Anda di halaman 1dari 6

(Historiografi Tradisional)

Candi Jago dan cerita Kunjakarna

Kunjarakarna, seorang Yaksa, melakukan meditasi Budha di Gunung Semeru, agar dapat dibebaskan dari
wataknya sebagai raksasa dalam inkarnasi berikut. Ia bertekat untuk bertemu Dewa Wairocana (Budha)
dan berangkatlah ia. Setelah diijinkan menghadap Wairocana, ia mengajukan permohonan agar diberi
pelajaran mengenal dharma dan diberi penerangan mengenai berbagai nasib yang dialami para makluk
dunia ini. Sang dewa memuji keprihatinanannya yang demikian berbeda dengan kebanyakan orang, dan
memerintahkan agar Kunjarakarna lebih dahulu mengunjungi daerah para orang mati, di bawah
kekuasaan Dewa Yama (Yamaniloka). Ini dilakukan Kunjarakarna.

Di persimpangan jalan ia bertemu dua raksasa, Kalagupta dan Niskala, yang menunjukkan jalan kepada


arwah-arwah yang lewat, entah ke surga atau ke neraka, sesuai dengan perbuatan mereka pada masa
lampau. Jalan selatan menuju daerah besi (lohabumi pattana) dengan pohon-pohon pedang, sebuah
gunung dibuat dari besi yang menganga dan menutup sendiri, burung berekor pisau belati dan rerumputan
dengan paku-paku sebagai dedaunan. Kunjarakarna menyaksikan bagaimana arwah orang mati disiksa
oleh pembantu Yama (para kingkara), dalam aneka bentuk yang mengerikan. Kunjarakarna sangat terharu
dengan apa yang dilihatnya, dan ia berterimakasih kepada Yama yang telah memberinya kesempatan
untuk melihat dengan mata kepala sendiri nasib mana yang menantikan seorang pendosa. Kemudian
Yama menjelaskan panjang lebar mengenai hakekat kejahatan yang meskipun membawa siksaan dan
jalan ke neraka, namun lebih banyak dipilih oleh manusia karena berupa jalan lebar dan mudah ditempuh,
dibandingkan jalan menuju surga yang tertutup semak belukar dan rumput liar serta penuh dengan segala
macam rintangan.

Kunjarakarna melihat bagaimana sebuah periuk besar akan digosok dan dibersihkan untuk menyambut
seorang pendosa berat yang dalam tujuh hari lagi ia memulai siksaannya selama 100.000 tahun. Adapun
pendosa itu adalah Purnawijaya, raja para gandarwa yang pada saat ini masih menikmati hasil pahalanya
dulu di surga. Berita ini menggoncangkan Kunjarakarna, karena ia masih bersaudara dengan Purnawijaya.
Kini ia makin merasa terdorong untuk kembali menghadap Wairocana dan menerima pelajaran yang
dimintanya.

Dengan hati cemas akan nasib yang akan menimpa sahabatnya, Kunjarakarna pertama-tama menuju surga
untuk menceritakan kepada Purnawijaya apa yang dilihat dan didengarnya. Purnawijaya terhenyak,
kebahisan harapan akibat berita mengenai kematiannya yang tak terduga-duga serta hal-hal mengerikan
yang akan terjadi sesudah itu. Kunjarakarna menasehatinya supaya ia bertabah hati dan mengajaknya
menghadap Wairocana untuk memohon bantuan sehingga dapat mengelakkan nasibnya.

Purnawijaya berpamitan dengan isterinya, Kusumagandhawati dan dengan diiringi oleh sepasukan
makluk surgawi, bersama sahabatnya (Kunjarakarna) ia berangkat menuju Bodhi (citta) nirmala. Setelah
mereka tiba disana mereka menghormat Wairocana sebagai Mahadewa dan memohon anugerah, agar
dharma (dharma desana). Setelah selesai menerima ajaran dharma tersebut Kunjarakarna mohon diri
untuk menekuni tapa brata dengan lebih khusuk, tetapi Purnawijaya tidak mengikuti. Ia menanyakan
kepada Wairocana, bagaimana ia dapat meloloskan diri dari siksaan di neraka. Wairocana menjawab
bahwa ia tidak dapat dibebaskan dari kematian, namun ia akan meninggal dalam tidurnya dan
penderitaannya hanya akan berlangsung selama 9 hari.

Purnawijaya kembali ke isterinya dan menjelaskan apa yang akan terjadi. Setelah ia berpesan agar sang
isteri menantikan kembalinya pada hari yang kesepuluh, ia tertidur dan meninggal. Arwah Purnawijaya
diangkat oleh para kingkara dan dimasukkan ke dalam periuk, namun karena ia melakukan Samadhi, ia
hampir tidak merasa sakit. Pada hari yang pohon-pohon pedang menjadi parijata-parijata. Para algojo
(Yama) datang untuk melihat kebenaran berita tersebut. Ia mendengar dari Purawijaya, bahwa keajaiban
itu terjadi karena rahmat Wairocana serta kesaktian ilmu yang diajarkan kepadanya. Jiwa Purnawijaya
kembali ke tubuhnya dan ia seolah-olah terbangun dari tidurnya. Kegembiraan ke 3 periuk pecah dan
berubah menjadi sebuah manikam dalam bentuk bunga teratai, Kusumagandhawati karena mereka bersatu
kembali untuk menikmati hari-hari bahaiga berubah menjadi kekecewaan, ketika suaminya
memberitahukan bahwa ia akan menemani Kunjarakarna dalam melakukan tapa. Ia tersedu-sedu
menangisi nasibnya dan sedikit terhibur ketika Purnawijaya berusaha untuk memperlihatkan kasih
sayangnya.

Keesokan harinya Purnawijaya berangkat menyusul Kunjarakarna ditemani gandharwa serta widyadhari,


dan menghormat Wairocana  dengan sembah sujud. Di Bodhicitta, para dewa berkumpul untuk
menghadiri upacara dewa puja, diiringi permainan music dan nyanyian yang dilakukan oleh makhluk
surgawi, sedangkan para widyadhari memamerkan kecantikannya. Yama yang mewakili para dewa
lainnya menanyakan kepada Raja Jina (Wairocana), bagaimana mungkin suatu siksaan yang seberat itu
dilunasi dalam beberapa hari saja. Wairocana kemudian menceritakan kisah Muladhara yang
menghabiskan segala harta kekayaannya kepada yayasan-yayasan keagamaan serta derma-derma, tetapi
hatinya penuh kejahatan dan kesombongan. Dilain pihak terdapat sepasang suami isteri Utsahadharma
dan Sudharmika, yang mempergunakan harta mereka yang sangat terbatas untuk berbuat baik dengan
maksud yang murni. Oleh Muladhara mereka diusir lalu mereka menjalankan kehidupan sebagai pertapa
di pegunungan. Pada saat meninggal mereka belum mampu mencapai pembebasan sempurna, karena
masih terikat oleh perbuatan-perbuatan baik yang bersifat lahiriah. Namun demikian mereka menjadi
Indra dan Saci di Surga. Muladhara juga menerima balasan atas segala pahalanya dan diangkat menjadi
Purnawijaya (raja para gandharwa) biarpun kejahatannya pantas diganjar dengan siksaan yang lebih lama
di neraka. Tetapi siksaan itu diperpendek menjadi beberapa hari saja tanpa banyak menderita, karena
kesaksian yang terpancar dari ajaran suci yang telah diterima Purnawijaya dan bekas ahli bangunannya
(Karnagotra) yang dilahirkan kembali sebagai Kunjarakarna. Selanjutnya Wairocana menerangkan lebih
lanjut kepada Purnawijaya, bagaimana perbuatan lahiriah yang baik hanya dapat menghasilkan ganjaran
di surga, bukannya pembebasan sempurna. Pembebasan sempurna ini hanya dapat dicapai
dengan puņya yang lebih luhur sifatnya yaitu dengan mencapai pencerahan sempurna.

Kini Purnawijaya bertekat untuk mempraktekkan nasehat tersebut dan dengan tujuan itu ia menuju
Gunung Semeru bersama isterinya. Ia memberitahukan kepada para bawahannya di surga bahwa ia
mengundurkan diri lalu memerintahkan kepada mereka agar kembali ke surga. Mereka patuh walaupun
dengan hati sedih karena kehilangan seorang raja yang tiada taranya. Dengan melakukan tapa menurut
cara Mahayana (sebagai Mahayana dan mahayani) Purnawijaya dan isterinya (Kusumagandhawati)
mencapai pembebasan di surga Jina, dimana Kunjarakarna telah mendahului disana.

 
Tokoh Kunjakarna dalam posisi berdiri.

Kunjarakarna menghadap Wairocana, bersama Dhyani Budha, penjaga arah mata angin. Terdapat
sembilan orang tokoh, delapan dalam posisi berdiri memakai mahkota kirita dan terdapat lingkaran
prabha (para Dhyani Budha), seorang tokoh dalam posisi duduk menyembah.

Menggambarkan adegan di neraka. Tempat pembakaran berbentuk lembu mendekam (Tambragohmukha)


dengan nyala api di bawahnya, didalamnya terdapat orang-orang yang dalam siksa.

.
Sebuah tempat penyiksaan berbentuk sapi (tambragohmukha) yang kosong, dan seorang tokoh
(Kunjarakara) sedang berdiri meninggalkan tempat tersebut.

Seorang bermahkota tinggi (Purnawijaya) sedang berlutut sambil menyembah. Di depannya berdiri
seorang dewa (Wairocana), di belakangnya terdapat sesaji bentuk tumpeng dan dalam bokor.

Adegan pertama sebuah rumah (pendopo) dengan dua orang di dalamnya, seorang posisi tidur dan
satunya duduk. Kedua, seorang tokoh berpakaian lengkap dan bermahkota berjalan meninggalkan rumah
tersebut (roh Purnawijaya meninggalkan rumah).
Yamadipati membawa trisula mengejar tokoh bermahkota (Purnawijaya).

Menggambarkan keadaan di neraka, dengan bentuk-bentuk manusia berkepala binatang.

Tempat penyiksaan di neraka berbentuk lembu (Tambragohmukha) dengan empat orang di dalamnya.

Tokoh berwajah raksasa (Yamadipati) dalam posisi berdiri, tangan kanan berkacak pinggang dan tangan
kiri menunjuk depan seolah memberi perintah. Di depannya seorang manusia sedang merangkak dan
sebuat tempat penyiksaan berbentuk lembu.

Sebuah rumah berbentuk limasan, terdapat dua orang tokoh pria dan wanita sedang duduk berhadapan.

Dua buah rumah berbentuk pendopo dengan pohon-pohon di sekitarnya dikelilingi pagar.
Dua orang pria berjongkok, yang di depan berwajah raksasa menengok belakang.

Sebuah rumah dengan seoran wanita sedang duduk. Di depan rumah terdapat dua pria berdiri berhadapan.
Di belakang terdapat dua punakawan sedang duduk.

                 
Dua orang sedang berkelahi.

Suasana rumah dengan pagar pembatas ;dan pintu gapura berbentuk paduraksa.

Tokoh pria dan wanita berdiri berbincang-bincang di dekat sebuah gapura paduraksa.
 

Anda mungkin juga menyukai