Anda di halaman 1dari 65

Kemelut Hati

Penulis: Nawa N.S

Dimuat bersambung di Majalah Femina

Nasiyah menguak jendela kamarnya perlahan. Ia menatap burung-burung kecil yang lincah.
Sayap-sayapnya begitu ringan berkepakan di udara. Cakar-cakar mungil itu tak lelah
berlompatan dari satu dahan ke dahan lain. Sesaat bertengger di pohon dadap, lalu pindah ke
dahan kopi, ke cabang-cabang cengkih, ke pelepah-pelepah kelapa.

Suara burung-burung itu berdengung di telinga Nasiyah, membuat hatinya makin teriris,
memuing di atas bantal berenda mawar ungu.

Ya, sudah saatnya ia meredam ambisi. Keinginan menggebu untuk melanjutkan pendidikan
harus ia telan. Semangat yang harus ia kubur dalam-dalam bersama segala kenangan indah di
masa lalunya.

Satu minggu, dua minggu, tiga puluh lima hari lagi! Hari dan tanggalnya sudah ditetapkan
melalui rundingan para orang tua semalam. Kamis Pahing, dua puluh empat Jumadilakir, adalah
hari baik yang telah disepakati, baik oleh tetua dari pihak Nasiyah maupun Diman, sebagai hari
ijab kabul mereka.

Sejak saat itu statusnya berubah. Ia bukan lagi Nasiyah, melainkan Bu Diman, istri seorang guru
sekolah dasar.

“Selamat pagi, Bu Guru.” Demikian orang-orang desa akan menyapanya. Memang, di desa
Nasiyah ini sudah menjadi perjanjian tak tertulis, bahwa seorang perempuan yang menjadi istri
guru, secara otomatis dipanggil Bu Guru, meskipun ia tidak bekerja.
Bu Guru. Ah, sebuah predikat yang begitu menggodanya. Tetapi, bukan dengan jalan ini ia
mengharapkan predikat itu.

Pada waktu itu kedudukan guru masih dianggap mulia dan terhormat. Guru adalah orang paling
pintar, tempat bertanya dan meminta saran untuk memecahkan berbagai masalah, serta
menjadi teladan, tidak hanya bagi murid, tetapi juga bagi bermasyarakat.

Di desa Nasiyah hanya ada dua sekolah dasar dan satu madrasah ibtidaiyah (sekolah dasar
Islam). Kepala sekolah dan guru-gurunya kebanyakan dari luar daerah. Diman adalah satu dari
empat guru yang berasal dari desa itu. Dan, dia yang paling muda. Tiga lainnya sudah
berkeluarga serta mempunyai tiga atau empat anak. Ketika lulus Sekolah Pendidikan Guru,
Diman diangkat menjadi guru di desanya sendiri.

Para tetangga mengatakan, Nasiyah sangat beruntung karena akan diperistri oleh Pak Guru
Diman. Menurut mereka, laki-laki yang pandai seharusnya mendapatkan perempuan yang
pandai juga supaya seimbang. Jadi, panggilan Bu Guru pun bagi mereka sangat pantas
disandang Nasiyah. Apalagi, Nasiyah tamatan SMP, jenjang pendidikan yang cukup tinggi di
mata mereka.

Memang, teman-teman Nasiyah yang bisa sekolah sampai SMP bisa dihitung dengan jari. Itu
pun ada beberapa yang berhenti atau keluar karena dinikahkan atau karena harus membantu
orang tua. Hanya Nasiyah, satu teman gadis, serta tiga teman laki-lakinya yang bisa bertahan
sampai lulus. Dan, Nasiyah harus puas dengan ijazah SMP karena ia hanya anak petani kecil.

Sebenarnya, berat bagi Nasiyah menerima kenyataan itu. Tapi, sebagai anak sulung, ia harus
ikut memikirkan kondisi keluarga. Adiknya ada lima dan semuanya perlu biaya sekolah yang
tidak sedikit. Sementara orang tuanya hanya seorang buruh tani. Hasil panen hanya cukup
untuk makanan pokok hingga waktu panen berikutnya. Untuk lauk serta kebutuhan harian
lainnya diperoleh dari hasil jualan tempe bungkus di pasar.

Kesedihan itu makin memenjara hati ketika ia melihat burung-burung bebas beterbangan,
sambil menari dan menyanyi. Mereka tampak ceria, seperti Nasiyah ketika masih SMP.
Saat-saat itu.

Pagi-pagi sekali, sebelum subuh, Nasiyah sudah bangun. Ia menggeliat sebentar lalu beranjak
menuju dapur. Di sana sudah ada Emak yang sedang meniriskan rendaman jagung. Bau asam
menyengat menyeruak ke hidung, membangkitkan semangat untuk segera bergerak. Nasiyah
mengambil tampah dan ayakan bambu. Bapak menyiapkan lumpang. Nasiyah dan bapaknya
mengambil alu. Anak dan bapak berdiri berhadapan seperti dua musuh yang siap bertarung.
Selesai mencuci jagung, Emak lalu memasukkan sebagian ke dalam lumpang sampai hampir
penuh. Tidak lama kemudian terdengarlah suara mengentak: dag-dug… dag-dug… dag-dug….
Ya, irama kehidupan. Seperti detak jantung manusia.

Dag-dug! Dag-dug! Dag-dug! Nasiyah dan Bapak terus memukulkan alu mereka ke dalam
lumpang itu bergantian. Dag! Alu Nasiyah mantap, seperti cita-citanya menjadi guru, seperti
harapannya agar bisa membantu orang tua. Dug! Saat Nasiyah mengangkat alunya, ganti alu
Bapak yang menghantam kuat. Seperti tanggung jawabnya terhadap keluarga.

Dag-dug! Dag-dug! Dag-dug! Dua kekuatan menyatu untuk menggempur nafsu yang mencoba
mengikis semangat hidup. Hari masih begitu pagi dan udara sangat dingin. Jika mereka
terkalahkan oleh kantuk dan rasa malas, butiran-butiran jagung itu tidak akan bisa segera
menjadi nasi. Maka, meskipun tangan terasa pegal, keringat terus mengalir di wajah serta
punggung, keduanya tidak mau berhenti.

Butiran-butiran jagung itu berangsur-angsur pecah, memuing, dan hancur menjadi tepung.
Nasiyah dan Bapak berhenti, meletakkan alu. Orang tua itu duduk, mengatur napasnya kembali.
Nasiyah mengayak sedikit demi sedikit. Sisa ayakan yang masih kasar dipisahkan untuk
kemudian ditumbuk lagi agar semua menjadi halus. Begitu seterusnya hingga semuanya siap
dimasak.

Tepung itu lalu digangsur, yaitu diremas-remas dan ditekan-tekan pada tampah. Ini supaya
butiran-butiran jagung memadat sehingga nasi yang dihasilkan bisa empuk. Kata Emak, makin
lama digangsur, hasilnya makin baik.
Lalu, Emak mulai menyiapkan dagangannya. Ia membuka tumbu (wadah dari bambu untuk
meletakkan barang yang akan dipikul) dan memeriksa beberapa bungkus tempe. Jamurnya
sudah tampak putih dan merata. Tandanya, tempe sudah jadi. Maka, tumbu-tumbu lain pun
dibuka. Isinya ditumpahkan untuk kemudian ditata kembali agar lebih ringkas sehingga mudah
dibawa ke pasar.

Setelah selesai menata barang dagangannya, Emak membersihkan alat-alat yang tadi
digunakan. Sementara itu, Nasiyah dibantu Munaroh, adiknya, ke kali untuk mencuci pakaian.

Suara beduk menandai waktu subuh telah datang. Bapak pergi ke langgar sejak seperempat jam
lalu. Setelah Bapak pulang, Bapak dan Emak segera keluar rumah, menerobos kegelapan serta
dinginnya pagi, menuju ke pasar.

Setelah menjemur baju-baju, Nasiyah bergegas sembahyang subuh, berganti pakaian,


kemudian sarapan pagi. Ia harus sudah berangkat ke sekolah sebelum setengah enam. Sebab,
untuk mencapai sekolah, Nasiyah dan kawan-kawannya harus berjalan kaki selama kurang lebih
satu sampai satu setengah jam. Kadang-kadang, belum selesai ia menghabiskan sarapan,
teman-temannya sudah memanggil. Karena itu, ia pun buru-buru mencuci piring, merapikan
baju, bersisir sebentar, lalu menyambar tas.

Kenangan masa remaja yang manis buat Nasiyah. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu
melangkah ke tempat tidur. Tiba-tiba, ia seolah mendengar suara derap sepatu anak-anak
berseragam biru-putih. Diurungkannya niatnya untuk beranjak dari jendela. Dipandanginya
kembali burung-burung itu.

Ya, mereka seperti burung-burung itu, yang mendendangkan lagu ceria. Renyah tawa mereka di
tengah candaan-candaan ringan penuh sukacita. Hangat persahabatan itu mencairkan
kebekuan pagi, meleleh bersama keringat di wajah dan punggung mereka.

Dari arah berlawanan mereka berpapasan dengan banyak orang. Perempuan-perempuan yang
berjalan terbungkuk-bungkuk karena punggungnya diberati beban, seperti emak Nasiyah. Para
lelaki terengah menahan pikulan di pundak, seperti bapak Nasiyah. Tetapi, ada juga beberapa
orang yang berjalan melenggang saja atau hanya dengan menenteng keranjang belanjaan,
mengepit dompet di ketiak, dan kain gendongan berkibar di bahu.

Sementara itu, di jalan setapak tampak beberapa orang memanggul cangkul dan menenteng
sabit, menyusuri pematang-pematang sawah, turun di antara pangkal-pangkal rumpun padi
yang terpotong, melewati gundukan-gundukan jerami sisa panen. Angin sepoi-sepoi basah
bertiup dari timur menuju barat menyisakan hawa semalam. Di sisi lain ada yang masih
berkerudung sarung, berjalan sambil mendekap kedua siku, sesekali tampak menguap. Satu dua
masih berpakaian tebal, melangkah pelan-pelan dengan menuntun atau menggendong anak
kecil.

“Berjualan, Mbok?”

“Ke pasar, Kang?”

“Mau belanja, Mbak?”

“Momong, Bi?”

“Ya. Kalian mau sekolah, ya?”

“Iyaaa....”

“Ya, bener, bener, anak-anak. Sekolah yang tekun, ya, supaya pintar dan jadi orang yang sugih
(kaya), tidak rekasa (susah) seperti kami, orang tua yang sudah telanjur bodoh ini.”
Jalan menurun. Gedebuk kaki makin gaduh. Lalu, jalan menanjak. Langkah-langkah melambat.
Mendatar, turun, naik lagi. Sekali waktu mereka tersandung batu, melompati lubang atau jalan
yang rusak, serta menepi karena berpapasan dengan sekawanan kerbau. Lalu, sampailah
mereka di jalan beraspal. Meskipun belum separuh perjalanan, itu sudah membuat mereka
cukup lega. Mereka tahu tidak akan ada kendaraan umum yang lewat atau beroperasi di sana.
Harapan satu-satunya adalah truk, sehingga mereka bisa menumpang sampai depan sekolah.
Tetapi, itu hanya harapan kecil.

Kring! Kring!

Anak-anak itu menepi.

“Selamat pagi, Paaaaak....”

Orang berseragam dinas di atas sepeda jengki itu mengangguk dan tersenyum ramah.

“Seandainya kita punya sepeda....”

“Kita pasti bisa nyalip Pak Kastam!”

Tawa ceria itu kembali menghiasi pagi.

Nasiyah tak sadar, bibirnya menyunggingkan senyum ketika mengenang kejadian tadi. Ia pun
disadarkan oleh suara burung-burung yang riuh. Burung-burung itu berhamburan ke arahnya.
Senyum Nasiyah lenyap. Ia ingin sekali tetap tersenyum, tapi ada sesuatu yang menahannya.
Yang keluar justru kemarahan, hingga ia mengusir burung-burung itu agar segera menghilang
dari hadapannya. Ia berteriak-teriak, membuat burung-burung itu bingung dan ketakutan.
“Pergi kalian semua! Terbang jauh-jauh dan jangan datang lagi kemari! Aku tidak mau kalian
terus-menerus menggangguku! Pergi! Pergi! Jangan usik ketenanganku! Pergi kalian semua!”

Nasiyah meraih daun jendela, lalu menutupnya dengan kasar. Ia mengempaskan diri ke kasur.
Ia sembunyikan wajah di balik selimut. Ia tutup telinga rapat-rapat agar suara-suara burung
yang menjengkelkan itu tidak terdengar lagi.

“Nas! Nas!”

“Pergi!”

Terdengar suara pintu diketuk. “Nas! Nas!”

“Pergi! Pergi!”

Pintu kembali diketuk. “Nas! Bangun, Nas, sudah siang!”

Nasiyah bangkit, mengumpulkan kesadarannya kembali.

“Bangun, sudah siang! Gelas dan piring masih berantakan.”

“Ya, sebentar!”

Nasiyah segera merapikan tempat tidur dan bergegas keluar kamar. Di dapur ia mendapati
Emak duduk di tepi dipan, sedang membungkusi tempe. Di dekat kakinya ada dua tumbu, satu
sudah penuh, satunya baru terisi sepertiganya. Nenek duduk di antara daun-daun pisang, yang
sebagian sudah tertumpuk rapi, sebagian terserak dalam bentuk lembaran panjang, sebagian
lagi masih dalam gulungan. Tangan keriput itu masih menyobeki daun-daun menjadi ukuran
tertentu, menimbulkan suara yang khas.

Nasiyah mendekat ke dapur, menambah kayu bakar.

“Masak apa, Mak?”

“Tidak masak. Nasi dan gulai sisa semalam masih cukup banyak. Tinggal dipanaskan saja.”

Nasiyah membuka tutup panci. Uap panas menyeruak ke wajahnya, tapi air belum mendidih,
tinggal menunggu beberapa saat lagi. Ia mengaduk gulai yang sedang dipanaskan.

“Kamu bereskan saja gelas dan piringnya.”

Nasiyah memasukkan barang-barang pecah belah tersebut ke dalam dua ember besar untuk
diangkut ke kali. Ia merasa sudah bekerja dengan hati-hati, tapi tanpa sengaja gelas yang
dipegangnya lepas dari genggaman dan jatuh mengenai piring dalam ember. Untung yang
pecah hanya piring bagian atas dan gelas itu saja. Biasanya, Emak sangat marah dengan
kesalahan seperti itu. Tapi, pagi ini Nasiyah hanya mendapat omelan yang lumayan pelan.

“Makanya, kalau kerja jangan sambil melamun. Itu akibatnya kalau suka tidur tanpa mengingat
waktu. Orang-orang tua dulu mengatakan, ada dua waktu yang tidak baik untuk tidur, yaitu
waktu terbit dan terbenamnya matahari. Sebab, itu akan menyebabkan orang jadi pelupa,
grasa-grusu, dan suka melamun. Bahkan, tidur sehabis subuh itu bisa membuat orang
mendapat mimpi buruk dan menjauhkan rezeki. Itu betul-betul sangat tidak baik, terutama bagi
anak perempuan seperti kamu. Anak perempuan tidak boleh malas. Apalagi, sebentar lagi kamu
jadi istri seorang guru. Kamu harus cekatan, gesit, dan terampil, tidak boleh sembrono. Kamu
harus perhatian pada suamimu. Kamu harus.... Kamu tidak boleh.... Kamu.... Kamu....”
Nasiyah segera membawa dua ember penuh piring dan gelas itu ke kali.

Sepulang dari kali, Nasiyah membereskan rumah. Kamar-kamar, ruang depan, ruang tengah,
serta dapur sudah harus bersih sebelum dia mengerjakan yang lain. Lalu, ia kumpulkan pakaian-
pakaian kotor ke dalam keranjang bambu dan ember untuk diangkut lagi ke kali. Keranjang ia
ikat di pinggang kiri, sedangkan ember ditenteng dengan tangan kanan.

Ia menyusuri jalan setapak, yang kiri-kanannya ditumbuhi semak-semak rendah. Sisa embun di
atas rerumputan tampak seperti kristal-kristal kecil yang menguraikan sinar matahari. Di ujung
jalan Nasiyah berhenti sesaat, menatap ke bawah. Kilatan jernih serta gemercik air seolah
menantang kesungguhannya.

Jalan menurun dan bersap-sap. Tangannya kadang-kadang berpegangan pada rumput-rumput


atau akar-akar pohon waru. Beberapa kali Nasiyah berhenti untuk memperbaiki posisi
keranjang. Kadang-kadang ia juga harus merangkak atau setengah jongkok untuk menjaga
keseimbangan tubuh. Pada sap kedua puluh dua ia tiba di dataran. Lalu, turun lagi untuk
mencapai pancuran.

Nasiyah mengambil kain sarung dari dalam ember, menanggalkan pakaian, lalu mengikatkan
sarung itu di atas dadanya. Ia mulai membongkar keranjang dan ember, kemudian menyikat
tempat cucian, menyiapkan sabun dan sikat nilon. Tidak lama kemudian ia pun tenggelam
dalam kesibukannya.

Angin berembus menerpa punggung Nasiyah yang terbuka. Burung-burung kecil masih
berlompatan di dahan. Tapi, mereka tak berani menyapa.

Suara gesekan baju-baju memantul ke dinding batu, berpendar ke sisi yang lain, meleleh pada
lumut-lumut setengah basah. Sesekali Nasiyah mengusap keringat di kening dengan punggung
tangannya, terkadang menarik napas dalam-dalam, sambil meluruskan lengannya yang mulai
terasa pegal. Hanya sebentar. Setelah itu ia pun kembali terbius dalam harum sabun colek dan
bulu sikat nilon.

Biasanya, Nasiyah melakukan pekerjaan ini pagi-pagi sekali, sesudah atau bahkan sebelum
subuh. Tetapi, setelah tidak sekolah lagi, ia bisa lebih santai. Biasanya, setelah menyediakan
sarapan untuk adik-adiknya, ia mendandani Ahmad. Adik bungsunya ini sebenarnya belum
sekolah. Tapi, ia sering minta ikut dengan kakak-kakaknya. Karena adik-adik Nasiyah tidak ada
yang mau diikuti oleh Ahmad, Nasiyahlah yang harus turun tangan, mengantar, dan menemani
Ahmad di sekolah. Saat itulah Nasiyah kemudian mengenal Pak Guru Diman.

“Oh, Mbak Nasiyah? Putranya Pak Karto, ‘kan?”

“Betul.”

“Meneruskan ke mana sekarang?”

“Ndak sekolah, Pak.”

“Kenapa? Kata guru-guru di sini, Mbak Nasiyah pandai, sering jadi bintang kelas. Sayang, lho.”

“Masalahnya, tak ada biaya, Pak. Bapak kan tahu sendiri, bapak saya hanya buruh tani,
sedangkan adik saya banyak dan masih kecil-kecil.”

“Lho, katanya, dulu mendapatkan beasiswa?”

“Ya, Pak, tapi keluarga saya tidak mengizinkan.”


“Kenapa?”

“Katanya, biaya-biaya lain juga banyak, sedangkan beasiswa biasanya hanya untuk SPP saja.
Bapak tidak sanggup membayarnya.”

Perkenalan itu lewat begitu saja, sebab Nasiyah tidak pernah lagi mengantar Ahmad ke sekolah.
Ahmad sudah berhasil dibujuk agar tidak lagi ikut kakak-kakaknya. Sebab, itu sangat
mengganggu jadwal Nasiyah untuk melakukan pekerjaan rumah. Nasiyah baru bertemu Pak
Guru Diman lagi ketika ia mewakili orang tua mengambilkan buku rapor adik-adiknya.

Pertemuan kedua ini cukup singkat dan lebih merupakan basa-basi biasa. Percakapan mereka
hanya seputar kegiatan sehari-hari, diselingi sedikit canda, yang membuat Nasiyah tidak
canggung lagi. Tetapi, dari pertemuan singkat inilah kemudian muncul kabar yang sangat
mengejutkan. Orang-orang mengatakan, Nasiyah berpacaran dengan guru muda itu. Tidak
lama, kabar itu merebak ke hampir seluruh kampung. Anak-anak dan orang tua sering
meledeknya, bahkan ada yang sudah berani memanggilnya ‘Bu Guru Diman’.

Nasiyah sangat membenci kabar itu. Bahkan, kebencian itu merembet ke orangnya. Ia mulai
merasa muak jika bertemu Pak Guru Diman. Jangankan bertemu, mendengar namanya disebut
pun ia mual. Tapi, gosip itu tidak juga berhenti, bahkan makin santer. Mau tidak mau, ia jadi
mulai memerhatikan guru muda itu.

“Hei, jangan-jangan kau juga menyukainya,” kata seorang temannya.

“Sudah, sudah. Tambah pusing aku.”

Menyukai Pak Guru Diman? Siapa yang tidak tertarik padanya? Wajah dan penampilannya
cukup lumayan, otaknya pun jempolan. Ditambah lagi, dia punya masa depan yang pasti.
Semua orang tua di desa itu pasti mengharap anak gadisnya dilamar Pak Guru Diman, termasuk
orang tua Nasiyah.
Suatu malam Pak Guru Diman datang bersama pamannya. Kedatangan kedua orang itu
berhubungan dengan proses penggarapan sawah milik paman Diman oleh bapak Nasiyah.
Meski hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan Nasiyah, gadis itu tetap tidak nyaman dengan
kehadiran guru itu di rumahnya. Kebiasaannya membuatkan minuman untuk tamu menjadi
sebuah tugas sangat berat sehingga ia menolaknya. Nasiyah sengaja mengajak Ahmad
menonton televisi di rumah tetangga, pergi lewat pintu belakang.

Suatu hari, kegeraman di hati Nasiyah mencapai puncaknya ketika ia harus berhubungan
langsung dengan Pak Guru Diman. Ia menjadi panitia peringatan hari kemerdekaan RI sehingga
harus sering mengikuti rapat sampai larut malam. Pada saat itulah Pak Guru Diman sering
mengantar Nasiyah pulang. Memang tidak hanya Nasiyah sendiri. Ia selalu bersama teman-
teman perempuan lainnya. Tapi, karena rumah Nasiyah paling jauh, dialah yang terakhir
sampai, setelah berjalan hanya berdua saja dengan Pak Guru Diman selama kurang lebih lima
menit.

Sebenarnya, tidak ada yang istimewa dari percakapan-percakapan singkat mereka. Kerap kali
malah hanya sekadar basa-basi. Tapi, entah siapa yang menyebarkan cerita bahwa Pak Guru
Diman sudah menyatakan cinta. Hal ini membuat darah Nasiyah mendidih. Namun, apa yang
bisa ia perbuat? Mengatakan pada setiap orang bahwa semuanya tidak benar? Memasang
pengumuman di jalan-jalan? Menyiarkannya melalui pengeras suara di langgar? Memarahi
orang-orang? Atau, tetap diam?

“Kamu, kok, sekarang berubah, Nas?” tanya temannya.

Berubah? Benarkah ia berubah? Apa yang sedang terjadi padanya? Tapi, apa pun di dunia ini
pasti mengalami perubahan. Batinnya bergolak.

Yah, setelah menjadi istri Diman, perubahan itu pasti terjadi juga. Ia tidak bisa bebas lagi
bermain bersama burung-burung, bercanda dengan angin, atau bergembira dengan kecipak air
pancuran itu. Ia akan diboyong ke rumah suaminya, hidup bersama mertua. Diman adalah anak
bungsu, lelaki satu-satunya. Ketiga kakak perempuannya sudah menikah dan dibawa oleh suami
masing-masing. Secara otomatis, Dimanlah yang mewarisi rumah pusaka itu.

Rumah yang sudah berdinding tembok, lantainya keramik. Ada sumur pompa di dekat dapur
sehingga nanti ia tidak perlu repot lagi saat mencuci perabot rumah tangga dan pakaian.
Memasak pun pakai kompor minyak. Sawah orang tua Diman juga luas, hasil panennya lebih
untuk makan hingga panen berikutnya. Bahkan, beras jatah dari kantor Diman dan bapaknya
sering dijual. Nasiyah tidak perlu menumbuk jagung lagi. Singkatnya, keadaan di rumah Diman
jauh lebih enak dibanding di rumahnya sendiri, seperti yang dikatakan para tetangga: “Kamu
sangat beruntung, Nas.”

Tapi, bagaimana jika nanti ia kangen pada teman-temannya, yaitu harmoni alam yang selama
ini mengajarinya gerak tarian sukacita, meracik musik kegembiraan, serta menyusun lirik
tembang ceria? Matahari pagi, embun, dedaunan, rumputan, burung-burung, angin, air
pancuran, dan juga keringat! Keringat sendiri, keringat Bapak, keringat Emak, serta keringat
adik-adiknya yang diembuskan udara dingin dini hari, yang menyatu dengan harum rendaman
kedelai dan jagung, gaplek, juga semerbak tubuh walang sangit (sejenis belalang) di musim
panen. Keringat kehidupan yang membahagiakan. Lalu, keringatnya bersama teman-teman
yang tercecer di sepanjang jalan antara rumah dan sekolah. Bisakah Nasiyah menemukan
semua itu setelah ia menjadi istri Diman?”

“Itukah yang membuatmu murung akhir-akhir ini?” tanya temannya.

“Mungkin.”

“Kau bersedih?”

“Entahlah.”
Rasanya, belum lama Nasiyah mengenal Diman. Dan, perkenalan itu pun biasa-biasa saja.
Nasiyah menganggap itu sangat wajar sebagai orang yang tinggal dalam satu desa, apalagi
sama-sama anak muda. Nasiyah pun mengenal pemuda lain, selain Diman. Guru muda itu pun
demikian. Banyak gadis yang mengenalnya, bahkan lebih akrab. Tapi, ia tidak habis pikir,
kenapa perkenalannya dengan Diman dianggap istimewa, lalu mereka dijodoh-jodohkan dan
kemudian timbul kabar, yang entah siapa telah membumbuinya menjadi gosip yang sangat
sedap.

“Siapakah yang menyebarkan gosip itu?” tanya Nasiyah pada Diman.

“Tidak ada,” jawab Diman, enteng.

“Lalu?”

“Kenyataan yang bicara sendiri.”

“Apa maksud Pak Diman?”

Sinar matahari mempertegas rona di kedua pipi Nasiyah.

Musim tanam telah berlalu. Biji-biji mulai tunas. Tapi, kemarau menapakkan kaki-kakinya di
atas tanah berbongkah. Air menjadi sesuatu yang sangat penting bagi para petani. Mereka
harus berebutan mengaliri sawah dari wangan ataupun parit-parit kecil.

Nasiyah menyeka keringat di dahi dengan ujung kain gendongannya. Caping di kepala ia
lepaskan, lalu dikipas-kipaskan ke tangan, wajah, dan leher. Angin berembus lembut ke arah
jalan setapak itu. Nasiyah membetulkan posisi keranjang berisi rantang kosong. Diman masih
tegak berdiri di bawah pohon randu yang mulai bersemi. Salah satu kakinya dinaikkan ke atas
karung pupuk. Kemudian, keduanya sama-sama memandang ke arah sawah. Tampak seorang
laki-laki menyusuri pematang, di punggungnya melekat tank penyemprot tanaman. Lelaki itu
berjalan ke arah mereka. Nasiyah mohon diri.

“Nas.”

Gadis itu berhenti dan menoleh sebentar.

“Kapan-kapan aku ke rumahmu.”

Nasiyah berlalu.

Sebulan kemudian Nasiyah dipanggil bibinya. Adik bapak Nasiyah itu menanyakan kesediaan
Nasiyah untuk menjadi istri Diman. Nasiyah terkejut, tetapi ia bisa menyembunyikan perasaan
itu.

“Itu hanya gosip. Bibi tidak usah memercayainya.”

“Tidak, Nas. Ini sungguh-sungguh. Pak Guru sendiri yang mengatakannya pada Bibi.”

Nasiyah tertegun. Bibi Darto berusaha meyakinkan kemenakannya itu dengan menyanjung-
nyanjung, menceritakan semua kehebatannya, memuji keluarga serta hartanya. Itu membuat
Nasiyah bertambah muak. Nasiyah juga menolak ketika akan dipertemukan dengan Diman di
rumah Bibi Darto.

“Kamu akan hidup enak, Nas.”


“Sudahlah, Bi. Nanti malah jadi fitnah.”

“Fitnah apa?”

“Nanti dikira kita yang mengejar-ngejar dia untuk mendapatkan harta keluarganya.”

“Tidak mungkin, Nas. Lha, wong, Pak Guru sendiri, kok, yang meminta aku untuk ngomong
sama kamu. Pokoknya, begini saja, malam Minggu besok kamu ke rumahku.”

“Ndak mau, Bi.”

“Anak ini diomongi baik-baik, kok, malah tidak mau.”

Bibi lalu meminta bapak Nasiyah untuk membujuk anaknya supaya mau bertemu dengan
Diman. Sebenarnya, orang tua Nasiyah menyerahkan semuanya pada Nasiyah. Tapi, karena Bibi
Darto terus mendesaknya, ia terpaksa melakukan hal itu. Nasiyah pun tidak bisa mengelak.

Pertemuan itu sangat kaku, canggung, dan penuh basa-basi. Diman yang biasanya pandai bicara
jadi lebih banyak diam. Sampai hampir satu jam, percakapan tidak lebih dari tanya jawab
pendek. Diman bertanya, Nasiyah menjawab. Setelah diam cukup lama, Diman baru bisa
mengungkapkan keinginannya, meminta Nasiyah jadi istrinya. Nasiyah hanya diam, tidak
mengangguk tidak menggeleng. Ketika Diman berpamitan, Nasiyah hanya bisa berdiri lurus
seperti tiang,

Setelah Diman pergi, Bibi Darto, yang sejak tadi berdiri di balik pintu, menghujani Nasiyah
dengan berbagai pertanyaan. Nasiyah tetap diam. Air matanya perlahan menetes di kedua
pipinya. Bibi Darto pura-pura tidak tahu apa yang terjadi. Ia bersikap seolah-olah pertemuan itu
berjalan lancar. Ia berusaha meyakinkan bahwa apa yang tadi dilakukan Nasiyah sangat cerdas.
“Memang, berumah tangga itu bukan untuk waktu yang sebentar sehingga semuanya harus
dipikirkan serta dipertimbangkan masak-masak. Tindakanmu sungguh tepat, Nas. Meskipun
anak orang miskin, kamu tidak perlu merendahkan diri, menghormat-hormat, hanya untuk
menyenangkan anak orang kaya itu. Dengan begitu, dia pun akan menghargaimu. Kamu betul-
betul pintar. Aku bangga punya keponakan seperti kamu ini.”

Nasiyah menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan sekali. Udara hangat keluar
dari hidungnya, mengalir, berputar-putar di sekitarnya. Lalu, ia menariknya sekali lagi. Dalam,
dalam, dan dalam untuk kemudian disimpannya dalam dada sampai penuh dan menjadi sesak.
Nasiyah hanya diam ketika beberapa hari kemudian Bibi Darto mengabarkan, dua minggu lagi
keluarga Diman akan melamarnya.

Semua seperti berjalan di luar kesadaran Nasiyah. Mimpi. Gadis itu tidak mengerti kenapa ia
begitu saja menganggukkan kepala saat ditanya tentang kesediaannya menjadi istri
Suhardiman. Ia tidak menolak ketika Diman memasukkan cincin ke jari manisnya. Ia pasrah
ketika para orang tua menentukan hari pernikahan.

Udara dalam dada Nasiyah meliuk-liuk kencang, menabrak dinding-dindingnya hingga bergetar
hebat akan retak. Sementara mulutnya seperti terkunci oleh tulang-tulang iga orang tuanya
yang kian mengeras di balik kulit liat pekat dan berlapis keringat. Tonjolan tulang-tulang yang
perlahan keropos itu jelas berkata, “Tak ada keinginan lain dalam hidup ini kecuali melihat
semua anakku bisa hidup bahagia, berkecukupan, serta dihormati orang lain. Biar hanya kami
saja yang remuk redam menghadapi hidup ini, karena kami sudah telanjur bodoh dan miskin. ”

Kebahagiaan. Semua itu demi kebahagiaan. Entah kebahagiaan siapa.

Sebagaimana biasa, sehabis mencuci pakaian, Nasiyah sarapan dengan lahap. Ia yang semula
kedinginan jadi berkeringat kembali. Terdengar suara gaduh Ahmad dari kamar paling belakang.

“Biarkan, dia sedang bersama teman-temannya,” kata Nenek.


Tapi, Nasiyah bergegas ke kamar, melihat Ahmad bersama Danu dan Sarno sedang berlompat-
lompatan di atas pembaringan. Bantal, selimut, kain, dan pakaian berserakan memenuhi
tempat tidur, bahkan ada yang jatuh ke tanah. Mereka tampak asyik sekali dengan kereyotan
bunyi tempat tidur itu.

“Mamad, turun!”

Menyadari kehadiran Nasiyah, ketiga anak itu berhenti dan menengok ke pintu, melihat
Nasiyah berdiri dengan kesal. Kedua teman Ahmad ketakutan, namun Ahmad tampak tidak
peduli. Nasiyah mendekat, menarik adiknya.

“Ayo, keluar!”

Ahmad meronta, sambil berteriak-teriak, tidak mau pergi dari tempat itu. Kedua teman Ahmad
sudah keluar, tapi Ahmad tetap membandel. Karena marah, Nasiyah memukul pantatnya
sehingga Ahmad menangis. Nenek masuk.

“Jangan sakiti adikmu, Nas. Dia tidak tahu apa-apa!”

Nenek membujuk Ahmad. Tapi, anak itu kalau sudah menangis sulit dihentikan. Tanpa putus
asa Nenek terus berusaha agar cucunya itu diam. Nasiyah merapikan kembali tempat tidur yang
berantakan.

“Kalau bermain, jangan di kamar orang tua. Ora ilok (tidak pantas).”

Mendengar komentar Nasiyah, tangis Ahmad kembali meledak.


“Sudah, tidak usah kamu bereskan! Ini tempat tidurku!” kata Nenek. “Apa jadinya kalau aku
mati. Anak ini akan disia-siakan. Mentang-mentang lebih besar, kamu merasa bisa marah-
marah seenaknya. Oalah, Nas, kamu yang bersikap tidak pantas. Kamu ini perempuan, bakal
jadi ibu, tidak pantas berbuat seperti itu. Perempuan itu harus sabar, lembut, penuh perasaan.”

Nenek berhasil membujuk Ahmad agar tidak menangis lagi dengan permainan yang
menyenangkan.

“Sekarang kita main jaran-jaranan (kuda-kudaan), yuk! Nenek jadi kudanya, kamu yang
menunggang.”

Nenek berjongkok. Anak kecil itu ditarik ke punggungnya. Nenek berjalan membungkuk-
bungkuk, sambil menembang. Ahmad terkekeh-kekeh. Ia berjingkrakan di punggung Nenek dan
memintanya mengulanginya berkali-kali. Nasiyah menghentikan permainan dan menyuruhnya
turun. Ia takut Nenek tak kuat dan Ahmad terjatuh.

“Sudah, tidak apa-apa. Aku masih kuat menggendong cucuku yang ganteng ini, kok.”

Ahmad dibawa masuk lagi ke kamar. Mereka bermain kuda-kudaan di tempat tidur. Nenek
memang sangat menyayangi Ahmad, lebih dari yang lain, karena dialah satu-satunya cucu laki-
laki. Tapi, bukan berarti ia tidak perhatian terhadap cucu-cucunya yang lain. Nenek adalah
perempuan tua yang setia. Meski bukan ibu kandung Emak, Nenek tetap mencurahkan seluruh
cintanya kepada keluarga itu. Seluruh hidupnya telah ia abdikan untuk kebahagiaan anak
semata wayang dan cucu-cucunya. Nenek juga yang paling bahagia ketika Nasiyah dilamar Pak
Guru Diman. Perempuan tua itu bahkan sampai berpuasa selama tujuh hari berturut-turut
untuk mengungkapkan rasa syukurnya. Ia tidak berhenti berdoa agar ia bisa menyaksikan
kelahiran buyut pertamanya kelak.

Permainan itu berhenti. Sepertinya Ahmad tertidur. Tidak lama kemudian Emak pulang dari
pasar. Emak duduk di dipan, membantu Nasiyah membungkusi tempe.
“Tadi mamake (ibunya) Diman ke pasar. Kamu diminta ke sana.”

“Ke rumahnya?”

“Ya. Aku sudah belikan gula dan teh. Nanti kamu juga bawa tempe.”

“Tidak usah, Mak. Paling dia hanya basa-basi.”

“Eh, tidak usah bagaimana? Dia itu calon mertuamu, Nas. Meski cuma basa-basi atau tidak
diminta sekalipun, kamu harus sering ke sana, sebagai sikap menghormati. Kalau kamu malu,
kamu bisa minta tolong Bibi Darto untuk menemani. Nanti biar aku yang ngomong pada
bibimu.”

Nasiyah masuk ke kamarnya. Ia tidak langsung berganti baju, melainkan berdiri dekat jendela.
Ia memandangi tanaman ubi kayu yang sudah siap dipanen. Batangnya ramping tinggi,
bercabang dua atau tiga, melengkung membentuk huruf U atau V. Daunnya yang hijau segar
merimbun di atasnya, menaungi tanah kebun yang kelihatan bersih itu.

Khotimah dan Hamidah, dua adiknya yang lain, beserta kawan-kawannya, hampir setiap hari
menggunakan tempat itu untuk bermain pasar-pasaran. Persis seperti masa kanak-kanaknya
dulu. Di tempat itu mereka membuat rumah-rumahan atau gubuk. Tali panjang dari pelepah
pisang yang disambung-sambung, diikatkan dan dihubungkan dari satu pohon ke pohon lain,
membentuk semacam ruangan segi empat, lima, atau enam. Pada tali-tali itu kemudian
diikatkan daun-daun pisang yang disisir sebagai dindingnya.

Satu gubuk biasanya ditempati satu kelompok yang terdiri dari tiga atau empat anak. Dalam
satu kelompok mereka membagi peran sebagai bapak, ibu, dan anak. Mereka adalah satu
keluarga, sedangkan kelompok lain tetangga. Permainan mereka menirukan kegiatan
bermasyarakat. Mereka juga mengadakan kegiatan seperti arisan, berjualan di pasar, atau
menyelenggarakan pesta pernikahan.

Kening Nasiyah berkerut melihat burung-burung ikut tertawa. Ia mundur dari jendela, bergegas
keluar kamar, tapi di pintu sudah berdiri Bibi Darto.

“Kita berangkat sekarang, Nas?”

Nasiyah menarik napas panjang.

“Dulu, aku juga seperti kamu. Deg-degan ketika pertama kali bertemu calon mertua. Bingung,
tidak tahu harus berbuat apa kalau sudah di sana. Tapi, lama-lama terbiasa. Apalagi, Bu Juhari,
ibunya Diman itu, orangnya sangat baik dan ramah. Kamu tidak usah….”

“Maaf, Bi, aku mau ganti baju dulu.”

“Oh, aku keluar dulu. Bibi maklum, kamu masih gadis, pasti malu. Tapi, nanti, kalau sudah
punya anak, kamu tidak akan sungkan-sungkan lagi menyusui di depan orang.”

Nasiyah menarik bibir ke samping, sambil mengangkat bahu. Burung-burung masih tampak
mengusungi rumput-rumput kering ke pohon cengkih. Angin perlahan menerobos jendela,
membawa sinar matahari hangat. Debu basah mulai menggantikan embun. Sehelai daun
cengkih melayang jatuh. Mungkin karena aktivitas burung, mungkin juga karena angin. Atau,
boleh jadi memang sudah saatnya gugur. Warnanya kuning keemasan seperti selendang para
bidadari yang turun mandi ke kali atau bedak lulur di tubuh pengantin menjelang naik
pelaminan.
Nasiyah melangkah ke lemari. Ia buka daunnya dengan hati-hati sebab satu engselnya rusak.
Namun, pintu itu berderit tajam lantas jatuh ke tanah. Nasiyah segera melompat hingga daun
pintu itu tidak menimpa dirinya.

“Ada apa? Ada apa, Nas?”

Perempuan-perempuan di luar kamar itu tergopoh-gopoh masuk.

“Kamu tidak apa-apa?”

Nenek tampak sangat khawatir, memegangi Nasiyah yang duduk di tepi pembaringan, sambil
menahan degup kencang dalam dada. Napasnya turun-naik. Nenek mengelus-elus
punggungnya.

“Biar diperbaiki Bapak nanti. Sekarang kamu siap-siap saja. Kasihan bibimu menunggu terlalu
lama,” kata Emak.

Ketiga perempuan itu kemudian membantu Nasiyah mengangkat daun lemari dan
menyandarkannya ke dinding. Setelah itu Emak dan Nenek keluar. Bibi ingin membantu
memilihkan baju yang akan dipakai keponakannya.

|“Tidak usah, Bi. Terima kasih.”

“Susah, ya, jadi menantu orang kaya. Tapi, Bu Juhari itu baik, kok. Apalagi, kamu anak pintar,
terpelajar. Bibi yakin kamu akan bisa meladeninya. Beliau pasti suka kepadamu karena kamu
rajin, perhatian, penurut.”

“Bi, saya mau ganti pakaian dulu.”


Bibi langsung keluar. Tanpa banyak pertimbangan lagi Nasiyah langsung berganti pakaian,
bersisir sebentar, lalu keluar.

“Kenapa pakai yang itu, Nas? Tapi, tidak apa-apa. Apa pun yang dikenakan, keponakanku ini
tetap cantik.”

“Ayo, kita pergi sekarang, Bi.”

Nasiyah menyambar tas plastik hitam yang sudah sejak tadi disiapkan Emak. Tanpa berkata-
kata lagi, ia bergegas keluar, sementara Bibi Darto masih bercakap-cakap dengan ibunya.

Tapak sandal Nasiyah lekat-lekat di jalan berbatu itu. Debu hangat menghambur lembut. Ia
berhenti, menengok ke pintu rumahnya. Bibi Darto belum juga muncul. Ia menepi di bawah
pohon pisang. Seekor capung melintas di depannya, terbang ke arah persawahan, bersama
capung lain yang berhamburan di atas hamparan hijau tua, yang bergelombang ditiup angin.
Mereka hinggap di atas bunga-bunga kecipir yang tumbuh di pematang sawah. Sebagian masih
melayang-layang, lalu berkepakan ke pucuk bunga jagung.

Bocah-bocah kecil, yang tadi bermain rumah-rumahan, mengucapkan ‘mantra’ untuk


menangkap capung-capung. Di tangan mereka terentang tali dari kulit pohon pisang. Pada
ujung tali tersebut diikatkan seekor capung kecil yang berhasil mereka tangkap. Mereka
memutar-mutar tali itu di udara sambil terus mengucapkan, “Kemalo kemalo kinjeng kebo
setompo.”

Tali mengencang dan putarannya menjadi berat saat seekor capung besar hinggap di ujungnya.
Inilah yang mereka harapkan, menangkap capung-capung besar dengan mudah. Mereka
lakukan hal itu berulang-ulang hingga plastik mereka penuh.
Nasiyah ingin berada di sana bersama kawan-kawannya.

“Kulanuwun (permisi)….”

Sambil menunggu jawaban, Nasiyah menengok ke atap teras rumah itu. Seekor burung derkuku
sedang naik-turun di dalam sangkar. Sesekali ia melompat-lompat ke samping, mencakar-cakar
jeruji, seakan mau keluar. Berkali-kali ia menekukur, menjawab salam mereka, dan
mempersilakan masuk. Tampaknya, ia ingin terbang, memanggil tuan rumah.

“Kulanuwun ….” Suara Bi Darto yang cempreng itu meninggi.

Sepi.

“Coba, lewat belakang,” kata seorang tetangga yang sejak tadi memerhatikan keduanya.
“Mungkin sedang di dapur.”

Keduanya siap beranjak meninggalkan depan pintu itu ketika terdengar langkah kaki dari dalam,
mendekat ke arah mereka.

“Oh, silakan, Yu (panggilan kepada wanita yang lebih tua).”

“Saya Yu Darto, Bu. Adiknya Kang Karto. Saya bibinya Nasiyah. Saya mengantar Nasiyah.
Katanya, dia ingin menemui calon mertua, tapi tidak berani sendiri. Maklum, Bu, dia memang
pemalu.”

“O, begitu. Ayo, silakan masuk.”


“Terima kasih, Bu. “Ini ada titipan dari emaknya Nasiyah.”

Bibi Darto menyikut Nasiyah, mengisyaratkan kepadanya agar memberikan bungkusan plastik
di tangannya.

“Ah, kok, repot-repot.”

“Tidak, kok, Bu. Hanya tempe dan gula.”

“Terima kasih. Ayo, silakan duduk. Saya tinggal sebentar, ya?”

Nasiyah memerhatikan dengan ekor matanya. Ia biarkan bibinya mengamati penampilan Bu


Juhari dari belakang. Tapi, perhatiannya tertuju pada sanggul jatuh yang rapi itu, sepasang
giwang di telinga, dan kalung emas yang memantulkan sinar seperti bintang. Baju berwarna
putih gading itu berkelebat, menyibakkan betis mulus dengan tumit halus, tanpa garis-garis
pecah cokelat tua, seperti pada kaki Bibi Darto. Kemudian sosok itu hilang di balik gorden pintu.

“Benar kan, calon mertuamu itu sangat baik?”

Nasiyah melenguh lirih. Ia mulai gelisah di kursi empuk itu. Matanya ragu-ragu menyapu
seluruh ruangan. Di depannya ada meja kaca bertaplak mungil, di atasnya vas keramik dengan
mawar plastik merah tua. Di bawahnya tersusun rapi beberapa majalah. Lantai semen itu hitam
mengilap, seolah tak sebutir debu pun melekat di sana. Ada lemari yang memajang piring,
gelas, dan hiasan keramik lainnya. Tiga bingkai foto berderet sejajar berisi gambar seluruh
anggota keluarga.

“Sebentar lagi kamu akan tinggal di sini, Nas.”


Gadis itu mendesah. Angin dari luar menembus pori-pori. Gorden-gorden jendela berkelebat.
Desisnya merebak jauh ke dalam perasaan. Nasiyah melirik Bibi Darto. Perempuan itu masih
memandangi ruang tamu itu, sambil bergumam tidak jelas.

“Kita jangan lama-lama, ya, Bi?”

“Kamu tidak boleh begitu, Nas. Diman kan belum pulang.”

“Tapi, Bi….”

Bu Juhari muncul.

“Maaf, agak lama, soalnya tadi saya belum selesai menjemur pakaian.”

“Tidak apa-apa, Bu. Maaf, jadi merepotkan.”

“Ah, tidak. Sesibuk-sibuknya saya, paling, ya, mencuci, memasak, membersihkan rumah.

Keduanya tertawa ringan.

“Silakan minum. Ayo, kuenya juga dicicipi. Buatan sendiri, lho.”

Bi Darto minum dan mencicipi kue itu dengan semangat.

“Hmm, enak sekali. Ayo, Nas, jangan malu-malu. Wah, Bu Juhari ini memang terampil. Jarang,
lho, ada orang yang bisa membuat kue seenak ini. Kue pasar sering tidak jelas rasanya.
Makanya, Bapak dan anak-anak lebih suka dibelikan getuk. Tapi, kue buatan Bu Juhari ini betul-
betul enak. Nanti kamu bisa minta diajari, Nas.”

Nasiyah beringsut, mengambil sepotong, lalu digigitnya sedikit-sedikit. Meski makan dengan
hati-hati, remahan kue tetap berjatuhan. Ia jadi salah tingkah. Ekor matanya mencari-cari sapu.
Ah, mana mungkin ada benda tergeletak sembarangan di ruang seperti ini? Nasiyah lalu
menggeser-geserkan kakinya, menyembunyikan remah-remah itu, sehingga tidak bisa
konsentrasi mendengarkan percakapan Bibi Darto dan Bu Juhari. Nasiyah tidak begitu paham
topik pembicaraan yang membuat mereka sangat asyik dan kelihatan akrab.

Bu Juhari mengajak kedua tamunya ke ruang makan. Tanpa basa-basi Bibi Darto mengajak
Nasiyah mengikuti Bu Juhari ke dalam.

“Ayo, silakan. Kebetulan, saya baru saja makan.”

Bibi Darto mengambil nasi satu centong penuh, sayur lodeh, sepotong telur dadar, dan sambal
tomat. Nasiyah mengikutinya dengan canggung, dan ia hanya mengambil sedikit saja.

Nasiyah melirik bibinya yang berdecap kepedasan, tetapi masih sempat berkomentar dan
memuji kepandaian Bu Juhari dalam memasak. Nasiyah akhirnya dapat menghabiskan makanan
di piringnya. Bibi Darto lalu membimbingnya untuk mencuci piring di sumur. Nasiyah agak
kebingungan menggunakan pompa air. Tapi, ia berusaha menyembunyikan perasaannya dan
mencoba sampai berhasil.

Setelah semuanya beres, Nasiyah dan Bibi Darto kembali ke ruang tamu, bercakap-cakap
dengan Bu Juhari hingga Pak Juhari pulang dari kantor, dan kemudian Diman.

“Bibi, Nas, sudah lama?”

“Sudah lama, Mas. Baru pulang kerja?”


Setelah berbasa-basi sebentar, Diman minta izin untuk salat dan menemani bapaknya makan
siang. Bibi Darto dan Nasiyah ditemani lagi oleh Bu Juhari, meneruskan obrolan. Tak lama Bibi
Darto minta diri.

“Nas, Bibi pulang sekarang, ya?”

“Saya juga, Bi.”

“Kamu nanti saja, diantar Mas Diman.”

Bu Juhari menyuruh Diman mengantarkan Bibi Darto dengan sepeda motornya, tetapi Bibi
Darto menolak.

“Saya mau jalan kaki saja. Sudah biasa, kok.”

“Biar cepat sampai dan tidak kepanasan.”

“Terima kasih, Bu. Saya mau mampir ke warung dulu. Permisi.”

Bu Juhari dan suaminya mengantar Bibi Darto sampai ke teras. Di ruang itu tinggal Nasiyah
berdua dengan Diman. Mereka saling diam. Nasiyah mengambil majalah dari bawah meja,
dikipas-kipaskannya ke wajah.

“Panas, ya?”
Bapak Nasiyah memiliki empat saudara kandung. Semuanya perempuan. Kakaknya biasa
dipanggil Uwak Sarnawi dan Uwak Kusnen, sedangkan adiknya Bibi Darto dan Bibi Juned. Suami
Bibi Juned adalah kakak ipar Pak Martowi, orang terkaya di desa itu.

Suatu malam, Paman Juned datang bersama Pak Martowi dan istrinya. Hal yang belum pernah
dilakukan sebelumnya. Sebab, meskipun kaya, mantri kesehatan itu terkenal pelit dan kurang
ramah. Apalagi istrinya.

“Rupanya, ada tamu agung,” sambut Karto, bapak Nasiyah. “Tentunya, ada sesuatu yang sangat
penting.”

“Begini, Kang Karto,” kata Pak Martowi penuh tata krama yang halus. “Pertama, kami ke sini
untuk silaturahmi. Kedua, saya bermaksud mengundang Kang Karto sekeluarga untuk
menghadiri pengajian besok, malam Jumat.”

“Untuk acara apa itu, Pak Mantri?”

“Ini maksud saya yang ketiga, Kang Karto. Saya bermaksud meminta doa dan restu dari Kang
Karto sekeluarga.

Saya punya hajatan, mau ikut pilkades.”

“Oh, kalau begitu saya ucapkan selamat, Pak Mantri. Semoga keinginan Pak Mantri terkabul.”

“Terima kasih, Kang Karto. Ini ada sedikit uang buat Kang Karto.”

“Terima kasih. Tapi, maaf, saya tidak bisa menerimanya.”


“Terima saja, Kang Karto. Barangkali, bisa buat tambah-tambah beli sembako.”

“Tidak usah, tidak usah, Pak….”

Tapi, Pak Mantri sudah memasukkan amplop itu ke dalam saku bapak Nasiyah dan kemudian
mereka berpamitan. Bapak Nasiyah masuk kamar dan menyimpan amplop itu di bawah
tumpukan baju.

Keesokan malamnya, Paman Juned datang sendiri. Ia bermaksud menjemput bapak Nasiyah
untuk menghadiri pengajian di rumah Pak Mantri. Tapi, bapak Nasiyah tengah sibuk dengan
panen kelapa. Memakluminya, Paman Juned pun pergi sendiri. Sebelum pergi, ia
menyampaikan, Pak Mantri telah menghitung 31 suara. Sebelas dari pihak bapak Nasiyah dan
dua puluh dari pihak emak Nasiyah.

Emak Nasiyah, yang baru saja menidurkan Ahmad, keluar.

“Lho, Bapak tidak pergi?”

Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk.

“Tolong, bukakan pintu, Mak.”

Emak segera memenuhi permintaan suaminya.

“Nak Diman, silakan masuk.”


“Bapak ada, Mak?”

Emak mengangguk.

Diman datang bersama kakak iparnya yang paling tua, Pak Muroji, pemilik satu-satunya
penggilingan padi di desa itu. Dia adalah salah satu dari tiga calon kepala desa, yang
pemilihannya akan dilaksanakan pertengahan bulan depan. Mereka hanya 15 menit di rumah
Nasiyah, lalu pamit untuk mengunjungi rumah saudara-saudara yang lain.

“Lalu, kita harus bagaimana, Pak?”

Lelaki itu tidak menjawab. Ia meneruskan pekerjaannya. Ada Nasiyah di sebelahnya. Beberapa
saat orang-orang di dapur itu saling diam. Hanya ada bunyi derit sabut kelapa, detak batok
kelapa yang dipecah, diikuti gemercik air dalam ember, serta biji-biji kelapa yang dilemparkan
ke tumpukannya.

“Kamu diminta datang ke rumah Bu Muroji hari Sabtu,” kata Emak. “Itu, kakaknya Diman. Ia
mau mengadakan pengajian.”

“Saya harus ke sana?”

“Datang saja kalau kamu mau.”

Hari Sabtu Nasiyah tetap di rumah. Malamnya, Diman datang, menjemput Nasiyah, untuk
bersama-sama pergi ke rumah Pak Muroji. Namun, keesokan harinya terdengar desas-desus
bahwa keluarga Nasiyah memihak Pak Muroji. Kabar ini membuat Paman Juned kecewa dan
kemudian mendatangi kakak iparnya itu.
“Saya mengerti posisi Kang Karto. Tapi….”

“Saya juga mengerti posisimu. Tapi….”

Hasil penjualan kopra kali ini lebih besar dibanding sebelumnya. Bapak menganggap ini adalah
rezeki Nasiyah. Sejak memetik kelapa, ia sudah berniat menggunakan uangnya untuk
pernikahan Nasiyah. Karenanya, Bapak segera membeli ranjang, lemari, dan bahan pakaian
untuk Nasiyah dan calon suaminya. Ia juga berencana memperbaiki dinding dan pintu kamar
Nasiyah yang rusak, serta mengapur rumah.

Untuk keperluan itu, Bapak menjual pohon sengon kepada Narto Gepeng. Karena, menurut
informasi Bibi Juned, ia memang sedang membutuhkan kayu untuk memperbaiki rumah.
Namun, proses jual-beli itu kemudian mendatangkan masalah bagi keluarga Nasiyah. Beberapa
hari kemudian terdengar kabar bahwa Bapak menerima uang pengikat dari Pak Mantri lewat
Narto Gepeng.

Kalau sekadar kabar itu saja, mungkin keluarga Nasiyah masih bisa bersabar. Tapi, kabar itu
membuat keluarga Pak Muroji panas hingga meminta agar perkawinan Nasiyah dengan Diman
dibatalkan.

Mendengar hal itu, Bibi Darto tidak terima. Perempuan itu marah-marah dan menuduh bahwa
biang keladinya adalah keluarga Paman Juned. Menerima tuduhan itu, keluarga Paman Juned
jadi tak terima. Lalu, terjadilah perselisihan dalam keluarga besar bapak Nasiyah.

Menghadapi semua itu Nasiyah tidak bisa berkata apa-apa. Ia biarkan orang-orang
membicarakannya. Semua memperbincangkan kabar tersebut dengan semangat dan tambahan
cerita yang bertele-tele, berputar-putar, hingga tak tertemukan lagi ujung pangkalnya.
Nasiyah diam. Ia lebih memilih mendengarkan kicau burung yang tulus dan selalu jujur.
Pikirannya kembali mengelana.

Plung! Sebuah kedondong jatuh ke dalam kolam. Seorang gadis kecil dan bocah lelaki berlarian
dan sama-sama menceburkan diri ke dalam kolam. Telapak kaki mereka meraba-raba dasar
kolam, berebutan mencari kedondong. Air membasahi wajah dan pakaian mereka. Namun,
keduanya terus mencari. Tiba-tiba bocah lelaki itu bersorak kegirangan, tatkala telapak kakinya
menyundul benda bulat halus sebesar telur. Ia membungkuk hingga seluruh badannya
tenggelam di bawah air. Ketika benda itu diangkat ke permukaan ternyata hanya sebuah batu.
Ia menggerutu dan mengumpat.

Mereka pun meneruskan pencariannya. Kini gadis kecil itu yang berseru gembira. Bocah lelaki
merasa kalah dan direbutnya buah itu. Gadis kecil tidak terima. Di dalam kolam ia mengejar
bocah lelaki itu, sambil berteriak-teriak, minta agar miliknya dikembalikan. Tapi, si bocah lelaki
terus mengelak, sambil menggodanya. Dan, gadis kecil itu kemudian menangis.

Mendengar keributan, pemilik pohon kedondong keluar, sambil marah-marah. Kedua bocah
kecil itu melompat dari kolam. Gadis kecil yang kesulitan naik dibantu oleh bocah lelaki.
Kemudian, mereka berlari dan sembunyi di balik rumpun bambu. Setelah tak terdengar lagi
suara, bocah lelaki mengeluarkan kedondong dari kantong celananya. Dengan batu ia pecahkan
buah itu, dibagi dua. Sebagian diberikan kepada gadis kecil, sebagian lagi ia makan.

Tidak lama kemudian muncul seorang bocah lelaki lain. Melihat keduanya berada di situ, ia
mengejek, “Ih, pacaran… Kecil-kecil sudah pacaran!” Gadis kecil kembali menangis. Bocah lelaki
mengejar dan langsung menghajar anak lelaki itu. Mereka berkelahi. Untung ada orang yang
datang dan segera melerainya.

Gadis kecil itu adalah Nasiyah dan bocah lelaki itulah Pomo. Mereka berteman akrab sejak kecil.
Pomo memang nakal dan senang menggoda Nasiyah. Tapi, ia akan membela Nasiyah jika ada
yang mengganggunya.
Mereka hampir tidak pernah berangkat sekolah ataupun mengerjakan PR sendiri-sendiri. Untuk
bermain pun Pomo mau menunggu Nasiyah selesai membantu Emak. Tidak terasa, waktu
begitu cepat berlalu, meninggalkan masa keceriaan mereka. Setamat SMP, Pomo diajak
kakaknya bekerja di Jakarta. Nasiyah ditinggal bersama seruling yang dulu selalu ditiup Pomo,
ketika menggembalakan kambing-kambingnya.

Angin sore meniup rambut Nasiyah. Sekawanan burung berjajar rapi di bawah lengkung langit
yang mulai menjingga. Mereka berputaran di antara gerumbul awan putih keperakan, kuning
keemasan, dan abu-abu. Awan itu tertatih-tatih mengarak bulan separuh yang masih pucat
pasi.

Seruling itu mulai mengalunkan melodi lagu yang pertama kali diajarkan Pomo kepada Nasiyah.
Alunan nikmat seruling itu terhenti ketika terdengar suara beduk ditabuh. Masih memegang
seruling, pandangan Nasiyah

tertuju pada semut-semut yang berderet panjang di dinding rumahnya. Semut itu lalu-lalang
dengan teratur, berpapasan, berhenti sejenak, bersentuhan dengan semut-semut lain yang
dijumpainya. Di bagian lain tampak segerombol semut beramai-ramai mengusung sebutir
remah gula. Seketika menggulir air mata di pipi gadis belia itu.

“Nas, sudah hampir malam. Tutup jendelanya!

Supomo pulang dari Jakarta. Nasiyah yang pertama kali bertemu dengannya. Pagi-pagi, ketika ia
pulang dari pasar. Mula-mula Nasiyah terkejut waktu disapa dari belakang. Ia menoleh. Tampak
sesosok pemuda tinggi jangkung berambut sedikit gondrong. Lelaki itu mengenakan celana
jeans biru pudar, kaus oblong putih tertutup jaket, dan topi hitam menutup kepalanya.

“Pomo?” Pemuda itu tersenyum.

“Ah, mentang-mentang hidup di kota, semuanya berubah.”


Pomo tertawa ringan. Selanjutnya, mereka saling menceritakan keadaan masing-masing.
Sesekali mereka berhenti berjalan, saat berpapasan dengan orang-orang. Sebagian dari mereka
terkejut oleh kedatangan Pomo. Mereka meminta agar Pomo main ke rumahnya, berjanji akan
membuatkan sayur pare, kesukaannya. Kepada beberapa lelaki, Pomo berjanji bertemu di
gardu ronda.

“Apakah kamu masih suka belajar meniup seruling?”

Nasiyah jengah. “Ada beberapa not lagu yang sudah lupa.”

Jalanan menurun, agak gelap, dan lembap. Kanan-kirinya lebih tinggi, seperti dua dinding.
Lumut tampak licin di sela tumbuhan paku kecil-kecil. Di atasnya deretan rumpun bambu
merimbun, membuat jalan itu gelap seperti lorong. Angin bertiup sehingga pohon meliuk-liuk,
daunnya bergesekan mencipratkan butir-butir air sisa hujan semalam, batangnya berkelotak.

“Katanya, kamu mau menikah?”

Nasiyah mengusap keringat. Seberkas cahaya matahari menerobos daun-daun bambu, jatuh ke
jari-jarinya, dan memantul lewat cincinnya. Mereka sampai di jalan yang lebih kering. Ada parit
dalam di sisi kanan. Di kirinya ada kebun salak yang baru berbunga. Jalan yang mereka lalui
berbatu. Semak-semak merimbun rendah. Nasiyah mempercepat langkahnya, menuruni jalan
setapak berbatu. Jembatan kayu itu bergoyang dan derit tambang besi itu menjadi riuh oleh
tapak kaki Nasiyah. Ia tak ingin menjawab pertanyaan Pomo.

Nasiyah mengempaskan tubuhnya di ranjang. Malam ini ia berjanji menemui Pomo di rumah
Sukati. Ia hanya ingin mengucapkan selamat jalan kepada Pomo yang akan kembali ke Jakarta
besok sore. Ia ingin diajari lagi beberapa not lagu yang terlupa. Sejenak ia ingin membuka
kembali kenangan-kenangan mereka.
Siang itu, Nasiyah, Pomo, dan tiga temannya berjalan pulang bersama. Mereka sengaja merapat
ke bawah pepohonan agar sedikit sejuk. Canda dan tawa tak henti-henti mengiringi langkah
mereka. Nasiyah melihat seekor ulat di atas daun bougenvil. Seketika muncul sebuah ide di
benaknya. Diam-diam ia mengajak Sukati memetik daun berulat itu, lalu membungkusnya
dengan kertas. Ia memanggil Pomo hingga Pomo berjalan beriringan dengannya.

“Kamu mau ndak aku kasih hadiah?”

“Tentu. Masa diberi hadiah ndak mau?”

Nasiyah memberikan bungkusan kertas bertuliskan: special for Pomo, lalu berlari mengejar
ketiga temannya. Ia berharap, setelah itu Pomo akan mengejarnya, lalu memukulinya dengan
gemas. Tapi, lama sekali hal itu tidak kunjung terjadi. Nasiyah menengok ke belakang dan
menjerit. Pomo jatuh tertelungkup di tepi jalan.

“Dia pingsan.”

“Kamu tadi kan baru jalan sama dia.”

Nasiyah tidak menjawab. Ia hanya memandangi kertas itu tergeletak di dekat tangan Pomo.
Ulatnya menyusur-nyusur ke tepi. Kedua teman lelaki Nasiyah saling pandang, lalu mengatakan
bahwa hal yang paling ditakuti Pomo adalah ulat. Mereka tidak sempat tertawa melihat
keadaan Pomo.

Di sekitar mereka hanya ada hamparan sawah. Rumah penduduk terlihat kecil di kejauhan,
tersembunyi di balik pohon-pohon kelapa. Mereka membuka pakaian Pomo, memberikan bau-
bauan dedaunan. Pomo siuman. Tawa yang mereka tahan pun meledak.
Beduk isya sudah ditabuh. Nasiyah masih membolak-balikkan tubuhnya di ranjang. Berbagai
bayangan muncul. Sebentar lagi Pomo turun dari langgar. Ia pasti bergegas ke rumah Sukati dan
menunggunya. Pomo terus menunggu, menunggu, dan menunggu, hingga akhirnya harus
pulang.

Bukan maksud Nasiyah mempermainkan pemuda itu. Ia betul-betul ibarat burung, hanya bisa
melompat dan mencakari jejari sangkar. Ia tidak bisa berceloteh. Ia tidak mengerti politik yang
membakar desanya. Ia harus diam di dalam sangkarnya, jika ingin selamat.

Pertemuannya dengan Pomo pagi itu telah dijadikan cerita baru. Diceritakan, sebelum
bertunangan dengan Diman, Nasiyah berpacaran dengan kemenakan Pak Martowi itu. Bahkan,
sampai sekarang mereka belum putus. Nasiyah dan Pomo masih berhubungan diam-diam.
Kesediaannya menerima lamaran Diman hanyalah taktik yang digunakan Pomo untuk
merongrong kekayaan keluarga Diman. Jika rencana itu berhasil, mereka akan menikah.

“Itu tidak benar. Fitnah!” emak Nasiyah berujar.

“Tapi, ini sudah sangat keterlaluan, Kang. Bagaimana kalau pernikahan itu betul-betul
dibatalkan? Kita kan malu, Pak.”

“Kenapa malu? Mati, rezeki, dan jodoh ada di tangan Tuhan.”

“Lalu, kita harus bagaimana, Kang? Diam saja? Terus menerima, meski harga diri kita mereka
injak-injak? Mentang-mentang kaya, mereka bisa sewenang-wenang terhadap orang melarat
seperti kita.”

“Yang paling tepat untuk saat sekarang adalah diam. Kalau salah omong bisa-bisa kita
dimanfaatkan oleh orang-orang.”
Binatang malam sayup-sayup mulai mendendangkan orkestra. Jengkrik mengerik dari liang kecil
di tepi kolam, cericit kelelawar mencari makan, semua berpadu menjadi simfoni alam.

Terdengar juga suara gaduh anak-anak turun dari langgar. Beberapa saat kemudian pintu
kamarnya digedor Ahmad, yang minta tidur di kamarnya. Malam itu Ahmad tidak cerewet.
Setelah didekap dan diusap-usap kepalanya, bocah kecil itu langsung tidur.

Sepi melayangkan ingatan Nasiyah pada malam rundingan pernikahannya. Mula-mula para
tetua menghitung hari lahir kedua calon pengantin. Nasiyah lahir Sabtu Kliwon, Diman Minggu
Pahing. Dalam Primbon Jawa, gabungan angka mereka menunjukkan Gedhong Rembulan.
Maknanya, keduanya bisa cepat kaya, tetapi sering tertipu. Mereka berhenti sejenak. Tidak
lama kemudian mereka menghitung kemungkinan perjodohan dengan cara lain. Yang didapat
adalah angka 5, yang menunjukkan Candra Pedaringan Kebak. Artinya, mereka selalu
berkecukupan dan bisa menjadi pelindung.

Mereka lalu menyimpulkan, kelak pasangan ini tidak kekurangan dalam masalah harta. Tapi,
keduanya harus hati-hati karena akan sering menghadapi rongrongan dari pihak-pihak lain.
Masalah ini akan bisa mereka hadapi, jika mampu bersikap bijaksana dan suka menolong orang
lain.

Para tetua itu lalu merundingkan hari pernikahan mereka. Diputuskan, hari akad nikah adalah
Kamis Pahing tanggal 24 Jumadilakir. Dan, karena berbagai persoalan yang timbul akhir-akhir
ini, hari yang telah disepakati itu akan dibatalkan. Begitu menurut orang-orang.

Perlahan Nasiyah bangkit, melompati tubuh adiknya, lalu turun dari ranjang. Ia beranjak
perlahan ke dekat jendela. Tapi, ia tak mungkin membuka daunnya untuk menyaksikan
peristiwa yang terjadi di luar. Ia raih sebatang seruling yang terselip di palang-palang dinding
dekat jendela. Ia timang-timang, dicobanya tanpa suara. Jemarinya menari-nari di atas lubang-
lubang, menyusun nada. Ia tersentak ketika sayup terdengar nada-nada itu ditiup di kejauhan.
Malam Minggu ada pertunjukan layar tancap di lapangan desa. Dalam perjalanan pulang dari
pasar, Nasiyah sudah melihat keramaian. Diman tampak di tengah keramaian itu. Setelah saling
menyapa, mereka berjalan beriringan.

“Ada salam dari Pomo. Sebelum pergi, aku tidur bersamanya di langgar. Ia minta maaf karena
tak bisa hadir di hari pernikahan kita.”

Nasiyah menoleh, menatap pemuda yang melangkah tenang di sebelahnya. Hanya sesaat.

“Pomo memang hebat. Baru setengah tahun bekerja sudah dipercaya jadi mandor. Sekarang,
gajinya lebih besar dari kakaknya.”

Mereka lalu berpisah di persimpangan. Nasiyah mempercepat langkahnya.

Nasiyah dikejutkan oleh tangis Hamidah. Buru-buru ia melompat dari tempat tidur,
membereskan selimut dan bantal, lalu membuka jendela. Astaga! Matahari sudah merayap di
sela pohonan. Cepat-cepat ia keluar, sembari menyambar karet dan mengikat rambutnya.

Nasiyah masuk ke dapur. Munaroh dan Kholidah sedang memasak sesuatu. Aromanya menusuk
hidung. Rupanya, Munaroh sedang menggoreng nasi jagung dan Kholidah tampak sibuk
membakar dua potong tempe. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Peralatan dapur
tergantung rapi di tempatnya masing-masing.

“Kalian yang membereskan semua?”

“Nenek.”

Pada saat itu masuk Nenek dengan terbungkuk-bungkuk, sambil menembang.


“Kenapa saya tidak dibangunkan, Nek?”

“Kamu terlalu lelah setelah bekerja seharian kemarin.”

“Tapi, Nenek kan....”

“Apa kerja nenekmu ini kurang beres? Kurang bersih?”

Aduh, bukan itu maksudku, Nek, gerutu Nasiyah dalam hati. Ia meninggalkan dapur,
membereskan baju-baju kotor, lalu pergi ke sungai. Di sana orang-orang sudah ramai. Anak-
anak mandi, ibu-ibu mencuci, gadis-gadis cekikikan. Semua ribut bercerita.

Pembicaraan mereka sampai pada cerita tentang pencurian. Dalam satu malam ada dua rumah
kemasukan maling. Dua ekor kambing Pak Masrum lenyap. Pak Muroji kehilangan tiga barang
sekaligus, yaitu jam dinding, radio transistor, dan televisi. Ada yang menduga pencurinya Narto
Gepeng dan Sarno Gentho. Tapi, mereka tidak bisa membuktikan, sebab tidak ada saksi yang
melihat secara langsung. Mereka hanya menghubung-hubungkan peristiwa satu dengan yang
lain. Sarno Gentho baru saja kalah judi, sedangkan Narto Gepeng pernah sesumbar akan
membelikan anaknya sepeda jengki.

Mengenai Pak Muroji, ada sebagian yang tak bersimpati. Orang kaya pelit memang harus
dibegitukan supaya hartanya bisa sedikit disedekahkan kepada orang miskin. Kehilangan sedikit
tidak ada artinya bagi dia. Toh, sebentar lagi dia pasti sudah bisa membeli yang baru.

Satu per satu orang-orang itu menyelesaikan pekerjaannya. Ada yang langsung pulang, ada
yang menunggu temannya. Ketika satu dua orang pergi, ada saja yang datang. Keramaian tidak
kunjung mereda hingga matahari mulai menyengat tubuh mereka.
Semalaman burung gagak tak henti berbunyi. Anjing meraung-raung di ujung jalan kampung.
Tampak orang berlarian ke rumah Pomo. Kaki Jikun, bapak Pomo, meninggal. Kabarnya, Kaki
Jikun sudah lama menderita tifus, malaria, dan tekanan darah tinggi. Seminggu terakhir, ia
sudah tak bisa diajak bicara dan sering pingsan.

Ratap tangis memenuhi rumah berdinding anyaman bambu itu. Para tetangga sibuk mengambil
air, menyiapkan kain kafan. Trimo, kakak Pomo yang baru tiba, langsung disambut dan dipeluk.
Meja panjang sudah dipasang di halaman. Ember-ember penuh air sabun dan air bunga. Enam
orang merentangkan kain di atasnya.

Nini Jikun dan enam anaknya memandikan jenazah. Setelah itu, jenazah diletakkan di atas meja
panjang. Orang-orang mulai berdatangan. Jenazah diangkat ke dalam keranda, meski Pomo
belum datang.

Selepas zuhur Nasiyah datang ke rumah Nini Jikun untuk membantu, menjamu para pelayat
dan mempersiapkan acara tahlilan. Nini Jikun masih di kamarnya, ditunggui anak-anak dan
menantu perempuannya. Ia kelihatan masih terpukul atas kepergian suaminya.

Pelayat datang dan pergi untuk menyampaikan belasungkawa. Ada yang menanyakan apakah
Pomo sudah dikabari atau belum. Ada juga yang menyarankan agar menyusulnya ke Surabaya.
Tapi, tak seorang pun tahu alamat tempat kerja Pomo. Trimo mengatakan, ia sudah menelepon
bosnya semalam. Jika pesan itu segera disampaikan, siang atau sore ini Pomo akan datang.
Namun, hingga magrib, yang diharapkan tidak juga muncul.

Setelah tahlilan, beberapa orang menggelar daun pisang di tengah-tengah mereka. Nasi
tumpeng beserta lauknya ditumpahkan di atasnya. Air teh dari ceret dituangkan ke gelas-gelas,
lalu dibagikan. Tanpa menggunakan sendok atau garpu, mereka makan sekadarnya. Nasi yang
tidak habis dimakan, dibungkus dengan daun pisang untuk dibawa pulang sebagai berkat.
Beberapa orang masih duduk di ruang tengah ketika tiba-tiba muncul Pomo. Orang-orang
langsung menyongsongnya. Derai air mata dan ratap tangis merebak kembali. Wajah pemuda
itu merah. Ia bersimpuh di pangkuan ibunya sambil tersedu.

Setelah suasana mereda, Nini Jikun membujuk Pomo supaya segera makan. Pemuda itu hanya
minum seteguk teh, lalu masuk kamar. Seseorang mengetuk pintu. Pomo mempersilakan
masuk. Nasiyah masuk untuk mengambil pakaian keponakan Pomo. Sesaat gadis itu tertegun,
lalu tanpa berkata-kata, ia mengaduk-aduk keranjang pakaian.

“Kamu tidur di sini?”

Nasiyah menggeleng.

“Siapa mengantarmu?”

“Bapak.”

Nasiyah keluar. Pomo menarik napas. Ia pun beranjak dari kamar dan bergabung bersama
saudara-saudaranya di ruang depan.

Keesokan harinya Nasiyah tidak datang ke rumah Nini Jikun. Seharian ia membantu bapaknya,
mencabut singkong di ladang Pak Amir. Katanya, Pak Amir akan mengolah singkong menjadi
gaplek. Selain Nasiyah, ada lima perempuan lagi yang menjadi buruh. Setiap dua puluh kg
mereka dibayar dua ribu rupiah, cukup untuk membeli setengah kg beras atau satu kg jagung.

Selain itu, mereka diberi juga beberapa buah singkong dan boleh mengambil daun singkong
sebanyak-banyaknya. Sedangkan batangnya diambil oleh Pak Amir. Sebagian disetek untuk
ditanam kembali dan selebihnya dijadikan kayu bakar. Orang-orang yang bekerja juga boleh
memintanya.
Perempuan-perempuan itu bekerja dengan cekatan. Mereka harus menguliti singkong-singkong
itu dengan cara menyobek kulitnya sampai bersih. Sambil terus bekerja, seperti biasa, mereka
mengobrol ngalor-ngidul. Dari situ Nasiyah mendengar kasak-kusuk mengenai meninggalnya
Kaki Jikun. Katanya, ia sempat makan sepotong ketan bakar dan segelas kopi di rumah Pak Suro,
tiga hari sebelum jatuh sakit. Menurut mereka, kakek buyut Pak Suro memiliki kekuatan gaib
yang bisa diwariskan kepada keturunannya.

Peristiwa itu kemudian dihubung-hubungkan dengan posisi Pak Suro sebagai kepercayaan
Sumarjo, salah satu calon kepala desa. Pak Suro pernah mendatangi Kaki Jikun dan
membujuknya agar mendukung jagoannya. Tapi, Kaki Jikun menolak. Pak Suro menyimpan rasa
malunya dalam hati. Lalu, pada suatu kesempatan, sepulang dari pasar, ia mengajak Kaki Jikun
mampir. Di rumahnya Kaki Jikun disuguhi sepiring ketan dan segelas kopi kental. Minuman dan
makanan itu katanya paling manjur untuk mengantarkan roh jahat ke tubuh orang yang
memakannya.

Hari itu Emak sengaja tidak membuat tempe. Sepulang dari pasar ia langsung pergi memenuhi
undangan pesta perkawinan. Pekerjaan rumah sudah selesai semua. Seperti biasa, Ahmad
lengket di punggung Nenek. Anak itu dibawa berkeliling di sekitar rumah. Bapak di sawah.
Nasiyah duduk sendiri di ruang depan, sambil menggunting kuku. Pintu diketuk. Seseorang yang
sangat dikenalnya masuk.

“Tidak membungkusi tempe?”

Nasiyah menggeleng.

“Nanti bantu ibuku lagi, ya?”

Nasiyah mengangguk.
Tanpa dipersilakan, Pomo duduk. Beberapa saat hening. Pomo memain-mainkan tangannya di
meja. Nasiyah tetap menggunting kuku.

“Aku mau berangkat nanti sore. Tapi, aku bingung.”

Nasiyah menatapnya. “Kenapa?”

“Tidak ada yang membantu Emak ngangon kambing. Lastri terlalu kecil.”

“Lalu, kamu akan meninggalkan pekerjaanmu di Surabaya itu? Dulu, kamu sudah bisa ngangon
sejak kelas satu SD.”

“Aku kan laki-laki.”

“Memangnya perempuan tidak boleh mandiri sejak kecil?”

“Dia harus sekolah.”

“Membantu orang tua sepulang sekolah tidak membuat anak jadi bodoh.”

Pomo mendesah. Suara gunting di tangan Nasiyah mempertegas keheningan di antara mereka.
Keduanya tidak berbincang. Nasiyah selesai melakukan kegiatannya. Gadis itu kemudian
bangkit dan beranjak ke kamar. Tidak lama kemudian ia keluar. Tangannya menenteng sebuah
topi hitam.

“Kenapa ini ada di tanganmu?” tanya Pomo.


“Pernah kamu pinjamkan kepada siapa?”

Pomo menggeleng. Ia ingin mengucapkan sesuatu, tapi Nasiyah lebih dulu menawari teh. Pomo
menolak. Keduanya sama-sama diam. Dipalingkannya wajah mereka ke luar. Padi sudah mulai
menguning. Sebagian rebah oleh angin selatan. Burung-burung pipit beterbangan di atasnya.
Dulu, pada masa-masa seperti itu, Pomo sering meninggalkan kambing-kambingnya untuk
turun ke sawah. Ia menyusup di antara rumpun itu. Tidak lama kemudian ia sudah keluar,
sambil membawa sarang berisi empat ekor bayi burung kecuit. Semua diserahkan kepada
Nasiyah. Lalu, Nasiyah mencarikan ulat-ulat kecil untuk makanan burung-burung itu. Pomo
meniup seruling, sementara Nasiyah asyik bermain dengan burung-burungnya.

Di rumah, Nasiyah merawat burung-burung itu dengan hati-hati. Nasiyah menaruhnya di dalam
wadah bambu yang diberi alas kain bekas. Tapi, keesokan harinya ia menemukan bayi-bayi
merah itu sudah kaku. Bersama Pomo, ia menguburkannya di kebun belakang.

“Seminggu lagi. Kenapa masih sepi? Atau… atau, aku salah?”

Nasiyah menoleh.

“Kamis depan?”

Nasiyah diam. Pomo menarik napas.

“Sayang, aku sudah tidak bisa ambil cuti lagi.”

Tiba-tiba Ahmad berlari, masuk dari pintu depan. Nenek mengejarnya. Anak itu menghambur
ke pangkuan Nasiyah sambil tertawa-tawa. Pomo ikut tertawa.
“Katanya kamu mau pergi lagi, ya?” tanya Nenek.

Pomo mengangguk.

“Ya, ya. Tak apa-apa. Bekerja itu memang harus sungguh-sungguh. Doakan saja supaya
bapakmu bisa tenang di alam sana. Kewajibanmu sekarang menjaga yang masih hidup, ibumu
dan Lastri. Kerja yang baik, yang teliti, prihatin, dan jangan lupa pada Gusti Allah.”

Sementara itu Ahmad menarik-narik tangan Nasiyah, sambil merengek-rengek minta makan.
Nasiyah membawanya ke belakang. Nenek masih menasihati Supomo. Suara Ahmad terdengar
ribut, minta disuapi. Tapi, ia tidak mau disuruh duduk, bahkan berlari hingga ke depan. Anak itu
berputar-putar di tengah ruangan sehingga Nasiyah kesulitan memasukkan nasi ke dalam
mulutnya. Nasiyah kemudian menjewer telinganya, menyuruh diam.

Tapi, Nenek mengomel, seperti biasa, menasihatinya agar jangan kasar kepada anak-anak. Itu
tidak baik. Apalagi, ia calon ibu. Seorang ibu harus sabar, penuh kasih sayang, telaten, dan tidak
kasar.

Ahmad tetap tidak mau menghabiskan makannya. Ia malah merengek terus, minta digendong.
Nasiyah memerhatikan cahaya mata adiknya. Tampaknya, dia sudah mengantuk. Nasiyah
membawanya ke luar. Tidak lama kemudian si bungsu sudah terlelap dalam gendongannya.
Nasiyah menidurkan adiknya di kamar. Di ruang depan terdengar Nenek berpamitan untuk
membersihkan rumput di halaman. Pomo, yang termangu sendiri, kemudian memanggil
Nasiyah. Gadis itu keluar.

“Mamad sudah nyenyak?”

Nasiyah mengangguk.
“Mau ke mana hari ini?”

“Tidak ke mana-mana.”

“Aku pulang dulu, ya?”

“Ya, nanti aku ke sana.”

Pomo keluar. Baru saja melangkah dari pintu, ia berhenti dan berbalik lagi ke dalam. Ditatapnya
wajah Nasiyah beberapa saat. Bibirnya bergerak-gerak, seperti ingin mengucapkan sesuatu,
tetapi tidak jadi. Ia pun melangkah lagi, sembari mengenakan topinya. Nasiyah menatap
kepergian pemuda itu hingga hilang di kelokan jalan. Nasiyah menutup pintu pelan-pelan, lalu
masuk ke kamar. Tanpa disadari percik hangat mengambang di kelopak matanya.

Pintu belakang berderit. Terdengar suara Hamidah memanggil-manggil Emak. Nasiyah enggan
beranjak. Nenek berseru dari samping rumah, mengatakan bahwa Emak belum pulang.
Hamidah disuruh mengambil sendiri makanan di atas meja. Suara itu perlahan-lahan
menghilang. Nasiyah merasakan sesuatu mengembus wajah, membawanya ke alam luar
kesadaran. Tapi, Emak membangunkannya.

“Banyak tamu di rumah Nini Jikun. Cepat kamu ke sana.”

Nasiyah menggeliat sebentar, lalu bergegas membasuh wajahnya di pancuran. Ia pun pergi ke
rumah Pomo. Di sana Nasiyah segera disibukkan oleh berbagai pekerjaan. Mengantar minuman
kepada para tamu, menata meja makan, mencuci piring. Di dapur, ibu-ibu tidak henti-hentinya
memasak. Mereka harus membuat tumpeng lebih dari biasanya. Ini adalah malam ketiga. Selain
tumpeng yang dihidangkan, mereka juga harus membungkusi berkat suci untuk tahlilan. Ini
sudah menjadi tradisi. Bahkan, di hari ketujuh, biasanya juga diselipkan uang dua ribu rupiah
dalam berkat itu.
Trimo sudah selesai memetik daun pisang. Daun-daun itu dijajar di bawah sinar matahari
sampai layu supaya waktu digunakan untuk membungkus berkat tidak pecah. Nasiyah
kemudian membantu memotongi daun itu dengan ukuran tertentu, sesuai kebutuhan. Trimo
mendekati Nasiyah.

“Tolong, bangunkan Pomo di kamarnya.”

Nasiyah meletakkan lembaran daun-daun itu dan melaksanakan permintaan Trimo. Dengan
hati-hati Nasiyah masuk ke kamar Pomo. Di sana Pomo kelihatan masih sangat lelap. Ia ragu.
Cukup lama ia berdiri mematung di tepi pembaringan. Antara iya dan tidak, akhirnya keluarlah
suara tercekik di kerongkongan.

“Pomo….”

Nasiyah mengulanginya hingga tiga kali, baru pemuda itu tersadar dari tidurnya. Pomo menatap
gadis itu keheranan.

“Hampir asar. Katanya, mau pergi. Trimo sedang siap-siap.”

Nasiyah beranjak, tapi Pomo memanggilnya. Nasiyah tidak bergerak lagi. Ia terpaku di belakang
pintu. Dan, ia tetap diam ketika Pomo memeluk serta mencium pipi kanannya dari belakang.
Gemuruh napas Pomo seperti suara tamu-tamu di luar kamar. Perlahan Pomo melepaskan
pelukannya dan kembali ke tempat tidur. Nasiyah menyusut air matanya, lalu keluar dari kamar
itu.

Nasiyah tidak begitu terkejut ketika kemudian mendengar kasak-kusuk tentang dirinya dan
Pomo. Mereka mengatakan, Pomo dan Nasiyah kembali berpacaran. Menurut cerita mereka,
Pomo diam-diam menemui Nasiyah dan mengemis-ngemis kepada gadis itu agar mau ikut
bersamanya ke Surabaya. Sayangnya, Nasiyah tidak mau, meskipun ia sebenarnya masih
menyukai pemuda yatim itu.

Selepas tujuh hari Nasiyah tidak membantu lagi di rumah Nini Jikun. Ia kembali disibukkan oleh
pekerjaan rumahnya.

Bulan sudah bergeser dari masa purnama. Namun, cahayanya yang putih keperakan masih
cukup segar menyiram pelataran langgar. Anak-anak asyik bermain gobag sodor (gala asin).
Halaman yang cukup luas itu diberi garis-garis dari abu. Satu garis membelah tempat itu
menjadi dua sama luas, tiga garis melintang tegak lurus. Anak-anak itu terbagi dalam dua
kelompok dan kemudian menentukan siapa yang menang dan yang kalah.

Kelompok yang kalah bertugas menjagai garis-garis tersebut dan yang menang berusaha
melewatinya. Jika seorang anak yang melewati garis tersebut dapat disentuh lawan, kelompok
itu gugur dan ganti menjagai garis. Sebaliknya, jika ada satu orang saja yang berhasil menembus
garis belakang dan lolos kembali melewati garis paling depan, kelompok mereka menang.

Nasiyah dan Sukati masih duduk di kursi bambu. Melihat keceriaan anak-anak itu, timbul
keinginan untuk turun dan bergabung bersama mereka. Ah! Masih pantaskah?

Peluh sudah melumuri tubuh-tubuh kecil itu. Tapi, bocah-bocah itu terus berlarian,
menyelundup, berkelit, menerkam, saling mengalahkan. Seorang bocah perempuan menjerit
karena tangan bocah lelaki yang menjagai garis terlalu keras menohok dadanya.

Nasiyah tersenyum. Dulu, ia pernah seperti gadis kecil itu. Ia meringis malu, merasakan sakit
pada buah dadanya yang baru tumbuh. Pomo mendekatinya, meminta maaf. Nasiyah tidak
menjawab. Ia berlari ke kelompoknya yang sudah bersiap menjagai garis. Nasiyah ditempatkan
di garis belakang. Kelompok Pomo menyerang dengan cepat. Pomo, yang badannya kecil, dapat
segera lolos ke garis yang dijagai Nasiyah. Dengan gerak-gerak tipu, Pomo bisa melewatinya.
Bocah lelaki itu tidak segera kembali ke depan. Ia malah duduk-duduk santai pada jarak
setengah meter di belakang garis. Nasiyah berusaha menggapainya, tapi tidak berhasil.
“Masih sakit, Nas?”

Gadis itu menggeleng. Ia tetap bersiaga, berjaga kalau tiba-tiba Pomo bangkit dan menyeruak
masuk. Dan, benar. Saat Nasiyah lengah, Pomo berhasil menerobos wilayah yang dijaganya itu.

Permainan selesai. Anak-anak kelelahan. Mereka duduk-duduk di tepi pelataran, namun tak
seorang pun beranjak pulang. Setelah agak santai, mereka merencanakan permainan baru,
yaitu petak umpet. Ada satu pohon kelapa yang dijagai agar tidak disentuh lawan. Daerah
persembunyian dibatasi, tergantung banyaknya pemain. Jika yang menjaga satu orang, daerah
persembunyian hanya sekitar langgar. Jika dua atau tiga orang, bisa satu wilayah RT.

Dulu, Nasiyah sering berjaga bersama Pomo. Ia disuruh menjagai tempat itu dan Pomo mencari
persembunyian lawannya. Permainan tersebut kadang-kadang bisa berlangsung sangat lama
karena ada yang curang. Nasiyah dan Pomo pernah bersembunyi di kebun yang sangat rimbun.
Mereka mengendap-endap di sana tanpa alas kaki hingga suatu kali telapak kaki Pomo tertusuk
beling. Darah mengucur deras dari sobekan luka itu, tetapi Pomo tidak menangis. Nasiyah
memanggil teman-temannya. Beling berhasil dicabut. Salah seorang memotong pelepah pisang
lalu menempel-nempelkannya pada luka itu hingga darah berhenti.

Permainan dihentikan. Mereka bubar ke rumah masing-masing. Malam beranjak larut. Bulan
masih tergantung jernih di langit tanpa awan. Anak yang menjagai pohon kelapa itu masih
celingak-celinguk mencari kawannya. Ah, masa kecil yang menyenangkan.

Lima orang pemuda datang dan ikut duduk-duduk dekat Nasiyah. Salah satu di antaranya
Diman. Mereka mengajak Nasiyah dan Sukati menonton televisi di rumah Pak Lurah. Di sana
sudah banyak yang menonton. Nasiyah dan kawan-kawan kebagian tempat paling belakang.

Tidak sampai satu jam, Nasiyah mengajak pulang. Diman mengantarkan Nasiyah, yang lain
mengantarkan Sukati. Nasiyah dan Diman berjalan beriringan. Beberapa saat tidak ada yang
membuka percakapan. Perhatian tertuju pada langkah kaki masing-masing.
“Besok pagi teman-teman akan ke waduk. Kamu bisa ikut?”

“Laki-laki semua?”

“Kamu bisa mengajak Sukati dan Medah.”

“Tapi, Emak mengajakku ke pasar.”

Angin berembus dari sawah. Di atas bulan diganggu oleh gerombolan awan kelabu. Di jalan
setapak itu mereka lebih merapat hingga bersentuhan. Perlahan Diman menaikkan tangan
kirinya ke pundak Nasiyah. Gadis itu menunduk. Tidak ada suara kecuali desah napas tertahan.
Tanpa disadari tangan Nasiyah meraih tangan di bahu kirinya dan menurunkannya perlahan.
Lalu, ia bergegas mendahului Diman.

Tapi, sebongkah batu membuatnya tersandung. Diman berhasil memeganginya hingga Nasiyah
tidak terjerembab. Diman memeriksa kaki Nasiyah. Tidak terluka. Mereka berjalan lagi,
beriringan. Tidak ada percakapan hingga sampai ke rumah Nasiyah.

Pemilihan kepala desa dua minggu lagi. Orang-orang sibuk memasang gambar-gambar calon
kepala desa beserta simbolnya. Pak Martowi nomor satu dengan simbol padi. Nomor dua Pak
Sumarjo dengan simbol jagung dan ketiga Pak Muroji dengan simbol singkong.

Suatu malam, bapak Nasiyah kedatangan tiga tamu. Pertama, orang kepercayaan Sumarjo.
Orang itu hanya sebentar, omong-omong dengan suara pelan, lalu menyelipkan amplop ke saku
bapak Nasiyah. Selang beberapa saat, datang paman Diman, yang sawahnya digarap bapak
Nasiyah. Lalu, ketika bapak Nasiyah merebahkan tubuh, pintu diketuk lagi. Paman Juned.
“Ini baru separuh. Kalau jadi, akan ditambah lagi.”

Sebenarnya, semua ditolak secara halus oleh bapak Nasiyah. Tapi, tidak ada yang mau
mengambil apa yang telah diberikan.

“Tidak apa-apa, Kang. Saya percaya pada Kang Karto. Jangan lupa, Kang!” Mereka pun pergi.

Bapak Nasiyah menaruh amplop-amplop itu di bawah tumpukan baju-baju di dalam lemari.

Sejak saat itu, suasana makin panas. Kasak-kusuk terdengar di mana-mana. Orang saling
mengamati, siapa masuk rumah siapa. Gambar apa yang paling banyak dipasang di sekitar
mereka. Lalu, mereka sendiri menghitung secara sembunyi isi amplop yang diterima. Setiap
ditanya ikut siapa, ia akan balik bertanya. Sesama saudara pun saling curiga.

Nasiyah hanya sekali membantu memasak di rumah Pak Muroji. Itu pun karena sudah berkali-
kali diminta oleh Bu Juhari. Selanjutnya, ia selalu beralasan sibuk. Untunglah, Diman berhasil
memberikan penjelasan yang bisa diterima keluarganya. Bibi Juned pun sering membujuknya
untuk membantu di rumah Pak Martowi. Tapi, Nasiyah selalu menolak dengan alasan sama.

Hari itu pun tiba. Tiga calon duduk di tempat yang tinggi dengan gambar simbol di belakangnya.
Sepanjang hari orang datang silih berganti untuk nyoblos. Ada yang sengaja datang dari rumah,
ada juga yang dari pasar atau sawah. Yang sibuk pun sengaja meninggalkan pekerjaannya.
Masing-masing ingin tahu siapa yang memperoleh suara terbanyak.

Selagi kartu dibuka dan dibacakan, orang-orang mengikutinya dengan seksama. Sebelum
magrib, penghitungan suara selesai. Tapi, mereka masih kelihatan tegang, menunggu siapa
yang terpilih. Beberapa yang mencatat sudah bersorak gembira. Ada juga yang merobek-robek
kertas tersebut, lalu mengumpat-umpat. Sebagian hanya tampak pada ekspresi mukanya.
Hasil pun diumumkan. Orang-orang sedikit tercengang karena dugaan mereka meleset.
Perbedaan yang sangat tipis membuat simbol jagung lebih unggul daripada padi. Lalu, keluarga
dan pendukung Pak Muroji maupun Pak Martowi pulang dengan tangis kekecewaan.

Suasana desa sudah cukup tenang. Orang-orang kembali dengan pekerjaan masing-masing.
Padi di sawah rebah, pertanda bulir-bulirnya sudah berisi, warna kuning keemasan mulai
merata. Musim panen akan tiba.

Tapi, sisa-sisa dendam masih terasa. Keluarga Pak Muroji belum menerima kenyataan. Mereka
menganggap pihak Pak Sumarjo curang. Namun, semuanya tidak bisa diubah. Pak Sumarjo
tetap berhak menduduki jabatan kepala desa.

Nama bapak Nasiyah mulai disebut-sebut. Ada yang mengatakan, ia telah berkhianat.
Keluarganya tidak seluruhnya mendukung Pak Muroji. Hanya Nasiyah yang ikut. Yang lainnya
hanya berpura-pura. Kang Karto lebih berat pada Juned, karena telah banyak berutang budi
pada adik iparnya itu. Desas-desus itu menjadi semacam bensin yang ditumpahkan di atas bara
arang kayu. Kabar yang sudah lama terpendam terbakar lagi. Perkawinan itu dibatalkan.

Kali ini tidak main-main. Orang-orang mengatakan, Pak Muroji sendiri yang mengeluarkan
pernyataan tersebut. Pak Muroji sebenarnya tidak pernah menyetujui rencana pernikahan
Nasiyah dan Diman.

Bapak Nasiyah, yang selama ini hanya diam, kini angkat bicara. Ia terhina oleh tuduhan itu. Ia
tidak takut anak gadisnya tidak jadi menikah dengan Diman. Lagi pula, ia tidak pernah meminta
Pak Juhari untuk mengajukan pinangan kepadanya.

Emak Nasiyah menangis. Bibi Darto tidak bisa berkata-kata.

Nasiyah berdiri di jendela kamarnya, memandang burung-burung yang sedang berkicau.


“Apakah orang-orang kecil harus selalu menjadi buah catur bagi orang-orang berharta?”
tanyanya, pelan.

Nasiyah melihat sarang burung di pohon cengkih itu sudah kosong dan burung-burung yang
beterbangan bertambah banyak. Pastilah telur-telur sudah menetas dan kini sudah menjadi
burung-burung.

“Jika aku berasal dari telur dan menetas di pohon cengkih, pasti sekarang aku bisa terbang dan
melompat-lompat di dahan.”

Nasiyah menutup jendela, lalu mengempaskan diri di ranjang. Perih hatinya memandangi
kelambu, serta dinding-dinding yang sudah diganti dan dikapur. Terbayang bapaknya yang
sudah susah payah memanjat pohon kelapa, memetik, dan mengolah kelapa-kelapa itu menjadi
kopra. Kain-kain itu masih tertata rapi di dalam lemari. Rencananya, hari ini akan dibawa ke
tukang jahit. Tapi, mungkinkah rencana itu dilaksanakan?

Ia hanya mau menjunjung nama baik orang tua. Air mata yang mengalir deras di pipinya tidak
lain adalah jelmaan butiran-butiran keringat Bapak dan Emak yang tidak pernah kering,
meskipun tiap hari diperas untuknya dan untuk kelima adiknya. Tapi, apa yang bisa ia lakukan
sekarang?

Api kecil itu berkedip-kedip tertiup angin. Lingkaran cahayanya jatuh di meja. Remang-remang
ruang mempertegas sepi. Binatang-binatang malam mulai memainkan orkes ketika pintu
diketuk dari luar. Nasiyah yang membukakan pintu terkejut bukan main. Tapi, ia segera
mempersilakan tamu-tamu itu masuk. Bapak dan Emak dipanggilnya. Mereka tidak kalah
terkejutnya melihat siapa yang datang.

“Sebelumnya kami minta maaf karena telah mengganggu istirahat Kang Karto. Kami datang
untuk meluruskan keadaan. Begini, kami sekeluarga telah memikirkan masak-masak dan
mengambil keputusan bahwa kami tidak akan menarik kembali ucapan kami. Kita harus
menghormati para tetua yang telah dua kali berunding.”
“Sebelumnya kami juga minta maaf. Bukan berarti kami mengabaikan siapa-siapa, tapi kami
pun menyadari bahwa kami hanya orang kecil.”

“Dalam hal ini tidak ada istilah orang kecil ataupun orang besar, Kang Karto. Sekali lagi, kami,
atas nama keluarga, minta maaf jika telah menyinggung perasaan keluarga Kang Karto.”

Kang Karto terdiam.

“Baiklah, Kang Karto. Sekarang, segala keputusan saya serahkan sepenuhnya kepada Kang Karto
sekeluarga.”

Setelah cukup lama terdiam, akhirnya Kang Karto angkat bicara, “Kesepakatan telah kita buat
bersama. Karena itu, keputusan pun sebaiknya tidak diambil secara sepihak.”

“Kalau demikian, kami ingin menyampaikan bahwa kami akan tetap melangsungkan pernikahan
Nasiyah dan Diman sesuai kesepakatan terakhir.”

Keputusan itu langsung ditentang keras oleh Pak Muroji. Tapi, semua sudah menjadi ketetapan
Pak Juhari dan para tetua keluarganya.

Diman sudah mulai membantu pekerjaan di rumah calon mertuanya, sebagaimana tradisi
masyarakat desa itu. Sepulang kerja, ia ke rumah Nasiyah dan malamnya tidur di situ, sebagai
tanda bahwa ia tidak keberatan menjadi bagian dari keluarga istrinya. Selain itu, dimaksudkan
agar kedua calon pengantin saling mengenal satu sama lain.

Nasiyah sudah mulai melayani Diman, menyediakan dan menemani makan, mencucikan
pakaian, serta menyiapkan segala kebutuhan calon suaminya itu. Hanya satu yang belum berani
ia lakukan, yaitu menemaninya tidur. Setiap Diman menginap, Nasiyah memilih tidur bersama
adik-adiknya.

Seperti halnya calon suaminya, Nasiyah pun harus mulai belajar mengenal keluarga Pak Juhari.
Selain berkenalan dengan saudara-saudara Diman, Nasiyah juga harus bersedia menginap di
rumah calon mertuanya. Meskipun malu, Nasiyah tidak bisa menolak dengan alasan apa pun.

Di rumah itu Nasiyah terpaksa tidur sekamar dengan calon suaminya. Meskipun canggung,
Nasiyah tidak bisa menolak ketika diminta memijiti badan Diman yang kelelahan. Setelah itu, ia
harus membaringkan tubuhnya di samping lelaki yang menjadi sangat asing itu.

Nasiyah berusaha memejamkan mata, tetapi telinganya masih mendengarkan suara-suara di


sekitarnya. Desah napas Diman sangat tajam di telinganya. Lalu, pikirannya ke mana-mana,
membayangkan adik-adiknya yang ramai berebut tempat tidur.

Tengah malam Nasiyah terbangun, merasakan tubuhnya hangat didekap lelaki yang masih lelap
itu. Hati-hati ia melepaskan diri. Diman terbangun.

“Ada apa, Nas?”

“Pukul berapa sekarang?”

Suhardiman menyalakan lampu. “Baru setengah satu. Tidur saja.”

Lama sekali ia termangu di pembaringan, sementara Diman sudah terlelap kembali. Nasiyah
berusaha memejamkan matanya, tetapi sudah terbangun lagi saat kokok ayam pertama. Ia
beranjak turun dan duduk di depan meja. Dipandanginya buku-buku yang tersusun tidak begitu
rapi. Ia mengambil satu, dibuka-buka, sambil sesekali menguap.
Diman terbangun. Lelaki itu tergeragap ketika tidak menjumpai Nasiyah di sisinya. Ia beranjak
dari tempat tidur dan mendapati gadis itu termenung.

“Tidak bisa tidur, Nas?”

Gadis itu tidak menjawab. Ia lalu keluar kamar, menemui Bu Juhari yang sedang menyiapkan
sarapan. Ia menawarkan bantuan. Bu Juhari menerimanya dengan ramah sehingga Nasiyah
mulai merasa nyaman.

Hari itu terasa sangat lama dan menyiksa bagi Nasiyah. Berkali-kali ia teringat rumah. Nenek
mencuci peralatan dapur, Emak membungkusi tempe, adik-adiknya menggantikan
pekerjaannya sepulang sekolah. Semua itu membuatnya ingin pergi diam-diam dari rumah itu.
Tapi, bagaimana kalau nanti ditanya Bapak?

Siang ia lalui dengan berat. Kehadiran Diman tidak begitu menenangkan perasaannya. Nasiyah
masih belum merasa bebas berbicara dengannya dan masih risi oleh sikap-sikap mesra lelaki
itu. Nasiyah ingin minta diantar pulang. Tapi, kata-kata itu tidak bisa keluar dari mulutnya.

Malam datang lagi. Nasiyah kembali diminta memijit Diman, kali ini hanya kakinya. Lelaki itu
kemudian menyuruh Nasiyah duduk di sebelahnya.

“Kamu tidak betah di sini?”

Nasiyah tidak menjawab. Diman menyibakkan anak rambut yang jatuh di kening Nasiyah.

“Lama-kelamaan kamu pasti terbiasa.”


Diman menata bantal, menyisihkan guling ke tepi. Ia meminta Nasiyah berbaring di sebelahnya.
Gadis itu menurut saja. Ia menghela napas. Hening. Detak jarum jam dinding menjadi sangat
jelas. Perlahan sekali Nasiyah merasakan ada tangan yang meraba perutnya, lalu naik ke dada.
Spontan Nasiyah menepiskan tangan itu. Ia berbalik ke dinding, memeluk guling.

“Tidak apa-apa, Nas, kita akan menikah.”

Tangan itu kembali merayap di punggung, turun ke pinggang, juga ke paha. Nasiyah ingin
menjerit, tapi tertahan di dada. Tubuhnya gemetar.

“Nas….”

Nasiyah membalikkan tubuh hingga wajahnya sangat dekat dengan wajah Diman. Sebuah
ciuman di leher membuatnya tersentak dan tahu-tahu lelaki itu sudah menindihnya. Tubuh
Nasiyah menggigil.

“Mas, jangan….”

“Bukankah aku akan jadi suamimu?”

“Tapi, aku takut.”

“Sekarang, besok, kapan pun, sama saja. Kita pasti melakukannya.”

Diman mematikan lampu. Gemuruh napas berpantulan di dinding.

Nasiyah malu kepada burung-burung. Ia selalu memalingkan muka jika mereka memandang ke
arahnya. Nyanyian yang biasanya selalu merdu itu kini bagaikan tamparan keras di pipinya. Ia
juga salah tingkah saat bertemu orang-orang, seolah-olah mereka mengamati langkahnya yang
terasa lain dari biasanya. Bapak dan Emak, tahukah mereka apa yang telah ia alami?

Benar yang dikatakan perempuan-perempuan di kali bahwa seseorang akan merasa canggung
kepada pasangannya setelah pengalaman pertama itu. Demikian juga Nasiyah. Dan, ia mulai
merasakan kerinduan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Deru napas lelaki itu terus
terngiang di telinga, tatapan-tatapan yang tajam dan dalam.

Ah, rasa malu itu tidak bisa ia sembunyikan kepada angin yang selalu menggodanya. Kepada air
pancuran yang merabai seluruh tubuhnya sambil tertawa tergelak-gelak. Rasa perih itu
membuat Nasiyah terdiam.

Serombongan orang, utusan keluarga Pak Juhari, mengantarkan sejumlah bahan mentah, mulai
dari kayu bakar, kelapa kupas, beras, dua ekor kambing, hingga sayuran. Bahan-bahan itu untuk
menyelenggarakan pesta perkawinan.

Masa pingitan tiba. Kedua calon pengantin dilarang bertemu hingga sehari menjelang hari
pernikahan. Pada saat-saat seperti ini Nasiyah sering teringat kembali peristiwa itu. Semua
hadir berulang kali dalam lamunannya. Wajah lelaki yang telah berhasil membuka pintu
kegadisannya, tangan-tangannya yang kekar, aroma keringat…. Ah, keinginan untuk bertemu
makin mencekam. Ia ingin mencengkeram kembali punggung itu serta merasakan sesuatu yang
tak ingin ia gambarkan.

Di sawah orang-orang masih sibuk. Panen sebelumnya ia masih di sana bersama Emak. Masih
jelas terasa terik matahari di tengah sawah, daun-daun padi yang tajam menggores kulit
remajanya, dan keringat mempertegas nyeri. Tetapi, mereka tidak peduli.

Sekarang, Nasiyah masih ingin turun ke sana. Tetapi, saudara-saudaranya tidak mengizinkan
calon pengantin bekerja di sawah.
Ah, anak-anak itu seperti dirinya dulu, senang bergulingan di atas jerami yang sudah
dirontokkan padinya. Tanpa merasa gatal mereka menangkapi capung dan belalang. Mereka
juga membuat gubuk jerami dan suka minta dibelikan es lilin.

Enak sekali menikmati es lilin di tengah sawah, di bawah terik matahari. Ketika itu ia dan Pomo
belum bisa membantu orang tuanya. Mereka hanya bermain-main di sawah. Keduanya
membuat sapu kecil dari batang jerami untuk mengorek lubang-lubang yang berisi ceceran
gabah. Kemudian, gabah-gabah yang bercampur lumpur itu dicuci dan dijemur. Tetapi, penjual
es sudah datang ketika gabah belum kering benar. Pomo nekat menukarkannya dengan es lilin
yang mereka tunggu sejak tadi. Penjualnya tidak mau menerima. Pomo merajuk. Karena
kasihan, gabah itu diterima dan ditukar dengan satu batang es lilin. Ia pun menikmatinya
bersama Nasiyah.

Lamunan itu buyar karena seekor cicak tiba-tiba jatuh menimpanya. Nasiyah lalu bergabung
dengan perempuan-perempuan yang sibuk membantu mempersiapkan hari perkawinannya.
Dari mereka Nasiyah mendengar kabar bahwa Pomo mengalami kecelakaan. Mobil angkutan
barang milik perusahaan yang ia tumpangi bertabrakan dengan sedan. Sopirnya meninggal,
sedangkan Pomo dan dua penumpang sedan luka parah.

Sorenya, Nasiyah menengok Nini Jikun. Perempuan tua itu sudah tersadar dari pingsannya. Ia
terus meratapi anaknya yang malang.

“Oalah, Pomo, jelek sekali nasibmu. Sudah miskin ditabrak orang pula. Kapan kamu bisa hidup
bahagia, Pomo….”

Nasiyah ikut menghibur perempuan, yang sudah sangat dekat dengan keluarganya itu. Tapi, ia
diam-diam menyeka air mata dengan ujung bajunya. Setelah itu, ia menemui Trimo di
kamarnya dan menyatakan ingin ikut menengok Pomo.

“Gila kamu, Nas!”


“Tapi, aku ingin tahu keadaannya.”

“Kemarin dia sadar. Perusahaan sudah mengurus perawatannya.”

Nasiyah tidak bisa lagi menyembunyikan tangisnya.

“Apa kata orang nanti. Kamu sedang dipingit.”

Air mata Nasiyah makin deras.

“Sudahlah, doakan saja dari sini agar keadaan Pomo cepat pulih sehingga bisa bekerja kembali.”

Trimo memberikan sapu tangan untuk menyeka air mata itu. Kesedihan terus menyelimuti hari-
hari Nasiyah. Ia sudah berusaha melupakannya dengan menyibukkan diri di dapur.

Kesibukan di rumah Nasiyah memuncak. Sejak sore berpuluh-puluh kg beras direndam. Kelapa
dipecahkan dan dagingnya dikeluarkan. Di halaman belakang orang sibuk menyembelih
kambing, menguliti, memanggang, serta memotong-motong dagingnya.

Keesokan harinya, tamu-tamu makin banyak, dari tetangga satu kampung, desa sebelah, hingga
kenalan-kenalan Emak dan Bapak di pasar. Tamu perempuan biasanya membawa tas berisi
beras dan sayuran, sedangkan tamu laki-laki menyodorkan kertas atau amplop kecil. Teman-
teman Nasiyah datang malam hari, membawa kado-kado yang dibungkus sederhana.

Saat jemput manten tiba. Lima orang utusan Kang Karto menjemput Diman di rumahnya. Pak
Juhari mengutus beberapa orang tua untuk mengantarkan dan menyerahkan Diman kepada
keluarga Kang Karto. Maka, sejak malam itu Diman telah resmi menjadi bagian dari keluarga
Sukarto.

Esok harinya, akad nikah dilaksanakan pukul sebelas siang. Keluarga Pak Juhari datang semua,
kecuali keluarga Pak Muroji. Dua kalimat syahadat menandai bahwa sejak saat itu Diman sudah
sah menjadi suami Nasiyah. Semua yang hadir tampak lega. Sebagian menitikkan air mata haru.

Malamnya, Nasiyah berbaring menghadap ke dinding. Ada guling dalam dekapannya. Hati-hati
sekali Diman naik ke ranjang. Ia panggil nama istrinya beberapa kali, tapi tidak ada sahutan.
Samar-samar terdengar isak tangis. Diman tertegun memandangi punggung Nasiyah. Perlahan
ia menyentuhnya dari belakang.

“Kamu terlalu lelah. Tidurlah.”

Rambut Nasiyah dibelainya. Nasiyah membalikkan tubuhnya. Diman tersenyum sembari


mengusap air mata yang terus mengalir lewat anak rambut di pelipis. Kening basah itu pun
diciumnya, lalu dibenamkan ke dada.

Nasiyah tenggelam dalam irama degup jantung suaminya. Sesaat ia melepaskan diri dari
pelukan, lalu mengusap dan mencium wajah itu lagi. Ia berusaha tersenyum. Tatapan keduanya
bertemu. Sinarnya menyatukan dua jiwa yang berbeda. Lembut suara Nasiyah memanggil
suaminya dan sekali lagi lelaki itu diciumnya. Tidak lama kemudian Nasiyah pun
menenggelamkan kembali wajahnya ke dalam ketegaran hidup.

Pagi turun bersama harum bunga kopi yang bermekaran di kebun belakang. Wanginya
menyeruak lewat celah-celah kamar. Nasiyah membuka mata. Tubuhnya masih rapat dalam
dekapan suaminya. Tidak lama kemudian lelaki itu pun terbangun. Diman menarik selimut dan
mempererat pelukannya.

“Masih dingin, Nas.”


Tetapi, Nasiyah tidak bisa memejamkan mata lagi. Beberapa saat ia membiarkan saja lelaki itu
menikmati kehangatan tubuhnya. Dan, dengan sayang ia pun mengusap punggung suaminya.
Hanya sebentar. Ia kemudian berbisik lembut, mengatakan bahwa ia harus membantu Emak.
Lelaki itu pun melonggarkan pelukannya. Nasiyah mencium kening suaminya lalu beranjak ke
luar kamar.

Tidak ada yang menyuruh Nasiyah untuk melakukan tugas rutinnya itu lagi. Bersih-bersih rumah
dan mencuci pakaian. Tapi, baginya tugas itu seolah sudah menjadi hobi. Setelah menyediakan
kopi untuk suaminya, Nasiyah membawa ember-ember ke kali. Diman tidak mau menikmati
hidangan itu. Ia membantu istrinya, membawakan ember-ember itu. Keduanya sama-sama
turun ke kali.

Di kali orang-orang sudah banyak yang selesai mandi. Melihat kedatangan sepasang pengantin
baru itu mereka pun menggoda.

“Udara masih dingin, lho. Lebih enak tidur lagi.”

“Nanti kan bisa dilanjutkan lagi,” celetuk yang lain.

Nasiyah hanya senyum-senyum. Satu per satu mereka pergi hingga tinggal Nasiyah dan Diman.
Sepi. Desah napas bersatu dengan gesekan baju-baju yang diturunkan dari ember.

“Mas, ke sini!”

Diman mendekat.

“Perkenalkan, ini sahabatku, air pancuran.”


Diman mengguyurkan kepalanya di bawah air itu.

“Dialah yang tiap hari menemaniku mencuci di tempat ini.”

Angin berembus. Embun berjatuhan. Burung-burung kecil berkicauan.

“Ya, ya. Juga angin, embun, dan burung-burung itu. Merekalah yang senantiasa menghiburku di
kala aku sedih.”

Dari arah timur, langit menyemburatkan warna merahnya.

“Dan, matahari itulah yang mengajariku tersenyum di saat-saat pahit sekalipun. Lihatlah,
mereka cemburu padamu. Entah siapa yang mengabari mereka bahwa kau akan segera
membawaku pergi dari sini.”

Nasiyah melepas pakaiannya. Dengan terbalut kain ia merendam tubuhnya di bawah air
pancuran. Ia biarkan air, angin, serta embun pagi memeluk dirinya. Burung-burung yang
berlompatan menghambur ke arahnya.

Musim telah berganti. Hawa mulai hangat. Angin berembus dari timur laut. Di sawah orang-
orang bergembira dengan panennya. Burung-burung manyar, pipit, dan punai beterbangan
untuk mencari makan bagi anak-anaknya yang selalu lapar.

Paruh-paruh mungil itu menganga setiap mereka kembali. Lalu, secara naluri mematuk-matuk
paruh induknya. Patukan-patukan itu merangsang sang induk untuk mengeluarkan makanan
yang sudah setengah dicerna. Anak-anak burung makan dari mulut induknya.
Tubuh anak-anak burung, yang kemerahan itu, ditutupi bulu cokelat kelabu, membangkitkan
naluri perlindungan pada induknya. Warna bulunya yang semarak dimanfaatkan untuk
mengalihkan perhatian musuh.

Dua minggu kemudian burung-burung kecil itu sudah bisa meninggalkan sarang untuk
kemudian terbang, mencari makan sendiri, kawin, atau menemukan kehidupannya yang baru.

Tamat

Anda mungkin juga menyukai