Prop
Prop
PROPOSAL
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Spesialis
Oleh :
Khodimatur Rofiah
168070900111002
Pembimbing :
dr. Satrio Wibowo, Sp.A(K), M.Si.Med
i
DAFTAR ISI
ii
2.2.1. Sumber Vitamin D..................................................................................15
iii
4.5 Definisi Operasional...................................................................................43
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.4 Skema Kompartemen Kripta pada Usus Kecil dan 4 jalur utama
Gambar 2.5 Barier Intestinal paraceluller pada intestinal sehat dan intestinal yang
v
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR SINGKATAN
CD : Crohn’s disease
Da : Dalton
DC : dendritic cell
ER : endoplasmic reticulum
H1 : Hipotesis 1
H2 : Hipotesis 2
H3 : Hipotesis 3
IFN-γ : interferon-gamma
IL : interleukin
LN : lymph node
vii
MHC : major histocompatibility complex
UC : Ulcerative Colitis
6-MP : 6-mercaptopurine
7-DHC : 7-dehydrocholesterol
viii
BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
dua bentuk yaitu Ulcerative Colitis (UC) dan Crohn Disease (CD), ditandai oleh
akumulasi sel inflamasi pada submukosa dan kerusakan lapisan sel epitel
adanya faktor risiko IBD, termasuk kerentanan genetik, perubahan flora normal
respon imun. Insiden tertinggi terdapat di negara North eastern Slovenia dengan
rata-rata diagnosis pertahun sebesar 7,6 per 100.000 untuk IBD, 4,6 per 100.000
untuk CD, dan 2,8 per 100.000 untuk UC (Jin-Soo et al., 2017; Stephanie & Iona,
2017).
activity dan chronicity. Activity dicirikan sebagai inflamasi aktif yaitu infiltrasi
kelenjar akibat injuri pada epitel setelah peradangan aktif dan kronis, berupa
terjadi defek integritas barier epitel yang menyebabkan berbagai molekul seperti
1
Vitamin D berperan dalam melindungi barrier epitel usus, mengatur
prevalensi defisiensi vitamin D sebesar 38,1% pada CD dan 31,6% pada UC.
diferensiasi dan proliferasi serta maturasi sel tersebut terjadi pada intestinal stem
cells (ISC) (Del Pinto et al., 2015; John & Alan, 2018).
histology index (MCHI) dan disease activity index (DAI) pada mencit model
kolitis?
2
2. Apakah pemberian vitamin D3 menurunkan skor disease activity index
index (MCHI) dan disease activity index (DAI) pada mencit model kolitis.
peradangan.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1. Definisi
kelainan idiopatik kronis yang diyakini hasil dari interaksi yang kompleks antara
dengan inflamasi pada mukosa yang menyebabkan gangguan pada struktur dan
2.1.2. Epidemiologi
tahun 1990. Kolitis ulseratif meningkat 2,7 kali selama periode 10 tahun di
California Utara. Pada anak Asia perkembangan Ulcerative Colitis lebih sering
dengan dengan rata-rata diagnosis pertahun sebesar 15,9 per 100.000 untuk
IBD, 6,41 per 100.000 untuk CD, dan 6,7 per 100.000 untuk UC. Di negara
British Columbia, South Asians memiliki insidensi IBD 3 kali lebih tinggi
dibandingkan non-South Asians. North eastern Slovenia sebesar 7,6 per 100.000
untuk IBD, 4,6 per 100.000 untuk CD, dan 2,8 per 100.000 untuk UC. Pada anak
4
klasifikasi UC. Hal ini berbeda dengan berbagai laporan dari negara maju yang
2012).
2.1.3. Patofisiologi
imun. Beberapa tahun terakhir, interaksi imunitas bawaan dan adaptif berperan
association telah mengindetifikasi lebih dari 200 lokus genetik yang terkait
dengan risiko kejadian IBD. Pada perokok aktif dan pasif, kondisi stress
Ananthakrishnan, 2016).
perdarahan, edema, dan regenerasi epitel. Selain itu, terjadi krepitasi, abses
Mediator inflamasi telah diidentifikasi dalam IBD dan bukti yang cukup
patologis dan klinis gangguan ini. Sitokin yang dilepaskan oleh makrofag sebagai
membedakan limfosit menjadi berbagai jenis sel T. Sel T helper tipe 1 (Th-1),
terkait terutama dengan CD, sedangkan sel Th-2 terutama terkait dengan CU.
5
Respons imun mengganggu mukosa usus dan menyebabkan proses inflamasi
2.1.4. Etiopatogenesis
faktor imunologis dan integritas mukosa. Terdapat 19-41% IBD bersifat familial.
Pada anak dengan riwayat keluarga CD, sering terdiagnosis pada usia kurang
disbiosis mikroba dengan penurunan short chain fatty acids dan peningkatan
pada mukosa usus pasien kolitis memproduksi faktor inflamasi, seperti Tumor
ekspresi apoptosis sel epitel terkait protein, menurunkan fungsi sel epitel dalam
et al., 2016).
6
atau food additive, dan paparan asap rokok. Respon imun melemahkan barrier pada
mukosa usus dan merusak fungsi sel epitel.
Dikutip dari: Stephanie & Iona, 2017
atipikal terjadi pada 22% anak yang datang dengan kegagalan pertumbuhan,
diare, nyeri perut, tenesmus, tinja berdarah dan perdarahan perianal (Tabel 2.1),
seperti artritis sendi besar, lesi kulit pioderma gangrenosum atau eritema
nodusum dan gagal tumbuh (Adamiak et al., 2013; Michael et al., 2015).
Tabel 2.1. Manisfestasi Klinis Inflammatory Bowel Disease pada Anak dan
Remaja
7
Manifestasi klinis ekstraintestinal yang sering terjadi pada anak-anak dan
remaja dengan IBD, sekitar 25% - 35% pasien (Tabel 2.2). Namun, pada anak
tahun. Arthritis adalah manifestasi ekstraintestinal yang paling sering terjadi pada
7%-25% anak-anak dengan IBD. Pada 5% anak dengan IBD terjadi nefrolitiasis,
2.1.6. Diagnosis
8
keluhan diare disertai nyeri abdomen dan berat badan turun yang persisten (>4
minggu) atau berulang (>2 episode dalam 6 bulan), kecurigaan meningkat bila
terdapat riwayat IBD dalam keluarga (Glick & Carvalho, 2011; Long et al., 2011).
adanya darah pada tinja, hemorhoid, fisura ani, atau penyakit perianal lainnya
yang sering berhubungan dengan CD (Long et al., 2011; Michael et al., 2015).
inflamasi yang meningkat. Evaluasi laboratorium pada pasien IBD terinci dalam
Tabel 2.3. Hasil evaluasi laboratorium normal tidak menyingkirkan diagnosis IBD
dikarenakan sekitar 10% - 20% anak-anak dengan IBD akan memiliki hasil
tersedia secara komersial, tetapi sejumlah besar anak-anak dengan IBD akan
memiliki hasil tes negatif, yang menghasilkan sensitivitas 65% dan spesifitas
75%. Panel seperti ini lebih bernilai sebagai alat prognostik untuk memprediksi
inflamasi yang diindukis reseptor Fcγ memiliki sensitivitas dan spesifitas tinggi
9
Tabel 2.3. Evaluasi Laboratorium pada Inflammatory Bowel Disease
al., 2014).
digunakan untuk mengevaluasi abses perianal dan fistula (Malowitz et al., 2016).
10
2.1.7. Tata Laksana
status nutrisi dan kualitas hidup. Tatalaksa IBD terdiri atas farmakoterapi, nutrisi,
anak, tetapi sekitar 50% dari pasien menjadi dependen steroid atau memerlukan
kalori dengan formula cair, sama efektifnya dengan terapi kortikosteroid untuk
menginduksi remisi klinis pada anak dengan CD. Durasi terapi EEN biasanya 8
induksi lini pertama di Eropa dan Amerika Serikat. Keuntungan terapi EEN
al., 2006). Kerugian terapi EEN adalah diit formula cair yang ketat menggunakan
nasogastric tube setiap malam, peradangan dan gejala muncul kembali dengan
dengan terapi medis pemeliharaan (Borrelli et al., 2006; Michael et al., 2015).
dalam ileum dan usus besar, atau secara topical melalui enema atau supositoria.
Tetapi banyak pasien tidak dapat mentolerir efek samping dari sulfa (yaitu: mual,
sakit kepala, demam, dan ruam). Saat ini, dikembangkan obat baru yaitu sulfa-
11
memberikan konsentrasi tinggi 5-ASA ke mukosa usus dengan efek samping
lebih sedikit. Obat 5-ASA efektif untuk induksi dan pemeliharaan remisi pada
orang dewasa dengan UC ringan sampai sedang, tetapi hanya beberapa uji klinis
untuk anak, menginduksi respon pada 8 minggu sebesar 45% anak dengan UC
dan remisi sebesar 12%. Efek samping obat 5-ASA yang jarang adalah
pemeliharaan remisi pada anak dengan UC (Turner et al., 2007). Efek samping
pasien harus diberi suplemen asam folat setiap hari (Dulai et al., 2011).
pertama yang diperkenalkan pada tahun 1998, telah di uji coba pada anak
dengan CD dan UC sedang sampai berat. Pada anak dengan CD, 88% respon
terhadap pemberian infliximab dengan 56% remisi dalam 1 tahun. Pada anak
dengan UC, 73% respon dengan 39% remisi dalam 1 tahun. Obat anti-TNF
12
biasanya digunakan pada anak-anak dengan IBD yang sulit disembuhkan
lebih efektif daripada kedua obat tersebut masing masing. Efek samping obat
anti-TNF adalah meningkatkan risiko infeksi, khususnya infeksi jamur, virus, dan
meningkatkan pertumbuhan linear pada anak. Oleh karena itu, obat anti-TNF
sebagai terapi lini pertama untuk CD pada anak dengan ulserasi mukosa yang
2.1.8. Prognosis
remisi. Sekitar 70% anak dengan UC mengalami remisi dalam 2 tahun. Terjadi
26% kasus kasus derajat berat dilakukan kolektomi dalam 5 tahun setelah
meningkat 0,5-1% setiap tahun (Glick & Carvalho, 2011; Hegar, 2014).
13
2.2. Vitamin D
pada berbagai sel imun dan memiliki beragam efek pada sistem kekebalan
meningkatkan jumlah dan fungsi sel Treg. Vitamin D juga terlibat dalam
melindungi barrier sel epiter mukosa pada kolitis (Sheng-Long et al., 2015).
bentuk aktif vitamin D (1,25-(OH)2D). Telah ditemukan bahwa banyak sel imun,
antibakteri, serta memodulasi aktivitas abnormal mukosa usus dari respon sel T
dengan UC. Pada penelitian eksperimental pada model tikus kolitis yang
aktif vitamin D (1,25D3) melemahkan efek defisiensi VDR pada kolitis. Dalam
14
aktifitas penyakit pada UC dan CD. Studi retrospektif menunjukkan hubungan
antara kekurangan vitamin D dan indeks kualitas hidup yang lebih rendah dan
peningkatan aktifitas penyakit pada CD, tetapi tidak pada Pasien dengan UC.
disease activity index (DAI) (Maggie et al., 2014; Mehdi et al., 2015; John et al.,
2016).
diperoleh dari paparan sinar ultraviolet B (UVB) yang berasal radiasi sinar
matahari serta konsumsi sumber makanan seperti ikan berlemak, makanan yang
telah difortifikasi (susu, jus, margarin, yogurt, sereal, kedelai), dan suplemen oral
melalui radiasi sinar UV (spectrum 280 – 320 UVB) dari matahari, membentuk
Setelah sintesis dikulit, vitamin D dihidroksilasi di hati oleh enzim sitokrom P450
15
(1,25(OH)D2) terutama di tubulus ginjal, dan merangsang VDR. Stimulasi dari
merubah pertumbuhan TGF- beta (Christakos et al., 2010; Wendy et al., 2017).
defisiensi vitamin D bila kadar 25(OH)D <20 ng/mL, insufisiensi vitamin D bila
kadar 25(OH)D 21-29 ng/mL, dan sufisiensi vitamin D bila kadar 25(OH)D >30
16
nmol/L memiliki kadar C-reaktif protein secara signifikan lebih rendah dan
hydroxylation terjadi di dalam hepar. Proses ini dikatalisis oleh enzim CYP2R1.
menjadi 1,25 (OH)2 vitamin D yang dikatalisis oleh CYP27B1; 1α (OH)ase dan
namun baru-baru ini juga ditemukan di sel epitel, makrofag, dan keratinosit. 1,25
(OH)2 vitamin D aktif berikatan dengan vitamin D receptor (VDR) dalam sitosol,
diikuti dengan translokasi kompleks reseptor aktif ke inti sel. Kemudian kompleks
receptor alpha (RXR-α). Kompleks ini megikat sekuen DNA spesifik, disebut
aktivasi 1,25 (OH)2 vitamin D menjadi vitamin D3 lakton atau calcitroic acid.
vitamin D. Waktu paruh 1,25 (OH)2 vitamin D hanya sekitar 4 jam, sedangkan
lebih stabil dan dapat digunakan sebagai tanda penyimpanan dan status vitamin
hydroxylase dan 24-hydroxylase. Kedua enzim diatur oleh kadar kalsium serum,
kalsitriol, dan fosfat. Apabila kadar kalsium atau vitamin D serum rendah, hormon
17
sintesis 1α-hydroxylase, meningkatkan aktivasi 1,25(OH)2D (Christakos, 2017).
dan kalsium serum menurun (Perwad & Portale, 2011; Gil et al., 2018). Aktivitas
akumulasi ini lebih tinggi pada obesitas dibandingkan dengan berat badan
normal, tetapi vitamin D yang disimpan ini tidak dapat dilepaskan ketika
interaksi antara ginjal, tulang, hormon paratiroid, dan usus yang hasilnya
menjaga kadar kalsium ekstraseluler selalu dalam batas normal sehingga dapat
seluler. Vitamin D pada skeleton mempunyai peranan yang sangat penting untuk
tidak ada satu komponen saja maka proses keseimbangan di skeleton tidak akan
berlangsung dengan baik. Vitamin D pada kelenjar tiroid merupakan suatu sistem
18
dimana defisiensi vitamin D menyebabkan hiperplasia dari paratiroid yang
paratiroid. Efek endokrin pada ginjal yang terpenting dari 1,25(OH)2D pada ginjal
adalah kontrol yang ketat dari hemostasisnya sendiri melalui mekanisme supresi
dari 1α-hydroxylase dan menstimulasi 24- hydroxylase dan melalui ekspresi dari
megalin di tubulus proksimal (Miheller et al., 2009; Raman et al., 2011; Bikle,
2014).
pada regulasi respon imun. Rendahnya kadar vitamin D di dalam darah ternyata
dihubungkan terhadap komplikasi infeksi yang parah pada penderita gagal ginjal
influenza, penyakit paru obstruktif kronis dan asma. Penelitian cross sectional
pada penderita sepsis yang berat. Keseluruhan hasil tersebut memperkuat teori
melawan mikroba, monosit dan antigen presenting cell (APC) lainnya, khususnya
sel dendritik atau dendritic cell (DC) merupakan target penting terhadap efek
imun adaptif melalui presentasi antigen kepada sel T maupun sel B. Sel dendritik
juga memiliki peran dalam memodulasi sistem imun adaptif untuk menjadi
19
yang diekspresikan oleh sel dendritik (Prietl et al., 2010; (Prietl et al., 2010; Gil et
al., 2018).
dendritik yang imatur dan tolerogenik. Sel dendritik yang imatur ditandai dengan
peningkatan sekresi sitokin anti-inflamasi IL-10. Hal ini juga ditunjukkan bahwa
sel dendritik imatur merupakan induktor yang kuat dalam terbentuknya sel Treg
yang memiliki peran penting dalam mengkontrol respon imun dan mencegah
adaptif. VDR dan enzim yang mengaktivasi vitamin D ternyata juga didapatkan
pada sel T maupun sel B. Ekspresi VDR pada sel-sel tersebut ternyata sangat
rendah pada kondisi istirahat, akan tetapi peningkatan regulasi VDR ternyata
terjadi sangat cepat ketika sel tersebut mengalami aktifasi dan proliferasi (Wei &
Christakos, 2015).
pada sel B akan tetapi efek tersebut masih diduga akibat efek secara tidak
langsung dari modulasi vitamin D terhadap sel Th. Efek langsung pemberian
Sel lain yang memiliki peran penting dalam sistem imun adaptif adalah sel
T. Sel T tersebut juga merupakan target penting efek imunomodulasi dari vitamin
20
memodulasi fungsi dari sel T: (1) Efek langsung secara endokrin, melalui vitamin
D sistemik; (2) Efek langsung secara intrakrin, melalui konversi 25(OH)D menjadi
calcitriol di sel limfosit T; (3) Efek langsung secara parakrin, melalui konversi
25(OH)D oleh monosit atau sel dendritik yang disumbangkan kepada sel limfosit
mampu menurunkan aktifasi dari Th1 dan Th17 baik secara langsung maupun
secara tidak langsung melalui aktivasi sel dendritik yang tolerogenik. Aktivasi sel
perkembangan Th1) dan supresi produksi IL-23 dan IL-6 (penting untuk
Th1, yang menghasilkan interferon-gamma (IFN-γ) dan IL-2, dan Th17 yang
selanjutnya juga akan meningkatkan produksi IL-4, IL-5 dan IL-13, yang
proinflamasi sel CD4+Th1 dan produksi sitokinnya, seperti IL-2, IFN- γ dan tumor
proliferasi sel T, ekspresi protein dan mRNA IL-2, IFN- γ, dan TNF-α pada sel T
VDRE yang mengkode IL-2 dan IFN- γ. Efek anti inflamasi vitamin D juga
diperkuat oleh respon Th2 melalui peningkatan produksi IL-4, IL-5 dan IL-10
Th2 anti inflamasi. Vitamin D dapat meningkatkan aktifitas sel Treg dan menekan
sel NK tetapi juga meningkatkan produksi IL-4 dan IFN-Ϫ oleh sel NK (Hewison,
2010).
21
Kemampuan 1,25(OH)2D dalam menghambat pertumbuhan dan
lain vitamin D dalam mencegah kanker, memodulasi sistem imun, dan mengatur
beberapa sistem endokrin, disebutkan bahwa efek vitamin D lebih kuat dalam
didasarkan atas (1) Adanya VDR pada makrofag, sel monosit, sel limfosit T dan
B yang teraktivasi (2) Kemampuan makrofag, sel dendritik, sel T dan B teraktivasi
termasuk IL-1, IL-6, TNF-á, IL-8, dan IL-12. 1,25(OH)2D3 juga memodulasi sel
IL-12 dan IL-23 (dikenal sebagai sitokin yang berperan dalam diferensiasi Th1
dan diferensiasi Th17), dan meningkatkan pelepasan IL-10 dan kemokin CCL22,
dendritik, yang berasosiasi dengan toleransi terhadap induksi dan modulasi dari
22
Ekspresi VDR pada sel imun dikontrol oleh sinyal sistem imun. sel T naive
sangat rendah tingkat VDR-nya, reseptor ini berlimpah setelah sel T teraktivasi.
disertai dengan penurunan ekspresi VDR sehingga membuat sel dendritik kurang
sensitif terhadap 1,25(OH)2D3. Selain itu, aktivasi jalur sinyal VDR juga
penurunan ekpresi MHC kelas II, molekul kostimulator (CD40, CD80, CD86 dan),
dan menghambat sel dendritik. APC, terutama sel dendritik adalah target utama
dari ligan VDR, baik in vitro dan in vivo (Adorini et al., 2004; Adam dan Hewison,
2008).
dari molekul kostimulator CD40, CD80, CD86, dan IL-12, secara bersama
menangkap antigen asing yang menginisiasi respon imun karena hormon ini
dendritik imatur (iDC). Sel dendritik merupakan APC yang professional yang
sel T. Sel dendritik memiliki tugas untuk menelan antigen dan mempresentasikan
antigen yang telah sederhana pada permukaan sel dendritik sangat penting
makna nya karena dengan itu sel-sel limfosit bisa mengenal dan selanjutnya
23
reaksi sistem imun secara bertahap akan dilaksanakan (Ding et al., 2006;
dendritik imatur (iDC) pada jaringan yang terinfeksi. Sel dendritik berasal dari
24
lingkungannya dari serangan patogen. Sel dendritik yang telah memperoleh
antigen akan segera memasuki pembuluh limfa dan masuk lymph node. Pada
lymph node, sel dendritik akan mengenalkan antigen yang dibawa kepada sel T
naive. Sel dendritik matur (mDC) memiliki kemampuan dalam mengaktivasi sel T
Disease
Epitel intestinal dibentuk dari sel epitel kolumner yang terhunbung oleh
tight junctions (Tjs) sebagai barier terhadap patogen. Intestinal Ephitelial Cells
(IEC) seperti sel goblet dan sel paneth adalah bagian penting dari innate immune
musin. Sekresi musin merupakan lapisan mukus tebal untuk mecegah masuknya
mikroba pada IEC, dan juga berfungsi sebagai pelumas, bersama dengan
gerakan peristaltik usus mendorong isi usus bersama dengan mikroba melewati
mukus dapat menyebabkan terjadinya inflamasi kronis. Selain itu, sel goblet juga
HCO3- yang berperan dalam pembentukan mukus. Deplesi dari sel globlet
merupakan gambaran patologik yang sering ditemukan pada IBD. Sel penath
bakteri kedalam lapisan mukus. Sel Paneth juga berfungsi mengirimkan sinyal
Wnt, TGF, atau Notch ke Intestinal Stem Cells (ISC). Selain itu IEC juga memiliki
reseptor patogen untuk memediasi respon imun bila barier lain gagal
mengeleminsi bakteri (Heather et al., 2015; Zoe et al., 2015; Eva et al., 2017).
proteins (BMPs), dan hedgehog (Gambar 2.4). Jalur Wnt diperlukan untuk
penentuan posisi dan maturasi sel penath pada kripta, dan untuk memisahkan
25
sel yang berploriferasi dan berdiferensiasi. Jalur Wnt berperan melalui jalur
kanonik dan non-kanonik. Yang berperan pada jalur kanonik adalah β-catenin,
suatu protein sitoplasma yang stabilitasnya diatur oleh tumor supresor APC.
receptor related proteins berfungsi sebagai reseptor untuk Wnt. Ketika Wnt tidak
menghambat aktivitas intrinsik kinase pada komples APC dan terjadi akumulasi
β-catenin pada sitoplasma. β-catenin yang tidak terfosforilasi masuk kedalam inti
sel dan berikatan dengan faktor transkripsi T cell factor/ lymphoid enchancing
Gambar 2.4 Skema Kompartemen Kripta pada Usus Kecil dan 4 jalur utama
signaling dari Stem Cell
Semua yang berkaitan dengan tipe sel intestinal dan signaling molekul dipresentasikan
dalam grey box. Singkatnya, sel paneth dan sel mesenkimal memproduksi ligan Wnt,
yang secara langsung mengikat reseptor frizzled yang diekspresikan oleh stem sel
intestinal. Kemudian prekursor transit-amplifying cell mensekresi ligan Notch, yang
berikatan dengan reseptor Notch diekspresikan oleh prekursor absoptif. Sinyal Hedgehog
diproduksi oleh sel epitel dan bertindak langsung pada sel mesenkim, untuk
menghasilkan BMP, berikatan dengan reseptornya yang diekspresikan oleh sel epitel
pada jalur Wnt.
Diambil dari : Tim et al., 2013
Jalur Notch adalah jalur yang memiliki peran yang sangat penting dalam
26
proliferasi ISC. Secara umum, diaktifkan melalui reseptor Notch yang berikatan
dengan membran, dengan cara kontak sel dengan sel yang berdekatan yang
diferensiasi ISC. Mutasi pada komponen jalur Notch, seperti Notch DNA-binding
protein RBP-J atau reseptor Notch, menyebabkan penurunan proliferasi sel epitel
kripta intestin. Aktivasi jalur Notch meningkat pada IEC dari mukosa kolon yang
respon proliferatif pada IEC yang berada di mukosa kolitis, yang menyebabkan
eksaserbasi yang signifikan pada kolitis (Richmond & Breault, 2010; Okamoto &
Watanabe, 2016).
berdekatan yang mengandung ligan dan reseptor Notch. Ada 4 reseptor Notch
kaskade pensinyalan Notch adalah interaksi antara ligan dengan reseptor untuk
memfasilitasi komunikasi antara sel-sel yang berdekatan secara fisik. Interaksi ini
kemudian mengaktifkan transkripsi gen target, seperti Hes dan Hey (Hes-related
27
ekspresikan di mesenkim intestin dan endotelium (Richmond & Breault, 2010;
transportasi paraseluler dari zat terlarut dan air, biasanya diperantarai oleh
claudin-2. Sebagai akibatnya, ion dan air berdifusi dari darah ke lumen yang
28
2.4. Peran Vitamin D pada Inflammatory Bowel Disease
mengatur pertumbuhan sel, atau secara tidak langsung mempengaruhi siklus sel,
atau sistem pensinyalan sel yang penting lainnya. Ketika 1,25(OH)2D3 berikatan
adherent joint dan plektin pada hemidesmosom, yang merupakan struktur yang
kinase-dependent dalam fase G1, menyebabkan sel tetap berada dalam fase
G1, menurunkan degradasi p27, yang akan menghambat proliferasi dan migrasi
sel dan memodulasi apoptosis (Samuel & Sitrin, 2008; de Almeida & Coimbra,
2017).
29
Gambar 2.6 Peran Vitamin D dalam Menghambat Proliferasi Sel
Aktivasi VDR menekan aktivitas β-catenin, sehingga mengurangi β-catenin dalam inti sel, menekan
faktor transkripsi faktor sel T (TCF), dan menghambat proliferasi sel. Peningkatan level VDR juga
dikaitkan dengan peningkatan claudin2 dan 12, yang mungkin memainkan peran dalam
homeostasis kalsium dan fungsi barier. Protein tight junction lain yang terlibat dalam vitamin D /
VDR termasuk E cadherin, Occludin, dan zonula occludens-1.
Diambil dari : Zang et al., 2013
pembentuk pori yang membentuk bagian dari tight junctions terlibat dalam
oleh IFN-γ dan dihambat oleh protein tyrosine phosphatise N2 (PTPN2). Ekspresi
Uji ekperimental IBD dilakukan pada hewan uji tikus, yang menunjukkan
kondisi yang mirip IBD pada manusia. Penelitian menggunakan DSS pada
hewan uji tikus yang digunakan adalah model kolitis yang diinduksi
eksperimental model kolitis yang baik karena mempunyai kesamaan dengan IBD
pada manusia dalam pathogenesis, etiologi, dan respon terhadap terapi. Selain
30
itu DSS murah dan mudah digunakan (Solomon et al., 2010; Perše & Cerar,
2012).
oleh bakteri tertentu, paling sering adalah Leuconostoc spp dan Streptococcus
spp. Terbuat dari rantai lurus dan bercabang dengan berat jenis molekul yang
bervariasi, skala antara 5.000 hingga 1.4 juta Dalton (Da). Dekstran sulphate
dengan asam klorosufanat. Kandungan sulfur sebesar 17%, setara dengan dua
kelompok sulfat per residu glukosil molekul dekstran. Menjadi bubuk putih pada
suhu ruangan dan bahan tersebut larut dalam air (Solomon, et al., 2010).
Dextran sulphate sodium (DSS) diberikan pada tikus dalam air minum
hilangnya kripte, dan infiltrasi granulosit. Kolitis dapat akut atau kronis,
tinggi, dan diberikan secara terus menerus dalam waktu yang singkat, biasanya
4–14 hari. Beberapa penelitian yang telah dilakukan, misalnya kolitis akut pada
mencit atau BALB/c setelah diinduksi menggunakan DSS 3–10% selama 10 hari
(Okayasu et al., 1990), pada babi diinduksi dengan DSS. 3% selama 4 hari
(Iwanaga et al., 1994), pada tikus Wistar jantan menggunakan DSS 5% selama 6
hari (Breider et al., 1997) dan pada tikus Sprague-Dawley menggunakan DSS
4% selama 14 hari (Mallon et al., 2006). Kolitis kronis dapat diinduksi oleh
hari pada hamster (Yamada et al., 1992) atau selama 6 bulan pada tikus Wistar
(Chiba, 1993) (Solomon et al., 2010; Perše & Cerar, 2012; Eichele & Kharbanda,
2017).
dalam air minum tikus, selama 4 -10 hari dapat meningkatkan sitokin pro-
31
inflamasi seperti TNF-α, IL-1β, IL-6, IL-1-, dan IL-17. Derajat keparahan kolitis
kemudian tikus dimatikan pada hari ke-8, menunjukkan adanya kolitis derajat
hari ke 22 hingga 28, kemudian dimatikan pada hari ke 29, menunjukkan kolitis
22 hingga 28, dan hari ke 43 hingga 49, kemudian dimatikan pada hari ke 50,
Mekanisme lain adalah sitotoksisitas DSS secara langsung pada mukosa kolon,
pada sel epitel yang mengganggu interaksinya dengan sel T intraepitel. Sel T
dari kolitis di induksi DSS tidak diketahui, tetapi ditemukan hilangnya kripte dan
awal paling mungkin terjadi pada sel epitel, yang kemudian berkembang menjadi
dalam tinja, penurunan berat badan, nafsu makan menurun, aktivitas menurun,
piloereksi bulu, anemia dan akhirnya kematian. Onset dan keparahan dari gejala
klinis tersebut bervariasi dan tergantung dari spesies hewan, konsentrasi DSS
dan durasi pemberian. Pada kolitis akut, diare dan darah samar dalam tinja
biasanya merupakan gejala paling awal dan dapat terjadi pada hari 2 setelah
32
pemberian DSS, inflamasi bisa terjadi dalam 7-10 hari tetapi gejala klinis
keparahan kolitis, dapat digunakan skor disease activity index (DAI). Skor DAI
dihitung sebagai jumlah dari skor penurunan berat badan, skor konsistensi feses
dan skor darah pada feses (Solomon et al., 2010; Park et al., 2015; Eichele &
Kharbanda, 2017).
ulkus superfisial, edema mukosa, hilangnya sel goblet, distorsi kripte dan abses,
adanya infiltrasi sel inflamasi, yaitu neutrofil, makrofag, sel plasma, dan beberapa
limfosit kedalam mukosa dan submukosa. Saat awal, sekitar hari ke 2 atau 3
diikuti oleh pemendekan kripte. Gambaran histologis kolitis kronis yang diinduksi
mukosa, folikel limfoid yang menonjol, displasia, dan dapat juga terjadi
adanya perubahan morfologis kecil yang tidak signifikan pada ileum, seperti
33
peningkatan proliferasi kripte, ketinggian vili dan aktivitas brush border biasanya
mikroflora usus atau efek kondisi pH yang berbeda (4,0-7,5) dan inkubasi
densitas kripte, ketebalan otot, infiltrasi submukosa, ulserasi dan abses kripte.
Nilai derajat keparahan gambaran histologi kolon mulai dari 0 sampai 24,
Histologi 0 1 2 3
34
2.6 Kerangka Konsep
Keterangan :
Mempengaruhi
Menghambat
genetika, faktor lingkungan, respons imun dan faktor mikroba usus. Faktor
lingkungan yang dianggap sebagai faktor risiko IBD adalah merokok, obat-
obatan, geografi, stres sosial dan psikologis. Mikroba usus berperan penting
dalam kekebalan bawaan dan adaptif, dengan kolonisasi mikroba usus penting
satunya adalah efek buruk dari gaya hidup modern pada komposisi dan fungsi
35
mikrobiota usus, termasuk diet lemak jenuh tinggi, tinggi gula dan penggunaan
patogen. Respon imun bawaan dimediasi oleh berbagai macam tipe sel yang
berbeda termasuk sel epitel, neutrofil, sel dendritik, monosit, makrofag, dan sel
natural killer. Bentuk kekebalan ini diawali oleh pengenalan antigen mikroba,
yang dimediasi oleh TLR pada permukaan sel dan NOD2 di sitoplasma. Gen
(MDP), yang terdapat pada peptidoglikan dari bakteri gram positif dan negatif.
presentasi antigen, dan memodulasi respon imun bawaan dan adaptif. Pada IBD
perilaku sel yang memediasi imunitas bawaan dan ekspresi serta fungsi TLR dan
inflamasi dan respon Th1 yang berlebihan. Sel Th1 yang diinduksi oleh IL-12,
menghasilkan IFN-γ, IL-2 dan IL-6, sedangkan sel Th2 melepaskan IL-4, IL-5,
IL-9, IL-13 dan TNF-α. Sel Th17 diinduksi oleh IL-6 dan TGF- β menghasilkan
Proses proliferasi ini dilakukan oleh sel punca yang terletak pada area
kripta. Jalur Wnt diperlukan untuk penentuan posisi dan maturasi sel paneth
pada kripta, dan untuk memisahkan sel yang berproliferasi dan berdiferensiasi.
sel punca. Aktivasi jalur Notch meningkat pada IEC dari mukosa kolon yang
mengalami inflamasi (Richmond & Breault, 2010; Okamoto & Watanabe, 2016).
36
mempengaruhi integritas epitel usus, fungsi barier imunitas bawaan, dan
yaitu (1) induksi protein antimikroba seperti angiogenin, katelisidin, defensin atau
NOD2 yang akan menjaga homeostasis mikroba usus, (2) aktivasi sel T ke
bagian peradangan, (3) penekanan Th17 dan Th1 dan induksi Treg dan Th2, (4)
2019).
37
BAB 3
Keterangan :
Mempengaruhi
Menghambat
38
sitokin pro inflamasi seperti TNF-α, IL-1β,IFN-γ, IL-10, dan IL-12. Gambaran
sel goblet, distorsi kripta dan abses, adanya infiltrasi sel inflamasi yaitu neutrofil,
makrofag, sel plasma dan beberapa limfosit kedalam mukosa dan submukosa.
homeostasis mikroba usus dan mengatur respon imun bawaan dan adaptif.
mikroba usus. Vitamin D menghambat proliferasi dan diferensiasi sel CD4 untuk
menjadi sel Th1 dan Th17 dan meningkatkan produksi sel Th2 dan Treg.
proliferasi sel epitel kripta intestin, migrasi sel-sel baru dari kripta ke vilus, dan
diferensiasi sel-sel vili selanjutnya untuk membangun kembali struktur epitel yang
tepat Aktivasi jalur Notch meningkat pada IEC dari mukosa kolon yang
yang bekerja pada gen target untuk mengatur proliferasi dan diferensiasi sel.
respon inflamasi yang berlebihan dan manifestasi dari kolitis dapat dihentikan.
1. Hipotesis 1 (H1)
2. Hipotesis 2 (H2)
39
BAB 4
METODE PENELITIAN
mencit yang diberi DSS 5% pada hari ke 1 sampai hari ke 7, selanjunya diamati
sampai dengan hari ke 15; kelompok 3 merupakan kelompok mencit yang diberi
DSS 5% pada hari ke 1 sampai hari ke 7 dan diberi vitamin D3 dosis 0,2 mcg/25
gram pada hari ke 8 sampai hari ke 14; kelompok 4 merupakan kelompok mencit
yang diberi DSS 5% pada hari ke 1 sampai hari ke 7 dan diberi vitamin D3 dosis
0,4 mcg/25 gram pada hari ke 8 sampai hari ke 14; kelompok 5 merupakan
kelompok mencit yang diberi DSS 5% pada hari ke 1 sampai hari ke 7 dan diberi
vitamin D3 dosis 0,6 mcg/25 gram pada hari ke 8 sampai hari ke 14; diamati pada
40
Keterangan :
: Pemberian vitamin D3
: Pemberian Dekstran 5%
R : Randomisasi
K1 : Kelompok mencit yang tidak diberikan perlakuan, kemudian dilakukan
pengambilan kolon pada hari ke-15.
K2 : Kelompok mencit yang diberikan DSS 5% pada hari 1 sampai hari ke-7,
Kemudian dilakukan pengambilan kolon pada hari ke-15
K3 : Kelompok mencit yang diberikan DSS 5% pada hari 1 sampai hari ke-7, dan
diberikan vitamin D3 0,2 mcg/25 gram pada hari ke-8 sampai hari ke-14.
Kemudian dilakukan pengambilan kolon pada hari ke-15.
K4 : Kelompok mencit yang diberikan DSS 5% pada hari 1 sampai hari ke-7, dan
diberikan vitamin D3 0,4 mcg/25 gram pada hari ke-8 sampai hari ke-14.
Kemudian dilakukan pengambilan kolon pada hari ke-15.
K5 : Kelompok mencit yang diberikan DSS 5% pada hari 1 sampai hari ke-7, dan
diberikan vitamin D3 0,6 mcg/25 gram pada hari ke-8 sampai hari ke-14.
Kemudian dilakukan pengambilan kolon pada hari ke-15.
selama 14 hari.
41
4.2. Persetujuan Penelitian
berumur 8-10 minggu dengan berat badan 20-25 gram yang dibagi menjadi
empat kelompok secara random. Unit analisis yang diperiksa dalam penelitian ini
berikut :
keterangan :
t = jumlah kelompok perlakuan
42
r = jumlah sampel perkelompok perlakuan
sehingga ;
(3-1) (r-1) > 15
(r-1) > 15/2
r > 7,5
hewan coba mati, (f) = 10% maka jumlah replikasi dikalikan 1/1-f sehingga: 1/(1-
0,1) x 5 = 5,55 = 6, sehingga jumlah sampel pada penelitian ini adalah 6 ekor per
Pemberian Vitamin D3
4.5.1. Mencit
jantan yang berumur 8-10 minggu dengan berat badan per ekor antara 20-25
gram. Mencit dikatakan menderita kolitis dilihat dari skor DAI selama diberikan
43
perlakuan (tabel 2.4) dan dari skor MCHI menggunakan histologi jaringan kolon
(tabel 2.5).
4.5.2. Vitamin D3
digunakan pada penelitian ini sebesar 0.2 mcg/25 gram, 0,4 mcg/25 gram, 0,6
mcg/25 gram diberikan secara per sonde setiap hari selama 7 hari.
Dextran sodium sulfat yang digunakan dibeli dari toko bahan kimia Abcam
dengan berat molekul 40.000 Da. Larutan DSS 5% dibuat dengan menggunakan
kembali baik
kolon
44
pernah dipakai dalam penelitian terdahulu sehingga tidak mempengaruhi
ad libitium.
sampai hari ke-7, kelompok K3 diberi DSS 5% pada hari 1 sampai dengan
hari ke-7, serta vitamin D3 0,2 mcg/25 gram per sonde dihari ke-8 sampai
hari ke-14, kelompok K4 diberi DSS 5% pada hari 1 sampai dengan hari
ke-7, serta vitamin D3 0,4 mcg/25 gram per sonde dihari ke-8 sampai hari
ke-14, dan kelompok K5 diberi DSS 5% pada hari 1 sampai dengan hari
ke-7, serta vitamin D3 0,6 mcg/25 gram per sonde dihari ke-8 sampai hari
ke-14.
0,2 mcg/25 gram, 0,4 mcg/25 gram, 0,6 mcg/25 gram diberikan secara per
intravena. Cara ini dipilih agar tidak menimbulkan gejala yang tidak
45
menyenangkan, aman untuk peneliti, irreversible, dan tidak menimbulkan
10. Sisa jaringan coba dikubur sesuai dengan prosedur yang berlaku.
minum), bahan yang akan diujikan (vitamin D3, DSS 5%) dan prosedur penelitian
Mencit dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu : (1) kelompok yang tidak diberi
perlakuan, yang dikorbankan dan dilakukan pengambilan kolon pada hari ke-15;
(2) kelompok yang diberi DSS 5% pada hari 1 sampai hari ke-7, yang
dikorbankan dan dilakukan pengambilan kolon pada hari ke-15 ; (3) kelompok
yang diberi DSS 5% pada hari 1 sampai hari ke-7 dan diberi vitamin D3 0,2 mcg/
25 gram pada hari ke-8 sampai hari ke-14, kemudian dikorbankan dan dilakukan
pengambilan kolon pada hari ke-15; (4) kelompok yang diberi DSS 5% pada hari
1 sampai hari ke-7 dan diberi vitamin D3 0,4 mcg/25 gram pada hari ke-8 sampai
hari ke-14, kemudian dikorbankan dan dilakukan pengambilan kolon pada hari
ke-15; (5) kelompok yang diberi DSS 5% pada hari 1 sampai hari ke-7 dan diberi
vitamin D3 0,6 mcg/25 gram pada hari ke-8 sampai hari ke-14, kemudian
46
Perawatan rutin meliputi pemberian makanan dilakukan setiap hari,
harian dilakukan dengan melihat perilaku mencit, apakah terlihat sakit, tidak aktif
dan sementara disimpan dalam larutan buffer formalin 10% sebelum dilakukan
usus.
47
1. Uji homogenisitas : untuk meyakinkan bahwa sampel berasal dari
2. Uji Normalitas : dalam penelitian ini hasil analisis data pada uji
keputusan, yaitu bila nilai Sig atau p-value lebih besar dari α = 0,05, maka
data terdistribusi normal dan sebaliknya bila nilai Sig atau p-value lebih
proses pengujian hipotesis beda rerata dilakukan dengan one way Anova
4. Uji post hoc (uji Least Significant Difference) : Uji ini bertujuan untuk
mengetahui kelompok mana yang berbeda secara signifikan dari hasil tes
Anova. Uji post hoc yang digunakan adalah uji LSD dengan tingkat
a. Tabulasi
b. Grafik
48
DAFTAR PUSTAKA
Abramson O, Durant M, Mow W, Allen F, Pratima K, Anthony W, Vanessa T, Erin
M.R.N., Liyan L, James D.L., James E.A., Nicole F, Susan H, Fernando
S.V., Geraldine S.P., Robert C, and Lisa J.H. 2010. Incidence, prevalence,
and time trends of pediatric inflammatory bowel disease in Northern
California, 1996 to 2006. Journal Pediatric;157(1):233-239.
Colombel J.F., Sandborn W.J., Reinisch W, and Gerassimos J.M. 2010. SONIC
Study Group. Infliximab, azathioprine, or combination therapy for Crohn’s
disease. N Engl J Med;362(15):1383-1395.
Del Pinto R., Pietropaoli D., Chandar A.K., Claudio F., and Fabio C. 2015.
Association between inflammatory bowel disease and vitamin D deficiency:
a systematic review and metaanalysis. Inflammatory Bowel Disease;
21:2708-2717.
Dulai P.S., Thompson K.D., Blunt H.B., Dubinsky M.C., and Siegel C.A. 2014.
Risks of serious infection or lymphoma with anti–tumor necrosis factor
therapy for pediatric inflammatory bowel disease: a systematic review. Clin
Gastroenterol Hepatol;12(9):1443-1451.
Eva M, Susanne M.K., Britta S, Markus F.N., and Christoph B. 2017. The
Epithelial Barrier and its Relationship With Mucosal Immunity in
Inflammatory Bowel Disease Celluler Moleculer Gastroenterology &
Hepatology;4:33–46
Feagan B.G., Macdonald J.K. 2012. Oral 5-aminosalicylic acid for induction of
remission in ulcerative colitis. Cochrane Database Syst Rev.;10:CD000543.
Glick SR & Carvalho RS. 2011. Inflammatory Bowel Disease. Pediatri Revision.,
32(1), 14-24.
49
Gui, X., Li, J., Ueno, A., Iacucci, M., Qian, J., & Ghosh, S. 2018. Histopathologic
Features of Inflammatory Bowel Disease are Associated with Different
CD4+ T Cell Subsets in Colonic Mucosal Lamina Propria. Journal of
Crohn’s and Colitis.
Heather A.M and G.G. 2015. Three cheers for the goblet cell: maintaining
homeostasis in mucosal epithelia. Trends Moleculer Medicine;21:492–503.
Hyams J.S., Griffiths A, Markowitz J, Robert N.B., William A.F., Ricard B.C.,
Marla D, and Jaroslaw K. 2012. Safety and efficacy of adalimumab for
moderate to severe Crohn’s disease in children. Gastroenterology; 143(2):
365-374.e2
Hyams J.S., Lerer T, and Mack D. 2011. Pediatric Inflammatory Bowel Disease
Collaborative Research Group Registry. Outcome following thiopurine use
in children with ulcerative colitis: a prospective multicenter registry study.
Am J Gastroenterol;106(5):981-987.
Jin-Soo P., Inseong J., Paul D.R., Choon-Soo J., and Gajin J. 2017. Alactic acid
bacterium isolated from kimchi ameliorates intestinal inflammation in DSS-
induced colitis. Journal of Microbiology; 1225-8873.
John G., and Alan C.Moss. 2018. Vitamin D in inflamatory bowel disease: more
than just a supplement. Current Opinion Gastroenterogy and Hepatology;
34:217-225.
John G, Shuji M.B.S., Talia Z, Laura R, Simon R.M., and Alan C.M. 2016. Low
Serum Vitamin D During Remission Increases Risk of Clinical Relapse in
Patients with Ulcerative Colitis. Clinical Gastroenterology and Hepatology;
05.035.
Jot H.O., Jing C, and Margherita T.C 2012. Vitamin D regulation of immune
function in the gut: why do T cells have vitamin D receptors?. Molecular
aspects of medicine; 33(1):77-82.
Jussila A, Virta LJ, Salomaa V, Mäki J, Jula A, Färkkilä MA. 2013. High and
increasing prevalence of inflammatory bowel disease in Finland with a clear
North-South difference. Journal Crohns Colitis;7:256-62.
Kim, H.Y., Song, J.L., Chang, H.K., Kang, S.A., and Park, K.Y. 2014. Kimchi
protects against azoxymethane/dextran sulfate sodium-induced colorectal
carcinogenesis in mice. Journal Medicine of Food; 17:833-841.
Long M.D., Crandall W.V., Leibowitz I.H., Fernando D.R., Sandra C.K., Mark J.i.,
James B, John G, and Richard B.C. 2011. ImproveCareNow Collaborative
50
for Pediatric IBD. Prevalence and epidemiology of overweight and obesity
in children with inflammatory bowel disease. Inflamm Bowel Disease;
17(10):2162-2168.
Maggie H, Maria S.L., Longhi, Conor F, Adam C, Simon R, and Alan C.M. 2014.
Vitamin D levels in adults with Crohn’s disease are responsive to disease
activity and treatment. Inflammatory bowel diseases; 20(5): 856.
Martin K, Trine B.L., Carsten G, and Marina R. 2013. The vitamin d receptor and
T cell function. Frontiers in immunology; 10:3389-48.
Mehdi T, Ali G, Leila M, Manijeh D, Sara K, and Mohammad H.E. 2015. Vitamin D
deficiency associated with disease activity in patients with inflammatory
bowel diseases. Digestive diseases and sciences; 60(7):3085-91.
Okamoto R & Watanabe M. 2016. Role of epithelial cells in the pathogenesis and
treatment of inflammatory bowel disease. Journal Gastroenterology; 51(1):
11-21.
Pinsk V, Lemberg DA, Grewal K, Barker CC, Schreiber RA, Jacobson K. 2007.
Inflammatory bowel disease in the South Asian pediatric population of
British Columbia. American Journal Gastroenterology;102:1077-83.
Stephanie B.O., and Iona M.M. 2017. Diagnosis and management of inflamatory
bowel disease in children. The British Medical Journal; 357;j2083.
Weicheng L, Yunzi C, Maya A.G., Maria L.A., Jie D, Urzula D, Juan K, Mark M,
Yong H, Joel P, Changqing Z, and Yan C.L. 2013. Intestinal epithelial
vitamin D receptor signaling inhibits experimental colitis. The Journal of
clinical investigation; 123(9): 3983-3996.
Wendy D, Edgar M.C., Jan P.H., and Erik Lubberts. 2017. Vitamin D in
Autoimmunity: Molecular Mechanisms and Therapeutic Potential. Dankers
W, Colin EM, van Hamburg JP and Lubberts E Vitamin D in Autoimmunity:
Molecular Mechanisms and Therapeutic Potential. Front. Immunol; 7:697.
51
in children newly diagnosed as having ulcerative colitis. J Pediatr
Gastroenterol Nutr;56(1):12-18.
52