang original, manset otot rektum panjang (5-7
cm) diinsisi dan ditinggalkan untuk anastomosis anokolik, yang kadang-
kadang menyebabkan gejala obstruktif postoperatif dan enterokolitis
bahkan melalui pembelahan manset di dinding posterior. Selain itu,
melakukan pembedahan manset yang panjang akan memiliki kekurangan,
seperti memakan waktu, lebih berisiko mengalami pendarahan
intraoperatif. Oleh karena itu, banyak ahli bedah telah pindah ke manset
yang jauh lebih pendek (Yang, 2012).
Retractor anal atau jahitan retraksi ditempatkan untuk mengekspos anus
dan mukosa rektum distal. Beberapa peneliti merekomendasikan injeksi
submukosa dari larutan epinefrin encer atau udara untuk meningkatkan
pengembangan bidang submukosa. Mukosa rektum diratakan secara
longgar dengan menggunakan kauter kira-kira 3-5 mm dari garis dentate,
tergantung ukuran anak. Beberapa jahitan halus ditempatkan di tepi potong
proksimal manset mukosa, dan traksi diterapkan saat diseksi submukosa
endorektal dilakukan secara proksimal. Panjang optimal dari pembedahan
submukosa masih kontroversi, dan dibahas di bawah ini (Somme, 2008).
c. Mobilisasi rektum

29
Saat diseksi submukosa telah selesai, otot rektum dibagi secara
melingkar. Diseksi kemudian berlanjut secara proksimal, membagi semua
pembuluh saat memasuki rektum, tetap berada di dinding rektal. Ketika
refleksi peritoneum tercapai, sigmoid kemudian dimobilisasi dengan cara
yang sama rektum dan sigmoid dipull-through melalui anus. Sepanjang
pembedahan ini, pembuluh darah terbagi dengan hati-hati atau diligasi,
tergantung ukurannya. (Somme, 2008)
d. Anatomosis

Diseksi kolon selesai saat zona transisi tercapai. Kontroversi tentang


apakah zona transisi patologis harus diidentifikasi sebelum diseksi anus
atau selama mobilisasi kolon rektum dan sigmoid dibahas di bawah ini.
Kolon dibagi paling sedikit 2 cm di atas biopsi normal yang paling distal

30
untuk mencegah kemungkinan perpindahan zona transisi. Manset otot
dubur kemudian dibelah longitudinal, baik anterior atau posterior untuk
menghindari penyempitan yang ditarik melalui usus. Anastomosis Soave-
Boley standar kemudian dilakukan (Somme, 2008).
Prosedur TEPT yang dimodifikasi memiliki keunggulan yang berbeda
atas prosedur konvensional dan memiliki sedikit komplikasi pasca operasi.
Persiapan usus pra operasi tidak diwajibkan, dan pemberian makanan bisa
dimulai lebih awal setelah operasi (Dutta, 2010).

4. Perawatan Paska Operasi


Pasien dipulangkan begitu stooling sudah dimulai dan umpan ditoleransi.
Orangtua diinstruksikan tentang perawatan kulit perianal dan tanda
enterocolitis postoperatif. Anus dikalibrasi dengan jari atau dilator antara 7
dan 14 hari setelah operasi, dan kemudian setiap minggu selama 4-6 minggu
ke depan. Dilatasi harian rutin oleh orang tua tidak ditentukan kecuali
penyempitan ketat atau penyedot dideteksi pada kunjungan mingguan.
(Somme, 2008)

5. Hasil Operasi
Sekarang ada banyak penelitian dari berbagai negara melaporkan hasil
pada anak-anak yang menjalani pull-through transanal. Namun, hanya ada
beberapa penelitian yang membandingkan tarikan transanal ke kelompok
kontrol yang menjalani pendekatan terbuka. Pelitian ini menunjukkan bahwa
pendekatan transanal dikaitkan dengan rasa sakit yang minimal, waktu yang
lebih singkat untuk pemulihan, tinggal di rumah sakit yang lebih pendek, dan
biaya lebih rendah. Data hasil jangka panjang setelah transanal pull-through
tidak tersedia. Dalam sebuah tinjauan multisenter yang ekstensif baru-baru
ini, kami melaporkan bahwa sekitar setengah dari pasien menjalani operasi
pada bulan pertama kehidupan, dengan usia rata-rata pada saat operasi adalah
5 bulan. Tidak ada anak yang membutuhkan transfusi darah, rata-rata
kehilangan darah adalah 16 ml, waktu rata-rata untuk diet penuh adalah 36

31
jam, dan rata-rata tinggal di rumah sakit adalah 3,4 hari. Tingkat komplikasi
rendah: enterokolitis 6% dan stenosis 4%. Tidak ada pasien yang meninggal
akibat komplikasi yang berkaitan dengan pembedahan. Hasil ini sesuai
dengan yang ada di banyak pusat lainnya. (Somme, 2008)
Tiga sampai empat tahun pascaoperasi, pasien yang menjalani TEPT
memiliki satu sampai tiga kali buang air besar rata-rata setiap hari,
menyerupai pola BAB normal (Zimmer 2016).
TEPT menawarkan pendekatan yang lebih baik pada anak dengan penyakit
Hirschsprung selama periode neonatal. Data kami menyarankan agar TEPT
efektif dan aman dalam pengelolaan bayi baru lahir dengan PH. Teknik ini
tidak sulit, dan berhubungan dengan hasil jangka pendek yang dapat diterima.
Studi lebih lanjut yang mendokumentasikan hasil jangka panjang dari
pendekatan ini, terutama berkenaan dengan frekuensi kontinu dan tinja akan
dibutuhkan (Vu, 2010).
Sejak tahun 2001, telah dilakukan TEPT satu tahap (tanpa kolostomi) di
departemen kami. Dalam semua kasus, hasil jangka pendeknya sangat bagus.
Keluhan tersebut mereda dalam beberapa hari pasca operasi, dan pasien
dipulangkan setelah beberapa hari menjalani operasi dengan pola stooling
normal. Tindak lanjut awal setelah dilepas juga sangat baik. Pasien tidak
memiliki keluhan, jumlah buangan yang dapat diterima per hari; Mereka
semua berada dalam kondisi umum yang sangat baik, dan pola tinja mereka
bagus. Semua temuan ini mendorong kami untuk terus melakukan operasi ini
ke semua kasus Hirschsprung tanpa kriteria seleksi; Jadi, pasien dengan PH
dan beberapa gangguan terkait lainnya juga menjalani TEPT (Tender, 2006;
Rouzrokh, 2010).
Tinjauan sistematis ini menunjukkan bahwa kejadian HAEC pasca operasi
dan berulang setelah prosedur TEPT jauh lebih rendah daripada tingkat
kejadian HAEC yang dilaporkan setelah prosedur lainnya, yang
mengkonfirmasikan TEPT sebagai operasi yang aman dengan kejadian
HAEC pasca operasi yang rendah. Manajemen utama HAEC pasca operasi
masih harus mendapat perawatan intensif. Tindakan pencegahan dan

32
modalitas perawatan yang lebih baik akan berkembang dari pemahaman yang
lebih baik tentang patofisiologi yang mendasarinya. Diagnosis HAEC yang
segera memungkinkan dilakukannya intervensi dini dan pengurangan potensi
tingkat keparahan dan kematian penyakit (Ruttenstock, 2010).
Redo TEPT adalah prosedur alternatif yang berguna untuk gejala PH yang
persisten, dan ini tampaknya merupakan prosedur yang aman dan efektif. Ada
sedikit kemungkinan terjadi komplikasi (Gobran, 2006).
Enterocolitis adalah komplikasi operasi yang umum terjadi. Tingkat
enterokolitis bervariasi dari 42% menjadi 1,4%. Laporan terbaru tentang
TEPT tahap tunggal telah menunjukkan tingkat enterokolitis yang lebih
rendah. Hanya 3 (3.3%) kasus enterokolitis yang ditemukan (Dahal, 2010).

C. Klasifikasi Krickenbeck
Tiga pertemuan berpengaruh telah diadakan untuk mengelompokkan
klasifikasi Anorectal Malformation (ARM). Pertemuan pertama dengan dampak
luas pada klasifikasi ARM diadakan di Melbourne, Australia, pada tahun 1970.
Sebelum pertemuan ini, sebagian besar para ahli di lapangan memiliki klasifikasi
mereka sendiri. Pertemuan Melbourne mempertimbangkan beberapa klasifikasi
yang berbeda dan membuat klasifikasi internasional tentang malformasi menurut
jenis kelamin, serta posisi rendah, menengah dan tinggi. Yang kedua
diselenggarakan di Wingspread, Wisconsin, AS, pada tahun 1984. Klasifikasi ini
didasarkan pada studi anatomis dan hubungan antara levator ani dan kantong
dubur. Keuntungan klasifikasi Wingspread adalah dapat digunakan untuk
memprediksi pendekatan bedah terbaik (perineum atau abdominal) (Danielson,
2015).
Pada bulan Mei 2005 sebuah kongres internasional untuk pengembangan
standar untuk klasifikasi, perawatan dan tindak lanjut ARM berlangsung di
Krickenbeck Castle di Westphalia, Jerman. Pada pertemuan ini diperlukan adanya
sistem klasifikasi internasional baru yang menyatukan, yang memungkinkan
setiap orang untuk berbicara dalam bahasa yang sama dengan cukup jelas. Maka
lahirlah standar baru untuk prosedur diagnostik sistem klasifikasi internasional

33
"Krickenbeck". Sistem klasifikasi baru ini dicapai dengan konsensus dalam
simposium tersebut. Ini tidak fokus pada fitur anatomis, embriologis atau pada
pencitraan saja. Klasifikasi ini dibagi menjadi dua kelompok utama "kelompok
klinis utama" dan "varian langka/regional" dan didasarkan pada frekuensi
kejadian dan memungkinkan hasil manajemen dapat diukur (Murphy,2006).
Di samping standar "Krickenbeck" internasional yang baru untuk prosedur
diagnostik, sebuah kelompok internasional prosedur pembedahan dikembangkan
juga pada pertemuan Krickenbeck. Standarisasi kedua ini tampaknya diperlukan
untuk membuat berbagai prosedur pembedahan sebanding satu sama lain. Untuk
bisa membandingkan hasil operasi yang berbeda dengan hasil penulis lainnya,
tidak hanya tipe fistula atau malformasi yang harus dibandingkan namun juga
jenis operasi yang digunakan. Hal ini dapat ditentukan oleh klasifikasi
internasional baru untuk diagnosis, prosedur dan tindak lanjut pemindaian baru
untuk hasil pasca operasi. Oleh karena itu, dipertimbangkan bahwa tiga klasifikasi
Krickenbeck yang baru akan memungkinkan follow up pasien dengan malformasi
anorektal (Murphy,2006).

1. Klasifikasi internasional untuk tindak lanjut penilaian


Setelah diperkenalkannya PSARP oleh Pena dan De Vries, masalah
postoperatif utama yang diamati adalah gangguan motilitas yang menyebabkan
konstipasi kronis dan inkontinensia overflow, sedangkan insufisiensi sphincter
dengan inkontinensia tinja jauh lebih sedikit daripada masalah yang diamati di
masa lalu. Oleh karena itu, setelah perbaikan, kita harus mempertimbangkan 2
hasil klinis yang berbeda yang harus dibedakan satu sama lain untuk memulai
terapi yang tepat: konstipasi kronis dan inkontinensia tinja. Pada kebanyakan
kasus, konstipasi kronis adalah hasil dari motilitas rektal yang terganggu,
sedangkan inkontinensia tinja merupakan ketidakmampuan sfingter anorektal.
Fenomena terakhir ini tidak ada hubungannya dengan inkontinensia overflow
karena konstipasi kronis. Hal ini dapat dibedakan dengan palpasi dubur dan
elektromanometri. Derajat konstipasi kronis tampaknya bergantung pada
seberapa besar mobilisasi sakral dari blind pouch (dan berdasarkan pengalaman

34
ahli bedah). Dalam prosedur pull-through abdominoperineal dan malformasi
tinggi, insidensi sembelit kronis berat biasanya lebih sedikit dari yang diamati
pada malformasi intermediate atau rendah.
Pada konferensi Wingspread 1984, kriteria berikut dianggap sebagai
parameter karakteristik untuk studi lanjutan komparatif: pembersihan,
pewarnaan, soiling feces intermiten dan konstan. Keempat kelompok ini
terbagi dalam 2 kategori: kelompok A dengan akumulasi feces dan kelompok
B tanpa akumulasi feces. Kedua subkelompok ini dikelompokkan menurut
terapi yang digunakan dalam 3 kategori tambahan: tidak ada terapi, diterapi
sesekali, dan terapi tergantung. Selain itu, komplikasi terkait seperti posisi
anorektal abnormal, stenosis, prolaps, fistula, kurang kontraktilitas,
abnormalitas anorektum, urogenital, dan kelainan lainnya. Sayangnya,
klasifikasi yang berfokus pada konstipasi kronis belum dipublikasikan.
Di sebagian besar sistem penilaian lainnya yang digunakan di masa lalu,
sembelit tidak memainkan peran penting. Hal ini berlaku untuk skor Kelly
lanjutan, memberi 0 sampai 2 poin untuk kecelakaan, pewarnaan, dan
pemerasan sfingter; Evaluasi kontinuitas menurut Scott dkk; Skor yang
diterbitkan oleh Holschneider; dan skor Scherli. Skor Rintala dan Lindahl pada
tahun 1999 memasukan sembelit, namun keluhan ini hanya terdiri dari 18 poin
evaluasi sehingga skor ini juga tidak menilai perilaku kontinuitas pasca operasi
secara memadai. Pada tahun 2001, Holschneider dkk mengajukan klasifikasi
baru untuk tindak lanjut yang serupa dengan saran Wingspread dan berkaitan
dengan perawatan pasca operasi. Pasien dikelompokkan menjadi 3 kelompok
utama. Kelompok I didefinisikan sebagai kontinen dan memiliki pergerakan
usus spontan rutin tanpa konstipasi dan tidak ada soiling. Pasien kelompok II
sebagian kontinen tetapi dapat mencapai kontinuitas dengan pengelolaan diet
atau dengan obat pencahar (subkelompok A) atau mengalami konstipasi kronis
dengan atau tanpa overflow soiling (subkelompok B) namun dapat diobati
dengan obat pencahar, diet, dan enema. Subkelompok C, kelompok
inkontinensia, mewakili anak-anak yang sebagian inkontinen karena kompleks
otot yang rusak atau hipoplastik. Pasien yang terakhir ini kadang-kadang

35
soiling tapi tidak mengalami konstipasi. Mereka membutuhkan loperamide dan
diet anti sembelit. Kelompok III anak-anak dalam klasifikasi ini mengalami
masalah parah seperti konstipasi atau inkontinensia sehingga memerlukan
prosedur pembedahan. Pasien pada subkelompok konstipasi, di mana
konstipasi tidak dapat diatasi karena motilitas rektum yang tidak mencukupi,
memerlukan reseksi parsial rektum inert ektatik, sedangkan anak-anak di
subkelompok inkontinensia dengan kompleks otot yang sama sekali tidak
memadai menjalani operasi sfingter.
Peserta konferensi Krickenbeck menyimpulkan bahwa klasifikasi yang
lebih sederhana untuk studi lanjutan diperlukan. Menurut publikasi Pena pada
tahun 1995, gerakan usus spontan, soiling, dan konstipasi dianggap sebagai
parameter utama pascaoperasi untuk mengevaluasi keberhasilan operasi.
Gerakan usus spontan didefinisikan sebagai merasakan dorongan untuk BAB,
kemampuan untuk mengungkapkan perasaan ini secara verbal, dan
kemampuan menahan gerakan usus. Untuk soiling, Penaa mengajukan 3 grade.
Grade 1, kadang-kadang soiling (sampai satu atau dua kali per minggu). Grade
2, soiling setiap hari tapi tidak ada masalah sosial. Dan grade 3, soiling konstan
dengan masalah sosial. Untuk konstipasi, Penaa juga mengajukan 3 grade.
Grade 1 didefinisikan sebagai konstipasi yang dapat diatur oleh perubahan diet.
Grade 2 memerlukan obat pencahar. Grade 3 tahan resisten terhadap obat
pencahar dan diet. Skor ini didasarkan pada definisi parameter kontinuitas yang
jelas. Namun hal itu belum divalidasi, yang harus dilakukan di masa depan.

2. Klasifikasi outcome fungsional


Klasifikasi Krickenbeck mengklasifikasikan gerakan usus spontan, soiling,
dan konstipasi. Klasifikasi ini bertujuan untuk menggambarkan hasil
fungsional setelah operasi untuk malformasi anorektal, seperti sudah dijelaskan
diatas. Sembelit dan soiling diberi skor 0 (normal) sampai 3. Nilai Krickenbeck
mencerminkan fungsi usus pada anak yang tidak menjalani terapi. Jadi, anak
yang menggunakan enema untuk mengobati sembelit atau mempertahankan
kontinuitas dinilai sebagai sembelit grade 3 (resisten terhadap diet dan obat

36
pencahar) atau soiling grade 3 (konstan, masalah sosial). Kami telah
mendefinisikan soiling sebagai kebocoran paksa dari sejumlah kecil tinja, yang
membutuhkan penggantian pakaian dalam atau popok (Stensrud, 2010).
Tabel 2. Klasifikasi Krickenbeck untuk Hasil Post Operatif
klasifikasi Krickenbeck untuk Hasil Post Operatif
1. Gerakan usus spontan Ya /
Merasakan desakan, kapasitas untuk verbalisasi, menahan Tidak
gerakan usus
2. Soiling
Grade 1: kadang-kadang (sekali atau dua kali per minggu) Ya /
Grade 2: setiap hari, tidak ada masalah sosial Tidak
Grade 3: konstan, masalah sosial
3. Konstipasi
Grade 1: dapat diatur dengan diet
Grade 2: membutuhkan obat pencahar Ya /
Grade 3: tahan terhadap diet dan obat pencahar Tidak

Klasifikasi Krickenbeck telah menjadi standar emas untuk klasifikasi


ARM untuk kebanyakan ahli bedah anak. Meskipun pemeriksaan pra operasi
dari neonatus dengan ARM yang disarankan oleh Levitt dan Penaa telah
menjadi standar perawatan dalam dekade terakhir bagi banyak ahli bedah anak
yang bekerja dengan anak-anak dengan ARM (Van der Steeg, 2015).

D. Kerangka Teori
Penyakit Hirschsprung
37
Diagnosis :
Klinis, Radiologis, Patologi Anatomi

Segmen Panjang Segmen Pendek Bedah Sementara


(kolostomi)

Bedah Definitif

Transanal Transabdominal

Jenis Kelamin TEPT


Evaluasi mekonium
Kadar Hb pra op
Kadar Albumin pra op
Lama operasi
Lama mondok

Evaluasi luaran menurut klasifikasi Krickenbeck :


gerakan usus spontan, soiling, dan konstipasi

E. Kerangka Konsep
Penyakit Hirschsprung
Segmen Pendek
38
TEPT

Evaluasi luaran menurut klasifikasi Krickenbeck :


gerakan usus spontan, soiling, dan konstipasi

F. Hipotesis
Luaran operasi TEPT baik jangka panjang maupun jangka pendek menurut
klasifikasi Krickenbeck mempunyai hasil konstipasi kurang dari 37,7 % dan
soiling kurang dari 18,6% (Mohajerzadeg et al., 2016)

39
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Penelitian dilakukan dengan desin cohort retrospective untuk mengevaluasi
luaran operasi TEPT menurut klasifikasi krickrnbeck berupa, gerakan usus
spontan, soiling, dan konstipasi.
Data sekunder diambil dari catatan medis sedangkan data primer dengan
kuesioner, pengumpulan data melalui wawancara pertelfon terhadap orang tua
pasien maupun pemeriksaan langsung terhadap pasien Hirschsprung yang
terkontrol rawat jalan di Poliklinik Bedah Anak RSUP Dr. Sardjito.

B. Tempat dan Waktu


Penelitian dilakukan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta antara bulan Januari
2018 sampai April 2018

C. Populasi dan Sampel


Sampel pada penelitian ini berasal dari data rekam medik yang diambil
dengan cara consecutive non probability sampling. Populasi yang terjangkau
dalam penelitian ini adalah semua penderita Hirschsprung yang dirawat Bagian
Bedah Anak RSUP Dr. Sardjito atara Januari 2013 sampai dengan Desember 2016
yang sudah menjalani operasi definitif dengan tehnik TEPT di RSUP Dr. Sardjito.

D. Kriteria Inklusi dan Ekslusi


Kriteria Inklusi
1. Penderita yang didiagnosis sebagai PH segmen pendek berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan radiologis yang dikonfirmasi dengan
pemeriksaan patologi anatomi yang menjalani operasi TEPT yang dirawat

40
di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dalam kurun waktu Januari 2013 sampai
Desember 2016.
2. Menjalani terapi secara lengkap sesuai protokol termasuk evaluasi paska
bedah.

Kriteria eksklusi
1. Pasien sudah ditangani di rumah sakit lain.
2. Pasien dikerjakan tehnik operasi pull-through lain.
3. Penderita penuakit Hirschsprung dengan kelainan bawaan lain, gangguan
fungsi hati, keluhan jantung, DM.
4. Data rekam medis tidak lengkap.

E. Besar Sampel
Sampel yang diambil merupakan keseluruhan populasi anak dengan
Hirschsprung, yang dirawat di RSUP Dr. Sardjito, tahun 2013- 2016 yang
dihitung dengan rumus penelitian kohort uji risiko relatif
2
n= Zα √2PQ + Zβ √P1Q1 + P2Q2
P1 – P2

Keterangan :
Zα = Kesalahan tipe I
Zβ = Kesalahan tipe II
P = Proposi Total = (P1+P2)/2
P1 = Proporsi pada kelompok yang nilainya merupakan “ketentuan”
dari peneliti
P2 = Proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya
Q =1–P
Q1 = 1 – P1
Q2 = 1 – P2
P1 – P2 = Selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna

41
Dengan kesalahan tipe I sebesar 5%, hiptesis dua arah, kesalahan tipe II
sebesar 20% sehingga Zα= 1,96 dan Zβ= 0,84. Proporsi komplikasi jangka
panjang (P2) diketahui 20% maka Q2 adalah 80% dan selisih komplikasi jangka
panjang yang dianggap bermakna sebesar 40% maka besar sampel minimal adalah

n= 1,96 √2 x 0,4 x 0,6 + 0,84 √(0,6x0,4) + (0,2x0,8) = 22,32


0,6 – 0,2
Dari perhitungan jumlah minimal sampel maka diperlukan subyek penelitian
adalah minimal 22 pasien.

F. Alur Penelitian
Data pasien Hirschsprung paska operasi prosedur TEPT di RSUP Dr. Sardjito
periode Januari 2013 – desember 2016 diperoleh dari catatan medis. Data yang
terkumpul dan telah memenuhi kriteria penelitian kemudian dianalisis.

G. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Trananal endorektal Pull-
Through (TEPT).
2. Variabel luar dalam penelitian ini adalah jenis kelamin, evakuasi
mekonium, kadar HB pra operasi, kadar albumin pra operasi, lama operasi,
lama mondok.
3. Variabel tergantung (outcome): gerakan usus spontan, soiling, dan
konstipasi.

H. Rencana Pengolahan dan Analisis Data


Desain penelitian ini adalah penelitian analitik yang dilakukan dengan
rancangan cohort retrospevtive. Variabel-variabel yang digunakan pada penelitian
ini, memiliki skala nominal dan orsinal. Untuk data dengan skala ordinal maupun
nominal dialisis menggunakan Chi squere test. Tingkatan perbedaan yang
bermakna, didefinisikan sebagai nilai p ≤ 0,05. Untuk menggambarkan luaran dari

42
tehnik pembedahan TEPT untuk menghitung risiko relative dengan interval
kepercayaan 95% dan nilai kemaknaan bila p ≤ 0,05.

I. Definisi Operasional
1. Jenis kelamin dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu laki-
laki dan perempuan.
2. Usia daat operasi adalah usia saat pasien menjalani operasi defintif TEPT.
Usia dihitung berdasarkan tanggal lahir dengan satuan bulan.
3. Kadar haemoglobin pra-operasi adalah kadar hemoglobin pasien yang
diperiksa sebelum operasi, dikelompokkan menjadi 2 golongan yaitu :
rendah dan normal berdasarkan standar bagian Patologi Klinik RSUP Dr.
Sardjito.
4. Kadar albumin adalah kadar albumin serum yang diukur dari pemeriksaan
sampel darah. Pada penelitian ini kadar serum dikelompokkan menjadi 2 :
normal albumin (≥3,5 g/dL) dan hipoalbumin (˂3,5 g/dL). Kadar albumin
pra-operasi yaitu kadar albumin serum yang diukur sebelum operasi.
5. Evaluasi mekonium adalah pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama
kehidupan (Kartono, 2014). Pada penelitian ini evakuasi mekonium
dikelompokkan menjadi 2 yaitu : ≤ 24 jam dan > 24 jam.
6. Lama operasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk operasi, mulai saat insisi
pertama sampai dengan selesai menutup kulit. Lama operasi dihitung
dalam satuan jam.
7. Lama mondok yaitu lama perawatan penderita di RS paska dilakukan
tindakan definitif sampai pulang yang dihitung dalam satuan hari.
8. ILO ialah infeksi pada luka operasi atau organ/ruang yang terjadi dalam 30
hari paska operasi atau dalam kurun 1 tahun apabila terdapat implant.
9. Retraksi segmen pull-through ialah tertariknya kembali segmen usus yang
di pull-through ke proksimal dari anastomosis.
10. Kebocoran anastomosis ialah keluarnya isi material usus pada bagian usus
yang dianastomosiskan.

43
11. Konstipasi adalah kesulitan untuk mengeluarkan isi rektum dan
berdasarkan kriteria krickenbeck dibagi menjadi grade 1 bisa ditangani
dengan perubahan diet, grade 2 membutuhkan laksansia, grade 3 tidak bisa
diatasi dengan laksansia maupun diet (Holschneider, 2005)
12. Soiling/enkopresis didefinisikan sebagai pengeluaran feses bukan pada
tempatnya baik volunter maupun involunter pada anak setelah penyebab
organik diekslusikan. Enkopresis terjadi karena masalah buang air besar
(tidak buang air besar), menyebabkan tinja terkumpul dalam usus besar
dan rektum. Bila usus penuh tinja yang mengumpul, tinja cair dapat bocor
disekitar tinja yang mengumpul dan keluar dari anus (WHO, 2008).
13. Inkontinensia pada pasien usia lebih dari 3 tahun ialah keluarnya sejumlah
kecil tinja secara tidak sadar yang membutuhkan pergantian popok atau
pakaian, dikecualikan pada pasien yang diterapi laksansia (Holschneider,
2005).
14. Transanal Endorektal Pull-Through adalah salah satu tehnik operasi untuk
penderita Hirschsprung pada tehnik ini mukosa rektum diinsisi melingkar
1 sampai 1,5 cm diatas linea dentata, dengan diseksi tumpul rongga
submukosa yang terjadi diperluas hingga 6 cm sampai 7 cm kearah
proksimal. Mukosa yang telah terlepas dari muskularis ditarik ke distal
sampai melewati anus sehingga terbentuk cerobong otot rektum tanpa
mukosa.

J. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian cohort retrospective peneliti hanya
membandingkan tehnik operasi terhadap luaran paska operasi, sehingga peneliti
tidak dapat melakukan intervensi terhadap varabel yang diteliti.

44
DAFTAR PUSTAKA

Al-Salem A H., 2014 An Illustrated Guide to Pediatric Surgery. Switzerland


: Springer International Publishing. Pp 218 – 235

Amiel J., Emison S., Barcelo M G., Lantieri F. 2008 Hirschsprung disease,
associated syndrome and genetics: a review. J Med Ganet 45: 1-
14

Avansino J R., Levitt M C., 2017 Hirschsprung Disease. In: Mattei P., Editor.
Fundamentals of Pediatric Surgery. AG Switzerland : Springer
International Publishing. Pp 512 – 524

Barbuti, Domenico. 2016 Hirschsprung’s Disease. In: Vittorio Miele, Margherita


Trinci, Editors. Imaging Non-traumatic Abdominal Emergencies in
Pediatric Patients. Switzerland : Springer International Publishing. Pp 73
– 83

Burki T., Sinha C K., Yamataka A., 2010 Hirschsprung Disease. In : Sinha C K.,
Davenport M., editor, Handbook of Pediatric Surgery, London :
Springer-Verlag. Pp 117 – 124

Chen Y., Nah S., Laksmi N K., Ong C. 2013 Transanal endorectal pull-through
versus transabdominal approach for Hirschsprung’s disease: A systematic
review and meta-analysis. J. Ped. Surg 48: 642-651

Coppola C P., 2014 Hirschsprung;s Disease. In : Coppola C P., Kennedy Jr A P.,


Scorpio R J., Editors, Pediatric Surgery : Diagnosis and Treatment.
Switzerland : Springer International Publishing. Pp 151 – 155

46
Dahal G R., Wang J X., Guo L H., 2011 Long-term outcome of children after
single-stage transanal endorectal pull-through for Hirschsprung's
disease. World J Pediatr, Vol 7 No 1. PP 65 - 69
Danielson J., 2015 Anorectal Malformations Long-term outcome and aspects of
secondary Treatment. ACTA Universitasis

Dutta H K., 2010 Clinical experience with a new modified transanal endorectal
pull-through for Hirschsprung’s disease. Pediatr Surg Int 26. Pp 747–
751

El-sawaf M I., Coran A G., Teitelbaum D H., 2008 Reoperative Surgery for
Hirschsprung Disease. In : Teich S., Caniano D A., Editor, Reoperative
Pediatric Surgery. New York : Humana Press. Pp 287 – 309

Gobran T A., et al., 2007 Redo transanal endorectal pull-through: a preliminary


study. Pediatr Surg Int 23. Pp 189–193

Holschneider A. and Ure B. M. 2005 Hirschsprung Disease in Pediatric surgery.


4th ed. Elsevier Saunders Philadelpia, Pensylvania. Pp 477 – 495

Langer J., 2011 Hirschsprung Disease. In : Mattei P., Editor. Fundamentals of


Pediatric Surgery. Toronto : Springer International Publishing. Pp 475 –
484

Langer J., Durrant A., Torre L., Teitelbaum D., Minkes R. 2013 One-stage
transanal soave pull-through for hirschsprung disease a multicenter
experience with 141 children. Ann Surg 238: 569 -576

Langer J.C. 2012 Hirschsprung in Pediatric Surgery. Elsevier Saunder,


Philadelphia. Pp 1265 – 1278

47
Langer J.C. 2014 Hirschsprung Disease in Aschraft’s Pediatric Surgey 6th Ed.
Elsevier Saunder, Toronto. Pp 478 – 491

Mohajerzadeh L., et al., 2016 Prospective follow up children with anorectal


malformations: Our experience with children up to 10 years-old. Iranian
Journal of Pediatric Surgery Vol 2 No.2. Pp 81-86

Murphy F., Puri P., Hutson J M., Holschneider A M. 2006 Incidence and
Frequency of Different Types, and Classification of Anorectal
Malformations.In: Alexander M. Holschneider · John M. Hutson Editors.
Anorectal Malformations in Children. Heidelberg: Springer-Verlag. Pp
163 – 184

Peña A., Bischoff A., 2015 Surgical Treatment of Colorectal Problems in


Children. Switzerland : Springer International Publishing. Pp 397 – 430

Puri P., 2009 Hirschsprung’s Disease and Variants. In : Puri P., Höllwarth M.,
(eds.), Pediatric Surgery: Diagnosis and Management. Heidelberg:
Springer-Verlag. Pp 453 – 462

Rouzrokh M., et al., 2010 What is the most common complication after one-stage
transanal pull-through in infants with Hirschsprung’s disease?. Pediatr
Surg Int 26. Pp 967–970

Ruttenstock E., Puri P., 2010 Systematic review and meta-analysis of enterocolitis
after one-stage transanal pull-through procedure for Hirschsprung’s
disease. Pediatr Surg Int 26. Pp 1101–1105

48
Somme S.,. Langer J C., 2008 Transanal Pull-Through for Hirschsprung’s Disease
In : Holschneider A M., Puri P., (Eds.), Hirschsprung´s Disease and
Allied Disorders. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Pp 359 – 364

Stensurd K J., Emblem R., jornland K. 2012 Late diagnosis of hirschsprung


disease patient characteristics and results. J. Ped. Surg 47: 1874 – 1879

Sulkowski J., Cooper J., Congeni A., Pearson E. 2014 Single-stage versus multi-
stage pull-through for Hirschsprung’s disease: Practice trends and
outcomes in infants. J. Ped. Surg 49: 1619 – 1625

Tander B., et al., 2007 Is there a hidden mortality after one-stage transanal
endorectal pull-through for patients with Hirschsprung’s disease?.
Pediatr Surg Int 23. Pp 81–86

Thakkar H S. et al. 2017 Functional outcomes in Hirschsprung disease: A single


institution's 12-year experience. Journal of Pediatric Surgery 52 : 277–
280

Van der Steeg H J J., 2015 European consensus meeting of ARM-Net members
concerning diagnosis and early management of newborns with anorectal
malformations. Tech Coloproctol

Vũ P A., Thiện H H., Hiệp P N., 2010 Transanal one-stage endorectal pull-
through for Hirschsprung disease: experiences with 51 newborn patients.
Pediatr Surg Int 26. Pp 589–592

Wetherill C., Sutcliffe J., 2014 Hirschsprung disease and anorectal malformation.
Early Human Development 90 : 927–932

49
Yang L., et al., 2012 Transanal endorectal pull-through for Hirschsprung’s
disease using long cuff dissection and short V-shaped partially resected
cuff anastomosis: early and late outcomes. Pediatr Surg Int 28. Pp 515–
521

World Health Organisation. 2008 Multiaxial Clasification of Child and


Adolescent Psychiatric Disorder : The ICD- 10 Clasification of Mental
and Behavioural Disorders in Children and Adolescents. Cambrige :
Cambridge University Press

Zimmer J., Tomuschat1 J., Puri P., 2016 Long-term results of transanal pull-
through for Hirschsprung’s disease: a meta-analysis. Pediatr Surg In.
Springer-Verlag Berlin Heidelberg

50

Anda mungkin juga menyukai