Anda di halaman 1dari 12

SIFILIS

Etiologi dan Patogenesis


Treponema pallidum pertama kali diindentifikasi oleh ilmuan german Bernama FritzSchaudinn dan Erich
Hoffman pada tahun 1905. Traponema pallidum termasuk dalam ordo spirochetal dengan genus
Treponema sehingga berbentuk spiral yang dilapisi oleh phospholipid membrane. Rata – rata waktu
yang dibutuh untuk mereplikasi T.Pallidum ketika terinfeksi adalah 30 jam dengan jalur infeksi dari
T.Pallidum bisa melalui kulit ke kulit atau dikenal dengan venereal disease. T.Pallidum dengan
subspecies lain dapat menyebabkan non – venereal disease sehingga akan bertransmisi secara non –
sexual contact seperti Ttreponema pertenue menyebabkan Framboesia, Treponema pallidum
endemcum menyebabkan sifilis endemic dan Treponema carateum yang akan menyebabkan pinta.
Semua jenis Treponematoses mempunyai DNA yang hampir sama hanya saja penyebaran secara
geografi dan patofisiologi yang berbeda (13). Penyebaran sifilis tersering dikarenakan sexually
transmitted disease yaitu melalui kontak vaginal, anogenital dan orogenital, tapi secara nonsexual juga
bisa terjadi meskipun sangat jarang terjadi seperti kulit ke kulit atau transfusi darah. Transmisi secara
vertical bias Melalui transplasenta atau dari ibu ke janin sehingga dapat menyebabkan syphilis
congenital pada janin (13).

Klasifikasi
Klasifikasi terjadinya sifilis digolongkan dalam beberapa stadium yaitu: (a) Masa

inkubasi tanpa gejala, (b) sifilis sekunder terjadi disebabkan penyebaran bakteri ke seluruh

tubuh ditambah dengan manifestasi klinis, (c) Stadium laten bisa berlangsung secara

bertahun – tahun hanya dapat dideteksi dengan pemeriksaan serologis; (d) Sifilis tersier

merupakan stadium akhir dari sifilis yang bersifat progresif sehingga akan melibatkan

susunan saraf pusat dan pembuluh darah. Pada fase primer sifilis bersifat infeksius 60%, sedangkan pada
fase sekunder dan laten ketika penderita kontak secara langsung dengan lesi penderita sifilis primer atau
sifilis sekunder maka akan berisiko terjadinya penularan. Namun ketika akan memasuki fase

laten awal risiko terjadinya infeksi akan menurun menjadi 25%. Pada bayi juga dapat

mengalami infeksi sifilis baik itu ketika dalam rahim atau ketika kontak langsung dengan lesi genital pada
ibu saat persalinan

Faktor Resiko
Risiko terjadinya penularan sifilis primer dan sekunder
jika tidak terobati dengan baik akan mencapai 70 – 100% namun risiko ini akan menurun

sampai 40% jika ibu hamil berada dalam fase laten awal dan 10% berada pada fase laten

lanjutan pada sifilis tersier, penularan sifilis juga dapat ditularkan melalui ASI dari ibu

yang terinfeksi siflis sifilis atau sekunder walau jarang dijumpai.

Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko penularan dari ibu ke anak selama

persalinan adalah sebagai berikut:

a. Jenis persalinan: risiko penularan pada persalinan per vaginam lebih besar daripada

persalinan seksio sesaria; namun, seksio sesaria memberikan banyak risiko lainnya

untuk ibu.

b. Lama persalinan: semakin lama proses persalinan, risiko penularan dari ibu ke anak

juga semakin tinggi, karena kontak antara bayi dengan darah/lendir ibu semakin lama.

c. Ketuban pecah lebih dari empat jam sebelum persalinan meningkatkan risiko

penularan hingga dua kali dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari empat jam.

d. Tindakan

Manifestasi Klinis
Setelah terjadinya masa inkubasi rata -rata tiga minggu akan muncul chancre atau

munculnya ulcus durum pada daerah yang masuknya treponema pallidum, pada lesi primer

dia berbatas tegas dengan ulserasi atau tanpa rasa sakit, batas indurasi yang keras, diikuti

oleh kelenjar getah bening tidak terasa nyeri. Munculnya ulkus durum bisa di dalam atau

diluar vagina atau di dalam vulva, bisa disekitaran anus, rekutm atau di perianal, pada

daerah oral bisa di dalam bibir maupun diluar. Ketika penderita mengalami chancre

rasanya sangat sakit, namun stadium infeksi primer biasanya diabaikan sehingga bakteri

akan menyebar ke berbagai bagian tubuh lainnya secara hematogen, menyebabkan stadium

sekunder penyakit sifilis ini akan muncul setelah 2 sampai 10 minggu. Dapat diikuti oleh

gejala umum berupa suhu badan tinggi, limfadenopati serta perubahan pada kulit dan

mukosa dapat terlihat. Perubahan pada kulit biasanya berupa ruam macula, popular yang

akan sering muncul di telapak tangan dan telapak kaki. Terkadang akan muncul alopecia,

GALENICAL: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Mahasiswa Malikussaleh Vol.1 No.3 Oktober 2022

JURNAL KEDOKTERAN DAN KESEHATAN MAHASISWA MALIKUSSALEH | 66


atau dapat menyebar dalam bentuk patch alopecia, sementara di daerah intertriginous

papulanya sangat menular dan dapat muncul dalam bentuk kondiloma lata. Pada daerah

oral akan muncul dalam bentuk mucus yang asimtomatik sehingga plak akan tertutupi

dengan selaput hyperkeratosis berwarna putih – keabu – abuan.

Diagnosis
Dilakukan pemeriksaan Direct detection dari bakteri T.pallidum pada chancre primer

atau dari lesi stadium sekunder dengan bantuan mikroskop dark field. Selain itu bisa

menggunakan tes serologis yang paling sering digunakan untuk mengkonfirmasi terjadinya

sifilis pada kehamilan: Penyakit kelamin non treponemal dilakukan Venereal Disease

Research Laboratory test (VDRL) untuk mendeteksi antibodi terhadap cardiolipin, dan bisa

menggunakan Treponema Pallidum Hemaglutination Assay (TPHA). Tes TPHA akan

menjadi positif setelah terjadi infeksi selama 4 minggu, sedangkan tes VDRL membutuhkan

4 hingga 6 minggu setelah infeksi (29,30).

Perempuan dalam kondisi hamil harus dilakukan pemeriksaan serologis sifilis pada

awal kehamilan disaat kunjungan antenatal care pada trismester pertama, dan juga pada

perempuan yang berisiko tinggi dapat dilakukan tes serologi sebanyak dua kali selama

trismester ketiga, diantara kehamilan 28 – 32 minggu dan sekali sesudah melahirkan.

Perempuan dengan riwayat kematian janin (Intra Uterine Fetal Death) sesudah kehamilan

20 minggu harus dilakukan pemeriksaan tes serologi. Perempuan dengan tes serologi positif

harus dianggap terinfeksi dan mendapatkan terapi kecuali pasien mempunyai catatan

pengobatan dengan jelas dan titer antibody yang menunjukkan penurunan yang adekuat,

rendah atau dinyatakan stabil. Tes titer pada nontreponemal pada perempuan hamil dengan

hasil >1:8 akan menjadi penanda terjadinya early infection. Perempuan hamil dengan

kenaikan titer antibody bisa terindentifikasi gagalnya terapi atau terjadi re – infeksi.

Semua bayi dengan seroreaktif atau dengan ibu seroreaktif pada saat melahirkan harus dilakukan
pemeriksaan fisik dan tes serologi setiap 3 bulan sampai menjadi non –

reaktif ketika bayi berumur 6 bulan sehingga bayi bebas dari diagnose sifilis kongenital.

(31,32,30,33)
Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Mahasiswa Malikussaleh

GONORHEA
Diagnostik non kultur seperti nucleid acid amplification test(NAATs), ligase chain
reaction (LCR), dan polymerase chain reaction(PCR) sedang dikembangkan dan dievaluasi di
negara industri beberapa tahun terakhir. Kelemahan NAATs adalah batas deteksi yang rendah,
namun NAAT direkomendasikan untuk mendeteksi infeksi urogenital pada pasien asimptomatik.
Namun penggunaan pada anak-anak untuk mendeteksi N.gonorrhoeaeterbatas.

Biosensor merupakan terknologi terbaru untuk mendiagnosis gonore. Biosensor DNA


elektrokimia didasarkan padaintegrasi probe sekuens spesifik dengan transduser sinyal
elektrokimia yang mengubah peristiwa pasangan basa hibridisasi DNA menjadi sinyal listrikyang
berguna. Hasil sensitivitas (96,2%), spesifisitas (88,2%), nilai prediksi positif (92,6%) dan nilai
prediksi negatif (93,8%).

Penatalaksanaan
Tatalaksana yang disarankan adalah terapi anti klamidia seperti azitromisin dosis tunggal
atau doxycycline 100 mg peroral2 kali sehari selama 7 hari. Terapi ganda juga dianjurkan untuk
menurunkan perkembangan resistensi bakteri.7Farmakokinetik dan farmakodinamik ceftriaxone
menunjukkan bahwa dosis 500 mg pada

orang dewasa AS dengan berat rata-rata efektif untuk memberantas infeksi.15Tatalaksana


non medikamentosa berupa memberikan anjuran untuk mengobati pasangan seksual yang
kontak dengan pasien, tidak melakukan hubungan seksual sampai sembuh, dan melakukan
kunjungan ulang di hari ketiga dan ketujuh, berikan pemahaman pada pasien tentang penyakit,
penyebab, cara penularan, dan komplikasi

Etiologi
Gonore disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae. Neisseria

gonorrhoeae bersifat intraseluler, aerob. Bakteri ini pertama kali ditemukan

oleh Albert Ludwig Sigismund Neisser pada tahun 1879. Neisseria

gonorrhoeae termasuk golongan diplococcus, berupa biji kopi, lebar 0.8µm,

panjang 1.6µm, tidak tahan asam dan berpasangan

Keluhan
1) Nyeri dan sensasi terbakar saat buang air kecil12

2) Discharge12
3) Perdarahan vagina di antara keduanya12

4) Infeksi rektal biasanya tidak memiliki gejala dan penyebab

Diagnosis
1) Anamnesis

Ini dapat diingat oleh staf medis atau staf medis, dengan tujuan untuk

menentukan faktor risiko pasien, membantu membuat diagnosis sebelum

pemeriksaan fisik atau pemeriksaan tambahan lainnya, dan membantu

mengidentifikasi pasangan seksual pasien. Untuk mencapai tujuan recall

diperlukan keterampilan komunikasi verbal (cara kita berbicara dan

bertanya dengan pasien) dan keterampilan komunikasi non verbal

(keterampilan bahasa tubuh saat berhadapan dengan pasien). Untuk

mengeksplorasi faktor-faktor risiko, perlu diajukan pertanyaan-pertanyaan

berikut.

Menurut penelitian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang faktor

risiko di berbagai negara (belum dilakukan di Indonesia), jika jawaban dari

satu atau lebih pertanyaan berikut ini adalah "ya", maka pasien akan

dianggap memiliki perilaku berisiko tinggi

a) Memiliki lebih dari 1 partner dalam sebulan terakhir

b) Berhubungan sex dengan WPS dalam sebulan terakhir

c) Mengalami 1/ lebih episode IMS dalam sebulan terakhir

d) Perilaku pasangan seksual berisiko tinggi

2) Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik terutama dilakukan di dalam dan sekitar area genital

dan pemeriksaan sebaiknya dilakukan di ruang pemeriksaan yang terang

Memeriksa pasien wanita dengan spekulum membutuhkan sorotan

tambahan. Selama proses pelaksanaan, pengawas harus didampingi oleh

petugas kesehatan lainnya. Saat memeriksa pasien wanita, inspektur akan

menemani staf perawat wanita, dan ketika memeriksa pasien pria, mereka
dapat membantu staf perawat pria atau wanita19

Tindakan yang harus dilakukan pada pasien sebelumnya, yaitu19:

a) Dalam pemeriksaan fisik alat kelamin dan sekitarnya, pengawas harus

selalu menggunakan sarung tangan. Jangan lupa untuk mencuci tangan

sebelum dan sesudah tes. Pasien harus melepas celana dalamnya untuk

melakukan pemeriksaan genital (dalam beberapa kasus, terkadang

pasien harus melepas semua pakaian secara bertahap)

b) Pasien wanita, setelah pemeriksaan, berbaring di meja operasi

ginekologi dan dalam posisi potong batu. Pemeriksa duduk dengan

nyaman saat memeriksa dan meraba vulva, labia, dan perineum. Periksa

area genital luar dengan memisahkan kedua labias, dan perhatikan

kemerahan, bengkak, luka/lecet, benjolan atau cairan keluar dari tubuh

c) Pemeriksaan duduk / berdiri dapat dilakukan pada pasien laki-laki.

Perhatikan area penis dan area skrotum dari bawah hingga ke ujung. Cari

sekresi tubuh, bengkak, luka / lecet atau lesi lainnya.

3) Pemeriksaan Penunjang

Berikut adalah uraian lima tahapan pemeriksaan pembantu, yaitu:

a) Sediaan langsung

Pada pewarnaan apusan langsung, ditemukan Neisseria gonorrhoeae

Gram-negatif, intraseluler dan ekstraseluler. Duh tubuh pada pria diambil

dari rongga navikularis, pada wanita dari uretra, kelenjar bartholin, leher

rahim. Pada kasus pasien dengan riwayat seksual berisiko mengalami

kontak seksual dengan rekto-genital dan oro-genitalia, bahan duh diambil

dari tenggorokan dan rektum. Sensitivitas tes langsung ini bervariasi,

spesimen uretra pria memiliki sensitivitas 90–95%, sedangkan spesimen

serviks hanya 45–65%. Spesifisitas tinggi 90-99%

Penatalaksanaan
Dalam hal tatalaksana duh tubuh uretra dan vagina perlu
dipertimbangkan ketersediaan sarana pemeriksaan pada lokasi layanan

kesehatan. Yang paling ideal adalah melakukan pemeriksaan tambahan

untuk mengidentifikasi mikroorganisme patogen. Untuk wilayah tanpa

laboratorium dan fasilitas inspeksi yang lengkap, pendekatan komprehensif

berupa penilaian risiko dan penanganan langsung dapat digunakan untuk

pengelolaan. Pedoman tatalaksana pada infeksi gonore yaitu12:

1) Non Medikamentosa

Pasangan seksual penderita harus dievaluasi dan diobati jika kontak

terakhir pasien lebih dari 60 hari sebelum timbulnya gejala ataupun saat

diagnosis, pasangan seks terbaru pasien harus diobati. Penderita

dianjurkan untuk menghentikan aktivitas seksual hingga terapi komplit dan

gejala menghilang

Melalui pendidikan kesehatan masyarakat, konsultasi pasien dan

perubahan perilaku, lebih ditekankan pada pencegahan. Individu yang aktif

secara seksual, terutama remaja, harus ditawarkan skrining untuk PMS.

Mencegah penyebaran gonore dapat membantu mengurangi penularan

HIV. Saat ini tidak ada vaksin yang efektif untuk infeksi gonokokus, tetapi

upaya sedang dilakukan untuk menguji beberapa calon vaksin.

Menerapkan konseling dan tes infeksi HIV yang diprakarsai oleh penyedia

dan skrining infeksi menular seksual lainnya bila memungkinkan

2) Medikamentosa

CDC menyarankan obat kombinasi dengan dua antibiotik yang berbeda

mekanisme agar terhindar dari resistensi. Gonore tanpa komplikasi yang terjadi di serviks, uretra dan
rektum, regimen yang dianjurkan adalah

ceftriaxone dosis tunggal 250 mg intramuskular ditambah dosis tunggal 1

gram azitromisin (per oral) pada9 hari yang sama

Dalam pengobatan, perhatian harus diberikan pada keefektifan, harga

dan ketersediaan obat dan efek toksik yang paling sedikit. Secara historis,

penisilin dan probenesid telah menjadi pilihan utama, kecuali di daerah di


mana Neisseria gonorrhoeae penghasil penisilinase biasa ditemukan.

Secara epidemiologis, pengobatan yang dianjurkan adalah obat oral

tunggal. Obat pilihan adalah cefixime dosis tunggal, dan pemberian oral

adalah sefalosporin generasi ketiga, dengan dosis tunggal 400 mg. Sejauh

ini, efektivitas dan spesifisitas berada pada level terbaik 95%. Dalam

pengelolaan infeksi gonore, perhatian harus diberikan pada fasilitas

laboratorium untuk diagnosis, frekuensi strain NGPP, pilihan obat dengan

tingkat keracunan dan efek samping yang rendah, metode yang mudah

dikelola, harga murah dan efisiensi tinggi

TRIKOMONIASIS
Etiologi
Trichomonas vaginalis adalah parasit protozoa flagellata yang menyebabkan trikomoniasis, yang
terutama ditandai dengan vaginitis parah pada wanita yang bergeja

Terdapat dua proses dari kandidiasis vulvovaginal berulang, dimanaproses tersebut


diawalidenganadanya transformasi koloni jamur asimptomatik menjadi koloni jamur yang
simptomatik. Terjadinya infeksi berulang yang terus-menerus menyebabkan infeksi yang kronis.
Blastospora Candidasp.akanberpindah daribagian bawahsaluran pencernaan menuju lumen vagina
melalui regio perianal.Kolonisasi yeastbiasanya kecil dan bersifat asimptomatik (tidak terdapat
gejala-gejala klinis yang menyertai). Peranan dari hormon estrogen akan mempengaruhi koloni
dari yeastmenyebabkan peningkatan ukuran dan akan merangsang peristiwa transisi antara yeast

untuk menjadi hyphae. Hal inilah yang menyebabkan koloni-koloni jamur menjadi patogen
dan bersifat simptomatik (terdapat gejala-gejala klinis yang menyertai). Pada kondisi ini,
wanita dengan adanya faktor-faktor predisposisi, yaitu genetik, aspek biologis, dan habitmenjadi
faktor pemicu infeksi yang kronis dan berulang

Keluhan
Tanda-tanda dari kandidiasis vulvovaginal adalah adanya cairan putih kekuningan berbentuk
gumpalan (cottage cheese-like) dengan adanya sensasi rasa terbakar, nyeri saat berkemih, nyeri
saat berhubungan seksual (dyspareunia), dan gatal disertai kemerahan pada vulva dan vagina.
Diagnosis
Penegakan diagnosis dari kandidiasis vulvovaginal terdiri dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang laboratorium yang terdiri dari pemeriksaan langsung dengan
larutan KOH 10%, pemeriksaan pH sekret vagina, pemeriksaan kultur dengan agar Saboraud,
dan pemeriksaan PCR. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda klinis serta
ditemukannya Candida sp. pada pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan dari kandidiasis
vulvovaginal tergantung dari spesies penyebabnya, lokasi infeksi, penyakit yang mendasari,
status imunitas pasien, dan sensitifitas terhadap obat antifungal.
Penegakan diagnosis dari kandidiasis vulvovaginal terdiri dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.Saat dilakukannya anamnesis didapatkan
keluhan utama dari pasien,yaitu gatalpada daerah vulvadanpada kasus yang sangat
parahterdapat sensasi panas di daerah vulva, adanya rasa nyeri saat berkemih, nyeri saat
berhubungan seksual(dyspareunia), dan mengalami keputihanyang abnormal.Umumnya sering
terdapat pada pasien yang memiliki penyakit penyerta seperti diabetes melitus karena
tingginya kadar glukosa dan jugadapatterjadi pada pasien yang sedang mengalami
perubahan hormonal (kehamilan dansiklus haid). Rekurensi dapat terjadi karena
penggunaandaricairan pembersih genital, antibiotik,danimunosupresi.5Pada
pemeriksaanfisikperludiamati dengan cermat dan teliti,padainfeksiyang ringan terdapat
gambaranhiperemia pada labia minor, introitus vagina, dan pada kelainan yang
beratditemukan adanya tanda-tanda inflamasi di daerah vulvadisertaidengan
edema(pembengkakan)dan kemerahan (eritema). Terdapat erosi,ulkus-ulkus yang dangkal
pada labia minor dan sekitardariintroitus vagina. Ditemukan adanya bercak putih
kekuningan di labia minor, fluor albus putih susu dengan gumpalan putih kekuningan seperti
kejuyangmenempelpada dinding vagina, tanpaadanyabau yang khas. Tetapi tidak menutup
kemungkinanpada pemeriksaan fisik tidak terlihat adanya perubahan-perubahan
fisik.4Pemeriksaan penunjangdapat diambil menggunakan usapan sekret vagina
denganmengusapkankapas lidi pada lesi, selanjutnya disuspensikan dalam larutan fisiologis,
kemudian suspensitersebutdiletakkan pada gelas objek untuk diperiksa dibawah mikroskopdan
untuk memudahkan pemeriksaan dapat ditambahkan larutan KOH 10%.11Pewarnaan gram
dapat dilakukan padasekretvagina dengansensitifitas 65% dan spesifisitas 85%,dan hasil
pemeriksaanditemukanadanya sel yeastatau ragiyang bertunas (budding yeast cells),
blastospora, dan hifa semu (pseudohifa)yang banyak. Pemeriksaan berikutnya menggunakan
pemeriksaan pHsekretvagina, dengan sensitivitas 71% dan spesifisitas 90%
memilikipHnormal4-4,5.12Tetapi infeksi lain bisa juga terjadi seperti trikomoniasis yang
disebabkan oleh parasit dan vaginosis bakteri yang ditandai dengan peningkatan
pHataudapatdilakukanpemeriksaan biakan dengan agar Saboraud.
Sehingga penegakan dari diagnosis kandidiasis vulvovaginal adalahberdasarkan
gejala dankombinasi dari berbagai pemeriksaan. Ketika tidak ditemukannya elemen jamur
pada pemeriksaan mikroskop dan tidak disertai adanya gejala-gejala klinis yang khas,
maka seorang wanita tidak bisa didiagnosis memiliki kandidiasis vulvovaginal.3Diagnosis
banding dari kandidiasis vulvovaginal adalah trikomoniasis, gonore akut, dan vaginitis
non-spesifik. Dermatitis akibat penyebab non-infeksi misalnya reaksi iritasi atau
hipersensitivitas
Penatalaksanaan
Pengobatan pertama dari kandidiasis vulvovaginal adalah mengupayakan untuk menghindari
dan menghilangkan predisposisi dan faktor pencetus. Pengobatan yang dapat diberikan adalah
pengobatan secara topikal, oral, intravaginal, dan sistemik.
Penatalaksanaan dari kandidiasis vulvovaginaltergantungdarispesies penyebabnya,
lokasi infeksi, penyakit yang mendasari, status imunitas pasien, dan sensitifitas
terhadap obat antifungal. Pengobatan pertama dari kandidiasis vulvovaginal adalah
mengupayakan untuk menghindari dan menghilangkan predisposisi dan faktor pencetus.
Penatalaksanaandapat diberikan antifungal topikal dengan dosis tunggal denganlama
pengobatan sekitar 1-7 hari.Pengobatan topikal untuk selaput lendir bisa
diberikandenganlarutan ungu gentian 0,5-1%,sebanyak1-2% untuk kulit dan dioleskan 2
kali sehari selama 3 hari, atau dapat diberikannystatin creamyang digunakan untuk
kelainan kulit dan mukokutan.Atau dapat diberikan ketokonazol atau mikonazol cream2%
selama 7 hari dioleskan 2 kali sehari digunakan untuk kasus balanitis.1Sediaan antifungal
topikal lainnya adalah krim ntravaginal klotrimazol 1%5 gselama 7-14hari, krim intravaginal
klotrimazol 2%5 gselama3hari, krim intravaginal terkonazol 0,8% selama 3 hari, krim
mikonazol intravaginal 2%5 gselama 7 hari, krimmikonazol intravaginal 4%5 gselama 3
hari krim intravaginal klotrimazol 2% selama 3 hari, salep tioconazol 6,5% dosis tunggal, krim
intravaginal terkonazol 0,4% selama 7 hari.13Krimbutokonazol intravaginal 2% dosis tunggal
diikuti oleh pemeliharaan mikonazol 1200 mg supositoria intravaginal setiap minggu
selama enam bulan. Pengobatan secara intravaginal dapat diberikan menggunakan
klotrimazol supositoria200 mg satu kali sehari selama 3 hari atau diberikan dengan dosis
tunggal 500 mg, uvula dapat digunakansaat malam hari sebelum tidur. Atau dapat
diberikan nystatin supositoria 100.000 IU satu kali sehari selama 7 hari dengan kasus
yang beratsehinggadurasi pengobatanakanlebih panjang yaitu 7-14 hari.12Pengobatan
sistemikdiberikan untuk kasus refrakter, kandida diseminata, dan kandidiosis
mukokutan yang jangka panjang (kronik). Pengobatan sistemik yang dapat diberikan
antara lain, ketokonazol 200 mg sebanyak satu kali atau itrakonazol 200 mg sebanyak
dua kali dosis tunggal atau juga bisa diberikan flukonazol 150 mg dosis tunggal.1Pengobatan
oral yang direkomendasikanadalah flukonazol tablet 150 mg dengan dosis tunggal,pada
kasus yang berat diberikan dosis 150 mg diulang di hari pertama dan hari keempat.
Pada kasus berat, dosis flukonazol diulangi dengan interval 72 jam setelah dosis terakhir,
ketokonazol 200 mg diberikan selama lima hari sebanyak 2 kali sehari, dan
itrakonazol tablet 100 mg diberikan 2 kali sehari selama 3 hari, tetapi obat itrakonazol
tidak boleh diberikan pada ibu hamil, ibu menyusui dan anak dibawah usia 12
tahun.12Pada kelainan kulit dapat diberikan pengobatan golongan azol yang terdiri dari
mikonazol 2% berupa bedak atau cream, kotrimazol 1% terdiri dari sediaan bedak,
cream, dan larutan, tiokonazol, bufonazol, isokonazol, siklopiroksolamin 1% larutan atau
cream, dan atimikotik dengan spektrum yang luas.Lini pertama pada pasien non-neutropenik
dapat diberikan flukonazol dengan dosis 100-400 mg per hari dengan kandidemia atau
kondidosis invasif. Pilihan lain dapat diberikan itrakomazol dengan dosis 200 mg per
hari.1Pada kasus kandidiasis vulvovaginal berulang yang disebabkan oleh Candida
albicans, Candida parapsilosis,danCandida tropicalisharus diberikan pengobatan dengan
flukonazol. Dosis awal flukonazol adalah 150 mg setiap 3 hari untuk 3 dosis (hari
pertama, keempat,dan ketujuh)untukdosis pemeliharaan flukonazol adalah 150 mg setiap
minggu selama enam bulan.Pengobatan pilihan lainnya adalah itrakonazol200 mg dua
kali sehari selama 3 hari berturut-turut, diikuti oleh 100-200 mg itrakonazolsekali sehari
selama enam bulan.Untuk kandidiasis vulvovaginal berulang yang disebabkan Candida
glabrataharus diobati dengan boric acid600 mg supositoriaintravaginal satu kali sehari selama
14 hari atau diberikan nystatin intravaginal supositoria 100.000 IU selama 14 hari.
Keduanya bisa digunakan untuk terapi pemeliharaan dengan dosis yang sama pada
pengobatan awal, tetapi boric acid tidak boleh digunakan selama
kehamilan.Penambahan antihistamin dapat mengurangi gejala pruritus.9Pengobatan
dengan durasi yang lebih panjang dibutuhkan jika pasien memiliki kriteria dengan gejala
klinis yang berat, infeksi candida selain Candida albicans, imunosupresi, dan kandidiasis
vulvovaginal yang berulang. Kasuskandidiasis vulvovaginal yang sederhana tidak perlu
dirujuk, tetapi jika kasuskandidiasis vulvovaginal yang rekuren atau ber

HIV/AIDS
Etiologi
Melihat tempat hidup HIV, bisa diketahui penularan HIV terjadi kalua
ada cairan tubuh yang mengandung HIV seperti hubungan seks dengan
pasangan yang mengidap HIV, jarum suntik, dan alat-alat penusuk (tato,
penindik dan cukur) yang tercemar HIV dan ibu hamil yang mengidap HIV
kepada janin atau disusui oleh wanita pengidap HIV (Rukiyah, 2010).
Keluhan
Tanda-tanda, gejala-gejala (symptom) pada secara klinis pada penderita AIDS adalah sulit karena
symptomasi yang di tunjukka pada umumnya adalah bermula dari gejala-gejala umum yang lazim

di dapati pada berbagai penderita penyakit lain, namum secara umum dapat kiranya dikemukakan
sebagai berikut yaitu rasa letih dan lesu, berat badan menurun secara drastis, demam yang sering

dan berkeringat di waktu malam, mencret dan kurang nafsu makan,

Gejala klinis HIV/AIDS terdiri dari 2 gejala yaitu gejala

mayor dan gejala minor :

1) Gejala mayor :
a) Menurunnya berat badan >10% dalam waktu satu bulan

b) Mengalami diare > dari satu bulan

c) Mengalami demam berkepanjanan

2) Gejala minor :

a) Mengalami batuk > dari satu bulan

b) Mengalami dermatitis

c) Mengalami herpes zoster

d) Mengalami candidias orofaringeal

e) Mengalami herpes simpleks (KPAP, 2014)

Kesimpulan
Gonore disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae yang merupakan golongan diplokok dan tahan asam.
Gold standar pemeriksaan penunjang gonore adalah kultur. Tatalaksana medikamentosa yang
disarankan adalah anti klamidia. Komplikasi yang dapat terjadi adalah infertile, kehamilan
ektopik, dan kebutaan pada neonates yang dikandung oleh ibu yang terinfeksi.

Referensi
1. Jurnal Medika Utama Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
2. Maria T. Faktor Resiko Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS). Jurnal
Kesehatan Volume 9, Nomor 3, November2018, hal 419-426
3. Kandidiasis Vulvovaginal Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
4. STUDI LITERATUR FAKTOR YANGBERHUBUNGAN DENGANKEJADIANHIV/AIDS
PADAWANITAUSIASUBUR

Anda mungkin juga menyukai