Anda di halaman 1dari 7

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TERTANGGUNG

ATAS PENGGUNAAN JASA PENILAI KERUGIAN ASURANSI


(LOSS ADJUSTER) YANG TIDAK DIPERJANJIKAN DALAM
POLIS ASURANSI ”

Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian


Studi Sarjana pada Bagian Hukum Perdata
Program Studi Ilmu Hukum

OLEH :
RIKAL
NPM : B1A117044

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BENGKULU
2020
A. Latar Belakang Masalah

Manusia dalam menjalani kehidupannya di muka bumi senantiasa diikuti oleh risiko.

Secara sederhana, risiko dapat diartikan sebagai kemungkinan akan menderita kerugian

yang diakibatkan oleh peristiwa yang tidak diketahui kapan akan terjadi. Oleh sebab itu,

risiko hanya mengandung dua unsur, yaitu kerugian dan ketidakpastian.

Kahadiran risiko dalam kehidupan manusia pada dasarnya lahir secara otomatis. Hal

itu dikarenakan risiko merupakan konsekuensi manusia yang harus ditanggung akibat

tidak lagi bertempat tinggal di taman Firdaus, sebagaimana yang dikemukakan oleh

Emmy Pangaribuan Simanjuntak. Oleh sebab itu, manusia senantiasa mencari upaya

untuk mengatasi risiko yang mungkin timbul tersebut. Beberapa upaya yang dilakukan

oleh manusia antara lain dengan cara menerima risiko, menghindari risiko, ataupun

dengan cara mencegah agar peristiwa-peristiwa yang dapat menimbulkan risiko tersebut

tidak terjadi. Penerapan ketiga upaya tersebut pada dasarnya tidak membutuhkan

bantuan pihak lain.

Seiring berjalannya waktu, dimana perkembangan yang semakin pesat, risiko juga

senantiasa berkembang sehingga menyebabkan manusia tidak dapat lagi mengatasinya

sendiri. Oleh sebab itu, muncullah pemikiran bahwa cara untuk mengatasi risiko adalah

dengan mengalihkan atau membagi risiko tersebut kepada pihak lain yang disebut pihak

ketiga. Pengalihan dan pembagian risiko tersebut saat ini dilakukan dengan cara

asuransi.

Asuransi sebagai lembaga pengalihan dan pembagian risiko telah menjadi salah satu

jenis usaha dibidang jasa, yang dikenal dengan usaha perasuransian. Di Indonesia, usaha

perasuransian diatur dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang


Perasuransian (untuk selanjutnya UU Perasuransian).

Dalam undang-undang tersebut, yang dimaksud dengan usaha perasuransian adalah

segala usaha menyangkut jasa pertanggungan atau pengelolaan risiko, pertanggungan

ulang risiko, pemasaran dan distribusi produk asuransi atau produk asuransi syariah,

konsultasi dan keperantaraan asuransi, asuransi syariah, reasuransi, atau reasuransi

syariah, atau penilaian kerugian asuransi atau asuransi syariah. Adapun pelaksana dalam

usaha perasuransian tidak lain adalah perusahaan perasuransian.

Secara umum, perusahaan perasuransian dapat dibedakan menjadi dua, yaitu

perusahaan asuransi dan perusahaan penunjang asuransi. Perusahaan asuransi adalah

perusahaan yang melakukan usaha jasa keuangan yakni menghimpun dana masyarakat

melalui pengumpulan premi dan memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat

pemakai jasa asuransi tersebut, sedangkan perusahaan penunjang asuransi adalah

perusahaan yang melakukan usaha yang merupakan usaha jasa tertentu, yang dalam

pelaksanaan usahanya senantiasa berkaitan dengan usaha yang dilaksanakan perusahaan

asuransi. Dalam UU Perasuransian, perusahaan asuransi terdiri dari perusahaan asuransi,

perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi dan perusahaan reasuransi syariah,

sedangkan perusahaan penunjang asuransi terdiri dari perusahaan pialang asuransi,

perusahaan pialang reasuransi dan perusahaan penilai kerugian asuransi.

Salah satu perusahaan penunjang asuransi yang masih banyak tidak diketahui

oleh masyarakat umum adalah perusahaan penilai kerugian asuransi (loss adjuster).

Perusahaan penilai kerugian asuransi (loss adjuster) adalah perusahaan yang melakukan

usaha penilai kerugian asuransi. Berdasarkan Pasal 1 angka 13 UU Perasuransian, usaha


penilai kerugian asuransi adalah usaha jasa penilaian klaim dan/atau jasa konsultasi atas

objek asuransi.

Pada hakikatnya, kehadiran penilai kerugian asuransi bertujuan untuk menerapkan prinsip

keseimbangan (indemnitiet principle). Oleh sebab itu, penilai kerugian asuransi (loss

adjuster) senantiasa dituntut untuk memiliki sifat inpenden serta kredibilitas yang tinggi.

Akan tetapi, independensi serta kredibilitas dari penilai kerugian asuransi (loss adjuster)

seringkali diragukan oleh tertanggung. Hal itu dikarenakan penunjukan penilai

kerugian asuransi (loss adjuster) merupakan hak dari penanggung, sehingga

tertanggung beranggapan bahwa penilai kerugian asuransi (loss adjuster) berpihak pada

penanggung. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lilik Fadhilah

tentang kedudukan hukum perusahaan penilai kerugian asuransi dalam perjanjian asuransi,

penilai kerugian asuransi (loss adjuster) merupakan pihak ketiga dalam perjanjian asuransi

yang tidak menjadi bagian yang tertulis dalam polis asuransi, serta kehadirannya hanya ada

dalam proses penyelesaian klaim.

Permasalahan timbul ketika penanggung menolak pengajuan klaim tertanggung

atau yang biasa disebut dengan wanprestasi. Dalam kasus- kasus wanprestasi, seringkali

penanggung menyatakan bahwa tidak dilaksanakannya prestasi dikarenakan pihak

tertanggung memiliki itikad tidak baik. Wujud dari itikad tidak baik tersebut menurut

penanggung dapat dilihat pada saat mengajukan klaim, dimana besaran klaim yang

diajukan oleh tertanggung lebih besar dari hasil penilaian penilai kerugian asuransi (loss

adjuster). Padahal, hasil penilaian penilai kerugian asuransi (loss adjuster) bukanlah suatu

hal yang mutlak untuk dijadikan acuan, melainkan hanya bersifat rekomendasi.

Jika mencermati putusan-putusan kasus wanprestasi antara penanggung dengan


tertanggung yang melibatkan penilai kerugian asuransi (loss adjuster) dalam prosesnya,

hakim seringkali menjatuhkan putusan bahwa pemberian ganti rugi kepada tertanggung

didasarkan pada hasil penilaian penilai kerugian asuransi (loss adjuster). Misalnya,

dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1169 K/Pdt/2009, hakim menjatuhkan amar

putusan bahwa penetapan nilai penghitungan ganti rugi asuransi yang harus dibayar

tergugat yaitu penanggung kepada penggugat yaitu tertanggung adalah sebesar SGD

45,963.00, (empat puluh lima ribu sembilan ratus enam puluh tiga dolar Singapura).

Putusan tersebut menurut penulis telah sesuai dengan hukumnya, dikarenakan dalam

Pasal 13 ayat (1) Polis, ganti rugi dilakukan dengan menunjuk juru taksir (penilai) yang

punya keahlian di bidang asuransi.

Lain halnya dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1040/K/Pdt/2014, walapun

hakim menjatuhkan putusan bahwa besaran ganti rugi yang harus dibayar penanggung

adalah sesuai dengan hasil penilaian penilai kerugian asuransi (loss adjuster), tetapi

penggunaan jasa penilai kerugian asuransi (loss adjuster) tersebut tidak diperjanjikan

sebelumnya dalam polis. Penulis beranggapan demikian dikarenakan dalam putusan

tersebut, tergugat yaitu penanggung hanya berdasar pada Pasal 1 ayat (11) Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, dan bukanlah merujuk pada

klausul dalam polis sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1169

K/Pdt/2009.

Selain itu, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1040/K/Pdt/2014 tersebut,

penilai kerugian asuransi (loss adjuster) juga bukan merupakan pihak yang dapat

diikutkan sebagai pihak yang berperkara. Padahal, menurut penulis, jika besaran ganti

rugi didasarkan pada hasil penilaian penilai kerugian asuransi (loss adjuster), maka
penilai kerugian asuransi (loss adjuster) tersebut dapat pula dimasukkan sebagai salah

satu pihak yang berperkara dalam kasus tersebut.

Tidak diperjanjikannya penggunaan jasa penilai kerugian asuransi (loss adjuster)

dalam polis serta penunjukan yang merupakan hak dari penanggung, dapat menciptakan

posisi yang merugikan bagi tertanggung jika tidak ada perlindungan hukum yang

diberikan. Apalagi ditambah ketidaktahuan tertanggung terhadap adanya penilai

kerugian asuransi (loss adjuster) dalam proses pengajuan klaim dan pemberian ganti

rugi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah yang dapat

ditarik adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap tertanggung atas

penggunaan jasa penilai kerugian (loss adjuster) yang tidak diperjanjikan dalam

polis?

2. Sejauh manakah tanggung jawab penilai kerugian asuransi (loss adjuster)?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan dari penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap tertanggung atas

penggunaan jasa penilai kerugian (loss adjuster) yang tidak diperjanjikan dalam

polis;
2. Untuk mengetahui tanggung jawab penilai kerugian asuransi (loss adjuster).

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Diharapkan hasil penelitian dapat dijadikan bahan referensi dalam pengembangan

ilmu hukum khususnya dalam kajian hukum asuransi;

2. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan kepada semua pihak

termasuk perusahaan asuransi dan kalangan akademisi serta masyarakat yang

memiliki perhatian serius dalam bidang hukum khusunya hukum asuransi.

Anda mungkin juga menyukai