Anda di halaman 1dari 21

TUGAS PERPAJAKAN LANJUTAN

“ Perusahaan Asuransi Luar Negeri “

Oleh :
Kelompok 6
1. Karina Magris Arjuna (1810536029)
2. Rola Adris (1810536031)
3. Alifiany Mardhiah (1810536043)
4. Shabira Revinsky Putri (1810536054 )

S1 Intake Akuntansi
Fakultas Ekonomi
Universitas Andalas
Padang
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam rangka menyongsong perdagangan bebas baik di tingkat ASEAN pada tahun 2003
maupun Asia Pasifik pada tahun 2020, maka Indonesia perlu mempersiapkan diri agar tidak
ketinggalan dengan luar negeri, termasuk dalam peraturan perpajakan yang sesuai dengan kaidah
perpajakan internasional khususnya prinsip netralitas. Pemajakan atas premi asuransi oleh negara
sumber merupakan salah satu isu yang sering diperdebatkan dalam perpajakan
internasioanal.Untuk meningkatkan kepastian hukum bagi wajib pajak dan pihak pelaksana di
lapangan maka perlu adanya ketegasan dari Direktorat Jenderal Pajak selaku lembaga yang
berwenang.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Asuransi

Asuransi adalah suatu bentuk pengendalian risiko dimana satu pihak mengalihkan risiko
yang mungkin terjadi di masa depan kepada pihak lainnya, dalam hal ini perusahaan asuransi.

Istilah “Asuransi” berasal dari bahasa Inggris, yaitu “Insurance” yang artinya
pertanggungan.Sehingga ada juga yang mengatakan pengertian asuransi adalah suatu perjanjian
antara pihak tertanggung (nasabah) dengan penanggung (perusahaan asuransi) dimana
perusahaan asuransi bersedia mengganti kerugian yang mungkin dialami oleh nasabah di masa
mendatang.

Agar mendapat jaminan asuransi atas risiko yang mungkin terjadi, maka pihak tertanggung
harus membayar premi kepada perusahaan asuransi dalam jangka waktu tertentu.

Menurut UU No 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, Asuransi adalah perjanjian antara


dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan
premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk :

a. memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian,


kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak
ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa
yang tidak pasti; atau

b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran


yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan
dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.

Fungsi asuransi dapat digolongkan dalam 3 fungsi, yaitu primary function, subsidiary function
dan other related function
Primary function (fungsi primer)

 Risk Transfer

Asuransi adalah mekanisme pengalihan resiko, di mana perorangan atau badan


usaha dapat mengalihkan sesuatu yang tidak pasti kepada pihak lain, dengan sejumlah
premi yang relatif kecil dibandingkan dengan kemungkinan kerugian, ketidakpastian
kerugian itu diahlihkan kepada asuransi.

 Common Pool

Pada awal timbulnya marine insurance, para pedagang waktu itu bersepakat untuk
memberikan kontribusi terhadap kerugian (karena resiko laut) yang dialami oleh
seseorang di antara mereka. Praktek demikian tidak sepenuhnya mengalihkan resiko tetapi
hanya mengurangi resiko. Dalam perkembangannya kontribusi itu ditetapkan pada awal
sebelum timbul kerugian, sehingga masing-masing sudah bisa mengetahui pasti beban
kontribusi, yaitu membayar apa yang disebut premi. Premi tersebut diterima dan
dikumpulkan dalam suatu fund atau pool serta dikembangkan untuk menanggulangi klaim
yang terjadi.

 Equitable premiums

Dengan asumsi bahwa pengalihan resiko telah dilakukan melalui common pool,
fungsi utama yang ketiga adalah kontribusi yang harus dibayar oleh masing-masing
peserta harus fair. Tingkat resiko yang dialami oleh setiap peserta bisa berbeda, misalnya
untuk bangunan yang terbuat dari kayu memiliki tingkat resiko yang lebih tinggi
dibandingkan dengan bangunan dari batu. Pengemudi yang berumur 18 tahun lebih tinggi
resikonya dibandingkan dengan pengemudi yang berumur 50 tahun. Demikian juga nilai
barang yang dipertanggungkan tidak selalu sama. Perbedaan mengenai tingkat hazard dan
nilai itu akan membawa konsekuensi besarnya kontribusi (premi) yang dibebankan. Hal-
hal semacam ini yang sekarang menjadi dasar para underwriter dalam menetapkan tingkat
premi.
Subsidiary function (fungsi subsider)

 Stimulus to business enterprise

Fungsi sebagai pendorong usaha tergambar dalam kegiatan asuransi melakukan


investasi yang berasal dari dana asuransi. Selain itu dengan asuransi dapat memberikan
keberanian para investor untuk membangun usaha baru atau mengembangkan usahanya.

 Loss prevention

Tenaga surveyor asuransi banyak memperoleh pelatihan dan pengalaman dalam


melakukan identifikasi suatu resiko menjadikan dirinya memiliki kemampuan untuk
memberikan saran pencegahan kerugian. Fungsi sebagai loss prevention tergambar dalam
saran yang direkomendir oleh surveyor asuransi untuk melakukan hal-hal yang dapat
mencegah terjadinya kerugian. Surveyor asuransi pencurian dapat memberikan saran
adanya pemasangan alat detektor yang dapat mencegah atau menghambat pencuri.
Surveyor asuransi liability (liaiblity insurance) dapat memberikan saran dalam
pencegahan tuntutan publik akibat kondisi kerja atau produksi

 Loss control

Rekomendasi dari surveyor asuransi bukan saja terbatas pada pencegahan kerugian
tetapi juga memberikan rekomendasi cara untuk mengurangi kerugian. Saran memenuhi
persyaratan konstruksi bangunan, pemasangan sprinkler, alarm, merupakan upaya untuk
mengendalikan kerugian apabila resiko terjadi.
Surveyor tidak mungkin dapat mencegah pencuri masuk, tetapi surveyor dapat
menyarankan sesuatu yang dapat membatasi, mempersulit, menghambat, atau
memperlambat langkah pencuri.

 Manfaat social (social benefits)


Klaim yang dibayarkan oleh asuransi memungkinkan pengusaha dapat
membangun kembali pabrik/usahanya, sehingga dapat menghindari adanya pemutusan
hubungan kerja akibat pabrik terbakar. Kegiatan asuransi itu sendiri menciptakan
lapangan kerja. Melalui asuransi, dapat disediakan dana untuk mengatasi masalah sosial,
misalnya satuanan orang cacat, janda, yatim.

 Tabungan (savings)

Dalam produk asuransi jiwa khususnya endowment insurance menjamin


pembayaran baik meninggal atau hidup di akhir kontrak, pembayaran yang diterima
tertanggung pada akhir kontrak pada dasarnya merupakan akumulasi premi ditambah
dengan bunga.

Other related function

 Dana investasi (investment of funds)

Himpunan dana asuransi (premi) yang disediakan untuk membayar klaim,


merupakan sumber dana investasi yang menimbulkan kegiatan investasi dalam pasar uang
dan pasar modal.

 Pendapatan jasa (invisible earnings)

Transaksi asuransi dan reasuransi terjadi dalam jangkauan yang luas antar negara.
Suatu negara yang banyak menerima pendapatan premi dari negara lain merupakan
penghasilan negara yang bersangkutan dari perdagangan jasa.
Di Indonesia yang terjadi adalah sebaliknya. Perusahaan asuransi di Indonesia banyak
yang menempatkan reasuransi di luar negeri, sehingga neraca perdagangan kita defisit
karena pembayaran premi merupakan penerimaan bagi luar negeri dan pengeluaran bagi
Indonesia.
Sebabnya antara lain:

o lack of technology dan knowledge


o tidak adanya integritas pengusaha asuransi Perusahaan asuransi di Indonesia
membayar klaim dari hasil reasuransi di luar negeri sehingga fungsi perusahaan
asuransi hanya sebagai agen/broker saja.
o konsumen masih luar negeri minded (lack of nationalism), sehingga memilih
perusahaan asuransi luar negeri

Ada beberapa jenis asuransi seperti asuransi jiwa, asuransi kesehatan hingga asuransi
properti.Untuk lebih jelas mengenai jenis-jenis asuransi, ada baiknya kamu melihat pada
penjelasan dibawah berikut.

Asuransi jiwa

Asuransi Jiwa berbeda dari asuransi lain dalam arti bahwa, di sini, subjek asuransi adalah
kehidupan manusia. Perusahaan asuransi akan membayarkan jumlah asuransi yang tetap pada
saat kematian atau pada saat berakhirnya periode tertentu.

Saat ini, asuransi jiwa menikmati ruang lingkup maksimum karena kehidupan adalah
properti paling penting dari seorang individu. Asuransi ini memberikan perlindungan kepada
keluarga pada kematian dini atau memberikan jumlah yang cukup pada usia tua ketika kapasitas
penghasilan dikurangi. Di bawah asuransi pribadi, pembayaran dilakukan saat kecelakaan.

Asuransi tidak hanya perlindungan tetapi merupakan semacam investasi karena jumlah
tertentu dapat dikembalikan kepada tertanggung pada saat kematian atau berakhirnya suatu
periode.

Asuransi umum

Asuransi umum termasuk Asuransi Properti, Asuransi Kewajiban, dan Bentuk Asuransi
Lainnya.

Asuransi Kebakaran dan Laut secara ketat disebut Asuransi Properti.Motor, Pencurian,
Fidelity, dan Asuransi Mesin mencakup sejauh mana pertanggungjawaban asuransi sampai batas
tertentu.
Bentuk asuransi kewajiban yang paling ketat adalah asuransi kesetiaan, di mana perusahaan
asuransi mengkompensasikan kerugian kepada tertanggung ketika ia berada di bawah tanggung
jawab pembayaran kepada pihak ketiga.

Asuransi properti

Di bawah properti asuransi properti orang / orang diasuransikan terhadap risiko


tertentu.Risikonya mungkin kebakaran atau bahaya laut, pencurian harta benda atau barang-
barang yang merusak properti pada saat kecelakaan.

Asuransi kebakaran

Asuransi Kebakaran mencakup risiko kebakaran. Dengan tidak adanya asuransi kebakaran,
limbah api akan meningkat tidak hanya bagi individu tetapi juga bagi masyarakat.

Dengan bantuan asuransi kebakaran, kerugian yang timbul akibat kebakaran dikompensasi
dan masyarakat tidak kehilangan banyak. Individu lebih disukai dari kerugian seperti itu dan
properti atau bisnis atau industrinya akan tetap kira-kira pada posisi yang sama seperti sebelum
kerugian.

Asuransi kebakaran tidak hanya melindungi kerugian tetapi memberikan kerugian


konsekuensial tertentu juga risiko perang, gejolak, huru-hara, dll.Dapat diasuransikan di bawah
asuransi ini juga.

Asuransi Pribadi

Asuransi pribadi termasuk asuransi jiwa manusia yang mungkin menderita kerugian karena
kematian, kecelakaan, dan penyakit

Oleh karena itu, asuransi pribadi lebih lanjut diklasifikasikan ke dalam asuransi jiwa,
asuransi kecelakaan diri, dan asuransi kesehatan.

B. Dasar Hukum Perpajakan atas Asuransi Luar Negeri

1. UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian


2. Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
3. Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2008
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 624/KMK.04/1994 tanggal 27 Desember 1994
tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan berupa Premi Asuransi
dan Premi Reasuransi yang dibayar kepada perusahaan asuransi di Luar Negeri
5. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 9 Tahun 1994

C. Kategori Perusahaan Maupun Individu Wajib Pajak Luar Negeri

Individu maupun perusahaan dapat dikategorikan sebagai Wajib Pajak Luar Negeri atas
Pajak Penghasilan ditentukan berdasarkan Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2008 sebagai
berikut :

1. Individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal di Indonesia
tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan yang tidak didirikan
atau berada di Indonesia namun operasional usahanya melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.

2. Individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal di Indonesia
tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan yang tidak didirikan
atau berada di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia tidak menjalankan usaha melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia.

Berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah tentang kategori individu maupun
perusahaan yang menjadi Wajib Pajak Luar Negeri, khususnya perusahaan yang tidak didirikan
atau bukan berada di Indonesia namun melakukan kegiatan operasional di Indonesia akan
dikenai PPh Pasal 26. Dimana Kegiatan tersebut dapat berupa:

a. tempat kedudukan manajemen;


b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. gudang;
h. ruang untuk promosi dan penjualan;
i. pertambangan dan penggalian sumber alam;
j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan;
l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan
lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
o. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di
Indonesia; dan
p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan
oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui
internet.

D. Ketentuan Tarif PPh Pasal 26

Ketentuan untuk PPh Pasal 26 adalah tentang kebijakan tarif sebesar 20% atas jumlah
bruto pendapatan yang berasal dari

1. Dividen

2. Bunga, diskonto, premium, insentif yang berhubungan dengan jaminan pembayaran


pinjaman.

3. Royalti, sewa, serta pendapatan lain yang berhubungan dengan pemanfaatan aset

4. Insentif yang berhubungan dengan pekerjaan, jasa, dan aktivitas sejenisnya.

5. Hadiah dan penghargaan


6. Pensiun dan pembayaran berkala

7. Premi swap dan transaksi lindung lainnya

8. Perolehan keuntungan dari penghapusan utang

9. Selain pajak atas pendapatan atau omset, Wajib Pajak Luar Negeri yang dibebankan PPh
Pasal 26 juga dibebankan dengan kebijakan tarif pajak atas laba bersih. Tarif 20% final
dari keuntungan bersih tersebut dikenakan kepada Wajib Pajak dengan penghasilan
sebagai berikut.

 Pendapatan atas penjualan aset di Indonesia


 Premi asuransi, premi reasuransi baik yang dibayarkan secara langsung maupun melalui
pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri.

10. Ketetapan tarif 20 % menyesuaikan ketentuan sebagai berikut :

 Tarif 20% final atas laba bersih dapat berlaku atas penjualan atau pengalihan saham
perusahaan yang dibangun atau berada di negara yang memberikan perlindungan pajak,
termasuk kategori BUT di Indonesia.
 Tarif 20% yang dipungut atas penghasilan kena pajak setelah dikurangi dengan pajak
termasuk di dalamnya adalah BUT di Indonesia. Tidak berlaku untuk Wajib Pajak yang
penghasilan atas perusahaan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.
 Tax Treaty atau P3B antara Indonesia serta negara-negara lain yang berada dalam
perjanjian bisa saja berbeda satu sama lain. Tarifnya yang dimaksud tersebut dapat
mengurangi tingkat tarif biasa sebesar 20% dan beberapa memiliki kemungkinan tarif
0%.

Semua perusahaan yang memiliki aktivitas transaksi luar negeri merupakan bagian dari
Wajib Pajak yang dikenai pajak atas transaksi tersebut. Dalam Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26,
pemerintah mengatur kebijakan yang membahas mengenai pajak terkait dengan Wajib Pajak
Luar Negeri. Seluruh jenis Badan Usaha apapun di Indonesia yang melakukan kegiatan transaksi
seperti royalti, gaji, dividen, bunga, dan lain sebagainya, maka mereka merupakan Wajib Pajak
Luar Negeri yang dikenakan PPh Pasal 26 atas aktivitas transaksi luar negeri yang dilakukan.
Sehubungan dengan telah ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor:
624/KMK.04/1994 tanggal 27 Desember 1994 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26
atas Penghasilan berupa Premi Asuransi dan Premi Reasuransi yang dibayar kepada perusahaan
asuransi di Luar Negeri, dengan ini perlu diberikan penegasan sebagai berikut :

1. Berdasarkan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, atas pembayaran premi asuransi dan
premi reasuransi kepada perusahaan asuransi di luar negeri dikenakan pemotongan PPh
Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan netto. Kecuali jika
Wajib Pajak memanfaatkan tax threaty atau Persetujuan Penghindaran Berganda (P3B),
besar tarif pajak dapat berubah. Selain itu, pengecualian juga berlaku pada PPh yang
dibebankan atas penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri yang berasal dari Indonesia dengan
tidak diberlakukan untuk yang bukan Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Tentang
Wajib Pajak Luar Negeri, oleh pemerintah telah diatur mengenai siapa saja mereka yang
berstatus sebagai Wajib Pajak Luar Negeri.

2. Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 624/KMK.04/1994 tersebut perkiraan


penghasilan neto perusahaan asuransi luar negeri dihitung dari jumlah premi yang dibayar.
Besarnya perkiraan penghasilan neto perusahaan asuransi luar negeri serta tarif efektif PPh
Pasal 26 adalah sebagai berikut :

No Pembayar Premi di Perkiraan Penghasilan Neto dari Tarif efektif PPh Pasal 26 dari
Indonesia jumlah premi yang dibayar jumlah premi yang dibayar

1 Tertanggung 50% 10%

2 Perusahaan Asuransi 10% 2%

3 Perusahaan Reasuransi 5% 1%

Atas Premi Asuransi dan Premi Reasuransi yang dibayar kepada perusahaan asuransi di LN,
tarifnya 20% x Perkiraan Neto, dimana perkiraan neto :
1) Tertanggung, dalam hal dilakukan pembayaran premi yang dibayar tertanggung
kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui
pialang, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah premi yang dibayar

Sehingga tarif efektif : 20% x 50% = 10%.


Pemotong pajak adalah tertanggung.

2) Perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia, dalam hal pembayaran


premi dilakukan oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada
perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang,
sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah premi yang dibayar

Sehingga tarif efektif : 20% x 10% = 2%.


Pemotong Pajak adalah perusahaan asuransi di Indonesia

3) Perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia, dalam hal pembayaran


premi dilakukan oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada
perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang,
sebesar 5% (lima persen) dari jumlah premi yang dibayar

Sehingga tarif efektif : 20% x 5% = 1%.


Pemotong pajak adalah perusahaan reasuransi di Indonesia.

Pengenaan pajak ini disamping bertujuan untuk meningkatkan penerimaan


pemerintah dari pajak juga dimaksudkan untuk mengurangi konsumsi jasa asuransi
ke luar negeri. Apakah tujuan itu akan berhasil ?

Contoh :

a. Suatu perusahaan penyewaan gedung kantor, PT. A, mengasuransikan bangunan


bertingkat langsung ke perusahaan asuransi di luar negeri dengan membayar jumlah
premi selama tahun 1995 sebesar Rp. 1 milyar. Sesuai dengan Keputusan Menteri
Keuangan tersebut besarnya perkiraan penghasilan neto perusahaan asuransi luar negeri
adalah : 50% x Rp 1 milyar = Rp. 500.000.000,00.
Besarnya PPh Pasal 26 yang harus dipotong oleh PT. A selama tahun 1995 adalah : 20%
x Rp. 500.000.000,00 = Rp. 100.000.000,00 (10% x Rp. 1 milyar).

b. Jika PT. A mengasuransikan kepada perusahaan asuransi di dalam negeri, PT. B, dengan
membayar jumlah premi yang sama sebesar Rp. 1 milyar, dan kemudian PT. B
mereasuransikan sebagian polis asuransi tersebut kepada perusahaan asuransi luar negeri
dengan membayar premi sebesar Rp. 500 juta, maka besarnya perkiraan penghasilan
neto perusahaan asuransi di luar negeri adalah : 10% x Rp. 500 juta = Rp. 50.000.000,00
dan PPh Pasal 26 yang wajib dipotong oleh PT B adalah : 20% x Rp. 50 juta = Rp.
10.000.000,00 (2% x Rp. 500.000.000,00).

3. Pembayaran premi asuransi atau premi reasuransi dapat dilakukan oleh pembayar premi di
Indonesia secara langsung kepada perusahaan asuransi di luar negeri atau melalui pialang.
Pihak pembayar premi atau pemotong pajak di Indonesia wajib memotong PPh Pasal 26 atas
premi asuransi atau premi reasuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi atau
perusahaan reasuransi di luar negeri. Dengan demikian, yang dimaksud dengan pihak
pembayar premi atau pemotong PPh Pasal 26 adalah : a. Tertanggung yaitu pemegang polis
yang membayar premi asuransi kepada perusahaan asuransi di luar negeri; atau b.
Perusahaan asuransi di Indonesia yang mereasuransikan sebagian atau seluruh
tanggungannya kepada perusahaan asuransi di luar negeri; atau c. Perusahaan reasuransi di
Indonesia yang mereasuransikan kembali sebagian atau seluruh tanggungannya kepada
perusahaan asuransi di luar negeri.

4. Pada saat melakukan pemotongan PPh Pasal 26 pihak pembayar premi tersebut wajib
membuat Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana contoh terlampir
dalam rangkap 3 (tiga), yaitu lembar pertama diberikan kepada perusahaan asuransi di luar
negeri, lembar kedua untuk dikirimkan kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat, dan
lembar ketiga untuk arsip pemotong pajak.

5. Pemotong Pajak sebagaimana tersebut diatas wajib menyetorkan PPh Pasal 26 setiap bulan
kepada bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya tanggal 10 (sepuluh)
bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak.
6. Pemotong pajak wajib melaporkan pemotongan serta penyetoran PPh Pasal 26 yang telah
dilakukan selambat-lambatnya tanggal 20 (dua puluh) bulan takwim berikutnya setelah
bulan saat terutangnya pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh
Pasal 26 sebagaimana contoh terlampir dengan melampirkan : a. Daftar Bukti Pemotongan
PPh Pasal 26; b. Lembar kedua Bukti Pemotongan PPh Pasal 26; c. Lembar ketiga Surat
Setoran Pajak (SSP).

7. PPh Pasal 26 yang terutang atas pembayaran premi asuransi kepada perusahaan asuransi di
luar negeri yang dilakukan bulan Januari sampai dengan bulan April tahun 1995 wajib
disetorkan selambat-lambatnya tanggal 10 Mei 1995 dan dilaporkan selambat-lambatnya
tanggal 20 bulan Mei 1995.

8. Pemotong Pajak atas pembayaran premi kepada perusahaan asuransi di luar negeri yang
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran ini akan dikenakan
sanksi sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994.

E. Pemotong PPh Pasal 26

Berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (Undang-undang Pajak
Penghasilan 1984), pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 ayat (1) adalah :

 Badan Pemerintah

Tidak ada penjelasan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tentang arti Badan
Pemerintah ini.Namun demikian, tidak sulit untuk mengartikan bahwa yang dimaksud
dengan Badan Pemerintah adalah Pemerintah negara Republik Indonesia dan Pemerintah
Daerah di Indonesia beserta instansi-instansi di bawahnya.

 Subjek Pajak Badan dalam negeri

Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, subjek
pajak badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia. Istlah didirikan mengandung arti bahwa badan tersebut didirikan berdasarkan
ketentuan hukum di Indonesia. Sementara itu istilah bertempat kedudukan menunjukkan
bahwa badan tersebut memiliki efektif manajemen di Indonesia di mana pengambilan
keputusan-keputusan penting tentang badan tersebut dilakukan di Indonesia. Pengertian
badan sendiri berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984
adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan
usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah
dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya,
lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha
tetap

 Penyelenggara kegiatan

Penyelenggara kegiatan bisa berbentuk badan, orang pribadi atau kepanitiaan yang
melakukan suatu event atau kegiatan. Contoh penyelenggara kegiatan adalah orang pribadi
atau badan yang mengorganisir suatu acara seperti pertunjukkan, perlombaan, seminar dan
lain-lain.

 Bentuk Usaha Tetap (BUT)

BUT adalah bagian dari Subjek Pajak luar negeri yang melakukan kegiatan di Indonesia
sehingga menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia.Walaupun
termasuk Wajib Pajak luar negeri, pemenuhan hak dan kewajiban BUT disamakan dengan
pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam negeri. Pengertian BUT bisa kita
temukan dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu bentuk usaha yang
dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi
yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat
berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung
kantor, pabrik, bengkel dan lain-lain.
 Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya

Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di Indonesia juga
merupakan pemotong PPh Pasal 23. Contohnya adalah RepresentativeOffice (RO) dari
perusahaan-perusahaan asing.

F.

F. Pengecualian pengenaan PPh pasal 26

Dalam hal Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk
Usaha Tetap ditanamkan kembali di Indonesia, penghasilan dimaksud dikecualikan dari
pengenaan Pajak Penghasilan Pengecualian dari pengenaan Pajak Penghasilan diberikan apabila
seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha
Tetap ditanamkan kembali di Indonesia dalam bentuk :

1. Penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia
sebagai pendiri atau peserta pendiri;
2. Penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia
sebagai pemegang saham;
3. Pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan
usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia;
atau
4. Investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan
usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.

Contoh Kasus

PT ABC memiliki perwakilan di luar negeri dan mengasuransikan bangunan bertingkat


ke perusahaan asuransi di luar negeri dengan membayar jumlah premi pada tahun 1995 sebesar
Rp1 miliar. Dengan demikian, penghitungan PPh Pasal 26-nya adalah sebagai berikut :

Perkiraan penghasilan = 50% x Rp1.000.000.000 = Rp500.000.000,-


PPh Pasal 26 = 20% x Rp500.000.000 = Rp100.000.000 (10% x Rp1.000.000.000)

Sering kali untuk memudahkan proses, PT ABC bisa saja ikut asuransi melalui
perusahaan yang ada di Indonesia, misal PT XYZ, dengan membayar jumlah premi yang sama
sebesar Rp1 miliar. PT XYZ mengikutkan (reasuransi) perusahaan tersebut ke perusahaan
asuransi di luar negeri, misalnya PT KLM, dengan membayar premi sebesar Rp500 juta. Maka
ketentuan PPh Pasal 26-nya adalah:

Perkiraan penghasilan neto = 10% x Rp500.000.000 = Rp50.000.000

PPh Pasal 26 PT ABC = 20% x Rp50.000.000 = Rp10.000.000 (2% x Rp500.000.000)

Saat Terutang, Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 26

1. PPh pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan
terutangnya penghasilan, tergantung yang mana terjadi lebih dahulu.
2. Pemotong PPh pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh pasal 26 rangkap 3 :
 Lembar pertama untuk Wajib Pajak luar negeri;
 Lembar kedua untuk Kantor Pelayanan Pajak;
 Lembar ketiga untuk arsip Pemotong.
3. PPh pasal 26 wajib disetorkan ke bank Persepsi atau Kantor Pos dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak (SSP), paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah
bulan saat terutangnya pajak.
4. SPT Masa PPh Pasal 26, dengan dilampiri SSP lembar kedua, bukti pemotongan lembar
kedua dan daftar bukti pemotongan disampaikan ke KPP setempat paling lambat 20 hari
setelah Masa Pajak berakhir.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan undang-undang no 36 tahun 2008 perusahaan dapat di kategorikan sebagai


wajib pajak luar negeri. Dimana jika perusahaan tersebut tidak didirikan di Indonesia tapi
memiliki kegiatan operasionalnya yang berbentuk Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia atau
perusahaan yang tidak didirikan dan tidak berada di Indonesia tapi memiliki atau memperoleh
penghasilan yang berasal dari Indonesia. Intinya Semua perusahaan yang memiliki aktivitas
transaksi luar negeri merupakan bagian dari Wajib Pajak yang dikenai pajak atas transaksi
tersebut.

Contoh dari perusahaan yang memiliki aktivitas transaksi ini dikenakan PPh pasal 26
dimana tarif yang dikenakan merupakan tarif umum PPh pasal 26 yaitu 20% luar negeri di
Indonesia merupakan perusahaan asuransi luar negeri. Perusahaan ini dinyatakan sebagai wajib
pajak luar negeri dan perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA

https://staff.blog.ui.ac.id/martani/files/2013/02/PPh-26-SE-25-Tahun-1995-Pembayaran-Premi-
Asuransi.pdf

http://www.pajak.go.id/content/11512222-pph-pasal-26

http://lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-72312.pdf

https://bppk.kemenkeu.go.id/id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/12251-witholding-tax-atas-premi-
asuransi-ke-luar-negeri-apakah-efektif

Anda mungkin juga menyukai