Anda di halaman 1dari 7

“ BALAHO “

Karya : YESMAWATI, SS
Guru SMP N 47 Sijunjung

Pagi itu dingin menusuk tulang. Matahari belum menampakkan wajahnya. Mia masih
asyik dengan Qur’annya. Memang sudah kebiasaan Mia sehabis shalat subuh membaca kitab
suci dan tak lupa mentadaburrinya.
Suara mobil membisingkan telinga, maklum Mia tinggal tepat di pinggar jalan raya,
apalagi di jalan lintas sumatera otomatis mobil yang yang lewat sangat banyak mulai dari
yang kecil hingga yang besar. Baik mobil pribadi maupun mobil angkutan umum. Tiada
hentinya roda itu berputar di depan rumah Mia. Dua puluh empat jam tanpa sepi dari putaran
roda. Terkadang bagi mereka yang tidak terbiasa tinggal di pinggir jalan raya terasa seperti
gempa. Itu akibat mobil besar yang kencang melewati jalan yang tidak rata.
Mia mendengar sayup-sayup suara ayah dan ibunya. Mereka kalau berbicara suka
menggunakan nada mayor, mungkin karna faktor geografis. Suara pelan akan berpacu dengan
laju mobil bak petir sehingga susah didengar. Apalagi faktor umur, kesenjaan usia membuat
pendengaran semakin minim.
Tak lama kemudian Mia dikagetkan oleh suara Ibu yang memanggilnya. “Mia........”
panggil Ibu. Ternyata Mia tertidur di sajadah. Mia segera mengganti mukena dengan jilbab
yang selalu digantung di dinding kamar. Tergopoh-gopoh Mia berjalan menuju dapur.
“Ada apa Bu” jawab Mia. Ibu melihat Mia masih sempoyongan. Mungkin karena
masih ada sisa-sisa kantuk di wajahnya.
“Mia bisa bantu Ibu memasak hari ini?”
“Tentu bisa Bu” jawab Mia. Seketika mata Mia langsung terang seolah melupakan
rasa kantuknya. Dengan sigap tangan Mia menggantikan tangan Ibu yang dari tadi berputar-
putar di atas batu penggilingan cabe. Maklum peralatan yang digunakan masih manual.
Sementara itu, Ibu memeras kelapa yang sudah diparut oleh ayah.
Melihat yang dilakukan oleh Ibu, Mia tiba-tiba teringat akan sebuah iklan dan berkata,
“Kenapa Ibu memarut kelapa, kemudian memerasnya, padahal ada santan instan yang
mudah didapat di pasar”
Ibu menjelaskan,
“Santan asli itu beda sama santan instan, yang asli lebih segar dan enak. Ibu memilih
yang asli karena tidak pakai pengawet dan pengawet itu tidak baik untuk kesehatan. Lagi pula
kita memiliki pohon kelapa yang selalu berbuah lebat”
Mia mengangguk seolah paham dengan ucapan Ibu. Ia berfikir bahwa Ibunya adalah
wanita yang cerdas dan sayang pada keluarga.
Di lantai dapur banyak sekali bahan-bahan yang sudah siap untuk dieksekusi.
“kita mau bikin apa Bu ?” tanya Mia sambil mengumpas bawang merah dan bawang
putih.
“nanti siang kita akan pergi baloho, kamarin angku Amek datang ke rumah dan
memberi tahu bahwa kita suku malayu bamban akan balaho hari ini “
Mia hanya memandang Ibu sambil mengangguk dan membulatkan mulutnya.
****
Di kampung Mia ada banyak suku seperti suku Sikumbang, Piliang, Malayu Bamban,
Malayu Jaring, Malayu Tabek dan kutianyie. Ini adalah suku yang sudah ada sejak dahulu
kala. Namun seiring adanya perpecahan dalam suku Malayu Bamban, suku ini akhirnya
terpecah lagi menjadi Malayu Tanjung.
Balaho sendiri adalah suatu tradisi yang dilaksanakan secara turun –temurun oleh
masyarakat kampung Ringgome. Tradisi ini dilakukan saat menyambut datangnya bulan suci
Ramadhan. Bentuk tradisi ini berupa membersihkan kuburan kaum dan berdoa serta makan
bersama.
Oleh karena itu Ibu juga ikut mempersiapkan segala macam makanan yang akan di
bawa untuk pergi balaho.
“kita bawa apa saja bu ke kuburan Bu” tanya Mia.
“Kita akan bawa nasi, gulai telur campur jengkol, sambal ikan nila. Untuk pencuci
mulut kita bawa paniaram, onde-onde dan kue gadang “ jawab Ibu sambil mengaduk santan
yang sudah mulai panas karena pembakaran.
Sejenak Mia memperhatikan santan yang sudah mulai kental. Lalu melangkah menuju
meja tempat adonan onde-onde yang sudah disiapkan Ibu. Tangan Mia mulai mengulek
adonan tepung ketan yang sudah diberi air sadah dan dicampur dengan pewarna hijau
Adonan tersebut dibuat bulat-bulat dan di tengahnya diberi gula aren yang telah dipotong-
potong. Kemudian di masukkan ke dalam air yang sudah mendidih. Adonan yg sudah matang
akan mengapung ke atas kemudian disaring dan digulingkan di atas kelapa parut yang sudah
dikasih garam.
Onde-onde dan gulai telur sudah siap untuk dibungkus. Sambal ikan masih dalam
proses penggorengan dan sebentar lagi juga selesai.
“Paniaram dan kue gadang gimana bu”
“Ibu sudah pesan sama ni Temuh kemaren. Ibu meletakkannya dalam lemari kaca
yang ada di ruang tengah“.
Mia langsung menuju lemari yang disebutkan Ibu dan mengambilnya. Hidangan yang
akan di bawa sudah tersaji di atas meja.
Melihat semua hidangan telah siap, Ibu bergegas mengambil rantang.
“Mia tolong susun semua makanan dalam rantang”
“baik bu” jawab Mia.
“kue gadang ini bagaimana bu ? tempatnya terlalu kecil”
“Kue gadang bawa saja pakai tempatnya, kemudian bungkus pakai sapu tangan”.
Mia menuju lemari untuk mencari sapu tangan dan membungkus kue gadang sesuai
arahan Ibu.
Kegiatan masak-memasak selesai hari ini.
Tak terasa waktu berputar sangat cepat dan jam sudah menunjukkan pukul dua belas
lewat lima belas menit. Ibu dan Mia beres-beres dan siap-siap melaksanakan shalat zuhur.
Sebentar lagi mereka akan berangkat ke Ateh Lago. Ateh lago adalah nama tempat pakuburan
suku Malayu Bamban. Untuk sampai ke Ateh Lago butuh perjuangan yang tidak ringan
karena belum bisa ditempuh oleh kendaraan. Perjalanan ke sana butuh waktu lebih kurang
empat puluh lima menit itupun melalui pendakian dengan kemiringan empat puluh derajat.
“Ni En.... Ni En......”
Suara Mak Amek mengagetkan Mia dan Ibu.
Mak Amek adalah ninik mamak dalam suku Malayu Bamban.
Ibu segera keluar dan mencari arah suara.
“Iya.... ada apa Mek”
“Sudah siap Ni En, ayo kita berangkat sama-sama”
“Iya..iya... Semua sudah siap”
Ibu menoleh ke belakang dan melihat apakah Mia sudah siap untuk berangkat atau
belum.
“Tungu saja kami di Kubu, sebentar lagi kami menyusul ke sana. Nanti kita sama-
sama berangkat ke Ateh Lago”
“Baiklah... kalau begitu saya jalan duluan, kami nanti Ni En di Kubu”
Mak Amek langsung tancap gas dengan motornya ke arah Kubu.
Kubu adalah wilayah kaum Ibu. Mereka yang mempunyai garis keturunan matrilineal
dalam suku malayu bamban dibesarkan di wilayah ini. Hanya saja Ibu pindah dari Kubu
ketika Allah memberi rezeki untuk membeli tanah di luar tanah kaum.
Mia dan Ibunya tinggal di tepi jalan lintas yang bernama Mundam. Masyarakat
Mundam kebanyakan adalah pendatang. Mereka lebih bersifat individualis. Saling kenal tapi
tidak saling silaturahim. Ketika bertemu hanya saling senyum dan hanya menyapa jarak jauh.
Apabila ada pertemuan nagari barulah mereka saling tegur satu sama lain.
Berbeda sekali dengan masyarakat yang tinggal di Kubu. Karena mereka masih satu
keturunan, nilai kekeluargaan sangat kental. Apa yang terjadi dalam satu keluarga maka akan
diketahui oleh orang satu kampung.
****
Ternyata Suku malayu bamban sudah rame berkumpul di kubu. Tangan Ibu-ibu penuh
dengan tentengannya masing-masing. Ada juga Ibu-ibu yang menjujung tentengannya di atas
kepala menggunakan kain singgulung. Sementara Bapak-Bapak terlihat ada yang membawa
sabit, parang dan cangkul. Tak kalah rame lagi dengan bocah-bocah yang kegirangan, mereka
sudah siap berangkat ke Ateh Lago.
“Berangkat kita lagi Ni En....” kata salah seorang sepupu Ibu yang bernama Irah.
“ Iya...mari kita berangkat”.
Apakah semuanya sudah siap? Tanya ibu.
Irah menoleh ke kiri sambil melihat mamak suku.
“Sudah..kepala suku sudah di sini”
“Semuanya sudah berkumpul di sini, sepertinya tidak ada lagi yang perlu kita tunggu,
kalau pun masih ada biar mereka menyusul ke Ateh Lago”
Mamak kepala suku menoleh kiri dan kanan dan memperhatikan semua kaumnya.
“Kalau begitu mari kita mulai perjalanan
****
Sesampai di Ateh Lago, ternyata suku Malayu sudah rame berdatangan. Ibu dan Mia
terengah-engah sampai di sana. Selain jalan yang mendaki ditambah beban yang dibawa
membuat mereka tertatih-tatih di perjalanan. Namun, melihat saudara sepersukuan yang
sudah datang, rasa lelah berganti dengan rasa senang.
“Baru sampai Ni En”? Salah seorang etek menyapa Ibu.
“Iya” Jawab Ibu dengan nafas yang tidak teratur.
Mereka saling tersenyum. Ada gurat bahagai terpancar dari wajah mereka. Barangkali
rasa senang yang menyelimuti karena dipersatukan dalam acara “Balaho”.
“Letakkan saja barang bawaan Ni En di sana”, sambil menunjuk sebuah tempat di
bawah pohon rindang. Di sana juga sudah banyak terdapat rantang yang dibawa oleh ibu-ibu
lain.
“Baiklah”, jawab Ibu sambil berjalan menuju tempat yang dikatakan oleh Etek Laini.
Seluruh barang bawaan Ibu di letakkan di sana . Ibu dan Mia langsung menuju
makam nenek, kakek dan keluarga lain yang masih satu tali darah dengan Ibu. Setelah
berkeliling, Ibu seperti sulit untuk menemukan makam nenek.
“Wan, kamu tahu letak makam Ibu saya”? Sambil memutarkan kepalanya Ibu melihat
kesana kemari.
“Kalau tidak salah rasanya di sudut ini dulu”, kata Ibu.
“Iya betul Ni En, ini yang terlihat sedikit batunya, makam Ibu Ni En”. Jawab Pak
Etek Wan sambil menyibak rumput yang telah tinggi. Ibu mengikuti gerakan tangan Pak Etek
Wan pada sebuah batu nisan yang tidak bertuliskan nama.
“Oh iya, ternyata kamu betul Wan”. “Memang ini makam Ibu saya”.
“Terima kasih ya Wan”. Sahut Ibu.
Satu-persatu makam mulai dibersihkan. Dibantu oleh beberapa orang kerabat lain,
rumput-rumput yang menempel di area makam dibuang dan diletakkan pada satu tempat.
Rumput tersebut langsung dibakar. Asapnya dapat dijadikan pengusir nyamuk. Karena
memang di area pekeburan sangat banyak sekali nyamuk hutan yang siap memangsa darah
manusia yang hadir di sana.
Tidak berapa lama akhirnya makam nenek dan lainnya tampak bersih. Begitu juga
dengan makam-makam yang ada di area pekuburan. Karena dilakukan secara gotong-royong
pekerjaan dapat diselesaikan dengan cepat.
“Ni En, apa kita mulai saja acara inti” Tanya mamak kepala suku pada Ibu.
“Boleh, sepertinya semua sudah datang dan pekuburan juga sudah bersih”, jawab Ibu.
Mak Amek berlalu begitu saja. Tiba-tiba asap mengepul pada sebongkah sabut kelapa
yang sudah dibubuhi kemenyan. Baunya sangat menyayat hidung. Bagi yang tidak terbiasa
tentunya bau terasa aneh. Aromo mistis kental terasa. Awan hitam tiba-tiba mulai berarak di
atas kepala. Seperti akan turun hujan. Namun tidak setetespun air membasahi bumi. Rupanya
acara sudah siap untuk dimulai.
Semua orang sudah berkumpul. Duduk secara berkeliling dengan membuat sebuah
lingkaran. Sementara para ibu mempersiapkan makanan yang akan dihidangkan. “Orang
Siak” memulai acara dengan membaca istigfar 3x. Selanjutnya tidak jelas apa yang
dibacanya. Sementara hadirin yang hadir tampak menekurkan kepala sambil digoyang ke kiri
dan ke kanan secara pelan. Setelah banyak do’a yang dipanjatkan oleh “orang siak, kemudian
dilanjutkan dengan membaca La Ilaa Haillallah secara bersama-sama dengan suara yang
keras sebanyak 100x.
***
Mia yang baru kali ini ikut balaho dengan ibu merasa heran. Kenapa ada ritual seperti
ini. Membakar kemenyan, seperti orang zaman Hindu-Budha saja. Biasanya hanya dilakukan
oleh orang-orang penganut animesme atau dinamisme.
“Ibu, ini acara apa? Tanya Mia pada Ibu dengan suara pelan.
Sambil mencolek paha Mia, Ibu memberi kode dengan mengangkat jari telunjuk dan
didekatkan ke mulut. Itu artinya Mia dilarang bersuara karena mungkin akan mengganggu
acara yang ada.
Mia hanya mengangguk, seolah paham maksud Ibu. Tapi Mia tak habis pikir
mengenai acara yang sedang berlangsung. Banyak pertanyaan yang bercokol di pikiran Mia.
Ia akan menanyakan semua nya pada Ibu sesampai di rumah nanti.
Setelah pembacaan do’a yang begitu banyak akhirnya tibalah acara yang ditunggu-
tunggu oleh semua orang, yaitu makan bersama. Job pekerjaan telah dibagi oleh para bapak-
bapak. Ada yang membagikan daun, membagikan nasi dan ada yang membagikan lauk.
Setiap orang dipastikan memperoleh daun yang telah berisi makanan untuk disantap.
“Kamu tidak makan Mia”? tanya Ibu
“Tidak Bu, saya tidak berselera makan” Jawab Mia sekenanya. Padahal perjalanan
yang jauh tentu saja telah menguras tenaga Mia. Namun karena acara Balaho yang menurut
pandangan Mia bertentangan dengan aqidah yang ia yakini, membuat selera makan Mia
hilang. Mia hanya mencomot beberapa kue talam yang terhidang di depannya. Rupanya para
Ibu telah mempersiapkan “tungkuih” untuk di bawa pulang.
Ketika Mia ingin menelan kue talamnya, terdengarlah sorak sorai suara anak-anak
yang memperoleh bagian uang. Rupanya dalam acara balaho terdapat pula pembagian uang
untuk semua yang hadir. Orang dewasa yang hadir saling menyumbangkan uang alakadarnya.
Ini merupakan bentuk sedakah bagi mereka. Uang tersebut ditukarkan dengan nilai yang
lebih kecil agar semua rata mendapatkannya. Biasanya ada yang dapat RP 1000,- , Rp 2000,-
atau RP 5000,- . Namun karena anak-anak banyak akalnya, setelah mereka dapat jatah uang
mereka berpindah tempat duduk. Orang yang membagikan uang terkadang tidak ingat,
sehingga mereka bisa mendapatkan jatah uang dua kali. Dan mereka yang mendapat dua kali
bersorak kegirangan.
Bagian akhir acara adalah pembagian “tungkuih”
“Ayo Mia, bereskan barang-barang kita”, perintah Ibu pada Mia.
“Iya Bu” Jawab Mia sambil mencari rantang yang tadi diserahkan pada “rubiah” suku
malayu.
“Jangan lupa, kalau tadi kita membawa empat buah sendok dan satu sapu tangan”,
kata Ibu mengingatkan.
“Baik Bu” jawab Mia.
Sambil berdiri Mia mencari rantang dan barang lainnya untuk di bawa pulang.
Setelah selesai berberes, Mia dan Ibu kembali melihat makam untuk terakhir kalinya.
Mereka tahu bahwa mereka tidak bisa sering-sering datang ke tempat ini. Kalau diberi umur
yang panjang, tentu tahun depan bisa lagi kembali ke sini.
Tak lupa Ibu menancapkan beberapa batang pohon ke makam nenek. Tanpa disengaja
batang pohon yang ditancapkan Ibu masuk ke tanah dengan mudahnya. Tanah tersebut mulai
berjatuhan ke dalam makam. Sepertinya lobang tersebut telah lebar dan dalam. Hanya saja
dari tadi tidak kelihatan seperti berlobang. Namun saat ditancapkan tanaman lobang itu
menjadi kelihatan.
“Lho.. kok seperti berlobang Ibu”, tanya Mia keheranan.
Mia langsung teringat cerita mistis tentang makam berlobang yang disebabkan orang yang
didalamnya keluar dari alam kubur karena tidak tahan akan azab kubur. Biasanya keluar
dengan menyerupai bentuk binatang.
Bulu kuduk Mia langsung merinding.
“Ayo Bu, kita segera pulang, nanti kita ditinggalkan oleh rombongan” desak Mia pada
Ibu.
Ibu yang juga keheranan merasa kaget dengan apa yang dilihatnya. Sambil berdiri dan
bergegas Ibu menjawab, “ayo kita pulang”.
Mia dan Ibu setengah berlari mengambil rantang dan barang bawaan lainnya
menyusul rombongan yang telah lebih dulu meninggalkan area pekuburan. Mia dalam hati
berkata, tidak akan pernah lagi pergi balaho.
********

***
Paniaram = makanan yang terbuat dari tepung beras
Onde-onde = Makan bulat yang terbuat dari tepung ketan yang berisi gula dan ditaburi
kelapa
kue gadang = Kue Bolu
Tungkuih = bungkusan yang berisi makanan pencuci mulut seperti paniaram, onde-onde,
kue talam, kue gadang, dll
Orang siak = Orang paham agama dan bisa memimpin do’a

Anda mungkin juga menyukai