Anda di halaman 1dari 15

SANKSI HUKUM KEJAHATAN ASURANSI YANG MELAKUKAN PERBUATAN

MELAWAN HUKUM ( ONRECHTMATIGE DAAD) DIHUBUNGKAN DENGAN


UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Asuransi

Dosen Pengampu : Ibu Prof. Dr. Dra. Hj. Faridatul Fauziah, S.H,. M. Hum.

Yang disusun oleh Kelompok 5 :

Zahra Ardhanie Praidno 1111200316

Amelia Fadillah 1111200317

M. Taqy Rouhillah 1111200321

M. Irham Triawan 1111200322

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah
melimpahkan rahmat dan berkah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas penulisan
makalah kelompok ini dengan baik dan tanpa kendala apapun.

Pada kesempatan ini, kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah
membantu sekaligus memberi dukungan dalam penyusunan makalah ini, terutama kepada
Prof. Dr. Dra. Hj. Faridatul Fauziah, S.H,. M.Hum. selaku dosen pengampu mata kuliah
Hukum Asuransi dan teman-teman seperjuangan.

Makalah berjudul “Sanksi Hukum Kejahatan Asuransi yang Melakukan Perbuatan


Melawan Hukum (onrechtmatige daad) dihubungkan dengan UU no.40 tahun 2014 tentang
Usaha Perasuransian.” ini disusun untuk memenuhi tugas Hukum Asuransi pada semester 6
ini.

Kami sebagai penulis memohon maaf bila masih terdapat kekurangan dalam
penyusunan makalah ini, baik secara materi maupun penyampaian dalam karya tulis ini.
Penulis juga menerima kritik serta saran dari pembaca agar dapat membuat makalah dengan
lebih baik di kesempatan berikutnya.

Penulis berharap makalah ini memberikan manfaat dan dampak besar sehingga dapat
menjadi inspirasi bagi pembaca dan juga mendapatkan informasi yang sebenar-benarnya.

Serang, 28 Maret 2023

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kejahatan Asuransi atau Insurance Fraud merupakan suatu tindak pidana
yang melanggar hukum terhadap perusahaan asuransi dengan tujuan guna
mendapatkan keuntungan finansial secara tidak sah dari penutupan suatu resiko.
Dewasa ini, kegiatan asuransi sudah menjadi salah satu bentuk kebutuhan penting
manusia. Tidak heran, jika akhir-akhir ini semakin marak ditemukannya usaha
asuransi. Sebenarnya, kecurangan di dunia industri asuransi merupakan hal yang
sudah berlangsung lama, bisa dikatakan pola kecurangan klaim sendiri berjalan
seiring dengan perkembangan industri asuransi.
Berpuluh tahun ke belakang, kejahatan asuransi hanya dilakukan oleh nasabah
itu sendiri tanpa adanya melibatkan pihak lain dan modusnya juga amat sangat
sederhana. Namun, sesuai dengan perkembangan zaman serta perkembangan
teknologi, kini kejahatan asuransi sudah bermacam-macam.
Di dalam ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2014
tentang Perasuransian dalam Bab XVI yang terdiri dari sepuluh pasal yaitu dimulai
dari Pasal 73 hingga Pasal 82 disebutkan bahwa perbuatan melawan hukum yang
termasuk ke dalam kategori kejahatan asuransi atau tindak pidana kejahatan dalam
kegiatan asuransi ialah menjalankan kegiatan usaha tanpa adanya izin usaha, dengan
sengaja memberikan laporan, informasi, data dan/atau dokumen yang tidak benar atau
palsu, dan/atau meyesatkan, melakukan penggelapan premi dan kekayaan asuransi
serta melakukan pemalsuan atas dokumen, dan kejahatan korporasi.1
Berdasarkan pengertian asuransi yang tertuang dalam Pasal 1 angka 1
Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, maka dapat diketahui hak
dan kewajiban dari para pihak yang terlibat dalam asuransi. Hak perusahaan asuransi
ialah menerima pembayaran premi oleh tertanggung sesuai dengan waktu yang telah
diatur dalam perjanjian dan besarnya juga telah ditetapkan dalam pengelolaan dana.
Sedangkan kewajiban dari perusahaan asuransi ialah memberikan penggantian kepada
tertanggung atau pemegang polis karena kerusakan, kerugian, biaya yang timbul,
kehilangan keuntungan atau kepada tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang
mungkin diderita oleh pemegang polis atau tertanggung.
1
Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian Pasal 73 – Pasal 82.
Pada umumnya, asuransi terbagi menjadi dua bagian yang besar. Yaitu
Asuransi kerugian serta Asuransi Jiwa yang kemudian dibagi lagi menjadi beberapa
jenis asuransi. Asuransi yang dibahas pada makalah ini ialah Asuransi Bumiputera
1912. Asuransi ini merupakan satu-satunya perusahaan asuransi yang berbentuk
mutual dan tertua yang ada di Indonesia. Problem mendasar permasalahan Asuransi
Bumiputera ialah adanya permasalahan terhadap likuidilitas pembayaran klaim jatuh
tempo nasabah. Berdasarkan informasi media, banyak sekali nasabah Bumiputera
1912 yang mengeluh karena adanya hambatan pada saat penyelesaian klaim jatuh
tempo. Dalam arti lain, sejak tahun 2010 Asuransi Bumiputera 1912 didera dengan
permasalahan menunggak pembayaran klaim para nasabah.
Hingga pada tahun 2017, dikabarkan bahwa Asuransi Bumiputera 1912
menanggung hutang atau potensi klaim para nasabah sebesar 30 Triliun sedangkan
Asuransi Bumiputera sendiri hanya memiliki aset sebesar 11,3 Triliun. Yang dimana
artinya hutang dan aset yang dimiliki sangatlah bertolak belakang. Permasalahan ini
berlanjut hingga tahun 2019 . Hingga 3 tahun setelahnya, kasus gagal bayar ini masih
belum dapat diselesaikan oleh para direksi yang berwenang.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat ditemukan 2 rumusan masalah, yaitu:
a. Bagaimana sanksi hukum terhadap perusahaan asuransi yang melakukan
kejahatan asuransi?
b. Bagaimana pertanggungjawaban perusahaan asuransi terhadap para nasabah
selaku pemegang polis?
C. Tujuan
Adapun tujuan daripada makalah ini ialah :
a. Mengetahui bagaimana sanksi hukum terhadap para kejahatan asuransi.
b. Mengetahui bagaimana pertanggungjawaban usaha Asuransi yang melakukan
tindak pidana kejahatan asuransi terhadap pemegang polis.

BAB II

PEMBAHASAN
A. Sanksi Hukum Terhadap Perusahaan Asuransi yang Melakukan Kejahatan
Asuransi
Dalam hal ini, kejahatan asuransi yang dilakukan oleh Asuransi Jiwa Bersama
Bumiputera ialah tidak membayarkan klaim sesuai dengan waktu yang sudah
disepakati atau ditentukan dalam kesepakatan. Masalah Asuransi Jiwa Bersama
Bumiputera telah bergulir sejak lama dan sama sekali belum menemukan titik terang.
Sedangkan, pada kenyataannya Anggaran Dasar Bumiputera sudah mengatur
mekanisme kerugian.
Berdasarkan apa yang disampaikan oleh Ivan Rahardjo sebagai Pengamat
Asuransi, Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera masih enggan untuk menajalankan
Perintah Tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mentaati serta
menajalankakn Anggaran Dasar Bumiputera. Karena tidak mentaati perintah tersebut,
maka Asuransi Jiwa Bumipuetra dapat dikenakan sanksi pidana. Sebenarnya, pada
Juli tahun 2021 OJK sudah menjatuhkan Surat Peringatan Ketiga (SP3), SP3 ini
dijatuhkakn karena direksi yang tidak memenuhi ketentuan OJK terkait dengan
penyelesaian masalahnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014, Pasal 70 disebutkan bahwa:
“Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif kepada Setiap
Orang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini
dan peraturan pelaksanaannya.” Dengan demikian, maka kewajiban pihak asuransi
dapat dituntut secara administrasi dan apabila kemudian melanggar, maka akan
dituntut pula secara pidana.
Sanksi Administratif sebagaimana yang dimaksud ialah diatur dalam ayat (2)
Pasal 70 yang berupa:
a. Peringatan tertulis;
b. Pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha;
c. Larangan untuk memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah
untuk lini usaha tertentu;
d. Pencabutan izin usaha;
e. Pembatalan pernyataan pendaftaran bagi Pialang Asuransi, Pialang
Reasuransi, dan Agen Asuransi.
f. Pembatalan pernyataan pendaftaran bagi konsultan aktuaria, akuntan
publik, penilai, atau pihak lain yang memberikan jasa bagi Perusahaan
Perasuransian;
g. Pembatalan persetujuan bagi lembaga mediasi atau asosiasi;
h. Denda administratif; dan/atau
i. Larangan menjaid pemegang saham, pengendali, direksi, dewan komisaris,
atau yang setara dengan pemegang saham, pengendali direksi, dan dewan
komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dewan pengawas
syariah, atau menduduki jabatan eksekutif di bawah direksi, atau yang
setara dengan jabatan eksekutif di bawah direksi pada badan hukum
berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf c, pada Perusahaan Perasuransian.

Pengaturan terhadap larangan keterlambatan pembayaran klaim dapat


ditemukan dalam Pasal 23 ayat (1) PP No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan
Usaha Perasuransian yang berbunyi: “Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi dilarang melakukan tindakan yang dapat memperlambat penyelesaian atau
pembayaran klaim, atau tidak melakukan tindakan, yang seharusnya dilakukan, yang
dapat mengakibatkan kelambatan penyelesaian atau pembayaran klaim.”2

Jangka waktu pembayaran klaim asuransi sendiri paling lama adalah 30 (tiga
puluh) hari sejak adanya kesepakatan antara tertanggung dan penanggung atau
kepastian mengenai jumlah klaim yang harus dibayarkan.3 Setiap perusahaan
perasuransian yang tidak memenuhi ketentuan yang terdapat dalam peraturan
pemerintah serta peraturan pelaksanaannya tentang perizinan usaha, maka dapat
dikenakan sanksi berupa sanksi peringatan, pembatasan kegiatan usaha serta dapat
juga dikenakan sanksi pancabutan izin usaha.

Apabila perusahaan asuransi tetap tidak membayarkan klaim asuransi yang


sudah disetujui, maka dapat dilakukan gugatan perdata atas dasar wanprestasi
sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 1243 KUH Perdata, yaitu: “Penggantian
biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan,
bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan
itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan

2
Peraturan Pemerintah No.73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Perasuransian, Pasal 23 ayat (1)
3
Keputusan Menteri Keuangan No. 422/KMK.06/2003 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Usaha
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.” 4
Langkah gugatan ini dapat dilakukan karena dasar dari suatu asuransi atau
pertanggungan merupakan sebuah perjanjian sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1
Angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian.

Namun, sebelum melakukan atau mengajukan sebuah gugatan wanprestasi


maka langkah yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah melakukan sebuah somasi.
Somasi sendiri berisikan tentang teguran atas tidak dilaksanakannya kewajiban
perusahaan asuransi serta sanksi yang akan dituntut. Apabila somasi tersebut tidak
dihiraukan, maka kemudian apat memngambil gugatan wanprestasi ke Pengadilan
Negeri.

Apabila setelah dijatuhkan somasi kemudian perusahaan asuransi


membayarkan klaim pemegang polis, maka hak pemegang polis untuk mengajukan
gugatan akan dihapus. Sebaliknya, apabila perusahaan asuransi tetap tidak
membayarkan klaim, maka hukum pidana dapat diterapkan yakni dengan mengacu
pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yakin Pasal 73
sampai dengan Pasal 82, yang dimana dijelaskan dalam salah satu Pasalnya yaitu
apabila terjadi suatu penggelapan dana premi nasabah, mengalihkan, menjaminkan
atau mengagunkan tanpa hak kekayaan perusahaan asuransi dengan ancaman pidana
penjara 15 tahun.

Sanksi pidana terhadap Asuransi yang melakukan kejahatan atau melakukan


wanprestasi tertuang dalam Undang-Undang No.40 tahun 2014 Tentang
Perasuransian yaitu tepatnya dimulai dari Pasal 73 sampai dengan Pasal 82. Yang
dimana dalam Pasal-Pasal tersebut berbunyi:

Pasal 73

(1) Setiap orang yang menjalankan kegiatan usaha asuransi, usaha asuransi
syariah, usaha reasuransi, atau usaha reasuransi syariah tanpa izin usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
4
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1243
(2) Setiap orang yang menjalankan kegiatan Usaha Pialang Asuransi atau
Usaha Pialang Reasuransi tanpa izin usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) dipisana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
sepuluh tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).
(3) Setiap orang yang menjalankan kegiatan usaha penilai kerugian asuransi
tanpa izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 74

(1) Anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau yang setara dengan
anggota direksi dan anggota dewan komisaris pada badan hukum
berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam 29 /
57 Pasal 6 ayat (1) huruf c, anggota dewan pengawas syariah, aktuaris
perusahaan, auditor internal, pengendali, atau pegawai lain dari perusahaan
perasuransian yang dengan sengaja memberikan laporan, informasi, data
an/atau dokumen kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
dala Pasal 22 ayat (1) yang tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (Sepuluh miliar rupiah).
(2) Anggota Direksi, anggota dewan komisaris, atau yang setara dengan
anggota direksi dan anggota dewan komisaris pada badan hukum
berbentuk korporasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf c, anggota dewan pengawas syariah, aktuaris
perusahaan, auditor internal, Pengendali, atau pegawai lain ari Perusahaan
Perasuransian yang dengan sengaja memberikan informasi, data, dan/atau
dokumen kepada pihak yang berkepentingan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (4) dan Pasal 46 ayat (2) yang tidak benar, palsu,
an/atau menyesatkan dipidana dengan pidana penjara paling lana 5 (lima)
tahun dan dipidana denda paling banyak Rp. 20.000.000.000,00 (dua puluh
miliar rupiah).

Pasal 75
“Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan informasi atau
memberikan informasi yang tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan kepada
Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 76

“Setiap orang yang menggelapkan Premi atau Kontribusi sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 28 ayat (5) dan Pasal 29 ayat (4) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”

Pasal 77

“Setiap orang yang menggelapkan dengan cara mengalihkan, menjaminkan,


mengagunkan, atau menggunakan kekayaan, atau melakukan tindakan lain yang
dapat mengurangi aset atau menurunkan nilai aset Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi. Atau Perusahaan Reasuransi Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) tanpa hak dipidana dengan pidana
penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).”

Pasal 78

“Setiap orang yang melakukan pemalsuan atas dokumen Perusahaan Asuransi,


Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi
syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dipidana dengan piana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 5000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).

Dalam KUH Dagang diatur juga mengenai perlindungan hukum terhadap


pemegang polis asuransi secara khusus, yakni diatur dalam KUH Dagang Buku ke I
Bab IX tentang Asuransi Pada Umumnya, yaitu pada Pasal 254, 255, 257, 258, 259,
271, 280 serta 281. Sedangkan untuk pemegang polis asuransi jiwa, dilindungi oleh
ketentuan hukum yang terdapat dalam KUH Dagang Buku ke I Bab X Bagian III
Tentang Pertanggungan jiwa Pasal 305.5

B. Pertanggungjawaban Perusahaan Asuransi Terhadap Para Nasabah Selaku


Pemegang Polis

Kewajiban yang paling pokok dalam perjanjian asuransi ialah tertanggung


wajib untuk membayarkan premi asuransi dan penanggung wajib untuk memberikan
klaim asuransi yang telah disepakati olah para pihak. Seperti perjanjian yang telah
dilakukan oleh perusahaan Asuransi selaku penanggung. Tertanggung pada asuransi
atau perjanjian ini telah memberikan asuransi jiwa dan kemudian perusahaan asuransi
wajib untuk memberikan klaim asuransi jiwa terhadap tertanggung atau nasabah.

Dalam permasalahan ini, maka perusahaan asuransi harus membayarkan ganti


rugi kepada para nasabah. Penggantian ganti rugi ini diatur dalam Pasal 1243 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berunyi, “Penggantian biaya,
rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan,
apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap
melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat
diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.”
Kewajiban dari perusahaan perasuransian sendiri sudah diatur dalam Undang-
Undang No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Namun, memang dalam
kenyataannya tidak menutup kemungkinan bahwa dalam proses pembayaran klaim
seringkali terjadi niat yang tidak baik yaitu seperti melakukan suatu perbuatan
wanprestasi. Dan jika memang suatu lembaga perusahaan asuransi tidak melakukan
pembayaran klaim sesuai dengan perjanjian dan kesepakatan yang sudah dilakukan
dan sampai melakukan wanprestasi, maka si pemegang polis dapat dapat menuntut
tanggung jawab pelaku usaha pertama, yaitu disini ialah akan bertanggung jawab
untuk memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian nasabah.
Pihak Perusahaan Asuransi belum memberikan jawaban untuk pembayaran klaim
yang menunggak.
Memang terdapat beberapa hal yang amat sangat perlu untuk diperhatikan bagi
para nasabah atau pemegang polis. Bahwa tidak semua perusahaan asuransi itu
sempurna dalam memberikan sebuah pelayanan, karena terkadang terdapat sesuatu
5
Prof. Dr. Dra. Hj. Ratu Faridatul Fauziah, SH.M.hum, Perlindungan Hukum Pemegang Polis Asuransi, Fikra
Publishing,2023, hal. 209.
hal yang lalai dan dilakukan oleh petugas asuransi sendiri. Hingga dalam hal ini,
nasabah atau pemegang polis harus bersikap waspada.
Maka, apabila waktu yang ditentukan dalam perjanjian dalam pemberian
klaim dilampaui, maka nasabah atau pemegang polis harus kembali memperhatikan
Pasal 261yang menyatakan bahwa jika terdapat kelalaian, dalam hal-hal yang
ditentukan Pasal 259 KUHD yang berbunyi: “Bila pertanggungan langsung diadakan
antara tertanggung, atau orang yang diamanatkan atau diberi wewenang untuk itu, dan
penanggung, polis itu dalam 24 jam setelah pengajuan oleh penanggung harus
ditandatangani dan diserahkan, kecuali bila ditentukan jangka waktu yang lebih
panjang oleh ketentuan undang-undang, dalam sesuatu hal kasus.”
Dan Pasal 260 KUHD yang berbunyi, :”Bila pertanggungan diadakan dengan
perantaraan seorang makelar asuransi, polisnya yang ditandatangani harus diserahkan
dalam delapan hari setelah mengadakan perjanjian.” Maka Perusahaan Asuransi atau
yang bersangkutan wajib untuk memberikan ganti rugi kepada nasabah yang dimana
kejadian ini pasti menimbulkan kerugian yang diakibatkan dari kelalaian tersebut.6

BAB III

PENUTUP

6
Ibid, hal.231.
A. Kesimpulan
1. Perusahaan Asuransi yang melakukan tindak pidana kejahatan berupa tidak
membayarkan klaim, maka dapat digugat oleh pemegang polis atau nasabah.
Nasabah dapat melakukan gugatan perdata atas dasar wanprestasi sebagaimana
yang dijelaskan dalam Pasal 1243 KUHPerdata. Apabila setelah adanya gugatan
dan Perusahaan Asuransi masih tidak membayar klaim milik nasabah, maka
hukum pidana dapat diterapkan yakni dengan mengacu pada Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang tertuang dalam Pasal 73
sampai dengan Pasal 83.
2. Perusahaan Asuransi yang melakukan kejahatan asuransi wajib untuk bertanggung
jawab atas apa yang sudah dilakukan. Seperti halnya pembayaran ganti rugi
kepada nasabah atau pemegang polis sebagai pihak yang sudah dirugikan.
Sebagaimana yang sudah diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata. Kewajiban dari
Perusahaan Asuransi sendiri sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian.
B. Saran
Untuk mencegah terjadinya sebuah pelanggaran atau hal yang merugikan, maka perlu
diadakan sosialisasi kepada masyarakat mengenai hal-hal atau peraturan-peraturan
perasuransian sebelum masyarakat melakukan sebuah perjanjian dan kesepakatan
dengan perusahaan asuransi. Bagi para tertanggung dan penanggung diharapkan agar
lebih teliti dalam memilih perasuransian untuk investasi ataupun hal lainnya agar
tidak mudah terkena penipuan dari perusahaan asuransi yang hanya mengimi-imingi
bonus dan kelebihan tanpa memberikan kesulitan atau hambatan. Dan juga perlu
adanya peningkatan kinerja dalam mengawasi perbuatan-perbuatan perusahaan
asuransi agar hal-hal yang merugikan nasabah atau pemegang polis tidak lagi terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Abdulkadir Muhammad, 2011. Hukum Asuransi Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya
Bakti.

Chazawi, A., 2014. Tindak Pidana Pemalsuan, Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.

Dwi Tatak Subagiyo an Friees Melia Salviana, 2016, Hukum Asuransi, PT Revka Petra
Media, Surabaya.

Ghanie, J. 2010. Hukum Asuransi Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika.

Man Suparman Sastrawidjaja, 2004. Hukum Asuransi. Bandung. PT Alumni.

Prof. Dr. Ra. Hj. Faridatul Fauziah, S.H,. M.Hum. 2023. Perlindungan Hukum Pemegang
Polis Asuransi. Tangerang. Fikra Publishing.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian

Peraturan Pemerintah Republik Inonesia Nomor 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan


Usaha Perasuransian

Keputusan Menteri Keuangan No. 422/KMK.06/2003 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan


Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi

Jurnal

Ernest Runtukahu, S.H., M.H. 2012. “Tindak Pidana Penggelapan Premi Asuransi Serta
Penegakan Hukumnya.” Lex Crimen. Vol.I (3).

I.G.A Bela Indah Kamala Yusianadewi, I Nyaman Putu Budiartha dan I Mae Minggu
Widyantara. 2020. “Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Surat pada
Data Polis Asuransi.” Jurnal Analogi Hukum. Vol.2 (3).

Wulandari, Laely. Amin, Idi. Ardyansyah, Rully. 2021, “Tindak Pidana Dalam Bidang
Asuransi.” Vol. 6 (1).

Anda mungkin juga menyukai