Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PRAKTIKUM IMUNOLOGI

PEMERIKSAAN RPR (RAPID PLASMA REAGEN)

Hari/ tanggal: Selasa, 25 Februari 2020


Kelompok 7
Kelas 2B Semester 4

1. Trisna Bagus Wibawa (P07134018061)


2. Ni Putu Sinta Wirawati (P07134018070)
3. Shindy Sausan (P07134018085)
4. Ni Made Dwi Riska Dewi (P07134018093)
5. Ni Putu Sri Widia Wati (P07134018094)
6. Dhani Achmad Oktovianto (P07134018095)
7. I Gusti Ayu Redina Matua Dewi (P07134018108)

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS
2020
A. Pendahuluan
a. Latar Belakang
Sifilis adalah infeksi menular seksual yang disebabkan oleh
bakteri spiroset Treponema pallidum sub-spesies pallidum. Rute utama
penularannya melalui kontak seksual; infeksi ini juga dapat ditularkan
dari ibu ke janin selama kehamilan atau saat kelahiran, yang
menyebabkan terjadinya sifilis kongenital. Penyakit lain yang diderita
manusia yang disebabkan oleh Treponema pallidum termasuk yaws
(subspecies pertenue, pinta (sub-spesies carateum), dan bejel (sub spesies
endemicum).
Tanda dan gejala sifilis bervariasi bergantung pada fase mana
penyakit tersebut muncul (primer, sekunder, laten, dan tersier). Fase
primer secara umum ditandai dengan munculnya chancre tunggal
(ulserasi keras, tidak menimbulkan rasa sakit, tidak gatal di kulit), sifilis
sekunder ditandai dengan ruam yang menyebar yang seringkali muncul
di telapak tangan dan tumit kaki, sifilis laten biasanya tidak memiliki
atau hanya menunjukkan sedikit gejala, dan sifilis tersier dengan
gejala gumma, neurologis, atau jantung. Namun, penyakit ini telah
dikenal sebagai "peniru ulung" karena kemunculannya ditandai dengan
gejala yang tidak sama. Diagnosis biasanya dilakukan melalui tes darah;
namun, bakteri juga dapat dilihat melalui mikroskop. Sifilis dapat diobati
secara efektif dengan antibiotik, khususnya dengan suntikan penisilin
G (yang disuntikkan untuk neurosifilis), ataupun ceftriakson, dan bagi
pasien yang memiliki alergi berat terhadap
penisilin, doksisiklin atau azitromisin dapat diberikan secara oral atau
diminum.
b. Dasar teori
Sifilis adalah salah satu penyakit menular seksual yang disebabkan
oleh Treponema pallidum. Penyakit tersebut ditularkan melalui hubungan
seksual, penyakit ini bersifat laten atau dapat kambuh lagi sewaktu-waktu
selain itu bisa bersifat akut dan kronis. Penyakit ini dapat cepat diobati
bila sudah dapat dideteksi sejak dini. Kuman yang dapat menyebabkan
penyakit sifilis dapat memasuki tubuh dengan menembus selaput lendir
yang normal dan mampu menembus plasenta sehingga dapat menginfeksi
janin (Soedarto, 1990 ). Treponema dapat melewati selaput lendir yang
normal atau luka pada kulit. 10-90 hari sesudah Treponema memasuki
tubuh, terjadilah luka pada kulit primer (chancre atau ulkus durum).
Chancre ini kelihatan selama 1-5 minggu dan kemudian sembuh secara
spontan. Tes serologik untuk sifilis biasanya nonreaktif pada waktu mulai
timbulnya chancre, tetapi kemudian menjadi reaktif sesudah 1-4 minggu
atau 2-6 minggu sesudah tampak luka primer, maka dengan penyebaran
Treponema pallidum diseluruh badan melalui jalan darah, timbulah
erupsi kulit sebagai gejala sifilis sekunder. Erupsi pada kulit dapat terjadi
spontan dalam waktu 2-6 minggu. Pada daerah anogenital ditemukan
kondilomata lata. Tes serologik hampir seluruh positif selama fase
sekunder ini, sesudah fase sekunder, dapat terjadi sifilis laten yang dapat
berlangsung seumur hidup, atau dapat menjadi sifilis tersier. Pada
sepertiga kasus yang tidak diobati, tampak manifestasi yang nyata dari
sifilis tersier.
Penyakit sifilis adalah penyakit kelamin yang bersifat kronis dan
menahun walaupun frekuensi penyakit ini mulai menurun, tapi masih
merupakan penyakit yang berbahaya karena dapat menyerang seluruh
organ tubuh termasuk sistem peredaran darah, saraf dan dapat ditularkan
oleh ibu hamil kepada bayi yang di kandungnya. Sehingga menyebabkan
kelainan bawaan pada bayi tersebut. Sifilis sering disebut sebagai “Lues
Raja Singa”.
Sifilis merupakan infeksi kronik menular yang disebabkan oleh
bakteri troponema pallidum, menginfeksi dan masuk ke tubuh penderita
kemudian merusaknya. Sifilis hanya menular antar manusia melalui
kontak seksual, atau Ibu kepada bayinya. Sifilis menular melalui Penis,
vagina, anus, mulut, transfusi dan ibu hamil kepada bayinya
Masa inkubasi antara 10 – 90 hari, dengan gejala: 
1. Tahap 1 yaitu 9-90 hari setelah terinfeksi. Timbul: luka kecil,
bundar dan tidak sakit (chancre) – tepatnya pada kulit yang
terpapar/kontak langsung dengan penderita. Chancre sebagai tempat
masuknya penyakit hampir selalu muncul di dalam dan sekitar
genetalia, anus bahkan mulut. Pada kasus yang tidak dibobati
(sampai tahai 1 berakhir), setelah beberapa minggu, chancre akan
menghilang tapi bakteri tetap berada di tubuh penderita. 
2. Tahap 2 yaitu 1-2 bulan kemudian, muncul gejala lain: sakit
tenggorokan, sakit pada bagian dalam mulut, nyeri otot, demam,
lesu, rambut rontok dan terdapat bintil. Beberapa bulan kemudian
akan menghilang. Sejumlah orang tidak mengalami gejala lanjutan. 
3. Tahap 3 yaitu Dikenal sebagai tahap akhir sifilis. Pada fase ini
chancre telah menimbulkan kerusakan fatal dalam tubuh penderita.
Dalam stase ini akan muncul gejala: kebutaan, tuli, borok pada kulit,
penyakit jantung, kerusakan hati, lumpuh dan gila. Tahap letal.
Cara penularannya yaitu jika terjadi kontak langsung dengan kulit
orang yang telah terinfeksi disertai dengan lesi infeksi sehingga bakteri
bisa masuk ke tubuh manusia. Pada saat melakukan hubungan seksual
(misal) bakteri memasuki vagina melalui sepalut lendir dalam vagina,
anus atau mulut melalui lubang kecil. Sifilis sangat mudah menginfeksi
orang lain pada tahap 1 dan 2 selain itu juga dapat disebarkan per-
plasenta. Apabila infeksi pada kehamilan karena tidak melakukan
pemeriksaan antenatal yang adekuat akan mempunyai pengaruh buruk
pada janin. Dapat menyebabkan kematian janin, partus immaturus, dan
partus prematurus, dan dapat juga di dapatkan gejala-gejala sifilis
kongenital.
Sifilis yang mempunyai nama lain Great pox, lues venereum, dan
morbus gallicus merupakan suatu penyakit kronik dan bersifat sistemik
yang disebabkan oleh Treponema pallidum. Pada perjalanannya dapat
menyerang hampir semua alat tubuh, dapat menyerupai banyak penyakit,
mempunyai masa laten, dapat ditularkan melalui kontak seksual dan dari
ibu ke janin. Penyakit ini juga mempunyai stadium remisi dan
eksaserbasi. Di Indonesia insidensinya 0,61% dengan penderita
terbanyak adalah stadium laten, disusul stadium 1 yang jarang, dan yang
langka adalah sifilis stadium II.
Sifilis dibagi menjadi sifilis kongenital dan akuisita (dapatan).
Sifilis kongenital dibagi menjadi sifilis dini (sebelum 2 tahun), lanjut
(setelah 2 tahun), dan stigmata. Sifilis akuisita dapat dibagi menurut 2
cara, yaitu secara klinis dan epidemiologik. Menurut klinis sifilis dibagi
menjadi 3 stadium: Stadium I, stadium II, dan stadium III. Secara
epidemiologik menurut WHO dibagi menjadi: Stadium dini menular
(dalam dua tahun sejak infeksi), terdiri atas stadium I (9-90 hari), stadium
II (6 minggu-6 bulan atau 4-6 bulan setelah muncul lesi primer, dan
stadium laten dini (dalam 2 tahun infeksi). Stadium lanjut tak menular
(setelah dua tahun sejak infeksi), terdiri atas stadium laten lanjut (lebih
dari 2 tahun), dan stadium III (3-20 tahun).
B. Isi
a. Metode pemeriksaan
Metode yang digunakan adalah rapid test agglutination secara
kualitatif dan kuantitatif.
b. Prinsip pemeriksaan
RPR adalah uji non treponemal untuk mendeteksi reagen. Reagen
adalah antibodi nontreponemal yang dibentuk pada orang yang terinfeksi
sifilis. Antigen berupa suspensi karbon partikulat yang dilapisi dengan
kardiolipin, yang dapat membentuk aglutinasi terhadap reagen yang
terdapat dalam serum. Reaksi aglutinasi terlihat bentuk flokulasi hitam
yang dapat dilihat secara makroskopis dan menunjukkan adanya antibody
tersebut dalam sampel yang diuji.
c. Reaksi pemeriksaan
Reaksi yang terjadi adalah reaksi aglutinasi berupa Flokulasi hitam
d. Spesimen pemeriksaan
Serum atau plasma
e. Alat pemeriksaan
1. Mikropipet 50 µl
2. Tip
3. Petak slide warna latar belakang putih
4. Tusuk gigi
5. Rotator
f. Reagen pemeriksaan
1. Antigen carbon RPR
 Suspensi karbon yang stabil dilapisi dengan cardiolipin
cholesterol
 Natrium azida 0,95 g/l
2. Kontrol positif
 Serum manusia
 Natrium azida 0,95 g/l
3. Kontrol negatif
 Serum hewan
 Natrium azida 0,95 g/l
g. Prosedur pemeriksaan
1) Pemeriksaan kualitatif
 Letakkan dan hangatkan reagen dan sampel pada suhu kamar
 Letakkan 50 µl (1 tetes) sampel dan 1 tetes kontrol negatif pada
lingkaran slide dengan latar putih
 Homogenkan carbon antigen secara perlahan
 Ratakan dan lebarkan sampel disetiap lingkaran menggunakan
stirer
 Tambahkan 1 tetes antigen (menggunakan jarum hipodermik
yang terpasang pada botol)
 Putar slide menggunakan rotator dengan kecepatan 100 rpm, 8
menit
2) Pemeriksaan semi-kuantitatif
 Tambahkan 50 µl saline ke dalam lingkaran 2, 3, 4, dan 5
menggunakan pipet semi-otomatis. Saline jangan diratakan
 Tambahkan 50 µl sampel pasien kedalam lingkaran 1 dan 2
 Campur saline dengan sampel dalam lingkaran 2 dengan cara
menghomogenkan naik-turun secara perlahan untuk
menghindari adanya gelembung
 Pindahkan campuran 50 µl dari lingkaran 2 ke saline yang ada
di lingkaran 3
 Lakukan pengenceran serial yang sama sampai lingkaran
terakhir
 Ratakan sampel yang sudah diencerkan diseluruh area dari
setiap lingkaran dimulai dari lingkaran 5 dan mundur secara
berurutan sampai sampel lingkaran 1
 Lanjutkan dengan tes kuantitatif dari prosedur 5
h. Nilai normal
 Negatif (-) : tidak terjadi aglutinasi (flokulasi hitam)
i. Hasil pemeriksaan
1) Uji kualitatif

No Sampel Reagen Reaksi Keterangan


1 Negatif (-)
tidak terjadi
aglutinasi
(flokulasi
hitam)

50 µl serum 1 tetes reagen antigen Diaduk dengan tusuk


RPR gigi

2) Hasil positif dan negatif

No Hasil Keterangan
1 Hasil negatif pada
serum mahasiswa
yaitu tidak terjadi
aglutinasi (flokulasi
hitam)

2 Hasil kontrol positif


yaitu terjadi aglutinasi
(flokulasi hitam)

3 Hasil control negatif


yaitu tidak terjadi
aglutinasi (flokulasi
hitam)

3) Alat dan Bahan

No Gambar Nama alat/bahan Fungsi


1 Slide Rapid Test Tempat untuk
mencampurkan reagen
dan sampel
2 Gelas Sebagai tempat
membuang tusuk gigi
dan yellow tip

3 Serum pasien Sebagai sampel

6 Yellow tip Untuk mengambil


serum pasien

7 Tusuk gigi Untuk mencampurkan


reagen dan serum
pasien
8 Mikropipet Untuk memipet serum
pasien dalam ukuran
mikro

9 Reagen antigen Reagen yang digunakan


carbon RPR untuk mengetahui
aglutinasi (flokulasi
hitam)

10 Reagen control Sebagai control positif


positif (+) hasil yang menunjukan
aglutinasi (flokulasi
hitam)

11 Reagen control Sebagai control negatif


negatif (-) hasil yang menunjukan
tidak adanya reaksi
aglutinasi (flokulasi
hitam)

j. Pembahasan
Pada pratikum pemeriksaan RPR dengan pasien Ni Putu Sri Widia
Wati, umur 19 tahun, jenis kelamin perempuan diperoleh hasil negatif
yaitu tidak terjadi aglutinasi (tidak terbentuk flokulasi hitam) yang berarti
tidak ada antibody terhadap non-treponemal yang berada di dalam serum
darah pasien. Pada kontrol positif terbentuk aglutinasi (flokulasi hitam)
sedangkan pada kontrol negatif tidak terbentuk aglutinasi (flokulasi
hitam). Pada pratikum ini, jika serum pasien mendapatkan nilai positif
maka akan dilanjutkan dengan pemeriksaan RPR semi kuantitatif untuk
mengetahui titer.
Sifilis merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik yang
disebabkan oleh Treponema palidum. Penularan sifilis melalui hubungan
seksual. Penularan juga dapat terjadi secara vertikal dari ibu kepada janin
dalam kandungan atau saat kelahiran, melalui produk darah atau transfer
jaringan yang telah tercemar, kadang-kadang dapat ditularkan melalui
alat kesehatan.
Angka kejadian sifilis mencapai 90% dinegara-negara
berkembang. World Health Organization (WHO) memperkirakan sebesar
12 juta kasus baru terjadi di Afrika, Asia Selatan, Asia Tenggara,
Amerika Latin dan Caribbean. Angka kejadian sifilis di Indonesia
berdasarkan laporan Survey Terpadu dan Biologis Perilaku (STBP) tahun
2011 Kementrian Kesehatan RI terjadi peningkatan angka kejadian sifilis
di tahun 2011 dibandingkan tahun 2007. Di provinsi Lampung khususnya
di kota Bandar Lampung jumlah kasus infeksi menular seksual termasuk
sifilis tahun 2012 sebesar 3.153 kasus dengan penderita wanita sebanyak
2.942 kasus dan pria sebesar 419 kasus, merupakan jumlah kasus
terbanyak dibanding kota-kota lain di provinsi Lampung. Berdasarkan
hal tersebut maka perlu diketahui perkembangan terkini dari penyakit
sifilis.
Diseluruh belahan dunia hingga saat ini sifilis tetap merupakan
masalah kesehatan utama. Angka kejadian infeksi baru (insiden)
diperkirakan 112 juta per tahun di seluruh dunia, terutama di Afrika,
Amerika Selatan, China, dan Asia Tenggara. Di Asia Tenggara
diperkirakan terjadi 4 juta infeksi baru per tahun. Kejadiannya akhir-
akhir ini meningkat di negara-negara Eropa terutama pada kelompok
Lelaki Suka sama Lelaki (LSL). Penularan sifilis dari ibu hamil ke
bayinya menyebabkan sifilis kongenital yang merupakan 50% penyebab
bayi lahir mati. Tiap tahun diperkirakan terjadi 500 ribu dan 1,5 juta
sifilis kongenital. Survey Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) tahun
2011 di Indonesia juga melaporkan prevalensi sifilis masih cukup tinggi.
Pada populasi waria, prevalensi sifilis sebesar 25%, WPSL (wanita
penjaja seks langsung) 10%, LSL (lelaki yang berhubungan seks dengan
lelaki) 9%, warga binaan lembaga pemasyarakatan 5%, pria berisiko
tinggi 4%, WPSTL (wanita penjaja seks tidak langsung) 3% dan penasun
(pengguna narkoba suntik) 3%.
 Penularan dan perjalanan penyakit
Treponema palidum masuk melalui selaput lendir yang utuh,
atau kulit yang mengalami abrasi, menuju kelenjar limfe, kemudian
masuk ke dalam pembuluh darah, dan diedarkan ke seluruh tubuh.
Setelah beredar beberapa jam, infeksi menjadi sistemik walaupun
tanda-tanda klinis dan serolois belum jelas. Kisaran satu minggu
setelah terinfeksi Treponema palidum, ditempat masuk timbul lesi
primer berupa ulkus. Ulkus akan muncul selama satu hingga lima
minggu, kemudian menghilang.
Uji serologis masih akan negatif ketika ulkus pertama kali
muncul dan baru akan reaktif setelah satu sampai empat minggu
berikutnya. Enam minggu kemudian, timbul erupsi seluruh tubuh
pada sebagian kasus sifilis sekunder. Ruam ini akan hilang kisaran
dua sampai enam minggu, karena terjadi penyembuhan spontan.
Perjalanan penyakit menuju ke tingkat laten, dimana tidak ditemukan
tanda-tanda klinis, kecuali hasil pemeriksaan serologis yang reaktif.
Masa laten dapat berlangsung bertahuntahun atau seumur hidup.
 Stadium Sifilis
Sifilis dalam perjalanannya dibagi menjadi tiga stadium yaitu
sifilis stadium primer, sekunder dan tersier yang terpisah oleh fase
laten dimana waktu bervariasi, tanpa tanda klinis infeksi. Interval
antara stadium primer dan sekunder berkisar dari beberapa minggu
sampai beberapa bulan. Interval antara stadium sekunder dan tersier
biasanya lebih dari satu tahun.
1. Sifilis stadium primer
Lesi awal sifilis berupa papul yang muncul di daerah
genitalia kisaran tiga minggu setelah kontak seksual. Papul
membesar dengan ukuran 0,5 – 1,5 cm kemudian mengalami
ulserasi, membentuk ulkus. Ulkus sifilis yang khas berupa bulat,
diameter 1-2 cm , tidak nyeri, dasar ulkus bersih tidak ada
eksudat, teraba indurasi, soliter tetapi dapat juga multipel.
Hampir sebagian besar disertai pembesaran kelenjar getah
bening inguinal medial unilateral atau bilateral.
Chancre sífilis primer sering terjadi pada genitalia, perineal,
atau anus dikarenakan penularan paling sering melalui hubungan
seksual, tetapi bagian tubuh yang lain dapat juga terkena.
Ulkus jarang terlihat pada genitalia eksterna wanita, karena
lesi sering pada vagina atau serviks. Dengan menggunakan
spekulum, akan terlihat lesi di serviks berupa erosi atau ulserasi
yang dalam. Tanpa pengobatan lesi primer akan sembuh spontan
dalam waktu 3 sampai 6 pekan. Diagnosis banding sifilis primer
yaitu ulkus mole yang disebabkan Haemophilus ducreyi,
limfogranuloma venereum, trauma pada penis, fixed drug
eruption, herpes genitalis.
2. Sifilis Sekunder
Manifestasi akan timbul pada beberapa minggu atau bulan,
muncul gejala sistemik berupa demam yang tidak terlalu tinggi,
malaise, sakit kepala, adenopati, dan lesi kulit atau mukosa. Lesi
sekunder yang terjadi merupakan manifestasi penyebaran
Treponema pallidum secara hematogen dan limfogen.
Manifestasi klinis sifilis sekunder dapat berupa berbagai
ruam pada kulit, selaput lendir, dan organ tubuh. Lesi kulit
biasanya simetris, dapat berupa makula, papula, folikulitis,
papuloskuamosa, dan pustul, jarang disertai keluhan gatal. Lesi
dapat ditemukan di trunkus dan ekstermitas, termasuk telapak
tangan dan kaki. Papul biasanya merah atau coklat kemerahan,
diskret, diameter 0,5 – 2 cm, umumnya berskuama tetapi kadang
licin. Lesi vesikobulosa dapat ditemukan pada sifilis kongenital.
Kondiloma lata merupakan istilah untuk lesi meninggi
(papul), luas, putih atau abu-abu di daerah yang hangat dan
lembab. Lesi sifilis sekunder dapat muncul pada waktu lesi
sifilis primer masih ada. Diagnosis sifilis sekunder ditegakkan
berdasarkan hasil pemeriksaan serologis yang reaktif dan
pemeriksaan lapangan gelap positif. Treponema pallidum
banyak ditemukan pada lesi selaput lendir atau basah seperti
kondiloma lata.
Ruam kulit pada sifilis sekunder sukar dibedakan dengan
pitiriasis rosea, psoriasis, terutama jika berskuama, eritema
multiforme dan erupsi obat. Diagnosis sifilis sekunder cukup
sulit. Pada umumnya diagnosis ditegakkan berdasarkan kelainan
khas lesi kulit sifilis sekunder ditunjang pemeriksaan serologis.
3. Sifilis Laten
Sifilis laten yaitu apabila pasien dengan riwayat sifilis dan
pemeriksaan serologis reaktif yang belum mendapat terapi sifilis
dan tanpa gejala atau tanda klinis. Sifilis laten terbagi menjadi
dini dan lanjut, dengan batasan waktu kisaran satu tahun. Dalam
perjalanan penyakit sifilis akan melalui tingkat laten, selama
bertahun-tahun atau seumur hidup. Tetapi bukan bearti penyakit
akan berhenti pada tingkat ini, sebab dapat berjalan menjadi
sifilis tersier.
4. Sifilis stadium tersier
Sifilis tersier terdiri dari tiga grup sindrom yang utama yaitu
neurosifilis, sifilis kardiovaskular, dan sifilis benigna lanjut.
Pada perjalanan penyakit neurosifilis dapat asimptomatik dan
sangat jarang terjadi dalam bentuk murni. Pada semua jenis
neurosifilis, terjadi perubahan berupa endarteritis obliterans
pada ujung pembuluh darah disertai degenerasi parenkimatosa
yang mungkin sudah atau belum menunjukkan gejala saat
pemeriksaan.
Sifilis kardiovaskular disebabkan terutama karena nekrosis
aorta yang berlanjut ke katup. Tanda-tanda sifilis kardiovaskuler
adalah insufisiensi aorta atau aneurisma, berbentuk kantong
pada aorta torakal. Bila komplikasi ini telah lanjut, akan sangat
mudah dikenal Sifilis benigna lanjut atau gumma merupakan
proses inflamasi proliferasi granulomatosa yang dapat
menyebabkan destruksi pada jaringan yang terkena. Disebut
benigna sebab jarang menyebabkan kematian kecuali bila
menyerang jaringan otak. Gumma mungkin terjadi akibat reaksi
hipersensitivitas infeksi Treponema palidum. Lesi sebagian
besar terjadi di kulit dan tulang. Lesi pada kulit biasanya soliter
atau multipel, membentuk lingkaran atau setengah lingkaran,
destruktif dan bersifat kronis, penyembuhan di bagian sentral
dan meluas ke perifer. Lesi pada tulang biasanya berupa
periostitis disertai pembentukan tulang atau osteitis gummatosa
disertai kerusakan tulang. Gejala khas ialah pembengkakan dan
sakit. Lokasi terutama pada tulang kepala, tibia, dan klavikula.
Pemeriksaan serologis biasanya reaktif dengan titer tinggi.
 Diagnosis
Secara garis besar uji diagnostik sifilis terbagi menjadi tiga
kategori pemeriksaan mikroskopik langsung pada sifilis stadium
dini, uji serologis, metode berdasar biologi molekuler. Untuk
menegakkan diagnosis sifilis, diagnosis klinis harus dikonfirmasi
dengan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan mikroskop
lapangan gelap (dark field) merupakan metode paling spesifik dan
sensitif untuk memastikan diagnosis sifilis primer adalah
menemukan treponema dengan gambaran karakteristik yang
terlihat pada pemeriksaan mikroskop lapangan gelap dari cairan
yang diambil pada permukaan chancre. Ruam sifilis primer
dibersihkan dengan larutan NaCl fisiologis. Serum diperoleh dari
bagian dasar atau dalam lesi dengan cara menekan lesi sehingga
serum akan keluar. Kemudian diperiksa dengan mikroskop
lapangan gelap menggunakan minyak emersi. Treponema pallidum
berbentuk ramping, gerakan aktif.
Uji serologis sifilis pada sifilis meliputi Uji serologis non
treponema seperti pemeriksaan Rapid Plasma Reagen (RPR),
pemeriksaan Venereal Disease Research Laboratory (VDRL), dan
pemeriksaan Automated Reagin Test (ART), ketiganya merupakan
pemeriksaan untuk mendeteksi ”reagin” terhadap antibodi dimana
antigennya disebut cardiolipin. Antibodi cardiolipin dapat dideteksi
pada serum pasien dengan sifilis aktif dan dibeberapa kondisi lain.
Namun, pada beberapa individu yang memiliki riwayat sifilis
dengan kesuksesan terapi mempertahankan kadar antibodi
cardiopilin rendah untuk waktu yang lama, dengan demikian
individu tersebut tergolong ”serofast”. Uji serologis non treponema
berfungsi untuk mengidentifikasi sifilis kasus baru, untuk
memantau progresifitas dari sifilis, dan memantau respon dari
terapi antibiotik. Uji serologis treponema meliputi Enzym
Immunioassay (EIA), Chemiluminescence Immunoassay (CIA),
Flurescent Treponema Antibody ”Absorbed” Assay (FTA-ABS),
Treponema Palidum Particle Agglutination Assay (TP-PA) dan
Treponema Palidum Hemaglinination Assay (MHA-TPA). Uji
serologis treponema adalah pemeriksaan terhadap antigen antibodi
yang spesifik terhadap treponema. Digunakan untuk identifikasi
sifilis dan monitoring terhadap terapi antibiotik.
Uji serologik Anti-T.Palidum IgM antibodi spesifik seperti
EIA atau IgM, 19SIgM-FTA-abs test, IgM-immunoblot untuk T.
Palidum. Sensivitas dari uji tersebut rendah pada sifilis aktif. IgM
tidak efektif dalam mengetahui stadium dari sifilis maupun
montitoring terapi. Uji serologis tersebut digunakan pada penilaian
sifilis pada bayi baru lahir dan CSF. Many rapid Point of Care
(POC) digunakan untuk mendeteksi antigen treponemal pada
individu dengan riwayat sifilis 20 tahun sebelumnya. Namun uji
serologis ini tidak untuk mendeteksi antibodi cardiopilin (pada
pasien dengan sifilis aktif).
 Tindak lanjut pengobatan sifilis
Kondisi klinis pasien perlu dinilai kembali dan diupayakan
untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya reinfeksi dalam periode
tahun pertama sesudah pengobatan. Pasien sifilis dini yang telah
mendapat pengobatan benzatin benzylpenisilin dengan dosis dan
cara adekuat, harus dievaluasi kembali secara klinis dan serologis
sesudah tiga bulan pengobatan dengan menggunakan uji VDRL.
Evaluasi kedua dilakukan sesudah enam bulan, dan bila ada
indikasi berdasarkan hasil pemeriksaan pada bulan ke enam
tersebut, dapat dievaluasi kembali sesudah bulan ke-12 untuk
dilakukan penilaian kembali kondisi pasien dan mendeteksi
kemungkinan adanya reinfeksi.
Semua pasien dengan sifilis kardiovaskular dan neurosifilis
dipantau selama beberapa tahun. Tindak lanjut yang dilaksanakan
meliputi hasil penilaian klinis penyakit, serologis, cairan
serebrospinal, dan radiologis.
Pengobatan ulang pasien pada semua stadium penyakit perlu
dipertimbangkan jika tanda-tanda atau gejala klinis sifilis aktif
tetap ada atau kambuh kembali, terdapat peningkatan titer
nontreponema atau VDRL tes sampai empat kali pengenceran dan
titer tes VDRL awal yang tinggi (VDRL 1:8 atau lebih) dan
menetap dalam setahun. Pemeriksaan cairan serebrospinal
dilakukan sebelum pengobatan ulang dilakukan, kecuali pada kasus
reinfeksi dan diagnosis sifilis stadium awal dapat dipastikan.
Pengobatan ulang sifilis dilakukan sesuai dengan rejimen
yang telah ditetapkan untuk sifilis yang telah berlangsung lebih dari
dua tahun. Umumnya hanya satu pengobatan ulang diperlukan
karena pengobatan yang diberikan secara adekuat akan
menunjukkan kemajuan bila dipantau dengan tes nontreponema
yang tetap menunjukkan titer rendah.

Tes Reagin terdiri dari antibodi Ig M dan Ig A yang ditujukan


terhadap beberapa antigen yang tersebar luas dalam jaringan normal.
Dapat ditemukan pada serum penderita sifilis yang belum mendapat
pengobatan, 2-3 minggu setelah infeksi. Contohnya adalah Tes Flokulasi
dan Tes Fiksasi Komplemen. Kedua tes ini dapat memberikan hasil
secara kuantitatif yaitu dengan menentukan kadar reagin dalam serum
yang secara berturut-turut diencerkan 2 kali. Pengenceran tertinggi yang
masih menunjukkan hasil positif merupakan titer serum yang
bersangkutan. Positif palsu dapat terjadi pada infeksi lain seperti Malaria,
Lepra, Morbili, Mononukleosis infeksiosa, vaksinasi dan penyakit
kolagen SLE (Systemic Lupus Erythematosus, Polyarteritis Nodosa).

Tes flokulasi didasarkan atas kenyataan bahwa partikel antigen


yang berupa lipid mengalami flokulasi dalam beberapa menit setelah
dikocok dengan reagin. Tes flokulasi yang positif dapat menjadi negatif
pada 6 - 24 bulan setelah pengobatan yang efektif pada sifilis early.
Contoh tes flokulasi adalah VDRL (Venereal Disease Research
Laboratory test) dan RPR (Rapid Plama Reagin Test)

Hasil tes non-treponemal (RPR) masih bisa negatif sampai 4


minggu sejak pertama kali muncul lesi primer. Tes diulang 1-3 bulan
kemudian pada pasien yang dicurigai sifilis namun hasil RPR nya
negatif. Hasil positif tes RPR perlu dikonfirmasi dengan TPHA/TP-
PA/TP Rapid.

- Jika hasil tes konfirmasi non-reaktif, maka dianggap reaktif palsu


dan tidak perlu diterapi namun perlu dites ulang 1-3 bulan kemudian.
- Jika hasil tes konfirmasi reaktif, dilanjutkan dengan pemeriksaan
RPR kuantitatif untuk menentukan titer sehingga dapat diketahui
apakah sifilis aktif atau laten, serta untuk memantau respons
terhadap pengobatan.
- Jika hasil RPR reaktif, TPHA reaktif, dan terdapat riwayat terapi
dalam tiga bulan terakhir, serta pada anamnesis tidak ada ulkus baru,
pasien tidak perlu diterapi. Pasien diobservasi dan tes diulang tiga
bulan kemudian.
- Jika titer RPR tetap atau turun, tidak perlu diterapi lagi dan tes
diulang tiga bulan kemudian.
- Jika hasil RPR tidak reaktif atau reaktif rendah (serofast), pasien
dinyatakan sembuh.
- Jika titer naik, berikan terapi sebagai infeksi baru/sifilis aktif.
- Jika hasil RPR reaktif dan TPHA reaktif dan tidak ada riwayat terapi
sifilis dalam 3 bulan terakhir, maka perlu diberikan terapi sesuai
stadium.
 Titer RPR <1:4 (1:2 atau 1:4) dapat diinterpretasikan dan
diterapi sebagai sifilis laten lanjut.
 Titer >1:8 dapat diinterpretasikan dan diterapi sebagai sifilis
aktif dan diterapi.
- 3 bulan setelah terapi, evaluasi titer RPR.
 Jika titer RPR turun 2 tahap (misal dari 1:64 menjadi 1:16) atau
lebih, terapi dianggap berhasil. Ulangi evaluasi tiap tiga bulan
sekali di tahun pertama dan 6 bulan di tahun kedua, untuk
mendeteksi infeksi baru.
 Jika titer tidak turun dua tahap, lakukan evaluasi kemungkinan
re-infeksi, atau sifilis laten
k. Interpretasi pemeriksaan
 Negatif : tidak terjadi aglutinasi (flokulasi hitam)
 Positif : terjadi aglutinasi (flokulasi hitam)
C. Penutup
a. Kesimpulan
Pada pratikum pemeriksaan RPR dengan pasien Ni Putu Sri Widia
Wati, umur 19 tahun, jenis kelamin perempuan diperoleh hasil negatif
yaitu tidak terjadi aglutinasi (tidak terbentuk flokulasi hitam). Pada
kontrol positif terbentuk aglutinasi (flokulasi hitam) sedangkan pada
kontrol negatif tidak terbentuk aglutinasi (flokulasi hitam). Jadi, dapat
disimpulkan bahwa pada serum pasien tidak terdapat antibodi
treponemal.
b. Pengesahan pembimbing praktikum

Heri Setyo Bekti, S.ST.,M.Biomed Putu Suryaningsih, S.ST

D. Daftar pustaka
Cherneskle T, Augenbraun M, Blank S, Dunn A, Friedenberg E, Hermoso A,
et al. an Update and Riview of the Diagnosis and Management of
Syphilis. NYC Health. p15-17
Daili SF, dkk, Pedoman Tata LaksanaSifilisUntukPengendalianSifilis Di
LayananKesehatanDasar, Kementerian KesehatanRepublik
Indonesia
DirektoratJenderalPengendalianPenyakitdanPenyehatanLingkungan,
Tahun 2013
Departemen Kesehatan RI. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular
Seksual. Kementrian Kesehatan RI Dirjen PP dan PL. 2011.
Departement of Health AIDS Institute. Syphilis. 2011. (Cited 2014 Nov 10)
Available form:
http://www.hivguidelines.org/clinicalguidelines/adults/management-
of-stisin-hiv-infected-patients/syphilis/
Department of Health and Human services Centers for Disease Control and
Prevention. Sexually Transmitted Disease Treatment Guidelines,
2010. MMWR 2010; 59(No. RR-12): 26-39
Guidance for Industry. Recommendations for Screening, Testing, and
Management of Blood Donors and Blood and Blood Components
Based on Screening Tests for Syphilis. U.S. Department of Health
and Human Services Food and Drug Administration Center for
Biologics Evaluation and Research .September 2014
Holmes KX, Sparling PF, Stam WE, Piot P, Wasserheit J, Corey L, et al. In:
Sexually Transmitted Disease 4rd. New York: McGraw Hill. 2008.
p661 – 84
Jesus MBD, Ehlers MM, Dreyer W, Kock NM. Mini Riview: Syphilis. J
FORTAMex. 2013. p1787-1798
Klausner JD, Hook EW. Current Diagnosis & Treatment Sexually
Transmitted Disease. New York: McGraw Hill Companies, 2007
Operational Obstretrics and gynecology. Condiloma Lata (Secoundary
Syphilis). (Cited 2014 Nov 10) Available form:
http://www.operationalmedicine.org/e
d2/Enhanced/Vulva/CondylomaLata.ht m
Profil Kesehatan Provinsi Lampung. 2013. Profil Kesehatan Provinsi
Lampung tahun 2012. Lampung: Dinas Kesehatan Provinsi
Lampung
Sokolovskiy E, Frigo N, Rotanov S, Savicheva A, Dolia O, Kitajeva N, et al.
Guidelines fot the laboratory diagnosis of syphilis in East European
countries. J EADV. 2009; 23(1):623-32.
STD Surveillance Case Definitions. 2013 Dec. p1-8 12. Best Tests. Syphilis:
testing for ”the Great Imitator”. 2012. (Cited 2014 Nov 10)
Available form: www.bpac.org.nz
T J Clark Colloidal Minerals and Supplements. Syphilis. (Cited 2014 Nov 10)
Available form: http://www.tjclarkdirect.com/bacterial
_diseases/syphilis.htm
The Gobal Library of Women’s Medicine. Syphilis. 2009. (Cited 2014 Nov
10) Available form: http://www.glowm.com/section_view/
heading/Syphilis/item/30
Yoga T. Situasi Epidemiologi HIV-AIDS di Indonesia. Dirjen PP dan P
Kementrian Kesehatan RI. 2012

Anda mungkin juga menyukai