Anda di halaman 1dari 3

Cara kedokteran forensik untuk melakukan pembuktian terhadap sebab kematian

dapat dilakukan dengan prosedur autopsi dan Visum et Repertum. Autopsi merupakan
prosedur pemeriksaan terhadap tubuh mayat, baik pemeriksaan yang dilakukan pada bagian
luar maupun pemeriksaan bagian dalam yang bertujuan untuk menemukan bukti dari proses
penyakit dan kondisi yang dapat menyebabkan kematian. Jika ditemukan banyak kondisi
kelainan, maka dilakukan penentuan kondisi mana yang menyebabkan kematian, serta apakah
kelainan yang lain berkontribusi terhadap kematian tersebut(Apurhanto 2007)
Sebab kematian yang diakibatkan oleh perdarahan masif dapat disebabkan oleh
berbagai mekanisme dan cara kematian, yang salah satunya akibat tindak kekerasan.
Sehingga diperlukan pembuktian melalui Ilmu Kedokteran Forensik yang merupakan cabang
kedokteran yang juga berfungsi untuk penegakan hukum.( Budiyanto 1997)

Pendarahan Intrakranial dapat terjadi karena trauma maupun non trauma seperti penyakit
sistemik dan iatrogenik (Vakil and Singh, 2017). Pendarahan intrakranial yang terjadi karena
trauma dapat menyebabkan kerusakan primer dan sekunder (Dash and Chavali, 2018).
1. Kerusakan primer : adalah kerusakan otak yang terjadi langsung saat trauma
terjadi. Kerusakan primer dapat mengenai jaringan otak secara fokal dan sirkulasi
perdarahan otak (Dash and Chavali, 2018). Kerusakan fokal yang dapat terjadi
seperti kontusio dan laserasi (Kochanek et al., 2019). Kerusakan primer dapat pula
berupa pendarahan otak yaitu :
a. Pendarahan Epidural (EDH) : terjadinya penumpukan darah di ruang diatas
duramater. Pendarahan terjadi karena rupturnya arteri meningea media.
Pendarahan Epidural sering terjadi pada daerah frontal dan temporal (Dash
and Chavali, 2018).
b. Pendarahan Subdural (SDH) : Pendarahan yang terjadi di ruang diantara
duramater dan sub-arachnoid. Pendarahan ini terjadi akibat rupturnya
“Bridging Veins” (Dash and Chavali, 2018). SDH lebih sering terjadi dan
memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi di bandingkan dengan EDH
(Vakil and Singh, 2017).
c. Pendarahan Sub Arachnoid Traumatik (PSAT) : pendarahan yang terjadi di
ruang sub arachnoid. Perbedaan dengan PSA akibat aneurisma adalah PSAT
lebih sering terjadi bersamaan dengan cedera parenkim korteks yang lebih
superficial (Vakil and Singh, 2017).
d. Pendarahan Intracerebri Traumatik (PIT) : adalah pendarahan atau hematom
yang terjadi di parenkim otak, sehingga akan menimbulkan gambaran
hiperdens pada CT-Scan. Pada PIT kerusakan parenkim lebih sering terjadi
pada lobus frontal dan temporal serta sering terjadi bersamaan dengan
kerusakan primer lainnya seperti EDH dan SDH (Galgano et al., 2017).
2. Kerusakan Sekunder : Adalah kerusakan otak yang terjadi karena kerusakan
primer. Terdapat beberapa kerusakan yang dapat terjadi seperti Diffuse Ischemic
Damage dan Diffuse Brain Swelling (Galgano et al., 2017).

Cedera kepala mengacu pada luka yang mencakup struktur baik intrakranial dan
ekstrakranial, termasuk kulit kepala dan tengkorak. Kemajuan teknologi pencitraan medis
telah mengakibatkan kemajuan beberapa modalitas pencitraan baru untuk evaluasi cedera
kepala. Sementara kemajuan dalam pencitraan medis telah meningkatkan deteksi dini dan
informasi prognostik yang berguna. Pemilihan diagnostik yang tepat di antara berbagai teknik
pencitraan yang tersedia, diantaranya:
Konvensional radiografi (X-ray) Patah tulang tengkorak, bahkan tanpa gejala klinis,
merupakan penanda risiko independent untuk lesi intrakranial . Computed Tomography
Scanner (CT Scan) CT Scan penting dalam memperkirakan prognosa cedera kepala berat
(Alberico dkk, 1990 dalam Sastrodiningrat, 2009).

Apuranto, H. Luka akibat benda tajam. In: Apuranto H, Hoediyanto, editors. Buku ajar ilmu
kedokteran forensik dan medikolegal. Edisi ketiga. Surabaya: Bagian Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga; 2007.
Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Munim TWA, Sidhi, Hertian S, Dkk. Ilmu
kedokteran forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 1997
Dash, H. H. and Chavali, S. (2018). Management of traumatic brain injury patients. Korean
Journal of Anesthesiology, 71 (1), Korean Society of Anesthesiologists., pp.12–21. [Online].
Available at: doi:10.4097/kjae.2018.71.1.12 [Accessed 13 November 2020].
Galgano, M., Toshkezi, G., Qiu, X., Russell, T., Chin, L. and Zhao, L. R. (2017). Traumatic
brain injury: Current treatment strategies and future endeavors. Cell Transplantation, 26 (7),
SAGE Publications Ltd., pp.1118–1130. [Online]. Available at:
doi:10.1177/0963689717714102 [Accessed 13 November 2020].

Sastrodiningrat, A.G., 2007. Pemahaman Indikator-Indikator Dini dalam


Menentukan Prognosa Cedera Kepala Berat. Universitas Sumatera

Kochanek, P. M., Tasker, R. C., Carney, N., Totten, A. M., Adelson, P. D., Selden, N. R.,
Davis-O’Reilly, C., Hart, E. L., Bell, M. J., Bratton, S. L., et al. (2019). Guidelines for the
Management of Pediatric Severe Traumatic Brain Injury, Third Edition: Update of the Brain
Trauma Foundation Guidelines, Executive Summary. Clinical Neurosurgery, 84 (6), Oxford
University Press., pp.1169–1178. [Online]. Available at: doi:10.1093/neuros/nyz051
[Accessed 13 November 2020].
Vakil, M. T. and Singh, A. K. (2017). A review of penetrating brain trauma: epidemiology,
pathophysiology, imaging assessment, complications, and treatment. Emergency Radiology,
24 (3), Springer New York LLC., pp.301–309. [Online]. Available at: doi:10.1007/s10140-
016-1477-z [Accessed 13 November 2020].

Anda mungkin juga menyukai