Anda di halaman 1dari 37

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Vitiligo

2.1.1 Definisi

Vitiligo adalah penyakit kulit didapat dengan manifestasi klinis yang khas

berupa makula dan patch depigmentasi akibat terjadinya kematian melanosit

(Ortonne dan Passeron, 2012). Vitiligo merupakan kelainan pigmentasi yang umum

dijumpai, namun etiologi vitiligo yang masih belum jelas. Penyakit ini merupakan

kelainan kulit kronis persisten dan jarang dijumpai terjadinya repigmentasi spontan

(Alikhan dkk., 2011; Yaghoobi dkk., 2011).

Celsus pertama kali memperkenalkan istilah vitiligo dalam tulisan medis latin

De Medicina abad kedua sebelum masehi. Istilah vitiligo diambil dari bahasa Latin

vitium yang berarti cacat atau noda (Habib dan Raza, 2012). Penyakit ini

menimbulkan dampak pada kesehatan fisik dan mental pasien (Manga dkk., 2016).

Vitiligo juga menimbulkan dampak psikologis bermakna terutama pada individu

berkulit gelap yang memiliki gejala klinis vitiligo yang lebih jelas dibandingkan

dengan individu berkulit putih (Bilal dan Anwar, 2014).

2.1.2 Epidemiologi

Vitiligo ditemukan pada sekitar 0,5-2% populasi di seluruh dunia dan pada

umumnya muncul segera setelah kelahiran hingga masa dewasa (Ortonne dan

Passeron, 2012). Prevalensi penyakit ini adalah sekitar 1% di Amerika Serikat dan

6
7

Eropa (Kanwar dkk., 2013). Vitiligo dapat dijumpai pada semua usia, namun sekitar

50% kasus vitiligo terjadi sebelum usia 20 tahun dan 25% diantaranya terjadi

sebelum usia 8 tahun, dengan rata-rata onset terjadi pada usia 5 tahun (Kanwar dan

Kumaran, 2012). Vitiligo juga dapat ditemukan pada pasien geriatri dengan rentang

usia geriatri tersering menderita vitiligo adalah 65-75 tahun, namun setelah usia 75

tahun vitiligo jarang ditemukan (Bifi dkk., 2016). Berdasarkan onset terjadinya,

vitiligo diklasifikasikan menjadi early onset vitiligo yaitu vitiligo yang terjadi pada

usia kurang dari 30 tahun, sedangkan bila gejala klinis vitiligo mulai muncul pada

usia lebih dari 30 tahun maka disebut sebagai late onset vitiligo (Parsad dan De,

2010; Kanwar dkk., 2013). Prevalensi vitiligo didapatkan sama antara laki-laki dan

perempuan, namun perempuan didapatkan lebih sering memeriksakan diri daripada

laki-laki. Tidak terdapat perbedaan angka kejadian berdasarkan tipe kulit ataupun

ras (Taieb dan Picardo, 2017).

Prevalensi vitiligo didapatkan bervariasi di China, India, dan Denmark yaitu

sebanyak 0,093%; 0,005%; dan 0,38%. Gujarat, India merupakan tempat dengan

prevalensi vitiligo tertinggi di dunia, yaitu sebesar 8,8%. Vitiligo secara signifikan

lebih sering dijumpai pada perempuan usia muda < 30 tahun. Prevalensi puncak

perempuan menderita vitiligo adalah pada dekade pertama kehidupan, sedangkan

prevalensi puncak laki-laki adalah pada dekade kelima kehidupan (Alikhan dkk.,

2011). Tipe vitiligo yang tersering ditemukan adalah vitiligo generalisata, yaitu

sebanyak 20-30% dari pasien (Bierla dkk., 2012). Sekitar 30-40% pasien vitiligo

memiliki riwayat keluarga menderita vitiligo, sehingga keterlibatan genetik pada

penyakit ini tidak dapat disingkirkan (Gawkrodger dkk., 2008).


8

2.1.3 Etiologi dan patogenesis

Vitiligo merupakan kelainan kulit multifaktorial dengan patogenesis yang

kompleks yang masih belum dimengerti sepenuhnya (Bierla dkk., 2012). Terdapat

berbagai teori yang diduga menyebabkan kematian melanosit pada vitiligo. Vitiligo

dikategorikan sebagai penyakit multifaktorial yang melibatkan faktor genetik dan

lingkungan yang memiliki implikasi terhadap munculnya penyakit ini. Secara

umum diketahui bahwa pada kulit vitiligo terjadi kematian melanosit (Majid, 2010;

Yaghoobi dkk., 2011; Ortonne dan Passeron, 2012).

Penyebab kerusakan melanosit dan kematian melanosit pada kulit masih belum

diketahui secara pasti. Terdapat beberapa teori patofisiologis yang dikenal secara

luas, seperti teori autoimun, teori biokimia, dan teori stres oksidatif. Tidak satupun

teori tersebut yang bersifat absolut, namun nampaknya masing-masing teori

memiliki peranan dalam etiopatogenesis vitiligo (Jain dkk., 2011; Ezzedine, 2015).

2.1.3.1 Peranan genetik pada vitiligo

Sebagian besar kasus vitiligo bersifat sporadik, namun pada 20% kasus

ditemukan adanya anggota keluarga yang juga menderita vitiligo. Pada individu

kulit putih, frekuensi vitiligo pada saudara kandung pasien didapatkan sebesar

6,1%, yaitu 18 kali lipat lebih tinggi dibandingkan pada populasi. Penelitian

epidemiologi menyatakan bahwa vitiligo diturunkan secara non-Mendelian, bersifat

multifaktorial dan memiliki pola poligenik (Bierla dkk., 2012). Kembar monozigot

dengan DNA yang identik hanya memiliki concordance 23% pada perkembangan

vitiligo, yang mencerminkan terdapat peranan komponen non genetik yang

signifikan (Alikhan dkk., 2011).


9

Semua penelitian mengenai keterlibatan genetik pada vitiligo memfokuskan

pada vitiligo generalisata. Beberapa gen terlibat dalam fungsi imun, meliputi lokus

pada MHC, CTLA4, PTPN22, IL10, MBL2, dan NALP1 (NLRP1) yang terlibat

dalam kerentanan individu terhadap terjadinya vitiligo generalisata. Penelitian

genomewide association terhadap pasien vitiligo generalisata ras Kaukasian dan

keluarganya di Eropa menemukan setidaknya terdapat sepuluh lokus berbeda yang

berperan dalam terjadinya vitiligo generalisata. Tujuh dari lokus tersebut dikaitkan

dengan penyakit autoimun yang lain (meliputi HLA class I, HLA class II, PRPN22,

LPP, IL2RA, UBASH3A, dan CIQTNF6), dua lokus yang lain berfungsi mengkode

fungsi imun (seperti RERE dan GZMB), sementara lokus lainnya, TYR, mengkode

tirosinase, yaitu sebuah enzim kunci dalam biosintesis melanin dan merupakan

autoantigen vitiligo generalisata yang utama (Bierla dkk., 2012).

Mekanisme autoimun diduga mendasari terjadinya vitiligo generalisata dan

terdapat beberapa penyakit autoimun lain yang dinilai berkaitan dengan vitiligo

generalisata, seperti: tiroiditis Hashimoto atau penyakit Grave, artritis rematoid,

psoriasis, diabetes melitus tipe 1, anemia pernisiosa, lupus eritematosus sistemik

dan penyakit Addison (Anstey, 2010; Bierla dkk., 2010; Alikhan dkk., 2011).

2.1.3.2 Teori autoimun

Etiopatogenesis vitiligo generalisata atau non-segmental lebih dimengerti bila

dijelaskan dengan mekanisme autoimun, dikarenakan vitiligo sering kali juga

memiliki komorbiditas autoimun dan lebih berespon terhadap terapi imunosupresif.

Reaksi imunitas yang terlibat dalam terjadinya vitiligo meliputi reaksi imunitas

humoral, seluler, dan melalui sitokin (Alikhan dkk., 2011; Allam dan Riad, 2013).
10

1. Peran imunitas humoral

Antibodi pada serum pasien vitiligo dikelompokkan sebagai antibodi terhadap

antigen sel pigmen permukaan, antigen sel pigmen intraseluler, dan antigen sel

nonpigmen (antigen jaringan pada umumnya). Antigen yang paling sering

ditemukan adalah VIT 40/75/90 kDa yang terdapat pada 83% pasien vitiligo,

namun hanya VIT 90 yang ditemukan secara spesifik pada sel pigmen. Tirosinase

dan tyrosinase-related proteins 1 dan 2 (TRP-1 dan TRP-2) merupakan enzim

kunci dalam sintesis melanin yang terletak di dalam melanosom. Presentase

pasien vitiligo yang memiliki antibodi tersebut didapatkan bervariasi, sehingga

peran antibodi tersebut masih belum diketahui secara pasti. Antibodi terhadap

SOX9 dan SOX10 yang merupakan faktor transkripsi yang terlibat dalam

diferensiasi sel yang berasal dari krista neural, didapatkan terdeteksi pada pasien

vitiligo yang tidak menderita penyakit konkomitan lainnya. Terdapat korelasi

langsung antara kadar antibodi dan derajat aktivitas vitiligo (Alikhan dkk., 2011;

Dytoc dan Malhotra, 2011).

2. Peran imunitas seluler

Perubahan imunitas seluler juga didapatkan terjadi pada vitiligo. Sel T

epidermotropik pada lesi perilesional didapatkan mengalami peningkatan rasio

CD8/CD4 dan peningkatan skin-homing cutaneous lymphocyte antigen. Sel T

tersebut mengaktivasi molekul interleukin-2 (CD25), major histocompatibility

complex II (MHC II) terutama HLA-DA, dan sekresi interferon-gamma, yang

kemudian memicu migrasi sel T ke kulit. Darah tepi pasien vitiligo menunjukkan

banyak Melan-A specific CD8+ T cell dengan antigen limfosit kutaneus yang
11

jumlahnya berkorelasi dengan derajat penyakit (Alikhan dkk., 2011; Dytoc dan

Malhotra, 2011).

3. Peran sitokin

Sitokin memainkan peranan penting dalam patogenesis vitiligo. Pada pasien-

pasien dengan vitiligo, didapatkan abnormalitas sitokin yang meliputi

peningkatan kadar interleukin-6 (IL-6, merupakan inhibitor proliferasi

melanosit), interferon-γ (IFN-γ, merupakan inisiator terjadinya apoptosis), dan

tumor necrosis factor-α (TNF-α) (inhibitor proliferasi melanosit dan inisiator

apoptosis) pada kulit yang menderita vitiligo bila dibandingkan dengan kulit

normal. Selain itu, ekspresi granulocyte-monocyte colony stimulating factor

(GM-CSF), stem cell factor (SCF), dan basic fibroblastic growth factor (bFGF),

yang berfungsi menstimulasi sel pigmen, didapatkan mengalami penurunan pada

kulit yang menderita vitiligo bila dibandingkan dengan kulit perilesional dan

kulit normal. Pada pasien vitiligo juga didapatkan terjadi penurunan kadar

transforming growth factor (TGF)-β serum (Shajil dkk., 2006).

2.1.3.2 Teori biokimia

Teori ini menyatakan bahwa disregulasi jalur biopterin merupakan predisposisi

terjadinya sitotoksisitas melanosit dan vitiligo. Pteridin (6R)-L-erythro 5,6,7,8

tertrahydrobiopterin (6BH4) dan (7R)-L-erythro 5,6,7,8 tertrahydropterin (7BH4)

didapatkan meningkat pada vitiligo, 6BH4 merupakan kofaktor esensial fenilalanin

hidroksilase, enzim yang merubah fenilalanin dalam makanan menjadi tirosin.

Peningkatan 6BH4 akibat aktivitas enzim GTP cyclohydrolase I yang berlebihan

atau penurunan aktivitas enzim 4a-hidroxy BH4 dehydratase, mengakibatkan


12

perubahan jalur metabolik dan terjadi akumulasi produk tambahan berupa 7BH4

dan H2O2. Peningkatan 7BH4 menyebabkan inhibisi fenilalanin hidroksilase yang

berkontribusi terhadap peningkatan 6BH4. Senyawa 6BH4 diketahui bersifat

sitotoksik pada konsentrasi tinggi (Alikhan dkk., 2011; Dytoc dan Malhotra, 2011;).

2.1.3.4 Teori stres oksidatif

Kulit manusia merupakan pelindung tubuh terhadap lingkungan luar sehingga

terus menerus terpapar berbagai agen fisik, kimia, dan biologis yang dapat berupa

oksidan atau ROS. Reactive oxygen species memiliki kemampuan mendenaturasi

protein, merubah jalur apoptosis, merusak DNA nuklear dan mitokondrial, serta

memediasi pelepasan sitokin proinflamasi (Glassman, 2014).

Kulit yang menderita vitiligo baik pada lesi ataupun yang tidak terdapat lesi,

keduanya memiliki kadar enzim katalase yang rendah, yang berkaitan dengan kadar

H2O2 yang tinggi pada epidermis. Polimorfisme nukleotida tunggal pada gen

katalase dapat mengganggu pembentukan dan fungsi subunit enzim dan lebih sering

ditemukan pada pasien vitiligo. Reactive oxygen species dalam jumlah berlebih

dapat mengganggu proses biologis melalui mekanisme oksidatif, kelebihan H2O2

menyebabkan terjadinya kerusakan sel dan peristiwa ini telah didokumentasikan

terjadi pada vitiligo. Gangguan lipid dan protein dapat menginisiasi kegagalan

melanogenesis dan apoptosis melanosit, yang dapat mengeradikasi melanosit pada

kulit dan menyebabkan terjadinya depigmentasi (Allam dan Riad, 2013; Agriwal

dkk., 2014).

Stres oksidatif merupakan peristiwa patogenik yang mengakibatkan kematian

melanosit. Akumulasi H2O2 ditemukan pada epidermis pasien vitiligo aktif.


13

Ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan pada pasien vitiligo aktif juga telah

didokumentasikan (Dytoc dan Malhotra, 2011; Choi dkk., 2014).

2.1.4 Manifestasi klinis

Manifestasi klinis vitiligo yang paling sering dijumpai adalah makula atau

patch depigmentasi berwarna seperti susu atau putih yang dikelilingi oleh kulit

normal. Lesi vitiligo memiliki batas yang tegas dan berbentuk bulat, oval, ireguler,

atau linear. Lesi membesar secara sentrifugal dengan cepat maupun lambat. Makula

vitiligo memiliki diameter antara beberapa milimeter hingga beberapa sentimeter

dan sering kali ditemukan dalam ukuran yang bervariasi. Pada individu dengan kulit

putih, lesi dapat kurang jelas atau tidak terlihat tanpa menggunakan lampu Wood.

Pada individu dengan kulit gelap atau yang melakukan tanning, daerah kulit yang

menderita vitiligo akan terlihat lebih kontras dan kulit yang mengelilingi terlihat

lebih mencolok. Vitiligo umumnya bersifat asimptomatik, namun terkadang dapat

dikeluhkan rasa gatal pada lesi (Bierla dkk., 2012; Ezzedine dkk., 2015).

Terdapat pula beberapa lesi khas vitiligo seperti confetti-like macules, vitiligo

trikroma, dan vitiligo inflamasi, selain itu pada vitiligo dapat pula ditemukan adanya

fenomena Koebner. Confetti-like macules didefinisikan sebagai munculnya banyak

makula depigmentasi berukuran 1-5 mm yang membentuk kelompok, yang

ditemukan pada batas lesi yang sudah ada dan tidak mendominasi pada lokasi

folikuler atau perifolikuler. Vitiligo trikroma merupakan vitiligo dengan lesi yang

tampak putih, coklat muda, dan coklat tua secara bersamaan, dengan tiap warna

mewakili sebuah stadium progresivitas penyakit. Lesi vitiligo inflamasi berupa lesi
14

dengan batas yang eritema dan meninggi serta terkadang disertai dengan rasa gatal.

Pada pasien dengan vitiligo dapat dijumpai adanya fenomena Koebner atau

isometrik, yaitu terbentuknya lesi vitiligo di tempat terjadinya cedera fisik seperti

abrasi, lecet, atau luka pembedahan (Sosa dkk., 2015; Benzekri dan Gauthier, 2017).

Vitiligo umumnya dimulai pada daerah yang terpapar sinar matahari. Sunburn

derajat berat, kehamilan, trauma kulit, dan/atau stres emosional dapat mendahului

onset terjadinya vitiligo. Perkembangan penyakit ini bersifat progresif lambat

dengan ekspansi lesi yang telah ada secara sentrifugal atau dengan munculnya lesi

baru (Anstey, 2010; Alikhan dkk., 2011). Vitiligo dapat muncul di seluruh bagian

tubuh. Lokasi predileksi vitiligo umumnya terdapat pada bagian tubuh yang relatif

hiperpigmentasi, seperti wajah, bagian dorsal tangan, puting susu, aksila, umbilikus,

sakral, inguinal, dan daerah anogenital. Pada sebagian besar lokasi yang terlibat

tersebut terjadi trauma berulang, tekanan, ataupun friksi (Habid dan Raza, 2012).

Distribusi lesi umumnya simetris, meskipun terkadang dapat unilateral dan

memiliki pola dermatomal. Kehilangan pigmen dapat parsial ataupun komplit dan

batas lesi dapat berupa hiperpigmentasi. Gejala utama penyakit ini sebenarnya

adalah gangguan secara kosmetik. Repigmentasi spontan terjadi pada 10-20%

kasus, sebagian besar pada daerah-daerah yang terpapar sinar matahari.

Repigmentasi spontan umumnya ditemukan pada pasien usia lebih muda dan

biasanya kurang bermakna serta bersifat perifolikuler. Pada vitiligo dapat juga

ditemukan rambut yang berubah warna menjadi lebih putih atau abu-abu sebelum

waktunya dan uveitis. Insiden leukotrikia bervariasi dari 10-60%. Pemeriksaan


15

fundus okuler juga dapat memperlihatkan kelainan (Taieb dan Picardo, 2007;

Majid, 2010; Taieb dkk., 2010).

2.1.5 Klasifikasi klinis

Terdapat berbagai sistem klasifikasi vitiligo sehingga menimbulkan

terminologi yang membingungkan. Telaah oleh Vitiligo Global Issues Consensus

Conference (VGICC) tahun 2012 menyatakan bahwa klasifikasi vitiligo terdiri atas

tipe non-segmental, segmental, dan unclassifiable atau undetermined berdasarkan

gambaran klinis dan perjalanan alamiah penyakit, sebagai berikut (Bierla dkk.,

2012; Ezzedine dkk., 2012; Faria dkk., 2014):

1. Vitiligo non-segmental: merupakan kelompok vitiligo yang terdiri dari vitiligo

akrofasial, mukosal, generalisata, universalis, dan tipe campuran (mixed).

a. Vitiligo akrofasial: vitiligo yang melibatkan daerah wajah, kepala, tangan,

kaki, perioral, dan jari-jari tangan serta kaki.

b. Vitiligo mukosal: vitiligo yang ditemukan pada daerah mukosa oral dan

genital. Keterlibatan daerah mukosa dapat pula dijumpai pada pasien vitiligo

akrofasial, generalisata, atau universalis, dan bila melibatkan satu daerah

mukosa saja, maka diklasifikasikan sebagai vitiligo indeterminate.

c. Vitiligo generalisata atau common vitiligo: makula/patches ditemukan

simetris dan dapat melibatkan berbagai daerah kulit, terutama tangan, jari-

jari, wajah, dan daerah yang sebelumnya mengalami trauma.

d. Vitiligo universalis: merupakan bentuk vitiligo yang melibatkan daerah kulit

yang luas (80-90% luas permukaan tubuh), dan merupakan bentuk vitiligo
16

yang paling sering dijumpai pada orang dewasa. Umumnya vitiligo bentuk

ini berawal dari vitiligo generalisata.

e. Vitiligo campuran (mixed): merupakan vitiligo segmental dan non-segmental

yang ditemukan bersamaan.

2. Vitiligo segmental: dapat melibatkan satu, dua, atau beberapa segmen. Vitiligo

unisegmental merupakan bentuk yang paling sering ditemukan dan terdiri atas

satu atau lebih makula putih pada satu sisi tubuh, umumnya tidak melewati garis

tengah tubuh, terdapat pula keterlibatan rambut (leukotrikia), dan vitiligo tipe

ini memiliki onset yang cepat. Lebih jarang, vitiligo bentuk ini dapat melibatkan

dua atau lebih segmen dan dapat memiliki distribusi segmental bilateral.

3. Vitiligo unclassifiable atau undetermined

a. Vitiligo fokal: terdapat makula putih terisolasi tanpa distribusi yang

segmental. Bentuk ini dapat berevolusi menjadi bentuk segmental atau non-

segmental.

b. Vitiligo mukosal: bila vitiligo hanya melibatkan satu mukosa saja.

Tabel 2.1
Tabel klasifikasi vitiligo berdasarkan VGICC tahun 2012 (Ezzedine dkk., 2012)
Tipe Vitiligo Subtipe Vitiligo
Vitiligo non-segmental Akrofasial
Mukosal (melibatkan lebih dari satu mukosa)
Generalisata atau common
Universalis
Campuran (mixed)
Vitiligo segmental Unisegmental, bisegmental, atau multisegmental
Vitiligo unclassifiable Fokal
atau undetermined Mukosal (hanya melibatkan satu mukosa)
17

2.1.6 Diagnosis dan pemeriksaan penunjang

Diagnosis vitiligo pada umumnya ditegakkan berdasarkan gambaran klinis lesi

dengan mempertimbangkan distribusi, luas lesi, dan perjalanan alamiah penyakit

(Bierla dkk., 2012). Pemeriksaan lampu Wood menunjukkan gambaran lesi yang

lebih teraksentuasi atau lebih jelas dibandingkan kulit sekitar. Penggunaan lampu

Wood dinilai dapat membantu menegakkan diagnosis vitiligo terutama pada kasus-

kasus yang meragukan. Lesi klinis vitiligo dapat dibedakan menjadi dua tipe klinis

dengan menggunakan lampu Wood, yaitu lesi amelanotik dengan batas tegas dan

tipe lesi hipomelanotik dengan batas yang tidak tegas. Lampu Wood, fotografi, dan

mikroskop konfokal reflektans dapat digunakan untuk memonitor progresi lesi

(Alikhan dkk., 2011; Ezzedine dkk., 2012; Benzekri dan Gauthier, 2017).

Pemeriksaan laboratorium dilakukan terutama bila terdapat kaitan antara

vitiligo dengan penyakit-penyakit autoimun yang lain. Pemeriksaan laboratorium

yang dilakukan meliputi kadar T4 dan thyroid-stimulating hormone (TSH),

antinuclear antibodies, dan pemeriksaan darah lengkap. Pemeriksaan

antitiroglobulin dan antithyroid peroxidase antibodies dilakukan terutama bila

pasien memiliki tanda dan gejala penyakit tiroid (Bierla dkk., 2012).

Biopsi kulit sangat jarang diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis vitiligo

(Bierla dkk., 2012). Pemeriksaan histopatologis dapat membantu membedakan

vitiligo dengan lesi yang tidak khas atau meragukan. Pemeriksaan histopatologis

mendapatkan lesi vitiligo mengandung hanya sedikit infiltrat seluler dengan tidak

terdapat atau terdapat melanosit dalam jumlah yang sangat sedikit. Melanosit pada

tepi kulit yang menderita vitiligo tampak lebih besar, memiliki vakuola, dengan
18

tonjolan dendritik yang panjang yang berisi granula melanin. Temuan

histopatologis lain meliputi sel infiltrat inflamasi monunuklear pada perivaskuler,

epidermis yang menipis, hilangnya dermoepidermal junction, dan degenerasi

kelenjar keringat, kelenjar sebasea, dan folikel rambut (Alikhan dkk., 2011; Ortonne

dan Passeron, 2012).

2.1.7 Penilaian derajat keparahan dan aktivitas vitiligo

Penilaian derajat keparahan vitiligo pada praktik-praktik klinis umumnya

berdasarkan penilaian visual oleh dokter dan/atau analisis fotografi sebelum dan

sesudah dilakukannya terapi. Metode konvensional ini dinilai sangat subjektif,

sehingga dikembangkan metode yang lebih objektif untuk menilai lesi

depigmentasi. Terdapat beberapa sistem penilaian yang telah dikembangkan, antara

lain: Vitiligo European Task Force Assessment (VETFa), Potential Repigmentation

Index (PRI), dan Vitiligo Extent Tensity Index (VETI), Vitiligo Area Severity Index

(VASI), dan Vitiligo Disease Activity (VIDA). Skala penilaian yang paling sering

digunakan adalah VASI dan VIDA. Skala-skala tersebut memberikan penilaian

yang lebih akurat dibandingkan dengan penggunaan fotografi klinis saja

(Kawakami dan Hashimoto, 2011; Alghamdi dkk., 2012; Feily, 2014).

Vitiligo Area Scoring Index merupakan skala penilaian kuantitatif yang

dikembangkan oleh Hamzavi dkk. dan telah divalidasi tahun 2004. Skor VASI

bersama penggunaan lampu Wood dan rule of nine merupakan metode yang paling

baik yang tersedia untuk menilai lesi pigmentasi dan mengukur luas serta derajat

vitiligo baik secara klinis maupun dalam penelitian dan uji klinis (Alghamdi dkk.,
19

2012). Pada penilaian ini tubuh pasien dibagi menjadi lima bagian yaitu tangan,

ekstremitas atas (termasuk daerah aksila), badan, ekstremitas bawah (meliputi

daerah inguinal dan bokong), serta kaki. Presentasi keterlibatan vitiligo tiap daerah

tubuh dihitung menggunakan metode palmar (hand unit). Hand unit tersebut

merupakan daerah permukaan telapak tangan pasien sebagai panduan estimasi dan

mendefinisikan permukaan telapak tangan meliputi jari-jari pasien sebagai 1,0%

dari seluruh total luas permukaan tubuh. Tiap lokasi dievaluasi dengan penilaian

visual terhadap pola depigmentasi kulit menggunakan skala visual. Derajat

depigmentasi ditentukan berdasarkan gambaran lesi yang dinilai dengan skor 0,

10%, 25%, 50%, 75%, 90%, dan 100% (Tabel 2.2). Untuk setiap bagian tubuh skor

VASI ditentukan dengan menjumlahkan area vitiligo dalam hand units dan derajat

depigmentasi dalam setiap hand unit yang diperiksa dengan skor minimal 0 sampai

dengan skor maksimal 100 menggunakan rumus berikut (Hamzavi dkk., 2004;

Dicle, 2015)

VASI = Ʃ (semua bagian tubuh) Hands Unit x Depigmentasi

Tabel 2.2
Tabel skor VASI (Hamzavi dkk., 2004)
Derajat Depigmentasi Makna

100% tidak ada pigmen yang tampak


90% terdapat bercak pigmen yang tampak
75% area depigmentasi melebihi area pigmentasi
50% area yang mengalami depigmentasi dan yang
mengalami pigmentasi adalah sama banyak
25% area pigmentasi melebihi area depigmentasi
10% hanya terdapat bercak depigmentasi
0% tidak terdapat bercak depigmentasi
20

Gambar 2.1
Derajat depigmentasi dalam pengukuran skor VASI (Hamzavi dkk., 2004)

Skor VIDA menggunakan skala enam poin untuk menilai stabilitas dan

progresivitas vitiligo dari waktu ke waktu. Sistem ini digunakan untuk membantu

menilai efektivitas pengobatan dalam menghentikan dan mengembalikan area

depigmentasi. Skor ini menggunakan penilaian pasien sendiri mengenai bagaimana

perjalanan penyakitnya melalui teknik wawancara. Vitiligo aktif didefinisikan

sebagai meluasnya lesi vitiligo yang telah ada atau munculnya lesi baru. Skor VIDA

yang semakin rendah menunjukkan aktivitas penyakit yang semakin menurun (Bhor

dan Pande, 2006; Alghamdi dkk., 2012;).

Terdapat pula manifestasi klinis vitiligo yang khas juga berpengaruh terhadap

aktivitas vitiligo, seperti confetti-like macules. Confetti-like macules dilaporkan

didapatkan pada pasien-pasien vitiligo yang progresif dengan cepat. Pasien dengan

lesi confetti memiliki skor VIDA yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien

tanpa lesi confetti, yang mencerminkan bahwa lesi confetti merupakan marker

vitiligo yang tidak stabil dan progresif. Marker klinis aktivitas vitiligo yang lain

meliputi vitiligo trikroma dan fenomena Koebner yang dikenal pula sebagai
21

hipopigmentasi marginal, serta vitiligo inflamasi. Manifestasi klinis vitiligo yang

khas tersebut harus diikutsertakan dalam penilaian derajat aktivitas vitiligo (Sosa

dkk., 2015; Benzekri dan Gauthier, 2017).

Tabel 2.3
Tabel skor VIDA dalam skala 6 poin (Alghamdi dkk., 2012)
Aktivitas Vitiligo Skor VIDA

Aktif dalam 6 minggu terakhir +4


Aktif dalam 3 bulan terakhir +3
Aktif dalam 6 bulan terakhir +2
Aktif dalam 1 tahun terakhir +1
Stabil dalam minimal 1 tahun terakhir 0
Stabil dalam minimal 1 tahun terakhir, dan terjadi repigmentasi -1
spontan
Keterangan: Vitiligo aktif mencakup adanya perluasan lesi lama maupun
munculnya lesi baru.

2.1.8 Penatalaksanaan

Panduan klinis British Association of Dermatologist untuk diagnosis dan

penatalaksanaan vitiligo merekomendasikan penggunaan narrow band UVB

(NBUVB), takrolimus, dan kortikosteroid topikal (Ezzedine, 2015).

Terapi topikal merupakan terapi vitiligo lini pertama. Terapi topikal tersebut

terdiri atas kortikosteroid dan inhibitor kalsineurin. Direkomendasikan aplikasi

kortikosteroid topikal poten sekali sehari seperti betametason valerat 0,1% dan

klobetasol propionat 0.05%. Penggunaan inhibitor kalsineurin topikal seperti

pimekrolimus atau takrolismus terutama untuk daerah wajah dan leher merupakan

alternatif penggunaan kortikosteroid topikal. Aplikasi inhibitor kalsineurin topikal

dianjurkan dua kali sehari untuk 6 bulan (Felsten dkk., 2011; Ezzedine, 2015).
22

Tabel 2.4
Algoritma Terapi Vitiligo (Bilal dan Anwar, 2014)
Vitiligo Non-Segmental Vitiligo Segmental
Terapi Lini 1. Steroid topikal atau vitamin D3 Terapi sama dengan
Pertama analog topikal vitiligo non-
2. Menghindari faktor-faktor pemicu segmental, dapat
dan faktor-faktor yang menggunakan laser
memperberat neon helium untuk
3. Terapi NB-UVB bila BSA yang hasil yang lebih
terlibat > 20% baik

Alternatif 1. Inhibitor kalsineurin topikal Terapi pembedahan


2. Steroid sistemik jangka pendek dapat membantu
untuk kasus-kasus progresif
3. Kombinasi terapi sistemik dan
topikal, meliputi terapi UVB
Terapi Lini Kedua 1. NB-UVB dengan kalsineurin
topikal atau steroid topikal atau
2. Terapi PUVA

Alternatif 1. Steroid oral mini-pulse selama 3-4


bulan
2. Imunosupresan untuk kasus-kasus
rekalsitran
Terapi Lini Ketiga Laser excimer 308 nm

Alternatif Laser 308 nm dengan inhibitor


kalsineurin
Terapi Lini 1. Terapi pembedahan seperti blister
Keempat grafts, split skin graft, punch grafts
2. Teknik depigmentasi (hidrokuinon
monobenzil ether, 4-methoksifenol
atau laser Q-switched ruby) pada
kasus-kasus yang tidak berespon
atau pada penyakit yang luas (>
50%)
Rekomendasi umum
Kamuflase dan psikoterapi harus ditawarkan untuk semua stadium

Terapi vitiligo lini kedua terdiri atas fototerapi (NBUVB serta psoralen dan

UVA (PUVA)) dan terapi kortikosteroid sistemik. Fototerapi menggunakan

NBUVB (311 nm) memiliki efektifitas yang sama dengan PUVA, namun NBUVB
23

memiliki efek samping yang lebih sedikit (Felsten dkk., 2011; Ezzedine, 2015).

Efek imunomodulator terapi UVB bekerja pada epidermis dan dermis superfisial,

sedangkan terapi UVA bekerja pada komponen dermis bagian dalam, terutama

pembuluh darah. Terapi radiasi UVB diserap oleh kromofor endogen, seperti DNA.

Absorpsi fototerapi UVB oleh neukleotida menyebabkan terbentuknya fotoproduk

DNA dan menekan sintesis DNA dan menstimulasi sintesis prostaglandin dan

sitokin yang berperan penting dalam supresi sistem imun. Fototerapi UVB dapat

mempengaruhi target melekular ekstranuklear di sitoplasma dan membran sel.

Supresi imun, perubahan ekspesi sitokin dan berhentinya siklus sel berkontribusi

dalam supresi penyakit oleh fototerapi NBUVB (Bulat dkk., 2011).

Terapi UVB dapat digunakan secara selektif dan lokal dengan mengunakan alat

targeted phototherapy seperti lampu atau laser excimer dengan panjang gelombang

308 nm yang merupakan terapi lini ketiga. Betametason atau deksametason oral

dosis sedang minipulse selama 3-6 bulan dapat dipertimbangkan untuk diberikan

pada kasus-kasus vitiligo yang meluas dengan cepat untuk menghentikan progresi

penyakit (Felsten dkk., 2011; Ezzedine, 2015).

Terapi lini keempat terdiri atas teknik pembedahan graft dan terapi

depigmentasi. Metode pembedahan direkomendasikan sebagai pilihan terapi pada

pasien dengan vitiligo segmental dan non-segmental dengan perkembangan

penyakit yang stabil setidaknya selama satu tahun setelah didokumentasikan tidak

berespon terhadap intervensi medis dan tidak ditemukan adanya fenomena

Koebner. Teknik pembedahan yang disebutkan dalam panduan Eropa terdiri atas

graft jaringan (full-thickness punch, split-thickness, dan suction-blister grafts) dan


24

graft seluler (berupa cultured melanocyte cellular graft dan non-cultured epidermal

cellular graft). Metode skin-bleaching dapat dilakukan dengan menggunakan

monobenzon etil ester atau 4-metoksifenol, terapi laser seperti Q-switched

alexandrite 755 nm atau Q-switched ruby 694 nm, dan krioterapi (Taieb dkk., 2013;

Bilal dan Anwar 2014; Ezzedine, 2015;).

2.2 Stres Oksidatif

2.2.1 Stres oksidatif dan reactive oxygen species

Stres oksidatif terjadi akibat produksi oksidan yang berlebihan di dalam sel

dan/atau reduksi kapasitas antioksidan seluler yang dapat merusak lipid, asam

nukleat, dan protein, sehingga menyebabkan terjadinya mutagenesis atau kematian

sel (Denat, 2014). Stres oksidatif merupakan hasil produksi ROS yang berlebih atau

proses penghilangan ROS yang tidak adekuat (Kutlubay dkk., 2011).

Oksidan didefinisikan sebagai senyawa kimia yang memiliki kemampuan

menerima elektron. Oksidan secara umum merujuk pada ROS yang memiliki waktu

paruh hidup pendek dan bersifat sangat reaktif. Reactive oxygen species dapat

dikategorikan menjadi dua kelompok senyawa, yaitu: radikal dan non-radikal.

Senyawa radikal (radikal bebas) merupakan sebuah molekul yang memiliki sebuah

elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas dapat berupa O2-, nitrit oksida

(NO), hidroksil (OH-), peroksil (ROO), dan oksigen singlet (O2). Senyawa non-

radikal meliputi peroksinitrat (ONOO-), H2O2, peroksida organik (ROOH), asam

hipoklorus (HClO), aldehid, ozon (O3), dan oksigen (O2). Radikal bebas bersifat

sangat reaktif karena molekul-molekul tersebut merupakan molekul yang tidak


25

stabil akibat memiliki elektron yang tidak berpasangan (Glassman, 2011; Kutlubay

dkk., 2011).

Anion superoksida merupakan radikal bebas pertama yang terbentuk melalui

rantai transport elektron dalam mitokondria. Radikal hidroksil dan perhidroksil

dihasilkan secara langsung dari O2-. Hidrogen peroksida bersifat kurang reaktif bila

dibandingkan dengan radikal bebas yang lain, namun H2O2 merupakan oksidan

penting yang dapat menembus membran biologis dan menghasilkan radikal

hidroksil yang sangat reaktif melalui interaksi dengan ion metal transisi seperti Fe2+

dan Cu+ dalam reaksi Fenton. Hidrogen peroksida merupakan penanda ROS dan

terbentuk saat O2- mengalami reaksi dismutasi yang dikatalisasi oleh SOD. Radikal

hidroksil dapat dihasilkan pula melalui interaksi radikal O2- dan H2O2 dalam reaksi

Haber-Weiss. Radikal hidroksil merupakan radikal yang paling poten dan

berbahaya bagi sistem biologis dan mampu berinteraksi dengan semua makro

molekul seperti lipid, protein, dan asam nukleat (Glassman, 2011; Norri, 2012;

Madhavi dkk., 2014).

Reactive oxygen species dihasilkan dari berbagai proses biokimia dalam tubuh,

meliputi proses biologikal endogen dan faktor eksogen yang berasal dari lingkungan

seperti paparan kimia, polusi, atau radiasi (Valko dkk., 2007). Beberapa radikal

bebas dapat bereaksi secara lokal atau radikal bebas yang lain dapat mendonasikan

molekulnya ke molekul lain untuk mencapai keadaan yang lebih stabil. Reaksi

sebuah molekul ROS radikal dengan nonradikal menghasilkan sebuah rantai radikal

bebas dengan pembentukan radikal-radikal bebas baru, yang kemudian dapat

bereaksi dengan molekul-molekul lain. Reactive oxygen species memiliki afinitas


26

yang sangat tinggi terhadap berbagai komponen biologis seperti lipid, protein, dan

DNA (Yoshikawa dan Naito, 2002; Kutlubay dkk., 2011).

Gambar 2.2
Mekanisme molekuler pembentukan ROS, keterlibatan pertahanan antioksidan
dan dampak ROS terhadap makromolekul seluler (Milkovic dkk., 2014)

Pada tubuh yang sehat, molekul oksidan akan dibersihkan oleh sistem

antioksidan. Pertahanan tersebut dapat berupa mekanisme seluler, membran,

ataupun ekstraseluler. Pertahanan antioksidan seluler meliputi kelompok enzim

dismutase, peroksidase, dan katalase. Bila terjadi defisiensi pada sistem pertahanan

tersebut maka akan terjadi akumulasi ROS. Akumulasi ROS dapat mengakibatkan
27

terjadinya peroksidasi lipid, kerusakan DNA, peningkatan produksi sitokin

proinflamasi dan antimelanogenik, dan hilangnya fungsi enzim yang memegang

peranan penting dalam melanogenesis. Reaksi-reaksi tersebut akan menyebabkan

gangguan fungsi, mutasi genetik, kerusakan dan cedera jaringan. Stres oksidatif

berat dapat mengakibatkan kematian sel (Kutlubay dkk., 2011; Colucci dkk., 2015).

Reaksi oksidasi tersebut bervariasi sesuai dengan patogenesis penyakit klinis

dan melibatkan berbagai jalur. Contoh penting dari stres oksidatif adalah

peroksidasi lipid dan protein. Peroksidasi lipid merupakan proses yang penting

dalam terjadinya kematian melanosit pada vitiligo (Kutlubay dkk., 2011; Milkovic

dkk., 2014).

2.2.2 Kerusakan sel akibat stres oksidatif

Pada konsentrasi rendah hingga sedang, ROS berfungsi dalam proses fisiologis

sel, namun pada konsentrasi tinggi, ROS akan mengakibatkan modifikasi pada

komponen sel seperti lipid, DNA, dan protein. Konsekuensi stres oksidatif yang

utama seperti kerusakan lipid, DNA, dan protein tersebut pada akhirnya akan

menyebabkan kematian sel (Birben dkk., 2012).

2.2.2.1 Efek pada DNA

Reactive oxygen species dapat menyebabkan modifikasi DNA melalui

beberapa mekanisme yang melibatkan degradasi basa, pemecahan DNA rantai

tunggal atau ganda, modifikasi purin, pirimidin atau ikatan gula, delesi atau

translokasi, dan ikatan silang dengan protein (Birben dkk., 2012). Reactive oxygen

species memecah rantai DNA dan membentuk DNA adduct yang ditandai dengan
28

delesi, mutasi DNA dan menyebabkan efek genetik. Produk oksidasi DNA berupa

8-hidroksiguanin, hidroksil metil urea, urea, thimin, dan produk saturasi yang

merupakan basa yang teroksidasi, sintesis ribosa difosfat poliadenosin dalam

nukleus yang menghasilkan berkurangnya nicotinamide adenine

dinucleotide+hydrogen (NADH) seluler secara ekstensif. Penanda oksidatif yang

dapat diukur adalah 4-hidroksil, 2-deoksiguanosin yang merupakan penanda

terjadinya oksidasi DNA (Jain dkk., 2011; Noori, 2012).

2.2.2.2 Efek pada protein

Reactive oxygen species berinteraksi dengan molekul protein pada rantai

samping asam amino spesifik dan menimbulkan modifikasi pada struktur protein

yang kemudian menghasilkan fragmentasi rantai peptida, perubahan muatan

elektrik, akumulasi protein nitrat proksinitrit, yang pada akhirnya meningkatkan

proteolisis (Noori, 2012). Residu sistein dan metionin dalam protein bersifat rentan

terhadap oksidasi. Oksidasi kelompok sulfhidril atau residu metionin dapat

menyebabkan perubahan konformasional, protein unfolding, dan degradasi protein.

Enzim yang memiliki metal pada atau dekat dengan tempat aktifnya bersifat lebih

sensitif terhadap oksidasi. Modifikasi oksidatif enzim menyebabkan inhibisi

aktivitas enzim. Penanda terjadinya oksidasi protein adalah kelompok protein

karbonil (Dell’Anna dkk., 2001; Dammak dkk., 2006; Birben dkk., 2012).

2.2.2.3 Efek pada lipid

Stres oksidatif dapat mengakibatkan kerusakan pada makromolekul seluler

seperti DNA, protein, dan lipid. Di antara ketiga target ROS tersebut, peroksidasi

lipid bersifat lebih berbahaya karena produk-produk peroksidasi lipid dapat


29

menyebabkan pembentukan radikal bebas dengan cepat. Pemisahan atom hidrogen

dari PUFA pada membran fosfolipid akan memicu terjadinya peroksidasi lipid.

Reactive oxygen species menyerang fosfolipid hidroperoksidase dan asam lemak

hidroperoksidase secara langsung. Rantai karbon asam lemah terpecah secara

spontan selama proses peroksidasi lipid dan menghasilkan pentane, ethane, dan α,

β unsaturated fatty acids aldehydes yang besifat sangat toksik. Malondialdehid dan

4-HNE merupakan produk aldehid peroksidase lipid poten dari PUFA. Penanda

stres oksidatif produk aldehid sekunder yang diterima adalah MDA dan 4-HNE

(Briganti dan Picardo, 2002; Birben dkk., 2012; Noori, 2012).

2.2.3 Peroksidasi lipid

Kadar ROS yang tinggi dapat menimbulkan kerusakan langsung pada lipid.

Membran sel merupakan struktur yang sangat rentan terhadap oksidasi yang

disebabkan oleh ROS karena adanya asam lemak dalam konsentrasi yang tinggi

pada komponen lipid. Reactive oxygen species memicu terjadinya peroksidasi lipid

dan mengganggu pembentukan membran lipid bilayer yang dapat mengaktivasi

membrane-bound receptors dan enzim, serta meningkatkan permeabilitas

membran. Peroksidasi lipid didefinisikan sebagai proses yang melibatkan oksidan

seperti radikal bebas dan spesies nonradikal yang bereaksi dengan lipid yang

mengandung ikatan karbon-karbon ganda, terutama PUFA (Dammak dkk., 2009;

Ayala dkk., 2014; Bhattacharya, 2015).

Proses peroksidasi lipid keseluruhan terdiri atas tiga tahapan, yaitu inisiasi,

propagasi, dan terminasi. Pada tahapan inisiasi peroksidasi lipid, prooksidan seperti

radikal hidroksil memisahkan hidrogen alilik dan membentuk radikal lipid dengan
30

karbon di bagian tengahnya (L-). Pada fase propagasi, radikal lipid (L-) bereaksi

dengan oksigen dan membentuk radikal peroksi lipid (LOO-) dan memisahkan

hidrogen dari molekul lipid lain dan membentuk L- yang baru (yang melanjutkan

reaksi rantai) dan lipid hidroperoksida (LOOH). Pada reaksi terminasi, antioksidan

seperti vitamin E mendonasikan sebuah atom hidrogen ke spesies LOO- dan

membentuk radikal vitamin E yang bereaksi dengan LOO- forming nonradical

products. Bila peroksidasi lipid terinisiasi, maka propagasi reaksi rantai akan terus

berlangsung hingga terminasi produk terjadi (Khan dkk., 2009; Ayala dkk., 2014).

Gambar 2.3
Tahapan proses peroksidasi lipid (Burham, 2008)

Peroksidasi lipid merupakan manifestasi utama dari stres oksidatif dan

menghasilkan berbagai macam produk oksidasi. Produk primer utama peroksidasi

lipid adalah lipid hiperperoksidase (LOOK). Terdapat berbagai aldehid yang dapat

terbentuk sebagai produk sekunder selama proses peroksidasi lipid, seperti MDA,

propanal, heksanal, dan 4-HNE. Produk peroksidasi lipid seperti MDA dan aldehid
31

yang tidak tersaturasi mampu menginaktivasi berbagai protein seluler dengan

membentuk protein cross-linkages, sedangkan 4-HNE dapat menyebabkan deplesi

glutathione (GSH) intraseluler, menginduksi produksi peroksidase, mengaktivasi

reseptor growth factor epidermal, dan menginduksi bronektin (Ayala dkk., 2014)

Sebagai respon terhadap peroksidasi membran lipid dan berdasarkan metabolik

seluler spesifik dan kapasitas perbaikannya, dapat terjadi cell survival atau

sebaliknya memicu terjadinya apoptosis. Bila tingkat peroksidasi lipid rendah

(kondisi subtoksik), maka sel menstimulasi mekanisme survival melalui sistem

pertahanan antioksidan utama atau aktivasi signaling pathways dengan terjadinya

upregulasi protein antioksidan yang pada akhirnya menghasilkan respon stres

adaptif. Sebaliknya, bila tingkat peroksidasi lipid menengah atau tinggi (kondisi

toksik), kerusakan oksidatif melebihi kapasitas perbaikannya, sehingga memicu

apoptosis sel atau necrosis programmed cell death. Kedua proses tersebut

menyebabkan terjadinya kerusakan sel molekuler yang kemudian memfasilitasi

pembentukan berbagai kondisi patologis (Koca dkk., 2004; Ladda dkk., 2013;

Ayala dkk., 2014).

2.2.4 Malondialdehid sebagai biomarker stres oksidatif

World Health Organization (WHO) mendefinisikan biomarker sebagai suatu

substansi, struktur, atau proses yang dapat diukur secara objektif dari tubuh atau

produknya dan mempengaruhi atau memprediksi terjadinya penyakit atau hasil dari

penyakit. Biomarker stes oksidatif harus dapat diukur dan memenuhi kriteria

sebagai berikut: memiliki spesifisitas untuk penyakit tertentu sehingga dapat


32

digunakan sebagai alat diagnostik, memiliki nilai prognostik, dan berkorelasi

dengan aktivitas penyakit. Agar dapat berguna secara klinis, sebuah biomarker

harus bersifat stabil, terdapat dalam jaringan yang mudah diakses, dan

pengukurannya bersifat cost-effective bila digunakan dalam skala besar (Frijhoff,

2015).

Pengukuran ROS secara langsung cukup sulit karena ROS bersifat sangat

reaktif dan memiliki waktu paruh yang singkat. Pengukuran stres oksidatif

umumnya dilakukan dengan cara menilai metabolit yang bersifat stabil atau produk

oksidasinya seperti produk akhir dari peroksidasi lipid. Biomarker peroksidasi lipid

merupakan hasil kerja radikal bebas yang diketahui paling awal dan paling mudah

pengukurannya, karena itulah reaksi ini paling sering dikerjakan dalam rangka

mempelajari stres oksidatif (Morroco dkk., 2007; Palmieri dan Sblendorio, 2007).

Terdapat beberapa biomarker peroksidasi lipid yang dapat diukur dan dikenal secara

meliputi: MDA, conjugated dienes, gas ethane dan pentane, isoprostan, dan 4-HNE

(Grotto dkk., 2009).

Malondialdehid dibentuk sebagai bahan dikarbonil (C3H4O2) dengan berat

molekul rendah (berat formula = 72,07), rantai pendek, dan bersifat volatil asam

lemah (pKa =4,46). Malondialdehid merupakan produk akhir yang dibentuk dari

dekomposisi asam arakidonat dan PUFA melalui proses enzimatik ataupun non-

enzimatik. Aldehid ini dapat ditemukan pada jaringan kulit dan hampir di seluruh

cairan biologis, termasuk pada serum, plasma, urin, cairan persendian, cairan

bronkoalveolar, cairan empedu, cairan getah bening, cairan amnion, cairan

perikardial dan cairan seminal, namun serum, plasma dan urin merupakan sampel
33

yang paling umum digunakan karena paling mudah didapatkan dan paling tidak

invasif (Briganti dan Picardo, 2002; Grotto dkk., 2009; Ayala dkk., 2014.)

Gambar 2.4
Struktur kimia MDA (Ayala dkk., 2014)

Malondialdehid merupakan merupakan salah satu dari banyak ROS yang

menyebabkan stres toksik pada sel, dan membentuk produk protein kovalen yang

dikenal dengan sebutan advance lipoxidation end products (ALE) (Block dkk.,

2002; Ayala dkk., 2014). Malondialdehid merupakan produk utama untuk

mengevaluasi terjadinya peroksidasi lipid yang dapat digunakan sebagai marker

terjadinya cedera membran sel. Malondialdehid sejauh ini merupakan indikator

kerusakan oksidatif pada sel dan jaringan yang paling dikenal. Malondialdehid

merupakan marker yang paling populer dan terpercaya karena dapat menentukan

stres oksidatif pada situasi klinis dan karena MDA bersifat sangat toksik, sehingga

molekul ini sangat relevan digunakan dalam komunitas penelitian biomedik (Ayala

dkk., 2014; Khan dan Reddy, 2016).

Malondialdehid sangat sesuai sebagai biomarker untuk stres oksidatif karena

beberapa alasan, yaitu: pembentukan MDA meningkat sesuai dengan stres

oksidatif, kadarnya dapat diukur secara akurat dengan pelbagai metode yang telah

tersedia, bersifat stabil dalam sampel cairan tubuh yang diisolasi, pengukurannya

tidak dipengaruhi oleh variasi diurnal dan tidak dipengaruhi oleh kandungan lemak

dalam diet, merupakan produk spesifik dari peroksidasi lipid, terdapat dalam jumlah
34

yang dapat dideteksi pada semua jaringan tubuh dan cairan biologis, sehingga

memungkinkan untuk menentukan referensi interval (Frijhoof dkk., 2015; Khan dan

Reddy, 2016).

2.3 Stres Oksidatif pada Vitiligo

2.3.1 Patogenesis stres oksidatif pada vitiligo

Stres oksidatif merupakan salah satu peristiwa patogenik yang mengakibatkan

degenerasi melanosit. Teori stres oksidatif pada vitiligo menyatakan bahwa stres

oksidatif merupakan penyebab terjadinya vitiligo dan pasien vitiligo memiliki

ketidakseimbangan redoks pada kulit yang menimbulkan produksi ROS yang

berlebihan. Akumulasi ROS mengakibatkan efek toksik pada komponen sel seperti

DNA, protein, dan lipid yang menimbulkan kematian melanin dan mengakibatkan

munculnya makula depigmentasi pada vitiligo (Ladda dkk., 2013).

Onset terjadinya vitiligo dapat dicetuskan oleh berbagai pemicu seperti

sunburn dan paparan bahan kimia fenolik, namun pada sebagian besar kasus, faktor

pemicu terjadinya vitiligo tidak diketahui. Faktor-faktor pemicu tersebut dinilai

menginduksi terjadinya stres oksidatif pada melanosit. Akumulasi stres oksidatif

tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan DNA serta peroksidasi protein dan

lipid. Hidrogen peroksida juga berfungsi sebagai inhibitor tirosinase, atau dengan

keberadaaan H2O2 maka substrat dihidroksifenilalanin (DOPA) dapat membentuk

kompleks sekunder yang dapat berikatan dengan tirosinase dan kemudian

menghambat tirosinase. Peningkatan kadar ROS dalam melanogenesis juga dapat

menyebabkan terjadinya apoptosis (Ladda dkk., 2013; Manga dkk., 2016).


35

Kadar enzim katalase yang merupakan sebuah enzim antioksidan yang

mengkatalisasi perubahan H2O2 menjadi air, oksidan, dan agen antioksidan lain

seperti glutathione peroxidase (GPx), glukosa-6-fosfat dehidrogenase, SOD, dan

vitamin C serta E, dideteksi pada epidermis dan serum pasien vitiligo, yang

membuktikan kerusakan sistem redoks sistemik pada vitiligo. Mitokondria

merupakan sumber ROS endogen yang paling penting, namun mitokondria juga

merupakan target kerusakan yang dimediasi ROS. Reactive oxygen species dapat

menyebabkan disfungsi mitokondria, penurunan efisiensi mitokondria, dan

menghasilkan lebih banyak ROS melalui lingkaran setan ketidakseimbangan

oksidan (Ladda dkk., 2013; Colluci dkk., 2015).

Semua faktor tersebut kemudian mengakibatkan peningkatan kadar H2O2 lokal

dan sistemik yang mampu merubah homeostasis kalsium, mengganggu uptake L-

fenilalanin, yang merupakan prekursor enzim tirosinase pada melanosit. Berbagai

penelitian telah menunjukkan bukti terjadinya stres oksidatif pada epidermis pasien

dengan vitiligo dengan ditemukannya H2O2 dalam jumlah masif (10-3 mM). Dalam

konsentrasi yang rendah (10-6 mM), H2O2 memiliki peranan dalam signaling dan

transkipsi sel, sedangkan dalam konsentrasi tinggi H2O2 memiliki efek yang

membahayakan. Reactive oxygen species mampu mengoksidasi dan menginhibisi

aktivitas propiomelanocortin-derived bioactive peptides ACTH dan α-MSH yang

memiliki peranan penting dalam memelihara proses melanogenesis yang efisien,

karena pelepasan hormon-hormon tersebut akan mengaktifkan kaskade sinyal

intraseluler yang menyebabkan upregulation enzim kunci untuk sintesis melanin,


36

seperti tirosinase dan tyrosinase-related proteins TRP-1 dan TRP-2 (atau

dopachrome tautomerase, DCT) (Glassman, 2011; Jain dkk., 2011).

Gambar 2.5
Terjadinya kematian sel akibat ROS pada vitiligo (Colluci, 2015)

2.3.2 Peranan malondialdehid pada vitiligo

Akumulasi ROS juga dapat memicu terjadinya peroksidasi lipid, kerusakan

DNA dan peningkatan produksi sitokin proinflamasi dan antimelanogenik, dan

hilangnya fungsi enzim yang berperan dalam melanogenesis. Efek akumulasi H2O2

yang paling berbahaya dapat diamati pada melanosit yang diambil dari kulit

perilesional yang mencerminkan peranan penting H2O2 dalam menginisiasi

terjadinya proses depigmentasi (Glassman, 2014; Colluci dkk., 2015).


37

Gambar 2.6
Pembentukan dan Metabolisme MDA.
Malondialdehid dapat dibentuk secara in vivo melalui dekomposisi asam arakidonat
(AA) dan PUFA yang merupakan produk sampingan proses enzimatik selama
biosintesis TXA2 dan 12-l-hydroxy-5,8,10-heptadecatrienoic acid (HHT) (jalur
biru), atau melalui proses nonenzimatik yang menghasilkan endoperoksidase
selama proses peroksidasi lipid (jalur merah). Malondialdehid yang terbentuk dapat
dimetabolisme secara enzimatik (jalur hijau). Enzim kunci yang terlibat dalam
pembentukan dan metabolisme MDA antara lain: siklooksigenase, prostasiklin
hidroperoksidase, tromboksan sintase, aldehid dehidrogenase, dekarboksilase,
asetil CoA sintase, dan siklus asam trikarboksilik (Ayala, 2014)

Faktor lingkungan seperti radiasi ultraviolet, toksin, dan stres memicu

terbentuknya ROS yang kemudian menyebabkan terjadinya stres oksidatif (Singh

dkk., 2016). Melanosit secara intrinsik juga terpapar oleh stres oksidatif.

Sebagaimana diketahui bahwa melanogenesis berkaitan dengan terbentuknya

sejumlah O2- dan H2O2. Tirosinase merupakan enzim yang mengkatalase oksidasi
38

tirosin menjadi DOPA yang kemudian diubah menjadi dopaquinone, dan konversi

tersebut juga berkaitan dengan terbentuknya O2-. Sebagai tambahan, konversi

dopaquinone menjadi dopachrome menghasilkan beberapa intermediet reaktif

seperti dihydroxyindole (5,6-DHI) dan dihydroxyindole carboxylic acid (5,6-

DHICA). Untuk mengatasi serangan oksidatif tersebut, melanosit memiliki

mekanisme perlindungan terhadap radikal bebas yang meliputi GSH, GPx, alfa-

tokoferol, asam askorbik, glutathion reduktase, Glutathione S-transferase (GTS),

SOD, catalase (CAT), dan quinone reductase. Bila terjadi aktivitas pro-oksidan,

maka TRP2 atau DCT akan memperkuat kapasitas antioksidan melanosit. Maka

dari itu, melanin dapat berfungsi sebagai pisau bermata dua, pada satu sisi melanin

berfungsi untuk menyerap sinar UV yang berbahaya, sementara pada satu sisi yang

lain terbentuknya ROS merupakan komponen dari melanogenesis (Denat dkk.,

2014; Mitra dkk., 2017).

Kerusakan oksidatif fosfolipid PUFA terjadi akibat peroksidasi lipid dan

merupakan salah satu tanda terjadinya stres oksidatif. Reactive oxygen species

memicu terjadinya peroksidasi lipid dan mengganggu pembentukan membran lipid

bilayer yang dapat mengaktivasi membrane-bound receptors dan enzim serta

meningkatkan permeabilitas membran. Bila tingkat peroksidasi lipid menengah

atau tinggi (kondisi toksik), kerusakan oksidatif akan melebihi kapasitas

perbaikannya, sehingga memicu apoptosis sel atau necrosis programmed cell death.

Produk peroksidasi lipid seperti MDA dan aldehid yang tidak tersaturasi mampu

menginaktivasi berbagai protein seluler dengan membentuk protein cross-linkages.

Malondialdehid merupakan produk akhir peroksidasi lipid dan peningkatan kadar


39

MDA telah didokumentasikan terjadi pada pasien-pasien dengan vitiligo (Noori,

2012; Glassman, 2014; Colluci dkk., 2015).

Malondialdehid menyebabkan terjadinya kerusakan membran, protein, atau

DNA yang bersifat sitotoksik, mutagenik, dan menimbulkan kematian sel.

Malondialdehid dapat bereaksi dengan deoksiguanosin dan deoksiadenosin pada

DNA dan membentuk substansi M1G yang mutagenik sehingga MDA merupakan

produk peroksidasi lipid yang paling mutagenik dibandingkan produk peroksidasi

lipid lainnya. Malondialdehid juga bersifat sitotoksik terhadap melanosit dan dapat

menginhibisi enzim tirosinase (Ayala dkk., 2014; El-Refaei dkk., 2014).

Gambar 2.7
Peran MDA dalam kematian melanosit (Colluci dkk., 2015)
40

2.3.3 Kadar malondialdehid pada vitiligo

Tingkat stres oksidatif dinilai melalui pengukuran kadar oksidan seperti

pengukuran nitrat atau nitrit yang merupakan produk stabil nitric oxide (NO),

pengukuran kadar antioksidan enzimatik seperti SOD, CAT, GSH, atau kadar

antioksidan non-enzimatik seperti vitamin A, C, dan E, serta melalui pengukuran

biomarker kerusakan akibat stres oksidatif seperti MDA (Block dkk., 2002; Dalle-

Donne, 2006).

Terdapat berbagai penelitian yang membahas mengenai kadar MDA sebagai

biomarker stres oksidatif pada pasien vitiligo. Beberapa peneliti melaporkan

terdapat peningkatan kadar marker oksidan seperti MDA (Jain dkk., 2011).

Ketidakseimbangan sistem oksidan dan antioksidan, meliputi akumulasi H2O2,

peningkatan kadar MDA, dan kadar katalase yang rendah telah dilaporkan

ditemukan pada epidermis dan darah pasien vitiligo (Haider, 2010).

Peroksidasi lipid diketahui memiliki peranan penting dalam munculnya lesi

depigmentasi pada kulit pasien dengan vitiligo. Peroksidasi lipid merupakan reaksi

primer yang melibatkan membrane-associated polyunsaturated fatty acids of

phospholipids, yang merupakan manifestasi utama stres oksidatif. Peroksidasi

membran lipid mengakibatkan terjadinya perubahan struktural dan fungsional

membran sel, dengan MDA merupakan marker terjadinya kerusakan lipid. Selain

itu, MDA dapat membentuk adducts dengan protein selular DNA yang kemudian

mengakibatkan terjadi kerusakan sel. Malondialdehid juga mampu mengakibatkan

kerusakan protein akibat terjadinya oksidasi asam amino. Perubahan ultrastruktural

akibat peroksidasi lipid ditemukan pada membran seluler melanosit pada kulit
41

pasien vitiligo baik pada lesi kulit maupun daerah perilesional. Semua hal tersebut

menyebabkan terjadinya peningkatan kadar MDA sistemik dalam darah, sehingga

peningkatan kadar MDA tidak hanya dapat terdeteksi pada kulit, namun juga dapat

terdeteksi pada darah pasien vitiligo (Dammak dkk., 2009; Mitra dkk., 2017).

Penelitian cross-sectional yang dilakukan oleh Amin dkk. (2016) mendapatkan

bahwa kadar MDA dan GSR plasma meningkat secara signifikan pada pasien

vitiligo dibandingkan dengan non-vitiligo. Pande dan Gupta (2017) melakukan

penelitian pada 40 orang subjek dan mendapatkan bahwa terjadi peningkatan kadar

MDA dan penurunan kadar GPx dan SOD darah pada pasien vitiligo, yang

mencerminkan terjadinya stres oksidatif pada pasien vitiligo. Dammak dkk. (2006)

memeriksa serum dari 36 pasien vitiligo (18 dengan vitiligo stabil dan 18 lainnya

dengan vitiligo aktif) dan 40 kontrol sehat untuk mengetahui marker status redoks

yang meliputi kadar MDA serum. Penelitian tersebut mendapatkan bahwa kadar

MDA serum meningkat baik pada vitiligo stabil dan aktif, namun semua marker

tersebut didapatkan lebih tinggi pada vitiligo aktif (Jain dkk., 2008; Kamel dkk.,

2010; Karsli dkk., 2014).

Penelitian oleh Yildrim dkk. (2003) dan Koca dkk. (2004) menemukan kadar

MDA serum yang tinggi pada pasien dengan vitiligo generalisata, sedangkan pada

penelitian Arican dan Kurutas tahun 2008 didapatkan peningkatan kadar MDA

serum yang tinggi pada pasien vitiligo lokalisata (Onunu dan Kubeyinje, 2003;

Shabaka dkk., 2007; Arican dan Kurutas, 2008). Khan dkk. (2009) juga menemukan

terjadinya peningkatan MDA dan penurunan kadar GPx dan agen antioksidan

nonenzimatik seperti vitamin C dan E pada serum pasien vitiligo. Pada penelitian
42

yang dilakukan Haider dkk. (2010), kadar MDA didapatkan secara signifikan lebih

tinggi dibandingkan dengan subjek kontrol (p < 0,05). Peningkatan MDA

mencerminkan terjadinya peningkatan peroksidasi lipid yang digolongkan sebagai

manifestasi stres oksidatif yang utama (Haider dkk., 2010).

Penelitian oleh Yildrim dkk. (2004) juga mendapatkan peningkatan kadar

SOD, MDA, dan GPx saat memeriksa jaringan pasien vitiligo. Dammak dkk. (2009)

menyatakan bahwa aktivitas vitiligo berkaitan dengan stres oksidatif pada tingkat

jaringan. Kadar MDA, SOD, dan GPx jaringan dari 10 pasien vitiligo stabil dan 10

pasien vitiligo aktif dibandingkan dengan 20 kontrol yang sehat. Secara

keseluruhan, kadar SOD, GPx, dan MDA jaringan didapatkan mengalami

peningkatan baik pada kelompok vitiligo stabil dan aktif, dengan peningkatan yang

lebih tinggi dijumpai pada kelompok vitiligo aktif.

Sebagian besar penelitian menunjukkan bukti terjadinya stres oksidatif pada

vitiligo terutama melalui peningkatan kadar MDA, namun beberapa penelitian

menemukan hasil yang bertentangan. Penelitian Shin dkk. (2010) pada 53 pasien

vitiligo dan 65 kontrol yang sehat mendapatkan bahwa tidak terdapat perbedaan

kadar MDA eritrosit yang signifikan pada pasien vitiligo terlepas dari aktivitas

penyakitnya, sedangkan kadar GSH eritrosit didapatkan mengalami penurunan pada

pasien dengan vitiligo. Hasil yang serupa didapatkan pada penelitian Picardo dkk.

(1994) dan Tastan dkk. (2003) yang mendapatkan kadar MDA serum yang normal

pada berbagai tipe vitiligo (Arican dan Kurutas, 2008; Shin dkk., 2010; Shi dkk.,

2017).

Anda mungkin juga menyukai