Anda di halaman 1dari 46

MAKALAH

SKRINING RESIKO MATERNAL SELAMA


KEHAMILAN
Dosen : Mariyani, M. Keb

Disusun Oleh :
Eva Nurlaela (180601003)
Fitri Wulandari (180601005)

SARJANA KEBIDANAN
STIKes ABDI NUSANTARA JAKARTA
Jalan kubah putih no.7 RT.01/RW.14, Jatibening, PondokGede,
Kota Bekasi, Jawa Barat 17412
TAHUN AJARAN 2019/2020
DAFTAR ISI
COVER......................................................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................
BAB PEMBAHASAN..............................................................................
1.1 Prinsip dalam screening antenatal....................................................
a. Torch.........................................................................................
b. Syphilis......................................................................................
c. Hepatitis B.................................................................................
d. Blood Group and Rhesus Faktor...............................................
e. Anti d Prophylaxis for the rhesus..............................................
f. Down syndrom risk and alpha fetoprotein................................
g. Grup B Hemolytic Treptococcus..............................................
h. Sickle cell anemia.....................................................................
i. Thallasemia...............................................................................
j. Vagina Infection........................................................................
1.2 Skrining faktor fisik dan psikososial................................................
1.3 Pemeriksaan Laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya....

DAFTAR PUSTAKA................................................................................

2
BAB

PEMBAHASAN

1.1 Prinsip dalam Screening antenatal

A. Torch
TORCH adalah istilah untuk menggambarkan gahungan dari 4
jenis penyakit infeksi yaitu Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus,
Herpes. Keempat jenis penyakit infeksi ini, sama-sama berbahaya bagi
janin bila infeksi diderita oleh ibu hamil. Kini diagnosis untuk penyakit
infeksi telah berembang antara lain kearah pemeriksaan secara imonologis.
Prinsip dari pemeriksan ini adalah deteksi adanya zat anti (Anti Body)
yang spesifik terhadap kuman penyebab infeksi tersebut sebagai respon
tubuh terhadap adanya benda asing (kuman, antibody yang terburuk dapat
berupa imonoglobin M (lgM) dan imonoglobin G (lgG).

- Toxoplasma
Disebabkan oleh parasite yang disebut Toxoplasma Gondi. Pada
umumnya infers ini terjadi tanpa disertai gejala yang spesifik. Toxoplasma
yang disertai gejala ringan mirip gejala influenza, bisa timbul rasa lelah
demam, dan umumnya tidak menimbulkan masalah. Infeksi toxoplasma
berbahaya bila terjadi saat ibu sedang hamil atau pada orang dengan
sisitem kekebalan tubuh terganggu. Jika wanita hamil terinfeksi
toxoplasma maka akibat yang dapat terjadi adalah abortus spontan atau
keguguran 4% atau lahir mati 3% atau bayi menderita toxoplasma bawaan,
gejala dapat muncul setelah dewasa.

- Rubella
Infeksi Rubella ditandai dengan demam akut, ruam pada kulit dan
pembesaran kelenjar getah bening. Infeksi ini disebabkan oleh virus
Rubella, dapat menyerang anak-anak dan dewasa muda. Infeksi Rubella
berbahaya bila terjadi pada wanita hamil muda, karena dapat menyebabkan

3
kelainan pada bayinya.jika infeksi terjadi pada bulan pertama kehamilan
maka resiko terjadinya kelainan adalah 50%, sedangkan jika infeksi terjadi
trimester pertama maka resikonya menjadi 25% (menurut America College
of Obstatrician and Gvnecologists,1981).

- Cytomegalovirus
Infeksi CMV disebabkan oleh virus Cytomegalo, dan virus ini
termasuk golongan virus keluarga herpes. Seperti halnya keluarga herpes
lainnya, virus CMV dapat tinggal secara laten dalam tubuh dan CMV
merupakan salah satu penyebab infeksi yang berbahaya bagi janin bila
infeksi terjadi saat ibu sedang hamil. Jika ibu terinfeksi, maka janin yang
dikandung mempunyai resiko tertular sehingga mengalami gangguan
misalnya pembesaran hati, kuning, ekapuran otak, ketulian retardasi
mental, dan lain-lain.

- Herpes
Infeksi herpes pada alat genital (kelamin) disebabkan oleh herpes
simpleks tipe II (HSV II). Virus ini dapat berada dalam bentuk laten,
menjalar melalui serabut syaraf sensorik dan berdiam diganglion sistem
syaraf otonom. Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HSV II
biasanya memperlihatkan lepuh pada kuli, tetapi hal ini tidak selalu
muncul sehingga mungkin tidak diketahui. Infeksi HSV II pada bayi yang
baru lahir dapat berakibat fatal (lebih dari 50 kasus
1) Pemeriksaan TORCH
a) Biaya Pemeriksaan TORCH
Biaya untuk melakukan pemeriksaan TORCH bervariasi, tergantung dari
rumah sakit yang menyelenggarakannya, teknik pemeriksaan, serta variasi
pemeriksaan infeksi lain yang termasuk di dalamnya. Di rumah sakit
swasta di Indonesia, biaya prosedur ini bisa dimulai dari Rp. 250.000
hingga lebih dari Rp. 3.500.000. Dianjurkan untuk mempersiapkan dana

4
lebih guna kebutuhan tambahan yang tidak terduga, yaitu sekitar 20-30%
dari biaya yang diperkirakan.

b) Pemeriksaan TORCH
Pemeriksaan TORCH adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk
mendeteksi adanya Toksoplasmosis, infeksi lain/other infection, Rubella,
Cytomegalovirus, dan Herpes simplex virus (disingkat TORCH), yang
menginfeksi ibu hamil atau yang berencana hamil, untuk mencegah
komplikasi pada janin.

c) Infeksi Apa Saja yang Termasuk Other Infection dalam TORCH?


Sifilis, Varicella zoster, campak, HIV, Zika, atau organisme lain yang
dicurigai mengakibatkan gangguan pada janin dan disesuaikan dengan
daerah masing-masing.

d) Kapan Seseorang Harus Menjalani Pemeriksaan TORCH?


Pemeriksaan TORCH dapat dilakukan pada ibu yang merencanakan untuk
hamil atau ibu hamil di trimester pertama. Selain itu, pemeriksaan TORCH
juga dapat dilakukan pada bayi baru lahir yang menunjukkan gejala-gejala
terkena infeksi TORCH, seperti:
 Berat dan panjang badan yang lebih kecil dari bayi seusianya
 Katarak
 Trombositopenia
 Kejang
 Kelainan jantung
 Tuli
 Pembesaran hati dan limpa
 Sakit kuning (jaundice)
 Keterlambatan pertumbuhan

5
e) Risiko Menjalani Pemeriksaan TORCH
Pemeriksaan TORCH merupakan pemeriksaan yang sederhana dan
umumnya tidak berisiko. Akan tetapi, pengambilan sampel darah untuk
pemeriksaan TORCH tetap dapat menimbulkan risiko, seperti kemerahan
di lokasi pengambilan sampel darah, nyeri, infeksi, dan lebam.

f) Persiapan untuk Pemeriksaan TORCH


Pemeriksaan TORCH merupakan pemeriksaan sederhana, sehingga
umumya tidak memerlukan persiapan khusus, seperti puasa. Meski
demikian, pasien perlu memberitahukan kepada dokter jika sedang
menderita selain penyakit TORCH atau sedang menjalani pengobatan
tertentu.

g) Prosedur Pemeriksaan TORCH


Prosedur pemeriksaan TORCH cukup sederhana, yaitu berfokus pada
pengambilan sampel darah dan deteksi antibodi. Darah dapat diambil
melalui pembuluh vena di lengan. Kulit di bagian lengan akan dibersihkan
terlebih dahulu agar steril. Lengan atas kemudian diikat menggunakan alat
khusus agar vena di lengan menggembung dan terlihat dengan jelas.
Dokter kemudian menusukkan jarum ke dalam vena dan memasang tabung
steril khusus untuk mengumpulkan sampel darah. Sampel darah akan
dibawa ke laboratorium untuk dicek antibodi spesifik terhadap masing-
masing organisme yang termasuk dalam pemeriksaan TORCH.

h) Apa yang Harus Dilakukan setelah Menjalani Pemeriksaan TORCH?


Jika diduga positif menderita penyakit TORCH, dokter akan
merekomendasikan pasien untuk menjalani pemeriksaan lain guna
memastikan diagnosis. Hal tersebut dilakukan mengingat pemeriksaan
TORCH kurang spesifik dalam menentukan infeksi yang sedang terjadi.
Contoh pemeriksaan lainnya adalah:

6
 Tes pungsi lumbal : untuk mendeteksi adanya infeksi
toksoplasmosis, rubella, dan Herpes simplex virus.
 Tes kultur lesi kulit : untuk mendeteksi adanya infeksi Herpes
simplex virus.
 Tes kultur urine : untuk mendeteksi adanya infeksi
Cytomegalovirus.
B. Syphilis
Sifilis adalah penyakit infeksi menular seksual disebabkan bakteri
Treponema pallidum dapat ditularkan melalui hubungan seksual, transfusi
darah, dan vertikal dari ibu ke janin. Jika perempuan hamil menderita
sifilis dapat terjadi infeksi transplasenta ke janin sehingga menyebabkan
keguguran, lahir prematur, berat badan lahir rendah, lahir mati, atau sifilis
kongenital. Diagnosis sifilis pada kehamilan ditegakkan berdasar
anamnesis, manifestasi klinis, pemeriksaan laboratorik, dan serologik.
Skrining pada trimester pertama dengan tes non-treponema seperti rapid
plasma reagin (RPR) atau venereal disease research laboratory (VDRL)
kombinasi dengan tes treponema seperti treponema pallidum
hemagglutination assay (TPHA) merupakan hal penting pada setiap
perempuan hamil. Manifestasi klinis sifilis ke janin bergantung pada usia
kehamilan dan stadium sifilis maternal serta respons imun janin. Deteksi
dini dan terapi adekuat penting untuk mencegah transmisi infeksi sifilis
dari ibu ke janin.
Manifestasi klinis sifilis pada perempuan hamil dan tidak hamil
tidak berbeda. Pada perempuan seringkali tidak terdeteksi karena gejala
asimtomatik dan berada di lokasi tersembunyi. Sifilis pada kehamilan
dapat ditularkan dari ibu ke janin saat stadium primer, sekunder, dan
laten.7,8 Bakteri T. pallidum dapat melewati plasenta sejak usia gestasi
10-12 pekan dan risiko infeksi janin meningkat seiring usia gestasi. Jika
seorang perempuan hamil terinfeksi sifilis maka kemungkinan 70-80%
menularkan infeksi ke janin dan dapat menyebabkan keguguran, lahir
prematur, berat badan lahir rendah, lahir mati, atau sifilis kongenital.

7
Sifilis merupakan penyakit dengan manifestasi klinis lebih
disebabkan oleh respons imunologik dan inflamasi dibanding efek
sitotoksik langsung dari T. pallidum itu sendiri. Penelitian membuktikan
perlu jumlah bakteri dalam jumlah cukup besar di dalam sel untuk
menimbulkan efek langsung sitotoksisitas T.pallidum dan bakteri ini tidak
mengekspresikan toksin di dalam tubuh manusia. 2,3 Indurasi pada lesi
primer (ulkus durum) disebabkan infilitrasi sel limfosit dan makrofag
dalam jumlah cukup besar. Destruksi jaringan disebabkan oleh proliferasi
endotel di pembuluh darah kapiler dan oklusi lumen menyebabkan
nekrosis jaringan lokal.3 Hal ini mirip pada sifilis kongenital, dimana efek
pada janin tidak terlihat sampai janin memiliki respons imun cukup untuk
merespons keberadaan bakteri T. pallidum.
a. Skrining sifilis
Skrininng sifilis adalah metode pemeriksaan untuk mendeteksi
keberadaan bakteri penyebab sifilis, dan dilakukan sebelum gejala
sifilis nampak jelas pada seseorang.
b. Biaya Skrining Sifilis
Besaran biaya skrining sifilis bervariasi, tergantung di rumah sakit
mana Anda menjalani prosedur ini dan jenis skrining yang Anda
jalani. Di beberapa rumah sakit swasta di Indonesia, biaya
pemeriksaan ini bisa dimulai dari Rp. 95.000 hingga lebih dari Rp.
400.000. Dianjurkan untuk mempersiapkan dana lebih guna
kebutuhan tambahan yang tidak terduga, yaitu sekitar 20-30% dari
biaya yang diperkirakan.
c. Dilakukan Skrining Terhadap Penyakit Sifilis
Jika tidak segera ditangani, sifilis bisa menyebabkan kerusakan pada
otak, jantung, kelumpuhan, kebutaan, hingga kematian. Pada ibu
hamil, sifilis dapat ditularkan ke janin dan menyebabkan bayi lahir
tidak normal, bahkan meninggal saat dilahirkan.
d. Yang Harus Menjalani Skrining Sifilis

8
Apabila Anda seorang penderita HIV yang masih aktif melakukan
hubungan seksual, lelaki seks lelaki, pekerja seks komersial, atau
wanita hamil, sebaiknya menjalani pemeriksaan skrining sifilis.

e. Skrining Sifilis Perlu Dilakukan Rutin

Pada kelompok berisiko, skrining sifilis paling tidak dilakukan


setahun sekali. Bila sangat berisiko, dapat dilakukan lebih sering,
yaitu 3-6 bulan sekali. Pada wanita hamil, disarankan untuk
melakukan skrining sifilis, saat pertama kali kontrol ke dokter
kandungan, serta diulang saat trimester 3 dan saat menjelang
persalinan.

f. Kondisi yang Dapat Memengaruhi Hasil Skrining Sifilis

Hasil skrining bisa terpengaruh bila Anda pengguna narkoba suntik,


sedang hamil, atau menderita penyakit Lyme, malaria, tuberkulosis,
pneumonia, atau lupus.

g. Jenis Pemeriksaan Sifilis

Skrining sifilis ada dua, yaitu tes nontreponema dan tes treponema.
Tes nontreponema adalah tes untuk melihat keberadaan antibodi yang
tidak spesifik terkait dengan sifilis. Sedangkan tes treponema adalah
tes yang mendeteksi antibodi yang secara spesifik terkait dengan
sifilis. Pelaksanaan tes yang satu harus diikuti dengan tes yang
lainnya, untuk menguatkan hasil pemeriksaan.

h. Persiapan Skrining Sifilis

Skrining sifilis tidak memerlukan persiapan khusus.

i. Prosedur Skrining Sifilis

9
Skrining sifilis dilakukan dengan mengambil sampel darah Anda
melalui pembuluh darah vena. Kemudian sampel darah tersebut akan
diperiksa di laboratorium.

j. Yang Dapat Diketahui setelah Skrining Sifilis

Hasil skrining bisa diketahui dalam 3 atau 5 hari dan dapat


menentukan apakah Anda sedang menderita sifilis aktif dan perlu
diobati, pernah menderita sifilis namun sudah tidak aktif, atau tidak
menderita sifilis.

k. Efek Samping Skrining Sifilis

Efek samping yang ditimbulkan adalah akibat prosedur pengambilan


darah, namun jarang terjadi. Di antaranya adalah infeksi, pusing,
perdarahan, atau hematoma.

C. Hepatitis B

Tes Hepatitis B adalah tes darah yang bertujuan untuk menentukan


apakah seseorang terinfeksi oleh virus hepatitis B (HBV) atau pernah
mengidap penyakit ini sebelumnya. Tes ini dilakukan dengan mencari
antigen tertentu dalam darah. Antigen adalah tanda-tanda infeksi (marker)
yang dibuat oleh bakteri atau virus.

Keberadaan antigen HBV dalam darah berarti menunjukkan bahwa


virus sedang menjangkiti tubuh. Namun, tubuh kita memiliki antibodi
yang mampu melawan infeksi. Adanya antibodi HBV dalam darah
menunjukkan bahwa pernah memiliki kontak dengan virus atau riwayat
infeksi di masa lalu. Tetapi, hal ini bisa berarti pernah terinfeksi di masa
lalu dan sekarang sudah pulih dari infeksi atau baru saja terkena infeksi.

Bila ditemukan materi genetik (DNA) dari HBV, itu berarti ada
virus di dalam tubuh. Dengan mengetahui jumlah DNA, maka dokter

10
dapat mengetahui seberapa parah infeksi yang dialami pengidap dan
seberapa mudah penyebarannya. Penting juga untuk mengetahui tipe virus
yang menjadi penyebab hepatitis agar dokter dapat melakukan tindakan
untuk mencegah virus menyebar serta menentukan terapi yang paling baik
untuk pengidap.

Berikut ini beberapa tes yang digunakan untuk mendiagnosis


adanya virus hepatitis B:

a. Hepatitis B Surface Antigen (HBsAg)

Tes HBsAg ini bertujuan untuk melihat apakah kamu berpotensi


menularkan virus hepatitis B. Bila hasil tes positif, maka kamu
mengidap hepatitis B dan berisiko menyebarkan virus. Sebaliknya, bila
hasilnya negatif, berarti kamu saat ini tidak memiliki hepatitis B.
Namun, tes ini tidak bisa menunjukkan antara infeksi kronis dan akut.

b. Antibodi terhadap Antigen Permukaan HBV (anti-HBs)

Tes antibodi permukaan hepatitis B dilakukan untuk memeriksa


kekebalan tubuh terhadap HBV. Bila hasil tes positif, berarti kamu
kebal terhadap hepatitis B. Ada dua alasan di balik hasil tes positif.
Kamu mungkin telah divaksinasi, atau kamu mungkin sudah pulih dari
infeksi HBV akut dan tidak lagi menular.

Setelah tes awal menunjukkan adanya HBV, maka dokter biasanya akan
melakukan beberapa tes lanjutan berikut:

a. Anti-Hepatitis B Core (anti-HBc), IgM

Tes ini dilakukan untuk mendeteksi hanya antibodi IgM pada antigen
hepatitis B core. Selain itu, tes ini juga digunakan untuk mendeteksi
infeksi akut atau infeksi kronis.

b. Hepatitis B e-Antigen (HBeAg)

11
Tes ini dilakukan untuk mendeteksi protein yang diproduksi dan
dilepas ke dalam darah. Tes ini sering digunakan untuk mengetahui
apakah pengidap berpotensi menyebarkan virus ke orang lain atau
untuk mengetahui efektivitas dari terapi yang dijalankan.

c. Anti-Hepatitis B e-Antibody (Anti-HBe)

Tes Anti-HBe dilakukan untuk mendeteksi antibodi yang diproduksi


oleh tubuh sebagai respon terhadap antigen “e” hepatitis B. Pengidap
yang baru pulih dari infeksi HBV akut juga perlu menjalani tes ini agar
dokter dapat memantau kondisi kesehatannya. Tes Anti-HBe biasanya
dilakukan berbarengan dengan Anti-HBc dan Anti-HBs.

d. Hepatitis B Viral DNA

Tes ini berguna untuk mendeteksi genetik HBV dalam darah. Bila tes
menunjukkan hasil positif, maka benar bahwa orang tersebut memiliki
virus hepatitis B aktif dan berisiko menularkan infeksi ke orang lain.
Tes ini juga sering digunakan untuk melihat efektivitas dari terapi
antiviral pada orang-orang yang terinfeksi HBV kronis.

e. Hepatitis B Virus Resistance Mutations

Seperti namanya, tes ini bertujuan untuk memeriksa apakah virus


sudah bermutasi, sehingga menyebabkan orang tersebut terinfeksi.
Virus yang sudah bermutasi akan sulit diatasi dengan obat-obatan.
Melalui tes ini, dokter juga dapat lebih mudah menentukan jenis terapi
yang sesuai untuk pengidap, terutama pada orang yang sebelumnya
sudah pernah menjalani terapi atau tidak memberi respon terhadap
terapi.

f. Kenapa Melakukan Tes Hepatitis B

Tes hepatitis B berperan penting dalam mendeteksi, mengklasifikasi,


dan mengatasi virus HBV. Oleh karena itu, sangat penting bagi orang-

12
orang yang mengalami gejala hepatitis B untuk menjalani tes ini agar
penyakit tersebut bisa segera dideteksi dan ditangani lebih cepat.

g. Gejala-gejala hepatitis B

Gejala- Gejala Hepatitis B di antaranya sakit perut, demam, nyeri


sendi, tidak nafsu makan, mudah lelah, mual dan muntah, serta urine
berwarna gelap.

h. Kapan Harus Melakukan Tes Hepatitis B

Tes hepatitis B perlu segera dilakukan bila dokter mendiagnosis


adanya gejala hepatitis akut.

i. Bagaimana Melakukan Tes Hepatitis B?

j. Tes hepatitis B tidak memerlukan persiapan khusus. Sebab, hanya


perlu berbicara dengan dokter saja untuk melakukan tes ini. Berikut
adalah proses tes hepatitis B:

 Pertama-tama, petugas medis akan melilitkan sabuk elastis di


sekitar lengan bagian atas untuk menghentikan aliran darah. Cara
ini akan membuat pembuluh darah di bawah ikatan membesar,
sehingga petugas mudah menyuntikkan jarum ke dalam pembuluh.

 Bagian tubuh yang akan disuntik dibersihkan terlebih dahulu


dengan alkohol.

 Kemudian, darah akan diambil dengan cara menyuntikkan jarum ke


pembuluh darah.

 Ketika jumlah darah yang diambil dirasa sudah cukup, petugas


akan melepaskan ikatan dari lengan.

 Selanjutnya, bagian yang disuntik akan ditempelkan kain kasa atau


kapas dan dipasang perban.

13
 Setelah melakukan tes hepatitis B, maka bisa langsung beraktivitas
seperti biasa. Hasil tes biasanya akan didapatkan sekitar 5-7 hari
setelah tes dilakukan.

h. Di Mana Melakukan Tes Hepatitis B?

Tes hepatitis B bisa dilakukan di laboratorium rumah sakit, tentunya


dengan pemeriksaan ke dokter terlebih dulu. Untuk melakukan
pemeriksaan lebih lanjut, kamu bisa langsung membuat janji dengan
dokter di rumah sakit pilihan kamu di sini.

D. Blood group and rhesus factor

Blood group and rhesus factor pemeriksaan yang dilakukan untuk


mengetahui golongan darah seseorang. Biaya untuk melakukan cek
golongan darah bervariasi, tergantung dari teknik yang digunakan,
banyaknya golongan darah yang diperiksa, rumah sakit yang
menyelenggarakannya, serta pemeriksaan penyerta lainnya yang dilakukan
bersama dengan cek golongan darah. Di rumah sakit swasta di Indonesia,
cek golongan darah bisa dimulai dari Rp. 20.000 hingga lebih dari Rp.
60.000. Dianjurkan untuk mempersiapkan dana lebih guna kebutuhan
tambahan yang tidak terduga, yaitu sekitar 20-30% dari biaya yang
diperkirakan.

a. Kategori Golongan Darah

Terdapat 2 kategori golongan darah yang paling sering diperiksa, yaitu


sistem ABO yang membagi golongan darah menjadi A, B, O, dan AB,
serta sistem Rhesus (Rh) yang membagi golongan darah menjadi Rh
negatif (Rh-) dan Rh positif (Rh+)

b. Cek Golongan Darah Perlu Dilakukan

 Ketika ingin donor darah atau menerima transfusi darah.

14
 Ketika ingin donor organ atau menerima organ donor.
 Ketika hamil.

c. Kenapa Wanita Hamil Perlu Cek Golongan Darah?

Tidak hanya wanita hamil, suaminya pun perlu cek golongan darah.
Karena terdapat keadaan yang dinamakan inkompabilitas Rhesus, yaitu
ketika antibodi Rhesus (anti-Rh) yang dimiliki oleh ibu yang bergolongan
darah Rh- menyerang dan menghancurkan darah bayi pasca dilahirkan.
Hal ini dapat terjadi apabila wanita yang memiliki golongan darah Rh-
menikah dengan pria yang memiliki golongan darah Rh+, serta memiliki
anak yang memiliki golongan darah Rh+.

d. Apa Akibatnya Bila Tidak Dilakukan Cek Golongan Darah sebelum


Transfusi?

Dokter tidak dapat mengetahui golongan darah pendonor maupun


penerima, sehingga bila terjadi perbedaan golongan darah, dapat berakibat
fatal untuk penerima darah transfusi.

e. Yang Perlu Dipersiapkan sebelum Cek Golongan Darah

Tidak ada persiapan khusus sebelum pemeriksaan golongan darah, dan


dapat langsung dilakukan di laboratorium, klinik, atau rumah sakit.

f. Bagaimana Proses Cek Golongan Darah Dilakukan?

Cek golongan darah diawali dengan pengambilan sampel darah dari


pembuluh darah vena (biasanya di daerah lipat siku), atau dari pembuluh
darah kapiler di ujung jari tangan. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan
dengan mencampur antibodi pada darah atau mencampur antigen pada
plasma darah. Reaksi antigen dan antibodi ini yang menentukan golongan

15
darah seseorang. Metode ini akan dilakukan baik untuk sistem ABO
maupun sistem Rhesus.

g. Apa yang Harus Dilakukan dan Tidak Boleh Dilakukan setelah Cek
Golongan Darah?

Tidak ada hal khusus yang perlu dilakukan setelahnya. Jika Anda merasa
pusing setelah melakukan cek golongan darah, disarankan agar meminta
keluarga atau teman untuk mengantarkan Anda pulang.

h. Kapan Hasil Cek Golongan Darah dapat Diterima?

Hasil pemeriksaan golongan darah umumnya dapat diterima dalam


hitungan menit.

i. Apa Saja Efek Samping atau Komplikasi dari Cek Golongan Darah?

Meskipun jarang sekali terjadi, efek samping yang dapat dialami setelah
pengambilan darah adalah pusing, pingsan, infeksi pada titik yang
disuntik, dan perdarahan, baik mengalir keluar ataupun mengendap di
bawah kulit (hematoma).

E. Anti d Prophylaxis for the rhesus

Imunoglobulin Anti-D digunakan untuk mencegah agar ibu rhesus-


negatif tidak membentuk antibodi terhadap sel janin rhesus-positif yang
memasuki sirkulasi ibu ketika dilahirkan atau ketika abortus. Harus
disuntikkan dalam waktu 72 jam setelah kelahiran atau aborsi, tetapi bila
sudah lebih lama pun masih dapat memberi perlindungan dan harus
diberikan. Tujuannya adalah untuk memberi perlindungan bagi anak yang
mungkin akan lahir berikutnya dari bahaya penyakit hemolitik.Tujuan
penatalaksanaan pada inkompatibilitas rhesus adalah untuk memastikan
kesehatan bayi dan mengurangi risiko kehamilan yang akan datang.
Adanya rekomendasi penggunaan imunoglobulin anti-D (anti-Rh) pada ibu

16
yang berisiko tersensitisasi, dilaporkan telah mengurangi angka
komplikasi hemolytic disease of the newborn (HDN).

a. Terapi Farmakologis

Pada inkompatibilitas rhesus (Rh), terapi farmakologis yang paling


dianjurkan adalah pemberian profilaksis imunoglobulin anti-D (anti-
R).

Rekomendasi pemberian sebagai profilaksis antenatal :

 Secara rutin tiap usia kehamilan 28 minggu apabila diagnosis


inkompatibilitas Rh didapatkan saat kehamilan.

 Secara rutin ketika terjadi peristiwa yang berisiko menyebabkan


sensitisasi, misalnya kehamilan ektopik, abortus, versi externa, atau
prosedur obstetri yang invasif seperti pengambilan sampel dari villi
chorionic atau amniocentesis

Rekomendasi sebagai profilaksis postpartum :

 72 jam setelah melahirkan anak pertama apabila bayi ternyata


rhesus positif

 Apabila terlambat, maka pemberian dapat dilakukan sampai dengan


28 hari postpartum

Immunoglobulin anti-Rh mengandung antibodi anti-Rh yang


nantinya akan menempel pada eritrosit dengan antigen Rh (Rh positif),
sehingga sistem imun tubuh tidak akan memproduksi antibodi Rh untuk
bereaksi dengan eritrosit dari bayi maupun dari luar tubuh. Inti mekanisme
kerjanya adalah melakukan pemberian IgG anti-Rh secara pasif ke tubuh
ibu sebelum antigen Rh menstimulasi ibu untuk memproduksi antibodi
anti-Rh sendiri.

17
Apabila antibodi Rh telah terbentuk sebelum immunoglobulin anti-
Rh diberikan, maka pemberian immunoglobulin anti-Rh tidak lagi
berguna. Hal ini yang menyebabkan pentingnya profilaksis.

Immunoglobulin anti-Rh diberikan secara intramuskular di otot


deltoid maupun gluteus. Efek samping pemberiannya antara lain adalah
nyeri pada area yang diinjeksi dan demam subfebris. [19]

Tabel 1. Indikasi dan Dosis Immunoglobulin Anti-Rh


Indikasi Dosis

Pada kondisi yang rentan sensitisasi - Trimester 1 dan kehamilan


tunggal : 250 IU via injeksi
intramuskular lambat

- Trimester 1 dan kehamilan multipel


: 625 IU via injeksi intramuskular

- Trimester 2 : 625 IU dengan dosis


tambahan dapat diberikan jika
diperlukan
Profilaksis - Antenatal : 625 IU via injeksi
intramuskular lambat (seluruh wanita
rhesus negatif yang belum terbentuk
antibodi anti rhesus pada usia
kehamilan 28-34 minggu)

- Postnatal : 625 IU dengan dosis


tambahan dapat diberikan jika
diperlukan (seluruh wanita rhesus
negatif yang melahirkan bayi rhesus
positif , kecuali jika terbukti sudah
terjadi aloimunisasi)

18
b. Bagi Bayi dengan Anemia Hemolitik yang Lahir dari Keadaan
Inkompatibilitas Rhesus
Terapi pada bayi dengan anemia hemolitik yang lahir dari keadaan
inkompatibilitas rhesus tergantung dari tingkat keparahan penyakit.
Manifestasi klinis pada bayi bisa ringan hingga berat seperti hydrops
fetalis. Pada kasus yang ringtransfusi darah  an, bisa saja tidak diperlukan
terapi. Namun perlu diketahui bahwa untuk kasus ringan maupun berat
perlu dilakukan konsultasi dengan dokter spesialis. Pada keadaan anemia
hemolitik yang berat, bayi dapat membutuhkan  melalui tali pusat. Selain
itu, pada anemia hemolitik yang berat, apabila usia kehamilan sudah aterm
dapat dilakukan terminasi persalinan lebih cepat sehingga bayi dapat
secepatnya mendapatkan terapi.

c. Terapi Nonfarmakologis
Terapi nonfarmakologis pada inkompatibilitas rhesus (Rh)
sebenarnya lebih ditunjukkan pada bayi yang lahir dari keadaan ini,
mengingat sebenarnya manifestasi klinis yang terlihat pada ibu tidak
sesignifikan janin yang dikandungnya.Terapi yang dilakukan intinya
adalah untuk memperbaiki keadaan klinis bayi dari komplikasi anemia
hemolitik yang terjadi karena reaksi antigen-antibodi Rh.

d. Fototerapi
Keadaan hiperbilirubinemia pada bayi akibat hemolisis eritrosit
dapat diterapi dengan menggunakan fototerapi. Hiperbilirubinemia akan
menyebabkan kerusakan otak karena sifat neurotoksiknya. Inisiasi
fototerapi dilakukan menurut normogram yang dikeluarkan oleh American
Academy of Pediatric (AAP). Fototerapi dapat dikombinasi dengan
transfusi tukar (exchange transfusion/ET) sesuai dengan keadaan klinis
pasien.
Mekanisme kerja fototerapi adalah dengan melakukan foto-
isomerisasi bilirubin sehingga berubah menjadi substansi yang larut air,

19
dengan begitu dapat membantu ekskresi bilirubin lewat ginjal dan feses
tanpa melewati metabolisme di hepar. Pada pasien hemolytic disease of the
newborn (HDN), fototerapi intensif diperlukan. Namun, perlu diperhatikan
juga bahwa pada fototerapi terjadi peningkatan ekskresi cairan,
sehingga insensible water loss (IWL) meningkat dan asupan cairan
neonatus perlu dijaga.

e. Transfusi Intrauterine

Pada keadaan di mana alloimunisasi sudah terjadi, pemberian


immunoglobulin anti-Rh menjadi tidak efektif lagi. Transfusi intrauterine
(IUT) dilakukan sebagai rescue therapy  pada keadaan anemia berat.
Apabila hal ini tidak dilakukan, maka risikonya adalah hydrops fetalis
dan intrauterine fetal death (IUFD). Tujuan tata laksana adalah
meningkatkan hematokrit hingga 35-40% pada tengah trimester awal dan
45-55% setelahnya. IUT diberikan lewat vena umbilicalis. Setelah
prosedur ini, perlu dilakukan pengambilan darah sebanyak 1 ml untuk
memeriksa hematokrit post transfusi. Transfusi selanjutnya dapat diberikan
dalam 10-14 hari, dan dapat dilanjutkan kembali dengan interval 3
minggu.

f. Exchange Transfusion (ET)

Exchange transfusion (ET) atau transfusi tukar dilakukan bila kadar


total bilirubin serum > 20 mg/dl. ET membantu klirens bilirubin yang
berlebihan pada keadaan hiperbilirubinemia karena anemia hemolitik.
Selain itu, ET juga memperbaiki keadaan anemia dengan memberikan
darah yang kompatibel terhadap bayi. Adanya pemberian profilaksis
immunoglobulin anti-Rh antepartum membuat perlunya melakukan ET
pada bayi yang lahir dari keadaan inkompatibilitas Rh berkurang. Biasanya
ET diperlukan pada kasus inkompatibilitas rhesus dengan komplikasi
anemia berat pada bayi. [8,21]

20
F. Down Syndrom risk and Alpha fetoprotein
- Tes NIPT
Semua orang tua tentu berharap si kecil yang berada di dalam
rahim selalu sehat hingga saatnya lahir nanti. Segala upaya diberikan demi
menjaga kenyamanan dan keselamatan janin. Mulai dari menjaga asupan
janin, rutin mengontrol tumbuh kembang janin ke dokter, hingga
menjalani tes-tes kehamilan yang direkomendasikan oleh sang dokter.
Salah satu tes kehamilan yang kini sedang populer adalah tes NIPT (Non
Invasive Prenatal Testing). Beberapa selebriti Indonesia pun ada yang
telah menjalankan tes ini, yaitu Kartika Putri dan Aura Kasih. Tes NIPT
merupakan pemeriksaan janin pada trimester pertama kehamilan, untuk
mengetahui kesehatan kromosom janin dengan lebih akurat dan tidak
berisiko.

- Cukup mengambil sampel darah ibu


Pada Parentstory, dr. Pungky Mulawardhana, SpOG, menjelaskan,
bahwa tes NIPT adalah suatu metode untuk menentukan risiko apakah
seorang janin akan lahir dengan kelainan genetik, seperti trisomy
21 atau Down Syndrome, trisomy 18 atau Edwards Syndrome,
dan trisomy13 atau Patau Syndrome, atau tidak. “Tes ini mampu
menganalisa potongan kecil DNA janin yang bersirkulasi di darah ibu.
Pemeriksaan ini cukup menggunakan pengambilan sampel darah ibu saja.
Tanpa pemeriksaan invasif secara langsung pada janin di dalam rahim,
sehingga tidak ada risiko untuk kehamilan,” jelas dokter obgyn yang
praktik di RS Premier dan RS Onkologi di Surabaya. Akurasi tes NIPT
diperkirakan mencapai 97-99 persen untuk tiga kondisi yang paling umum,
menurut penelitian di tahun 2016. Penelitian yang dirilis oleh US National
Library of Medicine (National Institutes of Health) ini mengungkapkan,
bahwa NIPT menggunakan DNA janin yang bersirkulasi dengan bebas

21
dalam darah ibu, yang memiliki sensitivitas dan spesifik sangat tinggi
untuk down syndrome. Namun, sensitivitasnya sedikit lebih rendah untuk
sindrom Edwards dan Patau. Berdasarkan penjelasan Pungky, manfaat
NIPT adalah sebagai skrining kelainan kromosom. “Akurasi pemeriksaan
ini sangat tinggi, walau tidak 100 persen. Apabila didapatkan kelainan
pada NIPT, maka akan dilakukan pemeriksaan diagnosis invasive dengan
menggunakan amniosintesis atau Chorionic Villus Sampling (CVS),”
jelasnya.
- Perlu tes NIPT jika dalam kondisi ini
Ibu hamil dalam kondisi apa yang memerlukan tes ini? Pungky
menjelaskan, tes NIPT berguna atau disarankan pada ibu hamil yang
mengalami beberapa kondisi di bawah ini:
 Dalam tes skrining ada indikasi bayi memiliki kemungkinan untuk
memiliki gangguan kromosom.
 Pemeriksaan USG mendeteksi adanya gangguan perkembangan janin.
 Riwayat kelainan kromosom pada kehamilan sebelumnya.
 Ibu hamil berusia di atas 35 tahun, yang memiliki risiko lebih tinggi
untuk mengalami kehamilan dengan kelainan kromosom
Apabila Anda sedang hamil dan mengalami beberapa kondisi di
atas, dr. Pungky sangat menyarankan untuk melakukan NIPT. “Namun,
karena biayanya cukup tinggi dan tidak di-cover oleh asuransi, maka
untuk wanita di luar kondisi tersebut, secara umum tidak ada rekomendasi
untuk NIPT.” Menurut dokter obgyn yang juga berprofesi sebagai dosen
dan staf pengajar di SMF/Departemen Obstetri Ginekologi Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya ini, tes NIPT dapat dilakukan
paling dini pada usia kehamilan 10 minggu. Biaya untuk melakukan
skrining ini memang terbilang tinggi dan berbeda-beda sesuai dengan
jumlah panel pemeriksaan yang akan Anda jalani. Untuk itu, Parentstory
menghubungi laboratorium Prodia dan menanyakanan perihal biaya tes
NIPT ini. Menurut layanan pelanggan Prodia, biaya pemeriksaan NIPT di
Prodia cabang Bintaro, Tangerang Selatan, berkisar 8 juta rupiah.

22
G. Group B Streptococcal infection
Infeksi streptokokus Grup B , juga dikenal sebagai penyakit
streptokokus Grup B atau hanya strep Grup B, adalah infeksi yang
disebabkan oleh bakteri Streptococcus agalactiae ( S. agalactiae ) (juga
dikenal sebagai streptokokus grup B atau GBS). Infeksi GBS dapat
menyebabkan penyakit serius dan terkadang kematian, terutama pada bayi
baru lahir, orang tua, dan orang dengan sistem kekebalan yang lemah .
Secara umum, GBS adalah bakteri komensal tidak berbahaya yang
menjadi bagian dari mikrobiota manusia yang menjajah saluran
pencernaan dan genitourinari hingga 30% manusia dewasa yang sehat.
a. Kehamilan
Meskipun kolonisasi GBS tidak menunjukkan gejala dan,
secara umum, tidak menimbulkan masalah, terkadang dapat
menyebabkan penyakit serius bagi ibu dan bayi selama masa
kehamilan dan setelah melahirkan. Infeksi SGB pada ibu dapat
menyebabkan korioamnionitis (infeksi intra-amnion atau infeksi berat
pada jaringan plasenta) jarang, infeksi postpartum (setelah lahir) dan
berhubungan dengan prematuritas dan kematian janin. [25] Infeksi
saluran kemih GBS dapat menyebabkan persalinan pada wanita hamil
dan menyebabkan persalinan prematur ( kelahiran prematur ) dan
keguguran
b. Bayi Baru Lahir
Di dunia barat, GBS (dengan tidak adanya tindakan pencegahan yang
efektif) adalah penyebab utama infeksi bakteri pada bayi baru lahir,
seperti sepsis , pneumonia , dan meningitis , yang dapat menyebabkan
kematian atau efek samping jangka panjang
c. Pencegahan Infeksi Neonatal
- Saat ini, satu-satunya cara yang dapat diandalkan untuk mencegah
GBS-EOD adalah profilaksis antibiotik intrapartum (IAP) -
pemberian antibiotik intravena (IV) selama persalinan. Penicillin

23
atau ampicillin intravena yang diberikan pada permulaan
persalinan dan kemudian diulang setiap empat jam sampai
persalinan ke wanita terjajah GBS.
- Wanita yang alergi terhadap penisilin tanpa riwayat anafilaksis
( angioedema , gangguan pernapasan , atau urtikaria ) setelah
pemberian penisilin atau sefalosporin (risiko rendah anafilaksis)
dapat menerima cefazolin (dosis awal 2 g IV, kemudian 1 g IV
setiap 8 jam sampai pengiriman) bukan penisilin atau ampisilin.
[20] Klindamisin (900 mg IV setiap 8 jam sampai persalinan),
eritromisin tidak direkomendasikan hari ini karena tingginya
proporsi resistensi GBS terhadap eritromisin (hingga 44,8%),
d. Skrining Untuk Kolonisasi
Sekitar 10-30% wanita terkolonisasi dengan GBS selama
kehamilan. Meskipun demikian, selama kehamilan, kolonisasi bisa
bersifat sementara, intermiten, atau berkelanjutan. [20] Karena
status kolonisasi GBS pada wanita dapat berubah selama
kehamilan, hanya kultur yang dilakukan ≤5 minggu sebelum
persalinan yang memprediksi dengan cukup akurat status pembawa
GBS saat persalinan.
e. Komite Penapisan Nasional
The Screening Nasional UK Komite 's posisi kebijakan saat ini
pada GBS. Sekitar 10-30% wanita terkolonisasi dengan GBS
selama kehamilan. Meskipun demikian, selama kehamilan,
kolonisasi bisa bersifat "Skrining tidak harus ditawarkan kepada
semua wanita hamil kebijakan ini ditinjau pada tahun 2012, dan
meskipun menerima 212 tanggapan, yang 93% menganjurkan
skrining, NSC telah memutuskan untuk tidak merekomendasikan
skrining antenatal. Saat ini, perizinan vaksin GBS sulit dilakukan
karena adanya tantangan dalam melakukan uji klinis pada manusia
akibat rendahnya kejadian penyakit neonatal GBS. Namun
demikian, meskipun penelitian dan uji klinis untuk pengembangan

24
vaksin yang efektif untuk mencegah infeksi GBS sedang
dilakukan, tidak ada vaksin yang tersedia pada 2019.
- Gejala Infeksi Streptococcus

Gejala akibat infeksi ini bervariasi tergantung organ yang diserang.


Gejala yang terjadi termasuk:

 Kelelahan.

 Kelemahan.

 Demam.

 Penurunan berat badan.

 Masalah pernapasan jika menyerang saluran napas.

 Masalah dengan fungsi jantung jika menyerang organ jantung.

 Gejala seperti nyeri sendi, sendi kemerahan, membengkak, atau


terasa panas, nyeri dada, Terdapat benjolan kecil dan ruam pada
kulit, Penyakit katup jantung jika terkena demam reumatik.

 Kulit dengan keropeng, bernanah, kemerahan jika menyerang kulit.

 Tekanan darah tinggi, pembengkakan di wajah, kaki dan urin


merah serta berbusa jika mengalami glomerulenefritis.

- Penyebab Infeksi Streptococcus

Streptococci dibagi menjadi dua kelompok:

1. Alpha (α) haemolytic streptococci, jenis bakteri golongan ini yang paling


banyak menyebabkan penyakit diantaranya streptococcus
pneumoniae  dan  streptococcus viridans. Jenis bakteri ini dapat

25
menyebabkan penyakit infeksi saluran napas atas, pneumonia, infeksi
telinga tengah, sinusitis,  meningitis, endocarditis.
2. Beta (β) haemolytic streptococci terbagi lagi menjadi dua yakni Grup
A Streptococci (GAS) dan Grup B Streptococci (GBS). GAS dapat
mengakibatkan  infeksi di tenggorokan, pneumonia, impetigo,
demam scarlet, demam rematik. GBS umunya banyak terdapat  di dalam
sistem pencernaan dan organ intim wanita.

Bakteri ini dapat ditularkan secara seksual atau dari ibu ke bayi selama
kelahiran  dan bayi baru lahir rentan mengalami penyakit ini.

- Faktor Risiko Infeksi Streptococcus

Beberapa golongan yang rentan mengalami


infeksi streptococcus diantaranya:

 Bayi di bawah 6 bulan.

 Lanjut usia di atas 75 tahun.

 Orang dengan daya tahan tubuh yang lemah.

 Bayi prematur atau bayi kembar yang lahir dari ibu dengan riwayat
infeksi GBS.

- Diagnosis Infeksi Streptococcus

Dokter akan melakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik untuk


menentukan arah diagnosis penyakit. Pada penyakit dengan kecurigaan
infeksi streptococcus yang berat akan dilakukan pemeriksaan darah. Pada
kasus meningitis diperlukan pemeriksaan cairan serebrospinal. Penunjang
lain seperti rontgen, ekokardiografi, USG, pemeriksaan urin bisa diperlukan
tergantung kemungkinan tempat terjadinya infeksi.

- Pengobatan dan Efek Samping Infeksi Streptococcus

26
Pada kasus yang berat terkadang diperlukan rawat inap dan
pemberian obat untuk ngatasi dan mencegah bakteri.  Pastikan memberitahu
dokter jika memiliki riwayat alergi obat-obatan karena beberapa orang
memiliki alergi dan sensitif terhadap obat penguat antibodi tertentu.
Beberapa jenis infeksi streptococcus tanpa pengobatan yang cukup dapat
berakibat parah seperti penyebaran infeksi ke seluruh tubuh hingga
kematian.

- Pencegahan Infeksi Streptococcus

Hal yang harus diupayakan untuk mengurangi jenis infeksi ini antara lain:

 Jalankan pola hidup sehat dengan makan bergizi seimbang, cukup


istirahat dan olahraga teratur untuk menjaga daya tahan tubuh.
 Mencuci tangan teratur terutama sebelum makan.
 Pakai masker ketika mengalami gejala batuk, bersin dan gejala penyakit
saluran napas lainnya.
 Tutup mulut ketika bersin atau batuk.
 Jika mengalami luka di kulit lakukan perawatan luka dengan benar.
 Ibu hamil memeriksakan diri secara rutin untuk mendeteksi secara awal
infeksi GBS.

H. Sickle cell Anemia

Anemia sel sabit atau sickle cell anemia adalah hemoglobinopati


autosomal resesif yang dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah
dan hemolisis. Anemia sel sabit merupakan bentuk manifestasi tersering
dari penyakit sel sabit atau sickle cell disease.

Anemia sel sabit merupakan suatu kelainan pada darah akibat


perubahan asam amino ke-6 pada rantai protein globin β. Hal ini
menyebabkan terbentuknya hemoglobin S (HbS) dan perubahan bentuk sel
darah merah menjadi serupa dengan sabit.

27
Anemia sel sabit paling sering bermanifestasi dalam bentuk kadar
hemoglobin yang rendah, disertai dengan komplikasi vasooklusif dan
hemolisis. Diagnosis dikonfirmasi dengan temuan HbS homozigot pada
elektroforesis. Di Amerika Serikat, skrining HbS adalah sesuatu yang
wajib dilakukan saat bayi lahir.

- Faktor Risiko

Faktor risiko anemia sel sabit adalah adanya sickle cell trait (SCT) pada
kedua orang tua pasien.

- Anamnesis

Anemia sel sabit adalah penyakit yang diturunkan secara resesif.


Seseorang akan menderita anemia sel sabit jika mendapat gen dari
kedua orang tuanya. Jika hanya mendapat salah satu, pasien umumnya
sehat, namun bersifat karier. Oleh karena itu, riwayat penyakit pada
keluarga sangat penting ditanyakan saat anamnesis

- Gejala anemia sel sabit

Kelainan ini merupakan bawaan lahir dan gejala penyakit ini biasa
mulai muncul sejak seseorang berumur 4-6 bulan. Beberapa gejala yang
ditemukan pada penderita anemia sel sabit, antara lain:

 Sering merengek (pada bayi)


 Mudah kelelahan tanpa sebab yang jelas
 Tampak kuning di bola mata dan/atau kulit tubuh
 Sering bengkak dan nyeri di tangan dan kaki
 Sering terkena infeksi, demam, dan jatuh sakit
 Nyeri tak tertahankan di dada, punggung, tangan, kaki, tulang,
dan sendi
 Perut bengkak (sakit saat ditekan)

28
Pengobatan anemia sel sabit

Yang paling utama adalah cangkok (transplantasi) sumsum tulang, agar tubuh
penderita mampu menghasilkan sel darah merah yang normal dari sumsum
tulang yang dicangkokkan tersebut. Cangkok sumsum tulang ini hanya bagi
anak-anak berusia di bawah 16 tahun, karena risiko gagal cangkok meningkat
bagi penderita yang berusia lebih dari 16 tahun.

I. Thalasemia

Thalasemia merupakan nama untuk sekelompok kondisi medis yang


diturunkan dari orang tua; yang mempengaruhi zat dalam darah yang
disebut hemoglobin. Penderita thalasemia memproduksi hemoglobin
dalam jumlah yang terlalu banyak atau justru terlalu sedikit. Akibatnya,
penderita akan mengalami anemia seperti lelah, kehabisan nafas, dan
pucat.

Thalasemia tergolong sebagai penyakit yang cukup langka. Menurut


penelitian, 4,4 persen atau 440 dari 10.000 kelahiran terkena penyakit ini. 

Ada dua jenis thalasemia:

 Thalasemia alfa, yaitu thalasemia ringan yang terjadi saat gen yang
berhubungan dengan protein globin menghilang.
 Thalasemia beta, yaitu thalasemia yang lebih berat yang terjadi
ketika produksi protein beta globin terpengaruh akibat gen tersebut
yang bermutasi.
Beberapa gejala thalasemia berpotensi menimbulkan komplikasi,
yaitu penyakit baru yang tumbuh sebagai dampak dari penyakit yang telah
ada, seperti gagal jantung, gangguan hati, hambatan pertumbuhan hingga
kematian.

29
Sebagian besar penderita thalasemia berdomisili di kawasan Asia
Selatan, Asia Tenggara, dan Timur Tengah. Pasien yang terserang
thalasemia pun umumnya diakibatkan oleh faktor genetik.

a. Penyebab Thalasemia

Thalasemia terjadi akibat kesalahan gen dalam memproduksi


hemoglobin. Anak-anak berpotensi menderita thalasemia apabila
orang tuanya memiliki riwayat penyakit tersebut. Sementara, orang
tua juga dapat terserang thalasemia akibat faktor genetik dari orang
tua sebelumnya. Jadi, penyebab thalasemia bersifat genetik dan hanya
berasal dari 1 gen. Selain karena faktor genetik, tidak ada faktor
lainnya yang menjadi penyebab seseorang terserang thalasemia.

Gejala thalasemia perlu dikonsultasikan pada dokter spesialis


hematologi. Spesialis hematologi adalah bidang spesialis yang mendalami
tentang darah dan gangguan yang terjadi pada darah. Ketika berkonsultasi
pada dokter terkait gejala thalasemia, dokter akan melakukan serangkaian
tes untuk memastikan kondisi penderita. Rangkaian tes yang umumnya
dilakukan adalah tes darah. Tes darah untuk memeriksa thalasemia bisa
dilakukan kapan saja, khususnya untuk mengetahui apakah seseorang
memiliki faktor genetik thalasemia. Namun, umumnya tes darah ini
dilakukan ketika masa kehamilan atau tepat setelah melahirkan. 

Dari hasil tes darah, dapat diidentifikasi tanda-tanda signifikan


yang umumnya dialami oleh penderita thalasemia:

 Sel darah merah berukuran dan berbentuk tidak normal di bawah


mikroskop.
 Distribusi hemoglobin tidak merata.
 Perhitungan darah perifer lengkap (DFL) menunjukkan kurangnya
hemoglobin dari jumlah normal. 
 Sel darah merah lebih pucat dari biasanya.

30
b. Gejala Thalasemia

Thalasemia bisa menyebabkan berbagai gejala dan berpengaruh


pada timbulnya berbagai masalah kesehatan. Beberapa gejala yang
umumnya terjadi adalah:

 Anemia. Hampir seluruh penderita thalasemia mengalami anemia


akut yang dapat mengancam jiwa. Anemia bisa terjadi karena
rendahnya level hemoglobin. Beberapa ciri anemia meliputi
kelelahan, gangguan pernafasan, detak jantung tak beraturan, kulit
pucat.

 Kelebihan zat besi dalam tubuh. Seseorang yang menderita


thalasemia akan mengalami kelebihan zat besi yang berpotensi
menyebabkan timbulnya masalah kesehatan lainnya. Kelebihan zat
besi bisa mengakibatkan masalah jantung, bengkak dan luka di
sekitar hati, pubertas yang terhambat, diabetes, dan kadar hormon
yang rendah.

Ada juga beberapa gejala thalasemia lainnya yang tidak terlalu


sering muncul, namun juga merupakan dampak dari thalasemia, yaitu:

 Pertumbuhan anak yang terhambat.

 Adanya batu-batu kecil dalam kantung empedu yang dapat


menyebabkan peradangan pada kantung empedu dan sakit kuning.

 Pertumbuhan tulang yang tak biasa, misalnya kening dan pipi yang
membesar.

 Osteoporosis.

 Penurunan fertilitas.

c. Cara Mengobati Thalasemia

31
Pengobatan thalasemia memerlukan jangka waktu lama, biasanya
berupa perawatan seumur hidup dengan transfusi darah dan obat-obatan.
Penderita thalasemia, baik anak-anak maupun dewasa, akan ditangani oleh
tim beranggotakan dokter spesialis di rumah sakit yang punya spesialisasi
menangani thalasemia. 

Dokter spesialis yang mampu menangani thalasemia biasanya akan


menganjurkan perawatan dengan:

 Transfusi darah. Transfusi darah berfungsi untuk mengobati


anemia. Proses ini dilakukan dengan pemberian darah melalui
tabung yang dimasukkan ke dalam pembuluh darah di lengan.
Proses ini memakan waktu cukup lama dan umumnya dilakukan di
rumah sakit.

 Obat-obatan untuk menurunkan zat besi dalam tubuh.


Transfusi darah yang dilakukan secara berkala bisa menyebabkan
peningkatan kadar zat besi dalam tubuh. Untuk itu, dokter akan
memberikan obat-obatan untuk menurunkan zat besi yang disebut
terapi khelasi.

 Transplantasi sel induk atau sumsum tulang. Transplantasi ini


merupakan satu-satunya cara menyembuhkan thalasemia. Namun,
metode ini jarang sekali dilakukan karena memiliki resiko yang
tinggi. Resiko utamanya adalah sel-sel yang ditransplantasi justru
menyerang sel-sel lain dalam tubuh. Oleh sebab itu, hanya
penderita thalasemia yang sudah sangat parah yang akan menjalani
transplantasi ini. 

Pasien thalasemia akan melakukan beberapa perawatan berupa:

 Pemeriksaan saat kehamilan. Pemeriksaan dilakukan untuk


memastikan apakah bayi berpotensi terkena thalasemia.

32
Pemeriksaan umumnya dilakukan sebelum kehamilan mencapai
usia 10 minggu.

 Pemeriksaan setelah bayi lahir. Bayi yang baru lahir tidak secara
rutin diuji karena hasil tes tidak selalu bisa diandalkan dan
thalasemia tidak memiliki dampak berbahaya yang segera. Namun,
thalasemia tipe beta bisa dideteksi sebagai bagian dari tes bercak
darah bayi baru lahir.

d. Estimasi Biaya Pengobatan Thalasemia

Biaya pengobatan thalasemia beragam, tergantung jenis yang


diderita dan usia penderita.Untuk menghitung estimasi biaya pengobatan
thalasemia di dalam atau luar negeri, tanyakan pada Smarter Health. 

- Untuk screening thalasemia (cel darah lengkap plus hb analisis,


belum ada cek kadar zat besinya) biaya nya Rp. 350.000 dan
hasilnya sekitar 4 hari kerja

- Untuk Cek DNA :

 Thalasemia alpha biayanya Rp. 1,5 Juta

 Thalasemia beta biayanya Rp. 2,0 Juta

 Dan hasilnya sekitar 1 bulan dan bisa dikirim via pos

- Jika cek DNA hasilnya masih buram juga, perlu dilanjutkan dengan
metode sequenzing. Untuk sequenzing :

 Thalasemia alpha tambahan biayanya Rp. 2.5 juta

 Thalasemia beta tambahan biayanya Rp. 1.5 Juta

 Hasilnya sekitar 2 minggu dan bisa dikirim

33
- Untuk diagnosa

e. Mencegah Thalasemia

Karena thalasemia merupakan penyakit genetik, tidak ada metode


pencegahan khusus yang bisa dilakukan. Namun, bagi bayi, ada beberapa
upaya pencegahan yang memungkinkan penurunan resiko terkena
thalasemia, yaitu:

 Bagi orang tua, lakukan tes darah untuk memastikan adanya


kemungkinan thalasemia sebelum kehamilan.

 Konsultasi genetik.

 Melakukan screening atau pemeriksaan kesehatan (medical check up)


sebelum kehamilan. 

Thalasemia bisa dicegah dengan mengenali faktor-faktor risiko


yang ada. Meski begitu, memiliki satu atau beberapa faktor risiko bukan
berarti seseorang pasti akan terserang thalasemia.

Faktor risiko itu meliputi:

 Usia. Gejala thalasemia umumnya muncul pada usia 6 sampai 24


bulan. 

 Riwayat penyakit keluarga. Kenali riwayat keluarga yang pernah


terserang thalasemia.

 Etnis tertentu. Umumnya, penderita thalasemia adalah orang-orang


yang berdomisili atau keturunan Asia Selatan, Asia Tenggara, dan
Timur Tengah.

J. Infeksi Vagina

34
Ibu hamil rentan mengalami infeksi vagina lantaran sistem
kekebalan tubuhnya yang sedang melemah. Sejumlah keluhan, seperti
keputihan, vagina gatal, dan muncul bau tidak sedap dari vagina, bisa
menjadi pertanda ibu hamil terkena infeksi vagina.

Pada ibu hamil, infeksi vagina akibat bakteri yang tidak ditangani
dengan baik dapat meningkatkan risiko terjadinya komplikasi kehamilan,
seperti keguguran, bayi lahir prematur, bayi lahir dengan berat badan
rendah, dan radang panggul usai melahirkan.

a. Pengobatan Vaginitis

Langkah pengobatan yang diberikan oleh dokter akan


disesuaikan ddengan penyebab vaginitis yang dialami seseorang.
Pengobatannya pun meliputi obat antijamur dan/atau antibiotik. Jika
vaginitis yang dialami pengidap adalah akibat penurunan hormon
estrogen, maka dokter akan merekomendasikan terapi penggantian
hormon yang akan menggantikan hormon estrogen alami tubuh.

Sementara dalam menangani vaginitis akibat reaksi alergi


terhadap bahan-bahan kimia, pengidapnya disarankan untuk
menghindari substansi pemicu alerginya. Dokter juga bisa sewaktu-
waktu memberikan obat oles estrogen untuk meredakan gejala-gejala
vaginitis.

b. Pencegahan Vaginitis

Selain obat-obatan, ada beberapa cara yang dapat dilakukan


untuk meringankan gejala, sekaligus mempercepat proses
penyembuhan. Langkah-langkah sederhana tersebut meliputi:

- Menjaga agar area intim dan sekitarnya tetap bersih serta kering.
Pastikan menggunakan sabun tanpa bahan pewangi dan

35
menyekanya hingga benar-benar kering menggunakan tissue
bersih. Hindari berendam air hangat selama infeksi belum pulih
sepenuhnya.
- Jangan membasuh bagian dalam vagina.
- Gunakan kompres air dingin untuk mengurangi ketidaknyamanan
pada vagina.
- Kenakan pakaian dalam yang tidak ketat dan berbahan katun.

1.2 Skrining faktor fisik dan psikososial

Menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Pre-marital screening check


up atau tes kesehatan pra nikah sebaiknya dilakukan oleh pasangan yang
akan melangsungkan pernikahan. Tes ini penting dilakukan untuk
memahami kondisi genetika pasangan dan membantu pasangan untuk
mengambil tindakan pencegahan atau perawatan bila diperlukan.

Untuk pasangan yang sedang mempersiapkan pernikahan, tes kesehatan


pra nikah, dapat membantu mengidentifikasi potensi masalah kesehatan
bagi pasangan serta keturunannya.

Ada beberapa tahap yang perlu dilakukan dalam tes kesehatan pra-nikah
menurut Kemenkes, yakni sebagai berikut:

a. Pemeriksaan fisik secara lengkap

- Menurut Suburban Diagnostics, pemeriksaan fisik ini meliputi analisis


urine, pemeriksaan tekanan darah, dan analisis darah. Pemeriksaan
urin diperlukan untuk melihat apakah terdapat sel-sel normal atau
abnormal yang terkandung dalam tubuh yang dapat mempengaruhi
keturunan.
- Pemeriksaan tekanan darah sama pentingnya. Menurut Mayo Clinic,
risiko gangguan kehamilan dan melahirkan akan lebih tinggi pada

36
wanita yang memiliki tekanan darah tinggi, salah satunya pre-
eklampsia.
- Selain itu akan ada tes golongan darah (ABO-RH) untuk mengetahui
apakah calon istri memiliki Rh-negatif. Jika ada, dokter akan
memberitahu mereka tentang risiko dalam kehamilan istri dengan Rh-
negatif.

b. Pemeriksaan penyakit hereditas

Penyakit hereditas adalah penyakit yang diturunkan oleh orangtua


kepada anak. Pemeriksaan ini berguna untuk menganalisis apakah
pasangan memiliki risiko menurunkan penyakit berbahaya kepada
anak atau tidak. Pemeriksaan ini memerlukan penelusuran terhadap
riwayat penyakit kedua pasangan. Seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya, penyakit turunan bisa membahayakan, seperti
thalasemia.

c. Pemeriksaan penyakit menular

Pemeriksaan penyakit menular ini tentunya untuk mencegah


penularan penyakit-penyakit mematikan seperti HIV semakin
masif menular antar pasangan. Selain itu penularan penyakit lain
seperti hepatitis B dan hepatitis C juga bisa dicegah melalui
pemeriksaan ini.

d. Pemeriksaan organ reproduksi

Salah satu tujuan dalam pemeriksaan ini adalah untuk memeriksa


apakah organ reproduksi pasangan dalam kondisi yang baik untuk
mendapatkan keturunan. Dilansir Avon, melakukan tes kesuburan
penting dilakukan sebelum pernikahan untuk menghindari adanya
tekanan emosional pasangan selama masa pernikahannya nanti.
Banyak kasus permasalahan rumah tangga.

37
e. Pemeriksaan alergi

Menurut Healthline, tes alergi merupakan pemeriksaan yang


dilakukan untuk menentukan apakah tubuh seseorang memiliki
reaksi alergi terhadap zat tertentu. Tes ini meliputi tes darah, tes
kulit, atau eliminasi jenis makanan. Banyak pasangan yang
menganggap remeh alergi, padahal alergi dapat menjadi hal yang
berbahaya jika tidak ditangani dengan tepat.

1. Apa Aja Yang Dilakukan Pada Prakonsepsi?

Pada prosedur prakonsepsi, tenaga medis akan melakukan tanya


jawab, pemeriksaan dan pemeriksaan penunjang untuk mengidentifikasi
resiko-resiko yang ada, guna untuk melakukan upaya preventif, kuratif,
dan rehabilitatif.

Tanya jawab akan dimulai untuk mencari tahu resiko yang dapat
mempersulit kehamilan, seperti :

- Riwayat penyakit dahulu yang dapat menjadi penyulit dalam


kehamilan, seperti diabetes, hipertensi, penyakit jantung dan paru,
tiroid, riwayat kejang, infeksi, dan lain-lain.
- Riwayat konsumsi obat-obatan rutin yang dapat menyebabkan
gangguan pertumbuhan pada janin.
- Keadaan gizi pada ibu yang hendak hamil sangatlah penting, karena
akan menjadi sumber energi bagi ibu maupun bayi. Sebaiknya ibu
berada dalam berat badan yang ideal, dikarenakan dengan berat
badan yang lebih dapat menyebabkan penyulit berupa hipertensi dan
diabetes dalam kehamilan serta preeklampsia. Sedangkan berat
badan yang kurang, dapat menyebabkan pertumbuhan janin
terhambat.
- Ibu perlu memasukkan unsur asupan gizi seimbang yang berupa
karbohidrat, protein, dan mineral, serta asam folat.

38
- Riwayat vaksinasi seperti hepatitis B, toxoid, cacar, campak, dan
lain-lain.
- Riwayat keputihan, menstruasi, pendarahan, penggunaan
kontrasepsi, riwayat infertilitas maupun riwayat penyakit seksual
menular juga merupakan hal penting untuk diketahui dari para calon
ibu.
- Riwayat penyakit keluarga untuk mendeteksi ada tidaknya riwayat
retardasi mental, malformasi kongenital, infertilitas, maupun
keguguran.
- Riwayat sosial seperti tempat kerja, merokok, konsumsi alkohol,
obat-obatan, kafein juga penting karena sebaiknya dihindari selama
mempersiapkan kehamilan. Tidak boleh dilupakan, olahraga yang
rutin minimal 150 menit dalam seminggu juga disarankan.
- Masalah psikososial yang terjadi sebelum dan dalam kehamilan
seperti depresi juga harus diketahui agar dapat dilakukan edukasi
untuk meningkatkan pengetahuan ibu dan menghindarkan calon ibu
dari stress berlebih

Selanjutnya, prosedur prakonsepsi dilanjutkan dengan pemeriksaan


fisik lengkap dan pemeriksaan penunjang berupa EKG dan pemeriksaan
laboratorium yang bertujuan untuk penyaringan resiko ataupun screening.
Selain itu, penting bagi ibu hamil untuk melakukan perawatan prakonsepsi
yang sangat penting untuk keselamatan serta kesehatan ibu dan bayi. Tidak
boleh dilupakan, dukungan keluarga dan suami serta terhindarnya dari
stress akan berperan penting dalam mental calon ibu.

2. Kapan tes ini perlu dilakukan?

Premarital check up bisa Anda lakukan bersama pasangan beberapa


bulan sebelum menikah atau setelah menikah atau ketika Anda sedang
berencana memiliki anak. Dengan begitu, perencanaan Anda untuk
memiliki anak menjadi lebih matang.

39
1.3 Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya

Saat pemeriksaan kandungan pertama, calon ibu dianjurkan


menjalani pemeriksaan laboratorium. Hasil pemeriksaan lab berikut ini
harus diserahkan kepada dokter/bidan saat kunjungan berikutnya (kontrol
kedua).

Periksa kehamilan direkomendasikan untuk ibu hamil setidaknya


melakukan 4x atau lebih kunjungan antenatal dengan Bidan/ Dokter
kandungan untuk memantau kehamilan dan kesehatan ibu-janin.

Periksa kehamilan dilakukan minimal 1x di trimester I (usia


kehamilan 1-3 bulan), minimal 1x di trimester II (usia kehamilan 4-6
bulan), dan minimal 2x di trimester III (usia kehamilan 7-9 bulan).
Rekomendasi tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas perawatan
yang diberikan kepada ibu dan janin di seluruh rangkaian pemeriksaan
selama kehamilan.

1. Pemeriksaan urine lengkap,

meliputi kadar gula, protein dan bakteri dalam urine.


Utamanya untuk mengetahui ada-tidaknya infeksi saluran kemih
karena penyakit ini dapat menyebabkan kelahiran prematur,
keguguran, dan kematian janin.

2. Pemeriksaan darah rutin, yaitu:

- TORCH, untuk mendeteksi infeksi toksoplasmosis, other (antara


lain sipilis, klamidia, dll), rubella, cytomegalovirus (CMV), dan
herpes. Infeksi TORCH dapat menyebabkan keguguran, bayi lahir
prematur, bayi kecil, dan kelainan/kecacatan janin.
- Kadar hemoglobin (sel darah merah), untuk mengetahui ada
tidaknya anemia. Penyakit ini membuat ibu hamil menjadi mudah

40
lelah dan dapat berbahaya jika terjadi perdarahan saat hamil serta
melahirkan.
- Golongan darah dan rehsus (Rh), untuk mendeteksi kalau-kalau
ada ketidaksesuaian golongan darah dan rhesus, terutama pada ibu
hamil golongan darah O dengan rhesus negatif. Ketidakcocokan
dapat menyebabkan gangguan pada bayi, baik berupa bayi kuning
hingga kematian akibat anemia janin. Pemeriksaan ini lebih
penting bila ibu membutuhkan transfusi darah selama hamil atau
saat melahirkan.

Setiap kehamilan, dalam perjalanannya mempunya resiko


mengalami penyulit atau komplikasi. Oleh karena itu, periksa kehamilan
harus dilakukan secara rutin, termasuk melakukan pemeriksaan
penunjang/laboratorium. Pemeriksaan penunjang tersebut selama
kehamilan, persalinan dan nifas merupakan salah satu komponen penting
untuk mengindetifikasi resiko komplikasi yang mungkin terjadi.
Pemerikasaan penunjag diantara nya sebagai berikut:

1. Golongan darah dan tes kadar Hemoglobin darah

Pemeriksaan darah turut membantu mendiagnosa kasus-


kasus pada kehamilan, diantaranya ibu hamil wajib melakukan
pemeriksaan hemoglobin dan golongan darah. Pemeriksaan
golongan darah pada ibu hamil tidak hanya untuk mengetahui jenis
golongan darah ibu melainkan juga untuk mempersiapkan calon
pendonor darah yang sewaktu-waktu diperlukan apabila terjadi
situasi kegawatdaruratan. Pemeriksaan hemoglobin (Hb) juga
dilakukan bertujuan untuk mengetahui kadar sel darah merah pada
ibu hamil. Kadar Hb normal kehamilan diantara 11—15 gr%. Ibu
hamil rentan menderita anemia karena meningkatnya kebutuhan zat
besi untuk pertumbuhan janin. Anemia adalah suatu kondisi yang
ditandai dengan menurunnya kadar hemoglobin (Hb) di bawah

41
normal (<10 gr%). Kurangnya asupan zat besi pada kehamilan
mengakibatkan sejumlah risiko yang merugikan, seperti keguguran,
bayi lahir premature, bayi lahir dengan berat badan rendah
(BBLR), bayi lahir mati, perdarahan pasca persalinan, hingga anak
tumbuh pendek (stunting) dibanding teman seusianya. Penyebab
anemia dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan fisik dan
tes laboratorium. Kemenkes (2013) menyarankan pemeriksaan Hb
pada kehamilan dilakukan sebanyak 2x diantaranya pada trimester I
(disertai pemeriksaan golongan darah) dan trimester III.
Pemeriksaan tersebut dapat dilakukan di praktik bidan/ dokter
kandungan/ puskesmas/ klinik/ rumah sakit.

2. Pemeriksaan protein urine

Kehamilan dapat menyebabkan perubahan fisiologis yang


terjadi pada ginjal umumnya setelah 20 minggu kehamilan.
Perubahan tersebut juga berdampak pada peningkatan kadar protein
dalam urine. Dari Journal Nephrology (2018) menyatakan penilaian
proteinuria merupakan tes kunci dalam kehamilan untuk
mengevaluasi kesehatan ginjal dan sistemik serta merupakan salah
satu indikator terjadinya preeklamsi/eklamsi pada ibu hamil. Kasus
preeklamsi/eklamsi merupakan salah satu penyebab kematian ibu
dan janin pada saat kehamilan, persalinan, maupun pasca bersalin.
Pengukuran tekanan darah pada setiap kali kunjungan antenatal
penting dan harus dilakukan untuk mendeteksi adanya hipertensi
(tekanan darah ≥ 140/90 mmHg) pada kehamilan dan preeklampsia
(hipertensi disertai peningkatan proteinuria >300mg/24 jam atau
pada metode dipstik menunjukan hasil positif 1+ atau lebih).
Ditemukannya proteinuria berlebih (>300mg/24 jam) juga
menyebabkan sejumlah komplikasi lain pada ibu hamil seperti
perdarahan otak, gagal hepar, edema paru-paru, cidera ginjal akut,
hingga kejang/ eklamsi. Dari Kemenkes (2014) menganjurkan

42
pemeriksaan protein urine pada ibu hamil dilakukan pada trimester
II dan III atas indikasi. Pemeriksaan urine dipstik banyak
digunakan dalam praktik karena metodenya sederhana dan lebih
ekonomis. Pemeriksaan tersebut dapat dilakukan di praktik bidan/
dokter kandungan/ puskesmas. Tes akan lebih spesifik jika
menggunakan metode tes diagnostik dengan sensitivitas tinggi
lainnya, umumnya dilakukan di fasilitas kesehatan lengkap seperti
klinik/ rumah sakit.

3. Pemeriksaan Kadar Gula Darah

Setiap kehamilan memiliki faktor risiko terjadinya masalah


kesehatan, salah satunya adalah diabetes gestasional atau diabetes
melitus (DM) selama kehamilan. Diabetes gestasional adalah
hiperglikemia dengan kadar glukosa darah di atas normal yang
terjadi selama masa kehamilan. Kategori tes gula darah
berdasarkan Konsensus Perkeni 2011 adalah: bukan DM (<90
mg/dL), belum pasti DM (90-199 mg/dL), DM (>200 mg/dL).
Menurut Jounal of Clinical Diabetes (2007) Wanita dengan
diabetes gestasional meningkatkan risiko komplikasi selama
kehamilan dan melahirkan. Pada ibu penderita diabetes melitus
gestasional meningkatkan risiko penambahan berat badan berlebih,
terjadinya preklamsia/eklamsia, lahir sesar, komplikasi
kardiovaskuler. Setelah persalinan, penderita berisiko berlanjut
terkena diabetes tipe 2 atau terjadi diabetes gestasional yang
berulang pada kehamilan yang akan datang. Bayi yang lahir dari
ibu dengan diabetes gestasional berisiko tinggi untuk menderita
makrosomia (BB lahir >4000g) sehingga meningkatkan cidera
kelahiran, bayi berisiko tinggi untuk terkena hipoglikemia,
hipokalsemia, hiperbilirubinemia, sindrom gangguan pernafasan,
polistemia, obesitas, dan diabetes melitus tipe 2. Kemenkes (2014)
menganjurkan ibu hamil yang dicurigai menderita diabetes melitus

43
harus dilakukan pemeriksaan gula darah selama kehamilannya
minimal sekali pada trimester I, sekali pada trimester II, dan sekali
pada trimester III. Pemeriksaan tersebut dapat dilakukan di praktik
bidan/ dokter kandungan/ puskesmas/ klinik/ rumah sakit

4. Ultrasonografi (USG)

USG merupakan pemeriksaan diagnostik untuk memantau


pertumbuhan janin dan mendeteksi komplikasi klinis terutama
ketika pemindaian dilakukan pada awal kehamilan. Dalam
rekomendasi antenatal care (ANC) 2016, setiap ibu hamil oleh
WHO direkomendasikan untuk melakukan 1x USG sebelum
kehamilan 24 minggu. Bertujuan untuk memperkirakan usia
kehamilan sebenarnya, deteksi abnormalitas pada janin (letak,
posisi, dan presentasi janin), dan adanya kehamilan kembar. WHO
tidak merekomendasikan USG secara rutin tanpa indikasi.
Penilaian usia kehamilan yang akurat dapat mendukung intervensi
dan manajemen komplikasi kehamilan. Penilaian dugaan
komplikasi seperti keguguran terancam, kehamilan ektopik, lokasi
plasenta, preeklamsi, persalinan prematur, hingga perdarahan
intrapartum, menjadikan kemampuan USG dapat memfasilitasi
tepat waktu untuk memanajemen komplikasi kehamilan, terutama
untuk temuan yang membutuhkan intervensi mendesak.
Pemeriksaan USG dapat dilakukan di praktik dokter kandungan/
puskesmas/ klinik/ rumah sakit.

5. Pemeriksaan HIV

Pada peraturan Kemenkes Nomor 97 tahun 2014, di daerah


epidemi HIV meluas dan berpotensial, tenaga kesehatan di fasilitas
pelayanan kesehatan wajib menawarkan tes HIV kepada semua ibu
hamil secara inklusif pada pemeriksaan laboratorium rutin lainnya

44
ketika kunjungan antenatal atau menjelang persalinan. Di daerah
epidemi HIV rendah, penawaran tes HIV diprioritaskan pada ibu
hamil yang menderita infeksi menular seksual/ IMS dan
tuberkulosis/ TB secara inklusif ketika kunjungan antenatal atau
menjelang persalinan. Setiap ibu hamil ditawarkan untuk dilakukan
tes HIV dan segera diberikan informasi mengenai resiko penularan
HIV dari ibu ke janinnya. Apabila ibu hamil tersebut HIV positif
maka dilakukan konseling Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke
Anak (PPIA). Bagi ibu hamil yang negatif diberikan penjelasan
untuk menjaga tetap HIV negatif diberikan penjelasan untuk
menjaga HIV negative selama hamil, menyusui dan seterusnya.
Pemeriksaan HIV hanya dilakukan di puskesmas dengan program
tes HIV ibu hamil dan rumah sakit besar.

45
DAFTAR PUSTAKA

Alenzi, F. Q., Alotaibi, A. Q., Almotiri, G. M., Alanazi, A. M., Alanazi, F. M.,
Alenazi, M. S. 2014. Role of Apoptosis in Microbial Infection. Open
Journal of Apoptosis.
Abdul Bri Syaifuddin.2002.Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal.JNPKKR- POGI;Jakarta.edisi ke-1, Cetakan 3
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar:
Riskesdas 2013. Jakarta: BKementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta; 2013.
Departeman Kesehatan Republik Indonesia.2006.Buku Kesehatan Ibu dan Anak
Hastuti, Puji, dkk.2018.Kartu Skor Poedji Rochjati Untuk Skrining
Antenatal.Jurnal LINK, 14(2), 2018,110 – 113
Ida Bagus Gde Manuaba.1998.Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan
Keuerga Berencana Untuk Pendidikan Bidan.ECG;Jakarta.Cetakan-1.
14(2), 2018,110 – 113

,5Nilakesuma, Nur Fadjri, Dewi Susilawati, Kiki Safitri.2019.Studi Kasus:


Asuhan Kebidanan Pada Ibu Hamil Trimester III Dengan
Menggunakan Kartu Skor Poedji Rochjati. The Southeast Asian Journal
of Midwifery Vol. 5, No.2, Oktober, 2019, p: 74-78

Widarta, Gede Danu, dkk.2015.Deteksi Dini Risiko Ibu Hamil dengan Kartu Skor
PoedjiRochjati dan Pencegahan Faktor Empat Terlambat.Majalah
Obstetri & Ginekologi, Vol. 23 No. 1 Januari -April: 28-32

46

Anda mungkin juga menyukai