Anda di halaman 1dari 27

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA April 2019

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
REFERAT : GANGGUAN PENGENDALIAN IMPULS

LAPORAN KASUS : GANGGUAN PANIK (F41.0)

Disusun Oleh:

Brigitha Rahmaddini N.P.

C014182158

Residen Pembimbing :

dr. Otto P.

Supervisor Pembimbing :

dr.Nurindah Kadir,M.Kes,Sp.KJ

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2019
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Brigitha Rahmaddini N.P

Stambuk : C014182158

Judul Referat : Gangguan Pengendalian Impuls

Judul Lapsus : Gangguan Panik (F41.0)

Adalah benar telah menyelesaikan referat dan laporan kasus yang telah disetujui
serta telah dibacakan dihadapan pembimbing dan supervisor dalam rangka
kepaniteraan klinik pada bagian ILMU KEDOKTERAN JIWA Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, April 2019

Supervisor Pembimbing, Residen Pembimbing,

dr.Nurindah Kadir,M.Kes,Sp.KJ dr. Otto P.

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................2

2.1 GANGGUAN DISRUPTIF, PENGENDALIAN IMPULS, DAN


PERILAKU..........................................................................................................2

2.2 EPIDEMIOLOGI...........................................................................................4

2.3 ETIOLOGI.....................................................................................................6

2.4 GANGGUAN EKSPLOSIF INTERMITEN.................................................8

2.5 OPPOSITIONAL DEFIANT DISORDER....................................................10

2.6 CONDUCT DISORDER..............................................................................12

2.7 JUDI PATOLOGIS......................................................................................15

2.8 KLEPTOMANIA.........................................................................................16

2.9 PIROMANIA...............................................................................................18

2.10 TRIKOTILOMANIA.................................................................................20

BAB III KESIMPULAN........................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................24

LAPORAN KASUS…………………………………………………………..….25

DAFTAR PUSTAKA LAPSUS…………………………………………………43

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi ke III
(PPDGJ-III), gangguan pengendalian impuls didefinisikan sebagai gangguan yang ditandai oleh
tindakan berulang yang tidak mempunyai motivasi rasional yang jelas, serta yang umumnya
merugikan kepentingan penderita sendiri dan orang lain (maladaptif). Penderita melaporkan
bahwa perilaku-nya berkaitan dengan impuls untuk bertindak yang tidak dapat dikendalikan.
Terdapat periode prodromal berupa ketegangan dengan rasa lega pada saat teriadinya tindakan
tersebut.1 Faktor psikodinamik, psikososial, dan biologis berperan penting dalam gangguan
pengendalian impuls.2

Klasifikasi gangguan pengendalian impuls menurut PPDGJ-III adalah judi patologis, bakar
patologis (piromania), curi patologis (kleptomania), trikotilomania , gangguan kebiasaan dan
impuls lainnya; termasuk gangguan eksplosif intermiten, serta gangguan kebiasaan dan impuls
yang tidak tergolongkan (YTT).1 Menurut Kaplan dan Sadock, kategori gangguan disruptif,
pengendalian impuls, dan perilaku meliputi lima kondisi. Kondisi-kondisi tersebut termasuk dua
yang berhubungan dengan masa kanak-kanak: oppositional defiant disorder dan conduct
disorder. Tiga kelainan lainnya adalah kelainan eksplosif intermiten, kleptomania, dan
piromania.3

Terapi gangguan pengendalian impuls harus bersifat individualistik sesuai dengan klasifikasi
gangguan masing-masing. Pada beberapa kasus, terdapat gangguan lain selain gangguan
pengendalian impuls, sehingga harus diterapi secara bersamaan. Terapi yang dimulai secara dini
dapat mengurangi tingkat keparahan penyakit atau progresivitasnya, sehingga meningkatkan
prognosis yang baik pada pasien-pasien tersebut.4

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 GANGGUAN DISRUPTIF, PENGENDALIAN IMPULS, DAN PERILAKU


Faktor psikodinamik, psikososial, dan biologis berperan penting dalam gangguan pengendalian
impuls. Pasien dengan gangguan pengendalian impuls tidak dapat menahan dorongan atau
godaan untuk melakukan tindakan tertentu yang jelas berbahaya bagi diri mereka sendiri, orang
lain, atau keduanya. Sebelum melakukannya, pasien biasanya mengalami ketegangan dan gairah
yang memuncak, terkadang bercampur dengan rasa antisipasi kesenangan yang disadari. Pasien
akan merasa puas dan lega setelah melakukan tindakan tersebut. Beberapa waktu sesudahnya,
pasien tersebut mengalami penyatuan rasa penyesalan, bersalah, mencela diri sendiri, dan
ketakutan. Perasaan ini dapat berasal dari konflik bawah sadar yang tidak jelas atau kesadaran
akan dampak perbuatannya terhadap orang lain (termasuk kemungkinan konsekuensi hukum
yang serius dalam sindrom seperti kleptomania). Rasa malu terkait aktivitas impulsif yang
berulang-ulang sering kali seringkali menunda pasien untuk mendapatkan perawatan secara
signifikan.2

Menurut Kaplan dan Sadock, kategori gangguan disruptif, pengendalian impuls, dan perilaku
meliputi lima kondisi. Kondisi-kondisi tersebut termasuk dua yang berhubungan dengan masa
kanak-kanak: oppositional defiant disorder dan conduct disorder. Tiga kelainan lainnya adalah
kelainan eksplosif intermiten, kleptomania, dan piromania:3

 Oppositional Defiant Disorder (ODD): Oppositional defiant disorder biasanya


didiagnosis pada anak-anak dan remaja. Gejalanya termasuk kemarahan, iritabilitas,
penentangan, dan penolakan untuk mematuhi peraturan.
 Intermittent Explosive Disorder (IED): Intermittent explosive disorder meliputi
agresivitas yang sifatnya ekspolsif dan tidak terkendali.
 Conduct Disorder (CD): Conduct disorder biasanya didiagnosis pada anak-anak dan
remaja, dengan ciri khas menyukai perkelahian dan bullying.
 Piromania: Suka membakar benda secara berulang adalah gejala khas piromania.
 Kleptomania: Suka mencuri benda adalah gejala khas kleptomania.
5
Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi ke III
(PPDGJ-III), gangguan pengendalian impuls didefinisikan sebagai gangguan yang ditandai oleh
tindakan berulang yang tidak mempunyai motivasi rasional yang jelas, serta yang umumnya
merugikan kepentingan penderita sendiri dan orang lain (maladaptif). Penderita melaporkan
bahwa perilaku-nya berkaitan dengan impuls untuk bertindak yang tidak dapat dikendalikan.
Terdapat periode prodromal berupa ketegangan dengan rasa lega pada saat teriadinya tindakan
tersebut.1

Klasifikasi gangguan pengendalian impuls menurut PPDGJ-III adalah:1

 Judi patologis
 Bakar patologis (piromania)
 Curi patologis (kleptomania)
 Trikotilomania
 Gangguan kebiasaan dan impuls lainnya; termasuk gangguan eksplosif intermiten
 Gangguan kebiasaan dan impuls yang tidak tergolongkan (YTT)

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders 5 (DSM-5) pada tahun 2013,
istilah judi patologis diganti menjadi gangguan judi (gambling disorder) dan termasuk dalam
kategori gangguan terkait penggunaan zat dan adiktif.5 Trikotilomania juga tidak termasuk dalam
kategori gangguan pengendalian impuls, melainkan kategori obsesif-kompulsif.6

Gangguan spesifik atau tidak spesifik lainnya adalah kategori residual untuk gangguan yang
tidak memenuhi kriteria gangguan pengendalian impuls. Gangguan-gangguan ini termasuk:2

 Kecanduan Internet: Orang menghabiskan hampir seluruh waktu mereka di komputer


secara berulang dan konstan, dan mereka tidak dapat menahan dorongan kuat untuk
menggunakan komputer atau "menjelajahi Web."
 Kecanduan ponsel: Orang secara kompulsif menggunakan ponsel untuk menelepon orang
lain seperti teman, kenalan, atau rekan bisnis. Faktor-faktornya termasuk rasa takut
sendirian, kebutuhan untuk memenuhi rasa ketergantungan tidak disadari, atau
membatalkan keinginan bermusuhan terhadap orang yang dicintai.
 Mutilasi diri yang berulang: Orang yang melukai diri mereka sendiri atau merusak tubuh
mereka dengan cara yang memaksa. DSM-5 memiliki kategori yang disebut " non-

6
suicidal self-injury" untuk orang yang berulang kali merusak tubuh mereka, namun tidak
ingin mati. Memotong atau menimbulkan rasa sakit tubuh dapat melepaskan endorfin
atau meningkatkan kadar dopamin, yang berkontribusi pada mood yang euthymic atau
gembira.
 Perilaku seksual kompulsif (kecanduan seks): Orang berulang kali mencari kepuasan
seksual, seringkali dengan cara yang salah (misalnya Eksibisionisme). Mereka tidak
dapat mengontrol perilaku mereka dan mungkin tidak mengalami perasaan bersalah
setelah episode perilaku tersebut.

2.2 EPIDEMIOLOGI
CD terjadi di antara 2-10 persen dari populasi, dengan tingkat prevalensi rata-rata 4 persen.
Tingkat prevalensi meningkat dari masa kanak-kanak ke remaja dan lebih tinggi pada pria
daripada wanita. ODD terjadi antara 1-11 persen dari populasi, meskipun perkiraan prevalensi
rata-rata adalah sekitar 3,3 persen. ODD lebih umum pada laki-laki, dengan rasio sekitar 1.4: 1
sebelum remaja. Prevalensi ini tidak secara konsisten berlanjut hingga remaja atau dewasa.4

Sekitar 0.4-1.6% individu di Amerika Serikat memenuhi kriteria untuk judi patologis yang
ditandai dengan pola maladaptif yang terus-menerus dan berulang dari perilaku perjudian. Usia
rata-rata terjadinya judi patologis adalah sekitar 30 tahun. Meskipun sebagian besar individu
dengan judi patologis adalah laki-laki (yang biasanya mulai berjudi pada usia yang lebih muda
dibandingkan perempuan) sekitar 28% penjudi patologis di Amerika Serikat adalah perempuan,
dan penelitian menunjukkan bahwa perempuan cenderung untuk berubah dari perjudian rekreasi
ke judi patologis lebih cepat dari pria.7

Meskipun tidak ada studi epidemiologi skala besar telah dilakukan untuk menilai prevalensi
kleptomania pada populasi umum, sebuah survei mahasiswa (N = 791) menemukan bahwa 3
subyek (0.38%) memenuhi kriteria DSM-IV untuk kleptomania. Diperkirakan antara 3.8-24%
pengutil memiliki kleptomania. Kleptomania biasanya dimulai antara usia 16-20 tahun, tetapi
telah dilaporkan pada anak-anak semuda 4 tahun dan dewasa berusia 77 tahun. Penelitian telah
menemukan bahwa antara 63-75% dari mereka yang memiliki kleptomania adalah wanita.
Sebagian besar (64-87%) orang dengan kleptomania pernah ditangkap karena pencurian mereka.

7
Trikotilomania terjadi pada sekitar 0.5-3.9% di Amerika Serikat. Trikotilomania biasanya
dimulai pada masa pubertas dini (11-13 tahun) dan lebih sering terjadi pada wanita (93.2%). 7

IED terjadi pada sekitar 2.7 persen dari populasi dan lebih umum di antara individu yang lebih
muda dari 35-40 tahun. Orang dengan IED biasanya memenuhi kriteria diagnostik selama masa
remaja (usia 14-18). Beberapa studi klinis menunjukkan bahwa mayoritas (77-87.5%) individu
dengan IED adalah laki-laki. Gejala pertama biasanya terjadi pada remaja awal dan orang-orang
dengan IED memiliki rata-rata 43 serangan selama hidupnya yang menyebabkan kerugian $1359
dalam kerusakan properti. Mayoritas (81.3%) juga melaporkan penurunan psikososial yang
signifikan karena gejala IED. Individu dengan IED menganggap perilaku mereka menyedihkan
dan bermasalah, namun, hanya 28.8% orang yang menderita IED pernah menerima pengobatan..7

Prevalensi piromania masih belum dipastikan dengan jelas, tetapi satu studi melaporkan tingkat
1% dalam sampel mahasiswa. Biasanya, piromania berkembang selama masa remaja dan lebih
sering terjadi pada pria. Piromania dikaitkan dengan angka komorbiditas psikiatri seumur hidup
yang tinggi, seperti afektif (14-61,9%), kecemasan (33,3%), penggunaan narkoba (33,3%), dan
gangguan pengendalian impuls (66,7%).7

2.3 ETIOLOGI
Faktor psikodinamik, psikososial, dan biologis semuanya memainkan peran penting dalam
gangguan pengendalian impuls. Namun, faktor penyebab utama masih belum diketahui.
Beberapa gangguan pengendalian impuls mungkin memiliki mekanisme neurobiologis yang
mendasari. Kelelahan, stimulasi berulang, dan trauma psikis dapat menurunkan resistensi
seseorang untuk mengendalikan impuls. Alkohol atau obat-obatan (misalnya ganja) mengurangi
kemampuan pasien untuk mengendalikan impuls (disinhibition).3,8

Faktor Psikodinamik

Impuls adalah suatu disposisi untuk bertindak untuk mengurangi ketegangan yang disebabkan
oleh penumpukan dorongan instingtual atau oleh berkurangnya pertahanan ego terhadap
dorongan tersebut. Gangguan impuls memiliki upaya untuk melewati pengalaman menyakitkan
dengan bertindak pada suatu lingkungan. Dalam studi terhadap remaja yang nakal, August

8
Aichhorn menggambarkan perilaku impulsif terkait dengan superego yang lemah dan struktur
ego yang lemah yang terkait dengan trauma psikis yang disebabkan oleh childhood deprivation.

Otto Fenichel mengaitkan perilaku impulsif dengan upaya untuk mengurangi kecemasan, rasa
bersalah, depresi, dan pengaruh menyakitkan lainnya melalui tindakan. Dia berpikir bahwa
tindakan seperti itu bertahan terhadap bahaya internal dan bahwa mereka menghasilkan kepuasan
agresif atau seksual yang menyimpang. Bagi para pengamat, perilaku impulsif mungkin tampak
tidak rasional dan dimotivasi oleh keserakahan, tetapi mereka mungkin sebenarnya berusaha
untuk mengurangi rasa sakit. Heinz Kohut menganggap banyak bentuk masalah pengendalian
impuls, termasuk perjudian, kleptomania, dan beberapa perilaku parafilia, terkait dengan
incomplete sense of self. Dia mengamati bahwa ketika pasien tidak menerima validasi dan
tanggapan yang mereka cari dari orang-orang yang memiliki hubungan signifikan dengan
mereka, diri mereka mungkin terpecah-pecah. Sebagai cara untuk mengatasi fragmentasi ini dan
mendapatkan kembali rasa wholeness atau kohesi dalam dirinya, pasien mungkin terlibat dalam
perilaku impulsif yang bagi orang lain tampak merusak diri sendiri.

Hipotesis Kohut memiliki beberapa kesamaan dengan Donald Winnicott bahwa perilaku impulsif
atau menyimpang pada anak-anak adalah cara bagi mereka untuk mencoba memiliki kembali
primitive maternal relationship. Winnicott melihat perilaku seperti itu penuh harapan karena
sang anak mencari cinta dari sang ibu, bukan menyerah untuk mendapatkan rasa sayangnya. 3,8

Faktor Psikososial

Faktor-faktor psikososial yang terlibat secara kausal dalam gangguan pengendalian impuls
berhubungan dengan peristiwa kehidupan pada masa kanak-kanak. Anak yang sedang tumbuh
mungkin memiliki model identifikasi yang tidak tepat, seperti orang tua yang memiliki kesulitan
mengendalikan impuls. Faktor-faktor psikososial lainnya yang terkait dengan gangguan ini
termasuk kekerasan di rumah, penyalahgunaan alkohol, pergaulan bebas, dan perilaku antisosial.
3,8

Faktor Biologis

Banyak peneliti telah berfokus pada faktor-faktor organik yang mungkin dalam gangguan
kontrol impuls, terutama untuk pasien dengan perilaku kekerasan yang jelas. Eksperimen telah
menunjukkan bahwa aktivitas impulsif dan kekerasan dikaitkan dengan daerah otak tertentu,

9
seperti sistem limbik, dan bahwa penghambatan perilaku tersebut dikaitkan dengan daerah otak
lainnya. Suatu hubungan telah ditemukan antara kadar asam 5-hydroxyindoleacetic (5-HIAA)
dalam cairan serebrospinal (CSS) yang rendah dengan agresi impulsif.

Hormon-hormon tertentu, terutama testosteron, juga telah dikaitkan dengan perilaku kekerasan
dan agresif. Beberapa laporan menggambarkan hubungan antara epilepsi lobus temporal dan
perilaku kekerasan impulsif tertentu, serta hubungan perilaku agresif pada pasien yang memiliki
riwayat trauma kepala dengan peningkatan jumlah kunjungan ruang gawat darurat dan kelainan
organik potensial lainnya.

Telah ditunjukkan bahwa sistem neurotransmitter serotonin memediasi gejala dalam gangguan
pengendalian impuls. Batang otak dan kadar 5-HIAA dalam CSS yang menurun, dan situs
pengikatan serotonin yang meningkat telah ditemukan pada orang yang telah melakukan bunuh
diri. Sistem dopaminergik dan noradrenergik juga terlibat dalam kejadian impulsif. Gejala
gangguan pegendalian impuls dapat berlanjut hingga dewasa pada orang yang gangguannya telah
didiagnosis sebagai attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD). Defisiensi mental, epilepsi,
dan bahkan sindrom otak reversibel telah diketahui terlibat dalam gangguan pengendalian
impuls. 3,8

2.4 GANGGUAN EKSPLOSIF INTERMITEN


Diagnosis

Diagnosis gangguan eksplosif intermiten didapatkan dari anamnesis yang mengungkapkan


beberapa episode hilangnya kontrol yang bersifat eksplosif agresif. Satu episode yang terpisah
dengan episode lainnya tidak dapat menegakkan diagnosis. Anamnesis biasanya menggambarkan
masa kanak-kanak dalam suasana ketergantungan alkohol, kekerasan, dan ketidakstabilan
emosional. Kecemasan, rasa bersalah, dan depresi biasanya dialami pasien setelah tindakannya,
tetapi tidak selalu ditemukan. Pemeriksaan neurologis terkadang menunjukkan tanda-tanda
neurologis yang tidak jelas, seperti ambivalensi kiri-kanan dan perceptual reversal. Temuan
Electroencephalography (EEG) seringkali normal atau menunjukkan perubahan tidak spesifik.3

10
Gambar 1. Kriteria diagnosis gangguan eksplosif intermiten menurut DSM 5.6

Tatalaksana

Kombinasi pendekatan farmakologis dan psikoterapi memiliki peluang keberhasilan terbaik.


Namun, psikoterapi dengan pasien yang mengalami gangguan eksplosif intermiten sulit karena
‘ledakan’ kemarahan mereka. Terapis mungkin memiliki masalah dengan countertransference
dan limit-setting. Psikoterapi kelompok mungkin bermanfaat, dan terapi keluarga berguna,
terutama ketika pasien adalah remaja atau dewasa muda. Tujuan terapi adalah untuk membuat
pasien mengenali dan mengungkapkan pikiran atau perasaan yang mendahului kejadian
eksplosif. 3

Antikonvulsan telah lama digunakan dengan hasil beragam dalam mengobati pasien eksplosif.
Lithium (Eskalith) telah dilaporkan bermanfaat dalam mengurangi perilaku agresif, dan
carbamazepine, valproate (Depakene) atau divalproex (Depakote), dan phenytoin (Dilantin) juga
telah dilaporkan bermanfaat. Beberapa dokter juga menggunakan antikonvulsan lain (misalnya

11
Gabapentin [Neurontin]). Benzodiazepin terkadang digunakan tetapi telah dilaporkan
menghasilkan reaksi paradoks discontrol dalam beberapa kasus. 3

Antipsikotik (misalnya Fenotiazin dan antagonis serotonin-dopamin) dan obat trisiklik telah
efektif dalam beberapa kasus, tetapi klinisi harus mempertanyakan apakah skizofrenia atau
gangguan mood adalah diagnosis yang sebenarnya. Dengan kemungkinan subcortical seizure-
like activity, obat-obatan yang menurunkan ambang kejang dapat memperburuk situasi. Selective
serotonin reuptake inhibitors (SSRI), trazodon (Desyrel), dan buspirone (BuSpar) berguna dalam
mengurangi impulsivitas dan agresivitas. 3

Propranolol (Inderal) dan antagonis reseptor β-adrenergik lainnya dan calcium channel
inhibitors juga efektif dalam beberapa kasus. Beberapa ahli bedah saraf telah melakukan
perawatan operatif untuk kekerasan dan agresi yang tidak dapat ditahan. Tidak ada bukti yang
menunjukkan bahwa perawatan tersebut efektif.3

2.5 OPPOSITIONAL DEFIANT DISORDER


Diagnosis

Anak-anak dengan oppositional defiant disorder sering berdebat dengan orang dewasa,
kehilangan kesabaran, dan marah, kesal, dan mudah terganggu oleh orang lain pada tingkat dan
frekuensi yang berada di luar kisaran yang diharapkan untuk usia dan tingkat perkembangan
mereka. Seringkali, anak muda dengan oppositional defiant disorder secara aktif menentang
permintaan atau aturan orang dewasa dan dengan sengaja mengganggu orang lain. Mereka
cenderung menyalahkan orang lain karena kesalahan dan kelakuan buruk mereka sendiri, lebih
sering daripada yang sesuai untuk usia perkembangan mereka. Manifestasi gangguan hampir
selalu terjadi di rumah, tetapi mungkin tidak terjadi di sekolah atau dengan orang dewasa atau
teman sebaya lainnya. Biasanya, gejala gangguan paling jelas dalam interaksi dengan orang
dewasa atau teman sebaya yang dikenal baik oleh anak. Dengan demikian, seorang anak dengan
oppositional defiant disorder mungkin tidak menunjukkan tanda-tanda gangguan ketika
diperiksa secara klinis. 3

12
Gambar 2. Kriteria diagnosis Oppositional Defiant Disorder menurut DSM 5.6

Tatalaksana

Pengobatan utama oppositional defiant disorder adalah intervensi keluarga menggunakan


pelatihan langsung orang tua dalam keterampilan manajemen anak dan penilaian interaksi
keluarga yang cermat. Tujuan dari intervensi ini adalah untuk memperkuat lebih banyak perilaku
prososial dan mengurangi perilaku yang tidak diinginkan pada saat yang sama. Terapis perilaku
kognitif mengajar orang tua bagaimana cara mengubah perilaku mereka untuk mencegah
perilaku anak dengan mengurangi perhatian terhadap hal itu, dan memberikan terapi yang

13
berfokus pada memperkuat dan memuji perilaku yang sesuai dan mengabaikan perilaku yang
tidak diinginkan.3

Anak-anak dengan oppositional defiant disorder juga dapat mengambil manfaat dari psikoterapi
individu dimana mereka bermain dan "berlatih" respons yang lebih adaptif. Dalam hubungan
terapeutik, anak dapat belajar strategi baru untuk mengembangkan rasa penguasaan dan
kesuksesan dalam situasi sosial dengan teman sebaya dan keluarga. Dalam keamanan hubungan
yang lebih "netral", anak-anak mungkin menemukan bahwa mereka mampu berperilaku kurang
provokatif. Seringkali, harga diri mereka harus dipulihkan sebelum seorang anak dengan
oppositional defiant disorder dapat membuat lebih banyak tanggapan positif terhadap kontrol
eksternal. Konflik orangtua-anak sangat memprediksi perilaku bermasalah. Pola hukuman fisik
dan verbal yang keras akan membangkitkan sifat agresi pada anak-anak. Mengganti pengasuhan
yang keras, hukuman dan meningkatkan interaksi orang tua-anak yang positif dapat
mempengaruhi perjalanan penyakit oppositional defiant disorder. 3

2.6 CONDUCT DISORDER


Diagnosis

Conduct disorder tidak berkembang dalam waktu semalam, melainkan banyak gejala
berkembang dari waktu ke waktu hingga berkembangnya pola yang konsisten yang melibatkan
pelanggaran hak-hak orang lain. Anak-anak yang sangat muda tidak mungkin memenuhi kriteria
untuk gangguan ini, karena secara perkembangan, mereka tidak mampu menunjukkan gejala-
gejala khas conduct disorder. Dalam wawancara evaluasi, anak-anak dengan gangguan perilaku
agresif biasanya tidak kooperatif, hostile, dan provokatif. Beberapa memiliki daya pikir dan
kepatuhan dangkal sampai mereka didesak untuk berbicara tentang masalah perilaku mereka.
Kemudian, mereka sering menyangkal masalah apa pun.3

14
Gambar 3. Kriteria Conduct Disorder menurut DSM 5.6

Tatalaksana

a) Intervensi psikososial

Intervensi preventif berkelanjutan dini dapat secara signifikan mengubah arah dan prognosis
conduct disorder ketika dilakukan mulai usia TK. Sebuah program skrining yang digunakan
dengan anak-anak TK memprediksi conduct disorder seumur hidup pada usia 18 tahun,

15
dengan kelompok risiko tertinggi menunjukkan peluang 82 persen untuk diagnosis conduct
disorder tanpa intervensi. Program pencegahan, Fast Track Preventive Intervention, meneliti
891 taman kanak-kanak untuk program pencegahan 10 tahun atau kondisi kontrol. Intervensi
10 tahun termasuk manajemen perilaku orang tua, keterampilan kognitif sosial anak,
membaca, kunjungan rumah, pendampingan, dan kurikulum kelas. Anak-anak dalam Fast
Track Intervention secara substansial dicegah dari perkembangan conduct disorder selama
periode 10 tahun dan selama 2 tahun sesudahnya.. 3

b) Intervensi psikofarmakologis

Efikasi intervensi psikofarmakologis telah diteliti dalam beberapa studi terkontrol plasebo
terkait penggunaan risperidone untuk agresi pada remaja dengan conduction disorder yang
mengganggu, dan / atau keterbelakangan mental. Risperidone telah ditemukan lebih unggul
dari plasebo dalam mengurangi perilaku agresif dalam studi substitusi plasebo 6 bulan yang
besar. Satu uji coba acak terkontrol plasebo double-blind dengan quetiapine juga
menunjukkan efektivitasnya untuk perilaku agresif. Studi awal antipsikotik, terutama
haloperidol (Haldol), melaporkan penurunan perilaku agresif pada anak-anak dengan
berbagai gangguan kejiwaan. Antipsikotik atipikal risperidone (Risperdal), olanzapine
(Zyprexa), quetiapine (Seroquel), ziprasidone (Geodon), dan aripiprazole (Abilify) secara
umum menggantikan antipsikotik generasi pertama dalam praktik klinis karena
efektivitasnya yang sebanding dan penurunan tingkat efek samping. Efek samping dari
antipsikotik generasi kedua meliputi sedasi, peningkatan kadar prolaktin (dengan penggunaan
risperidon), dan gejala ekstrapiramidal, termasuk akathisia. Secara umum, antipsikotik
atipikal tampak ditoleransi dengan baik. Meskipun uji coba awal menunjukkan bahwa
carbamazepine (Tegretol) berguna untuk mengendalikan agresi, studi double-blind,
terkontrol plasebo tidak menunjukkan keunggulan carbamazepine dibandingkan plasebo
dalam mengurangi agresi. Sebuah studi menemukan bahwa clonidine (Catapres) dapat
mengurangi agresi. SSRI, termasuk fluoxetine (Prozac), sertraline (Zoloft), paroxetine
(Paxil), dan citalopram (Celexa), digunakan secara klinis untuk menargetkan gejala impulsif,
iritabilitas, dan mood instability, yang sering menyertai conduction disorder. Conduction
disorder juga sering ditemukan bersamaan dengan ADHD, gangguan belajar, dan, seiring

16
waktu, mood disorder dan gangguan terkait zat, sehingga pengobatan gangguan-gangguan
juga harus ditangani.3

2.7 JUDI PATOLOGIS


Diagnosis

Pedoman diagnosis judi patologis menurut PPDGJ-III:1

 Gambaran yang esensial dari gangguan ini adalah berjudi secara berulang yang menetap
(persistently repeated gambling), yang berlanjut dan seringkali meningkat meskipun ada
konsekuensi sosia| yang merugikan seperti menjadi miskin, hubungan dalam keluarga
terganggu, dan kekacauan kehidupan pribadi.
 Judi patologis harus dibedakan dari:
a) Judi dan taruhan untuk kesenangan atau sebagai upaya mendapatkan uang; orang ini
dapat menahan diri apabila kalah banyak atau ada elek lain yang merugikan.
b) Judi berlebihan oleh penderita gangguan manik (F30).
c) Judi pada kepribadian dissosial (F60 2); (disini terdapat lebih banyak gangguan dalam
perilaku sosial lain yang menetap, terlihat pada tindakan-tindakan agresif atau cara-
cara lain yang menunjukkan sangat kurang peduli terhadap kesejahteraan dan
perasaan orang lain).

Tatalaksana

Sebagian besar pasien dengan judi patologis jarang ingin diobati. Masalah hukum, tekanan
keluarga, atau keluhan kejiwaan lainnya merupakan alasan yang membuat penjudi sulit untuk
dirawat. Gamblers Anonymous (GA) didirikan di Los Angeles pada tahun 1957 dan mencontoh
Alcoholics Anonymous (AA). Komunitas ini dapat diakses, setidaknya di kota-kota besar, dan
merupakan pengobatan yang efektif untuk judi patologis pada beberapa pasien. GA adalah
metode terapi kelompok inspirasional yang melibatkan pengakuan publik, peer pressure, dan
keberadaan penjudi yang telah direformasi yang tersedia untuk membantu pasien melawan
dorongan untuk berjudi. Namun, tingkat putus terapi dari GA masih tinggi. Dalam beberapa
kasus, rawat inap dapat membantu dengan mengeluarkan pasien dari lingkungan mereka.
Psikoterapi insight-oriented tidak perlu dilakukan hingga pasien telah jauh dari perjudian selama

17
3 bulan. Pada titik ini, pasien yang merupakan penjudi patologis dapat menjadi kandidat yang
sangat baik untuk bentuk psikoterapi ini. Terapi keluarga seringkali bermanfaat. Terapi perilaku
kognitif (misalnya teknik relaksasi yang dikombinasikan dengan visualisasi penghindaran judi)
telah berhasil.3

Perawatan psikofarmakologis, yang dulu sebagian besar tidak berhasil, sekarang berperan
penting dalam penanganan judi patologis. Agen yang efektif termasuk antidepresan, terutama
serotonin reuptake inhibitor (SSRI) dan bupropion (Wellbutrin, Zyban); mood stabilizer,
termasuk lithium (Eskalith) dan antiepilepsi seperti topiramate (Topamax); antipsikotik atipikal;
dan agen opioid seperti naltrexone (ReVia). Pada sebagian besar pasien, sulit untuk menentukan
apakah antidepresan atau mood stabilizer meringankan dorongan untuk judi secara langsung atau
melalui pengobatan kondisi komorbiditas, khususnya gangguan depresi atau bipolar.3

2.8 KLEPTOMANIA
Diagnosis

Gejala utama dari kleptomania adalah dorongan atau impuls berulang, intrusif, dan tak
tertahankan untuk mencuri benda yang tidak dibutuhkan. Pasien dengan kleptomania juga
mungkin merasa tertekan tentang kemungkinan ditangkap dan dapat menunjukkan tanda-tanda
depresi dan kecemasan. Pasien merasa bersalah dan malu dengan perilaku mereka. Mereka
sering memiliki masalah serius dengan hubungan interpersonal dan sering menunjukkan tanda-
tanda gangguan kepribadian. 3

Pedoman diagnosis judi patologis menurut PPDGJ-III:1

Gambaran yang esensial dari gangguan ini adalah:

 Adanya peningkatan rasa tegang sebelum,dan rasa puas selama dan segera
sesudahnya,melakukan tindakan pencurian
 Meskipun upaya untuk menyembunyikan biasanya dilakukan,tetapi tidak setiap
kesempatan yang ada digunakan;
 Pencurian biasanya dilakukan sendiri(solitary act),tidak bersama-sama dengan
pembantunya;

18
 Individu mungkin tidak cemasa,murung dan rasa bersalah pada waktu di antara episode
pencurian,tetapi hal ini tidak mencegahnya mengulangi perbuatan tersebut;

Curi Patologis harus dibedakan dari:

a) Pencurian berulang di toko tanpa gangguan jiwa yang nyata,dimana perbuatannya


direncanakan dengan lebih hati-hati dan terdapat motif keuntungan pribadi yang jelas;
b) Gangguan mental organik(F00-F09),dimana berulang kali gagal untuk membayar
barang brlanjaan sebagai konsekuensi berkurangnya daya ingat dan kemerosotan
fungsi intelektual lain;
c) Gangguan depresif dengan pencurian(F30-F33);beberapa penderita depresi
melakukan pencurian dan mungkin akan tetap mengulanginya selama gangguan
depresi masih ada.

Gambar 4. Kriteria Kleptomania menurut DSM 5.6

Tatalaksana

Karena kleptomania murni jarang terjadi, laporan pengobatan cenderung berupa laporan kasus
individu atau case series singkat. Psikoterapi insight-oriented dan psikoanalisis telah terbukti
berhasil, tetapi tergantung pada motivasi pasien. Mereka yang merasa bersalah dan malu dapat
dibantu oleh psikoterapi insight-oriented karena motivasi mereka yang meningkat untuk
mengubah perilaku mereka. 3

19
Terapi perilaku, termasuk desensitisasi sistematis, aversive conditioning, dan kombinasi aversive
conditioning dengan altered social contingencies telah dilaporkan berhasil, bahkan ketika
motivasi masih kurang. Laporan tersebut mengutip studi follow up hingga 2 tahun. SSRI, seperti
fluoxetine (Prozac) dan fluvoxamine (Luvox) yang tampak efektif pada beberapa pasien dengan
kleptomania. Laporan kasus menunjukkan keberhasilan pengobatan dengan obat trisiklik,
trazodone, lithium, valproate, naltrexone, dan terapi elektrokonvulsif. 3

2.9 PIROMANIA
Diagnosis

Orang dengan piromania sering menonton kebakaran di lingkungan mereka, sering memicu
alarm palsu, dan menunjukkan minat pada peralatan pemadam kebakaran. Keingintahuan mereka
jelas, tetapi mereka tidak menunjukkan penyesalan dan mungkin tidak peduli terhadap
konsekuensi nyawa atau harta benda. Pasien dengan piromania dapat memperoleh kepuasan dari
kerusakan yang dihasilkan. Seringkali, mereka meninggalkan petunjuk yang jelas. 3

Pedoman diagnosis judi patologis menurut PPDGJ-III:1

Gambaran yang esensial dari gangguan ini adalah:

 Berulabng-ulang melakukan pembakaran tanpa motif yang jelas,misalnya motif untuk


mendapatkan uang,balas dendam,dan alasan politis;
 Sangat tertarik menonton perisitwa kebakaran;dan
 Perasaan tegang meningkat sebelum melakukan,dan sangat terangsang (intense exciment)
segera setelah berhasil dilaksanakan.

Bakar Patologis harus dibedakan dari:

a) Sengaja melakukan pembakaran tanpa gangguan jiwa yang nyata(dalam kasus demikian
motif-nya jelas);
b) Pembakaran oleh anak muda dengan ganggyuan tingkah laku(F91.1),dimana didapatkan
gangguan perilaku lain seperti mencuri,agresif,atau membolos sekolah;

20
c) Pembakaran oleh orang dewasa dengan gangguan kepribadian disosial(F60.2),dimana
didapatkan gangguan perilaku sosial lain yang menetap seperti agresi,atau indikasi lain
perihal kurangnya peduli terhadap minat dan perasaan orang lain;
d) Pembakaran pada gangguan mental organik(F00-F09),dimana kebakaran ditimbulkan
karena kecelakaan akibat adanya kebingungan(confusion),kurangnya daya ingat,atau
kurangnya kesadaran dan konsekuensi dari tindakannya,atau campuran dari faktor-faktor
tersebut.

Gambar 5. Kriteria Piromania menurut DSM 5.6

Tatalaksana

Hanya sedikit studi yang telah ditulis tentang perawatan piromania, dan merawat pasien dengan
piromania menjadi sulit karena kurangnya motivasi mereka. Tidak ada terapi tunggal yang
terbukti efektif, sehingga sejumlah modalitas termasuk pendekatan perilaku harus dicoba. Karena
sifat piromania yang berulang, setiap program perawatan harus mencakup pengawasan pasien
untuk mencegah episode berulang. ‘Penahanan’ mungkin merupakan satu-satunya metode untuk
mencegah kekambuhan. Terapi perilaku kemudian dapat diberikan di rumah sakit. Pasien anak-
anak dengan piromania harus diterapi dengan sangat serius. Intervensi intensif harus dilakukan
jika memungkinkan, tetapi sebagai tindakan terapi dan pencegahan, bukan sebagai hukuman.

21
Dalam kasus anak-anak dan remaja, terapi piromania atau pengaturan api harus mencakup terapi
keluarga. 3

2.10 TRIKOTILOMANIA
Diagnosis

Sebelum terlibat dalam perilaku, pasien dengan gangguan trikotilomania mungkin mengalami
peningkatan ketegangan dan mencapai rasa kepuasan dari mencabut rambut mereka. Semua area
tubuh mungkin terpengaruh, paling sering kulit kepala.3

Pedoman diagnosis judi patologis menurut PPDGJ-III:1

Gambaran yang esensial dari gangguan ini adalah:

 Kerontokan rambut kepala yang tampak jelas(noticeable) disebabkan oleh berulangkali


gagal menahan diri terhadap impuls untuk mencabut rambut.
 Pencabutan rambut biasanya didahului oleh ketegangan yang meningkat dan setelahnya
diikuti dengan rasa lega atau puas
 Perasaan tegang meningkat sebelum melakukan,dan sangat terangsang (intense exciment)
segera setelah berhasil dilaksanakan.

Diagosis ini jangan dibuat apabila sebelumnya sudah ada peradangan kulit,atau apabila
pencabutan rambut adalah respons terhadap waham, atau halusinasi.Tidak termasuk: gangguan
gerakan stereotipi dengan mencabut rambut(F98.4).

22
Gambar 6. Kriteria Trikotilomania menurut DSM 5.6

Tatalaksana

Tidak ada konsensus mengenai modalitas pengobatan terbaik untuk gangguan trikotilomania.
Perawatan biasanya melibatkan psikiater dan dokter kulit. Metode psikofarmakologis yang telah
digunakan untuk mengobati gangguan psikodermatologis ini termasuk steroid topikal dan
hidroksizin hidroklorida (Vistaril), ansiolitik dengan sifat antihistamin; antidepresan; dan
antipsikotik. Laporan kasus telah menunjukkan efektivitas selective serotonin reuptake inhibitor
(SSRI) untuk gangguan trikotilomania. Pasien yang berespon buruk terhadap SSRI dapat
membaik dengan augmentasi dengan pimozide (Orap), yaitu sebuah antagonis reseptor dopamin.
Obat-obatan lain yang telah dilaporkan memiliki manfaat untuk gangguan trikotilomania
termasuk fluvoxamine (Luvox), citalopram (Celexa), venlafaxine (Effexor), naltrexone (ReVia),
dan lithium (Eskalith). Sebuah laporan tentang pengobatan lithium berhasil menyebutkan
kemungkinan efek obat pada agresi, impulsif, dan mood instability. Dalam satu studi, pasien
yang memakai naltrexone mengalami perbaikan gejala. Laporan kasus juga menunjukkan
keberhasilan pengobatan dengan buspirone (BuSpar), clonazepam (Klonopin), dan trazodone
(Desyrel).3

Perawatan perilaku yang berhasil, seperti biofeedback, self-monitoring, desensitisasi, dan habit
reversal telah dilaporkan, tetapi sebagian besar penelitian didasari pada kasus individual atau
serangkaian kecil kasus dengan periode follow up yang relatif singkat. Gangguan trikotilomania
kronis telah berhasil diobati dengan psikoterapi insight-oriented. Hipnoterapi telah dilaporkan

23
berpotensi efektif dalam pengobatan gangguan dermatologis dimana faktor-faktor psikologis
mungkin terlibat.3,9,10

Gambar 7. Alat penilaian untuk gangguan pengendalian impuls.4

24
Gambar 8. Diagnosis banding, perjalanan penyakit, dan prognosis gangguan pengendalian
impuls.2

25
BAB III

KESIMPULAN

Studi terkait dengan gangguan pengendalian impuls telah banyak dilakukan sejak beberapa tahun
lalu hingga saat ini, namun informasi klinis yang didapatkan mengenai kondisi ini masih belum
sepenuhnya dapat diaplikasikan secara klinis. Terapi-terapi baru mungkin masih perlu diteliti
guna mendapatkan evidence level yang memadai. Pemahaman mengenai kondisi ini tetap masih
perlu diteliti lebih lanjut, terutama dalam bidang neurobiologi atau genetik.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III dan
DSM-5. 2nd ed. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atma Jaya; 2014.

2. Sadock BJ et al. KAPLAN & SADOCK’S POCKET HANDBOOK OF CLINICAL


PSYCHIATRY. 6th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2019.

3. Sadock BJ et al. KAPLAN & SADOCK’S Synopsis of Psychiatry: Behavioral


Sciences/Clinical Psychiatry. 11th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2015.

4. Virginia Commission on Youth. DISRUPTIVE, IMPULSE-CONTROL, AND


CONDUCT DISORDERS. Collect Evidence-based Pract Child Adolesc with Ment Heal
Treat Needs. 2017;1–18.

5. American Psychiatric Association. Highlights of Changes from DSM-IV-TR to DSM-5.


Am Psychiatr Publ. 2014;1–19.

6. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders.


5th ed. Washington: American Psychiatric Publishing; 2014. 1-991 p.

7. Schreiber L et al. Impulse control disorders : updated review of clinical characteristics and
pharmacological management. Front Psychiatry. 2015;2(1):1–11.

8. Nathan PE et al. The Oxford Handbook of Impulse Control Disorders. New York: Oxford
University Press, Inc.; 2015.

9. Chayavichitsilp P, Barrio V, Johnson B. Interdisciplinary Insight Management of


Trichotillomania. Practical Dermaology for Paediatric. 2015; 24-26.
10. Nejatisafa AA, Sharifi V. Cognitive Behavior Therapy for Trichotillomania: Report of
Case Resistant to Pharmacological Treatment. Iran J Psychiatry. 2016; 1: 42-44.

27

Anda mungkin juga menyukai