Anda di halaman 1dari 8

JURNAL

PENATALAKSANAAN ANASTESI PADA KOREKSI ATRESIA ESOFAGUS

TAHUN 2017
(Dosen Pembimbing : Ainun Hanifa S. Si.T, M.PH)

Mata kuliah : Asuhan Kebidanan Komunitas

Di Susun Oleh

Putri Indar Jeilani (190106013)

TINGKAT II

TAHUN AJARAN 2020/2021

PROGRAM STUDI DIII KEBIDANAN UNVERSITAS TULUNGAGUNG


Jl. Raya Tulungagung-Blitar Km.4 Sumbergempol
PENATALAKSANAAN ANASTESI PADA KOREKSI ATRESIA ESOFAGUS

TAHUN 2017
Asterina Dwi Hanggorowati,* Made Wiryana, Ketut Sinardja, Putu Kurniyanta

Abstract :

Neonatus 3 hari, didiagnosis atresia esofagus (EA) dengan fistula trakeoesofagus (TEF), yang
berukuran besar dan tepat di atas carina, dijadwalkan untuk operasi perbaikan TEF.
Manajemen anestesi rutin berfokus pada ventilasi yang memadai dan menghindari distensi
lambung selama ventilasi tekanan positif. Pada beberapa kasus dikatakan dengan
menggunakan kateter Fogarty untuk menghalangi fistula di bawah panduan bronkoskopi serat
optik.

Namun, di sebagian besar pusat kesehatan, cakupan serat optik anak mungkin tidak tersedia.
Kami menyajikan kasus bayi yang baru lahir yang menjalani perbaikan atresia esofagus tipe
C/fistula transesofageal dan menggambarkan teknik intraoperatif ligasi sederhana yang
sementara dapat menutup persimpangan gastroesofagus, yang memungkinkan tanda vital
perbaikan fistula trakeoesofagus yang pasti.

Kata kunci: Atresia esofagus (EA), fistula trakeoesofagus (TEF), perbaikan, menutup, ligasi
Cite Pasal Ini: Hanggorowati, A.D., Wiryana, M., Sinardja, K., Kurniyanta, P. 2018.
Penatalaksaanaan anestesi pada koreksi atresia esofagus. Medicina 49(2): 71-75.
DOI:10.15562/medi.v49i2.108

PENDAHULUAN :

Atresia esofagus didefinisikan sebagai kelainan kongenital berupa gangguan kontinuitas pada
lumen esofagus. Atresia esofagus dapat disertai dengan fistula trakeoesofagus yaitu lumen
penghubung antara bagian proksimal dan atau distal esofagus dengan jalan nafas (trakea).
Pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Gibson pada tahun 1967. Terjadi pada 2500-3000
kelahiran hidup, dua sampai tiga kali lebih sering terjadi pada anak kembar. Etiologi atresia
esofagus merupakan multifaktorial dan masih belum diketahui dengan jelas. Adanya
hubungan atresia esofagus dengan berbagai kelainan bawaan lainnya, menunjukkan bahwa
lesi ini terjadi akibat adanya gangguan dalam embriogenesis, yang penyebab pastinya belum
teridentifikasi.

Bayi dengan atresia esofagus akan menunjukkan gejala hipersalivasi dan sesak napas yang
ditimbulkan akibat aspirasi pneumonia. Ketika selang nasogastrik tidak dapat melewati
esofagus maka dapat diduga adanya atresia. Pemeriksaan radiologi memiliki peran penting
dalam mendiagnosis atresia esofagus, menegaskan atresia esofagus dengan fistula atau tanpa
fistula dan mendiagnosis anomali lainnya yang terkait dengan VACTERL. Pengetahuan dan
kemampuan seorang anestesiologis dalam menangani pasien-pasien dengan kelainan tersebut
akan sangat memainkan peranan penting dalam keberhasilan durante operasi. Pemahaman
terhadap komplikasi yang mungkin terjadi dan hasil jangka panjang serta gejala sisa yang
muncul setelah operasi, akan menentukan prognosis dari pasien tersebut.

Manajemen jalan napas perioperatif pada neonatus yang menjalani perbaikan fistula
trakeoesophageal (TEF) dapat menjadi tantangan bagi ahli anestesi. Kita perlu menempatkan
ujung pipa endotrakeal (ETT) di bawah fistula tapi di atas carina untuk memastikan
perlindungan saluran napas, ventilasi yang memadai dan menghindari dilatasi lambung
selama ventilasi tekanan positif (positive pressure ventilation/ PPV). Kesulitannya terletak
pada mempertahankan posisi ETT yang tepat selama manipulasi bedah terutama pada tipe C,
dengan atresia esofagus (EA) dan fistula besar tepat di atas carina. Untuk mencegah dilatasi
lambung pada bayi baru lahir, penerapan balon kateter embolektomi atau kateter Fogarty
dengan bantuan broncho fiberoptik dianjurkan untuk melalukan penutupan TEF. Namun, di
sebagian besar pusat medis, bronkoskop fiberoptik anak mungkin tidak tersedia dan prosedur
ini memakan waktu lama. Ada kebutuhan mendesak untuk mencari strategi alternatif untuk
mengatasi masalah ini. Kami menghadirkan kasus bayi yang baru lahir yang menjalani
perbaikan C EA / TEF dan menggambarkan teknik intraoperatif sederhana yang sementara
menutup fistula dan refluks yang menyebabkannya, memungkinkan tanda vital yang stabil
dari perbaikan fistula trakeoesofagus yang pasti.

ILUSTRASI KASUS

Pasien berusia 3 hari, 3010 gram, lelaki, lahir setelah usia gestasi 37 minggu dengan
persalinan per vaginam. Tabung nasogastrik tidak bisa dilewati ke perut, dan distensi
abdomen progresif diperhatikan. Pasien didiagnosis fistula trakeoesofagus (tipe C) dengan
fistula besar (diameter 5 mm) tepat di atas carina. Tidak didapatkan anomali kongenital
lainnya. Bayi itu dijadwalkan menjalani koreksi tindakan pembedahan. Anestesi umum
diinduksi dengan sevofluran sampai 4% tanpa relaksan otot. Setelah anestesi topikal dengan
lidokain, pipa endotrakeal dimasukkan sampai suara nafas terdengar baik kiri maupun kanan,
yang berarti pipa ETT berada pada posisi yang tepat. Kemudian pasien ditempatkan di posisi
lateral kiri. Pembedahan dimulai dengan anestesi umum yang dijaga dengan sevofluran. Dua
dosis tambahan fentanil (0,5 μg / kg) diberikan (dosis 3 μg) untuk suplemen anestesi
perioperatif, sampai pasien tidak bereaksi terhadap thoracotomy saat mempertahankan
respirasi otonom. Pada saat eksplorasi dan ligasi fistula, operator akan menjepit bagian distal
esofagus tepat di atas dengan bulldog clamp. Seluruh prosedur dilakukan dalam waktu 5
menit. Kemudian relaksan otot dan PPV normal diberikan. Tidak ada dilatasi lambung atau
perubahan hemodinamik yang signifikan yang terjadi selama operasi berlangsung. Pasien
sembuh dan dipulangkan satu minggu kemudian.

PEMBAHASAAN

Atresia esofagus merupakan malformasi kongenital yang terjadi pada 2500-3000 kelahiran
hidup. Dua sampai tiga kali lebih sering terjadi pada anak kembar. Angka kejadian atresia
esofagus di Amerika Serikat sekitar satu pada 4500 kelahiran. Di Finlandia memiliki angka
kejadiaan yang tinggi yaitu satu pada 2440 kelahiran.2,4 Atresia esofagus lebih sering terjadi
pada lelaki daripada perempuan. Walaupun beberapa kasus bersifat sporadik, adanya riwayat
keluarga dengan atresia esofagus telah dilaporkan. Sekitar 6% bayi dengan atresi esofagus
merupakan anak kembar. Orang tua yang memiliki satu bayi dengan atresia esofagus, anak
selanjutnya berisiko 0,5-2 % memiliki atresia esofagus. Jika terdapat lebih satu orang
keluarga dengan atresia esofagus angka risiko memiliki kelainan yang sama sekitar 20%.4
Adanya hubungan atresia esofagus dengan berbagai kelainan bawaan lainnya, menunjukkan
bahwa lesi ini terjadi akibat adanya gangguan dalam embriogenesis, yang penyebab pastinya
belum teridentifikasi. Adanya gangguan organogenesis pada awal kehamilan dapat
menyebabkan gangguan perkembangan organ secara bersamaan, seperti jantung,
musculoskeletal, gastrointestinal dan genitourinari. Terdapat pola yang simultan dengan
kejadian atresia esofagus yang disebut sebagai VACTERL dan CHARGE. VACTERL
merupakan singkatan dari beberapa kelainan organ yaitu vertebra, malformasi anorektal,
malformasi cardiovascular, atresia esofagus, anomali renal dan limb defect. CHARGE
berhubungan dengan colobomata, penyakit jantung, atresia coana, retardasi mental,
hipoplasia genital dan kelainan telinga. 4,9,10,11 Etiologi atresia esofagus merupakan
multifaktorial dan masih belum diketahui dengan jelas. Kelainan kromosom seperti trisomi
18 dan 21, adanya agen infektif seperti kekurangan vitamin A dan penggunaan dosis tinggi
pil kontrasepsi yang mengandung progesteron selama kehamilan diduga sebagai penyebab
atresia esofagus. 2,4,7 Esofagus dan trakea berasal dari foregut primitif. Terjadi selama
minggu ke empat dan kelima perkembangan embrio. Pemisahan struktur tubular terjadi pada
minggu keempat kehamilan dan lengkap pada 34-36 hari. Trakea sebagai divertikulum
ventral dari faring primitif yaitu bagian kaudal dari foregut. Septum trakeoesofageal
berkembang pada tempat dimana lipatan trakeoesofageal bersatu. Septum ini membagi
foregut menjadi bagian ventral yaitu tabung laringotrakeal dan bagian dorsal (esofagus).
Atresia esofagus terjadi jika septum trakea menyimpang ke posterior. Penyimpangan ini
menyebabkan pemisahan yang tidak lengkap esofagus dari tabung laringotrakeal dan
menghasilkan fistula trakeoesofageal secara bersamaan. Atresia esofagus selalu
mempengaruhi motalitas esofagus. Kelainan peristaltik biasanya terjadi di esofagus segmen
distal. Apakah kelainan motalitas merupakan kelainan primer akibat inervasi abnormal
seperti kejadian pada abnormalitas distribusi neuropeptida atau akibat sekunder kerusakan
nervus vagal yang terjadi selama operasi perbaikan belum jelas diketahui. Tekanan saat
relaksasi di seluruh esofagus secara signifikan lebih tinggi dari pasien normal dan tekanan
pada spinkter esofagus distal berkurang.

Pada atresia esofagus juga terdapat kelainan pada trakea berupa berkurangnya kartilago
trakea dan peningkatan panjang muskulus transversus pada dinding posterior trakea. Pada
kondisi lanjut dapat menimbulkan trakeomalasia dengan kolaps trakea sekitar 1-2 cm dari
fistula. Meskipun beberapa teori embriologi telah mengungkapkan proses pembentukan
malformasi trakea, tidak semuanya dapat menjelaskan variasi anomali anatomi. Terdapat
kejadian cukup tinggi yang menunjukaan adanya kerusakan jaringan mesenkimal selama
minggu ke empat kehamilan. Perbedaan gambaran anatomi atresia esofagus dengan atau
tanpa fistulatrakeoesofagus menimbulkan perbedaan dalam hal pengklasifikasiannya,namun
salah satu klasifikasi yang banyak dipakai dan praktis secara klinis adalah sistem klasifikasi
oleh Gross dan Vogt yang membedakan atresiaesofagus menjadi 5 tipe sebagai berikut:

1. Tipe A : atresia esofagus terisolasi. Angka kejadiannya sekitar 8% darisemua kasus.

2. Tipe B : atresia esofagus distal dengan fistula yang menghubungkan bagian proksimal
esofagus dengan trakea (fistula trakeoesofagus proksimal) dengan angka kejadian 0,8%.

3. Tipe C : merupakan tipe yang paling sering terjadi yaitu sekitar 88,5%-90% dimana
terdapat proksimal atresia esofagus disertai fistula trakeoesofagus di bagian distal.

4. Tipe D : atresia esofagus dengan double fistula trakeoesofagus yaitu dibagian proksimal
dan distal esofagus dengan angka kejadian 1,4%.

5. Tipe E : disebut juga tipe-H dimana tidak terdapat atresia esophagus namun terdapat fistula
trakeoesofagus dengan angka kejadian sekitar 4% dari semua kasus.

6. Tipe F : Stenosis esophagus

Bayi yang dilahirkan premature dari ibu dengan kondisi kehamilan polihidramnion perlu
dicurigai terdapat kelainan trakeoesofageal fistula. Kondisi polihidramnion ini kemungkinan
akibat dari adanya obstruksi esofagus yang mencegah proses menelan cairan intra uterin.
Gejala yang dapat terlihat dalam hari pertama setelah kelahiran berupa tidak bisa minum ASI,
tersedak atau muntah dan tidak dapat menelan air liur sehingga terjadi hipersalivasi. Jika
disertai dengan fistula trakeoesofagus proksimal (tipe B) dapat terjadi aspirasi ASI ke paru-
paru karena seluruh ASI yang ditelan bayi akan berakhir di paru-paru sehingga bayi tampak
sesak nafas dan sianosis. Adanya ASI (makanan/benda asing) di paru-paru dapat
menyebabkan pneumonia. Distensi abdomen dapat terjadi jika terdapat aliran udara dari
trakea ke lambung melalui fistula trakeoesofagus distal (tipe C danD). Atresia esofagus tipe
D selain adanya fistula trakeoesofagus distal juga terdapat fistula di bagian proksimal dan
merupakan salah satu tipe yang sulit terdiagnosis. Gejala klinisnya dapat berupa asma atau
batuk yang persisten karena aspirasi dalam beberapa tahun. Namun, pada tipe D dengan
adanya fistula memberikan jalan bagi ASI dan makanan mencapai lambung melalui fistula
proksimal ke trakea dan melalui fistula distal kembali ke esofagus dan akhirnya ke lambung.
Atresia esofagus tipe E atau disebut juga tipe H merupakan tipe yang sulit didiagnosis dini
dan dapat terdiagnosis setelah bayi tumbuh menjadi anak-anak atau dewasa. Pada tipe ini
tidak terdapat atresia esofagus sehingga makanan dapat mencapai lambung namun, makanan
juga dapat masuk keparu-paru melalui fistula. Begitu juga sebaliknya udara dari trakea dapat
masuk ke lambung melalui fistula sehingga terdapat udara dalam jumlah yangbanyak di
abdomen dan tampak distensi abdomen. Gejala tipikal lainnyaberupa sering tersedak ketika
makan dan minum, dan pneumonia aspirasi yang berulang. Untuk itu, Bayi dengan atresia
esofagus baik dengan fistula atau tidak memiliki mortalitas yang tinggi

Neonatus yang lahir dengan atresia esofagus dan fistula trakeoesofagus sering membutuhkan
intubasi dan ventilasi mekanis. Terlalu banyak gas masuk ke saluran cerna akan
menyebabkan dilatasi lambung, yang sering menyebabkan kematian bayi baru lahir. Kontrol
fistula yang cepat sangat penting untuk meningkatkan efisiensi ventilasi dan meringankan
dilatasi lambung, yang penting untuk perbaikan bedah secara menyeluruh. Teknik meliputi
intubasi terjaga (awake intubation), menghindari relaksan otot dan PPV yang berlebihan
sampai fistula telah dikontrol. Bagian yang penting adalah posisi yang benar dari tabung
endotrakea. Pada pasien dengan atresia esofagus tipe C, perhatian khusus harus diberikan
pada intubasi karena fistula berada tepat di atas carina dan ujung pipa ETT dapat dengan
mudah masuk ke fistula selama proses pembedahan. Kami menyarankan untuk menutup
fistula menggunakan kateter Fogarty di bawah panduan bronkoskop serat optik. Sedangkan
untuk rumah sakit tanpa peralatan ini, praktik anestesi akan sulit dilakukan. Kondisi intubasi
yang baik dapat dicapai dengan agen volatile yang dalam,namun menjaga kondisi ventilasi
dan operasi yang memadai termasuk torakotomi, eksplorasi dan ligasi fistula tanpa relaksan
bisa menjadi tantangan. Sebaliknya, ujung bawah esofagus mudah didapat. Seperti yang
ditunjukkan dalam kasus ini, prosedur ini dapat diselesaikan dalam waktu 15 menit dan
tanda-tanda vital pasien berhasil dipertahankan stabil setelah sementara menutup ujung
esofagus (persimpangan gastoesofagus), sementara fistula sama-sama tertutup. Strategi
alternatif ini memberikan cara sederhana untuk mengelola pasien dengan EA / TEF, terutama
di rumah sakit tanpa bronkoskop serat optik anak Diagnosis atresia esofagus sebaiknya
ditegakkan sedini mungkin untuk meminimalkan komplikasi paru, dapat ditegakkan baik
pada prenatal maupun postnatal. Diagnosis prenatal dapat dilakukan dengan pemeriksaan
ultrasonografi pada ibu. Adanya temuan polihidramnion, berkurangnya cairan intraluminal
usus bayi dan ketidakmampun mendeteksi lambung janin pada pemeriksaan ultrasonografi
dapat memberikan petunjuk awal atresia esofagus. Adanya pouch sign yang tampak sebagai
bayangan echoic di tengah janin pada usia 26 minggu kehamilan juga menunjukkan adanya
atresia esofagus, tetapi dalam pemeriksaan membutuhkan pengalaman. Nilai diagnosis
prenatal ini sangat rendah kecuali ditemukan pouch sign dan polihidramnion secara
bersamaan. Polihidramnion tanpa pouch sign merupakan indikasi yang lemah atresia
esofagus. Hanya 1 dari 12 pasien dengan polihidramnion dengan atresia esofagus. Begitu
juga dengan tidak adanya udara gaster, hal ini dapat ditemukan di kelainan lainnya. 1,10,15
Diagnosis postnatal atresia esofagus dapat dibuat ketika terjadi kesulitan atau
ketidakmampuan selang nasogastrik atau orogastrik melewati esofagus. Normalnya kardiak
lambung pada bayi terletak 17 cm dari gusi bayi, tetapi pada kasus atresia esofagus, selang
berhenti ketika masuk sepanjang 10-12 cm. Foto sinar X babygram memperlihatkan selang
nasogatrik melingkar dalam kantung esofagus proksimal. Untuk memperkirakan celah atau
jarak antara segmen esofagus, selang nasogastrik dimasukkan semaksimal mungkin. Jarak
antara ujung selang dengan karina memperkirakan celah. Jika jarak kurang dari 2-2,5 cm
corpus vertebra merupakan sesuatu yang menguntungkan dalam tindakan operasi.1,4
Radiografi thorax dan abdomen penting dilakukan untuk mendapatkan diagnosis yang tepat
dari atresia esofagus. Selain mengevaluasi letak dari selang nasogastrik, juga dapat menilai
letak distribusi udara usus, arkus aorta, pneumonia aspirasi, kelainan bawaan jantung dan
anomali tulang belakang.1,10 Pemeriksaan dengan barium tidak diindikasikan dalam
penegakan diagnosis atresia esofagus karena adanya risiko tinggi terjadinya trakeobronkitis
aspirasi kimia.1,4 Penilaian kardiologi termasuk echocardiografi merupakan rutinitas
sebelum dilakukan operasi untuk mengetahui adanya kelainan jantung bawaan. Bayi dengan
atresia esofagus memerlukan resusitasi awal. Jika terjadi gangguan pernafasan, maka bayi
membutuhkan ventilator. Bayi yang menggunakan ventilator harus segera di operasi karena
terdapat risiko memburuknya gangguan pernafasan dan perforasi lambung. Operasi dilakukan
kurang dari 8 jam setelah pemakaian ventilator.Hal yang paling penting pada bayi dengan
atresia esofagus tanpa ventilator adalah pencegahan aspirasi sekresi faring dan refluks isi
lambung melalui fistula. Yang pertama diperlukan adalah pengisapan secara berkala atau
aspirasi dari kantong proksimal esofagus menggunakan kateter double lumen bertekanan
rendah. Bayi diletakkan dengan kepala lebih tinggi untuk meminimalkan refluks lambung.7
Repair pembedahahan merupakan terapi definitif untuk atresia esofagus dan TEF.
Pembedahan umumnya dikerjakan dalam 24-72 jam pada neonatus dengan kondisi yang
baik.1,2,4,9 Penundaan pembedahan meningkatkan risiko aspirasi saliva akibat penumpukan
saliva dalam kantong buntu esofagus bagian distal dan fistula trakeoesofagus dapat
menyebabkan pneumonitis. Repair primer meliputi tindakan isolasi dan ligasi fistula diikuti
dengan anastomosis primer esofagus. Repair bertahap merupakan teknik alternatif
pembedahan bagi neonatus yang tidak dapat mentolerir pembedahan satu tahap terkait
dengan alasan adanya pneumonia dan atau kelainan kongenital lainnya. Sebelum operasi
dilakukan tes darah seperti hitung darah lengkap, elektrolit, glukosa darah, pembekuan darah
dan cross match. Jika kelainan yang berhubungan telah teridentifikasi, kemudian dinilai
tingkat keparahan sebelum operasi dilakukan. Bedah dilakukan dengan anastesi umum
dengan pemasangan pipa endotrakeal. Tujuan prosedur bedah yaitu untuk memisahkan fistula
dan menutupnya pada sisi trakea serta menyambung ujung- ujung segmen esofagus.

KESIMPULAN :

Kami melaporkan sebuah teknik sederhana yang kami temukan bermanfaat untuk menutupi
fistula. Dalam kasus kami, tutup ujung esofagus yang lebih rendah sebelum terkena dan ligasi
fistula untuk neonatus dengan EA / TEF (tipe C), terbukti aman dan efektif, terutama di
rumah sakit tanpa bronkoskop fiberoptik anak-anak.

SARAN :

Perlu dilaporkan secara tertulis laporan kasus mengenai penatalaksaanaan anestesi pada
koreksi atresia esophagus dengan penyulit lain selain TEF agar dapat mengevaluasi hambatan
apa saja yang kemungkinan muncul saat koreksi tersebut dikerjakan dan komplikasi yang
dapat terjadi setelah dilakukannya koreksi atresia esophagus tersebut Dengan adanya laporan
kasus ini diharapkan menjadi pembelajaran bagi praktisi kesehatan agar kedepannya dapat
memberikan pelayanan yang lebih baik khususnya dalam melakukan tindakan koreksi atresia
esophagus agar memberikan prognosis yang baik bagi pasien setelah tindakan dilakukan

DAFTAR PUSTAKA

1. Abdul Latief, Penatalaksanaan Anestesi pada Bedah Akut Bayi Baru Lahir. Jakarta.1993

2. Dipraja, K. Penatalaksanaan Anestesi pada Bedah Darurat Anak. Makalah Simposium


Anestesi Pediatri Bandung.1998

3. Cote, CJ. Pediatric Anesthesia. Edisi ke-5, Churchil Livingstone. Philadelphia.


4. Muhiman, Muhardi. Dkk. Anestesiologi FKUI. Jakarta.2000

5. Warih BP, Abubakar M. Fisiologi pada Neonatus. Dalam: Kumpulan makalah Konas III
IDSAI. Surabaya.1992

6. Reeves ST, Burt N, Smith CD. Is it time to reevaluate the airway management of
tracheoesophageal fistula? Anesth Analg. 1995;81:866–869.

7. Filston HC, Chitwood WR Jr, Schkolne B, Blackmon LR. The Fogarty balloon catheter as
an aid to management of the infant with esophageal atresia and tracheoesophageal fistula
complicated by severe RDS or pneumonia. J Pediatr Surg. 1982;17:149–151.

8. Gupta A. Tracheo oesophageal fistula oesophageal atresia and anaesthetic management.


Indian J Anaesth. 2002;46:353–355.

Anda mungkin juga menyukai