OLEH :
Dosen Pembimbing :
2020
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur senantiasa kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena
dengan limpahan rahmat dan hidayah-Nya, akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Jenis-jenis akhlak, dan sistem penilaiannya serta baik buruk menurut ajaran islam”.
Makalah yang kami susun ini merupakan salah satu tugas mata kuliah AKHLAK TASAWUF.
Informasi atau materi yang kami paparkan diperoleh dari berbagai sumber-sumber yakni dari
berbagai buku dan ditambah berbagai redaksi dari internet. Kami menyadari, makalah yang kami
susun masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan dari
berbagai pihak. Sebagai manusia biasa, kami berusaha dengan sebaik-baiknya dan semaksimal
mungkin. Namun, kami tidak luput dari segala kesalahan dan kekhilafan dalam menyusun
makalah ini. Pada kesempatan ini dengan penuh rasa hormat kami haturkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Bapak Mukti Ali, M. Pd. I yang telah memberikan tanggung jawab
kepada kami untuk membuat makalah ini sehingga dapat terselesaikan dengan maksimal. Untuk
menyempurnakan makalah ini, kami dengan senang hati akan menerima kritik dan saran yang
sifatnya membangun dari berbagai pihak. Sehingga dikemudian hari kami dapat
menyempurnakan makalah ini dan kami dapat belajar dari kesalahan-kesalahan yang telah kami
lakukan. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami dan umumnya bagi
semua pihak yang berkepentingan.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................3
A. Kesimpulan...........................................................................................................................16
B. Saran.....................................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................17
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Akhlak merupakan sifat yang tumbuh dan menyatu di dalam diri seseorang. Dari sifat
yang ada itulah terpancar sikap dan tingkah laku perbuatan seseorang, seperti sifat sabar, kasih
sayang, atau malah sebaliknya pemarah, benci karena dendam, iri dan dengki, sehingga
memutuskan hubungan silaturahmi.
Masalah akhlak dalam ajaran Islam sangat mendapatkan perhatian yang begitu besar
sebagaimana telah diuarikan pada bagian terdahulu. Menurut ajaran Islam penentu baik dan
buruk harus didasarkan pada petunjuk al-Qur’an dan al-hadits. Jika kita perhatikan al-Qur’an
maupun hadits dapat dijumpai berbagai istilah yang mengacu kepada yang baik, misalnya: al-
Hasanah, Thayyibah, Khairah, karimah, Mahmudah, Azizah dan Al-Birra.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut :
1
3. Mengetahui bagaimana baik buruk akhlak dalam ajaran islam.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Akhlak Mahmudah
Menurut Al-Ghazali, berakhlak mulia dan terpuji artinya “menghilangkan semua adat kebiasaan
yang tercela yang sudah digariskan dalam agama Islam serta menjauhkan diri dari perbuatan
tercela tersebut, kemudian membiasakan adat kebiasaan yang baik, melakukannya dan
mencintainya.1
a. Syukur
Ialah memuji si pemberi nikmat atas kebaikan yang telah dilakukannya. Syukur harus
melibatkan tiga dimensi yaitu hati, untuk ma’riffah dan mahabbah, lisan untuk memuja dan
menyebut asma Allah dan anggota badan untuk menggunakan nikmat yang diterima sebagai
sarana untuk taat kepada Allah dan menahan diri dari maksiat kepada-Nya.
“dan ingatlah, ketika Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti
kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka
sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim 14: 7)
1
Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.
158.
2
b. Bertaqwa.
Memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah dan menjauhi segala
larangan-Nya. Seorang yang hati-hati sekali menjaga segala perintah Allah, supaya tidak
meninggalkannya. Dalam Firman-Nya “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada
Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan
dalam keadaan beragama islam”(QS. Ali Imran 3: 102)
c. Tawadhu’
Tawadhu’ artinya rendah hati, kebalikan dari sombong atau takabur. Orang yang rendah
hati tidak memandang dirinya lebih hebat dari orang orang lain, sementara orang sombong
menghargai dirinya secara berlebihan. Rendah hati berbeda dengan rendah diri, sekalipun dalam
prakteknya orang yang rendah hati cenderung merendahkan dirinya dihadapan orang lain, tetapi
sikap tersebut lahir dari rasa tidak percaya diri. Sikap Tawadhu’ adalah sifat mulia yang lahir
dari kesadaran akan Kemahakuasaan Allah atas semua hamba-Nya. Manusia adalah makhluk
lemah yang tidak punya apa-apa di hadapan Allah Swt.
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila
kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan”.
(QS. An Nahl 16: 53)
d. Shidiq
Artinya benar atau jujur, lawan kata dari dusta atau bohong. Seorang muslim dituntut
untuk selalu berada dalam keadaan benar lahir batin, benar hati, benar perkataan dan benar
perbuatan.
e. Pemaaf
Pemaaf adalah sikap suka memberi maaf terhadap kesalahan orang lain tanpa harus
menunggu orang yang bersalah itu meminta maaf kepada dirinya. Menurut Quraish shihab, tidak
ditemukan satu ayatpun yang menganjurkan untuk meminta maaf, tetapi yang ada adalah
perintah untuk memberi maaf.
3
“… maafkanlah mereka dan berlapang dadalah, sesungguhnya Allah senang kepada orang-
orang yang berbuat kebajikan (terhadap yang melakukan kesalahan kepadanya)” (QS. Al Maidah
5: 13).
2. Akhlak madzmumah
Menurut Imam Al-Ghazali, akhlak madzmumah atau akhlak tercela ini dikenal dengan sifat-sifat
muhlikat, yakni segala tingkah laku manusia yang dapat membawanya kepada kebinasaan dan
kehancuran diri, yang bertentangan dengan fitrahnya untuk selalu mengarah kepada kebaikan.
a. Al-Nani’ah
yaitu sifat egois, tidak memperhatikan kepentingan orang lain. Manusia sebagai makhluk
pribadi dan sekaligus makhluk sosial. Oleh karenanya, dalam mengejar kepentingan pribadi,
hendaknya memperhatikan kepentingan orang lain janganlah boros dan juga kikir, namun
hendaknya berada di antaranya yaitu pemurah. Perhatikan firman Allah Swt dalam surat Al-Isra
ayat 29 yang artinya: “Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu ke kuduk, dan
janganlah pula engkau kembangkan seluas-luasnya, nanti engkau duduk tercela dan sengsara.”
b. Al-Bukhlu
yaitu kikir. Orang yang kikir, tidak mau membelanjakan hartanya, baik untuk dirinya,
misalnya biar makan tidak baik dan bergizi, padahal uang ada, baik untuk kepentingan
keluarganya, maupun untuk kepentingan orang banyak, yang merupakan zakat, infak atau
sadakah. Bagi orang yang kikir, mendengar istilah-istilah tersebut bagaikan petir di siang hari.
Sifat kikir ini dapat mempersempit pergaulan, sering menuduh orang tama’ (ingin diberi).
Kemudian orang yang kikir itu apabila hartanya telah berkumpul, ia merasa kaya dan tidak lagi
memerlukan bantuan orang lain yang juga lupa kepada pemberinya. Allah berfirman dalam surat
al-Lail ayat 8-10 yang artinya, “Tetapi orang yang kikir dan merasa dirinya serba cukup, dan
mendustakan yang baik, akan kami mudahkan baginya (jalan) kesukaran.”
c. Khianat
4
yaitu tidak menempati janji. Khianat ini lawan dari amanat, apabila amanat dapat
melapangkan rezeki, maka khianat akan dapat menimbulkan kefakiran. Sifat khianat ini
seringkali tidak nampak, sehingga kadang-kadang ada orang yang membela orang yang khianat
karena ia tidak mengetahuinya. Allah berfirman dalam surat al-Nisa ayat 107 yang artinya, “Dan
janganlah engkau membela orang-orang yang khianat kepada dirinya sendiri, sesungguhnya
Tuhan tidak menyukai orang-orang yang khianat dan berdosa.”
d. Al-Gibah
yaitu menggunjing atau mengumpat. Menggunjing adalah mengatakan keadaan orang lain
dibelakangnya dengan celaan kepada orang-orang yang ada dimukanya, dengan tujuan untuk
menjatuhkan nama orang tersebut atau tujuan lain, meskipun memang sebenarnya keburukan itu
ada pada orang yang digunjingnya. Bila tidak ada, hal itu merupakan fitnah. Firman Allah dalam
surat al-Hujurat ayat 12 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan
berprasangka, karena sebagian kecurigaan itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan
orang, dan janganlah mempergunjingkan orang satu sama lain.”
Masih banyak lagi akhlak tercela yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits, misalnya: al-
bagyu, yaitu lacut; al-gadab, yaitu pemarah; al-gurur, yaitu memperdayakan;al-hikdu, yaitu
dendam; al-intihar, yaitu menjerumuskan diri; al-namimah, yaitu mengadu domba; dan lain
sebagainya.
Paham materialisme berkeykinan bahwa kehidupan yang lebih baik dan kebahagiaan
berpusat pada keempurnaan materi, termasuk jasad. Adapun aliran spiritualisme berkeyakinan
bahwa kebahagiaan sangat tergantung pada kepuasan jiwa. Para filosof umumnya berpendapat
bahwa kebahagiaan bias dicapai dengan kemampuan akal manusia. Akal merupakan perangkat
penting untuk menggapai kebenaran dan kemuliaan.
5
Umat Islam akan merasa bahagia jika mendapat keutamaan dari kehadiran Allah Swt. baik
dunia maupun akhirat.
Berikut merupakan uraian system penilaian akhlak menurut beberpa madzhab, aliran, dan
paham dalam Islam.
Ahlu sunnah waljama’ah mempunyai arti “ahlu” bermakna golongan dan “asunnah”
bermakna segala sesuatu yang dinukil dari Nabi Muhammad SAW. Aljamaah ini banyak sekali
yang memberi makna, antara lain golongan yang mayoritas umat Islam yang setia kepada
pemimpin umat Islam. Dan adapula yang mengartikan Aljamaah sebagai golongan para sahabat
Nabi. Jadi arti dari “ahlu sunnah walajamah” adalah golongan yang berpegang teguh pada Al-
Qur’an , sunnah Rasulullah SAW, dan kesepakatan para mujtahid.2
Sebelumnya ahli sunnah waljama’ah ini dipelopori oleh Abu Al-Husan Al-Asy’ari (260-
320H/873-935M) dan Abu Mansyur Al-Maturidi (332H/943M). mereka membagi kajian
ilmunya dengan cara menggali dari Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas.
Segala awamir yang dima’rufkan Allah SWT adalah baik dan segala nawahi yang
dimunkarkan Allah SWT adalah buruk. Tidak ada kebaikan atau keburukan secara absolute,
tetapi semuanya itu menurut instruksi dari Allah SWT. adapun yang bersifat absolute adalah
kekuasaan dan keadilan Allah yang terletak pada iradat-Nya. Namun keadilan tidak wajib bagi
Allah, karena apabila wajib maka kekuasaan-Nya tidak mutlak lagi. Ittulah sebabnya para ahli
kalam membedakan antara sifat – sifat yang wajib bagi Allah menurut akal dan juga dalil akal
yang jumlahnya 13 atau 20 dengan asma’ul husna yang jumlahnya 99.
b. Sistem Mu’tazilah
Secara bahasa kata mu’tazilah berasal dari kata i’tazila yang berarti “berpisah” atau
“memisahkan diri”, yang berarti juga “menjauh” atau “menjauhkan diri”. Secara teknis, istilah
mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
2
S.M. Imamudin M. Dkk, Aliran Aliran Teologi Islam dan Ensiklopedia Islam(Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1994), hlm 74-75.
6
Golongan pertama (mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini
tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menyikapi
pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan – lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan
Abdullah bin Zubair.
Golongan kedua (Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang
berkembang dikalangan Khawarij dan Murji’ah akibat peristiwa tahkim. Menurut Ahmad tafsir
ada mu’tazilah yang lahir karena menghindari bentrokan politis dan ada yang lahir karena
bentrokan pemikiran fanatik.3
2. Kedudukan Al-Qur’an
4. Perbuatan manusia
5. Antropomorisme
6. Dosa besar
7. Keadilan Allah
Pancasila Mu’tazilah
Ajaran Mu’tazilah dikenal dengan al-ushul al-khamsah, yang oleh Harun Nasution
diistilahkan sebagai Pancasila Mu’tazilah.
1. Al-Tauhid
Yang berarti “pengesaan Tuhan”, merupakan prinsip yang paling uatama dan sekaligus
merupakan intisari dari ajaran Mu’tazilah. Sebenarnya setiap madzhab teologis dalam Islam
memegang doktrin al-tauhid ini. Namun bagi aliran M’utazilah tauhid memiliki arti yang
3
Sukardi, Kuliah – kuliah Tasawuf. (Jakarta : Pustaka Hidayah, 2000), hlm 78.
4
Op.cit.,hlm 80.
7
spesifik. Tuhan harus disucikan dari apa pun yang dapat mengurangi kemahaesaan-Nya. Hanya
Tuhanlah satu – satunya yang Esa dan unik dan tak ada satupun yang menyamai-Nya. Oleh
karena itu hanya Dial ah yang qadim (terdahulu). Bila ada yang qadim lebih dari satu, maka telah
terjadi ta’addud al-qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan.
Ajaran tentang kadilan ini berkait erat dengan beberapa hal, antara lain :
a. Perbuatan manusia
Menurut Mu’tazilah manusia melakukan dan menciptakan perbuatan sendiri terlepas dari
kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung atau tidak.
Kewajiban Tuhanlah untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan tidak
mungkin jahat dan aniaya karena akan menimbulkan kesan Tuhan penjahat dan penganiaya,
sesuatu tidak layak bagi Tuhan.
c. Mengutus Rasul
Mengutus Rasul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan karena alasan – alasan
sebagai berikut :
1. Tuhan berlaku baik kepada manusia, dan hal itu tidak dapat terwujud kecuali dengan
mengutus Rasul kepada mereka.
2. Al-Qur’an secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih kepada
manusia. Cara terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan mengutus Rasul.
3. Tujuan diciptakannya manusia untuk beribdah adalah untuk beribadah kepada Allah. Agar
tujuan tersebut berhasil yaitu dengan cara mengutus Rasul.
3. Al-Wa’ad wa al-Wa’id
Ajaran ini berarti janji dan ancaman. Tuhan yang Maha adil dan Maha bijaksana tidak
akan melanggar janji-Nya. Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-Nya sendiri, yaitu
8
memberi pahala surga bagi yang berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa neraka
bagi yang durhaka (al-ashl). Begitu pula janji Tuhan untuk memberi ampunan bagi yang
melakukan taubat nashuha pasti benar adanya.
Inilah ajaran yang menyebabkan lahirnya madzhab ini, yakin berkenaan dengan status
orang yang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar dan belum bertaubat, dengan status
bukan lagi Mukmin atau kafir, munafiq, tetapi fasik. Hanya saja bila belum bertaubat, dia akan
dimasukan ke neraka dan kekal di sana, tetapi siksanya lebih ringan dibanding orang kafir.
Ajaran ini menekan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaiakan kepada kebenaran dan
kebaikan. Dan ini merupakan kensekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan
harus dibuktikan dengan perbuatan yang baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik
dan mencegahnya dari kejahatan. Ajaran ini sangat berpotensi menimbulkan kekerasan,
kekacauan, dan kedzaliman.5 Sejarah mencatat kekerasan yang pernah dilakukan Mu’tazilah
ketika menyiarkan ajarannya, seperti tentang kemakhlukan Al_qur’an yang mengorbankan
banyak ulama’.
Ajaran ini bukan monopoi konsep Mu’tazilah. Fase tersebut sering digunakan di dalam Al-
Qur’an. Arti asal ma’ruf adalah apa yang telah diakui dan diterima oleh masyarakat karena
mengandung kebaikan dan kebenaran. Lebih spesifik lagi, al-ma’ruf adalah apa yang diterima
dan diakui Allah. Sedangkan al-munkar adalah sebaliknya. Frase tersebut bararti seruan untuk
berbuat seseuatu sesuai dengan keyakinan sebenar – benarnya serta menahan diri dengan
mencegah timbulnya perbuatan yang bertentangan dengan norma tuhan.
Contoh lain secara kausalitas. Allah tidak ikut campur dalam kehendak alam dan kehendak
manusia, tetapi ada hukum kausalitas yang berlaku bagi alam dan manusia, seperti terjadinya
hujan.
Di zaman ini mungkin yang mempunyai kemiripan dengan Mu’tazilah adalah kaum
Muhammadiyah yang menggarap persoalan sosial, pendidikan, dan kemasyarakatan.
5
Ibid.,hlm 86.
9
Menurut Mu’tazilah manusia bebas untuk bertabat, dan segala amal manusia dan di ganjar
allah SWT seadil-adilnya dan seproporsional mungkin. Apabila manusia tidak bebas melakukan
perbuatannya, ini berarti allah SWT tidak adil.
Demikian pula apabila allah meminta pertanggungjawaban manusia atas amalnya. Jadi
menurut pandangan penulis allah itu menyuruh kita berbuat baik dan melarang perbuatan yang
dilarangnya.
c. Sistem Jabariyah
Landasan pemikiran madzhab ini adalah bahwa pada hakekatnya perbuatan seorang hamba
disandarkan langsung kepada Allah. tidak diminta untuk taat tapi dipaksa untuk melakukan
segala perbuatan di luar kehendak dan usahanya, maka Allah SWT menciptakan segala
perbuatan sebagaimana Dia menciptakan seluruh materi. Jadi adanya pahala dan siksaan adalah
paksaan.
Para sejarawan telah banyak berbicara dan menjelaskan siapa yang sebenarnya terlebih
dahulu memiliki pendapat di atas dan menyebarkannya. Disini kami tuliskan sedikit pendapat
mengenai faham Jabariyah sebagai mana yang di tulis oleh Al-Murtadha dalam Al-Muriyah wa
Al-’Amail.
Ulama pertama , Abdullah Bin Abbas, ketika berbicara di hadapan kaum Jabariyah di kota
Syam. Dia melontarkan kritik ”Mengapa kalian memerintahkan orang-orang untuk bertaqwa,
padahal kalian menyesatkan mereka. Kalian melarang orang-orang berbuat maksiat tetapi kalian
justru memperlihatkan kemaksiatan. Wahai putra-putra kaum munafik, penolong kaum zhalim,
dan penjaga masjid kaum fasik, kalian hanya berdusta kepada Allah, kalian harus
bertanggungjawab atas dosa-dosa kalian kepada Allah.”
Ulama kedua, Hasan Al-Bashri, berbicara di kota Bashrah, ” Barang siapa yang tidak
beriman kepada Allah serta qodho’ dan qodar-Nya, maka dia telah kafir. Sesungguhnya Allah
tidak kurang apapun, meskipun ditaati ataupun didurhakai, karena Dia adalah Raja dari segala
raja, dan Penguasa dari segala penguasa. Untuk itu, Allah memberi kebebasan kepada manusia:
apakah mau taat atau durhaka. Jika Allah memaksa makhluk-Nya supaya taat kepada-Nya, maka
mereka tentu tidak akan mendapat pahala. Dan, andaikata mereka dipaksa untuk berbuat maksiat,
10
maka mereka pasti tidak akan disikasa. Semua orang tidak dipaksa oleh kehendak Allah. Untuk
itu, jika mereka taat kepada Allah, maka Dia pasti akan menebarkan Rahmat.”
Pendapat ini sebenarnya sudah mulai muncul pada masa para sahabat, akan tetapi npada
awalnya hanya diucapkan kam musyrik sebagaimana dijelaskan oleh Al-Quran. Orang Islam ang
pertama kali menyebarkan paham ini adalah Al-Ja’d bin Dirham. Dia menerima faham ini dari
orang Yahudi di Syria. Kemudian disebarkan ke Bashrah, terutama kepada Al-Jahm bin
Shafaran. Dalam kitab Syarah Al-’Uyun, Al-Jahm bin Shafwan menerima suatu ajaran dari Al-
Ja’d bin Dirham yang kemudian dinamakan ajaran al-jahmiyah.sementara itu Al-Ja’d bin Dirham
menerima ajaran tersebut dari Ibnu Sam’an, sedangkan Sam’an menerimanya dari Thalut bin
A’shim al-Yahudi.
Ajaran Al-Jahm bin Shafwan bukan merupakan aliran Jabariyah, akan tetapi mempunyai
ajaran lain di antaranya:
d. Allah Swt tidak mengidentikan diri sebagai ”sesuatu” yang hidup bagaikan alam semesta.
e. Al-Jahm membantah bahwa Allah Swt bisa dilihat kelak dihari kiamat
Para ulama salaf dan kholaf telah membantah ajaran tersebut, seperti yang dilakukan hasan
Al-Bashri dan sebelumnya Ibnu Abbas. Perlu diketahui ajaran Jabariyah banyak di ingkari oleh
banyak kelompok ulam kalam, ahli fiqih, dan ahli hadist.
Allah Swt berfirman, aku akan memalingkan orang-orang yang menyombangkan dirinya
dimuka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasan-Ku.jika melihat ayat-Ku,
mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika melihat petunjuk, mereka tidak akan menempuhnya,
tetapi jika melihat kesesatan, mereka justru mendekatinya. Hal itu terjadi karena mereka
mendustakan ayat-ayat Kami dan selalu lalai darinya. Begitulah, banyak orang yang mencoba
meniti jalan yang disangkanya terang, padahal sebenarnya sesat dan gelap gulita.
11
d. Sistem Qodariyah
Aliran ini dipelopori oleh Ghoilan Ad-Dimasyqi dan Ma’bad Al-Juhani. Qodiriyah berasal
dari kata qodara ( )قَ َد َرyang mengandung arti kemampuan dan kekuatan. Kaum Qodariyah
adalah golongan islam yang meyakini bahwa manusia mempunyai kekuatan mutlak dan
kebebasan untuk menentukan segala macam perbuatan sesuai dengan keinginannya tanpa ada
intervensi dari tuhan.6 Jadi menurut Qodariyah manusia harus bebas menentukn nasibnya sendiri.
Manusia beba memilih amal yang baik dan yang buruk, jadi kalau Allah maha adil mestinya
memberi pahala orang yang beramal baik dan sebaliknya.
Untuk mengatasi kedua paham yang saling bertentangan , yaitu Qodariyah dan Jabariyah
sebaiknya kita menyimak firman Allah dalam surah al-Ra’d [13] ayat 11,:
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di
belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah[767]. Sesungguhnya Allah tidak merobah
Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka
sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang
dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
[767] Bagi tiap-tiap manusia ada beberapa Malaikat yang tetap menjaganya secara
bergiliran dan ada pula beberapa Malaikat yang mencatat amalan-amalannya. dan yang
dikehendaki dalam ayat ini ialah Malaikat yang menjaga secara bergiliran itu, disebut Malaikat
Hafazhah. [768] Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah
sebab-sebab kemunduran mereka.
e. Sistem Shufiyah
Paham sufiyah yang dilansir para sufi berpendapat bahwa pendidikan akhlaq tersusun atas
tiga fase:
6
Ibid.,hlm 89-90.
12
1. Fase takhalli atau takhliyah, yaitu membasmi sifat-sifat duniawiyah yang terdapat dalam
diri manusia. Takhliyah zhahiriyah yaitu menjauhkan diri dari kejahatan tujuh macam anggota
maksiat zhahir, ketujuh tersebit adalah faraj, lisan, tangan, mata, telinga, kaki, dan perut.
Kemudian, manusia melakukan Takhliyah bathiniyah yang didahului dengan taubat yaitu dengan
cara Istigfar, menyesal, dan berjanji tidak akan mengulangi lagi.
2. Fase Tahalli, mengisi jiwa seseorang dengan jiwa mahmudah yang merupakan ibadat qolbi.
Maka hiasilah diri nkita dengan taqwa, hati yang bersih, dan sifat siddiq.
3. Fase Tajalli, adalah pengalaman Puncak yang dicari para pecinta Allah 7. Dimana fase ini
telah jelaslah Allah dalam kehidupan jiwa, fase ini hasil usaha dari fase pertama dan kedua.
Meskipun dalam diri manusia cenderung berbuat kejahatan, namun usaha yang pertama dan yang
utama adalah menjauhkan diri dari larangan Allah. Meninggalkan larangan-Nya lebih berat dari
pada mengerjakan perintah-Nya. Hal ini terjadi karena pengaruh lingkungan. Untuk itu bagi
orang tua agar mendidik anaknya dengan baik mulai sedini mungkin.
Menurut ajaran Islam penentu baik dan buruk harus didasarkan pada petunjuk Al-Qur’an
dan Al-Hadits. Jika kita perhatikan Al-Qur’an maupun hadits dapat dijumpai berbagai istilah
yang mengacu kepada baik, dan adapula istilah yang mengacu kepada yang baik misalnya: Al-
Hasanah, Thayyibah, Khairah, Karimah, Mahmudah, Azizah dan Birra.
Artinya: Barang siapa yang datang (membawa) kebaikan. Maka baginya (pahala) yang
lebih baik daripada kebaikannya itu; dan Barangsiapa yang datang dengan (membawa)
kejahatan, Maka tidaklah diberi pembalasan kepada orang-orang yang telah mengerjakan
kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan apa yang dahulu mereka kerjakan.9
8
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Semarang : Kencana, 2010), hlm 65.
9
Al-Rhaqib Al-Asfahani, Mu’jam Mufrodat Al-fadz al-Qur’an, (Beirut : Dr. Al-Firk, tth.) hlm. 117.
14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa akhlak atau sistem perilaku merupakan
tolok ukur perbuatan manusia yang terdapat acuan untuk menilai perbuatan tersebut baik atau
buruk berdasarkan ajaran dari Allah. Akhlak secara umum terbagi 2 yaitu Akhlak Mahmudah
(akhlak terpuji) dan Akhlak Madzmumah (akhlak tercela). Sistem penilaian akhlak antara lain :
sistem ahli sunnah, sistem mu’tazilah, sistem jabariyah, sistem qodariyah, dan sistem shufiyah.
Menurut ajaran Islam penentu baik dan buruk harus didasarkan pada petunjuk Al-Qur’an dan Al-
Hadits.
B. Saran
Demikianlah pembahasan terhadap kajian akhlak. Semoga dari apa yang disajikan bisa
membawa manfaat bagi penulis dan lebih-lebih kepada para pembaca. Manusia adalah makhluk
ciptaan Allah dengan segala kelebihan dan kekurangannya, untuk itu apabila di dalam penyajian
karya ilmiah mata kuliah “Akhlak Tasawuf” ini terdapat sesuatu yang lebih, maka semata-mata
itu hanyalah berasal dari Allah SWT dan apabila terdapat sesuatu yang mengganjal hati para
pembaca, maka itu adalah sebuah kesalahan pribadi dari kami. Untuk itu kami meminta maaf
yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan yang ada dan berharap kepada pembaca dan dosen
bersangkutan untuk menegur kami bila ada kesalahan agar bisa kami perbaiki di kemudian hari.
Semoga makalah ini bisa berguna bagi kita semua.
15
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asfahani, Al-Rhaqib. Mu’jam Mufrodat Al-fadz al-Qur’an, Beirut : Dr. Al-Firk, tth.
M.Dkk, S.M. Imamudin.1994.Aliran Aliran Teologi Islam dan Ensiklopedia Islam.Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve.
16