Anda di halaman 1dari 98

PEMANFAATAN KITOSAN DAN KARAGENAN

PADA PRODUK SABUN CAIR

Oleh :

Hangga Damai Putra Gandasasmita


C34104075

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ Pemanfaatan


Kitosan dan Karagenan pada Produk Sabun Cair” adalah karya saya sendiri
dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2009

Hangga Damai Putra G


NRP. C34104075
RINGKASAN

HANGGA DAMAI PUTRA GANDASASMITA. C34104075. Pemanfaatan


Kitosan dan Karagenan pada Produk Sabun Cair. Dibimbing Oleh LINAWATI
HARDJITO.

Permintaan konsumen terhadap sabun cair cenderung meningkat dari


tahun ke tahun, jika dibandingkan dengan sabun batang. Semakin berkembangnya
teknologi dan penggunaan sabun pada saat ini, bahan-bahan yang digunakan
dalam pembuatan sabun pun semakin bervariasi. Oleh karena itu, produsen sabun
berlomba-lomba mencari formula sabun untuk memproduksi sabun yang
ekonomis, higienis, tidak membahayakan kesehatan, mudah diolah, mudah
didapat dan memiliki nilai jual yang terjangkau. Penambahan bahan alami yang
aman bagi kesehatan seperti kitosan dan karagenan pada sabun cair perlu
dikembangkan.
Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari formulasi sabun cair dengan
penambahan kitosan dan karagenan, mempelajari pengaruh dari kombinasi kitosan
dan karagenan terhadap karakteristik sabun cair yang dihasilkan, mengetahui efek
melembabkan dari kitosan dan karagenan, dan membandingkan produk sabun cair
yang dihasilkan dengan produk yang ada di pasaran.
Penelitian ini terdiri dari dua tahap. Penelitian tahap pertama bertujuan
untuk melihat kombinasi karagenan dan kitosan terhadap karakteristik sabun cair
dan menentukan formulasi terbaik pembuatan sabun cair. Pada tahap ini,
perlakuan sabun cair dilakukan terhadap karagenan dan kitosan. Masing-masing
perlakuan, diuji karakteristiknya dengan pengujian fisik (bobot jenis dan
kelembaban) dan kimia (pH). Formulasi yang terpilih kemudian dipergunakan
pada penelitian tahap kedua. Pada penelitian tahap kedua, formulasi yang terpilih
dibandingkan karakteristiknya dengan kontrol positif (sabun cair komersial
merk Dove) dan kontrol negatif (formulasi sabun cair tanpa karagenan dan
kitosan). Pengujian yang dilakukan meliputi uji fisik (kelembaban dan bobot
jenis), uji kimia (pH dan kadar alkali bebas), uji mikrobiologi (angka lempeng
total), dan uji organoleptik (mutu hedonik).
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi stok
kitosan dan karagenan tidak berpengaruh nyata terhadap bobot jenis sabun cair,
dan perbedaan konsentrasi karagenan berpengaruh nyata terhadap pH sabun cair
yang dihasilkan. Sabun cair dengan penambahan konsentrasi stok kitosan 5 % dan
stok karagenan 4 % menghasilkan kelembaban yang terbaik dibandingkan sabun
cair yang lainnya.
Berdasarkan uji organoleptik, penambahan kitosan dan karagenan
berpengaruh nyata terhadap kekentalan, post effect dan penilaian umum sabun cair
yang dihasilkan. Sabun cair yang dihasilkan jika dibandingkan dengan sabun
komersial tidak berbeda nyata terhadap kekentalan, banyak busa, post effect, dan
penilaian umum sabun cair. Sabun cair yang dihasilkan memiliki kelembaban
lebih tinggi dibandingkan sabun komersial. Kadar alkali bebas pada sabun cair
yang dihasilkan sebesar 0,017% sehingga tidak menimbulkan efek iritasi pada
kulit. Formulasi sabun cair yang dihasilkan telah sesuai dengan standar SNI 06-
4085-1996 kecuali pada karakteristik pH.
PEMANFAATAN KITOSAN DAN KARAGENAN
PADA PRODUK SABUN CAIR

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan


Pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Hangga Damai Putra Gandasasmita


C34104075

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
1. Judul Penelitian : PEMANFAATAN KITOSAN DAN KARAGENAN
PADA PRODUK SABUN CAIR
2. Nama Mahasiswa : Hangga Damai Putra Gandasasmita
3. NIM : C34104075

Menyetujui,
Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Linawati Hardjito, M.Sc.


NIP. 131 664 395

Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc


NIP. 131 578 799

Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
”Pemanfaatan Kitosan dan Karagenan pada Produk Sabun Cair”. Salawat serta
salam tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan para
pengikutnya. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Ir. Linawati Hardjito M.Sc selaku pembimbing skripsi atas segala
arahan dan bantuan baik materil maupun non-materil selama penelitian
yang akan dilaksanakan.
2. Ir. Nurjanah, MS. dan Dra. Pipih Suptijah, MBA. atas kesediaannya
menjadi tim penguji.
3. Dosen, staf dan Laboran Departemen THP atas bantuannya selama penulis
menjalani pendidikan di IPB.
4. Mama dan Papa, Babal dan Kakak serta kedua keponakanku, Salsa dan
Adit atas doa dan kasih sayang yang diberikan.
5. Teman-teman di laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan : Alif, Enif,
Mbak Dian, Ian, Mbak Wiwit, Mbak Rahma, Febri, Luthfi, Rinto, Jamil,
Nazar dan Adrian..
6. Bu Ika selaku laboran di PAU, IPB.
7. Anne Prasastyane, yang selalu memberikan motivasi, semangat dan doa
pada penulis.
8. Teman-teman Lab Ombenk (Mas Ismail, Erlangga, Yugha, An`im, Anang,
Nuzul, Windhy, Andi, Boby, Nicolas) atas bantuan dan semangatnya.
9. Bunda Menik, Mas Pepi, Mas Aji, Pakde Trijoko, Mbak Yella, Mbak
Presty, Iman, Pak Prasabri, Bu Desi, Pak Hartanto, Teh Dita dan rekan-
rekan Barudak Blogger Bogor (BLOGOR) serta Blogger se-Indonesia atas
doa dan semangat yang diberikan.
10. Keluarga besar THP 41 atas kebersamaan, keceriaan dan kekompakkannya
selama ini.
11. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini
yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Namun
demikian semoga dapat diterima dan dapat bermanfaat bagi yang membacanya.

Bogor, Februari 2009

Hangga Damai Putra Gandasasmita


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 9 Mei 1986


sebagai putra kedua dari pasangan Bapak Bustanuddin
Wahid dan Ibu Dwi Hatmi.
Penulis mengawali pendidikan di SDN 01 Gedong
pada tahun 1992 dan menyelesaikan pendidikan pada tahun
1998. Pada tahun yang sama, penulis diterima di SLTPN 103
Jakarta dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2001. Penulis Melanjutkan
pendidikan di SMUN 98 Jakarta dari tahun 2001 hingga 2004. Tahun 2004,
penulis diterima di Institut Pertanian Bogor sebagai mahasiswa Program Studi
Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan melalui jalur
Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa
Teknologi Hasil Perikanan (Himasilkan) sebagai pengurus Pengembangan
Sumber Daya Mahasiswa (2004-2005), Kepala Departemen Pengabdian
Mahasiswa dan Masyarakat (2005-2006), Wakil Ketua (2006) dan Ketua (2007).
Penulis juga pernah mewakili IPB pada Kemah Kebangsaan dalam rangka
Peringatan Hari Pahlawan 2007. Penulis juga pernah menjadi asisten pada mata
kuliah Bioteknologi Hasil Perairan tahun ajaran 2007/2008.
Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, dengan judul “Pemanfaatan Kitosan dan Karagenan pada
Produk Sabun Cair”, dibimbing oleh Dr. Ir. Linawati Hardjito, M.Sc.
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiii
1. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2. Tujuan................................................................................................... 3
2. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 4
2.1. Kitosan.................................................................................................. 4
2.1.1. Sumber kitosan............................................................................. 4
2.1.2. Struktur dan sifat kitosan .............................................................. 5
2.1.3. Aplikasi kitosan............................................................................ 6
2.2. Karagenan ............................................................................................. 7
2.2.1. Sumber karagenan ........................................................................ 8
2.2.2. Struktur dan sifat karagenan ......................................................... 10
2.2.3. Aplikasi karagenan ....................................................................... 13
2.3. Minyak Kelapa ...................................................................................... 13
2.4. Sabun Cair ............................................................................................ 15
2.5. Formulasi Sabun Cair ............................................................................ 17
2.5.1. Bahan pengental ........................................................................... 17
2.5.2 Stabilizer ...................................................................................... 18
2.5.3. Bahan pelembab ........................................................................... 18
2.6. Kulit Manusia ....................................................................................... 18
3. METODOLOGI .......................................................................................... 21
3.1. Waktu dan Tempat ................................................................................ 21
3.2. Alat dan Bahan...................................................................................... 21
3.3. Penelitian Tahap Pertama ...................................................................... 21
3.4. Penelitian Tahap Kedua......................................................................... 24
3.5. Metode Pengujian ................................................................................. 24
3.5.1.Uji fisik ......................................................................................... 24
3.5.1.1. Bobot jenis, 25 oC (SNI 06-4085-1996) ............................ 24
3.5.1.2. Kelembaban produk (water holding capacity) .................. 24
3.5.2. Uji kimia ...................................................................................... 25
3.5.2.1. pH (SNI 06-4085-1996).................................................... 25
3.5.2.2. Kadar alkali bebas (SNI 06-4085-1996)............................ 25
3.5.3. Uji mikrobiologi (SNI 06-4085-1996) .......................................... 26
3.5.4. Organoleptik (Rahayu 1998) ........................................................ 26
3.5.5. Rancangan percobaan ................................................................... 27
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 29
4.1. Penelitian Tahap Pertama ...................................................................... 29
4.1.1. Formulasi sabun cair .................................................................... 29
4.1.2. Pengujian karakteristik ................................................................. 30
4.1.2.1. Uji bobot jenis, 25 oC ....................................................... 31
4.1.2.2. Uji pH .............................................................................. 32
4.1.2.3. Uji kelembaban (water holding capacity) ......................... 34
4.2. Penelitian Tahap Kedua......................................................................... 36
4.2.1. Uji organoleptik ........................................................................... 37
4.2.1.1. Kesukaan panelis terhadap penampakan sabun cair .......... 37
4.2.1.2. Kesukaan panelis terhadap kekentalan sabun cair ............. 39
4.2.1.3. Kesukaan panelis terhadap banyak busa sabun cair ........... 40
4.2.1.4. Kesukaan panelis terhadap post effect sabun cair .............. 42
4.2.1.5. Kesukaan panelis terhadap penilaian umum sabun cair ..... 44
4.2.2. Pengujian karakteristik ................................................................. 45
4.2.2.1. Uji Bobot Jenis, 25 oC ...................................................... 45
4.2.2.2. Uji pH .............................................................................. 47
4.2.2.3. Uji kelembaban ................................................................ 47
4.2.3. Uji mikrobiologi (SNI 06-4085-1996) .......................................... 49
4.3.4. Uji kadar alkali bebas ................................................................... 50
5. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 52
5.1. Kesimpulan ........................................................................................... 52
5.2. Saran ..................................................................................................... 53

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 54

LAMPIRAN ................................................................................................... 59
DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman


1. Aplikasi dasar kitosan ............................................................................ 7
2. Spesifikasi mutu karagenan .................................................................... 10
3. Unit-unit monomer karagenan ................................................................ 13
4. Daya kelarutan karagenan pada berbagai media pelarut.......................... 13
5. Syarat mutu sabun cair ........................................................................... 16
6. Formula yang digunakan pada penelitian tahap pertama ......................... 23
7. Komposisi media Plate Count Agar (PCA) ............................................ 25
8. Hasil formulasi sabun cair ...................................................................... 29
9. Hasil pengujian bobot jenis (g/ml) ......................................................... 31
10. Hasil pengujian tingkat keasaman .......................................................... 33
11. Hasil pengujian kelembaban (persentase berat produk) .......................... 34
12. Hasil pengujian bobot jenis produk tahap kedua ..................................... 45
13. Hasil pengujian pH produk tahap kedua ................................................. 47
14. Hasil pengujian cemaran mikroba (angka lempeng total) produk............ 50
DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman


1. Struktur kimia selulosa, kitin dan kitosan ............................................... 5
2. Konversi kitin menjadi kitosan ............................................................... 6
3. Spesies rumput laut penghasil karagenan ............................................... 9
4. Struktur kappa, iota dan lambda karagenan ............................................ 12
5. Reaksi saponifikasi ................................................................................ 15
6. Prosedur pembuatan sabun cair .............................................................. 22
7. Histogram pengujian bobot jenis produk ................................................ 31
8. Histogram pengujian pH ........................................................................ 33
9. Grafik hasil pengujian kelembaban ........................................................ 35
10. Produk sabun cair yang diuji pada penelitian tahap kedua ...................... 37
11. Histogram uji mutu hedonik terhadap penampakan ................................ 38
12. Histogram uji mutu hedonik terhadap kekentalan ................................... 39
13. Histogram uji mutu hedonik terhadap banyak busa ................................ 41
14. Histogram uji mutu hedonik terhadap post effect .................................... 42
15. Histogram uji mutu hedonik terhadap penilaian umum........................... 44
16. Histogram pengujian bobot jenis tahap kedua ........................................ 46
17. Histogram pengujian pH produk tahap kedua ......................................... 47
18. Grafik hasil pengujian kelembaban tahap kedua ..................................... 48
DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman
1. SNI 06-4085-1996 ................................................................................. 60
2. Lembar penilaian organoleptik sabun cair .............................................. 75
3. Formulasi yang dilakukan ...................................................................... 76
4. Data pengujian bobot jenis ..................................................................... 77
5. Hasil analisa statistik bobot jenis............................................................ 77
6. Data pengujian pH ................................................................................. 78
7. Hasil analisa statistik pH ........................................................................ 78
8. Data pengujian kelembaban ................................................................... 79
9. Data pengujian organoleptik .................................................................. 85
10. Hasil analisa statistik organoleptik dengan kontrol negatif ..................... 90
11. Hasil analisa statistik organoleptik dengan kontrol positif ...................... 91
12. Data pengujian bobot jenis produk (tahap kedua) ................................... 91
13. Analisa statistik bobot jenis produk (tahap kedua) .................................. 92
14. Data pengujian pH produk (tahap kedua) ............................................... 92
15. Analisa statistik pH produk (tahap kedua) .............................................. 92
16. Data pengujian kelembaban produk (tahap kedua) ................................. 93
17. Data pengujian angka lempeng total produk ........................................... 94
18. Perhitungan kadar alkali bebas ............................................................... 94
19. Contoh perhitungan kadar alkali bebas ................................................... 95
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiii
1. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2. Tujuan................................................................................................... 3
2. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 4
2.1. Kitosan.................................................................................................. 4
2.1.1. Sumber kitosan............................................................................. 4
2.1.2. Struktur dan sifat kitosan .............................................................. 5
2.1.3. Aplikasi kitosan............................................................................ 6
2.2. Karagenan ............................................................................................. 7
2.2.1. Sumber karagenan ........................................................................ 8
2.2.2. Struktur dan sifat karagenan ......................................................... 10
2.2.3. Aplikasi karagenan ....................................................................... 13
2.3. Minyak Kelapa ...................................................................................... 13
2.4. Sabun Cair ............................................................................................ 15
2.5. Formulasi Sabun Cair ............................................................................ 17
2.5.1. Bahan pengental ........................................................................... 17
2.5.2 Stabilizer ...................................................................................... 18
2.5.3. Bahan pelembab ........................................................................... 18
2.6. Kulit Manusia ....................................................................................... 18
3. METODOLOGI .......................................................................................... 21
3.1. Waktu dan Tempat ................................................................................ 21
3.2. Alat dan Bahan...................................................................................... 21
3.3. Penelitian Tahap Pertama ...................................................................... 21
3.4. Penelitian Tahap Kedua......................................................................... 24
3.5. Metode Pengujian ................................................................................. 24
3.5.1.Uji fisik ......................................................................................... 24
3.5.1.1. Bobot jenis, 25 oC (SNI 06-4085-1996) ............................ 24
3.5.1.2. Kelembaban produk (water holding capacity) .................. 24
3.5.2. Uji kimia ...................................................................................... 25
3.5.2.1. pH (SNI 06-4085-1996).................................................... 25
3.5.2.2. Kadar alkali bebas (SNI 06-4085-1996)............................ 25
3.5.3. Uji mikrobiologi (SNI 06-4085-1996) .......................................... 26
3.5.4. Organoleptik (Rahayu 1998) ........................................................ 26
3.5.5. Rancangan percobaan ................................................................... 27
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 29
4.1. Penelitian Tahap Pertama ...................................................................... 29
4.1.1. Formulasi sabun cair .................................................................... 29
4.1.2. Pengujian karakteristik ................................................................. 30
4.1.2.1. Uji bobot jenis, 25 oC ....................................................... 31
4.1.2.2. Uji pH .............................................................................. 32
4.1.2.3. Uji kelembaban (water holding capacity) ......................... 34
4.2. Penelitian Tahap Kedua......................................................................... 36
4.2.1. Uji organoleptik ........................................................................... 37
4.2.1.1. Kesukaan panelis terhadap penampakan sabun cair .......... 37
4.2.1.2. Kesukaan panelis terhadap kekentalan sabun cair ............. 39
4.2.1.3. Kesukaan panelis terhadap banyak busa sabun cair ........... 40
4.2.1.4. Kesukaan panelis terhadap post effect sabun cair .............. 42
4.2.1.5. Kesukaan panelis terhadap penilaian umum sabun cair ..... 44
4.2.2. Pengujian karakteristik ................................................................. 45
4.2.2.1. Uji Bobot Jenis, 25 oC ...................................................... 45
4.2.2.2. Uji pH .............................................................................. 47
4.2.2.3. Uji kelembaban ................................................................ 47
4.2.3. Uji mikrobiologi (SNI 06-4085-1996) .......................................... 49
4.3.4. Uji kadar alkali bebas ................................................................... 50
5. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 52
5.1. Kesimpulan ........................................................................................... 52
5.2. Saran ..................................................................................................... 53

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 54

LAMPIRAN ................................................................................................... 59
DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman


1. Aplikasi dasar kitosan ............................................................................ 7
2. Spesifikasi mutu karagenan .................................................................... 10
3. Unit-unit monomer karagenan ................................................................ 13
4. Daya kelarutan karagenan pada berbagai media pelarut.......................... 13
5. Syarat mutu sabun cair ........................................................................... 16
6. Formula yang digunakan pada penelitian tahap pertama ......................... 23
7. Komposisi media Plate Count Agar (PCA) ............................................ 25
8. Hasil formulasi sabun cair ...................................................................... 29
9. Hasil pengujian bobot jenis (g/ml) ......................................................... 31
10. Hasil pengujian tingkat keasaman .......................................................... 33
11. Hasil pengujian kelembaban (persentase berat produk) .......................... 34
12. Hasil pengujian bobot jenis produk tahap kedua ..................................... 45
13. Hasil pengujian pH produk tahap kedua ................................................. 47
14. Hasil pengujian cemaran mikroba (angka lempeng total) produk............ 50
DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman


1. Struktur kimia selulosa, kitin dan kitosan ............................................... 5
2. Konversi kitin menjadi kitosan ............................................................... 6
3. Spesies rumput laut penghasil karagenan ............................................... 9
4. Struktur kappa, iota dan lambda karagenan ............................................ 12
5. Reaksi saponifikasi ................................................................................ 15
6. Prosedur pembuatan sabun cair .............................................................. 22
7. Histogram pengujian bobot jenis produk ................................................ 31
8. Histogram pengujian pH ........................................................................ 33
9. Grafik hasil pengujian kelembaban ........................................................ 35
10. Produk sabun cair yang diuji pada penelitian tahap kedua ...................... 37
11. Histogram uji mutu hedonik terhadap penampakan ................................ 38
12. Histogram uji mutu hedonik terhadap kekentalan ................................... 39
13. Histogram uji mutu hedonik terhadap banyak busa ................................ 41
14. Histogram uji mutu hedonik terhadap post effect .................................... 42
15. Histogram uji mutu hedonik terhadap penilaian umum........................... 44
16. Histogram pengujian bobot jenis tahap kedua ........................................ 46
17. Histogram pengujian pH produk tahap kedua ......................................... 47
18. Grafik hasil pengujian kelembaban tahap kedua ..................................... 48
DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman
1. SNI 06-4085-1996 ................................................................................. 60
2. Lembar penilaian organoleptik sabun cair .............................................. 75
3. Formulasi yang dilakukan ...................................................................... 76
4. Data pengujian bobot jenis ..................................................................... 77
5. Hasil analisa statistik bobot jenis............................................................ 77
6. Data pengujian pH ................................................................................. 78
7. Hasil analisa statistik pH ........................................................................ 78
8. Data pengujian kelembaban ................................................................... 79
9. Data pengujian organoleptik .................................................................. 85
10. Hasil analisa statistik organoleptik dengan kontrol negatif ..................... 90
11. Hasil analisa statistik organoleptik dengan kontrol positif ...................... 91
12. Data pengujian bobot jenis produk (tahap kedua) ................................... 91
13. Analisa statistik bobot jenis produk (tahap kedua) .................................. 92
14. Data pengujian pH produk (tahap kedua) ............................................... 92
15. Analisa statistik pH produk (tahap kedua) .............................................. 92
16. Data pengujian kelembaban produk (tahap kedua) ................................. 93
17. Data pengujian angka lempeng total produk ........................................... 94
18. Perhitungan kadar alkali bebas ............................................................... 94
19. Contoh perhitungan kadar alkali bebas ................................................... 95
1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kulit merupakan salah satu bagian yang terpenting dari tubuh kita yang
melindungi bagian dalam tubuh dari gangguan fisik maupun mekanik, gangguan
panas atau dingin, gangguan sinar radiasi atau sinar ultraviolet, gangguan kuman,
bakteri, jamur, atau virus. Kulit juga berfungsi sebagai tempat keluarnya keringat
atau sisa metabolisme dalam tubuh, fungsi pengindera serta pengatur suhu tubuh.
Kulit merupakan bagian tubuh paling luar yang sering terkena pengaruh
dari lingkungan sekitarnya dan dipengaruhi oleh metabolisme yang terjadi dalam
tubuh manusia. Berbagai faktor baik dari luar tubuh (eksternal) maupun dari
dalam tubuh (internal) diantaranya udara kering, sinar matahari terik, angin keras,
umur lanjut, berbagai penyakit kulit maupun penyakit dalam tubuh dan lain
sebagainya akan mempengaruhi struktur dan fungsi kulit. Secara alamiah kulit
mempunyai mekanisme untuk menjaga struktur dan fungsinya hanya saja
terkadang pengaruh negatif yang ditimbulkan tidak dapat ditanggulangi
(Wasitaatmadja 1997). Hal tersebut memicu kebutuhan akan perlindungan non-
alamiah yaitu perlindungan dengan menggunakan kosmetika pelembab seperti
sabun.
Sabun adalah garam natrium atau kalium dari asam lemak yang berasal
dari minyak nabati atau lemak hewani. Sabun dapat berwujud padat atau cair.
Sabun cair adalah bahan yang komponen utamanya trigliserida dan sabun cair ini
mampu mengemulsikan air, kotoran/minyak. Sabun cair efektif untuk mengangkat
kotoran yang menempel pada permukaan kulit baik yang larut air maupun larut
lemak.
Permintaan konsumen terhadap sabun cair cenderung meningkat dari
tahun ke tahun, jika dibandingkan dengan sabun batang. Watkinson (2000)
melaporkan bahwa perbandingan pasar sabun padat:sabun cair pada akhir Juli
2000 adalah 60:40, sedangkan pada tahun 1994 sebesar 80:20. Tetapnya
permintaan sabun batang di internasional disebabkan karena konsumen lebih
memilih untuk menggunakan sabun cair dan shower gels daripada sabun batang.
Sabun cair memiliki beberapa keunggulan daripada sabun padat, yaitu
persepsi konsumen bahwa sabun cair lebih higienis, produk sabun cair lebih
menguntungkan, praktis serta ekonomis bagi konsumen dan produksi sabun cair
lebih mudah dan menguntungkan bagi produsen (Watkinson 2000).
Dari 26 sampel kamar mandi umum yang diobservasi, sabun cair diketahui
memberikan hasil negatif terhadap kandungan bakteri, sedangkan 84 sampel
sabun batang yang diperoleh memberikan hasil yang positif (Nix 2005).
Semakin berkembangnya teknologi dan penggunaan sabun pada saat ini,
bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan sabun pun semakin bervariasi.
Oleh karena itu, produsen sabun berlomba-lomba mencari formula sabun untuk
memproduksi sabun yang ekonomis, higienis, tidak membahayakan kesehatan,
mudah diolah, mudah didapat dan memiliki nilai jual yang terjangkau.
Penambahan bahan alami yang aman bagi kesehatan pada sabun cair perlu
dikembangkan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pengaruh positif atau
fungsi tertentu terhadap sabun cair yang dihasilkan. Fungsi tersebut antara lain
memberikan kesan halus, kesan lembut, melembabkan kulit dan memiliki
aktivitas antibakteri bila digunakan. Selain itu, dengan penambahan bahan alami
tersebut diharapkan dapat memperbaiki tekstur dan penampakan serta kandungan
kimia sabun cair. Salah satu produk hasil perairan yang memiliki fungsi tersebut
yaitu kitosan dan karagenan.
Dalam bidang kosmetik, pemanfaatan kitosan telah diaplikasikan sebagai
humektan, thickening agent (pengental), stabilizer dan pelembab (Lang dan
Clausen 1989). Menurut Rinaudo (2006), kitosan memiliki efek melembabkan
dan melembutkan pada kulit. Pemanfaatan kitosan dalam industri kosmetik
merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan pengolahan
limbah cangkang crustacea menjadi kitin dan kitosan. Kitosan juga berpotensi
melawan patogen yang ada dalam air khususnya bakteri Gram negatif (Chung et.
al. 2003 dalam Pendrianto 2008).
Sedangkan karagenan dalam industri kosmetika digunakan sebagai bahan
stabilizer, suspensi, dan pelarut. Dalam pembuatan sabun cair diperlukan bahan
pengental. Karagenan dapat digunakan sebagai bahan pengental. Karagenan
merupakan salah satu hidrokoloid yang dapat digunakan sebagai thickener (bahan
pengental) dan stabilizer (bahan penstabil) (Winarno 1996).
Penelitian mengenai penambahan karagenan dan kitosan pada formulasi
sabun cair perlu dilakukan untuk mengganti penggunaan bahan sintetik pada
sabun cair sehingga memberikan produk yang berkualitas dan aman digunakan.

1.2 Tujuan
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
1. Mempelajari cara pembuatan sabun cair dengan penambahan kitosan dan
karagenan,
2. Mempelajari pengaruh dari kombinasi kitosan dan karagenan terhadap
karakteristik sabun cair yang dihasilkan,
3. Mengetahui efek melembabkan dari kitosan dan karagenan,
4. Membandingkan produk sabun cair yang dihasilkan dengan produk yang
ada di pasaran.
2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kitosan
Sebagai negara maritim, Indonesia sangat berpotensi menghasilkan kitin
dan produk turunannya. Limbah cangkang rajungan di Cirebon saja berkisar 10
ton perhari yang berasal dari sekurangnya 20 industri kecil. Kitosan tersebut
masih menjadi limbah yang dibuang dan menimbulkan masalah lingkungan. Data
statistik menunjukkan negara yang memiliki industri pengolahan kerang
menghasilkan sekitar 56.200 ton limbah per tahun (Sandford 2003 dalam
Meidina et. al 2006). Pasar dunia menunjukkan bahwa harga internasional untuk
kitosan berkisar antara USD 40 per kg sampai USD 100 per kg (Anonim 2007)
Walaupun tersebar luas di alam, sumber utama kitin yang dapat digunakan
dalam pengembangan lebih lanjut adalah limbah udang berupa kepala dan kulit
dikarenakan limbah ini mudah didapat dalam jumlah besar sebagai limbah hasil
pengolahan udang. Limbah ini juga mengandung protein, CaCO3, serta
astaxanthin (Suptijah et al. 1992). Kulit golongan crustacea merupakan sumber
kitin yang paling kaya, kandungannya dapat mencapai 40–60 % berat kering
(Angka dan Suhartono 2000).

2.1.1. Sumber kitosan


Kitosan sebagai polimer alami dapat dihasilkan dari hewan berkulit keras
terutama dari laut seperti kulit udang, rajungan, kepiting, cumi-cumi dengan kadar
kitosan antara 10–15 %. Selain dari kulit hewan laut, kitosan juga dapat diperoleh
dari dinding sel jamur antara lain Aspergillus niger (Hardjito 2006).
Kitosan adalah biopolimer alami yang diperoleh dari eksoskeleton
crustacea dan Arthropoda dimana polimernya terbentuk dari unit-unit β-(1,4)-2-
acetamido-2-deoxy-D-glukosa dan β-(1,4)-2-amino-2-deoxy-D-glukosa (Nan et.
al 2006).
Kitosan merupakan biopolimer karbohidrat alami yang dibuat dari
deasetilasi kitin, komponen mayor pada cangkang crustacean seperti kepiting dan
udang (No dan Meyer 1989 dalam Kim 2004). Kitosan juga merupakan fiber
seperti halnya selulosa. Cangkang udang mengandung protein (30–40 %), kalsium
karbonat (30-50 %) dan kitin (20-30 %) pada basis kering (Johnson dan Peninston
1982 dalam Kim 2004). Jumlah kandungan tersebut bervariasi tergantung dari
spesies dan musim (Green dan Kramer 1984 dalam Kim 2004).

2.1.2. Struktur dan sifat kitosan


Kitosan merupakan turunan dari kitin yang dideasetilasi dapat larut pada
larutan asam seperti asam asetat atau asam format. Isolasi secara tradisional kitin
dari limbah/kulit crustacea melewati tiga tahapan yaitu, demineralisasi,
deproteinase dan dekolorisasi. Tiga tahapan tersebut merupakan standar prosedur
pada pembuatan kitin (No 1989 dalam Kim 2004).
Karakteristik kitosan adalah non toksik, polimer biodegradable pada bobot
molekul yang tinggi dan sangat mirip dengan selulosa. Struktur kimia kitin dan
kitosan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur kimia selulosa, kitin dan kitosan (Kim 2004)

Kitosan pada umumnya tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut
asam dengan pH di bawah 6 seperti asam asetat, asam format dan asam laktat
yang digunakan sebagai pelarut kitosan dan yang sering digunakan adalah pelarut
asam asetat 1 % (Nadarajah 2005). Kitosan dapat dikelompokkan berdasarkan BM
dan kelarutannya (Janesh dan Alonso 2003), yaitu:
- Kitosan larut asam dengan BM 800.000 Dalton sampai 1.000.000 Dalton,
- Kitosan mikrokristalin (larut air dengan BM sekitar 150.000 Dalton
- Kitosan nanopartikel (larut air) dengan BM 23.000 Dalton sampai
70.000 Dalton, dapat berfungsi sebagai imunomodulator.
Pada umumnya, kitin dengan derajat deasetilasi di atas 70 % dapat
dikatakan sebagai kitosan (Li et al. 1997 dalam Nadarajah 2005). Pada proses
deasetilasi, gugus asetil dari rantai molekuler kitin dihilangkan menjadi bentuk
gugus amino. Temperatur dan konsentrasi dari larutan natrium hidroksida
berpengaruh terhadap penghilangan gugus asetil dari kitin, yang menghasilkan
kitosan yang berbeda tergantung dari aplikasi yang akan digunakan (Baxter et al.
1992 dalam Nadarajah 2005, Mima et al. 1983 dalam Nadarajah 2005). Konversi
kitin dan kitosan dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Konversi kitin menjadi kitosan (Nadarajah 2005)

2.1.3. Aplikasi kitosan


Kitosan telah dimanfaatkan dalam berbagai keperluan industri seperti
industri kertas dan tekstil sebagai zat aditif, industri pembungkus makanan berupa
film khusus, industri metalurgi sebagai absorban untuk ion-ion metal, industri
kulit untuk perekat, fotografi, industri cat sebagai koagulan, pensuspensi dan
flokulasi, serta industri makanan sebagai aditif (Suptijah et al 1992).
Kitosan telah digunakan secara luas pada berbagai kegunaan, mulai dari
manajemen limbah hingga pembuatan makanan, obat-obatan dan bioteknologi
(Savant et al. dalam Khan et al. 2002). Kitosan juga dapat diaplikasikan pada
industri farmasi karena memiliki sifat biodegradabilitas dan biokompabilitas dan
toksiksitas yang rendah (Khan et al. 2002). Aplikasi dasar kitosan dapat dilihat
pada Tabel 1.

Tabel 1. Aplikasi dasar kitosan


Bidang Fungsi
Pertanian Menstimulasi pertumbuhan tanaman, melapisi
benih, Frost protection
Water & waste treatment Flokulan, menghilangkan ion metal, polimer
ramah lingkungan, mengurangi bau
Makanan dan minuman Dietary fiber, mengikat lemak, pengawet,
pengental dan penstabil pada saus,
perlindungan, antibakteri, antifungi, coating
pada buah
Kosmetik Menjaga kelembaban kulit
Menghilangkan jerawat
Oral care (pasta gigi)
Melembutkan kulit
Mengurangi elektrisiti statis pada rambut
Biofarmasi Immunologikal, hemostatik, antitumoral,
anticoagulant healing, bakteriostatik
Sumber : Rinaudo (2006)

2.2. Karagenan
Selama beberapa ratus tahun yang lalu, karagenan telah digunakan sebagai
bahan pengental dan penstabil pada makanan di Eropa dan Asia Timur. Di Eropa,
penggunaan karagenan dimulai sejak lebih dari 600 tahun yang lalu, yaitu di
daerah Irlandia. Di sebuah desa yang bernama Carraghen yang terletak di pantai
selatan Irlandia, flan (kue pastry) dibuat dengan memasak irish moss (spesies alga
merah, Chondrus crispus) dengan susu. Istilah carrageenan (karagenan) yang pada
mulanya digunakan untuk menamakan ekstrak dari Chondrus crispus diambil
dari nama desa tersebut (Tseng 1945 dalam Velde dan Gerhard 2004).
Karagenan merupakan senyawa hidrokoloid yang terdiri atas ester kalium,
natrium, magnesium dan kalium sulfat dengan galaktosa 3,6 anhidrogalaktosa
kopolimer. Karagenan adalah suatu bentuk polisakarida linear dengan berat
molekul di atas 100 kDa (Winarno 1996).

2.2.1. Sumber karagenan


Karagenan merupakan getah rumput laut yang diekstraksi dengan air atau
larutan alkali dari spesies tertentu dari kelas Rhodophyceae (alga merah).
Karagenan merupakan senyawa hidrokoloid yang terdiri dari ester kalium, natriun,
magnesium dan kalsium sulfat, dengan galaktosa dan 3,6 anhidrogalakto
kopolimer (Winarno 1996).
Karagenan pertama kali ditemukan pada Chondrus crispus, yang
merupakan salah satu jenis alga merah yang terdapat di Atlantik Utara. Nama lain
dari alga laut ini adalah irish moss. Chondrus crispus sebenarnya mengandung
campuran dari tiga tipe karagenan (kappa, lambda dan iota), namun yang lebih
dominan adalah antara kappa dan lambda. Chondrus crispus diambil langsung
dari alam dan tidak dibudidayakan. Saat ini, Newfoundland (Canada) adalah salah
satu sumber utama penghasil Chondrus crispus, tetapi bukan merupakan sumber
utama penghasil karagenan di dunia (Anonim 2004).
Saat ini, industri pembuatan karagenan tidak hanya terbatas pada ekstraksi
dari Chondrus crispus. Sejumlah spesies alga merah kini telah digunakan sebagai
sumber karagenan. Pada mulanya, spesies-spesies rumput laut tersebut diambil
langsung secara tradisional dari alam. Seiring dengan berkembangnya teknologi,
praktek budidaya rumput laut untuk meningkatkan produksi karagenan pun
dimulai. Sekitar 200 tahun yang lalu, di Jepang dilakukan praktek budidaya
rumput laut yang pertama. Kemudian pada tahun 1950-an, dengan semakin
banyaknya informasi ilmiah mengenai rumput laut, dibuatlah pakan buatan untuk
mendukung budidaya rumput laut. Sekarang, hampir selusin taksa rumput laut
telah dibudidayakan secara komersial (Velde dan Gerhard 2004).
Gigartina adalah contoh genera lain yang dapat digunakan untuk
mengekstraksi karagenan. Gigartina diambil langsung dari alam dari beberapa
jenis, seperti Gigartina stellata yang ditemukan di daerah pantai di Perancis dan
Gigartina skottsbergii di daerah pantai Argentina dan Chili. Berbeda dari spesies
rumput laut penghasil karagenan lainnya, Gigartina memiliki campuran tipe-tipe
karagenan yang tersusun dalam rantai polimer yang sama dalam bentuk polimer
hibrid. Iridaea adalah jenis lain dari rumput laut penghasil karagenan di Amerika
Selatan. Iridaea dapat ditemukan di daerah pantai Chili (Anonim 2004).
Euchema yang merupakan spesies dari Pasifik, memiliki dua jenis rumput
laut komersial, yaitu Euchema cottonii (Kappaphycus alvarezii) dan Euchema
spinosum. Tidak seperti alga laut penghasil karagenan lainnya, spesies Euchema
relatif murni dalam hal karagenannya. Hal ini memungkinkan fleksibilitas
penggunaan karagenan dalam formulasi karena kita tidak perlu lagi menghitung
rasio antara kappa dan iota, seperti yang terjadi jika kita menggunakan karagenan
dari rumput laut penghasil karagenan lainnya (Anonim 2004). Spesies rumput
laut penghasil karagenan dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Spesies rumput laut penghasil karagenan (Velde dan Gerhard 2004)

Sumber karagenan untuk daerah tropis adalah dari spesies Euchema


cottonii yang menghasilkan kappa karagenan, Euchema spinosum yang
menghasilkan iota karagenan. Kedua jenis Euchema tersebut banyak terdapat di
sepanjang pantai Filipina dan Indonesia. Karagenan dapat diperoleh dari hasil
pengendapan dengan alkohol, pengeringan dengan alat (drum dryer) dan
pembekuan. Jenis alkohol yang yang dapat digunakan untuk pemurnian hanya
terbatas metanol, etanol, dan isopropanol (Winarno 1996).

2.2.2. Struktur dan sifat karagenan


Karagenan merupakan polisakarida berantai lurus yang dibentuk oleh unit-
unit α(1-3)-D-galaktosa dan β(1-4)-D-galaktosa secara berselang-seling.
Karagenan dikelompokkan berdasarkan gugus 3,6 anhidro galaktosa dan jumlah
serta posisi dari gugus ester sulfatnya (Gliksman 1983 dalam Uju 2005).
Karagenan merupakan molekul besar yang terdiri dari lebih 1000 residu galaktosa
oleh karena itu variasinya juga banyak sekali (Winarno 1996).
Karagenan adalah makro molekul dengan tingkat polydispersity yang
tinggi. Distribusi massa molekul karagenan cukup beragam, tergantung dari umur
rumput laut yang dipanen, waktu pemanenan (musim panen), metode ekstraksi,
dan lama perlakuan yang menggunakan proses pemanasan. Karagenan komersial
(food grade) memiliki berat molekul rata-rata (Mw) 400-600 kDa dan minimal
100 kDa. Pada tahun 1976, U.S. Food and Drugs Administration mendefinisikan
karagenan yang termasuk dalam kategori food grade adalah karagenan yang
memiliki viskositas tidak kurang dari 5 cP pada konsentrasi 1,5 % dalam air dan
suhu 75 oC (Velde dan Gerhard 2004). Spesifikasi karagenan menurut FAO (Food
Agriculture Organization), FCC (Food Chemical Codex) di Amerika dan EEC
(European Economic Community) di Eropa.dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Spesifikasi mutu karagenan


Spesifikasi FAO FOC EEC
Senyawa mudah menguap <12 <12 <12
Sulfat (%) 15 – 14 18 – 40 15 – 40
Abu (%) 15 – 14 < 35 15 – 40
Abu tak larut asam (%) - <1 <2
Logam
Pb (ppm) <10 <10 <10
As (ppm) <3 <3 <3
Cu + Zn (ppm)
Kehilangan karena pengeringan <12
Sumber: Angka dan Suhartono (2000)
Di pasaran, karagenan ditemukan dalam dua tipe, yaitu refined karagenan
dan semi-refined karagenan. Semi-refined karagenan dibuat dari spesies rumput
laut Euchema yang banyak terdapat di daerah Indonesia dan Filipina. Tipe
karagenan semi-refined ini diperoleh melalui proses yang lebih hemat daripada
proses yang digunakan untuk menghasilkan refined karagenan. Karagenan semi-
refined mengandung lebih banyak bahan-bahan yang tidak larut asam (8 sampai
15 %) dibandingkan dengan refined karagenan (2 %). Bahan-bahan yang tidak
larut dalam asam terutama adalah selulosa yang biasanya terdapat pada dinding
sel alga. Dalam hal kandungan logam berat, karagenan semi-refined memiliki
kandungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan refined karagenan (Imeson
2000 dalam Velde dan Gerhard 2004).
Karagenan bukan merupakan biopolimer tunggal, tetapi campuran dari
galaktan-galaktan linier yang mengandung sulfat dan larut dalam air. Galaktan-
galaktan tersebut terhubung oleh 3-β-D-galaktopiranosa (G-units) dan 4-α-D-
galaktopiranosa (D-units) atau 4-3,6-anhidrogalaktosa (DA-units), membentuk
pengulangan disakarida dari karagenan. Galaktan yang mengandung sulfat
diklasifikasikan berdasarkan adanya 3,6-anhidrogalaktosa serta posisi dan jumlah
golongan sulfat pada strukturnya. Karagenan komersial memiliki kandungan
sulfat 22–38 % (w/w). Selain galaktosa dan sulfat, residu karbohidrat lain (seperti
xylosa, glukosa dan asam uronik) dan senyawa substituent (seperti metal eter dan
golongan piruvat) juga terdapat pada karagenan (Knutsen et al. 1994 dalam Velde
dan Gerhard 2004).
Berdasarkan cara pengelompokkannya tersebut, karagenan dapat
dibedakan menjadi 3 jenis yaitu karagenan jenis kappa, iota dan lambda
(Gliksman 1983 dalam Uju 2005). Kappa karagenan tersusun atas α (1-3) D
galaktosa-4-sulfat dan β (1-4) 3,6 anhydro D galaktosa. Di samping itu karagenan
sering mengandung D-galaktosa 2-sulfat ester dan 3,6 anhydro-D-galaktosa 3-
sulfat ester. Adanya gugusan 6-sulfat dapat menurunkan daya gelasi dari
karagenan, tetapi dengan pemberian alkali mampu menyebabkan terjadinya
transeliminasi gugusan 6-sulfat, yang menghasilkan terbentuknya 3,6 anhydro-D-
galaktosa. Dengan demikian derajat keseragaman molekul akan meningkat dan
daya gelasinya juga bertambah (Winarno 1996). Kappa karagenan adalah tipe
karagenan yang paling banyak digunakan. Sifatnya yang paling penting terletak
pada kekuatan gelnya yang tinggi dan berinteraksi kuat dengan protein susu,
Sekitar 70 % dari produksi karagenan di dunia adalah kappa karagenan (Anonim
2004).
Iota karagenan, ditandai dengan adanya 4-sulfat ester pada setiap residu D-
glukosa dan gugusan 2-sulfat ester pada setiap gugusan 3,6 anhidro-D-galaktosa.
Gugusan 2-sulfat ester tidak dapat dihilangkan oleh proses pemberian alkali
seperti halnya kappa karagenan. Iota karagenan sering mengandung beberapa
gugusan 6-sulfat ester yang menyebabkan kurangnya keseragaman molekul yang
dapat dihilangkan dengan pemberian alkali (Winarno 1996).
Lambda karagenan berbeda dengan kappa dan iota karagenan, karena
memiliki sebuah residu disulfat α (1-4) D galaktosa. Tidak seperti pada kappa dan
iota karagenan yang selalu memiliki gugus 4-phosphat ester (Winarno 1996).
Struktur dan unit-unit monomer kappa, iota dan lambda dapat dilihat pada
Gambar 4.

Gambar 4. Struktur kappa, iota dan lambda karagenan (Sary 2007)

Kegunaan karagenan dinilai dari dua kunci utama. Kemampuannya untuk


membentuk gel yang kuat dengan garam tertentu atau jenis gum lain dan
kemampuannya untuk berinteraksi dengan protein tertentu. Unit-unit monomer
kappa, iota dan lambda dari karagenan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Unit-unit monomer karagenan.
Fraksi karagenan Monomer
Kappa D-galaktosa 4-sulfat
3,6-anhidro-D-galaktosa
Iota D-galaktosa 4-sulfat
3,6-anhidro-D-galaktosa 2-Sulfat
Lambda D-galaktosa 2-sulfat
D-galaktosa 2,6-disulfat
Sumber: Towle 1973

Karagenan terutama digunakan dalam industri makanan dengan beberapa


aplikasi dalam industri toiletries (Anonim 2004). Daya kelarutan karagenan pada
berbagai media pelarut dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Daya kelarutan karagenan pada berbagai media pelarut

Sumber: cPKelco ApS (2004) dan Glicksman (1983)

2.2.3. Aplikasi karagenan


Karagenan sangat penting peranannya sebagai stabilisator (pengatur
keseimbangan), thickener (bahan pengental), pembentukan gel, pengemulsi dan
lain-lain. Sifat ini banyak dimanfaatkan dalam industri makanan, obat-obatan,
kosmetik, tekstil, cat, pasta gigi dan industri lainnya. Perlu ditambahkan bahwa
dewasa ini sekitar 80 persen produksi karagenan digunakan dalam produk
makanan (Winarno 1996).

2.3. Minyak Kelapa


Minyak atau lemak termasuk dalam golongan lipid netral. Komponen
utama penyusun lemak atau minyak adalah trigliserida. Trigliserida terdiri dari
kombinasi dari berbagai macam asam lemak yang terikat dengan gugus gliserol
oleh ikatan ester. Asam lemak merupakan komponen dari minyak atau lemak
yang dapat digunakan sebagai bahan pembuatan sabun. Asam lemak ini terdiri
dari dua bagian, yaitu gugus karboksil dan rantai hidrokarbon yang berikatan
dengan gugus karboksil (SDA 2001).
Berdasarkan kejenuhan, asam lemak dibagi menjadi 3, yaitu asam lemak
jenuh (saturated), asam lemak tak jenuh tunggal (monounsaturated), dan asam
lemak tak jenuh ganda (polyunsaturated). Pada asam lemak tak jenuh tunggal,
terdapat ikatan rangkap C=C. Pada asam lemak tak jenuh ganda, dua atau lebih
atom hidrogennya hilang, sehingga terdapat beberapa ikatan rangkap C=C (Yasya
2007).
Kekhasan dan khasiat minyak kelapa murni terletak pada kandungan asam
lemaknya yang sebagian besar terdiri dari asam lemak rantai sedang (medium
chain fatty acid, MCFA). MCFA adalah asam lemak yang memiliki atom karbon
8-12, contohnya asam kaprilat (C8:0), asam kaprat (C10:0) dan asam laurat
(C12:0). Ketiga jenis asam lemak jenuh ini, bersama asam miristat (C14:0) dan
asam palmitat (C16:0) membentuk sebagian besar asam lemak dalam minyak
kelapa, khususnya minyak kelapa murni. Telah diketahui bahwa minyak kelapa
memiliki kandungan asam lemak jenuh yang tinggi yaitu sekitar 92%, lebih tinggi
dibandingkan minyak lainnya. Perbedaan kandungan asam lemak jenuh dan tak
jenuh sangat berpengaruh pada sifat minyak tersebut (Yasya 2007).
Hasil penelitian pada dekade 1990 mengungkapkan fakta yang mampu
membalikkan anti minyak tropis bahwa ternyata minyak kelapa mempunyai
khasiat yang besar bagi kesehatan. Asam laurat yang merupakan asam dominan
yang terkandung pada minyak kelapa dan asam kaprat ternyata memiliki khasiat
sebagi anti virus, anti bakteri, dan anti protozoa (NTFP 2003). Asam laurat ini
membuat minyak kelapa menjadi berbeda dari semua minyak nabati lain dan
mampu menambah kesehatan bagi tubuh.
Di daerah tropis, minyak kelapa berbentuk cair pada suhu 26-35 oC, dan
membeku pada suhu lebih rendah dari itu. Titik cair minyak beku adalah sekitar
26-27 oC. Menurut standar yang dikeluarkan Asia Pacific Coconut Community
(APCC) untuk minyak kelapa murni atau virgin coconut oil (VCO), berat jenis
relatif minyak kelapa murni yang baik adalah 0,915-0,920 dengan indeks bias
pada 400C berkisar antara 1,4480-1,4492 (Yasya 2007).
2.4. Sabun Cair
Catatan pertama tentang sabun berasal dari Sumeria, bangsa Semit, 4500
tahun yang lalu yang menggunakan lemak tumbuhan dan bubuk kayu sebagi
pembersih kulit dan baju (Wasitaatmadja 1997). Pembersih dibuat untuk
menghilangkan kotoran, keringat dan minyak yang dikeluarkan oleh kulit.
Kotoran tersebut dikeluarkan menggunakan surfaktan yang dapat mengangkat
kotoran dan mengikat minyak (Ananthapadamanabhan et.al 2004).
Seorang tabib Yunani bernama Galen menulis tentang bahan pembersih
yang disebut dengan sapo yang berkhasiat membersihkan dan menyembuhkan
luka. Sejak itu penggunaan sabun meluas ke seluruh pelosok dunia melalui
perdagangan dan penyebaran agama. Penggunaan sabun sehari-hari lebih
ditujukan untuk kesehatan daripada kemewahan. Sangat menarik untuk dicatat
bahwa formulasi sabun sekarang ternyata tidak jauh berbeda dari formulasi tempo
doeloe (Anonim 2008).
Sabun adalah surfaktan yang terdiri dari gabungan antara air sebagai
pencuci dan pembersih yang terdapat pada sabun batang dan dalam bentuk sabun
cair. Secara kimia, sabun adalah garam dari asam lemak. Secara tradisional, sabun
merupakan hasil reaksi dari lemak dan sodium hidroksida, potassium hidroksida
dan sodium karbonat. Reaksi kimia pada pembuatan sabun dikenal dengan
saponifikasi (Anonim 2008). Reaksi yang terjadi antara lemak dan alkali dapat
dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Reaksi saponifikasi (Arifin 2007)


Prinsip utama kerja sabun ialah gaya tarik antara molekul kotoran, sabun,
dan air. Kotoran yang menempel pada tangan manusia umumnya berupa lemak.
Asam lemak jenuh yang ada pada minyak goreng umumnya terdiri dari asam
miristat, asam palmitat, asam laurat, dan asam kaprat. Asam lemak tidak jenuh
dalam minyak goreng adalah asam oleat, asam linoleat, dan asam linolenat. Asam
lemak tidak lain adalah asam alkanoat atau asam karboksilat berderajat tinggi
(rantai C lebih dari 6) (Arifin 2007).
Gaya tarik antara dua molekul polar (gaya tarik dipol-dipol) menyebabkan
larutan polar larut dalam larutan polar. Molekul polar mempunyai dipol yang
permanen sehingga menginduksi awan elektron non polar sehingga terbentuk
dipol terinduksi, maka larutan non polar dapat larut dalam non polar. Hal tersebut
dapat menjelaskan proses yang terjadi saat kita mencuci tangan. Saat pencucian
tangan, air yang merupakan senyawa polar menginduksi awan elektron sabun
sehingga dapat membantu larutnya asam lemak yang juga merupakan senyawa
non polar. Maka dari itu, bila kita mencuci tangan dengan menggunakan sabun,
lemak yang menempel pada tangan akan melarut bersama sabun dengan bantuan
air (Arifin 2007).
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 06-4085-1996,
sabun cair didefinisikan sebagai sediaan pembersih kulit berbentuk cair yang
dibuat dari bahan dasar sabun atau deterjen dengan penambahan bahan lain yang
diijinkan dan digunakan tanpa menimbulkan iritasi pada kulit. Sabun cair yang
memiliki kriteria yang sesuai dengan standar aman bagi kesehatan kulit. Syarat
mutu sabun cair menurut SNI 06-4085-1996 dapat dilihat pada Tabel 3 dan
Lampiran 1.

Tabel 5. Syarat mutu sabun cair


Kriteria Uji Satuan Persyaratan
Keadaan
- Bentuk Cairan homogen
- Bau Khas
- Warna Khas
o
pH, 25 C 6-8
Kadar Alkali Bebas % Tidak dipersyaratkan
o
Bobot Jenis Relatif, 25 C g/ml 1,01-1,10
Cemaran Mikroba:
5
- Angka Lempeng Total Koloni/ml maks. 1 x 10
Sumber: SNI 06-4085-1996
2.5. Formulasi Sabun Cair
Secara garis besar, bahan-bahan pembuat sabun terdiri dari bahan dasar
dan bahan tambahan. Bahan dasar merupakan pelarut atau tempat dasar bahan lain
sehingga umumnya menempati volume yang lebih besar dari bahan lainnya.
Bahan tambahan merupakan bahan yang berfungsi untuk memberikan efek-efek
tertentu yang diinginkan oleh konsumen (Wasitaatmadja 1997).
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam memformulasikan sabun cair
antara lain karakteristik pembusaan yang baik, tidak mengiritasi mata, membran
mukosa dan kulit, mempunyai daya bersih optimal dan tidak memberikan efek
yang dapat merusak kulit serta memiliki bau yang segar dan menarik (Fahmitasari
2004).
Dalam memformulasikan sabun cair terdapat dua jenis bahan, yaitu bahan
dasar dan bahan tambahan. Bahan dasar sabun adalah bahan yang memiliki sifat
utama sabun yaitu membersihkan dan menurunkan tegangan permukaan air.
Sedangkan bahan tambahan berfungsi untuk memberikan efek-efek tertentu yang
diinginkan konsumen seperti melembutkan kulit, aseptik, harum dan sebagainya
(Suryani et al. 2002).

2.5.1. Bahan pengental


Bahan pengental digunakan dalam formulasi sabun cair untuk menentukan
tingkat kekentalan produk yang diinginkan. Bahan pengental yang umum dipakai
dalam formulasi sabun cair antara lain seperti hydroxypropylcellulose dan NaCl.
Hydroxypropylcellulose adalah eter selulosa non-ionik dan larut air yang
diperoleh dari reaksi antara selulosa dan propilen oksida. NaCl sebenarnya bukan
bahan pengental, namun dapat meningkatkan kekentalan pada sabun cair (Spiess
1998 dalam Engko 2001). Bahan pengental yang digunakan dalam penelitian ini
adalah karagenan. Karagenan merupakan koloid hidrofilik alami yang sering
digunakan untuk berbagai macam kebutuhan. Karagenan dapat membentuk gel
dalam air namun dalam konsentrasi yang rendah, gel karagenan tidak terbentuk
tetapi viskositas campuran meningkat. Selain fungsinya sebagai pengental,
karagenan juga dipercaya dapat menghaluskan dan melembutkan kulit, sehingga
baik digunakan dalam produk-produk perawatan kulit.
2.5.2. Stabilizer
Menurut Wasitaatmadja (1997), bahan-bahan yang menstabilkan
campuran (stabilizer) sehingga kosmetika tersebut dapat lebih lama lestari baik
dalam warna, bau dan bentuk fisik. Bahan-bahan tersebut adalah:
1. Emulgator, yaitu bahan yang memungkinkan tercampurnya semua bahan
secara merata (homogen). Pada campuran dua cairan emulgator memiliki sifat
menurunkan tegangan permukaan kedua cairan tersebut.
2. Pengawet, yaitu bahan yang dapat mengawetkan kosmetika dalam jangka
waktu selam mungkin agar dapat digunakan lebih lama. Pengawet dapat bersifat:
antikuman untuk menangkal terjadinya tengik oleh aktivitas mikroba sehingga
kosmetika menjadi stabil.

2.5.3. Bahan pelembab


Bahan pelembab ditambahkan pada produk pembersih kulit untuk
menghasilkan efek melembabkan kulit. Contoh-contoh bahan pelembab yang
sering digunakan dalam produk kosmetika adalah gliserin, methyl glucose ester,
turunan lanolin, dan mineral oil. Bahan pelembab mempunyai peranan penting
dalam menjaga dan mengembalikan fungsi kulit sebagai barrier (penghalang).
Seringkali produk pembersih kulit dapat mengurangi kandungan lemak pada
stratum corneum. Hasilnya, fungsi kulit sebagai penghalang bakteri dan zat-zat
yang merugikan tubuh terganggu. Selain itu, beberapa produk pembersih kulit
juga dapat menyebabkan kulit menjadi kering. Untuk menghindari terjadinya hal
ini, diperlukan pelembab untuk meminimalisasi kehilangan lemak dari kulit (Nix
2005).

2.6. Kulit Manusia


Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari
lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa sekitar 1,5 m2 dengan berat
kira-kira 15 % berat badan. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta
merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastis
dan sensitif, serta bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras, dan lokasi tubuh
(Wasitaatmadja 1997).
Kulit merupakan organ peliput karena terdiri dari jaringan yang bergabung
secara struktural dan membentuk fungsi spesifik. Dengan ketebalan sekitar
2,97±0,28 mm, kulit melindungi jaringan dan organ-organ penting dalam tubuh
dari pengaruh lingkungan luar (Tortora 1990 dalam Sary 2007).
Kulit terdiri dari dua bagian utama. Lapisan yang terluar adalah lapisan
epidermis, yaitu lapisan tipis yang tersusun dari sel-sel epitelium. Epidermis
dihubungkan ke bagian yang lebih dalam dan lebih tebal, yaitu jaringan
penghubung (connective tissue) yang disebut dermis. Di bawah dermis adalah
lapisan subkutan yang disebut hipodermis yang terdiri dari jaringan areolar dan
jaringan adiposa (Martini 1998 dalam Sary 2007).
Kulit atau sistem peliput berfungsi antara lain sebagai pengatur suhu
tubuh, pelindung, penerima rangsang, ekskresi, dan sintesis vitamin D. Dalam
mengatur suhu, jika suhu lingkungan lebih tinggi dari suhu tubuh, maka
hipothalamus akan memberikan tanggapan dengan menstimulasi pengeluaran
keringat melalui kelenjar sudoriferus yang akan menurunkan suhu tubuh ke suhu
normal kembali. Perubahan aliran darah ke kulit juga merupakan salah satu
mekanisme pengaturan suhu tubuh. Dalam fungsi perlindungan dan penerima
rangsang, kulit menutupi seluruh permukaan tubuh dan merupakan penyangga
fisik yang melindungi jaringan di bawahnya dari gesekan fisik, serangan bakteri,
dehidrasi dan radiasi ultraviolet. Kulit juga banyak mengandung syaraf-syaraf dan
reseptor yang dapat mendeteksi stimulus yang berhubungan dengan suhu,
sentuhan, tekanan dan nyeri. Selain memproduksi keringat yang membantu
menurunkan suhu tubuh, kulit juga membantu mengekskresikan sejumlah kecil
air, garam-garam, dan senyawa organik tertentu. Kulit juga berperan penting
dalam sintesis vitamin D (Martini 1998, Tortora 1990 dalam Sary 2007).
Fungsi kulit menurut Wasitaatmadja (1997), yaitu:
1. Proteksi
Melindungi bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisik maupun
mekanik, misalnya tekanan, gesekan, tarikan, gangguan kimiawi, seperti
zat-zat kimia iritan (lisol, karbol, asam atau basa kuat lainnya), gangguan
panas atau dingin, gangguan sinar radiasi atau sinar ultraviolet, gangguan
kuman, jamur, bakteri atau virus.
2. Absorpsi
Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh ketebalan kulit, hidrasi,
kelembaban udara, metabolisme dan jenis vehikulum zat yang menempel
di kulit. Penyerapan dapat melalui celah antar sel, saluran kelenjar atau
saluran keluar rambut.
3. Ekskresi
Kelenjar-kelenjar pada kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna atau
sisa metabolisme dalam tubuh. Produk kelenjar lemak dan keringat di
permukaan kulit membentuk keasaman kulit pada pH 5–6,5.
4. Pengindra (sensori)
Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis.
Saraf-saraf sensorik tersebut lebih banyak jumlahnya di daerah erotik.
5. Pengaturan suhu tubuh
Kulit melakukan peran ini dengan mengeluarkan keringat dan otot dinding
pembuluh darah kulit.
6. Pembentukan pigmen
Sel pembentuk pigmen kulit (melanosit) terletak di lapisan basal
epidermis. Jumlah melanosit serta jumlah dan besarnya melanin yang
terbentuk menentukan warna kulit.
7. Keratinasi
Proses keratinasi sel dari sel basal sampai sel tanduk berlangsung selama
14–21 hari. Proses ini dilakukan agar kulit dapat melaksanakan tugasnya
dengan baik. Pada beberapa macam penyakit kulit proses ini terganggu,
sehingga kulit akan terlihat bersisik, tebal, kasar dan kering.
8. Produksi vitamin D
Kulit juga dapat membuat vitamin D dari bahan baku 7-dihidroksi
kolesterol dengan bantuan sinar matahari.
9. Ekspresi emosi
Hasil gabungan fungsi yang telah disebut di atas menyebabkan kulit
mampu berfungsi sebagai alat untuk menyatakan emosi yang terdapat
dalam jiwa manusia.
3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - Agustus 2008. Penelitian
dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi
Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan Lab Mikrobiologi dan
Biokimia, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut
Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan antara lain gelas piala, gelas ukur, erlenmeyer,
pemanas, magnetic stirrer, timbangan digital, termometer, pipet volumetrik, pipet
mikro, micro tube, oven, autoklaf, inkubator, mikroskop, vortex, clean bench,
cawan petri, pH meter, tissue, spatula, sudip, alumunium foil, kertas parafilm,
botol kosmetik, labu erlenmeyer dan penangas air.
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah bahan pembuatan
sabun cair dan bahan pengujian karakteristik sabun cair. Bahan pembuatan sabun
cair antara lain minyak kelapa, KOH, sukrosa, gliserin, akuades, kappa karagenan
refined EC 01 dan kitosan.
Sedangkan bahan pengujian karakteristik sabun cair terdiri dari :
1. Bahan untuk uji TPC adalah pepton, yeast extract, glukosa, agar, dan
akuades.
2. Bahan untuk pengujian kadar alkali bebas adalah alkohol netral,
phenolphthalein dan KOH.

3.3. Penelitian Tahap Pertama


Penelitian tahap pertama terdiri dari penentuan formula sabun cair dan
bertujuan untuk menentukan formula terbaik pembuatan sabun cair dan
mengetahui karakteristik sabun cair terhadap kombinasi karagenan dan kitosan.
Penentuan formula sabun cair bertujuan untuk menentukan komposisi bahan-
bahan sabun cair yang dapat menghasilkan karakteristik sabun cair yang sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan. Prosedur pembuatan sabun cair dapat dilihat
pada Gambar 6.
25 g Minyak Kelapa
+
33 ml Larutan KOH 20 %
Larutan Karagenan

Homogenisasi dan Pemanasan


(Suhu 70–80 oC, waktu 4-5 jam) Ditambah 10 ml Larutan Sukrosa 70 %

Ditambah 10 ml Akuades
Homogenisasi dan Pemanasan
(Suhu 70–80 oC)
Ditambah 5 ml Gliserin

Adonan 2
Homogenisasi dan Pemanasan
(Suhu 70–80 oC)
Penambahan 5 ml Larutan Kitosan

Adonan 1
Adonan 3

Homogenisasi dan Pemanasan


(Suhu 70–80 oC, waktu 30 menit)

Adonan 4

Homogenisasi dan Pemanasan


(Suhu 70–80 oC, waktu 2,5 jam)
Dalam keadaan Terbuka

Pendinginan Sabun Cair


(Suhu 25–40 oC)

Gambar 6. Prosedur pembuatan sabun cair


Proses pembuatan sabun cair diawali dengan penimbangan bahan-bahan
yang diperlukan dalam pembuatan sabun cair. Minyak kelapa dan larutan KOH
dicampur dan dipanaskan dalam gelas piala menggunakan magnetic stirrer pada
suhu 70-80 oC dan dibiarkan hingga larutan berubah menjadi padatan. Setelah itu
dilakukan pencairan kembali dengan penambahan akuades. Setelah terbentuk
cairan, ditambahkan gliserin untuk mendapatkan adonan 1. Sementara itu, larutan
karagenan ditambah dengan sukrosa yang sudah dilarutkan dalam akuades dan
dipanaskan hingga homogen untuk mendapatkan adonan 2. Adonan 2 yang sudah
homogen ditambah larutan kitosan dan kembali dipanaskan hingga homogen
untuk mendapatkan adonan 3. Adonan 1 selanjutkan ditambahkan kedalam
adonan 3 dan dipanaskan selama 2,5 jam dalam keadaan terbuka untuk
mendapatkan adonan 4 yang agak kental. Adonan selanjutnya didinginkan sampai
25-40 oC untuk menjadi sabun cair.
Kemudian dilakukan penelitian untuk mengetahui kombinasi kitosan dan
karagenan. Perlakuan formulasi sabun cair dilakukan terhadap karagenan dan
kitosan. Faktor pertama (kitosan) dibuat dalam tiga taraf konsentrasi stok (1, 3 dan
5 %). Sedangkan faktor kedua (karagenan) dibuat dalam empat taraf konsentrasi
stok (1, 2, 3 dan 4 %) sehingga didapatkan dua belas perlakuan. Masing-masing
perlakuan, diuji karakteristiknya dengan pengujian fisik (bobot jenis dan
kelembaban) dan kimia (pH). Formula yang terpilih dipergunakan pada penelitian
selanjutnya yaitu penelitian tahap kedua. Formula yang dilakukan pada penelitian
tahap pertama dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Formula yang digunakan pada penelitian tahap pertama


Perlakuan
Bahan K11 K12 K13 K14 K21 K22 K23 K24 K31 K32 K33 K34
Minyak
kelapa 25 g 25 g 25 g 25 g 25 g 25 g 25 g 25 g 25 g 25 g 25 g 25 g
KOH 20 % 33 ml 33 ml 33 ml 33 ml 33 ml 33 ml 33 ml 33 ml 33 ml 33 ml 33 ml 33 ml
Gliserin 5 ml 5 ml 5 ml 5 ml 5 ml 5 ml 5 ml 5 ml 5 ml 5 ml 5 ml 5 ml
Sukrosa
70 % 10 ml 10 ml 10 ml 10 ml 10 ml 10 ml 10 ml 10 ml 10 ml 10 ml 10 ml 10 ml
Karagenan
(5ml) 1% 2% 3% 4% 1% 2% 3% 4% 1% 2% 3% 4%
Kitosan (5
ml) 5% 5% 5% 5% 3% 3% 3% 3% 1% 1% 1% 1%
Akuades 17 ml 17 ml 17 ml 17 ml 17 ml 17 ml 17 ml 17 ml 17 ml 17 ml 17 ml 17 ml
3.4. Penelitian Tahap Kedua
Pada penelitian tahap kedua, formulasi yang terpilih dari penelitian tahap
pertama dibandingkan karakteristiknya dengan kontrol positif (sabun cair
komersial merk Dove) dan kontrol negatif (formulasi sabun cair tanpa karagenan
dan kitosan). Pengujian yang dilakukan meliputi uji fisik (kelembaban dan bobot
jenis), uji kimia (pH dan kadar alkali bebas), uji mikrobiologi (angka lempeng
total), dan uji organoleptik (mutu hedonik).

3.5. Metode Pengujian


Dalam penelitian ini terdapat beberapa macam pengujian yaitu uji fisik,
kimia, mikrobiologi dan organoleptik. Prosedur kerja dari masing-masing
pengujian adalah sebagai berikut:

3.5.1. Uji fisik


Uji fisik yang dilakukan dalam penelitian ini adalah bobot jenis dan
kelembaban produk. Uraian mengenai prosedur pengujian dari ketiga karakteristik
fisik sabun cair tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

3.5.1.1. Bobot jenis, 25 oC (SNI 06-4085-1996)


Micro tube yang sudah bersih dan kering ditimbang (a). Selanjutnya
sebanyak 1 ml sampel dimasukkan ke dalam micro tube dengan menggunakan
pipet mikro. Micro tube ditutup dan dimasukkan ke dalam pendingin sampai
suhunya menjadi 25 oC. Kemudian micro tube didiamkan pada suhu ruang selama
15 menit dan ditimbang (b).
Perhitungan:
Bobot jenis sampel (g/ml) = b – a
Keterangan: a = Bobot micro tube kosong
b = Bobot micro tube + sampel

3.5.1.2. Kelembaban produk (water holding capacity)


Pengujian ini ditentukan dengan metode yang dilaporkan oleh Warta
Konsumen (1995) dalam Simanjuntak (2000). Sampel dioleskan secara merata di
atas wadah kedap air yang sudah diketahui berat awalnya, kemudian wadah
ditimbang untuk mengetahui berat awal sampel (jam ke-0 atau T0). Setelah
penimbangan (T0) dilakukan lagi penimbangan dengan perbedaan waktu 1 jam
(T1), 2 jam (T2) sampai 5 jam (T5). Kelembaban produk dilihat dari kadar sabun
cair pada akhir pengamatan dengan nilai tertinggi. Dimana sabun cair yang
memiliki berat lebih tinggi berarti memiliki penguapan yang lebih rendah,
merupakan kelembaban produk tinggi.

3.5.2. Uji kimia


Pada penelitian ini dilakukan pengujian karakterisitik kimia sabun cair,
yang meliputi uji pH dan kadar alkali bebas. Berikut ini merupakan uraian
prosedur pengujian dari kedua parameter tersebut.

3.5.2.1. pH (SNI 06-4085-1996)


Sebelum dilakukan pengukuran, pH meter dikalibrasi dengan
menggunakan buffer pH. Setelah itu, elektroda dibersihkan dengan air suling dan
dikeringkan. Kemudian elektroda dimasukkan ke dalam sampel sabun cair yang
akan diperiksa, pada suhu 25oC. Selanjutnya pH meter dibiarkan selama beberapa
menit sampai nilai pada monitor pH meter stabil. Setelah stabil, nilai yang
ditunjukkan dicatat sebagai pH sampel.

3.5.2.2. Kadar alkali bebas (SNI 06-4085-1996)


Tahapan dalam penentuan kadar alkali bebas dari sabun cair, yaitu:
1) Sebanyak 5 gram sabun cair ditimbang, dimasukkan ke dalam erlenmeyer
tutup asah 250 ml.
2) Ditambahkan 100 ml alkohol 96 % netral dan beberapa tetes larutan
indikator phenolptalein.
3) Dipanaskan di atas penangas air memakai pendingin tegak selama
30 menit hingga mendidih.
4) Bila larutan berwarna merah, kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0.1 N
dalam alkohol sampai warna merah tepat hilang.
V  N  0,04
Kadar alkali bebas =   100%
W
Keterangan:
V = ml HCl N = normalitas HCl
W = Berat sampel Setiap 1 ml HCl 1 N setara dengan 0,04 gram KOH
3.5.3. Uji mikrobiologi (SNI 06-4085-1996)
Uji dilakukan berdasarkan SNI 06-4085-1996. Cara aseptis ditimbang 1
gram sampel dari tiap perlakuan dilarutkan dan dihomogenisasi dengan
menggunakan vortex dalam 9 ml garam fisiologis steril 0,85 %. Pengenceran
dilakukan hingga 10-3. Larutan tersebut diambil 1 ml dengan menggunakan pipet
dan dituangkan ke dalam cawan petri steril. Sebanyak 15 ml media Plate Count
Agar (PCA) dituangkan ke dalam cawan petri berisi 1 ml larutan sampel hasil
pengenceran dan diaduk dengan cara memutar cawan petri ke depan dan ke
belakang sampai homogen. Kemudian media dibiarkan sampai membeku.
Inkubasi dilakukan selama 24 - 48 jam pada suhu 35 oC. Jumlah koloni pada
setiap cawan dihitung. Total cemaran mikroba didapat dengan mengalikan jumlah
rata-rata koloni pada cawan dengan faktor pengenceran yang sesuai. Komposisi
media PCA tercantum pada Tabel 7.

Tabel 7. Komposisi media Plate Count Agar (PCA)


Komposisi Jumlah
Peptone (gram) 5,0
Yeast extract (gram) 2,5
Glucosa (gram) 1,0
Agar (gram) 15,0
Akuades (liter) 1,0
Sumber : SNI 06-4085-1996

3.5.4. Organoleptik (Rahayu 1998)


Pengujian organoleptik terhadap sabun cair yang dihasilkan dilakukan
melalui uji mutu hedonik. Panelis yang digunakan adalah panelis semi terlatih
sebanyak 30 orang. Panelis diminta penilaiannya terhadap penampakan,
kekentalan, banyaknya busa, efek setelah pemakaian (post effect) dan penilaian
umum produk sabun cair yang dihasilkan.
Untuk parameter penampakan dan kekentalan dilakukan secara visual.
Untuk parameter banyaknya busa dan post effect dilakukan setelah sekali
penggunaan. Untuk banyak busa, dilakukan dengan cara menggosokkan sabun
cair pada tangan yang basah. Untuk post effect, dilakukan terhadap respon setelah
pemakaian apakah kulit terasa kering atau lembab setelah satu kali pemakaian.
Makin lembab sabun cair, semakin tinggi skor penilaian parameternya. Sedangkan
untuk parameter penilaian umum, penilaian dilakukan terhadap sifat keseluruhan
(umum) produk sabun cair.
Uji hedonik merupakan salah satu jenis uji penerimaan. Dalam hal ini,
panelis diminta penilaianya tentang tingkat kesukaan atau sebaliknya terhadap
produk sabun cair yang dihasilkan. Pengujian dilakukan dengan 7 skala kesukaan,
yaitu: 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak suka), 3 (agak tidak suka), 4 (biasa), 5 (agak
suka), 6 (suka), 7 (sangat suka). Lembar penilaian organoleptik sabun cair dapat
dilihat pada Lampiran 2.

3.5.5. Rancangan percobaan


Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua ulangan. Menurut Steel dan Torrie
(1995), rancangan percobaan tersebut memiliki model matematika sebagai
berikut.
Yij = µ + σi + εij
Keterangan:
Yij = Nilai pengamatan ke-j dari pengaruh perlakuan ke-i
µ = Rataan umum
σi = Pengaruh perlakuan ke-i
εij = Pengaruh galat
i = Jumlah perlakuan
j = Ulangan
Pada penelitian tahap pertama rancangan yang digunakan adalah
Rancangan Acak Lengkap Faktorial (RALF), dengan asumsi terdapat dua faktor
yang berinteraksi mempengaruhi hasil pengujian, yaitu karagenan dan kitosan.
Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut.
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
Keterangan :
Yijk = Nilai pengamatan ke-k dari pengaruh faktor karagenan ke-i dan kitosan
ke-j
µ = Rataan umum
αi = Pengaruh faktor karagenan ke-i
βj = Pengaruh faktor kitosan ke-j
(αβ)ij = Pengaruh interaksi faktor karagenan ke-i dan faktor kitosan ke-j
εijk = Pengaruh galat
i = Jumlah faktor konsentrasi stock kitosan (1, 3 dan 5 %)
j = Jumlah faktor konsentrasi stock karagenan (1, 2, 3 dan 4%)
k = Ulangan
Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan metode analisa sidik
ragam. Apabila diantara perlakuan menunjukkan hasil yang berbeda maka
dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan (Steel dan Torrie 1995).
Pengujian organoleptik dianalisa dengan metode Anova dengan uji lanjut
Tukey. Seluruh proses analisa data dilakukan dengan menggunakan software
Microsoft Office Excel dan SPSS versi 15.0.
Hipotesis pada penelitian ini adalah:
Ho : Perbedaaan perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap
karakteristik produk.
H1 : Perbedaan perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap
karakteristik produk.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Penelitian Tahap Pertama


4.1.1. Formulasi sabun cair
Formulasi sabun cair dilakukan dengan mencoba beberapa macam formula
untuk menghasilkan produk yang terbaik. Data formulasi yang dilakukan pada
penelitian tahap ini dapat dilihat pada Lampiran 3. Sedangkan formula yang
menghasilkan produk terbaik dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Hasil formulasi sabun cair


No Nama Bahan Konsentrasi Jumlah Keterangan
1 Minyak kelapa - 25 gr Bahan dasar sabun
2 KOH 20 % 33 ml Bahan dasar sabun
3 Gliserin - 5 ml Kelembaban cukup
baik
4 Sukrosa 70% 10 ml Pelarut kitosan dan
karagenan
5 Stok kitosan 0,5 % 5 ml pH terlalu basa
1 %, 3 %, 5 % 5 ml pH sabun cair 9-10
6% 5 ml Tidak homogen
6 Stok karagenan 0,5 % 5 ml Sabun terlalu cair
5% 5 ml Sabun terlalu kental
1 %, 2 %, 3 %, 4 % 5 ml Kekentalan cukup
Baik
7 Akuades - 17 ml Ditambahkan hingga
menjadi 100 ml

Salah satu faktor yang terpenting dari keberhasilan pembuatan produk


sabun cair adalah penggabungan bahan-bahan pembentuk sehingga akan
menghasilkan cairan yang cukup kental homogen, pH yang tidak terlalu basa (di
bawah 10), tidak mengalami perubahan akibat faktor udara dan suhu serta tidak
menyebabkan terjadinya iritasi pada kulit.
Pada penelitian ini, minyak kelapa dan KOH digunakan sebagai bahan
dasar pembuat sabun cair. Formulasi untuk minyak kelapa dan KOH dibuat
berdasarkan perhitungan untuk membuat kadar minyak yang tersisa pada sabun
cair berkisar antara 0 hingga 5 %. Dengan adanya kadar minyak yang tersisa,
diharapkan menjadikan produk sabun cair tersebut tidak memiliki kadar alkali
(kalium) yang tersisa pada produk akhir.
Pada formula sabun cair dicobakan beberapa konsentrasi larutan stok
kitosan dan larutan stok karagenan. Penggunaan gliserin pada pembuatan sabun
cair adalah sebagai humektan. Dengan konsentrasi 5 % dari formulasi, efek
melembabkan dari gliserin sudah cukup baik (Yudhana 2006). Penambahan
sukrosa bertujuan untuk melarutkan kitosan dan karagenan ke dalam sabun cair
agar menjadi homogen.
Penentuan tingkat konsentrasi larutan stok kitosan yang akan digunakan
didasarkan oleh pH dan homogenitas dari sabun cair. Jika larutan stok kitosan
yang digunakan kurang dari 0,5 % maka produk sabun cair terlalu basa.
Sedangkan pada larutan stok kitosan 5 %, tingkat kebasaan sabun cair menurun.
Hal ini dikarenakan pelarut yang digunakan untuk melarutkan kitosan adalah
asam asetat sehingga menyebabkan produk sabun cair bersifat tidak terlalu basa.
Menurut Wasitaatmadja (1997), sabun cair dengan pH basa dapat digunakan
untuk menghancurkan lemak pada kulit sehingga kotoran yang melekat pada
lemak dapat larut air. Namun pH yang terlalu tinggi dan waktu kontak yang lama
dengan kulit akan menyebabkan kulit teriritasi.
Jika larutan stok karagenan yang digunakan 0,5 % akan menghasilkan
produk yang terlalu cair. Dan untuk penggunaan stok karagenan lebih dari 5 %
akan menghasilkan sabun cair yang terlalu kental. Karagenan telah lama dikenal
sebagai bahan hidrokoloid alami yang dapat membentuk gel. Namun jika
digunakan dalam konsentrasi yang kecil, gel karagenan tidak akan terbentuk dan
sebagai gantinya viskositas produk akan meningkat (Skensved 2004).
Berdasarkan penelitian tahap ini maka didapatkan formula sabun cair
dengan komposisi minyak kelapa sebanyak 25 gram, KOH 20 % sebanyak 33 ml,
sukrosa 70 % sebanyak 10 ml, konsentrasi stok kitosan 1, 3 dan 5 % sebanyak
5 ml, konsentrasi stok karagenan 1, 2, 3 dan 4 % sebanyak 5 ml dan akuades
sebanyak 17 ml.

4.1.2. Pengujian karakteristik


Pengujian karakteristik adalah kelanjutan dari penelitian formulasi.
Karakteristik sabun cair yang diamati adalah sifat fisik (bobot jenis dan
kelembaban) dan sifat kimia (pH). Analisis karakteristik sabun cair yang
dihasilkan berdasarkan Dewan Standarisasi Nasional (SNI: 06-4085-1996).
4.1.2.1. Uji bobot jenis, 25 oC
Bobot jenis relatif adalah perbandingan densitas sabun cair dengan
densitas air pada volume dan suhu yang sama (Standarisasi Nasional Indonesia
1996). Hasil pengujian bobot jenis produk sabun cair dapat dilihat pada Tabel 9.
dan Gambar 7.

Tabel 9. Hasil pengujian bobot jenis (g/ml)


Konsentrasi Karagenan
Konsentrasi Kitosan 1% 2% 3% 4%
1% 1,128 1,085 1,070 1,088
3% 1,103 1,118 1,103 1,098
5% 1,093 1,070 1,118 1,093

Gambar 7. Histogram pengujian bobot jenis

Gambar 7. memperlihatkan bahwa bobot jenis sabun cair sangat bervariasi


dan tidak ada kecenderungan meningkat ataupun menurun akibat perbedaan
konsentrasi stok larutan kitosan dan karagenan. Dapat dilihat pula bahwa bobot
jenis tertinggi yaitu pada sabun cair dengan konsentrasi stok larutan kitosan 1 %
dan stok larutan karagenan 1 % sebesar 1,12 g/ml dan bobot jenis terendah pada
sabun cair dengan konsentrasi stok larutan kitosan 1 % dan stok larutan karagenan
sebesar 3 %. Melalui pengujian statistik dikatakan bahwa pada tingkat
kepercayaan 95 %, perbedaan konsentrasi stok larutan kitosan dan stok larutan
karagenan serta kombinasi antara keduanya, tidak berpengaruh nyata terhadap
karakteristik bobot jenis sabun cair (Sig. > 0,05). Jika suatu bahan dilarutkan
dalam air dan membentuk larutan maka densitasnya akan mengalami perubahan.
Perubahan nilai bobot jenis diduga dipengaruhi jenis dan konsentrasi bahan dalam
larutan. Kebanyakan bahan-bahan seperti gula dan garam menyebabkan
peningkatan densitas, tetapi kadang-kadang densitas dapat turun jika terdapat
lemak dan etanol (Gaman dan Sherrington 1990). Data dan hasil analisa statistik
pengukuran bobot jenis produk dapat dilihat pada Lampiran 4. dan Lampiran 5.
Hasil pengukuran bobot jenis sabun cair yang dihasilkan memiliki kisaran
antara 1,070–1,128 g/ml. Jika hasil tersebut dibandingkan dengan standar yang
telah ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI 06-4085-1996), yaitu
bobot jenis sabun cair 1,010-1,100 g/ml, maka terlihat bahwa tidak semua produk
sabun cair yang dihasilkan memenuhi standar yang telah ditetapkan. Sabun cair
yang memiliki bobot jenis sesuai dengan SNI 06-4085-1996 yaitu sabun cair
dengan penambahan konsentrasi stok karagenan 4 % dan konsentrasi stok kitosan
1, 3 dan 5 %, sabun cair dengan penambahan konsentrasi stok karagenan 3 % dan
konsentrasi stok kitosan 1 %, sabun cair dengan penambahan konsentrasi stok
karagenan 2 % dan konsentrasi stok kitosan 1 dan 5 %, dan sabun cair dengan
penambahan konsentrasi stok karagenan 1 % dan konsentrasi kitosan 5 %.

4.1.2.2. Uji pH
Derajat keasaman (pH) merupakan parameter penting pada produk
kosmetika, karena pH dapat mempengaruhi daya absorpsi kulit. Secara umum,
produk sabun cair memiliki pH yang cenderung basa. Hal ini dikarenakan oleh
bahan dasar penyusun sabun cair tersebut yaitu KOH yang digunakan untuk
menghasilkan reaksi saponifikasi dengan lemak atau minyak, atau detergen
sintetis yang memiliki nilai pH di atas pH netral (Anonim 2005). Biasanya untuk
mendapatkan produk sabun cair yang pHnya mendekati netral ditambahkan
dengan bahan-bahan kimia yang bersifat asam seperti asam sitrat, asam miristat
dan asam borat. Hasil pengukuran pH terhadap sabun cair pada berbagai
perlakuan konsentrasi stok kitosan dan karagenan dapat dilihat pada Tabel 10 dan
Gambar 8.
Tabel 10. Hasil pengujian tingkat keasaman

pH Konsentrasi Karagenan
Konsentrasi Kitosan 1% 2% 3% 4%
1% 9,32 9,35 9,41 9,42
3% 9,13 9,23 9,28 9,38
5% 9,16 9,19 9,20 9,21

Gambar 8. Histogram pengujian pH

Hasil pengujian terhadap pH sabun cair yang telah dibuat menunjukkan


bahwa produk sabun cair memiliki pH basa hal ini karena bahan dasar penyusun
sabun cair yang dihasilkan adalah KOH yang bersifat basa kuat. Untuk
mendapatkan sabun cair yang pHnya mendekati netral diperlukan penambahan
bahan sintetis. Pada penelitian ini tidak dilakukan karena dikhawatirkan
penambahan bahan kimia sintetis dapat menyebabkan iritasi pada kulit.
Tingkat keasaman sabun cair yang dihasilkan berkisar antara 9,13-9,42.
Parameter utama penyebab iritasi kulit pada sabun adalah alkali bebas. Kadar
alkali bebas yang tinggi (di atas 0,22 %) dapat menyebabkan iritasi pada kulit dan
biasanya kadar alkali bebas yang tinggi ditandai pula dengan pH sabun yang
terlalu basa (pH diatas 11) (Akmal 2004). Hasil analisis statistik menujukkan
bahwa pada tingkat kepercayaan 95 %, perbedaan stok konsentrasi kitosan dan
kombinasi antara kitosan dan karagenan tidak memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap pH sabun cair (Sig. > 0,05). Sedangkan perbedaan
konsentrasi karagenan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap produk
sabun cair (Sig. < 0,05) sehingga dapat dikatakan bahwa semakin tinggi
konsentrasi larutan stok karagenan yang digunakan, maka pH sabun cair yang
dihasilkan akan cenderung meningkat atau semakin basa. Hal ini mungkin
dikarenakan spesifikasi karagenan yang digunakan memiliki kisaran pH antara
8-9. Melalui uji lanjut Tukey, diketahui bahwa konsentrasi larutan stok karagenan
1 dan 2 % dengan 3 % dan dengan 4 %, memberikan pengaruh yang berbeda
nyata terhadap pH sabun cair yang dihasilkan. Data dan hasil analisa statistik
dapat dilihat pada Lampiran 6. dan Lampiran 7.

4.1.2.3. Uji kelembaban (water holding capacity)


Pengujian kelembaban produk dilakukan untuk mengetahui kestabilan
produk terhadap kehilangan air karena penguapan (water holding capacity).
Dalam pengujian ini, kelembaban produk dinyatakan sebagai kemampuan produk
dalam mempertahankan beratnya terhadap pengaruh panas matahari. Kehilangan
berat yang kecil menandakan bahwa produk memiliki tingkat kestabilan dan
kelembaban yang tinggi. Hasil pengujian kelembaban disajikan pada Tabel 11 dan
grafik pada Gambar 8. Data penurunan kelembaban tiap jam dapat dilihat pada
Lampiran 8.

Tabel 11. Hasil pengujian kelembaban (persentase berat produk)


Waktu
Perlakuan T0 T1 T2 T3 T4 T5
K11 100,00 90,84 85,64 81,18 80,19 78,46
K12 100,00 93,25 90,75 89,25 88,50 88,00
K13 100,00 95,26 91,77 90,03 88,54 87,29
K14 100,00 96,04 92,09 90,85 90,36 89,86
K21 100,00 90,50 86,00 83,00 81,25 79,25
K22 100,00 93,02 89,03 87,29 84,79 83,05
K23 100,00 91,34 87,62 82,43 79,46 75,25
K24 100,00 92,52 88,53 85,04 79,80 78,81
K31 100,00 90,65 87,19 85,22 82,50 80,28
K32 100,00 90,94 87,77 80,47 77,44 75,00
K33 100,00 91,18 83,82 79,66 75,74 74,02
K34 100,00 92,06 86,95 83,62 80,40 78,16
Gambar 9. Grafik hasil pengujian kelembaban
Ket: - Angka pertama setelah huruf menunjukkan konsentrasi stok kitosan (1 = 5 %, 2 = 3 %, dan
3 = 1 %)
- Angka kedua setelah huruf menunjukkan konsentrasi stok karagenan (1 = 1 %, 2 = 2 %, 3 =
3 %, dan 4 = 4 %)

Gambar 8. Memperlihatkan bahwa K14 atau sabun cair dengan


penambahan stok larutan kitosan 5 % dan karagenan 4 % memiliki kelembaban
yang paling baik. Kelembaban atau water holding capacity pada K14 hingga jam
ke-4 dapat mempertahankan berat yang tersisa hingga 90 %. Berat yang tersisa
mulai konstan pada saat jam ke-4 (T4). Hal ini menunjukkan bahwa pada sampel
K14 merupakan sabun dengan kelembaban tertinggi. Sedangkan K33 atau sabun
cair dengan penambahan stok larutan kitosan 1 % dan karagenan 3 % memiliki
kelembaban yang paling rendah dibanding perlakuan lainnya.
Tabel 10. memperlihatkan bahwa semakin tinggi konsentrasi kitosan yang
digunakan akan semakin tinggi kelembaban sabun cair yang dihasilkan. Dan
sebaliknya semakin sedikit konsentrasi larutan stok kitosan yang digunakan maka
semakin rendah kelembaban yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena sifat
kitosan yang mampu mengikat air pada sabun cair. Menurut Knorr (1982), salah
satu sifat kitosan yang penting adalah kemampuan mengikat air karena dalam
kitosan terdapat gugus hidrofobik dan hidrofilik. No et al (1996) menyatakan
bahwa kitosan memiliki kemampuan untuk mengikat air dan lemak. Perbedaan
fisika dan kimia kitosan yang digunakan akan mempengaruhi kemampuan kitosan
dalam mengikat air dan lemak.
Dapat diketahui bahwa semakin tinggi konsentrasi karagenan yang
digunakan, semakin tinggi kelembaban sabun cair dan sebaliknya. Hal ini
mungkin disebabkan oleh sifat karagenan yang mampu mengikat air.
Kemampuan karagenan untuk mengikat air secara efektif dan membentuk gel
yang lemah yang sangat stabil terhadap degradasi enzimatis, membuat karagenan
unik sebagai pengental dalam pasta gigi (Skensved 2004). Dengan adanya
penambahan kitosan dan karagenan pada produk sabun cair didapatkan produk
yang tidak mudah menguap akibat sinar matahari.

4.2. Penelitian Tahap Kedua


Penelitian tahap kedua dilakukan untuk membandingkan formula yang
terpilih pada penelitian tahap pertama dengan kontrol positif sabun cair dan
kontrol negatif (tanpa kitosan dan tanpa karagenan, dengan karagenan dan tanpa
kitosan, dengan kitosan dan tanpa karagenan). Dari penelitian tahap pertama dapat
diketahui bahwa produk sabun cair yang terbaik adalah sabun cair dengan
penambahan konsentrasi larutan stok kitosan 5 % dan karagenan 4 %. Formula ini
memiliki tingkat kelembaban tertinggi diantara semua perlakuan yang ada. Untuk
parameter bobot jenis, produk ini telah memenuhi Standar Nasional Indonesia
(SNI 06-4085-1996), walaupun pH produk ini di atas standar yang telah
ditetapkan.
Formulasi sabun cair dengan konsentrasi larutan stok kitosan 5 % dan
karagenan 4 % merupakan perlakuan terbaik. Oleh karena itu, formula tersebut
dipakai pada penelitian tahap selanjutnya untuk dibandingkan dengan kontrol
positif (sabun cair komersial merek Dove) dan kontrol negatif (formulasi tanpa
kitosan dan tanpa karagenan, kitosan dan tanpa karagenan, karagenan dan tanpa
kitosan). Pada tahap ini dilakukan pengujian organoleptik dan pengujian fisik dan
kimia serta pengujian mikrobiologi. Untuk pengujian fisik terdiri dari pengujian
bobot jenis dan kelembaban dari sabun cair terpilih dengan kontrol positif dan
dengan kontrol negatif. Pengujian kimia meliputi pengujian pH dan alkali bebas
pada sabun terpilih. Pengujian mikrobiologi dilakukan pada sabun cair terpilih
dan sabun cair tanpa penambahan kitosan. Produk sabun cair yang diujikan pada
tahap ini dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Sabun cair yang diuji pada penelitian tahap kedua

4.2.1. Uji organoleptik


Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji kesukaan. Uji organoleptik
bertujuan untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap sabun cair yang
dihasilkan. Uji organoleptik dilakukan dengan cara menilai mutu produk sabun
cair berdasarkan kepekaan indera manusia. Uji kesukaan merupakan salah satu
jenis uji penerimaan. Pada uji penerimaan, panelis diminta untuk mengemukakan
tanggapan pribadinya tentang produk sabun cair yang dihasilkan. Uji organoleptik
dapat dikatakan uji yang subjektif, hasil yang didapat merupakan hasil pemikiran
pribadi karena setiap orang belum tentu memiliki pemikiran pribadi yang sama
(Rahayu 1998). Penilaian yang diminta antara lain: penampakan, kekentalan,
banyak busa, post effect, dan penilaian umum terhadap produk sabun cair. Panelis
yang digunakan sebanyak 30 orang, dengan skala yang digunakan adalah 7 skala
numerik. Data hasil pengujian organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 8. dan
hasil analisa statistik organoleptik dengan kontrol positif dan kontrol negatif dapat
dilihat pada Lampiran 10. dan 11.

4.2.1.1. Kesukaan panelis terhadap penampakan sabun cair


Penampakan suatu produk merupakan salah satu faktor yang dapat
menentukan image suatu produk di mata konsumen. Umumnya konsumen
cenderung memilih produk yang memiliki penampakan yang baik. Penampakan
sabun cair akan mempengaruhi penilaian konsumen terhadap produk. Hasil rata-
rata pengujian organoleptik penampakan sabun cair dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Histogram uji mutu hedonik terhadap penampakan

Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa perbandingan penampakan


sampel terpilih dengan ketiga kontrol negatif tidak terlalu siginifikan hal ini
terlihat dari pengujian statistik bahwa pada tingkat kepercayaan 95 %,
penambahan kitosan dan karagenan tidak mempengaruhi penilaian panelis
terhadap sabun cair yang dihasilkan (Sig. > 0,05). Yang mempengaruhi
penampakan suatu produk adalah tingkat kehomogenan produk tersebut. Hal ini
berarti tingkat kehomogenan masing-masing sabun cair tidak berbeda nyata satu
sama lain.
Jika sampel terpilih dibandingkan dengan kontrol positif, dapat dilihat
bahwa penampakan sabun cair dari kontrol postitif lebih disukai oleh panelis. Dan
melalui uji statistik dapat diketahui bahwa penampakan sabun cair sampel terpilih
berbeda nyata dengan kontrol positif (Sig. < 0,05). Penampakan sabun cair kontrol
positif lebih disukai daripada sampel terpilih (K14). Hal ini karena pada sabun
cair kontrol positif terdapat butiran-butiran scrub berwarna biru yang dapat
membuat panelis menyukai penampakan sabun cair tersebut. Terdapat beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi kehomogenan produk. Pertama adalah proses
pengadukan yang dilakukan pada saat pembuatan sabun cair haruslah sempurna
agar produk yang dihasilkan menjadi homogen dan juga suhu pada saat
pengadukan harus berkisar diantara 60-80 oC. Kedua, efektifitas pengemulsi yang
digunakan dalam formulasi juga dapat mempengaruhi tingkat kehomogenan
produk (Hidayat 2006). Menurut Standar Nasional Indonesia (1996), bentuk
sabun cair haruslah cair dan homogen. Produk sabun cair yang dihasilkan
memiliki bentuk yang cair dan homogen.

4.2.1.2. Kesukaan panelis terhadap kekentalan sabun cair


Kekentalan menjadi salah satu penilaian yang cukup penting pada berbagai
produk sabun cair seperti sabun cair. Pada umumnya, sabun cair di pasaran dalam
bentuk cairan kental, namun ada pula yang lebih encer. Tingkat kesukaan
konsumen terhadap produk sabun cair bervariasi satu sama lain. Ada konsumen
yang menyukai sabun cair yang kental dan adapula konsumen yang menyukai
sabun cair yang memiliki kekentalan sedang atau bahkan encer. Kisaran nilai
organoleptik terhadap kekentalan yang diberikan panelis berkisar antara 2 (tidak
suka) sampai 7 (sangat suka). Semakin tinggi nilai yang diberikan, semakin tinggi
kekentalan sabun cair. Hasil penilaian organoleptik terhadap kekentalan sabun
cair yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Histogram uji mutu hedonik terhadap kekentalan

Hasil pengujian mutu hedonik terhadap kekentalan sabun cair, diperoleh


bahwa semakin banyak karagenan dan kitosan yang digunakan maka produk
sabun cair yang dihasilkan akan semakin kental. Hal ini dikarenakan karagenan
dan kitosan berfungsi sebagai pengental (Skensved 2004).
Perbandingan antara sampel terpilih dengan ketiga kontrol negatif dapat
diketahui bahwa penambahan kitosan dan penambahan karagenan berpengaruh
nyata terhadap produk sabun cair yang dihasilkan pada tingkat kepercayaan 95 %
(Sig. < 0,05). Dan melalui uji Tukey diketahui bahwa kekentalan sampel sabun
cair K00 berbeda nyata terhadap kekentalan ketiga sampel sabun cair lainnya
(K04, K10 dan K14). Sehingga dapat diketahui bahwa dengan adanya
penambahan kitosan dan karagenan akan meningkatkan tingkat kesukaan panelis
terhadap sabun cair, hal ini dapat dilihat dari Gambar 12. Dengan tidak adanya
penambahan kitosan dan karagenan menghasilkan produk sabun cair yang tingkat
kekentalannya rendah (encer) sehingga kurang disukai oleh panelis. Kekentalan
sampel terpilih jika dibandingkan ketiga kontrol negatif tersebut merupakan
kekentalan yang paling disukai oleh panelis, hal ini dapat dilihat dari rata-rata
penilaian organoleptik pada kekentalan produk.
Kekentalan sampel terpilih (K14) jika dibandingkan dengan kontrol positif
masih berada dibawahnya. Namun jika diuji secara statistik dapat diketahui bahwa
kekentalan pada sabun cair sampel terpilih tidak berbeda nyata dengan sabun cair
kontrol positif (Sig. > 0,05). Kesukaan panelis terhadap sabun cair dapat berbeda-
beda, umumnya panelis menyukai sabun cair yang tingkat kekentalannya tidak
terlalu rendah (cair) dan tidak terlalu tinggi (kental) dan memiliki nilai viskositas
di atas standar umum kekentalan produk sabun cair yaitu 400-4000 cPs (Williams
dan Schmitt 2002).

4.2.1.3. Kesukaan panelis terhadap banyak busa sabun cair


Busa merupakan salah satu parameter yang penting yang digunakan untuk
menilai tingkat kesukaan konsumen terhadap produk sabun cair. Meskipun busa
bukan merupakan parameter yang dapat menunjukkan daya membersihkan suatu
produk sabun, akan tetapi kebanyakan konsumen lebih suka sabun yang memiliki
busa yang banyak daripada sabun yang memiliki busa yang sedikit. Penilaian
panelis terhadap jumlah busa sabun dilakukan dengan menggosok-gosokkan
sabun cair pada tangan yang kemudian dibasahi. Kisaran nilai organoleptik
banyak busa yang diberikan oleh panelis berkisar antara 2 (tidak suka) hingga 7
(sangat suka). Rata-rata penilaian organoleptik sabun cair yang dihasilkan berkisar
antara 5,03–5,33. Rata-rata penilaian banyaknya busa sabun cair dapat dilihat
pada Gambar 13.
Gambar 13. Histogram uji mutu hedonik terhadap banyak busa

Berdasarkan Gambar 13. dapat diketahui bahwa rata-rata penilaian


terendah yang diberikan panelis terhadap sabun cair yaitu pada kontrol negatif
tanpa penambahan kitosan dan tanpa penambahan karagenan. Sampel yang
terpilih memiliki nilai rata-rata tertinggi yang diberikan oleh panelis. Jika sampel
terpilih dengan ketiga kontrol negatif dibandingkan melalui uji statistik dapat
diketahui bahwa dengan adanya penambahan baik itu kitosan dan karagenan tidak
berpengaruh nyata terhadap banyak busa sabun cair yang dihasilkan (Sig. > 0,05).
Karakteristik busa sabun dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: adanya bahan
aktif sabun atau surfaktan, penstabil busa dan bahan-bahan penyusun sabun cair
lainnya (Amin 2006). Faktor eksternal yang mempengaruhi banyak busa adalah
jumlah air yang digunakan untuk pembentukan busa dan udara yang terperangkap
(Shaw 1991).
Jika diuji secara statistik, banyak busa pada sabun cair sampel terpilih
tidak berbeda nyata ketimbang sabun cair kontrol positif (Sig. > 0,05). Dan dapat
diketahui bahwa penilaian panelis terhadap banyak busa sampel lebih disukai
dibandingkan dengan sabun kontrol positif. Hal ini mungkin dikarenakan adanya
penambahan kitosan pada pembuatan sabun cair. Menurut Brzeski (1987) dalam
Amin (2006), kitosan memiliki sifat sebagai penstabil pada produk kosmetika,
salah satunya adalah sebagai penstabil busa. Kitosan yang memiliki sifat
reaktivitas kimia yang tinggi menyebabkan kitosan mampu mengikat air dan
minyak. Hal ini didukung oleh adanya gugus polar dan non polar yang
dikandungnya. Karena kemampuan tersebut, kitosan dapat digunakan sebagai
penstabil busa.

4.2.1.4. Kesukaan panelis terhadap post effect sabun cair


Penilaian panelis terhadap efek setelah sekali pemakaian (post effect)
dilakukan dengan cara menilai efek yang dirasakan panelis pada kulit setelah
pembilasan dengan air dan bilasan tersebut menjadi kering. Nilai yang tinggi
menandakan bahwa setelah pemakaian, kulit panelis terasa lembab tanpa adanya
iritasi atau rasa kering pada kulit. Sedangkan nilai yang rendah menandakan
bahwa produk sabun cair yang diuji menimbulkan rasa kering atau lengket setelah
pemakaian dengan air. Hasil penilain post effect disajikan pada Gambar 14.
Salah satu nilai tambah yang ingin diperoleh dengan adanya penambahan
kitosan dan karagenan pada sabun cair adalah kesan halus atau lembut dan lembab
pada kulit setelah pemakaian sabun cair. Post effect merupakan parameter yang
penting bagi produk kosmetika. Semakin baik post effect yang dihasilkan oleh
suatu produk kosmetik setelah pemakaian, maka akan semakin baik pula penilaian
konsumen terhadap produk kosmetika tersebut. Penilaian organoleptik yang
diberikan oleh panelis berkisar antara 1 (sangat tidak suka) sampai 7 (sangat
suka). Rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap produk sabun cair yang
dihasilkan berkisar antara 3,93–5,50.

Gambar14. Histogram uji mutu hedonik terhadap post effect


Gambar 14. menunjukkan bahwa kontrol negatif tanpa penambahan
kitosan dan tanpa penambahan karagenan menghasilkan post effect produk sabun
cair yang kurang disukai oleh panelis. Berdasarkan pengujian statistika yang
dilakukan dapat diketahui bahwa dengan penambahan kitosan dan karagenan
berpengaruh nyata terhadap post effect sabun cair yang dihasilkan (Sig. < 0,05).
Melalui uji Tukey diketahui bahwa sabun cair kode K00 dan K04 berbeda nyata
dengan sabun cair kode K10 dan K14. Dapat diketahui bahwa sampel terpilih
(K14) merupakan sabun cair yang paling disukai panelis dari segi post effect yang
dihasilkan. Hal ini mungkin dikarenakan oleh tingkat kelembaban masing-masing
sampel.
Salah satu manfaat kitosan pada pembuatan sabun cair adalah sebagai
humektan. Penambahan humektan pada produk sabun cair akan mempengaruhi
kelembaban pada kulit setelah pemakaian. Humektan merupakan suatu bahan
higroskopik yang mempunyai kemampuan untuk menyerap uap air dari
lingkungan. Larutan aqueous humektan dapat mengurangi kecepatan hilangnya
kelembaban dari udara di sekelilingnya (De Polo 2000).
Penggunaan kitosan dan karagenan sebagai humektan, dapat memperbaiki
karakteristik kelembaban kulit. Hal ini karena karagenan dan kitosan dapat
membentuk lapisan film pada kulit, yang dapat mencegah kulit kehilangan air,
sehingga kelembaban kulit dapat dipertahankan. Kemampuan pelembaban dari
kitosan dihubungkan dengan sifat pengemulsi yang dituntut pada formulasi yang
sesuai untuk modifikasi kitosan dengan asilasi asam lemak anhidrat atau klorida
(Domard dan Domard 1999).
Jika post effect sampel terpilih dibandingkan dengan post effect kontrol
positif tidak terlihat perbedaan yang begitu jauh diantara keduanya. Dan jika diuji
secara statistik, maka sabun cair sampel terpilih tidak berbeda nyata dengan sabun
cair kontrol positif (Sig. > 0,05). Hal ini sesuai dengan yang diinginkan yaitu
membuat sabun cair yang memiliki tingkat kelembaban yang tinggi karena sabun
cair kontrol positif atau komersil yang digunakan adalah sabun cair yang dkenal
memiliki tingkat kelembaban yang tinggi. Sabun kontrol positif yang digunakan
adalah sabun komersial Dove. Sabun tersebut diyakini masyarakat memiliki
tingkat kelembaban yang tinggi dan baik untuk kesehatan kulit manusia.
4.2.1.5. Kesukaan panelis terhadap penilaian umum sabun cair
Pengujian tingkat kesukaan panelis terhadap penilaian umum produk
sabun cair, panelis diminta memberikan penilaian akhir terhadap masing-masing
sampel yang diuji. Nilai yang tertinggi menandakan bahwa panelis menyukai
formulasi sabun cair sehingga menghasilkan produk sabun cair yang dihasilkan.
Hasil tingkat kesukaan panelis terhadap penilaian umum produk sabun cair dapat
dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15. Histogram uji mutu hedonik terhadap penilaian umum

Dari Gambar 15. diketahui bahwa dengan adanya penambahan kitosan dan
karagenan akan meningkatkan penilaian panelis terhadap sabun cair. Kisaran rata-
rata penilaian panelis terhadap penilaian umum sabun cair yang dihasilkan yaitu
4,03–5,60. Dengan rata-rata terendah pada sabun cair tanpa penambahan kitosan
dan tanpa penambahan karagenan, sedangkan rata-rata tertinggi didapat oleh
produk sabun cair kontrol positif.
Jika sampel terpilih dibandingkan dengan ketiga kontrol negatif melalui
pengujian statistika, dapat diketahui bahwa penambahan kitosan dan penambahan
karagenan akan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap produk sabun
cair yang dihasilkan (Sig. < 0,05). Melalui uji Tukey dapat diketahui bahwa
penilaian umum sabun cair kode K00 dan K04 berbeda nyata terhadap sabun cair
terpilih (K14). Hal ini menandakan bahwa dengan adanya penambahan kitosan
dan karagenan akan membuat karakteristik sabun cair lebih disukai oleh
konsumen. Sabun cair sampel terpilih (K14) merupakan sabun cair yang paling
disukai oleh panelis jika dibandingkan dengan ketiga kontrol negatif, hal ini dapat
dilihat dari Gambar 15.
Jika sampel terpilih dibandingkan dengan produk sabun cair kontrol positif
tidak terdapat perbedaan yang terlalu jauh di antara keduanya. Setelah diuji secara
statistik diketahui bahwa sabun cair sampel terpilih memiliki karakteristik
penilaian umum yang tidak berbeda nyata terhadap sabun cair kontrol positif (Sig.
> 0,05). Hal ini menandakan bahwa sabun cair sampel terpilih (K14) dapat
diterima oleh panelis dan karakteristiknya tidak berbeda dengan sabun cair konrol
positif (Dove).

4.2.2. Pengujian karakteristik


4.2.2.1. Uji bobot jenis, 25 oC
Bobot jenis menurut SNI 06-4085-1996 didefinisikan sebagai
perbandingan bobot sabun cair dengan bobot air pada volume dan suhu yang
sama. Bobot jenis sabun cair diukur pada suhu yang sama yaitu 25 oC dan dengan
volume yang sama yaitu 1 ml dengan menggunakan micro tube.
Hasil analisis menunjukkan bahwa bobot jenis sabun cair yang dihasilkan
1,058–1,125 g/ml seperti yang ditunjukkan pada Tabel 12. dan Gambar 16. Bobot
jenis sabun cair sampel terpilih (K14) dan sabun cair kontrol positif berada dalam
kisaran yang telah ditetapkan SNI 06-4085-1996, sedangkan sabun cair kontrol
negatif (tanpa penambahan kitosan dan tanpa penambahan karagenan) melewati
kisaran yang telah ditetapkan. Secara deskriptif dapat diketahui pula bahwa
sampel (K14) memiliki bobot jenis di antara sampel negatif dan sampel positif
yaitu sebesar 1,095.

Tabel 12. Hasil pengujian bobot jenis produk tahap kedua


Contoh Bobot Jenis, 25 oC (g/ml)
Kontrol Negatif 1,125
Sampel (K14) 1,095
Kontrol Positif 1,058
SNI (06-4085-1996) 1,01–1,10
Gambar 16. Histogram pengujian bobot jenis tahap kedua

Bobot jenis sabun cair kontrol negatif (tanpa penambahan karagenan dan
kitosan) berada di luar kisaran standar SNI (06-4085-1996). Bobot jenis sabun
cair sampel terpilih (K14) berada di bawah bobot jenis kontrol negatif mungkin
dikarenakan oleh adanya penambahan kitosan dan karagenan pada produk sabun
cair. Dengan adanya penambahan kitosan dan karagenan pada produk sabun cair
menyebabkan sabun cair yang dihasilkan memiliki bobot jenis sesuai dengan yang
telah ditetapkan SNI 06-4085-1996. Menurut Gaman dan Sherington (1990), jika
suatu bahan dilarutkan dalam air dan membentuk larutan maka densitasnya akan
mengalami perubahan. Penambahan bahan-bahan seperti garam juga dapat
meningkatkan bobot jenis, namun kadang-kadang bobot jenis dapat turun jika
terdapat lemak atau golongan alkohol dalam larutan.
Berdasarkan perhitungan secara statistik, diketahui bahwa pada selang
kepercayaan 95%, perlakuan kontrol negatif, sampel terpilih, dan kontrol positif
tidak berbeda nyata terhadap bobot jenis sabun cair (Sig. > 0,05). Kontrol positif
memiliki bobot jenis yang paling rendah, hal ini karena bahan-bahan yang
digunakan dalam formulasi yang digunakan berbeda dengan sabun cair yang
dihasilkan. Komposisi sabun cair sangat menentukan besar kecilnya bobot jenis
produk sabun cair. Data dan analisis dapat dilihat pada Lampiran 12. dan
Lampiran 13.
4.2.2.2. Uji pH
Derajat keasaman (pH) dapat mempengaruhi daya absorpsi kulit. Menurut
Wasitaatmadja (1997), produk kosmetika yang memiliki nilai pH yang sangat
tinggi atau sangat rendah dapat menambah daya absorpsi pada kulit sehingga
mengakibatkan kulit teriritasi, oleh karena itu produk kosmetik perawatan diri
sebaiknya dibuat dengan menyesuaikan dengan pH kulit, yaitu berkisar 4,5–7,0.
Hasil pengujian pH produk dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Hasil pengujian pH produk tahap kedua


Contoh pH
Kontrol Negatif 9,55
Sampel (K14) 9,23
Kontrol Positif 5,86
SNI (06-4085-1996) 6-8

Gambar 17. Histogram pengujian pH produk tahap kedua

Hasil pengukuran tingkat keasaman pada produk sabun cair antara kontrol
negatif, sampel terpilih (K14), dan kontrol positif pH sabun cair sampel (K14)
lebih rendah daripada kontrol negatif mungkin dikarenakan oleh adanya
penambahan larutan kitosan yang bersifat asam. pH sabun cair yang diujikan
berada di luar kisaran standar yang telah ditetapkan oleh SNI (06-4085-1996). pH
bukanlah parameter utama yang menyebabkan kulit menjadi teriritasi. Parameter
utama penyebab iritasi kulit pada sabun adalah alkali bebas. Kadar alkali bebas
yang tinggi (di atas 0,22 %) dapat menyebabkan iritasi pada kulit dan biasanya
kadar alkali bebas yang tinggi ditandai pula dengan pH sabun yang terlalu basa
(pH diatas 11) (Akmal 2004).
Berdasarkan analisis statistik, diperoleh hasil bahwa pada selang
kepercayaan 95 %, perlakuan kontrol negatif, sampel terpilih dan kontrol positif
berbeda nyata terhadap tingkat keasaman sabun cair (Sig. < 0,05). Dengan
menggunakan uji Tukey, dapat diketahui bahwa setiap perlakuan memberikan
pengaruh yang berbeda nyata terhadap antara yang satu sama lainnya terhadap pH
produk sabun cair yang digunakan. Pelarut yang digunakan untuk melarutkan
kitosan yang digunakan adalah asam asetat. Penambahan larutan yang bersifat
asam akan membuat tingkat keasaman produk sabun cair yang dihasilkan menjadi
lebih rendah. Data dan hasil pengujian statistik untuk parameter pH sabun cair
tahap kedua dapat dilihat dari Lampiran 14. dan Lampiran 15.

4.2.2.3. Uji kelembaban


Kelembaban produk sabun cair ini dinyatakan sebagai kemampuan produk
sabun cair dalam mempertahankan beratnya terhadap pengaruh sinar matahari.
Kehilangan berat yang kecil menandakan bahwa produk tersebut memiliki
kelembaban yang tinggi dan sebaliknya kehilangan berat yang besar menandakan
bahwa produk tersebut memiliki kelembaban yang rendah. Pada pengujian
kelembaban kali ini, dilakukan uji pada kontrol negatif, sampel terpilih (K14) dan
kontrol positif. Hasil yang diperoleh dapat dilihat Gambar 18.

Gambar 18. Grafik hasil pengujian kelembaban tahap kedua


Gambar 18. menunjukkan bahwa pada sabun cair kontrol negatif pada T0
terlihat terjadi penurunan yang signifikan tetapi lama kelamaan pada T3 hingga
T5 penurunan berat tidak terlalu besar dan menjadi stabil. Sedangkan pada sabun
cair kontrol positif penurunan berat tiap jam terlihat signifikan, hal ini mungkin
dikarenakan pada produk sabun cair kontrol positif tidak ditambahkan bahan
pengikat air. Sedangkan pada sampel (K14), penurunan berat produk tidak terlalu
besar dan mulai stabil pada T3.
Dapat diketahui bahwa sabun cair sampel (K14) memiliki kelembaban
yang paling tinggi. Hal ini mungkin dikarenakan pada sabun cair sampel (K14)
ditambahkan kitosan dan karagenan yang memiliki sifat mengikat air. Menurut
Knorr (1982), sifat kitosan yang penting untuk aplikasinya adalah kemampuan
mengikat air karena dalam kitosan terdapat gugus hidrofobik dan hidrofilik. Data
penurunan kelembaban tiap jam dapat dilihat pada Lampiran 16.

4.2.3. Uji mikrobiologi (SNI 06-4085-1996)


Pengujian angka lempeng total atau cemaran mikroba dilakukan untuk
mengetahui jumlah mikroba yang terdapat pada produk sabun. Hal ini karena
cemaran mikroba menentukan mutu sabun cair. Sabun cair berhubungan erat
dengan masalah kesehatan terutama pada perawatan kulit, oleh karena itu cemaran
mikroba juga menentukan apakah produk sabun cair dapat diterima oleh
konsumen.
Pertumbuhan mikroba dalam sabun cair dapat dipengaruhi oleh faktor
intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik antara lain adalah kandungan pH, aw,
nutrisi dan senyawa antimikroba. Faktor ekstrinsik antara lain suhu dan
kelembaban relatif (Salam 2003).
Angka lempeng total merupakan salah satu cara untuk menetukan jumlah
mikroorganisme dalam sampel secara tidak langsung. Cara ini lebih akurat
dibandingkan dengan cara langsung melalui pengamatan di bawah mikroskop
(Fardiaz 1989). Cara ini berdasarkan anggapan bahwa setiap sel yang hidup akan
berkembang menjadi satu koloni. Jumlah koloni yang muncul pada cawan
merupakan indeks bagi mikroorganisme dalam sampel dapat hidup. Hasil jumlah
cemaran mikroba dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Hasil pengujian cemaran mikroba (angka lempeng total) produk.
Parameter Kontrol Sampel SNI
Negatif (K14) (06-4085-1996)
Jumlah koloni hari <1 x 101 <1 x 101
ke-0 (koloni/ml)
1 1 Maks. 1 x 105
Jumlah koloni hari <1 x 10 <1 x 10
ke-30 (koloni/ml)

Berdasarkan Tabel 14. dapat diketahui bahwa pada produk sabun cair
kontrol negatif maupun pada sabun cair sampel (K14) tidak terdapat koloni yang
tumbuh, baik pada pengujian di hari ke-0 maupun pada pengujian di hari ke-30.
Jika kedua produk di atas dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan
dalam SNI 06-4085-1996, maka kedua produk di atas memenuhi persyaratan yang
telah ditetapkan.
Mikroba tidak dapat tumbuh pada produk sabun cair yang dihasilkan
mungkin karena pH produk sabun cair yang cenderung basa dan pada proses
pembuatannya dilakukan pada suhu berkisar 70-80 oC. Kondisi ini merupakan
bukan kondisi yang optimum untuk pertumbuhan mikroba. Mikroba memiliki pH
optimum berkisar 3,8-5,6 dan dapat tumbuh optimum pada suhu 22-37 oC (Stainer
et al. 1976 dalam Fahmitasari 2004).
Formulasi sabun cair dan produk kosmetika lainnya pada umumnya
ditambahkan bahan preservatif. Fungsi dari penambahan bahan preservatif salah
satunya adalah untuk mencegah pertumbuhan bakteri pada produk (Salam 2003).
Walaupun pada kontrol negatif tidak tumbuh mikroba, penambahan bahan seperti
kitosan pada produk sabun cair dirasa perlu guna memperpanjang daya simpan
produk sabun cair. Kitosan merupakan bahan preservatif dari alam. Biasanya
sabun dipasaran menggunakan formaldehyde sebagai bahan preservatif.
Penggunaan bahan ini pada konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan iritasi dan
reaksi alergi (Harry 1975). Data pengujian angka lempeng total produk dapat
dilihat pada Lampiran 17.

4.2.4. Uji kadar alkali bebas


Prinsip dari analisis kadar alkali bebas adalah mentitrasi alkali bebas
(dalam hal ini adalah KOH) yang terdapat dalam contoh dengan menggunakan
larutan baku asam (SNI 06-4085-1996). Adanya alkali bebas dapat disebabkan
oleh penambahan KOH pada sabun cair. Kandungan alkali bebas di dalam sabun
cair menunjukkan kelebihan jumlah alkali di dalam sabun cair yang tidak bereaksi
dengan asam lemak.
Hasil pengujian kadar alkali bebas, produk sabun cair sampel (K14)
mengandung alkali bebas sebesar 0,017 %. Hasil penghitungan kadar alkali bebas
dapat dilihat dari Lampiran 18. Seperti diketahui proses dasar pembuatan sabun
tersebut adalah dengan cara menyabunkan lemak dengan alkali. Suatu sabun cair
yang baik kualitasnya kadar alkali bebas yang masih tersisa tidak boleh melebihi
0,22 % yang dihitung sebagai K20 (WHO Collaborating Centre for Quality
Assurance of Essential Drugs 1990). Kelebihan kadar alkali dari batasan resmi
tersebut dapat menimbulkan kerugian konsumen, berupa kerusakan kulit seperti
iritasi kulit. Berdasarkan perhitungan kadar alkali bebas dapat diketahui bahwa
sabun cair sampel (K14) tidak beresiko menyebabkan iritasi kulit. Tingginya
kadar alkali pada produk sabun mandi yang digunakan sehari-hari oleh
masyarakat luas, seperti telah dikemukakan, dapat menimbulkan kerusakan kulit
dan bentuk iritasi lainnya, terutama pada bayi dan anak-anak. Contoh perhitungan
kadar alkali bebas dapat dilihat pada Lampiran 19.
5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Penelitian tahap pertama menunjukkan formulasi konsentrasi larutan stok
kitosan yang digunakan adalah 1, 3 dan 5 %. Penambahan larutan stok karagenan
sebesar 1, 2, 3 dan 4 %. Sementara itu, gliserin ditambahkan sebanyak 5 ml dan
sisanya adalah sukrosa, akuades dan bahan dasar penyusun sabun.
Pengujian karakteristik menunjukkan bahwa tidak semua perlakuan
kitosan dan karagenan yang diuji telah memenuhi standar yang ditetapkan dalam
SNI 06-4085-1996 tentang sabun mandi cair. Bobot jenis yang didapatkan hasil
dari perlakuan kitosan dan karagenan adalah 1,070–1,128 g/ml. Pengujian statistik
menunjukkan bahwa penambahan kitosan, karagenan dan kombinasi keduanya
tidak berpengaruh nyata terhadap bobot jenis sabun mandi cair yang dihasilkan.
Untuk pengujian pH produk, diperoleh bahwa produk yang dihasilkan memiliki
pH yang cukup basa, yakni 9,13–9,41. Melalui uji statistik, penambahan
karagenan akan berpengaruh nyata terhadap tingkat keasaman sabun mandi cair
yang dihasilkan. Semakin tinggi konsentrasi stock karagenan yang digunakan
maka pH sabun cair akan meningkat. Berdasarkan pengujian-pengujian tersebut
didapatkan perlakuan terbaik yaitu K14 (penambahan stok kitosan 5 % dan
karagenan 4 %). Hasil uji kelembaban sabun cair menghasilkan sabun cair yang
memiliki persentase berat produk hingga jam ke-5 berkisar antara 74,02-89,86 %.
Penambahan kitosan dan karagenan pada produk sabun mandi cair akan
mempengaruhi tingkat kelembaban sabun mandi cair. Semakin tinggi kitosan dan
karagenan yang ditambahkan pada sabun cair maka tingkat kelembaban sabun cair
semakin tinggi.
Penelitian tahap kedua dilakukan pengujian organoleptik dengan
membandingkan tiga jenis kontrol negatif (tanpa kitosan dan karagenan,
penambahan kitosan saja, dan penambahan karagenan) dengan sampel terpilih
(K14) dan dengan kontrol positif. Melalui pengujian statistik, jika sampel terpilih
dibandingkan dengan ketiga kontrol negatif dapat diketahui bahwa dengan adanya
penambahan kitosan dan karagenan akan mempengaruhi kekentalan, banyak busa,
post effect, dan penilaian umum panelis terhadap sabun mandi cair yang
dihasilkan. Penambahan kitosan dan karagenan tidak berpengaruh nyata terhadap
penampakan sabun mandi cair yang dihasilkan. Dan jika sampel terpilih (K14)
dibandingkan dengan kontrol positif melalui uji statistika, dapat diketahui bahwa
kekentalan, banyak busa, post effect, dan penilaian umum sabun mandi cair yang
terpilih tidak berbeda nyata dengan sabun mandi cair kontrol positif. Sedangkan
karakteristik penampakan sampel terpilih (K14) berbeda nyata dengan kontrol
positif.
Melalui pengujian secara statistika, bobot jenis antara kontrol negatif,
sampel terpilih, dan kontrol negatif tidak saling berbeda nyata, sedangkan pH
produk berbeda nyata antar masing-masing sampel. Dan pada pengujian tingkat
kelembaban sabun mandi cair didapatkan bahwa sampel terpilih memiliki tingkat
kelembaban yang paling tinggi. Cemaran mikroba sabun mandi cair yang
dihasilkan baik yang ditambahkan dengan kitosan maupun yang tidak telah
memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh SNI 06-4085-1996 yaitu sebesar < 1
x 101 koloni/ml. Kadar alkali bebas yang dihasilkan yaitu sebesar 0,017% yang
dihitung sebagai K2O.

5.2. Saran
Saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini adalah penelitian
lanjutan tentang umur simpan sabun mandi cair yang dihasilkan dan pembuatan
sabun mandi cair dengan menambahkan bahan-bahan alami yang bersifat asam
agar pH sabun mandi cair mendekati pH kulit.
DAFTAR PUSTAKA

Akmal YL. 2004. Alkali bebas pada berbagai produk sabun mandi [skripsi].
Padang: Jurusan Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Andalas.

Amin H. 2006. Kajian penggunaan kitosan sebagai pengisi dalam pembuatan


sabun transparan [skripsi]. Bogor: Program studi Teknologi Hasil
Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.

Ananthapadamanabhan KP, Moore DJ, Subramanyan K, Misra M and meyer F.


2004. Cleansing without compromise: the impact of cleansers on the skin
barrier and the technology of mild cleansing. Dermatologic Therapy.
17:16–25.

Angka SL dan Suhartono TS. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Bogor: Pusat Kajian
Sumber daya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. 49-56.

Anonim. 2004. Introduction to Carrageenan. http://www.cybercolloids.net/libra


ry/carrageenan/production.php [23 Maret 2008].

Anonim. 2005. Cosmetics. http://www.bookrags.com/ [16 September 2008].

Anonim. 2007. Penggunaan Chitosan Sebagai Koagulan Pada Pengolahan Air


Bersih dan Air Limbah. http://www.bic.web.id/innovationprospective_
inside.php? id=144&strlang=ind [26 Januari 2009].

Anonim. 2008. Natural Soap Directory™: Glossary of Soap Terms. http://www.


natural-soap-directory.com/soap-terms.html#top [24 maret 2008].

Arifin S. 2007. CHE Around Us: Sabun. http://www.majarikanayakan.com/2007


/12/che-around-us-sabun/ [24 Maret 2008].

cP Kelco Aps. Carrageenan. Denmark. http://cpkelco.com/food/carrageenan.html


[7 Agustus 2008].

De Polo KF. 2000. A Short Textbook of Cosmetic. Germany.

Domard A, Domard M. 1999. Chitosan: structure-properties relationship and


biomedical applications. Didalam Polymeric Biomaterials. Dumitriu S
(Ed). Washington DC: CRC Press.

Engko HC. 2001. Aplikasi minyak biji adas (Foeniculum vulgare Mill.) dan
gelatin tipe B dari kulit sapi pada formulasi sabun mandi cair [skripsi].
Bogor: Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Fahmitasari Y. 2004. Pengaruh penambahan tepung karaginan terhadap


karateristik sabun mandi cair [skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi
Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.

Fardiaz S. 1989. Analisis Mikrobiologi Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas


Pangan dan Gizi.

Gaman PM dan KB Sherrington. 1990. The science of Food, 3rd. Oxford:


Pergamon Press

Glicksman M. 1983. Food Hydrocolloids Vol II. Florida: CRC Press

Hardjito L. 2006. Aplikasi Kitosan Sebagai Bahan Tambahan Makanan dan


Pengawet. Di dalam: Santoso J, Trilaksani W, Nurhayati T, Suseno SH,
editor. Prospek Produksi dan Aplikasi Kitin-Kitosan Sebagai Bahan Alami
dalam Membangun kesehatan Masyarakat san Menjamin Keamanan
Produk. Prosiding Seminar Nasional Kitin-Kitosan 2006; Bogor, 16 Maret
2006. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. hlm 1-13

Harry RG. 1975. Harry`s Cosmeticology. New York: Leonald Hill Books

Hidayat F. 2006. Pengaruh kombinasi karagenan dan sodium lauryl sulfat serta
penambahan ekstrak pemphis acidula terhadap karakteristik sabun mandi
cair [skripsi]. Bogor: Program studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Janesh KA, Alonso MJ. 2003. Depolimerizaed chitosan nanoparticles for protein
delivery. Preparation and Characterization. J Appl Pol Sci. 88:2769-2776.

Khan TA, Peh KK, Ch`ng HS. 2002. Reporting degree of deacetylation values of
chitosan: the influence of analytical methods. J Pharm Pharmaceut Sci.
5(3):205-212.

Kim F. 2004. Physicochemical and functional properties of crawfish chitosan as


affected by different processing protocols [thesis]. Seoul: The Department
of Food Science, Seoul National University.

Knorr D. 1982. Functional properties chitin dan chitosan. Journal Food Science.
47: 593-595.

Lang G, Clausen T. 1989. The use of chitosan in cosmetic. Dalam Chitin and
Chitosan. Elsevier London and New York: Applied Science.

Meidina, Sugiyono, B Sri Laksmi Jenie dan MT Suhartono. 2006. Aktivitas


Antibakteri Oligomer Kitosan yang Diproduksi menggunakan Kitonase
dari Isolat B. licheniformis MB-2. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor.
Nadarajah K. 2005. Development and characterization of antimicrobial edible
films from crawfish chitosan [thesis]. Peradeniya: The Department of
Food Science. University of Peradeniya.

Nan L, Chen XG, Park HJ, Liu CG, Liu CS, men XH and Yu LJ. 2006. Effect of
MW and concentration of chitosan on antibacterial activity of Escherichia
coli. Journal Carbohydrat Polimers. 60-65.

Nix DH. 2005. Wound Care: Factors To Consider When Selected skin Cleansing
Products. http://www.wocn.org/ [24 Maret 2008].

No HK, Cho YI, Meyers SP. 1996. Dye binding capacity of commercial chitin
products. Journal Agricultural Food Chemistry. 44: 1939-1942.

NTFP. 2003. Manfaat minyak kelapa untuk kesehatan. http://www.ntfp.or.id/ [16


Februari 2009].

Pendrianto. 2008. Pengaruh sterilisasi terhadap aktivitas kitosan sebagai


antibakteri [skripsi]. Jakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Al Azhar Indonesia.

Rahayu WP. 1998. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Bogor: Jurusan


Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut
Pertanian Bogor.

Rinaudo M. 2006. Chitin and chitosan : properties and applications. Prog. Polym.
Sci. 31: 603–632

Salam RRS. 2003. Kualitas sabun mandi cair dengan penambahan madu ekstrak
polen [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Sary DAP. 2007. Formulasi, uji iritasi dan penentuan khasiat pelindung surya
krim yang mengandung serbuk Kappaphycus alvarezii bahan bahari
sumber karagenan [thesis]. Bandung: Program Studi Sains dan Teknologi
Farmasi, Institut Teknologi Bandung.

SDA. 2001. Fats and oil. http://cleaning101.com/cleaning/chemistry/soap


chemistry2.cfm [16 Februari 2009].

Shaw DJ. 1991. Introduction to Colloids and Surface Chemistry, 4ed. London:
Butterworth Hienemann. Ltd.

Simanjuntak T. 2000. Studi awal penggunaan khitosan dari limbah kulit udang,
sebagai bahan substitusi pada produk hand and body lotion [skripsi].
Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Skensved L. 2004. GENU Carrageenan: Application. CP Kelco ApS, Denmark.


http://cpkelco.com/ [25 Agustus 2008].
Standar Nasional Indonesia. 1996. SNI 06-4085-1996. Jakarta: Dewan
Standardisasi Nasional.

Steel RGD dan James HT. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.

Suptijah P, Salamah E, Sumaryanto H, Purwaningsih S dan Santoso J. 1992.


Pengaruh Berbagai Isolasi Kulit Udang terhadap Mutunya. Bogor:
Laporan Penelitian Jurusan Pengolahan Pangan Perikanan, Fakultas
Perikanan, Institut Pertanian Bogor

Suryani A, Sailah I, Hambali E. 2002. Teknologi Emulsi. Bogor: Jurusan


Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.

Towle GA. 1973. Carrageenan. Di dalam: Whistler RL (editor). Industrial Gums


2ed, New York: Academic Press. 83-114.

Uju. 2005. Kajian proses pemurnian dan pengkonsentrasian karagenan dengan


membrane mikrofiltrasi [thesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor

Velde F and Gerhard AdR. 2004. Carrageenan. Carbohydrate Technology


Department. Wageningen Center for Food Science and TNO Nutrition and
Food Research Institute.

Watkinson C. 2000. Liquid soap cleaning up in market share. Champaign: AOAC


Press. Inform11[11]:1188-1195

Wasitaadmadja. 1997. Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. Jakarta: UI-Press.

WHO Collaborating Centre for Quality Assurance of The Essential Drugs. 1990.
Penetapan Kadar Alkali Bebas Jumlah pada Sabun Mandi. Dalam: Metode
Analisis Pusat Pemeriksaan Obat dan Makanan. Jakarta: Depkes RI. 143-
148.

Williams DF dan Schmitt WH. 2002. Kimia dan Teknologi Industri Kosmetika
dan Produk-Produk Perawatan Diri. Terjemahan. Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Winarno FG. 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.

Yasya W. 2007. Pembuatan minyak kelapa murni secara enzimatis menggunakan


ekstrak nanas [skripsi]. Bandung: Program Studi Kimia, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan, Institut Teknologi Bandung.
Yudhana D. 2006. Pemanfaatan kulit batang sentigi (Pemphis acidula) sebagai
pewarna alami dan antioksidan pada sediaan pelembab kulit [skripsi].
Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 2. Lembar penilaian organoleptik sabun cair
Nama Panelis :
Tanggal pengujian :
Jenis Contoh : Sabun Cair
Instruksi : Berikan penilaian atau tingkat kesukaan anda pada
parameter sabun yang telah ditentukan
Petunjuk :
1. Untuk parameter penampakan dilakukan dengan visual
2. Untuk parameter banyaknya busa dan post effect dilakukan setelah
menggunakan produk. Untuk banyak busa, dilakukan dengan cara
menggosokkan sabun mandi cair pada tangan yang basah. Untuk post
effect, dilakukan dengan melihat setelah pemakaian dan dilihat respon
terhadap adanya rasa kering atau lembab yang ditinggalkan produk. Makin
lembab sabun mandi cair, semakin tinggi skor penilaian parameternya.
3. Untuk parameter penilaian umum,penilaian tentang keseluruhan (umum)
produk sabun mandi cair.

Kode
Parameter K00 K04 K10 K14 K44
Penampakan
Kekentalan
Banyak busa
Post Effect
Penilaian umum

Keterangan nilai tingkat kesukaan:


7 = sangat suka 3 = agak tidak suka
6 = suka 2 = tidak suka
5 = agak suka 1 = sangat tidak suka
4 = biasa
Lampiran 3. Formulasi yang dilakukan
Minyak
No. kelapa KOH Gliserin Sukrosa Akuades Kitosan Karagenan Hasil Keterangan
Berbentuk padatan, kitosan tidak
1 25 g 6,5 g 3,75 ml 7g 53 ml 1 ml (5%) 1 ml (1%) menyatu Waktu pemanasan 5 jam
Berbentuk cairan, kitosan tidak
2 25 g 6,5 g 3,75 ml 7g 63 ml 2 ml (5%) 1 ml (1%) menyatu Waktu pemanasan 5 jam
Berbentuk cairan, karagenan tidak
3 25 g 6,5 g 3,75 ml 7g 63 ml 2 ml (5%) 1 ml (1%) menyatu Kitosan dilarutkan dalam larutan sukrosa
6,67% (15 Berbentuk cairan, karagenan tidak
4 25 g 6,5 g 3,75 ml 7g 63 ml 5 ml (5%) ml) menyatu Karagenan dimasukkan sebelum larutan sukrosa +kitosan
1,5% (10 Berbentuk cairan yang kental, Karagenan dimasukkan sesudah larutan sukrosa +kitosan dan
5 25 g 6,5 g 3,75 ml 7g 63 ml 5 ml (5%) ml) karagenan tidak menyatu setelah itu dilakukan pemanasan dalam keadaan terbuka
Berbentuk cairan kurang kental, Larutan sukrosa dimasukkan karagenan dan kemudian ditambahkan
6 25 g 6,5 g 5 ml 7g 53 ml 5 ml (5%) 1 ml (1%) karagenan tidak menyatu kitosan kemudian dilakukan pemanasan dalam keadaan terbukan
Larutan karagenan ditambahkan larutan sukrosa kemudian
Berbentuk cairan kental, homogen ditambahkan kitosan, Kemudian dilakukan pemanasan dalam
7 25 g 6,5 g 5 ml 7g 53 ml 5 ml (5%) 5 ml (1%) tetapi kurang stabil keadaan terbuka
Larutan karagenan ditambahkan larutan sukrosa kemudian
ditambahkan kitosan, Kemudian dilakukan pemanasan dalam
8 25 g 6,5 g 5 ml 7g 53 ml 5 ml (5%) 5 ml (1%) Berbentuk cairan kental, homogen keadaan terbuka ditambah menjadi 2,5 jam
Larutan karagenan ditambahkan larutan sukrosa kemudian
Berbentuk cairan kental,homogen ditambahkan kitosan, Kemudian dilakukan pemanasan dalam
9 25 g 6,5 g 5 ml 7g 58 ml - 5 ml (1%) tetapi pH 13 keadaan terbuka ditambah menjadi 2,5 jam
Larutan karagenan ditambahkan larutan sukrosa kemudian
Berbentuk cairan kental,tidak ditambahkan kitosan, Kemudian dilakukan pemanasan dalam
10 25 g 6,5 g 5 ml 7g 53 ml 5 ml (6%) 5 ml (1%) homogen keadaan terbuka ditambah menjadi 2,5 jam
Larutan karagenan ditambahkan larutan sukrosa kemudian
ditambahkan kitosan, Kemudian dilakukan pemanasan dalam
11 25 g 6,5 g 5 ml 7g 58 ml 5 ml (1%) - Berbentuk cairan keadaan terbuka ditambah menjadi 2,5 jam
Larutan karagenan ditambahkan larutan sukrosa kemudian
Berbentuk cairan kental,homogen ditambahkan kitosan, Kemudian dilakukan pemanasan dalam
10 25 g 6,5 g 5 ml 7g 53 ml 5 ml (1%) 5 ml (1%) tetapi pH tinggi keadaan terbuka ditambah menjadi 2,5 jam
Larutan karagenan ditambahkan larutan sukrosa kemudian
ditambahkan kitosan, Kemudian dilakukan pemanasan dalam
11 25 g 6,5 g 5 ml 7g 53 ml 5 ml (1%) 5 ml (5%) Berbentuk kental sekali,homogen keadaan terbuka ditambah menjadi 2,5 jam
Larutan karagenan ditambahkan larutan sukrosa kemudian
ditambahkan kitosan, Kemudian dilakukan pemanasan dalam
12 25 g 6,5 g 5 ml 7g 53 ml 5 ml (1%) 5 ml (4%) Berbentuk cairan kental, homogen keadaan terbuka ditambah menjadi 2,5 jam
Lampiran 4. Data pengujian bobot jenis
Berat Tube
Perlaku- + Sampel Rata-
an Berat Tube Kosong (g) (g) Bobot Jenis (g/ml) rata
0,985 2,085 1,100
K11 0,990 2,075 1,085 1,093
0,990 2,060 1,070
K12 0,990 2,060 1,070 1,070
0,985 2,080 1,095
K13 0,990 2,130 1,140 1,118
0,985 2,080 1,095
K14 0,985 2,075 1,090 1,093
0,985 2,090 1,105
K21 0,985 2,085 1,100 1,103
0,985 2,040 1,055
K22 0,985 2,165 1,180 1,118
0,985 2,055 1,070
K23 0,985 2,120 1,135 1,103
0,980 2,095 1,115
K24 0,980 2,060 1,080 1,098
0,985 2,095 1,110
K31 0,985 2,130 1,145 1,128
0,985 2,075 1,090
K32 0,980 2,060 1,080 1,085
0,990 2,065 1,075
K33 0,985 2,050 1,065 1,070
0,985 2,070 1,085
K34 0,990 2,080 1,090 1,088

Ket: - Angka pertama setelah huruf menunjukkan konsentrasi stok kitosan (1 = 5 %, 2 = 3 %, dan
3 = 1 %)
- Angka kedua setelah huruf menunjukkan konsentrasi stok karagenan (1 = 1 %, 2 = 2 %, 3 =
3 %, dan 4 = 4 %)

Lampiran 5. Hasil analisa statistik bobot jenis


Dependent Variable: Berat Jenis
Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .007(a) 11 .001 .626 .777
Intercept 28.875 1 28.875 27915.634 .000
Kitosan .003 2 .002 1.544 .253
Karagenan .003 3 .001 .917 .462
kitosan * karagenan .001 6 .000 .176 .978
Error .012 12 .001
Total 28.895 24
Corrected Total .020 23
a R Squared = .365 (Adjusted R Squared = -.217)
Lampiran 6. Data pengujian pH
Perlakuan pH Rata-rata
9,15
K11 9,16 9,16
9,20
K12 9,18 9,19
9,21
K13 9,18 9,20
9,18
K14 9,23 9,21
9,17
K21 9,09 9,13
9,24
K22 9,21 9,23
9,25
K23 9,31 9,28
9,37
K24 9,39 9,38
9,27
K31 9,37 9,32
9,32
K32 9,38 9,35
9,42
K33 9,40 9,41
9,43
K34 9,40 9,42

Lampiran 7. Hasil analisa statistik pH


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .226(a) 11 .021 16.354 .000
Intercept 2062.946 1 2062.946 1644873.757 .000
Kitosan .007 2 .004 2.900 .094
Karagenan .198 3 .066 52.708 .000
kitosan * karagenan .020 6 .003 2.661 .070
Error .015 12 .001
Total 2063.187 24
Corrected Total .241 23
a R Squared = .937 (Adjusted R Squared = .880)
Lanjutan Lampiran 7. Hasil analisa statistik pH
Hasil uji lanjut Tukey pH
N Subset
karagenan a b c
1% 6 9.18000
2% 6 9.18667
3% 6 9.32667
4% 6 9.39167
Sig. .987 1.000 1.000

Lampiran 8. Data pengujian kelembaban


Pengukuran Jam ke-0
T0
Berat Plastik Total % Rata-
Perlakuan Ulangan (g) (g) Sampel (g) Sampel rata
1 0,270 1,285 1,015 100,00
K11 2 0,250 1,255 1,005 100,00 100,00
1 0,250 1,250 1,000 100,00
K12 1 0,330 1,330 1,000 100,00 100,00
1 0,170 1,170 1,000 100,00
K13 2 0,210 1,220 1,010 100,00 100,00
1 0,210 1,225 1,015 100,00
K14 2 0,225 1,230 1,005 100,00 100,00
1 0,190 1,190 1,000 100,00
K21 2 0,195 1,195 1,000 100,00 100,00
1 0,200 1,205 1,005 100,00
K22 2 0,195 1,195 1,000 100,00 100,00
1 0,245 1,255 1,010 100,00
K23 2 0,240 1,250 1,010 100,00 100,00
1 0,240 1,245 1,005 100,00
K24 2 0,260 1,260 1,000 100,00 100,00
1 0,250 1,270 1,020 100,00
K31 2 0,225 1,235 1,010 100,00 100,00
1 0,270 1,300 1,030 100,00
K32 2 0,255 1,265 1,010 100,00 100,00
1 0,250 1,270 1,020 100,00
K33 2 0,255 1,275 1,020 100,00 100,00
1 0,260 1,265 1,005 100,00
K34 2 0,270 1,280 1,010 100,00 100,00
Lanjutan Lampiran 8. Data pengujian kelembaban
Pengukuran Jam ke-1
T1
Total Rata-
Perlakuan Ulangan (g) Sampel (g) % Sampel rata
1 1,200 0,930 91,63
K11 2 1,155 0,905 90,05 90,84
1 1,155 0,905 90,50
K12 1 1,290 0,960 96,00 93,25
1 1,100 0,930 93,00
K13 2 1,195 0,985 97,52 95,26
1 1,180 0,970 95,57
K14 2 1,195 0,970 96,52 96,04
1 1,100 0,910 91,00
K21 2 1,095 0,900 90,00 90,50
1 1,125 0,925 92,04
K22 2 1,135 0,940 94,00 93,02
1 1,170 0,925 91,58
K23 2 1,160 0,920 91,09 91,34
1 1,155 0,915 91,04
K24 2 1,200 0,940 94,00 92,52
1 1,165 0,915 89,71
K31 2 1,150 0,925 91,58 90,65
1 1,195 0,925 89,81
K32 2 1,185 0,930 92,08 90,94
1 1,175 0,925 90,69
K33 2 1,190 0,935 91,67 91,18
1 1,185 0,925 92,04
K34 2 1,200 0,930 92,08 92,06
Lanjutan Lampiran 8. Data pengujian kelembaban
Pengukuran Jam ke-2
T2
Total Sampel % Rata-
Perlakuan Ulangan (g) (g) Sampel rata
1 1,150 0,880 86,70
K11 2 1,100 0,850 84,58 85,64
1 1,125 0,875 87,50
K12 1 1,270 0,940 94,00 90,75
1 1,050 0,880 88,00
K13 2 1,175 0,965 95,54 91,77
1 1,125 0,915 90,15
K14 2 1,170 0,945 94,03 92,09
1 1,055 0,865 86,50
K21 2 1,050 0,855 85,50 86,00
1 1,080 0,880 87,56
K22 2 1,100 0,905 90,50 89,03
1 1,140 0,895 88,61
K23 2 1,115 0,875 86,63 87,62
1 1,115 0,875 87,06
K24 2 1,160 0,900 90,00 88,53
1 1,140 0,890 87,25
K31 2 1,105 0,880 87,13 87,19
1 1,150 0,880 85,44
K32 2 1,165 0,910 90,10 87,77
1 1,115 0,865 84,80
K33 2 1,100 0,845 82,84 83,82
1 1,132 0,872 86,77
K34 2 1,150 0,880 87,13 86,95
Lanjutan Lampiran 8. Data pengujian kelembaban
Pengukuran Jam ke-3
T3
Total Sampel % Rata-
Perlakuan Ulangan (g) (g) Sampel rata
1 1,110 0,840 82,76
K11 2 1,050 0,800 79,60 81,18
1 1,105 0,855 85,50
K12 1 1,260 0,930 93,00 89,25
1 1,035 0,865 86,50
K13 2 1,155 0,945 93,56 90,03
1 1,105 0,895 88,18
K14 2 1,165 0,940 93,53 90,85
1 1,030 0,840 84,00
K21 2 1,015 0,820 82,00 83,00
1 1,055 0,855 85,07
K22 2 1,090 0,895 89,50 87,29
1 1,095 0,850 84,16
K23 2 1,055 0,815 80,69 82,43
1 1,075 0,835 83,08
K24 2 1,130 0,870 87,00 85,04
1 1,130 0,880 86,27
K31 2 1,075 0,850 84,16 85,22
1 1,015 0,745 72,33
K32 2 1,150 0,895 88,61 80,47
1 1,075 0,825 80,88
K33 2 1,055 0,800 78,43 79,66
1 1,100 0,840 83,58
K34 2 1,115 0,845 83,66 83,62
Lanjutan Lampiran 8. Data pengujian kelembaban
Pengukuran Jam ke-4
T4
Total Sampel % Rata-
Perlakuan Ulangan (g) (g) Sampel rata
1 1,100 0,830 81,77
K11 2 1,040 0,790 78,61 80,19
1 1,100 0,850 85,00
K12 1 1,250 0,920 92,00 88,50
1 1,015 0,845 84,50
K13 2 1,145 0,935 92,57 88,54
1 1,100 0,890 87,68
K14 2 1,160 0,935 93,03 90,36
1 1,015 0,825 82,50
K21 2 0,995 0,800 80,00 81,25
1 1,030 0,830 82,59
K22 2 1,065 0,870 87,00 84,79
1 1,060 0,815 80,69
K23 2 1,030 0,790 78,22 79,46
1 1,045 0,805 80,10
K24 2 1,055 0,795 79,50 79,80
1 1,110 0,860 84,31
K31 2 1,040 0,815 80,69 82,50
1 1,075 0,805 78,16
K32 2 1,030 0,775 76,73 77,44
1 1,035 0,785 76,96
K33 2 1,015 0,760 74,51 75,74
1 1,065 0,805 80,10
K34 2 1,085 0,815 80,69 80,40
Lanjutan Lampiran 8. Data pengujian kelembaban
Pengukuran Jam ke-5
T5
Total Sampel % Rata-
Perlakuan Ulangan (g) (g) Sampel rata
1 1,080 0,810 79,80
K11 2 1,025 0,775 77,11 78,46
1 1,095 0,845 84,50
K12 1 1,245 0,915 91,50 88,00
1 1,000 0,830 83,00
K13 2 1,135 0,925 91,58 87,29
1 1,095 0,885 87,19
K14 2 1,155 0,930 92,54 89,86
1 1,000 0,810 81,00
K21 2 0,970 0,775 77,50 79,25
1 1,010 0,810 80,60
K22 2 1,050 0,855 85,50 83,05
1 1,025 0,780 77,23
K23 2 0,980 0,740 73,27 75,25
1 1,010 0,770 76,62
K24 2 1,070 0,810 81,00 78,81
1 1,095 0,845 82,84
K31 2 1,010 0,785 77,72 80,28
1 1,045 0,775 75,24
K32 2 1,010 0,755 74,75 75,00
1 1,015 0,765 75,00
K33 2 1,000 0,745 73,04 74,02
1 1,045 0,785 78,11
K34 2 1,060 0,790 78,22 78,16
Lampiran 9. Data pengujian organoleptik
Penampakan
Kontrol Negatif Kontrol
Panelis K00 K04 K10 Sampel Positif
1 5 5 4 4 7
2 3 4 4 4 2
3 6 6 5 5 3
4 3 4 6 6 6
5 3 4 4 4 6
6 4 4 4 4 6
7 5 4 2 2 7
8 2 3 3 3 6
9 6 6 6 7 7
10 5 5 4 4 6
11 5 6 5 5 6
12 5 5 5 3 7
13 6 6 4 4 5
14 2 5 5 5 6
15 4 4 7 6 3
16 6 6 6 6 7
17 6 6 5 5 7
18 5 3 3 5 7
19 4 3 5 5 4
20 5 5 4 4 6
21 6 5 3 6 3
22 4 4 5 5 3
23 6 6 5 4 7
24 6 6 6 6 7
25 5 5 4 4 6
26 4 4 4 4 3
27 6 6 4 5 3
28 3 4 3 4 6
29 4 4 5 5 6
30 5 5 4 4 6

Rata-rata 4,63 4,77 4,47 4,60 5,47

Keterangan:
K00 = Sabun cair tanpa penambahan chitosan dan tanpa karagenan
K04 = Sabun cair dengan penambahan karagenan dan tanpa chitosan
K10 = Sabun cair dengan penambahan chitosan dan tanpa karagenan
Lanjutan Lampiran 9. Data pengujian organoleptik
Kekentalan
Kontrol Negatif Kontrol
Panelis K00 K04 K10 Sampel Positif
1 2 5 5 3 2
2 2 5 6 3 2
3 5 6 5 5 3
4 3 4 5 6 6
5 2 3 5 5 6
6 3 4 4 4 4
7 2 3 6 6 7
8 2 4 5 4 6
9 3 6 6 5 7
10 3 5 4 6 6
11 5 6 6 4 5
12 3 4 5 5 7
13 2 4 4 5 6
14 2 6 5 3 5
15 1 4 5 7 6
16 5 7 7 7 5
17 2 3 4 6 7
18 2 3 3 6 7
19 4 4 5 5 6
20 3 4 5 6 6
21 6 5 3 6 3
22 2 4 5 5 5
23 3 5 5 3 6
24 2 6 3 3 2
25 3 7 6 6 6
26 6 5 5 5 3
27 3 6 5 5 5
28 4 4 4 3 5
29 3 5 4 6 6
30 4 5 3 6 6

Rata-rata 3,07 4,73 4,77 4,97 5,20


Lanjutan Lampiran 9. Data pengujian organoleptik
Banyak Busa
Kontrol Negatif Kontrol
Panelis K00 K04 K10 Sampel Positif
1 6 6 6 6 6
2 5 3 6 3 5
3 6 6 5 6 6
4 5 6 3 7 7
5 2 3 5 5 6
6 3 5 3 4 3
7 3 5 3 4 3
8 5 5 5 5 6
9 3 3 7 6 6
10 5 5 5 5 4
11 5 6 5 4 6
12 7 7 5 6 6
13 5 5 5 5 5
14 7 7 7 6 4
15 3 2 5 5 7
16 6 6 7 7 7
17 6 6 3 5 7
18 6 3 6 7 7
19 5 6 6 6 6
20 5 5 5 5 4
21 5 6 7 6 6
22 7 7 7 7 6
23 6 4 6 4 4
24 6 6 7 6 3
25 5 6 6 6 5
26 6 6 5 5 3
27 5 6 5 3 2
28 3 4 4 5 3
29 5 6 5 6 6
30 5 5 5 5 4

Rata-rata 5,03 5,20 5,30 5,33 5,10


Lanjutan Lampiran 9. Data pengujian organoleptik
Post Effect
Kontrol Negatif Kontrol
Panelis K00 K04 K10 Sampel Positif
1 6 6 6 6 6
2 3 2 5 2 6
3 5 6 6 6 7
4 1 4 4 6 7
5 2 3 5 5 5
6 4 5 4 4 4
7 4 5 4 4 4
8 4 4 4 4 5
9 4 4 6 5 6
10 1 2 3 7 6
11 5 5 5 5 6
12 6 4 5 4 6
13 2 3 4 6 5
14 5 5 6 3 3
15 5 3 6 6 7
16 5 5 6 7 7
17 6 6 6 6 7
18 5 5 4 4 5
19 6 6 6 6 7
20 1 2 3 7 6
21 4 4 4 5 5
22 3 4 5 5 6
23 4 6 5 5 5
24 6 5 6 7 6
25 4 7 5 7 6
26 6 5 5 6 3
27 5 6 5 4 3
28 3 2 3 6 4
29 2 3 5 7 6
30 1 2 3 7 6

Rata-rata 3,93 4,30 4,80 5,40 5,50


Lanjutan Lampiran 9. Data pengujian organoleptik
Penilaian Umum
Kontrol Negatif Kontrol
Panelis K00 K04 K10 Sampel Positif
1 4 4 5 6 7
2 4 3 5 3 5
3 6 6 6 6 6
4 4 4 6 6 6
5 2 3 5 5 5
6 4 5 4 4 5
7 4 5 5 6 7
8 3 5 4 4 6
9 4 4 5 5 5
10 3 4 5 7 6
11 5 5 4 5 6
12 6 6 6 6 7
13 3 3 4 6 6
14 3 6 5 3 5
15 3 3 4 6 5
16 6 6 6 6 7
17 4 4 5 6 6
18 5 4 4 5 6
19 5 6 6 6 6
20 3 4 5 7 6
21 4 5 4 5 5
22 3 4 5 5 6
23 4 5 5 4 6
24 5 6 6 6 5
25 4 4 5 5 4
26 6 6 5 5 4
27 5 6 5 4 4
28 3 4 4 5 4
29 3 5 5 6 6
30 3 4 5 7 6

Rata-rata 4,03 4,63 4,93 5,33 5,60


Lampiran 10. Hasil analisa statistik organoleptik dengan kontrol negatif
Sum of Mean
Squares df Square F Sig.
Between Groups 1,367 3 0,456 0,370 0,775
Within Groups 143,000 116 1,233
Penampakan Total 144,367 119
Between Groups 70300,000 3 23.433 16.982 0,000
Within Groups 160067,000 116 1.380
Kekentalan Total 230367,000 119
Between Groups 1,633 3 0,544 0,353 0,787
Within Groups 178,733 116 1,541
Banyak Busa Total 180,367 119
Between Groups 36,425 3 12,142 6,227 0,001
Within Groups 226,167 116 1,950
Post Effect Total 262,592 119
Between Groups 27000,000 3 9,000 9.283 0,000
Penilaian Within Groups 112467,000 116 0,970
Umum Total 139467,000 119

Hasil uji lanjut Tukey organoleptik produk


Kekentalan
Subset for alpha = 0,05
Sampel N a B
K00 30 3,0667
K04 30 4,7333
K10 30 4,7667
K14 30 4,9667
Sig. 1 0,868129

Post Effect
Subset for alpha = .05
Sampel N a b
K00 30 3,9333
K04 30 4,3000
K10 30 4,8000 4,8000
K14 30 5,4000
Sig. 0,0820 0,3473
Lanjutan Lampiran 10. Hasil analisa statistik organoleptik dengan kontrol
negatif
Lanjutan Hasil uji lanjut Tukey organoleptik produk
Penilaian Umum
Subset for alpha = .05
Sampel N a b C
K00 30 4,0333
K04 30 4,6333 4,6333
K10 30 4,9333 4,9333
K14 30 5,3333
Sig. 0,0907 0,6407 0,3978

Lampiran 11. Hasil analisa statistik organoleptik dengan kontrol positif


Sum of Mean
Squares df Square F Sig.
Between Groups 11,267 1,000 11,267 6,013 0,017
Within Groups 108,667 58,000 1,874
Penampakan Total 119,933 59,000
Between Groups 0,817 1,000 0,817 0,409 0,525
Within Groups 115,767 58,000 1,996
Kekentalan Total 116,583 59,000
Between Groups 0,817 1,000 0,817 0,477 0,493
Within Groups 99,367 58,000 1,713
Banyak Busa Total 100,183 59,000
Between Groups 0,150 1,000 0,150 0,092 0,763
Within Groups 94,700 58,000 1,633
Post Effect Total 94,850 59,000
Between Groups 1,067 1,000 1,067 1,107 0,297
Penilaian Within Groups 55,867 58,000 0,963
Umum Total 56,933 59,000

Lampiran 12. Data pengujian bobot jenis produk (tahap kedua)


Berat Tube Berat Tube + Rata-
Perlakuan Kosong (g) Sampel (g) Bobot Jenis (g/ml) rata
1,055 2,190 1,135
K00 1,045 2,160 1,115 1,125
1,050 2,130 1,080
K04 1,050 2,125 1,075 1,078
1,055 2,115 1,060
K10 1,050 2,155 1,105 1,083
K14 1,050 2,145 1,095 1,095
1,055 2,150 1,095
1,045 2,120 1,075
K44 1,050 2,090 1,040 1,058
Lampiran 13. Analisa statistik bobot jenis produk (tahap kedua)
ANOVA
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups .005 2 .002 8.446 .059
Within Groups .001 3 .000
Total .005 5

Lampiran 14. Data pengujian pH produk (tahap kedua)

Perlakuan pH Rata-rata
9,54
Kontrol Negatif 9,56 9,55
9,23
Sampel 9,23 9,23
5,89
Kontrol Posiif 5,82 5,86

Lampiran 15. Analisa statistik pH produk (tahap kedua)


ANOVA
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 16.764 2 8.382 9489.075 .000
Within Groups .003 3 .001
Total 16.767 5

Hasil Uji Lanjut Tukey


Sampel N Subset for alpha = .05
2 3 1
Kontrol Positif 2 5.8550
Sampel (K14) 2 9.2300
Kontrol Negatif 2 9.5500
Sig. 1.000 1.000 1.000
Lampiran 16. Data pengujian kelembaban produk (tahap kedua)
Pengukuran Jam ke-0
T0
Berat Total Sampel %
Perlakuan Ulangan Plastik (g) (g) (g) Sampel Rata-rata
1 0,335 1,325 0,990 100,00
K00 2 0,200 1,215 1,015 100,00 100,00
1 0,265 1,280 1,015 100,00
K14 2 0,265 1,270 1,005 100,00 100,00
1 0,325 1,315 0,990 100,00
K44 2 0,335 1,345 1,010 100,00 100,00

Pengukuran Jam ke-1


T1
Perlakuan Ulangan Total (g) % Sampel Rata-rata
1 1,065 73,00
K00 2 0,975 77,50 75,25
1 1,235 97,00
K14 2 1,215 95,00 96,00
1 1,170 84,50
K44 2 1,185 85,00 84,75

Pengukuran Jam ke-2


T2
Perlakuan Ulangan Total (g) % Sampel Rata-rata
1 1,000 66,50
K00 2 0,895 69,50 68,00
1 1,190 92,50
K14 2 1,180 91,50 92,00
1 1,060 73,50
K44 2 1,080 74,50 74,00

Pengukuran Jam ke-3


T3
Perlakuan Ulangan Total (g) % Sampel Rata-rata
1 0,985 65,00
K00 2 0,875 67,50 66,25
1 1,165 90,00
K14 2 1,175 91,00 90,50
1 0,975 65,00
K44 2 0,995 66,00 65,50
Lanjutan Lampiran 16. Data pengujian kelembaban produk (tahap kedua)
Pengukuran Jam ke-4
T4
Perlakuan Ulangan Total (g) % Sampel Rata-rata
1 0,960 62,50
K00 2 0,845 64,50 63,50
1 1,160 89,50
K14 2 1,170 90,50 90,00
1 0,875 55,00
K44 2 0,890 55,50 55,25

Pengukuran Jam ke-5


T5
Perlakuan Ulangan Total (g) % Sampel Rata-rata
1 0,955 62,00
K00 2 0,835 63,50 62,75
1 1,150 88,50
K14 2 1,165 90,00 89,25
1 0,855 53,00
K44 2 0,865 53,00 53,00

Lampiran 17. Data pengujian angka lempeng total produk


Pengujian hari ke-0
Perlakuan Ulangan 101 102 103
1 4 0 0
Kontrol Negatif 2 0 0 0
1 0 0 0
Sampel (K14) 2 0 0 0

Pengujian hari ke-30


Perlakuan Ulangan 101 102 103
1 6 0 0
Kontrol Negatif 2 0 0 0
1 0 0 0
Sampel (K14) 2 0 0 0

Lampiran 18. Perhitungan kadar alkali bebas

HCl Berat Alkali Rataan


Perlakuan Ulangan (ml) N HCl Konversi contoh bebas % (%)

1 0,05 0,1 0,04 1,0746 0,0186


Sampel
(K14) 2 0,05 0,1 0,04 1,2985 0,0154 0,0170
Lampiran 19. Contoh perhitungan kadar alkali bebas

Anda mungkin juga menyukai