Anda di halaman 1dari 39

BAB II

TINJUAN TEORITIS

2.1. Definisi Kelainan Kongenital

Kelainan kongenital adalah kelainan yang terlihat pada saat lahir,

bukan akibat proses persalinan. Kelainan kongenital bisa herediter, dapat

dikenali saat lahir atau pada saat anak-anak (Kementrian Kesehatan RI,

2010).

Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur

bayi yang timbul sejak kehidupan hasil konsepsi sel telur (Wahid, 2012).

Sedangkan menurut Effendi & Indrasanto, 2014 kelainan kongenital adalah

kelainan yang sudah ada sejak lahir yang dapat disebabkan oleh faktor genetik

maupun non genetik.

Dari beberapa pengertian menurut para ahli diatas, maka dapat

disimpulkan bahwa kelainan kongenital adalah suatu kelainan dalam

pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak kehidupan hasil konsepsi sel

telur yang dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun non genetik, terlihat

pada saat lahir atau pada saat kanak-kanak, dan bukan merupakan akibat

proses persalinan.

10
2.2. Embriogenesis

Embriogenesis adalah proses pembentukan organ dari tahap embrio

sampai menjadi organ yang dapat berfungsi. Embriogenesis normal

merupakan proses yang sangat kompleks. Menurrut Effendi & Indrasanto,

2014, perkembangan prenatal terdiri dari tiga tahap yaitu :

2.2.1. Tahap implantasi (implantation stage), dimulai pada saat

fertilisasi/pembuahan sampai akhir minggu ketiga kehamilan.

2.2.2. Tahap embrio (embryonic stage), awal minggu keempat sampai minggu

ketujuh kehamilan:

a. Terjadi diferensiasi jaringan dan pembentukan organ definitif.


b. Jaringan saraf berproliferasi sangat cepat dengan menutupnya

tabung saraf (neural tube) dan fleksi dari segmen anterior

membentuk bagian-bagian otak.


c. Jantung mulai berdenyut, sehingga darah dapat bersirkulasi

melalui sistem vaskuler yang baru terbentuk meskipun struktur

jantung belum terbentuk sempurna.


d. Terlihat primordial dari struktur wajah, ekstermitas dan organ

dalam.

11
2.2.3. Tahap fetus (fetal stage), dimulai minggu kedelapan sampai lahir. Pada

tahap ini diferensiasi seluruh organ telah sempurna, bertambah dalam ukuran;

pertumbuhan progresif struktur skeletal, muskulus dan terutama otak.

2.3. Tahap Perkembangan Janin Tiap Trimester

Menurut Aini (2009), tahap perkembangan janin di dalam kandungan

adalah sebagai berikut:

2.3.1. Trimester Pertama

a. Minggu ke-1, terbentuknya zigot, blastomer, morula, dan blastosika


b. Minggu ke-2 cairan amnion mulai terbentuk dan mulai terisi air

ketuban.
c. Minggu ke-3, embrio mulai berkembang sempurna, menggulung ke

atas membentuk kepala dan menggulung ke bawah membentuk ekor.

Cikal bakal organ penting janin mulai terbentuk di minggu ini. Seperti

sistem pembuluh darah, sistem saraf, jantung, mata, tangan dan kaki.

Juga sudah terdapat materi genetik, termasuk warna rambut, bentuk

mata, dan tingkat intelegensi si calon bayi.


d. Minggu ke-4, Jantung mulai berdetak, namun bentuk jantung masih

sederhana, baru satu bilik. Adanya detak jantung darah mulai di pompa

ke seluruh tubuh embrio.


e. Minggu ke-5, otak berkembang sangat pesat, yaitu otak bagian depan,

belakang dan tengah, Jaringan saraf berproliferasi sangat cepat dengan

menutupnya tabung saraf (neural tube), juga sepasang rongga tempat

12
bola mata sudah terbentuk, telinga semakin sempurna dengan

terbentuknya duktus endolemfatikus, terbentuknya rahang atas dan

bawah, lidah dan lubang hidung mulai terdeteksi.


f. Minggu ke-6, otak masih berkembang sangat pesat di minggu ini, di

dalam otak tumbuh serebelum yang berperan dalam gerakan otot

tubuh, bagian otak lain yang mulai berkembang yaitu gelembung

olfaktori yang berkaitan dengan indra penciuman, kelenjar pituitari

mulai terbentuk, dan sudah dimulai proses pembagian jantung menjadi

empat bilik.
g. Minggu ke-7, kepala lebih tegak dan leher lebih berkembang, kelopak

mata mulai terbentuk, lubang hidung dan ujung hidung juga sudah

mulai terdeteksi, lidah mulai tampak, daun telinga sudah terlihat dan

nampak berkembang, lengan, tungkai, dan jari-jari sudah lebih

panjang, sudah mulai terbentuk siku, lutut dan mata kaki. Usus yang

semula berada di luar dinding perut perlahan mulai masuk ke ronga

perut, dan sudah mulai terbentuknya alat kelamin meskipun belum

bisa terdeteksi jenis kelaminnya.


h. Minggu ke-8, di minggu ini janin tumbuh sangat cepat, banyak bagian-

bagian penting yang berkembang, misalnya jantung sudah mencapai

bentuk akhir, kerangka tubuh mulai terlihat, otak mulai berfungsi,

daun telingan dan telinga sudah terbentuk, dan langit-langit mulut

sudah memisahkan ronga mulut dan rongga hidung.

13
i. Minggu ke-9, Semua organ vital seperti otak, paru-paru, hati, ginjal

dan usus sudah terbentuk, dan suara detak jantung sudah bisa di

dengar.
j. Minggu ke-10, Semua struktur dasar yang sudah terbentuk akan terus

berkembang, jari tangan dan kaki sudah saling terpisah, rambut dan

kuku terus tumbuh, dan tulang bertambah kuat seiring ketersediaan

kalsium didalam tubuh. Pada pemeriksaan USG, jenis kelamin janin

sudah dapat diidentifikasi secara jelas, sistem saraf dan otot sudah

mencapai kematangan, dan telah mampu mengirim ataupun menerima

pesan dari otak. Sistem pencernaan sudah mampu melakukan

kontraksi untuk mendorong makanan melewati usus besar, serta

saluran pencernaan sudah bisa menyerap glukosa secara aktif.


k. Minggu ke-11, mulai pembentukan pita suara, bakal gigi yang

tertanam dalam gusi sudah terbentuk, hati mulai membuat empedu dan

memproduksi zat yang membantu usus mencerna lemak, ginjal mulai

memproduksi urin di kandung kemih, dan usus mulai membentuk

bagian dalamnya yang berfungsi menyerap sari pati makanan. Selain

itu, pankreas sudah dapat meproduksi insulin.


l. Minggu ke-12, penampilan fisik janin sudah sempurna, struktur organ

tubuh sudah lengkap, namun tetap masih berkembang.

2.3.2. Trimester Kedua

14
a. Minggu ke-13, kulit tubuh janin masih sangat tipis, matanya belum

berkelopak, telinga bagian luar sudah menyerupai bentuk telinga

normal, kerangka tubuhnya mulai menyerap kalsium sehingga

menjadi lebih keras. Janin sudah bisa menggerakkan atau memutar

kepala, wajahnya mulai dapat bereaksi, dan gerakan janin semakin

aktif dan lincah.


b. Minggu ke-14, pembentukan tulang-tulang leher terus berlanjut

menuju tahap sempurna, sehingga leher dapat sepenuhnya

menyangga kkepala janin, posisi kepala sudah relatif tegak,

begitupun tulang punggung dan otot-otot bagian tubuh terus

berproses dan tumbuh makin kuat sehingga tubuh menjadi tegak.

Setahap demi setahap bagian tubuhnya terus berkembang, tangan

dan kaki sudah lengkap, tampak tungkai kaki tumbuh lebih panjang

daripada tangan, persendian sudah mulai bekerja dan dapat

digerakkan, dan sistem saraf mulai berfungsi.


c. Minggu ke-15, jaringan atau lapisan lemak mulai tumbuh dan

berkembang serta sistem peredaran darah mulai sempurna dengan

jantung sebagai pusatnya.


d. Minggu ke-16, panjang tungkai kaki dan lengan mulai seimbang,

sistem kekebalan tubuh dan pendengaran sudah mulai berfungsi.


e. Minggu ke-17, gerakan-gerakan janin makin aktif dan sistem

pendegaran berfungsi semakin baik.


f. Minggu ke-18, minggu ini merupakan saat penting dalam

perkembangan sensoris atau pengindraan, karena sel-sel saraf yang

15
berhubungan dengan alat-alat indra mulai berkembang, yaitu indra

perasa, penglihatan, pendengaran, penciuman, dan perabaan.


g. Minggu ke-19, berbagai sistem organ mengalamai perkembangan

atau pematangan, sistem saraf janin makin sempurna yang ditandai

dengan produksi cairan serebrospinal. Jantung makin kuat, dan

terbentuk jaringan lemak sebagai bahan dasar produksi panas

tubuh.
h. Minggu ke-20, hati mulai memproduksi bilirubin, kelopak mata

dan alis mata mendekati sempurna.


i. Minggu ke-21, laju pertumbuhan janin yang sangat cepat mulai

mengalami penurunan, di tahap ini organ-organ tubuh mengalami

pematangan dan penyempurnaan namun paru-paru belum terbentuk

secara sempurna.
j. Minggu ke-22, Bentuk tubuh dan wajah sudah sempurna, janin

terus latihan bernapas dengan cara menelan cairan ketuban serta

kelopak matanya mulai menjalankan fungsinya untuk melindungi

matanya dengan gerakan reflek menutup dan membuka mata.


k. Minggu ke-23, organ pankreas mengalami perkembangan fungsi,

saraf disekitar mulut dan bibir mulai sensitif sebagai persiapan

untuk menyusui.
l. Minggu ke-24, tulang belakang janin semakin kuat, semua kuku di

jari-jari sudah muncul, rambut yang tumbuh di kepala makin lebat,

kelopak mata makin sempurna dan dilengkapi bulu mata,

perkembangan sistem pernapasan dan jaringan saraf pusat masih

berkembang.

16
m. Minggu ke-25, perkembangan cukup pesat dialami otak bagian

depan yang berada di bagian belakang dahi, dan terjadi

keseimbangan perkemmbangan struktur-struktur lain di otak.


n. Minggu ke-26, jaringan saraf yang menuju telinga sudah lengkap.
o. Minggu ke-27, paru-paru sudah mampu menghisap dan

menampung udara dan secara teratur membuat gerakan bernapas.

2.3.3. Trimester Ketiga

a. Minggu ke-28, Kulit janin semakin mulus dan tak terlihat keriput

karena makin bertambahnya lemak. Saraf-saraf di otak terus

berkembang hingga pada tingkat seperti saat dilahirkan nanti. Paru-

paru, otot dan tulang rangka janin terus mematangkan diri dan

makin kuat.
b. Minggu ke-29, hampir semua organ janin sudah matang, kecuali

paru-paru dan saluran pencernaan.


c. Minggu ke-30, organ-organ pengindra janin sudah dapat menerima

rangsangan dan mengolahnya menjadi informasi yang bisa diolah

otak.
d. Minggu ke-31, tulang masih lunak dan lembut, meskipun

bentuknya sudah mencapai sempurna, janin sudah bisa menyimpan

zat besi, kalsium dan fosfor untuk perkembangan tulang

selanjutnya.
e. Minggu ke-32, sebagian besar tulang makin mengeras, akan tetapi

sambungan antar lempeng tulang tengkorak masih terus berproses.


f. Minggu ke-33, paru-paru mendekati proses akhir kematangan.

17
g. Minggu ke-34, bagian wajah tampak makin halus dan banyak

menunjukkan ekspresi.
h. Minggu ke-35, paru-paru sudah matang, otak janin terus

berkembang, dan sistem imun masih berkembang sangat cepat.


i. Minggu ke-36, janin sudah mencapai tahap akhir perkembangan.
j. Minggu ke-37, seluruh fungsi organ-organ tubuhnya sudah matang

untuk bekerja sendiri.


k. Minggu ke-38, 39 & 40, perkembangan janin sudah mencaai

tingkat yang sempurna.

Seluruh proses perkembangan normal terjadi dengan urutan yang

spesifik, khas untuk setiap jaringan atau struktur dan waktunya mungkin

sangat singkat. Oleh sebab itu meskipun terjadinya perlambatan proses

diferensiasi sangat singkat, dapat menyebabkan pembentukan yang abnormal

tidak hanya pada struktur tertentu, tetapi juga pada berbagai jaringan di

sekitarnya. Sekali sebuah struktur sudah selesai terbentuk pada titik tertentu,

maka proses itu tidak dapat mundur kembali meskipun struktur tersebut dapat

saja mengalami penyimpangan, dirusak atau dihancurkan oleh tekanan

mekanik atau infeksi.

2.4. Embriogenesis Abnormal

Kegagalan atau ketidaksempurnaan dalam proses embriogenesis

dapat menyebabkan terjadinya malformasi pada jaringan atau organ. Sifat dari

kelainan yang timbul tergantung pada jaringan yang terkena, penyimpangan,

18
mekanisme perkembangan, dan waktu pada saat terjadinya. Penyimpangan

pada tahap implantasi dapat merusak embrio dan menyebabkan abortus

spontan. Diperkirakan 15% dari seluruh konsepsi akan berakhir pada periode

ini.

Bila proliferasi sel tidak adekuat dapat mengakibatkan terjadinya

defisiensi struktur, dapat berkisar dari tidak terdapatnya ekstremitas sampai

ukuran daun telinga yang kecil. Abnormal atau tidak sempurnanya diferensiasi

sel menjadi jaringan yang matang mungkin akan menyebabkan lesi

hamartoma lokal seperti hemangioma atau kelainan yang lebih luas dari suatu

organ. Kelainan induksi sel dapat menyebabkan beberapa kelainan seperti

atresia bilier, sedangkan penyimpangan imigrasi sel dapat menyebabkan

kelainan seperti pigmentasi kulit.

Proses “kematian sel” yang tidak adekuat dapat menyebabkan

kelainan, antara lain sindaktili dan atresia ani. Fungsi jaringan yang tidak

sempurna akan menyebabkan celah bibir dan langit-langit. Beberapa zat

teratogen dapat mengganggu perkembangan, tetapi efeknya sangat

dipengaruhi oleh waktu pada saat aktivitas teratogen berlangsung selama

tahap embrio ( Effendi & Indrasanto, 2014)

2.5. Patofisiologi

19
Berdasarkan patogenesis, kelainan kongenital dapat diklasifikasikan

sebagai berikut ( Effendi & Indrasanto, 2014):

2.5.1. Malformasi

Malformasi adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh kegagalan

atau ketidaksempurnaan dari satu atau lebih proses embriogenesis.

Perkembangan awal dari suatu jaringan atau organ tersebut berhenti,

melambat atau menyimpang sehingga menyebabkan terjadinya suatu kelainan

struktur yang menetap. Kelainan ini mungkin terbatas hanya pada satu batas

daerah anatomi, mengenai seluruh organ, ataupun mengenai berbagai sistem

tubuh yang berbeda.

Istilah malformasi tidak secara langsung menggambarkan etiologinya,

tetapi menggambarkan bahwa penyimpangan dalam perkembangan ini terjadi

pada kehamilan muda, pada saat terjadi diferensiasi jaringan atau selama

periode pembentukan organ. Beberapa contoh malformasi misalnya bibir

sumbing dengan atau tanpa celah langit-langit, defek penutupan tuba neural,

stenosis pylorus, spina bifida, dan defek sekat jantung.

Malformasi dapat digolongkan menjadi malformasi mayor dan

minor. Malformasi mayor adalah suatu kelainan yang apabila tidak dikoreksi

akan menyebabkan gangguan fungsi tubuh serta mengurangi angka harapan

hidup. Sedangkan malformasi minor tidak akan menyebabkan problem

20
kesehatan yang serius dan mungkin hanya berpengaruh pada segi kosmetik.

Malformasi pada otak, jantung, ginjal, ekstrimitas, saluran cerna termasuk

malformasi mayor, sedangkan kelainan daun telinga, lipatan pada kelopak

mata, kelainan pada jari, lekukan pada kulit (dimple), ekstra puting susu

adalah contoh dari malformasi minor.

2.5.2. Deformasi

Deformitas terbentuk akibat adanya tekanan mekanik yang abnormal

sehingga merubah bentuk, ukuran atau posisi sebagian dari tubuh yang semula

berkembang normal, misalnya kaki bengkok atau mikrognatia (mandibula

yang kecil). Tekanan ini dapat disebabkan oleh keterbatasan ruang dalam

uterus ataupun faktor ibu yang lain seperti primigravida, panggul sempit,

abnormalitas uterus seperti uterus bikornus, kehamilan kembar. Deformitas

juga bisa timbul akibat faktor janin seperti presentasi abnormal atau

oligohidramnion. Contoh deformitas yang sering terjadi pada bayi baru lahir

seperti: Talipes, dislokasi sendi panggul kongenital, skoliosis kongenital,

plagiosefali, tortikolis, mandibula tidak simetris.

2.5.3.Disrupsi

Disrupsi adalah defek morfologik satu bagian tubuh atau lebih yang

disebabkan oleh gangguan pada proses perkembangan yang mulanya normal.

Ini biasanya terjadi sesudah embriogenesis. Berbeda dengan deformasi yang

21
hanya disebabkan oleh tekanan mekanik, disrupsi dapat disebabkan

oleh iskemia, perdarahan atau perlekatan. Penyebab tersering adalah

robeknya selaput amnion pada kehamilan muda sehingga tali amnion dapat

mengikat erat janin, memotong kuadran bawah fetus, menembus kulit,

muskulus, tulang, dan jaringan lunak.

2.5.4 Displasia

Patogenesis lain yang penting dalam terjadinya kelainan kongenital

adalah displasia. Istilah displasia dimaksudkan dengan kerusakan (kelainan

struktur) akibat fungsi atau organisasi sel abnormal, mengenai satu macam

jaringan di seluruh tubuh. Sebagian kecil dari kelainan ini terdapat

penyimpangan biokimia di dalam sel, biasanya mengenai kelainan produksi

enzim atau sintesis protein. Sebagian besar disebabkan oleh mutasi gen.

Karena jaringan itu sendiri abnormal secara intrinsik, efek klinisnya menetap

atau semakin buruk. Ini berbeda dengan ketiga patogenesis terdahulu.

Malformasi, deformasi, dan disrupsi menyebabkan efek dalam kurun

waktu yang jelas, meskipun kelainan yang ditimbulkannya mungkin

berlangsung lama, tetapi penyebabnya relatif berlangsung singkat. Displasia

dapat terus-menerus menimbulkan perubahan kelainan seumur hidup.

2.6. Beberapa Macam Pengelompokan Kelainan Kongenital

22
Menurut Effendi & Indrasanto, 2014, Kelainan kongenital

dikelompokkan berdasarkan hal-hal sebagai berikut :

2.6.1. Menurut Gejala Klinis

Kelainan kongenital dikelompokkan berdasarkan hal-hal berikut:

a. Kelainan tunggal (single-system defects)


Porsi terbesar dari kelainan kongenital terdiri dari kelainan

yang hanya mengenai satu regio dari satu organ (isolated). Contoh

kelainan ini yang juga merupakan kelainan kongenital yang tersering

adalah celah bibir, clubfoot, stenosis pilorus, dislokasi sendi panggul

kongenital dan penyakit jantung bawaan.


b. Asosiasi (Association)

Asosiasi adalah kombinasi kelainan kongenital yang sering

terjadi bersama-sama. Istilah asosiasi untuk menekankan kurangnya

keseragaman dalam gejala klinik antara satu kasus dengan kasus yang

lain. Sebagai contoh “Asosiasi VACTERL” (vertebral anomalies, anal

atresia, cardiac malformation, tracheoesophageal fistula, renal

anomalies, limbs defects).

c. Sekuensial (Sequences)
Sekuensial adalah suatu pola dari kelainan multipel dimana

kelainan utamanya diketahui. Sebagai contoh, pada “Potter Sequence”

kelainan utamanya adalah aplasia ginjal. Tidak adanya produksi urin

mengakibatkan jumlah cairan amnion setelah kehamilan pertengahan

23
akan berkurang dan menyebabkan tekanan intrauterine dan akan

menimbulkan deformitas seperti tungkai bengkok dan kontraktur pada

sendi serta menekan wajah (Potter Facies). Oligoamnion juga berefek

pada pematangan paru sehingga pematangan paru terhambat. Oleh

sebab itu bayi baru lahir dengan “Potter Sequence” biasanya lebih

banyak meninggal karena distress respirasi dibandingkan karena gagal

ginjal.
d. Kompleks (Complexes)
Istilah ini menggambarkan adanya pengaruh berbahaya yang

mengenai bagian utama dari suatu regio perkembangan embrio,

yang mengakibatkan kelainan pada berbagai struktur berdekatan yang

mungkin sangat berbeda asal embriologinya tetapi mempunyai letak

yang sama pada titik tertentu saat perkembangan embrio.


Beberapa kompleks disebabkan oleh kelainan vaskuler.

Penyimpangan pembentukan pembuluh darah pada saat

embriogenesis awal, dapat menyebabkan kelainan pembentukan

struktur yang diperdarahi oleh pembuluh darah tersebut. Sebagai

contoh, absennya sebuah arteri secara total dapat menyebabkan tidak

terbentuknya sebagian atau seluruh tungkai yang sedang

berkembang. Penyimpangan arteri pada masa embrio mungkin akan

mengakibatkan hipoplasia dari tulang dan otot yang diperdarahinya.

Contoh dari kompleks, termasuk hemifacial microsomia, sacral

agenesis, sirenomelia, Poland Anomaly, dan Moebius Syndrome.


e. Sindrom

24
Kelainan kongenital dapat timbul secara tunggal (single), atau

dalam kombinasi tertentu. Bila kombinasi tertentu dari berbagai

kelainan ini terjadi berulang-ulang dalam pola yang tetap, pola ini

disebut dengan sindrom. Istilah “syndrome” berasal dari bahasa

Yunani yang berarti “berjalan bersama”. Pada pengertian yang lebih

sempit, sindrom bukanlah suatu diagnosis, tetapi hanya sebuah label

yang tepat. Apabila penyebab dari suatu sindrom diketahui, sebaiknya

dinyatakan dengan nama yang lebih pasti, seperti “Hurler syndrome”

menjadi “Mucopolysaccharidosis type I”. Sindrom biasanya dikenal

setelah laporan oleh beberapa penulis tentang berbagai kasus yang

mempunyai banyak persamaan. Sampai tahun 1992 dikenal lebih dari

1.000 sindrom dan hampir 100 diantaranya merupakan kelainan

kongenital kromosom. Sedangkan 50% kelainan kongenital multipel

belum dapat digolongkan ke dalam sindrom tertentu.

2.6.2. Menurut Berat Ringannya

Kelainan Kongenital dibedakan menjadi:

a. Kelainan Mayor
Kelainan mayor adalah kelainan yang memerlukan tindakan medis

segera demi mempertahankan kelangsungan hidup penderitanya.


b. Kelainan Minor
Kelainan minor adalah kelainan yang tidak memerlukan tindakan

medis.

25
2.7. Faktor-Faktor Resiko Penyebab Kelainan Kongenital

Penyebab langsung kelainan kongenital sering kali sukar diketahui.

Pertumbuhan embrional dan fetal dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti

faktor genetik, faktor lingkungan atau kedua faktor secara bersamaan.

Beberapa faktor yang diduga dapat memengaruhi terjadinya kelainan

kongenital antara lain (Wahid, 2012):

2.7.1. Kelainan Genetik dan Kromosom.

Kelainan karena faktor genetik adalah kelainan bawaan yang

disebabkan oleh kelainan pada unsur pembawa yaitu gen. Kelainan genetik

pada ayah atau ibu kemungkinan besar akan berpengaruh atas kelainan

kongenital pada anaknya. Kelaianan ini dapat disebabkan akibat mutasi gen

tunggal dan kelainan abrasi kromosom.

Dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi kedokteran, maka

telah dapat diperiksa kemungkinan adanya kelainan kromosom selama

kehidupan fetal serta telah dapat dipertimbangkan tindakan-tindakan

selanjutnya. Beberapa contoh kelainan kromosom autosomal trisomi 21

sebagai sindrom Down (mongolisme), kelainan pada kromosom kelamin

sebagai sindroma Turner.

26
2.7.2. Faktor Mekanik

Tekanan mekanik pada janin selama kehidupan intrauterin dapat

menyebabkan kelainan bentuk organ tubuh hingga menimbulkan deformitas

organ tersebut. Faktor predisposisi dalam pertumbuhan organ itu sendiri

akan mempermudah terjadinya deformitas suatu organ. Sebagai contoh

deformitas organ tubuh ialah kelainan talipes pada kaki seperti talipes varus,

talipes valgus, talipes equinus dan talipes equinovarus (clubfoot).

2.7.3. Faktor Infeksi.

Infeksi yang didapat melalui plasenta selama kehamilan disebut

infeksi kongenital (Nelson, 2014). Infeksi yang dapat menimbulkan

kelainan kongenital ialah infeksi yang terjadi pada periode organogenesis

yakni dalam trimester pertama kehamilan. Adanya infeksi tertentu dalam

periode organogenesis ini dapat menimbulkan gangguan dalam pertumbuhan

suatu organ tubuh. Infeksi pada trimester pertama di samping dapat

menimbulkan kelainan kongenital dapat pula meningkatkan kemungkinan

terjadinya abortus. Sebagai contoh infeksi virus ialah (Indriyani, 2008) :

a. Infeksi oleh virus Rubella. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang

menderita infeksi, dapat menyebabkan kelainan pada sistem

pendengaran dan ditemukannya kelainan jantung bawaan.


b. Infeksi virus sitomegalovirus (bulan ketiga atau keempat),

kelainan-kelainan kongenital yang mungkin dijumpai ialah adanya

27
gangguan pertumbuhan pada sistem saraf pusat seperti hidrosefalus,

retardasi mental, mikrosefalus, atau mikroftalmia


c. Infeksi virus toksoplasmosis, kelainan-kelainan kongenital yang

mungkin dijumpai ialah hidrosefalus, retardasi mental, korioretinitis,

mikrosefalus, atau mikroftalmia.


d. Infeksi virus herpes genitalis pada ibu hamil, jika ditularkan kepada

bayinya sebelum atau selama proses persalinan berlangsung,

bisa menyebabkan ensefalitis, mikrosefali, dan keratokonjungtivitis

(Marcdante dkk, 2014)


e. Infeksi Varisela: cacar air, infeksi virus varisela zozter pada ibu hami

di awal kehamilan, dapat menyebabkan kerusakan mata dan sistem

saraf pusat, jaringan parut pada kulit dan hipoplasia anggota gerak

(Rukiyah & Yulianti, 2010).

2.7.4. Faktor Obat

Beberapa jenis obat tertentu yang diminum wanita hamil pada

trimester pertama kehamilan diduga sangat erat hubungannya dengan

terjadinya kelainan kongenital pada bayinya. Salah satu jenis obat yang telah

diketahui dapat menimbulkan kelainan kongenital ialah thalidomide yang

dapat mengakibatkan terjadinya fokomelia atau mikromelia (Lissauer &

Fanaroff, 2009).

Contoh obat lain yang bisa menyebabkan kelainan kongenital adalah:

fenitoin (anti konvulsan), warfarin (anti koagulan), klorokuin (anti malaria),

28
litium (anti depresan), barbiturate (anti konvulsan, anti depresan), Natrium

Valproat (anti epilepsi) yang bisa menyebabkan celah bibir dan langit-langit,

retardasi mental, dan atrofi sraf optikus, Penyakit Jantung Bawaan, ketulian,

dan lain-lain. Beberapa jenis jamu-jamuan yang diminum wanita saat hamil

muda diduga erat pula hubungannya dengan terjadinya kelainan kongenital,

walaupun hal ini secara laboratorik belum banyak diketahui secara pasti

(Efendi & Indrasanto, 2014).

2.7.5. Faktor Umur Ibu

Kehamilan beresiko tinggi adalah kehamilan yang dapat

mempengaruhi optimalisasi ibu maupun janin pada kehamilan (Manuaba,

2012). Rentan usia kehamilan beresiko adalah <20 tahun dan >35 tahun

(Novaria & Budi, 2007). Pada usia <20 tahun organ-organ reproduksi dan

fungsi fisiologisnya belum optimal dan secara psikologis belum tercapainya

emosi dan kejiwaan yang cukup dewasa selain itu juga kurangnya

pengetahuan ibu tentang kehamilan, pengetahuan akan asupan gizi juga

berpengaruh dalam kelainan kongenital pada bayi. Sedangkan jika kehamilan

terjadi diusia >35 tahun, pada usia tersebut maka akan terjadi kemunduran

fungsi fisiologis. Sehingga semakin bertambah usia, maka kualitas sel telur

juga semakin menurun. Hal inilah yang diduga bisa menyebabkan kelainan

kongenital (Manuaba, 2012).

29
2.7.6. Faktor Hormonal

Faktor hormonal diduga mempunyai hubungan dengan kejadian

kelainan kongenital. Bayi yang dilahiirkan oleh ibu hipotiroidisme, karena

hipotiroid dapat mengganggu sistem metabolisme tubuh, baik anabolisme,

yakni pembentukan sel-sel baru, maupun katabolisme yaitu penghancuran sel-

sel yang sudah rusak atau ibu penderita diabetes mellitus kemungkinan untuk

mengalami gangguan pertumbuhan lebih besar bila dibandingkan dengan bayi

yang normal. Bayi yang lahir dari ibu dengan diabetes melitus biasanya lebih

besar (makrosomia), dan bisa terjadi juga pembesaran dari organ-organnya

(hepar, kelenjar adrenal, jantung) karena hiperglisemia darah ibu terutama

trimester I yang dengan bebas dapat masuk ke darah janin (Manuaba, 2012).

Risiko terjadinya kelainan kongenital terjadi pada bayi dengan ibu penderita

diabetes melitus adalah 6% sampai 12%, yang empat kali lebih sering dari

pada bayi dengan ibu yang bukan penderita diabetes mellitus. ( Wahid,

2012)

2.7.7. Faktor Radiasi

Radiasi pada permulaan kehamilan mungkin sekali akan dapat

menimbulkan kelainan kongenital pada janin. Adanya riwayat radiasi yang

cukup besar pada orang tua dikhawatirkan akan dapat mengakibatkan mutasi

30
pada gen yang mungkin sekali dapat menyebabkan kelainan kongenital pada

bayi yang dilahirkan. Dikatakan bahwa penyinaran lebih dari 10.000

millirads/10 rad pada wanita hamil dikhawatirkan akan mempunyai efek

terhadap janin. Pada umumnya kelainan kongenital yang berat akan terjadi

apabila radiasi terjadi pada umur kehamilan 2 minggu - 16 minggu.

Level radiasi yang diterima oleh janin akan tergantung dari jenis

pemeriksaan yang dikerjakan, daerah mana yang dilakukan pemeriksaan, dan

berapa kali mengerjakan pemeriksaan tersebut. Sebagai contoh, radiasi

melebihi 10 rad menunjukkan peningkatan gangguan mata dan

keterbelakangan mental pada janin. Pemeriksaan roentgen dada sendiri

memiliki level radiasi 290 milirads dan sekitar 800 milirads pada CT-scan.

Satu rad sendiri setara dengan 1000 milirads (Kusumawardhani, dalam

Klikdokter.com)

2.7.8. Faktor Gizi

Status gizi selama masa kehamilan ibu merupakan sumber nutrisi bagi

bayi yang dikandungnya. Jika ibu mengalami kekurangan gizi akan

31
menimbulkan masalah, baik pada ibu maupun janin yang dikandungnya serta

kurang gizi dapat mempengaruhi pertumbuhaan dan dapat menyebabkan

kelainan bawaan pada janin (Rukiyah & Yulianti, 2009). Berikut ini beberapa

contoh gizi yang dibutuhkan selama kehamilan:

a. Vitamin A yang berfungsi untuk pertumbuhan sel jaringan,

pertumbuhan gigi, dan pertumbuhan tulang, penting untuk mata,

kulit, rambut serta mencegah kelainan kongenital (Indriyani, 2008).


b. Asam folat, janin sangat membutuhkan asam folat dalam jumlah

banyak guna pembentukan sel dan sistem syaraf. Kebutuhan asam

folat selama kehamilan berikisar antara 400 sampai 800 mikrogram

per harinya. Jika janin mengalami kekurangan akan asam folat,

maka hal ini akan membuat perkembangan janin menjadi tidak

sempurna dan dapat membuat janin terlahir dengan kelainan seperti

mengalami neural tube defect, seperti spina bifida (Kristiyanasari,

2010).
c. Wanita yang hamil dengan tingkat vitamin B12 (dapat ditemukan

dalam daging, telur, dan susu) yang rendah ketika hamil berisiko

lebih besar untuk memiliki anak dengan cacat tabung saraf

(Indriyani, 2008).
d. Protein, berfungsi memelihara sel, membuat hemoglobin,

membentuk kekebalan tubuh, dan mngoptimalkan perkembangan

otak janin (Indriyani, 2008).

32
Pada binatang percobaan, kekurangan gizi berat dalam kehamilan

dapat menimbulkan kelainan kongenital. Pada manusia, pada penelitian-

penelitian menunjukkan bahwa frekuensi kelainan kongenital pada bayi-bayi

yang dilahirkan oleh ibu yang kekurangan gizi lebih tinggi bila dibandingkan

dengan bayi-bayi yang lahir dari ibu yang baik gizinya. Pada binatang

percobaan, adanya defisiensi protein, vitamin A, B2 (ribofIavin), asam folat,

BI (thiamin) dan lain-Iain dapat menaikkan kejadian & kelainan kongenital

(Wahid, 2012).

Indikator penilaian gizi ibu hamil dapat dilihat dari LILA (Lingkar

Lengan Atas) atau IMT (Indeks Massa Tubuh). Menurut Depkes RI 2007,

status gizi normal dapat diketahui dengan melakukan pengukuran LILA

(Lingkar Lengan Atas). Jika LILA lebih atau sama dengan 23,5 cm

berarti status gizi ibu hamil normal, dan jika ukuran LILA kurang dari 23,5

cm atau dibagian merah pita, artinya wanita tersebut mempunyai resiko

KEK (Kekurangan Energi Kalori).

Sedangkan cara mengukur IMT (Indeks Massa Tubuh) adalah berat

badan (kg) di bagi tinggi badan (meter)². Kategori IMT adalah sebagai berikut

(Reeder dkk, 2011):

a. Berat Badan Kurang <19,8


b. Berat Badan Ideal 19,8-26
c. Berat Badan Cukup Lebih 26-29
d. Berat Badan Sangat Lebih >29

33
2.8. Pencegahan

Upaya penceghan terjadinya kelainan kongenital dapat dilakukan

dengan cara yaitu :

2.8.1. Pencegahan Primer

Upaya pencegahan primer dilakukan untuk mencegah ibu hamil agar

tidak mengalami kelahiran bayi dengan kelainan kongenital, yaitu dengan :

a. Tidak melahirkan pada usia ibu risiko tinggi, seperti usia kurang dari 20

tahun dan lebih dari 35 tahun agar tidak berisiko melahirkan bayi dengan

kelainan kongenital.
b. Mengonsumsi asam folat yang cukup bila akan hamil. Kekurangan asam

folat pada seorang wanita harus dikoreksi terlebih dahulu sebelum wanita

tersebut hamil, karena kelainan seperti spina bifida terjadi sangat dini.

Maka kepada wanita yang hamil agar rajin memeriksakan

kehamilannya pada trimester pertama dan dianjurkan kepada wanita

yang berencana hamil untuk mengonsumsi asam folat sebanyak 400

mcg/hari. Asam folat banyak terdapat dalam sayuran hijau daun, seperti

bayam, brokoli, buah alpukat, pisang, jeruk, berry, telur, ragi, serta aneka

makanan lain yang diperkaya asam folat seperti nasi, pasta, kedelai,

sereal.
c. Perawatan Antenatal (Antenatal Care)

34
Antenatal care mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam

upaya menurunkan angka kematian ibu dan perinatal. Dianjurkan agar

pada setiap kehamilan dilakukan antenatal care secara teratur dan sesuai

dengan jadwal yang lazim berlaku. Tujuan dilakukannya antenatal care

adalah untuk mengetahui data kesehatan ibu hamil dan perkembangan

bayi intrauterin sehingga dapat dicapai kesehatan yang optimal dalam

menghadapi persalinan, puerperium dan laktasi serta mempunyai

pengetahuan yang cukup mengenai pemeliharaan bayinya. Perawatan

antenatal juga perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya persalinan

prematuritas atau berat badan lahir rendah yang sangat rentan terkena

penyakit infeksi. Selain itu dengan pemeriksaan kehamilan dapat dideteksi

kelainan kongenital.

Kunjungan antenatal sebaiknya dilakukan paling sedikit 4 kali selama

masa kehamilan dengan distribusi kontak sebagai berikut:

a. Minimal 1 kali pada trimester I (K1), usia kehamilan 1-12

minggu.
b. Minimal 1 kali pada trimester II (K2), usia kehamilan 13-24

minggu.
c. Minimal 2 kali pada trimester III (K3 dan K4), usia kehamilan

> 24 minggu

35
d. Menghindari obat-obatan, makanan yang diawetkan, dan alkohol karena

dapat menyebabkan kelainan kongenital seperti atresia ani, celah bibir

dan langit- langit.

2.8.2. Pencegahan Sekunder

a. Diagnosis

Menurut Leveno dkk 2013, diagnosis kelainan kongenital dapat dilakukan

dengan cara:

a.1. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

Pemeriksaan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui secara

dini beberapa kelainan kehamilan/pertumbuhan janin, kehamilan ganda,

molahidatidosa, dan sebagainya. Beberapa contoh kelainan kongenital

yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan non invasive (ultrasonografi) pada

midtrimester kehamilan adalah hidrosefalus dengan atau tanpa spina bifida,

defek tuba neural, porensefali, kelainan jantung bawaan yang besar,

penyempitan sistem gastrointestinal (misalnya atresia duodenum yang

memberi gambaran gelembung ganda), kelainan sistem genitourinaria

(misalnya kista ginjal), kelainan pada paru sebagai kista paru, polidaktili,

celah bibir, mikrosefali, dan ensefalokel.

a.2. Pemeriksaan cairan amnion (amnionsentesis)

36
Amnionsentesis dilakukan pada usia kehamilan 15-19 minggu

dengan aspirasi per-abdomen dengan tuntunan USG. Dari cairan amnion

tersebut dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut antara lain

pemeriksaan genetik/kromosom, pemeriksaan alfa-feto-protein terhadap defek

tuba neural (anensefali, mengingomielokel), pemeriksaan terhadap beberapa

gangguan metabolik (galaktosemia, fenilketonurua), dan pemeriksaan lainnya.

a.3. Pemeriksaan Alfa feto protein maternal serum (MSAFP).

Apabila serum ini meningkat maka pada janin dapat diketahui

mengalami defek tuba neural, spina bifida, hidrosefalus, dan lain-lain. Apabila

serum ini menurun maka dapat ditemukan pada sindrom down dan beberapa

kelainan kromosom.

a.4. Biopsi korion

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui kelainan kromosom pada

janin, kelainan metabolik, kelainan genetik dapat dideteksi dengan analisis

DNA, misalnya talasemia dan hiperplasia adrenal kongenital.

a.5. Kordosentesis/ Sampel darah janin

Sampel darah janin yang diambil dari tali pusar. Langkah ini diambil

jika cacat yang disebabkan kromosom telah terdeteksi oleh pemeriksaan USG.

37
Biasanya dilakukan setelah kehamilan memasuki usia 20 minggu. Tes ini bisa

mendeteksi kelainan kromosom, kelainan metabolis, kelainan gen tunggal,

infeksi seperti toksoplasmosis atau rubela, juga kelainan pada darah (rhesus),

serta problem plasenta semisal kekurangan oksigen.

Sedangkan untuk mengenal kelainan kongenital setelah lahir, maka

bayi yang baru lahir perlu diperiksa bagian-bagian tubuh bayi tersebut, yaitu

bentuk muka bayi, besar dan bentuk kepala, bentuk daun telinga, mulut, jari-

jari, kelamin, serta anus bayi.

b. Pengobatan

Pada umumnya penanganan kelainan kongenital pada suatu organ

tubuh umumnya memerlukan tindakan bedah. Beberapa contoh kelainan

kongenital yang memerlukan tindakan bedah adalah hernia, celah bibir dan

langit-langit, atresia ani, spina bifida, hidrosefalus, dan lainnya. Pada kasus

hidrosefalus, tindakan non bedah yang dilakukan adalah dengan pemberian

obat-obatan yang dapat mengurangi produksi cairan serebrospinal.

Penanganan PJB dapat dilakukan dengan tindakan bedah atau obat-obatan,

bergantung pada jenis, berat, dan derajat kelainan.

2.8.3. Pencegahan Tersier

Upaya pencegahan tersier dilakukan untuk mengurangi komplikasi

penting pada pengobatan dan rehabilitasi, membuat penderita cocok dengan

38
situasi yang tak dapat disembuhkan. Pada kejadian kelainan kongenital

pencegahan tersier bergantung pada jenis kelainan. Misalnya pada penderita

sindrom down, pada saat bayi baru lahir apabila diketahui adanya kelemahan

otot, bisa dilakukan latihan otot yang akan membantu mempercepat kemajuan

pertumbuhan dan perkembangan anak. Bayi ini nantinya bisa dilatih dan

dididik menjadi manusia yang mandiri untuk bisa melakukan semua

keperluan pribadinya.

Banyak orang tua yang syok dan bingung pada saat mengetahui

bayinya lahir dengan kelainan. Memiliki bayi yang baru lahir dengan kelainan

adalah masa- masa yang sangat sulit bagi para orang tua. Selain stres,

orang tua harus menyesuaikan dirinya dengan cara-cara khusus. Untuk

membantu orang tua mengatasi masalah tersebut, maka diperlukan suatu

tim tenaga kesehatan yang dapat mengevaluasi dan melakukan

penatalaksanaan rencana perawatan bayi dan anak sesuai dengan

kelainannya.

2.9. Contoh Kelainan Kongenital Pada Bayi Baru Lahir

Beberapa contoh kelainan kongenital yang bisa terjadi pada bayi baru

lahir yaitu:

2.9.1. Labio/palate skizis

39
Labiopalatoskisis adalah kelainan kongenital pada bibir dan

langit-langit yang dapat terjadi secara terpisah atau bersamaan yang

disebabkan oleh kegagalan atau penyatuan struktur fasial embrionik yang

tidak lengkap. Kelainan ini cenderung bersifat diturunkan (hereditary), tetapi

dapat terjadi akibat faktor non-genetik. Labioskizis adalah malformasi yang

disebabkan oleh gagalnya propseusus nasal median dan maksilaris untuk

menyatu selama perkembangan embriotik. Palatoskisis adalah adanya celah

pada garis tengah palato yang disebabkan oleh kegagalan penyatuan susunan

palato pada masa kehamilan 7-12 minggu. Komplikasi potensial meliputi

infeksi, otitis media, dan kehilangan pendengaran ( Suriadi & Yuliani, 2010).

2.9.2. Anensefalus

Anensefalus adalah suatu keadaan dimana sebagian besar tulang

tengkorak dan otak tidak terbentuk. Anensefalus merupakan suatu kelainan

tabung saraf yang terjadi pada awal perkembangan janin yang menyebabkan

kerusakan pada jaringan pembentuk otak. Salah satu gejala janin yang

dikandung mengalami anensefalus jika ibu hamil mengalami polihidramnion

(cairan ketuban di dalam rahim terlalu banyak). Prognosis untuk kehamilan

dengan anensefalus sangat sedikit. Jika bayi lahir hidup, maka biasanya akan

40
mati dalam beberapa jam atau hari setelah lahir (Maryanti Dwi, Sujianti &

Budiarti Tri, 2011).

2.9.3. Hidrosefalus

Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang dapat mengakibatkan

bertambahnya cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan

intrakranial yang meninggi, sehingga terdapat pelebaran ventrikel.

Hidrosefalus dapat diakibatkan oleh gangguan reabsorpsi LCS (hidrisefalus

komunikans) atau diakibatkan oleh obstruksi aliran LCS melalui ventrikel dan

masuk ke dalam rongga subaraknoid (hidrosefalus non komunikans).

Hidrosefalus dapat timbul sebagai hidrosefalus kongenital atau hidrosefalus

yang terjadi postnatal. Secara klinis, hidrosefalus kongenital dapat terlihat

sebagai pembesaran kepala segera setelah bayi lahir, atau terlihat sebagai

ukuran kepala normal tetapi tumbuh cepat sekali pada bulan pertama setelah

lahir. Peninggian tekanan intrakranial menyebabkan iritabilitas, muntah,

kehilangan nafsu makan, gangguan melirik ke atas, gangguan pergerakan bola

mata, hipertonia ekstrimitas bawah, dan hiperefleksia. Etiologi hidrosefalus

kongenital dapat bersifat heterogen. Pada dasarnya meliputi produksi cairan

serebrospinal di pleksus korioidalis yang berlebih, gangguan absorpsi di vilus

araknoidalis, dan obsruksi pada sirkulasi cairan serebrospinal (Dewi, 2013).

2.9.4. Omfalokel

41
Omfalokel adalah kelainan yang berupa protusi isi rongga perut ke

luar dinding perut sekitar umbilikus, benjolan terbungkus dalam suatu

kantong. Omfalokel terjadi akibat hambatan kembalinya usus ke rongga perut

dari posisi ekstra-abdominal di daerah umbilikus yang terjadi dalam minggu

keenam sampai kesepuluh kehidupan janin. Terkadang kelainan ini bersamaan

dengan terjadinya kelainan kongenital lain, misalnya sindrom down. Pada

omfalokel yang kecil, umumnya isi kantong terdiri atas usus saja sedangkan

pada yang besar dapat pula berisi hati atau limpa. Pada 40% kasus omfalokel

berkaitan dengan trisomi 13 atau 18, Sindrom Beckwith Wiedemann, atau

Sindrom Lainnya (Lissauer & Fanaroff, 2009).

2.9.5. Hisprung

Penyakit Hisprung (Mega Kolon Aganglionik Kongenital) disebabkan

oleh kelainan inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan meluas ke

proksima, melibatkan panjang usus yang bervariasi, tetapi selalu termasuk

anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum. Tidak adanya sebagian saraf

adalah akibat dari kegagalan perpindahan neuroblast dari usus proksimal ke

distal pada usia gestasi 6-12 minggu (Endjun, 2009). Segmen yang

aganglionik terbatas pada rektosigmoid pada 75% penderita, 10% pada

42
seluruh usus, dan sekitar 5% dapat mengenai seluruh usus sampai pylorus

(Wahid, 2012).

2.9.6. Atresia Ani

Atresia Ani adalah kelainan kongenital dimana rectum tidak

mempunyai lubang keluar. Patofisiologi kelainan kongenital ini disebabkan

karena adanya kegagalan kompleks pertumbuhan septum urorektal, struktur

mesoderm lateralis, dan struktur ectoderm dalam pembentukan rektum dan

traktus urinarius bagian bawah. Secara klinis letak sumbatan dapat tinggi,

yaitu di atas muskulus levator ani, atau letak rendah di bawah otot tersebut.

Pada bayi perempuan umumnya (90%) ditemukan adanya fistula yang

menghubungkan usus dengan perineum atau vagina, sedangkan pada bayi

laki-laki umumnya fistula tersebut menghubungkan bagian ujung kolon yang

buntu dengan traktus urinarius. Bila anus imperforata tidak disertai adanya

fistula, maka tidak ada jalan ke luar untuk udara dan mekonium, sehingga

perlu segera dilakukan tindakan bedah (Wahid, 2012).

2.9.7. Spina Bifida

Spina Bifida termasuk dalam kelompok neural tube defect berupa

defeck pada arkus posterior tulang belakang akibat kegagalan penutupan

elemen saraf dari kanalis spinalis pada perkembangan awal dari embrio.

Spina Bifida yaitu suatu celah pada tulang belakang yang terjadi karena

43
bagian dari satu atau beberapa vertebra gagal menutup atau gagal terbentuk

secara utuh. Kelainan ini biasanya disertai kelainan di daerah lain, misalnya

hidrosefalus, atau gangguan fungsional yang merupakan akibat langsung spina

bifida sendiri, yakni gangguan neurologik yang mengakibatkan gangguan

fungsi otot dan pertumbuhan tulang pada tungkai bawah serta gangguan

fungsi otot sfingter ( Mutaqin, 2008).

2.9.8. Penyakit Jantung Bawaan (PJB)

Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan anatomi jantung

yang dibawa sejak dalam kandungan sampai dengan lahir ( Arief &

Kristiyanasari, 2009). Atau Penyakit Jantung Bawaan adalah penyakit dengan

kelainan pada struktur jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang dibawa dari

lahir yang terjadi akibat adanya gangguan atau kegagalan perkembangan

struktur jantung pada fase awal perkembangan janin. Penyakit Jantung

Bawaan (PJB) merupakan penyakit yang cukup sering ditemukan, dengan

angka kejadian sekitar 30% dari seluruh kelainan bawaan. Penyakit jantung

bawaan ada beraneka ragam. PJB dapat bersifat eksogen atau endogen. Faktor

eksogen terjadi akibat adanya infeksi, pengaruh obat, pengaruh radiasi, dan

sebagainya. Pada periode organogenesis, faktor eksogen sangat besar

pengaruhnya terhadap diferensiasi jantung karena diferensiasi lengkap

susunan jantung terjadi sekitar kehamilan bulan kedua. Sebagai faktor

endogen dapat dikemukakan pengaruh faktor genetik, namun peranannya

44
terhadap kejadian penyakit PJB kecil. Dalam satu keturunan tidak selalu

ditemukan adanya PJB. (Roebiono, 2011).

2.10. Penelitian Terkait

2.10.1. Penelitian yang dilakukan oleh Abidin (2013) dengan judul Faktor-

Faktor Yang Berpengaruh terhadap Kejadian Kelainan Kongenital Facio-Oral

Pada Neonatus di RSUP Dr. Kariadi Semarang periode Januari 2009-Juni

2013. Didapatkan hasil bahwa faktor yang bermakna adalah usia berisiko pada

ibu (p=0,000; OR=11,667; 95% CI=2,696-50,490), infeksi intrauterin

(p=0,000; OR=15,400; 95% CI=2,930-80,951), gizi kurang baik (p=0,003;

OR=7,000; 95% CI=1,822-26,887) dan antenatal care (p=0,000; OR=38,333;

95% CI=4,395-334,382).

2.10.2. Penelitian yang dilakukan oleh Maharani (2013) dengan judul Faktor-

Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Kelainan Kongenital Sistem

Urogenital Pada Neonatus di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Dari penelitian ini

diketahui bahwa secara keseluruhan kelompok neonatus dengan kelainan

kongenital sistem urogenital, laki-laki mencatat angka tertinggi yaitu 22

neonatus (95,7%), sedangkan perempuan hanya 1 neonatus (4,3%). Frekuensi

neonatus yang menderita infeksi intrauterin adalah 8 neonatus (34,8%) dan

yang tidak sebanyak 15 neonatus (65,2%). Variabel yang berpengaruh

terhadap kejadian kelainan kongenital sistem urogenital adalah infeksi

45
intrauterine (p=0,026). Sementara variabel usia ibu, antenatal care dan

prematur tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian kelainan

kongenital system urogenital.

2.10.3. Penelitian yang dilakukan oleh Francine, Pascale, & Aline (2014)

dengan judul penelitian Congenital Anomalies: Prevalence and Risk Factors di

Rumah Sakit Mount-Lebanon Periode Januari-Desember 2009 didapatkan

hasil bahwa faktor yang bermakna adalah Kekerabatan orang tua (p = 0,015;

OR= 1,72; CI= 0,94-3,15), konsumsi alkohol ibu selama kehamilan (p =

0,027; RR= 10,42; RR= 1,91-56,73), dan asupan obat-obatan ibu selama

kehamilan (p <0,001; RR= 5,23; CI= 2,20-12,42).

2.10.4. Penelitian Prabawa (1998) dengan judul Kejadian Bayi Lahir

dengan Kelainan Kongenital di RSUP Dr.Kariadi Semarang, menunjukkan

bahwa sebanyak 101 kasus (65%) berjenis kelamin laki-laki dan 54 kasus

(35%) berjenis kelamin perempuan. Jika dibandingkan dengan jumlah


Faktor Kelainan
persalinan, Genetikterbanyak
tampak kejadian & Kromosom
pada ibu dalam kelompok umur >35
Faktor Mekanik
Faktor
tahun Infeksi
yaitu sebanyak 64 kasus dari 2.871 persalinan (2,23%).
Faktor Obat
Faktor Umur Ibu
2.11. Kerangka Teori
Faktor Hormonal
Faktor Radiasi
FaktorBerdasarkan
Gizi tinjauan teori diatas, makaKelainan Kongenital
dapat disusun kerangkaPada
teori Bayi Baru lahi

sebagai berikut :

46
Gambar 2.1 Kerangka Teori

(Sumber : Wahid, 2012)

2.12. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan kerangka teori tersebut, maka dapat disusun kerangka

konsep sebagai berikut :

Faktor Infeksi
Faktor Obat
Faktor Umur Ibu Kelainan Kongenital Pada Bayi Baru La
Faktor Gizi

Gambar 2.2 Kerangka Konsep


(Sumber : Wahid, 2012 modifikasi Sutrisno 2015)

47
2.13. Hipotesis Penelitian

2.13.1. Ada hubungan antara faktor infeksi dengan kejadian kelainan

kongenital pada bayi baru lahir.


2.13.2. Ada hubungan antara faktor obat dengan kejadian kelainan

kongenital pada bayi baru lahir.


2.13.3. Ada hubungan antara faktor umur ibu dengan kejadian kelainan

kongenital pada bayi baru lahir


2.13.4. Ada hubungan antara faktor gizi dengan kejadian kelainan

kongenital pada bayi baru lahir.

48

Anda mungkin juga menyukai