BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Vitiligo
2.1.1 Definisi
Vitiligo adalah penyakit kulit didapat dengan manifestasi klinis yang khas
(Ortonne dan Passeron, 2012). Vitiligo merupakan kelainan pigmentasi yang umum
dijumpai, namun etiologi vitiligo yang masih belum jelas. Penyakit ini merupakan
kelainan kulit kronis persisten dan jarang dijumpai terjadinya repigmentasi spontan
Celsus pertama kali memperkenalkan istilah vitiligo dalam tulisan medis latin
De Medicina abad kedua sebelum masehi. Istilah vitiligo diambil dari bahasa Latin
vitium yang berarti cacat atau noda (Habib dan Raza, 2012). Penyakit ini
menimbulkan dampak pada kesehatan fisik dan mental pasien (Manga dkk., 2016).
berkulit gelap yang memiliki gejala klinis vitiligo yang lebih jelas dibandingkan
2.1.2 Epidemiologi
Vitiligo ditemukan pada sekitar 0,5-2% populasi di seluruh dunia dan pada
umumnya muncul segera setelah kelahiran hingga masa dewasa (Ortonne dan
Passeron, 2012). Prevalensi penyakit ini adalah sekitar 1% di Amerika Serikat dan
6
7
Eropa (Kanwar dkk., 2013). Vitiligo dapat dijumpai pada semua usia, namun sekitar
50% kasus vitiligo terjadi sebelum usia 20 tahun dan 25% diantaranya terjadi
sebelum usia 8 tahun, dengan rata-rata onset terjadi pada usia 5 tahun (Kanwar dan
Kumaran, 2012). Vitiligo juga dapat ditemukan pada pasien geriatri dengan rentang
usia geriatri tersering menderita vitiligo adalah 65-75 tahun, namun setelah usia 75
tahun vitiligo jarang ditemukan (Bifi dkk., 2016). Berdasarkan onset terjadinya,
vitiligo diklasifikasikan menjadi early onset vitiligo yaitu vitiligo yang terjadi pada
usia kurang dari 30 tahun, sedangkan bila gejala klinis vitiligo mulai muncul pada
usia lebih dari 30 tahun maka disebut sebagai late onset vitiligo (Parsad dan De,
2010; Kanwar dkk., 2013). Prevalensi vitiligo didapatkan sama antara laki-laki dan
laki-laki. Tidak terdapat perbedaan angka kejadian berdasarkan tipe kulit ataupun
sebanyak 0,093%; 0,005%; dan 0,38%. Gujarat, India merupakan tempat dengan
prevalensi vitiligo tertinggi di dunia, yaitu sebesar 8,8%. Vitiligo secara signifikan
lebih sering dijumpai pada perempuan usia muda < 30 tahun. Prevalensi puncak
prevalensi puncak laki-laki adalah pada dekade kelima kehidupan (Alikhan dkk.,
2011). Tipe vitiligo yang tersering ditemukan adalah vitiligo generalisata, yaitu
sebanyak 20-30% dari pasien (Bierla dkk., 2012). Sekitar 30-40% pasien vitiligo
kompleks yang masih belum dimengerti sepenuhnya (Bierla dkk., 2012). Terdapat
berbagai teori yang diduga menyebabkan kematian melanosit pada vitiligo. Vitiligo
umum diketahui bahwa pada kulit vitiligo terjadi kematian melanosit (Majid, 2010;
Penyebab kerusakan melanosit dan kematian melanosit pada kulit masih belum
diketahui secara pasti. Terdapat beberapa teori patofisiologis yang dikenal secara
luas, seperti teori autoimun, teori biokimia, dan teori stres oksidatif. Tidak satupun
memiliki peranan dalam etiopatogenesis vitiligo (Jain dkk., 2011; Ezzedine, 2015).
Sebagian besar kasus vitiligo bersifat sporadik, namun pada 20% kasus
ditemukan adanya anggota keluarga yang juga menderita vitiligo. Pada individu
kulit putih, frekuensi vitiligo pada saudara kandung pasien didapatkan sebesar
6,1%, yaitu 18 kali lipat lebih tinggi dibandingkan pada populasi. Penelitian
multifaktorial dan memiliki pola poligenik (Bierla dkk., 2012). Kembar monozigot
dengan DNA yang identik hanya memiliki concordance 23% pada perkembangan
pada vitiligo generalisata. Beberapa gen terlibat dalam fungsi imun, meliputi lokus
pada MHC, CTLA4, PTPN22, IL10, MBL2, dan NALP1 (NLRP1) yang terlibat
berperan dalam terjadinya vitiligo generalisata. Tujuh dari lokus tersebut dikaitkan
dengan penyakit autoimun yang lain (meliputi HLA class I, HLA class II, PRPN22,
LPP, IL2RA, UBASH3A, dan CIQTNF6), dua lokus yang lain berfungsi mengkode
fungsi imun (seperti RERE dan GZMB), sementara lokus lainnya, TYR, mengkode
tirosinase, yaitu sebuah enzim kunci dalam biosintesis melanin dan merupakan
terdapat beberapa penyakit autoimun lain yang dinilai berkaitan dengan vitiligo
dan penyakit Addison (Anstey, 2010; Bierla dkk., 2010; Alikhan dkk., 2011).
Reaksi imunitas yang terlibat dalam terjadinya vitiligo meliputi reaksi imunitas
humoral, seluler, dan melalui sitokin (Alikhan dkk., 2011; Allam dan Riad, 2013).
10
antigen sel pigmen permukaan, antigen sel pigmen intraseluler, dan antigen sel
ditemukan adalah VIT 40/75/90 kDa yang terdapat pada 83% pasien vitiligo,
namun hanya VIT 90 yang ditemukan secara spesifik pada sel pigmen. Tirosinase
peran antibodi tersebut masih belum diketahui secara pasti. Antibodi terhadap
SOX9 dan SOX10 yang merupakan faktor transkripsi yang terlibat dalam
diferensiasi sel yang berasal dari krista neural, didapatkan terdeteksi pada pasien
langsung antara kadar antibodi dan derajat aktivitas vitiligo (Alikhan dkk., 2011;
kemudian memicu migrasi sel T ke kulit. Darah tepi pasien vitiligo menunjukkan
banyak Melan-A specific CD8+ T cell dengan antigen limfosit kutaneus yang
11
jumlahnya berkorelasi dengan derajat penyakit (Alikhan dkk., 2011; Dytoc dan
Malhotra, 2011).
3. Peran sitokin
apoptosis) pada kulit yang menderita vitiligo bila dibandingkan dengan kulit
(GM-CSF), stem cell factor (SCF), dan basic fibroblastic growth factor (bFGF),
kulit yang menderita vitiligo bila dibandingkan dengan kulit perilesional dan
kulit normal. Pada pasien vitiligo juga didapatkan terjadi penurunan kadar
perubahan jalur metabolik dan terjadi akumulasi produk tambahan berupa 7BH4
sitotoksik pada konsentrasi tinggi (Alikhan dkk., 2011; Dytoc dan Malhotra, 2011;).
terus menerus terpapar berbagai agen fisik, kimia, dan biologis yang dapat berupa
protein, merubah jalur apoptosis, merusak DNA nuklear dan mitokondrial, serta
Kulit yang menderita vitiligo baik pada lesi ataupun yang tidak terdapat lesi,
keduanya memiliki kadar enzim katalase yang rendah, yang berkaitan dengan kadar
H2O2 yang tinggi pada epidermis. Polimorfisme nukleotida tunggal pada gen
katalase dapat mengganggu pembentukan dan fungsi subunit enzim dan lebih sering
ditemukan pada pasien vitiligo. Reactive oxygen species dalam jumlah berlebih
terjadi pada vitiligo. Gangguan lipid dan protein dapat menginisiasi kegagalan
kulit dan menyebabkan terjadinya depigmentasi (Allam dan Riad, 2013; Agriwal
dkk., 2014).
Ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan pada pasien vitiligo aktif juga telah
Manifestasi klinis vitiligo yang paling sering dijumpai adalah makula atau
patch depigmentasi berwarna seperti susu atau putih yang dikelilingi oleh kulit
normal. Lesi vitiligo memiliki batas yang tegas dan berbentuk bulat, oval, ireguler,
atau linear. Lesi membesar secara sentrifugal dengan cepat maupun lambat. Makula
dan sering kali ditemukan dalam ukuran yang bervariasi. Pada individu dengan kulit
putih, lesi dapat kurang jelas atau tidak terlihat tanpa menggunakan lampu Wood.
Pada individu dengan kulit gelap atau yang melakukan tanning, daerah kulit yang
menderita vitiligo akan terlihat lebih kontras dan kulit yang mengelilingi terlihat
dikeluhkan rasa gatal pada lesi (Bierla dkk., 2012; Ezzedine dkk., 2015).
Terdapat pula beberapa lesi khas vitiligo seperti confetti-like macules, vitiligo
trikroma, dan vitiligo inflamasi, selain itu pada vitiligo dapat pula ditemukan adanya
ditemukan pada batas lesi yang sudah ada dan tidak mendominasi pada lokasi
folikuler atau perifolikuler. Vitiligo trikroma merupakan vitiligo dengan lesi yang
tampak putih, coklat muda, dan coklat tua secara bersamaan, dengan tiap warna
mewakili sebuah stadium progresivitas penyakit. Lesi vitiligo inflamasi berupa lesi
14
dengan batas yang eritema dan meninggi serta terkadang disertai dengan rasa gatal.
Pada pasien dengan vitiligo dapat dijumpai adanya fenomena Koebner atau
isometrik, yaitu terbentuknya lesi vitiligo di tempat terjadinya cedera fisik seperti
abrasi, lecet, atau luka pembedahan (Sosa dkk., 2015; Benzekri dan Gauthier, 2017).
Vitiligo umumnya dimulai pada daerah yang terpapar sinar matahari. Sunburn
derajat berat, kehamilan, trauma kulit, dan/atau stres emosional dapat mendahului
dengan ekspansi lesi yang telah ada secara sentrifugal atau dengan munculnya lesi
baru (Anstey, 2010; Alikhan dkk., 2011). Vitiligo dapat muncul di seluruh bagian
tubuh. Lokasi predileksi vitiligo umumnya terdapat pada bagian tubuh yang relatif
hiperpigmentasi, seperti wajah, bagian dorsal tangan, puting susu, aksila, umbilikus,
sakral, inguinal, dan daerah anogenital. Pada sebagian besar lokasi yang terlibat
tersebut terjadi trauma berulang, tekanan, ataupun friksi (Habid dan Raza, 2012).
memiliki pola dermatomal. Kehilangan pigmen dapat parsial ataupun komplit dan
batas lesi dapat berupa hiperpigmentasi. Gejala utama penyakit ini sebenarnya
Repigmentasi spontan umumnya ditemukan pada pasien usia lebih muda dan
biasanya kurang bermakna serta bersifat perifolikuler. Pada vitiligo dapat juga
ditemukan rambut yang berubah warna menjadi lebih putih atau abu-abu sebelum
fundus okuler juga dapat memperlihatkan kelainan (Taieb dan Picardo, 2007;
Conference (VGICC) tahun 2012 menyatakan bahwa klasifikasi vitiligo terdiri atas
gambaran klinis dan perjalanan alamiah penyakit, sebagai berikut (Bierla dkk.,
b. Vitiligo mukosal: vitiligo yang ditemukan pada daerah mukosa oral dan
genital. Keterlibatan daerah mukosa dapat pula dijumpai pada pasien vitiligo
simetris dan dapat melibatkan berbagai daerah kulit, terutama tangan, jari-
yang luas (80-90% luas permukaan tubuh), dan merupakan bentuk vitiligo
16
yang paling sering dijumpai pada orang dewasa. Umumnya vitiligo bentuk
2. Vitiligo segmental: dapat melibatkan satu, dua, atau beberapa segmen. Vitiligo
unisegmental merupakan bentuk yang paling sering ditemukan dan terdiri atas
satu atau lebih makula putih pada satu sisi tubuh, umumnya tidak melewati garis
tengah tubuh, terdapat pula keterlibatan rambut (leukotrikia), dan vitiligo tipe
ini memiliki onset yang cepat. Lebih jarang, vitiligo bentuk ini dapat melibatkan
dua atau lebih segmen dan dapat memiliki distribusi segmental bilateral.
segmental. Bentuk ini dapat berevolusi menjadi bentuk segmental atau non-
segmental.
Tabel 2.1
Tabel klasifikasi vitiligo berdasarkan VGICC tahun 2012 (Ezzedine dkk., 2012)
Tipe Vitiligo Subtipe Vitiligo
Vitiligo non-segmental Akrofasial
Mukosal (melibatkan lebih dari satu mukosa)
Generalisata atau common
Universalis
Campuran (mixed)
Vitiligo segmental Unisegmental, bisegmental, atau multisegmental
Vitiligo unclassifiable Fokal
atau undetermined Mukosal (hanya melibatkan satu mukosa)
17
(Bierla dkk., 2012). Pemeriksaan lampu Wood menunjukkan gambaran lesi yang
lebih teraksentuasi atau lebih jelas dibandingkan kulit sekitar. Penggunaan lampu
Wood dinilai dapat membantu menegakkan diagnosis vitiligo terutama pada kasus-
kasus yang meragukan. Lesi klinis vitiligo dapat dibedakan menjadi dua tipe klinis
dengan menggunakan lampu Wood, yaitu lesi amelanotik dengan batas tegas dan
tipe lesi hipomelanotik dengan batas yang tidak tegas. Lampu Wood, fotografi, dan
(Alikhan dkk., 2011; Ezzedine dkk., 2012; Benzekri dan Gauthier, 2017).
pasien memiliki tanda dan gejala penyakit tiroid (Bierla dkk., 2012).
vitiligo dengan lesi yang tidak khas atau meragukan. Pemeriksaan histopatologis
mendapatkan lesi vitiligo mengandung hanya sedikit infiltrat seluler dengan tidak
terdapat atau terdapat melanosit dalam jumlah yang sangat sedikit. Melanosit pada
tepi kulit yang menderita vitiligo tampak lebih besar, memiliki vakuola, dengan
18
kelenjar keringat, kelenjar sebasea, dan folikel rambut (Alikhan dkk., 2011; Ortonne
berdasarkan penilaian visual oleh dokter dan/atau analisis fotografi sebelum dan
Index (PRI), dan Vitiligo Extent Tensity Index (VETI), Vitiligo Area Severity Index
(VASI), dan Vitiligo Disease Activity (VIDA). Skala penilaian yang paling sering
dikembangkan oleh Hamzavi dkk. dan telah divalidasi tahun 2004. Skor VASI
bersama penggunaan lampu Wood dan rule of nine merupakan metode yang paling
baik yang tersedia untuk menilai lesi pigmentasi dan mengukur luas serta derajat
vitiligo baik secara klinis maupun dalam penelitian dan uji klinis (Alghamdi dkk.,
19
2012). Pada penilaian ini tubuh pasien dibagi menjadi lima bagian yaitu tangan,
daerah inguinal dan bokong), serta kaki. Presentasi keterlibatan vitiligo tiap daerah
tubuh dihitung menggunakan metode palmar (hand unit). Hand unit tersebut
merupakan daerah permukaan telapak tangan pasien sebagai panduan estimasi dan
dari seluruh total luas permukaan tubuh. Tiap lokasi dievaluasi dengan penilaian
10%, 25%, 50%, 75%, 90%, dan 100% (Tabel 2.2). Untuk setiap bagian tubuh skor
VASI ditentukan dengan menjumlahkan area vitiligo dalam hand units dan derajat
depigmentasi dalam setiap hand unit yang diperiksa dengan skor minimal 0 sampai
dengan skor maksimal 100 menggunakan rumus berikut (Hamzavi dkk., 2004;
Dicle, 2015)
Tabel 2.2
Tabel skor VASI (Hamzavi dkk., 2004)
Derajat Depigmentasi Makna
Gambar 2.1
Derajat depigmentasi dalam pengukuran skor VASI (Hamzavi dkk., 2004)
Skor VIDA menggunakan skala enam poin untuk menilai stabilitas dan
progresivitas vitiligo dari waktu ke waktu. Sistem ini digunakan untuk membantu
sebagai meluasnya lesi vitiligo yang telah ada atau munculnya lesi baru. Skor VIDA
yang semakin rendah menunjukkan aktivitas penyakit yang semakin menurun (Bhor
Terdapat pula manifestasi klinis vitiligo yang khas juga berpengaruh terhadap
didapatkan pada pasien-pasien vitiligo yang progresif dengan cepat. Pasien dengan
lesi confetti memiliki skor VIDA yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien
tanpa lesi confetti, yang mencerminkan bahwa lesi confetti merupakan marker
vitiligo yang tidak stabil dan progresif. Marker klinis aktivitas vitiligo yang lain
meliputi vitiligo trikroma dan fenomena Koebner yang dikenal pula sebagai
21
khas tersebut harus diikutsertakan dalam penilaian derajat aktivitas vitiligo (Sosa
Tabel 2.3
Tabel skor VIDA dalam skala 6 poin (Alghamdi dkk., 2012)
Aktivitas Vitiligo Skor VIDA
2.1.8 Penatalaksanaan
Terapi topikal merupakan terapi vitiligo lini pertama. Terapi topikal tersebut
kortikosteroid topikal poten sekali sehari seperti betametason valerat 0,1% dan
pimekrolimus atau takrolismus terutama untuk daerah wajah dan leher merupakan
dianjurkan dua kali sehari untuk 6 bulan (Felsten dkk., 2011; Ezzedine, 2015).
22
Tabel 2.4
Algoritma Terapi Vitiligo (Bilal dan Anwar, 2014)
Vitiligo Non-Segmental Vitiligo Segmental
Terapi Lini 1. Steroid topikal atau vitamin D3 Terapi sama dengan
Pertama analog topikal vitiligo non-
2. Menghindari faktor-faktor pemicu segmental, dapat
dan faktor-faktor yang menggunakan laser
memperberat neon helium untuk
3. Terapi NB-UVB bila BSA yang hasil yang lebih
terlibat > 20% baik
Terapi vitiligo lini kedua terdiri atas fototerapi (NBUVB serta psoralen dan
NBUVB (311 nm) memiliki efektifitas yang sama dengan PUVA, namun NBUVB
23
memiliki efek samping yang lebih sedikit (Felsten dkk., 2011; Ezzedine, 2015).
Efek imunomodulator terapi UVB bekerja pada epidermis dan dermis superfisial,
sedangkan terapi UVA bekerja pada komponen dermis bagian dalam, terutama
pembuluh darah. Terapi radiasi UVB diserap oleh kromofor endogen, seperti DNA.
DNA dan menekan sintesis DNA dan menstimulasi sintesis prostaglandin dan
sitokin yang berperan penting dalam supresi sistem imun. Fototerapi UVB dapat
Supresi imun, perubahan ekspesi sitokin dan berhentinya siklus sel berkontribusi
Terapi UVB dapat digunakan secara selektif dan lokal dengan mengunakan alat
targeted phototherapy seperti lampu atau laser excimer dengan panjang gelombang
308 nm yang merupakan terapi lini ketiga. Betametason atau deksametason oral
dosis sedang minipulse selama 3-6 bulan dapat dipertimbangkan untuk diberikan
pada kasus-kasus vitiligo yang meluas dengan cepat untuk menghentikan progresi
Terapi lini keempat terdiri atas teknik pembedahan graft dan terapi
penyakit yang stabil setidaknya selama satu tahun setelah didokumentasikan tidak
Koebner. Teknik pembedahan yang disebutkan dalam panduan Eropa terdiri atas
graft seluler (berupa cultured melanocyte cellular graft dan non-cultured epidermal
alexandrite 755 nm atau Q-switched ruby 694 nm, dan krioterapi (Taieb dkk., 2013;
Stres oksidatif terjadi akibat produksi oksidan yang berlebihan di dalam sel
dan/atau reduksi kapasitas antioksidan seluler yang dapat merusak lipid, asam
sel (Denat, 2014). Stres oksidatif merupakan hasil produksi ROS yang berlebih atau
menerima elektron. Oksidan secara umum merujuk pada ROS yang memiliki waktu
paruh hidup pendek dan bersifat sangat reaktif. Reactive oxygen species dapat
Senyawa radikal (radikal bebas) merupakan sebuah molekul yang memiliki sebuah
elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas dapat berupa O2-, nitrit oksida
(NO), hidroksil (OH-), peroksil (ROO), dan oksigen singlet (O2). Senyawa non-
hipoklorus (HClO), aldehid, ozon (O3), dan oksigen (O2). Radikal bebas bersifat
stabil akibat memiliki elektron yang tidak berpasangan (Glassman, 2011; Kutlubay
dkk., 2011).
dihasilkan secara langsung dari O2-. Hidrogen peroksida bersifat kurang reaktif bila
dibandingkan dengan radikal bebas yang lain, namun H2O2 merupakan oksidan
hidroksil yang sangat reaktif melalui interaksi dengan ion metal transisi seperti Fe2+
dan Cu+ dalam reaksi Fenton. Hidrogen peroksida merupakan penanda ROS dan
terbentuk saat O2- mengalami reaksi dismutasi yang dikatalisasi oleh SOD. Radikal
hidroksil dapat dihasilkan pula melalui interaksi radikal O2- dan H2O2 dalam reaksi
berbahaya bagi sistem biologis dan mampu berinteraksi dengan semua makro
molekul seperti lipid, protein, dan asam nukleat (Glassman, 2011; Norri, 2012;
Reactive oxygen species dihasilkan dari berbagai proses biokimia dalam tubuh,
meliputi proses biologikal endogen dan faktor eksogen yang berasal dari lingkungan
seperti paparan kimia, polusi, atau radiasi (Valko dkk., 2007). Beberapa radikal
bebas dapat bereaksi secara lokal atau radikal bebas yang lain dapat mendonasikan
molekulnya ke molekul lain untuk mencapai keadaan yang lebih stabil. Reaksi
sebuah molekul ROS radikal dengan nonradikal menghasilkan sebuah rantai radikal
yang sangat tinggi terhadap berbagai komponen biologis seperti lipid, protein, dan
Gambar 2.2
Mekanisme molekuler pembentukan ROS, keterlibatan pertahanan antioksidan
dan dampak ROS terhadap makromolekul seluler (Milkovic dkk., 2014)
Pada tubuh yang sehat, molekul oksidan akan dibersihkan oleh sistem
dismutase, peroksidase, dan katalase. Bila terjadi defisiensi pada sistem pertahanan
tersebut maka akan terjadi akumulasi ROS. Akumulasi ROS dapat mengakibatkan
27
gangguan fungsi, mutasi genetik, kerusakan dan cedera jaringan. Stres oksidatif
berat dapat mengakibatkan kematian sel (Kutlubay dkk., 2011; Colucci dkk., 2015).
dan melibatkan berbagai jalur. Contoh penting dari stres oksidatif adalah
peroksidasi lipid dan protein. Peroksidasi lipid merupakan proses yang penting
dalam terjadinya kematian melanosit pada vitiligo (Kutlubay dkk., 2011; Milkovic
dkk., 2014).
Pada konsentrasi rendah hingga sedang, ROS berfungsi dalam proses fisiologis
sel, namun pada konsentrasi tinggi, ROS akan mengakibatkan modifikasi pada
komponen sel seperti lipid, DNA, dan protein. Konsekuensi stres oksidatif yang
utama seperti kerusakan lipid, DNA, dan protein tersebut pada akhirnya akan
tunggal atau ganda, modifikasi purin, pirimidin atau ikatan gula, delesi atau
translokasi, dan ikatan silang dengan protein (Birben dkk., 2012). Reactive oxygen
species memecah rantai DNA dan membentuk DNA adduct yang ditandai dengan
28
delesi, mutasi DNA dan menyebabkan efek genetik. Produk oksidasi DNA berupa
8-hidroksiguanin, hidroksil metil urea, urea, thimin, dan produk saturasi yang
samping asam amino spesifik dan menimbulkan modifikasi pada struktur protein
proteolisis (Noori, 2012). Residu sistein dan metionin dalam protein bersifat rentan
Enzim yang memiliki metal pada atau dekat dengan tempat aktifnya bersifat lebih
karbonil (Dell’Anna dkk., 2001; Dammak dkk., 2006; Birben dkk., 2012).
seperti DNA, protein, dan lipid. Di antara ketiga target ROS tersebut, peroksidasi
dari PUFA pada membran fosfolipid akan memicu terjadinya peroksidasi lipid.
spontan selama proses peroksidasi lipid dan menghasilkan pentane, ethane, dan α,
β unsaturated fatty acids aldehydes yang besifat sangat toksik. Malondialdehid dan
4-HNE merupakan produk aldehid peroksidase lipid poten dari PUFA. Penanda
stres oksidatif produk aldehid sekunder yang diterima adalah MDA dan 4-HNE
Kadar ROS yang tinggi dapat menimbulkan kerusakan langsung pada lipid.
Membran sel merupakan struktur yang sangat rentan terhadap oksidasi yang
disebabkan oleh ROS karena adanya asam lemak dalam konsentrasi yang tinggi
pada komponen lipid. Reactive oxygen species memicu terjadinya peroksidasi lipid
seperti radikal bebas dan spesies nonradikal yang bereaksi dengan lipid yang
Proses peroksidasi lipid keseluruhan terdiri atas tiga tahapan, yaitu inisiasi,
propagasi, dan terminasi. Pada tahapan inisiasi peroksidasi lipid, prooksidan seperti
radikal hidroksil memisahkan hidrogen alilik dan membentuk radikal lipid dengan
30
karbon di bagian tengahnya (L-). Pada fase propagasi, radikal lipid (L-) bereaksi
dengan oksigen dan membentuk radikal peroksi lipid (LOO-) dan memisahkan
hidrogen dari molekul lipid lain dan membentuk L- yang baru (yang melanjutkan
reaksi rantai) dan lipid hidroperoksida (LOOH). Pada reaksi terminasi, antioksidan
products. Bila peroksidasi lipid terinisiasi, maka propagasi reaksi rantai akan terus
berlangsung hingga terminasi produk terjadi (Khan dkk., 2009; Ayala dkk., 2014).
Gambar 2.3
Tahapan proses peroksidasi lipid (Burham, 2008)
lipid adalah lipid hiperperoksidase (LOOK). Terdapat berbagai aldehid yang dapat
terbentuk sebagai produk sekunder selama proses peroksidasi lipid, seperti MDA,
propanal, heksanal, dan 4-HNE. Produk peroksidasi lipid seperti MDA dan aldehid
31
reseptor growth factor epidermal, dan menginduksi bronektin (Ayala dkk., 2014)
seluler spesifik dan kapasitas perbaikannya, dapat terjadi cell survival atau
adaptif. Sebaliknya, bila tingkat peroksidasi lipid menengah atau tinggi (kondisi
apoptosis sel atau necrosis programmed cell death. Kedua proses tersebut
pembentukan berbagai kondisi patologis (Koca dkk., 2004; Ladda dkk., 2013;
substansi, struktur, atau proses yang dapat diukur secara objektif dari tubuh atau
produknya dan mempengaruhi atau memprediksi terjadinya penyakit atau hasil dari
penyakit. Biomarker stes oksidatif harus dapat diukur dan memenuhi kriteria
dengan aktivitas penyakit. Agar dapat berguna secara klinis, sebuah biomarker
harus bersifat stabil, terdapat dalam jaringan yang mudah diakses, dan
2015).
Pengukuran ROS secara langsung cukup sulit karena ROS bersifat sangat
reaktif dan memiliki waktu paruh yang singkat. Pengukuran stres oksidatif
umumnya dilakukan dengan cara menilai metabolit yang bersifat stabil atau produk
oksidasinya seperti produk akhir dari peroksidasi lipid. Biomarker peroksidasi lipid
merupakan hasil kerja radikal bebas yang diketahui paling awal dan paling mudah
pengukurannya, karena itulah reaksi ini paling sering dikerjakan dalam rangka
mempelajari stres oksidatif (Morroco dkk., 2007; Palmieri dan Sblendorio, 2007).
Terdapat beberapa biomarker peroksidasi lipid yang dapat diukur dan dikenal secara
meliputi: MDA, conjugated dienes, gas ethane dan pentane, isoprostan, dan 4-HNE
molekul rendah (berat formula = 72,07), rantai pendek, dan bersifat volatil asam
lemah (pKa =4,46). Malondialdehid merupakan produk akhir yang dibentuk dari
dekomposisi asam arakidonat dan PUFA melalui proses enzimatik ataupun non-
enzimatik. Aldehid ini dapat ditemukan pada jaringan kulit dan hampir di seluruh
cairan biologis, termasuk pada serum, plasma, urin, cairan persendian, cairan
perikardial dan cairan seminal, namun serum, plasma dan urin merupakan sampel
33
yang paling umum digunakan karena paling mudah didapatkan dan paling tidak
invasif (Briganti dan Picardo, 2002; Grotto dkk., 2009; Ayala dkk., 2014.)
Gambar 2.4
Struktur kimia MDA (Ayala dkk., 2014)
menyebabkan stres toksik pada sel, dan membentuk produk protein kovalen yang
dikenal dengan sebutan advance lipoxidation end products (ALE) (Block dkk.,
kerusakan oksidatif pada sel dan jaringan yang paling dikenal. Malondialdehid
merupakan marker yang paling populer dan terpercaya karena dapat menentukan
stres oksidatif pada situasi klinis dan karena MDA bersifat sangat toksik, sehingga
molekul ini sangat relevan digunakan dalam komunitas penelitian biomedik (Ayala
oksidatif, kadarnya dapat diukur secara akurat dengan pelbagai metode yang telah
tersedia, bersifat stabil dalam sampel cairan tubuh yang diisolasi, pengukurannya
tidak dipengaruhi oleh variasi diurnal dan tidak dipengaruhi oleh kandungan lemak
dalam diet, merupakan produk spesifik dari peroksidasi lipid, terdapat dalam jumlah
34
yang dapat dideteksi pada semua jaringan tubuh dan cairan biologis, sehingga
memungkinkan untuk menentukan referensi interval (Frijhoof dkk., 2015; Khan dan
Reddy, 2016).
degenerasi melanosit. Teori stres oksidatif pada vitiligo menyatakan bahwa stres
berlebihan. Akumulasi ROS mengakibatkan efek toksik pada komponen sel seperti
DNA, protein, dan lipid yang menimbulkan kematian melanin dan mengakibatkan
sunburn dan paparan bahan kimia fenolik, namun pada sebagian besar kasus, faktor
lipid. Hidrogen peroksida juga berfungsi sebagai inhibitor tirosinase, atau dengan
mengkatalisasi perubahan H2O2 menjadi air, oksidan, dan agen antioksidan lain
vitamin C serta E, dideteksi pada epidermis dan serum pasien vitiligo, yang
merupakan sumber ROS endogen yang paling penting, namun mitokondria juga
merupakan target kerusakan yang dimediasi ROS. Reactive oxygen species dapat
penelitian telah menunjukkan bukti terjadinya stres oksidatif pada epidermis pasien
dengan vitiligo dengan ditemukannya H2O2 dalam jumlah masif (10-3 mM). Dalam
konsentrasi yang rendah (10-6 mM), H2O2 memiliki peranan dalam signaling dan
transkipsi sel, sedangkan dalam konsentrasi tinggi H2O2 memiliki efek yang
Gambar 2.5
Terjadinya kematian sel akibat ROS pada vitiligo (Colluci, 2015)
hilangnya fungsi enzim yang berperan dalam melanogenesis. Efek akumulasi H2O2
yang paling berbahaya dapat diamati pada melanosit yang diambil dari kulit
Gambar 2.6
Pembentukan dan Metabolisme MDA.
Malondialdehid dapat dibentuk secara in vivo melalui dekomposisi asam arakidonat
(AA) dan PUFA yang merupakan produk sampingan proses enzimatik selama
biosintesis TXA2 dan 12-l-hydroxy-5,8,10-heptadecatrienoic acid (HHT) (jalur
biru), atau melalui proses nonenzimatik yang menghasilkan endoperoksidase
selama proses peroksidasi lipid (jalur merah). Malondialdehid yang terbentuk dapat
dimetabolisme secara enzimatik (jalur hijau). Enzim kunci yang terlibat dalam
pembentukan dan metabolisme MDA antara lain: siklooksigenase, prostasiklin
hidroperoksidase, tromboksan sintase, aldehid dehidrogenase, dekarboksilase,
asetil CoA sintase, dan siklus asam trikarboksilik (Ayala, 2014)
dkk., 2016). Melanosit secara intrinsik juga terpapar oleh stres oksidatif.
sejumlah O2- dan H2O2. Tirosinase merupakan enzim yang mengkatalase oksidasi
38
tirosin menjadi DOPA yang kemudian diubah menjadi dopaquinone, dan konversi
mekanisme perlindungan terhadap radikal bebas yang meliputi GSH, GPx, alfa-
SOD, catalase (CAT), dan quinone reductase. Bila terjadi aktivitas pro-oksidan,
maka TRP2 atau DCT akan memperkuat kapasitas antioksidan melanosit. Maka
dari itu, melanin dapat berfungsi sebagai pisau bermata dua, pada satu sisi melanin
berfungsi untuk menyerap sinar UV yang berbahaya, sementara pada satu sisi yang
merupakan salah satu tanda terjadinya stres oksidatif. Reactive oxygen species
perbaikannya, sehingga memicu apoptosis sel atau necrosis programmed cell death.
Produk peroksidasi lipid seperti MDA dan aldehid yang tidak tersaturasi mampu
DNA dan membentuk substansi M1G yang mutagenik sehingga MDA merupakan
lipid lainnya. Malondialdehid juga bersifat sitotoksik terhadap melanosit dan dapat
Gambar 2.7
Peran MDA dalam kematian melanosit (Colluci dkk., 2015)
40
pengukuran nitrat atau nitrit yang merupakan produk stabil nitric oxide (NO),
pengukuran kadar antioksidan enzimatik seperti SOD, CAT, GSH, atau kadar
biomarker kerusakan akibat stres oksidatif seperti MDA (Block dkk., 2002; Dalle-
Donne, 2006).
terdapat peningkatan kadar marker oksidan seperti MDA (Jain dkk., 2011).
peningkatan kadar MDA, dan kadar katalase yang rendah telah dilaporkan
depigmentasi pada kulit pasien dengan vitiligo. Peroksidasi lipid merupakan reaksi
membran sel, dengan MDA merupakan marker terjadinya kerusakan lipid. Selain
itu, MDA dapat membentuk adducts dengan protein selular DNA yang kemudian
akibat peroksidasi lipid ditemukan pada membran seluler melanosit pada kulit
41
pasien vitiligo baik pada lesi kulit maupun daerah perilesional. Semua hal tersebut
peningkatan kadar MDA tidak hanya dapat terdeteksi pada kulit, namun juga dapat
terdeteksi pada darah pasien vitiligo (Dammak dkk., 2009; Mitra dkk., 2017).
bahwa kadar MDA dan GSR plasma meningkat secara signifikan pada pasien
penelitian pada 40 orang subjek dan mendapatkan bahwa terjadi peningkatan kadar
MDA dan penurunan kadar GPx dan SOD darah pada pasien vitiligo, yang
mencerminkan terjadinya stres oksidatif pada pasien vitiligo. Dammak dkk. (2006)
memeriksa serum dari 36 pasien vitiligo (18 dengan vitiligo stabil dan 18 lainnya
dengan vitiligo aktif) dan 40 kontrol sehat untuk mengetahui marker status redoks
yang meliputi kadar MDA serum. Penelitian tersebut mendapatkan bahwa kadar
MDA serum meningkat baik pada vitiligo stabil dan aktif, namun semua marker
tersebut didapatkan lebih tinggi pada vitiligo aktif (Jain dkk., 2008; Kamel dkk.,
Penelitian oleh Yildrim dkk. (2003) dan Koca dkk. (2004) menemukan kadar
MDA serum yang tinggi pada pasien dengan vitiligo generalisata, sedangkan pada
penelitian Arican dan Kurutas tahun 2008 didapatkan peningkatan kadar MDA
serum yang tinggi pada pasien vitiligo lokalisata (Onunu dan Kubeyinje, 2003;
Shabaka dkk., 2007; Arican dan Kurutas, 2008). Khan dkk. (2009) juga menemukan
terjadinya peningkatan MDA dan penurunan kadar GPx dan agen antioksidan
nonenzimatik seperti vitamin C dan E pada serum pasien vitiligo. Pada penelitian
42
yang dilakukan Haider dkk. (2010), kadar MDA didapatkan secara signifikan lebih
SOD, MDA, dan GPx saat memeriksa jaringan pasien vitiligo. Dammak dkk. (2009)
menyatakan bahwa aktivitas vitiligo berkaitan dengan stres oksidatif pada tingkat
jaringan. Kadar MDA, SOD, dan GPx jaringan dari 10 pasien vitiligo stabil dan 10
peningkatan baik pada kelompok vitiligo stabil dan aktif, dengan peningkatan yang
menemukan hasil yang bertentangan. Penelitian Shin dkk. (2010) pada 53 pasien
vitiligo dan 65 kontrol yang sehat mendapatkan bahwa tidak terdapat perbedaan
kadar MDA eritrosit yang signifikan pada pasien vitiligo terlepas dari aktivitas
pasien dengan vitiligo. Hasil yang serupa didapatkan pada penelitian Picardo dkk.
(1994) dan Tastan dkk. (2003) yang mendapatkan kadar MDA serum yang normal
pada berbagai tipe vitiligo (Arican dan Kurutas, 2008; Shin dkk., 2010; Shi dkk.,
2017).