OLEH :
SURYAMAL
(180307052)
1
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Wassalamu’alaikum, Wr.Wb
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................3
C. Tujuan.....................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................4
A. Kesimpulan.............................................................................................12
B. Saran.......................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semakin maju perkembangan zaman seiringan dengan itu juga
kejahatan banyak bermunculan di negeri pertiwi ini dengan berbagai
metode. Salah satu diantaranya adalah tindak pidana penggelapan
(verduistering) sebagaimana yang diatur dalam Bab XXIV Pasal 372
sampai dengan pasal 377 KUHP. Menurut Laminating, tindak pidana
sebagaimana tersebut sebagai ‘’penyalahgunaan kepercayaan’’. Sebab,
inti dari tindak pidana yang diatur dalam Bab XXIV tersebut adalah
‘’penyalahgunaan hak’’. Atau ‘’penyalahgunaan kepercayaan’’.
Tindak pidana penggelapan sering terjadi di berbagai kalangan,
mulai dari kalangan rendah hingga kalangan tinggi yang notabennya
berpendidikan dan mengertian hukum atas tindakan tersebut, namun
kejahatan ini tetap saja terjadi tidak hanya oleh masyarakat kecil bahkan
seorang yang yang terpandang yang seharusnya menjadi panutan pun
ikut terjerumus dalam kasus ini.
Penggelapan adalah salah satu jenis tindak pidana yaitu berupa
kejahatan terhadap harta kekayaan manusia yang diatur di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), rumusan pokonya diatur pada
Pasal 372 yang dirumuskan sebagai berikut "Barang siapa dengan sengaja
dan melawan hukum memiliki suatu benda yang seluruhnya atau
sebagian milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena
kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling
lama empat tahun atau denda paling banyak Rp.900.00".
Jadi, penggelapan dalam tindak pidana tersebut dapat diartikan
sebagai suatu perbuatan yang menyimpang atau menyeleweng,
menyalahgunakan kepercayaan orang lain dan awal barang itu berada
ditangan bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum, bukan dari
hasil kejahatan.
Dari rumusan penggelapan sebagaimana tersebut di atas, maka
jika ditelaah lebih lanjut rumusan tersebut terdiri dari unsur -unsur
subyektif dan obyektif. Objektifnya meliputi perbuatan memiliki (zicht
toe.igenen); sesuatu benda (eenig goed); yang sebagian atau seluruhnya
milik orang lain; yang berada dalam kekuasaannya bukan karena
kejahatan; dan unsur-unsur Subjektifnya meliputi penggelapan dengan
1
sengaja (opzettelijk); dan penggelapan melawan hukum
(wederrechtelijk).
Pemahaman akan makna penggelapan dalam rumusan di atas
tidak diartikan sebagai membuat sesuatu menjadi gelap atau tidak terang,
seperti arti kata yang sebenarnya. Perkataan verduistering yang ke dalam
bahasa Indonesia diterjemahkan secara harfiah dengan penggelapan,
sebenarnya bagi masyarakat Belanda diartikan secara luas (figurlijk),
bukan diartikan seperti arti kata yang sebenarnya sebagai membikin
sesuatu menjadi tidak terang atau gelap. Sebagai contoh seseorang
menitipkan satu unit sepeda kepada temannya, karena memerlukan
uang, si teman tersebut kemudian menjual sepeda itu kepada pihak lain
tanpa sepengetahuan si pemiliki sepeda. Si penjual menyalahgunakan
kepercayaan yang diberikan temannya itu dan tidak berarti sepeda itu
dibikinnya menjadi gelap atau tidak terang, namun lebih mengandung
makna bahwa si penjual sepeda tersebut menyalahgunakan haknya
sebagai yang menguasai benda (sepeda), hak itu tidak boleh melampaui
dari haknya sebagai seorang yang diberi kepercayaan untuk menguasai
atau memegang sepeda itu.
Melihat pada contoh kasus yang sederhana diatas, terlihat bahwa
tindak pidana penggelapan merupakan persoalan yang tidak akan ada
habishabisnya, hal tersebut dikarenakan penggelapan sangat erat
kaitannya dengan interaksi sosial antar manusia dalam kehidupan sehari-
hari yang juga tidak akan ada habisnya, yang muncul dari itikad baik
buruknya seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain.
Demikian juga dapat dilihat penggelapan sebagai tindak pidana
kejahatan yang terjadi saat ini khususnya penggelapan sepeda motor.
Penggunaan sepeda motor khususnya di kota - kota besar seperti
Yogyakarta menjadi pilihan utama untuk dapat menempuh suatu tempat
tujuan dengan mudah dan efesien ditengah macetnya jalan raya.
Bersamaan dengan itu, bagi kalangan pebisnis hal ini memberikan
peluang bisnis yang sangat baik terutama bagi perusahaan yang bergerak
dibidang jasa pembiayaan, sehingga banyak bermunculan perusahaan -
perusahaan jasa pembiayaan yang saling bersaing dengan strategi
pemasaran yang memudahkan, meringankan, serta menggiurkan bagi
calon konsumen.
Ditengah keuntungan bisnis yang diperoleh perusahaan dan
adanya penawaran kemudahan bagi calon konsumen tersebut justru
2
menimbulkan persoalan-persoalan baru atau sisi lainnya menimbulkan
adanya peluang terjadinya suatu kejahatan yaitu penggelapan.
Jadi korupsi tidak hanya terjadi di sektor publik dan merugikan
keuangan negara, namun bisa juga terjadi di sektor swasta. Korupsi yang
terjadi di sektor swasta ini belum diatur secara komperehensif di dalam
hukum positif Indonesia, meski secara internasional sudah disepakati
dalam United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) yang
kemudian diratifikasi melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang penulis rumuskan adalah:
1. Apa pengertian tindak pidana penggelapan?
2. Apa saja Jenis-Jenis Tindak pidana penggelapan?
3. Apa unsur-unsur Pasal tindak pidana penggelapan?
4. Bagaimana penggelapan kekayaan di sektor swasta?
5. Bagaimana upaya penanggunlangan tindak penggelapan kekayaan di
sektor swasta?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian tindak pidana penggelapan
2. Untuk mengetahui Jenis-Jenis Tindak pidana penggelapan
3. Untuk mengetahui unsur-unsur Pasal tindak pidana penggelapan
4. Untuk mengetahui penggelapan kekayaan di sektor swasta
5. Untuk mengetahui upaya penanggunlangan tindak penggelapan
kekayaan di sektor swasta
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
Penggelapan dalam lingkungan keluarga yakni penggelapan yang
dilakukan dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi barang
untuk disimpan, atau oleh wali, pengampu, pengurus atau pelaksana
surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan, terhadap barang
sesuatu yang dikuasainya. (Pasal 375 KUHP).
C. Unsur-Unsur Pasal Tindak Pidana Penggelapan
Penggelapan terdapat unsur-unsur Objektif meliputi perbuatan
memiliki, sesuatu benda, yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain,
yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, dan unsur-
unsur Subjektif meliputi penggelapan dengan sengaja dan penggelapan
melawan hukum. Pasal-Pasal penggelapan antara lain :
1. Pasal 372 KUHP Penggelapan Biasa
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu barang.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik
orang lain.
d. Mengakui memiliki secara melawan hukum.
e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 4 tahun.
2. Pasal 373 KUHP Penggelapan Ringan
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu bukan ternak.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik
orang lain.
d. Mengakui memiliki secara melawan hukum
e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
f. Harganya tidak lebih dari Rp. 25,-
Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 3 bulan.
3. Pasal 374 dan KUHP Penggelapan dengan Pemberatan
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu barang.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik
orang lain.
d. Mengakui memiliki secara melawan hukum.
e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
f. Berhubung dengan pekerjaan atau jabatan.
Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun.
4. Pasal 375 KUHP Penggelapan oleh Wali dan Lain-lain
5
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu barang.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik
orang lain.
d. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
e. Terpaksa disuruh menyimpan barang.
D. Penggelapan Kekayaan di Sektor Swasta
Kejahatan terhadap harta kekayaan adalah berupa penyerangan
terhadap kepentingan hukum orang atas harta benda milik orang lain
(bukan milik tertindak), dimuat dalam buku II KUHP, yaitu: tindak pidana
pencurian, pemerasan, penggelapan barang, penipuan, merugikan orang
berpiutang dan berhak, dan penghancuran atau pengrusakan barang, dan
penadahan (begunsting).
Berbeda sedikit dengan Wirjono, yang dimaksud dengan
kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran mengenai harta
kekayaan orang adalah tindak-tindak pidana yang termuat dalam KUHP :
Titel XXII : buku II tentang pencurian
Titel XXIII : buku II tentang pemerasan dan pengancaman
Titel XXIV : buku II tentang penggelapan barang
Titel XXV : buku II tentang penipuan
Titel XXI : buku II tentang merugikan orang berpiutang dan berhak
Titel XXVII : buku II tentang penghancuran dan perusakan barang
Titel XXX : buku II tentang pemudahan (begunstiging)
Titel VII : buku III tentang pelanggaran-pelanggaran tentang tanah-tanah
tanaman.
Persamaan dari ketujuh macam kejahatan dan satu macam
pelanggaran adalah bahwa dengan tindak-tindak pidana ini, merugikan
kekayaan seseorang atau badan hukum. Oleh karena itu semua tindak
pidana ini merupakan pelanggaran hukum dalam bidang hukum perdata,
berupa penggantian dari kerugian oleh si pelaku kepada korban.
Kedelapan tindak pidana tersebut dalam bidang hukum pidana
dapat dibagi menjadi dua macam perbuatan : Pertama, perbuatan tidak
memenuhi suatu perjanjian (wanprestasi), sebagian besar dari
penggelapan barang dan merugikan orang berpiutang dan berhak. Kedua,
perbuatan melanggar hukum perdata (onrechtmatige daad dari pasal
1365 BW), sebagian besar dari tindak pidana lainnya: pencurian,
pemerasan dan pengancaman, penipuan, penghancuran atau perusakan
barang, pemudahan, dan pelanggaran tentang tanah-tanah tanaman.
6
Korupsi tidak hanya terjadi di sektor publik dan merugikan
keuangan negara, namun bisa juga terjadi di sektor swasta. Korupsi yang
terjadi di sektor swasta ini belum diatur secara komperehensif di dalam
hukum positif Indonesia, meski secara internasional sudah disepakati
dalam United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) yang
kemudian diratifikasi melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006.
Tindakan korupsi di sektor swasta yang diatur di dalam UNCAC
contohnya adalah tindakan memperkaya diri sendiri secara tidak sah
(illicit enrichment- kekayaan yang diperoleh dari cara tidak
wajar), penggelapan kekayaan di sektor swasta, penyuapan di sektor
swasta, dan perdagangan pengaruh. Karena suap di sektor swasta di
dalam UNCAC bersifat non-mandatory, hingga kini Indonesia belum
memiliki aturan yang jelas mengenai pemberantasan korupsi di sektor
swasta.
Penggelapan kekayaan yang dilakukan pada sektor swasta
merupakan bentuk implementasi dari perbuatan menyalahgunakan
kewenangan dan perbuatan melawan hukum. Jadi, pemahaman korupsi
di sektor swasta lebih dikaitkan pada perbuatan suap. Bahkan, perbuatan
suap oleh dan di antara swasta juga sudah diatur dalam UU Nomor 11
Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap (TPK), yang meletakkan unsur
”kepentingan umum” sebagai dasar pemidanaan.
Dengan pemahaman demikian, UU KPK yang mengatur pula
hukum acara pidana secara khusus memberikan KPK suatu kewenangan
memeriksa, tidak saja subyek, tetapi juga obyek perkara korupsi, baik di
sektor publik maupun sektor swasta yang regulasinya diatur dalam UU
Tindak Pidana Korupsi maupun (rancangan) KUHP. Hal ini sekaligus
meniadakan kesan kooptasi dan dualisme regulasi korupsi dalam sistem
hukum pidana, yaitu regulasi korupsi yang akan dibentuk berdasarkan
KUHP dan yang dibentuk berdasarkan UU di luar KUHP dengan perbedaan
penanganan dari penegak hukum, sesuai tujuan hukum pidana
melakukan unifikasi dan kodifikasi hukum.
Maknanya, KPK sebagai lembaga penegak hukum tetap memiliki
kewenangan yang sama dalam melakukan pemeriksaan korupsi di sektor
swasta. Dengan demikian, prinsip Culpae poena par esto tetap terjaga
tanpa adanya kooptasi dan diskriminasi kelembagaan penegak hukum
dalam pemberantasan korupsi pada Rancangan KUHP.
Pada tahun 2016 memang terbit Peraturan Mahkamah Agung RI
No 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana
7
oleh Korporasi, tapi Perma tersebut tidak cukup mengatur mengenai
korupsi yang terjadi di sektor swasta. Padahal di negara-negara lain,
korupsi dan suap di sektor swasta sudah diatur ke dalam perundang-
undangan dan memiliki ancaman pidana tersendiri, baik di dalam KUHP
maupun di dalam undang-undang yang mengaturnya.
Korupsi di sektor swasta contohnya di level sebuah perusahaan
dapat membuat beban pengeluaran perusahaan menjadi tinggi namun
tidak sebanding dengan kualitas produk atau layanan yang ditawarkan,
belum lagi adanya penyuapan, mengambil komisi yang tidak seharusnya,
menjual rahasia perusahaan, dan sebagainya. Sedangkan di level negara,
korupsi di sektor swasta berdampak pada inefisiensi sehingga dapat
mengakibatkan kerugian ekonomi dan menghambat pembangunan
berkelanjutan.
E. Solusi atau Upaya Penanggunlangan Tindak Penggelapan Kekayaan di
Sektor Swasta
Korupsi (penggelapan kekayaan) tidak dapat dibiarkan berjalan
begitu saja kalau suatu Negara ingin mencapai tujuannya, karena kalau
dibiarkan secara terus menerus, maka akan terbiasa dan menjadi subur
dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan
pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies the
means). Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas dan
bertanggung jawab. Ada beberapa upaya penanggulangan korupsi yang
ditawarkan para ahli yang masing-masing memandang dari berbagai segi
dan pandangan.
Menurut pendapat H. Ismail Susanto, terdapat enam langkah yang
harus dilakukan agar korupsi tidak hilang dan tidak dilakukan oleh
masyarakat. Didalam sebuah essay-nya yang dimuat di Harian Republika
mengatakan bahwa berdasarkan kajian terhadap berbagai sumber,
didapatkan sejumlah cara sebagaimana ditunjukkan oleh Syariat Islam.
Pertama, sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus
bekerja dengan sebaik-baiknya. Dan itu sulit berjalan dengan baik apabila
gaji mereka tidak mencukupi, karena para birokrat juga manusia biasa.
Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang
diberikan kepada aparatur pemerintah pasti mengandung maksud
tertentu, karena buat apa seseorang memberikan sesuatu kalau tidak ada
maksud tertentu. Ketiga, perhitungan kekayaan. Orang yang melakukan
korupsi tentu kekayaannya akan bertambah dengan cepat. Meski tidak
selalu orang yang cepat kaya itu melakukan tindakan korupsi. Bisa saja dia
8
mendapatkan kekayaan itu dari warisan, keberhasilan bisnis atau dengan
cara lain yang halal. Keempat, teladan pemimpin. Pemberantasan korupsi
hanya akan bisa dilakukan jika para pemimpin, terlebih pemimpin
tertinggi, dalam sebuah Negara bersih dari korupsi. Dengan takwa,
seorang pemimpin melakukan tugasnya dangan penuh amanah.
Karena dengan taqwa pula ia takut untuk melakukan
penyimpangan, karena meski ia bisa melakukan kolusi dengan pejabat
lain untuk menutup kejahatannya, Allah SWT pasti melihat semuanya dan
di akhirat nanti pasti akan dimintai pertanggung jawaban. Kelima,
hukuman yang setimpal. Pada dasarnya, orang akan takut menerima
resiko yang akan mencelakakan dirinya, termasuk bila ditetapkan
hukuman setimpal bagi para koruptor. Berfungsi sebagai pencegah,
hukuman setimpal atas koruptor membuat orang jera dan kapok
melakukan korupsi. Keenam, Pengawasan Masyarakat. Masyarakat dapat
berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Dari point-point
tersebut dapat dieksplisitkan bahwa pemberantasan korupsi harus
melibatkan semua pilar masyarakat. Pilar masyarakat adalah manusia
(individu), budaya (yaitu berupa persepsi baik pemikiran maupun
perasaan kolektif), dan sistem aturan yang berlaku. Karena itu, korupsi
akan lebih efektif diberantas bila pada tiga pilar tersebut dilakukan
langkah-langkah yang terpadu. Bahwa ada individu yang memang bejat,
ingin kaya secara instant, atau setidaknya dengan harta dengan jalan
pintas, itu memang kenyataan di dunia ini.
Caiden (dalam Soerjono, 1980) memberikan langkah-langkah
untuk menanggulangi korupsi sebagai berikut :
1. Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan
menentukan sejumlah pembayaran tertentu.
2. Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan
dibuat.
3. Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah
pengawasan dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi
penugasan, wewenang yang saling tindih organisasi yang sama,
birokrasi yang saling bersaing, dan penunjukan instansi pengawas
adalah saran-saran yang secara jelas diketemukan untuk mengurangi
kesempatan korupsi.
9
tindakan yang legal dengan adanya pungutan resmi. Di lain pihak, celah-
celah yang membuka untuk kesempatan korupsi harus segera ditutup,
begitu halnya dengan struktur organisasi haruslah membantu kearah
pencegahan korupsi, misalnya tanggung jawab pimpinan dalam
pelaksanaan pengawasan melekat, dengan tidak lupa meningkatkan
ancaman hukuman kepada pelaku-pelakunya.
10
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus meningkatkan kerja
sama internasional, baik secara bilateral maupun multilateral dengan
negara penandatangan The United Nations Convention against
Corruption (UNCAC) untuk melacak, membekukan, menyita, dan
mengembalikan aset (asset recovery) hasil tindak pidana korupsi di luar
negeri. Jika tidak, pemerintah akan kesulitan dalam melakukan
penelusuran dan pengembalian aset (asset recovery) yang dibawa lari
oleh koruptor tersebut.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Penggelapan diartikan
sebagai proses, cara dan perbuatan menggelapkan (penyelewengan) yang
menggunakan barang secara tidak sah.
Dengan demikian penggelapan dalam tindak pidana dapat diartikan
sebagai suatu perbuatan yang menyimpang/menyeleweng,
menyalahgunakan kepercayaan orang lain dan awal barang itu berada
ditangan bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum, bukan dari
hasil kejahatan.
Korupsi (penggelapan kekayaan) tidak dapat dibiarkan berjalan begitu
saja kalau suatu Negara ingin mencapai tujuannya, karena kalau dibiarkan
secara terus menerus, maka akan terbiasa dan menjadi subur dan akan
menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan pintas yang
mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means). Untuk
itu, korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung jawab.
B. Saran
Adapun Saran penulis sehubungan dengan bahasan makalah ini, kepada
rekan-rekan mahasiswa agar lebih meningkatkan, menggali dan mengkaji
lebih dalam mengenai perbaikan moral dan etika dari para aparat penegak
hukum, keutuhan substansi dan struktur hukum haruslah dibarengi pula
dengan kinerja Sistem Peradilan Pidana yang benar-benar terpadu.
12
DAFTAR PUSTAKA
file:///C:/Users/Administrator/Downloads/makalah%20fik%20tinggal%20kirim
%20ke%20OSF.pdf (diakases pada tanggal 28 November 2020)
http://amiee43.blogspot.com/2013/05/tindak-pidana-harta-kekayaan.html
(diakases pada tanggal 28 November 2020)
http://eptikbisniscrime.blogspot.com/p/etika-profesi-teknologi-informasi-
dan.html (diakases pada tanggal 28 November 2020)
https://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Undergraduate-3453-BABI.pdf
(diakases pada tanggal 28 November 2020)
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c6fcdbc7a770/korupsi-di-sektor-
swasta-yang-luput-dari-perhatian-oleh--frans-h-winarta (diakases pada tanggal
28 November 2020)
13