Anda di halaman 1dari 21

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA KLIEN DENGAN RHINITIS ALERGI

DISUSUN OLEH :

ANJAR DWI SURYA RAMADHANI 2026010052.P

STIKES TRI MANDIRI SAKTI BENGKULU

DAFTAR ISI
BAB I TINJAUAN TEORITIS
1.1 Definisi...........................................................................................................1

1.2 Etiologi...........................................................................................................1

1.3 Klasifikasi.......................................................................................................2

1.4 Patofisologi.....................................................................................................3

1.5 Manifestasi Klinis...........................................................................................4

1.6 Web Of Caution (WOC).................................................................................5

1.7 Penatalaksanaan..............................................................................................7

1.8 Pemeriksaan Penunjang................................................................................13

BAB II ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 Pengkajian....................................................................................................15

2.2 Diagnosa Keperawatan.................................................................................16

2.3 Intervensi Keperawatan................................................................................17


BAB I

TINJAUAN TEORITIS

1.1 Definisi
Rhinitis  alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala-gejala bersin-
bersin, keluarnya cairan dari hidung, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa
hidung terpapar dengan allergen yang mekanisme ini diperantarai oleh IgE (WHO
ARIA tahun 2001). Rhinitis adalah suatu inflamasi ( peradangan ) pada membran
mukosa di hidung. (Dipiro, 2005 ).

Rhinitis alergi adalah istilah umum yang digunakan untuk menunjukkan


setiap reaksi alergi mukosa hidung, dapat terjadi bertahun-tahun atau musiman.
(Dorland,2002 ). Rhinitis alergi adalah penyakit umum yang paling banyak di
derita oleh perempuan dan laki-laki yang berusia 30 tahunan. Merupakan
inflamasi mukosa saluran hidung yang disebabkan oleh alergi terhadap partikel,
seperti: debu, asap, serbuk/tepung sari yang ada di udara. Rhinitis adalah istilah
untuk peradangan mukosa.

1.2 Etiologi

Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang diawali oleh dua tahap
sensitisasi yang diikuti oleh reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari dua fase yaitu :

a. Immediate Phase Allergic Reaction

Berlangsung sejak kontak dengan allergen hingga 1 jam setelahnya

b. Late Phase Allergic Reaction

Reaksi yang berlangsung pada dua hingga empat jam dengan puncak 6-8
jam setelah pemaparan dan dapat berlangsung hingga 24 jam.

Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas :

1
2

a. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya


debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.

b. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.

Dengan masuknya allergen ke dalam tubuh, reaksi alergi dibagi menjadi tiga
tahap besar :

1) Respon Primer, terjadi eliminasi dan pemakanan antigen, reaksi non


spesifik

2) Respon Sekunder, reaksi yang terjadi spesifik, yang membangkitkan


sistem humoral, sistem selular saja atau bisa membangkitkan kedua sistem
tersebut, jika antigen berhasil dihilangkan maka berhenti pada tahap ini,
jika antigen masih ada, karena defek dari ketiga mekanisme sistem
tersebut maka berlanjut ke respon tersier

3) Respon Tersier , Reaksi imunologik yang tidak menguntungkan

1.3 Klasifikasi

Menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi dua:

a. Rhinitis akut (coryza, commond cold) merupakan peradangan membran


mukosa hidung dan sinus-sinus aksesoris yang disebabkan oleh suatu virus
dan bakteri. Penyakit ini dapat mengenai hampir setiap orang pada suatu
waktu dan sering kali terjadi pada musim dingin dengan insidensi tertinggi
pada awal musim hujan dan musim semi.

b. Rhinitis kronis adalah suatu peradangan kronis pada membran mukosa


yang disebabkan oleh infeksi yang berulang, karena alergi, atau karena
Rhinitis vasomotor

Berdasarkan waktunya Rhinitis Alergi dapat di golongkan menjadi:


3

a. Rhinitis alergi musiman (Hay Fever)

Biasanya terjadi pada musim semi. Umumnya disebabkan kontak dengan


allergen dari luar rumah, seperti benang sari dari tumbuhan yang
menggunakan angin untuk penyerbukannya, debu dan polusi udara atau
asap.

b. Rhinitis alergi yang terjadi terus menerus (perennial)

Disebabkan bukan karena musim tertentu,serangan yang terjadi sepanjang


masa (tahunan) diakibatkan karena kontak dengan allergen yang sering
berada di rumah misalnya kutu debu rumah, bulu binatang peliharaan serta
bau-bauan yang menyengat

1.4 Patofisologi

Tepung sari yang dihirup, spora jamur, dan antigen hewan di endapkan
pada mukosa hidung. Alergen yang larut dalam air berdifusi ke dalam epitel, dan
pada individu yang kecenderungan atopik secara genetik, memulai produksi
immunoglobulin lokal (Ig ) E. Pelepasan mediator sel mast yang baru, dan
selanjutnya, penarikan neutrofil, eosinofil, basofil, serta limfosit bertanggung
jawab atas terjadinya reaksi awal dan reaksi fase lambat terhadap alergen hirupan.
Reaksi ini menghasilkan mukus, edema, radang, gatal, dan vasodilatasi.
Peradangan yang lambat dapat turut serta menyebabkan hiperresponsivitas hidung
terhadap rangsangan nonspesifik suatu pengaruh persiapan. (Behrman, 2000).

Histamin merupakan mediator penting pada gejala alergi di hidung.


Histamine bekerja langsung pada reseptor histamine selular, dan secara tidak
langsung melalui refleks yang berperan pada bersin dan hipersekresi. Melalui
saraf otonom, histamin menimbulkan gejala bersin dan gatal, serta vasodilatasi
dan peningkatan permeabilitas kapiler yang menimbulkan gejala beringus encer
dan edema lokal reaksi ini timbul segera setelah beberapa menit pasca pajanan
allergen. Kurang lebih 50% Rhinitis alergik merupakan manifestasi reaksi
4

hipersensitifitas tipe I fase lambat, gejala Gejala rhinitis alergik fase lambat
seperti hidung tersumbat, kurangnya penciuman, dan hiperreaktivitas lebih
diperankan oleh eosinofil.

1.5 Manifestasi Klinis

a. Bersin berulang-ulang, terutama setelah bangun tidur pada pagi hari


(umumnya bersin lebih dari 6 kali).

b. Hidung tersumbat.

c. Hidung meler. Cairan yang keluar dari hidung meler yang disebabkan
alergi biasanya bening dan encer, tetapi dapat menjadi kental dan putih
keruh atau kekuning-kuningan jika berkembang menjadi infeksi hidung
atau infeksi sinus.

d. Hidung gatal dan juga sering disertai gatal pada mata, telinga dan
tenggorok.

e. Badan menjadi lemah dan tak bersemangat.

Gejala klinis yang khas adalah terdapatnya serangan bersin yang berulang-


ulang terutama pada pagi hari, atau bila terdapat kontak dengan sejumlah debu.
Sebenarnya bersin adalah mekanisme normal dari hidung untuk membersihkan
diri dari benda asing, tetapi jika bersin sudah lebih dari lima kali dalam satu kali
serangan maka dapat diduga ini adalah gejala rhinitis alergi. Gejala lainnya
adalah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak.  Hidung tersumbat, mata
gatal dan kadang-kadang disertai dengan keluarnya air mata.
5

1.6 Web Of Caution (WOC)

Allergen

Hidung

Makrofag menangkap allergen di


mukosa hidung

Fragmen pendek
Antigen
peptice

Fragmen + HLD

Kompleks peptice MHC kelas II

Sitokinin terlepas

Sel limfosit B aktif

Terbentuk Ig E

Ig E masuk ke jaringan

Mengikat allergen spesifik


6

Degranulasi mastosit dan basofil

Terlepasnya listamin

H merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus

Kelenjar mukosa dan Vasodilatasi Gatal + Bersin2


gel goblet hipersekresi sinusoid
dan peningkatan
permeabilitas kapiler
Hidung tersumbat MK: Gangguan pola
tidur
Rhinore
MK: Ketidakefektifan
jalan nafas
MK: Gangguan Harga
diri
Inflamasi

Suhu tubuh

MK: Cemas
7

1.7 Penatalaksanaan

a. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan


allergen penyebab

b. Pengobatan, penggunaan obat antihistamin H-1 adalah obat yang sering


dipakai sebagai pertama pengobatan rhinitis alergi atau dengan kombinasi
dekongestan oral. Obat Kortikosteroid dipilih jika gejala utama sumbatan
hidung akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi oleh obat lain

c. Tindakan Operasi (konkotomi) dilakukan jika tidak berhasil dengan cara


diatas

d. Penggunaan Imunoterapi.

Pemilihan obat-obatan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal antara


lain :

a. Obat-obat yang tidak memiliki efek jangka panjang.

b. Tidak menimbulkan takifilaksis.

c. Beberapa studi menemukan efektifitas kortikosteroid intranasal. Meskipun


demikian pilihan terapi harus dipertimbangkan dengan kriteria yang lain.

d. Kortikosteroid intramuskuler dan intranasal tidak dianjurkan sehubungan


dengan adanya efek samping sistemik.

Penatalaksanaan rhinitis alergika meliputi edukasi, penghindaran alergen,


farmakoterapi dan imunoterapi. Intervensi tunggal mungkin tidak cukup dalam
penatalaksanaan rhinitis alergika, penghindaran alergen hendaknya merupakan
bagian terpadu dari strategi penatalaksanaan, terutama bila alergen penyebab
dapat diidentifikasi. Edukasi sebaiknya selalu diberikan berkenaan dengan
penyakit yang kronis, yang berdasarkan kelainan atopi, pengobatan memerlukan
waktu yang lama dan pendidikan penggunaan obat harus benar terutama jika harus
menggunakan kortikosteroid hirupan atau semprotan. Imunoterapi sangat efektif
8

bila penyebabnya adalah alergen hirupan. Farmakoterapi hendaknya


mempertimbangkan keamanan obat, efektifitas, dan kemudahan pemberian.
Farmakoterapi masih merupakan andalan utama sehubungan dengan kronisitas
penyakit. Kombinasi yang sering dipakai adalah antihistamin H1 dengan
dekongestan. Medikamentosa diberikan bila perlu, dengan antihistamin oral
sebagai obat pilihan utama. Imunoterapi pada anak diberikan secara selektif
dengan tujuan pencegahan. Jenis-jenis terapi medikamentosa akan diuraikan di
bawah ini :

a. Antihistamin-H1 oral

Antihistamin-H1 oral bekerja dengan memblok reseptor H1 sehingga


mempunyai aktivitas anti alergi. Obat ini tidak menyebabkan takifilaksis.
Antihistamin-H1 oral dibagi menjadi generasi pertama dan kedua.
Generasi pertama antara lain klorfeniramin dan difenhidramin, sedangkan
generasi kedua yaitu setirizin/levosetirizin dan loratadin/desloratadin.
Generasi terbaru antihistamin-H1 oral dianggap lebih baik karena
mempunyai rasio efektifitas/keamanan dan farmakokinetik yang baik,
dapat diminum sekali sehari, serta bekerja cepat (kurang dari 1 jam) dalam
mengurangi gejala hidung dan mata, namun obat generasi terbaru ini
kurang efektif dalam mengatasi kongesti hidung. Efek samping
antihistamin-H1 generasi pertama yaitu sedasi dan efek antikolinergik.
Sedangkan antihistamin-H1 generasi kedua sebagian besar tidak
menimbulkan sedasi, serta tidak mempunyai efek antikolinergik atau
kardiotoksisitas.

b. Antihistamin-H1 lokal

Antihistamin-H1 lokal (misalnya azelastin dan levokobastin) juga bekerja


dengan memblok reseptor H1. Azelastin mempunyai beberapa aktivitas
anti alergik. Antihistamin-H1 lokal bekerja sangat cepat (kurang dari 30
menit) dalam mengatasi gejala hidung atau mata. Efek samping obat ini
relatif ringan. Azelastin memberikan rasa pahit pada sebagian pasien. 
9

c. Kortikosteroid intranasal

Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason, budesonid, flunisolid,


flutikason, mometason, dan triamsinolon) dapat mengurangi
hiperreaktivitas dan inflamasi nasal. Obat ini merupakan terapi
medikamentosa yang paling efektif bagi rhinitis alergik dan efektif
terhadap kongesti hidung. Efeknya akan terlihat setelah 6-12 jam, dan efek
maksimal terlihat setelah beberapa hari. Kortikosteroid topikal hidung
pada anak masih banyak dipertentangkan karena efek sistemik pemakaian
lama dan efek lokal obat ini. Namun belum ada laporan tentang efek
samping setelah pemberian kortikosteroid topikal hidung jangka panjang.
Dosis steroid topikal hidung dapat diberikan dengan dosis setengah
dewasa dan dianjurkan sekali sehari pada waktu pagi hari. Obat ini
diberikan pada kasus rhinitis alergik dengan keluhan hidung tersumbat
yang menonjol.

d. Kortikosteroid oral/IM

Kortikosteroid oral/IM (misalnya deksametason, hidrokortison,


metilprednisolon, prednisolon, prednison, triamsinolon, dan betametason)
poten untuk mengurangi inflamasi dan hiperreaktivitas nasal. Pemberian
jangka pendek mungkin diperlukan. Jika memungkinkan, kortikosteroid
intranasal digunakan untuk menggantikan pemakaian kortikosteroid
oral/IM. Efek samping lokal obat ini cukup ringan, dan efek samping
sistemik mempunyai batas yang luas. Pemberian kortikosteroid sistemik
tidak dianjurkan untuk rhinitis alergik pada anak. Pada anak kecil perlu
dipertimbangkan pemakaian kombinasi obat intranasal dan inhalasi. 

e. Kromon lokal (‘local chromones’)

Kromon lokal (local chromones), seperti kromoglikat dan nedokromil,


mekanisme kerjanya belum banyak diketahui. Kromon intraokular sangat
efektif, sedangkan kromon intranasal kurang efektif dan masa kerjanya
singkat. Efek samping lokal obat ini ringan dan tingkat keamanannya baik.
10

Obat semprot hidung natrium kromoglikat sebagai stabilisator sel mast


dapat diberikan pada anak yang kooperatif. Obat ini biasanya diberikan 4
kali sehari dan sampai saat ini tidak dijumpai efek samping.

f. Dekongestan oral

Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin,


merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti
hidung. Penggunaan obat ini pada pasien dengan penyakit jantung harus
berhati-hati. Efek samping obat ini antara lain hipertensi, berdebar-debar,
gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit kepala, kekeringan membran
mukosa, retensi urin, dan eksaserbasi glaukoma atau tirotoksikosis.
Dekongestan oral dapat diberikan dengan perhatian terhadap efek sentral.
Pada kombinasi dengan antihistamin-H1 oral efektifitasnya dapat
meningkat, namun efek samping juga bertambah.

g. Dekongestan intranasal

Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin, oksimetazolin, dan


xilometazolin) juga merupakan obat simpatomimetik yang dapat
mengurangi gejala kongesti hidung. Obat ini bekerja lebih cepat dan
efektif daripada dekongestan oral. Penggunaannya harus dibatasi kurang
dari 10 hari untuk mencegah terjadinya rhinitis medikamentosa. Efek
sampingnya sama seperti sediaan oral tetapi lebih ringan. Pemberian
vasokonstriktor topikal tidak dianjurkan untuk rhinitis alergik pada anak di
bawah usia l tahun karena batas antara dosis terapi dengan dosis toksis
yang sempit. Pada dosis toksik akan terjadi gangguan kardiovaskular dan
sistem saraf pusat.

h. Antikolinergik intranasal

Antikolinergik intranasal (misalnya ipratropium) dapat menghilangkan


gejala beringus (rhinorrhea) baik pada pasien alergik maupun non alergik.
Efek samping lokalnya ringan dan tidak terdapat efek antikolinergik
11

sistemik. Ipratropium bromida diberikan untuk rhinitis alergik pada anak


dengan keluhan hidung beringus yang menonjol.

i. Anti-leukotrien

Anti-leukotrien, seperti montelukast, pranlukast dan zafirlukast, akan


memblok reseptor CystLT, dan merupakan obat yang menjanjikan baik
dipakai sendiri ataupun dalam kombinasi dengan antihistamin-H1 oral,
namun masih diperlukan banyak data mengenai obat-obat ini. Efek
sampingnya dapat ditoleransi tubuh dengan baik.

1.8 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan skin test dan kadar serum IgE


bermanfaat untuk menentukan alergen penyebab rhinitis alergi secara pasti.

a. Skin Test

Skin test adalah pemeriksaan yang paling penting untuk memastikan


alergen penyebab dari rhinitis alergi. Pemeriksaan ini dapat dilakukan
melalui beberapa metode antara lain uji gores, uji tusuk, uji tempel dan
intradermal.  Uji tusuk (skin prick test) adalah pemeriksaan yang paling
disarankan di antara seluruh pemeriksaan tersebut. Walau demikian, skin
test menggunakan metode manapun memiliki beberapa kelemahan berupa
rendahnya tingkat akurasi pemeriksaan dan hasil positif belum tentu
berkorelasi positif dengan adanya rhinitis alergi. Kelemahan lain pada
pemeriksaan ini antara lain sangat dipengaruhi terhadap penggunaan obat-
obatan seperti antihistamin, usia pasien dan gangguan kulit yang terjadi
pada lokasi penyuntikan. Pada suatu penelitian di Korea mengenai uji
tusuk, ditemukan sekitar 70-80% penyebab rhinitis alergi adalah tungau
debu rumah.

b. Kadar Immunoglobulin E (IgE)


12

Pemeriksaan kadar IgE pada serum awalnya dilakukan


menggunakan radioallergosorbent test (RAST) namun pemeriksaan ini
sudah jarang digunakan karena penggunaan isotop radioaktif dan
cenderung mahal. Saat ini, pemeriksaan kadar IgE dilakukan secara in
vitro, misalnya menggunakan fluorescence enzyme immunoassay (FEIA).
Tes in vitro seperti ini dapat mengukur kadar spesifik IgE . Saat ini sudah
dikembangkan pemeriksaan multiple allergen simultaneous test  (MAST)
dengan menggunakan photo reagent sehingga cenderung tidak mahal dan
dapat mendeteksi banyak alergen bersamaan. Pemeriksaan ini tidak
dipengaruhi oleh penggunaan antihistamin oral. Namun sensitivitas
pemeriksaan ini cenderung lebih rendah dibandingkan dengan uji tusuk.
Pemeriksaan lain dengan prinsip yang sama dengan MAST ini
adalah capsulated hydrophilic carrier polymer (CAP) yang memiliki
afinitas yang tinggi terhadap alergen karena menggunakan antigen yang
spesifik. Dalam percobaan in vitro menunjukkan hasil yang lebih akurat.

c. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan


kadar eosinofil pada darah namun pemeriksaan ini tidak sensitif dan tidak
spesifik karena dipengaruhi oleh banyak faktor.

d. Pemeriksaan radiologi seperti radiografi (posisi Caldwell, Waters dan


lateral), Coronal CT scan dan MRI tidak dibutuhkan untuk menegakkan
diagnosis rhinitis alergi. Pemeriksaan ini dapat membantu untuk
menyingkirkan adanya deformitas pada hidung dan tulang sekitarnya, serta
komplikasi yang sering terjadi akibat rhinitis alergi, misalnya sinusitis
kronik.
BAB II

ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 Pengkajian

Pengkajian adalah langkah awal dari proses keperawatan yang meliputi


aspek bio,psiko,sosio dan spiritual secara komprehensif. Maksud dari pengkajian
adalah untuk mendapatkan informasi atau data tentang pasien. Data tersebut
berasal dari pasien (data primer),dari keluarga (data sekunder) dan data dari
catatan yang ada (data tersier). Pengkajian dilakukan dengan pendekatan proses
keperawatan melalui wawancara,observasi langsung,dan melihat catatan
medis,adapun data yang diperlukan pada klien rhinitis alergi adalah sebagai
berikut:

a. Data dasar

Adapun data dasar yang dikumpulkan meliputi:

1) Identitas klien

Identitas klien meliputi nama,umur (rhinitis alergi menyerang pada


semua usia tidak terkecuali),jenis kelamin (rhinitis alegri
menyerang pada semua orang tidak terkecuali),suku
bangsa,agama,pendidikan,pekerjaan,alamat,tanggal masuk rumah
sakit dan diagnose medis.

2) Riwayat kesehatan sekarang

Meliputi keluhan utama pasien dengan rhinitis alergi biasanya


datang dengan keluhan flu (influenza)

3) Riwayat kesehatan masa lalu

Klien mengatakan tidak punya penyakit yang lain

13
14

b. Pemeriksaan fisik yaitu review of system (ROS)

Keadaan umum : tampak kesakitan pada pemeriksaan fisik terdapat nyeri


tekan di kuadran epigastrik

1) B1 (breath) : takhipnea

2) B2 (blood) : warna kulit pucat

3) B3 (brain) : sakit kepala,kelemahan,kesadaran composmentis

4) B4 (bladder) : pola eliminasi normal

5) B5 (bowel) : anorexia

6) B6 (bone) : kelemahan

c. Pemeriksaan diagnostik

Pemeriksaan diagnostik yang dianjurkan untuk pasien rhinitis alergi


adalah :

1) Pemeriksaan darah (eosinofil)

2) Pemeriksaan rionskopi anterior posterior

2.2 Diagnosa Keperawatan

a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan spasme jalan napas

b. Gangguan pola tidur berhubungan dengan hambatan lingkungan (tingkat


kenyamanan)

c. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi


15

2.3 Intervensi Keperawatan

No Diagnosa keperawatan (SDKI) Tujuan & kriteria hasil (SLKI) Intervensi keperawatan (SIKI)
.
15

1. Bersihan jalan napas tidak Luaran utama: bersihan jalan napas Bersihan jalan napas tidak efektif (Hal. 454)
(Hal.154) Intervensi utama: manajemen jalan napas (Hal.186)
efektif berhubungan dengan
Setelah dilakukan tindakan Observasi:
spasme jalan napas keperawatan selama x24 jam 1. monitor pola napas
diharapkan bersihan jalan napas 2. monitor bunyi napas tambahan
(Hal.18) : 3. monitor sputum
1. produksi sputum menurun Terapeutik :
2. dispnea menurun 1. posisikan semi fowler
3. gelisah menurun 2. berikan minum hangat
4. frekuensi napas meningkat 3. lakukan penghisapan lender kurang dari 15 detik
4. berikan oksigen
Edukasi:
1. anjurkan asupan cairan 2000ml/hari,jika tidak
kontraindikasi
2. ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi :
1. pemberian ekspektoran,jika perlu
16

2. Gangguan pola tidur Luaran utama: pola tidur (Hal.160) Pola tidur (Hal. 464)
Setelah dilakukan tindakan Intervensi utama: dukungan tidur (Hal.48)
berhubungan dengan hambatan
keperawatan selama x24 jam Observasi:
lingkungan (tingkat diharapkan pola tidur (Hal.96) : 1. identifikasi faktor pengganggu tidur
1. keluhan sulit tidur meningkat Terapeutik :
kenyamanan)
2. keluhan sering terjaga meningkat 1. modifikasi lingkungan
3. keluhan istirahat tidak cukup 2. lakukan prosedur untuk meningkatkan
meningkat kenyamanan
Edukasi:
1. jelaskan pentingnya tidur cukup selama sakit
2. anjurkan menepati kebiasaan waktu tidur
3. ajarkan relaksasi otot autogenik

3. Ansietas berhubungan dengan Luaran utama: tingkat ansietas Ansietas (Hal. 453)
(Hal.154) Intervensi utama: terapi relaksasi (Hal.436)
kurang terpapar informasi
Setelah dilakukan tindakan Observasi:
keperawatan selama x24 jam 1. periksa tekanan darah,ketegangan otot,dan nadi
diharapkan tingkat ansietas (Hal.132) : 2. monitor terhadap terapi relaksasi
1. perilaku gelisah menurun Terapeutik :
2. keluhan pusing menurun 1. gunakan pakaian longgar
2. gunakan relaksasi sebagai relaksasi penunjang
Edukasi:
1. jelaskan tujuan jenis relaksasi (napas dalam)
2. anjurkan mengambil posisi nyaman
3. anjurkan rileks dan merasakan sensasi rileks
4. demonstrasikan dan latih teknik relaksasi
16

Anda mungkin juga menyukai