Anda di halaman 1dari 17

Laboratorium Ilmu Bedah Referat

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

PENATALAKSANAAN DEEP VEIN THROMBOSIS (DVT)


(EVIDENCE BASED MEDICINE TERBARU)

Disusun oleh :

Desy Nur Fatma Sari : 0808015003


Radhiyana Putri : 0910015031
Rahayu Asmarani : 0910015017
Suryanti Soewardi : 0808015033

Pembimbing:
dr. Ivan Joalshen, Sp.B,TKV

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2015
Gejala dicurigai Gejala dicurigai
Emboli Paru (EP) : Secara klinis
deep vein
Lihat algoritma thrombosis (DVT)
dicurigai
Algoritma
diagnosis emboi Diagnosis Deep Vein Thrombosis (DVT) pada ekstremitas
paru tromboemboli atas : lihat lampiran
vena?

Ekstremitas
bawah

Menentukan
CPTP rendah CPTP
Clinical pretest
sedang/tinggi
Probability (CPTP)

Lakukan USG
Dopler

D-dimer DVT terkonfirmasi –


diatas Ya lihat alogaritma Ya
USG positif?
standar ? penanganan
tromboemboli vena Tidak

Tidak

D-dimer
DVT dieksklusi dan Tidak
diatas
dipertimbangkan
diagnosis lain
standar ?
Ya

Lakukan USG kedua


kali atau venografi
T dieksklusi dan
dipertimbangkan
diagnosis lain

2
Clinical Pretest Probability (CPTP – Wells Score)
Kanker aktif (dalam masa pengobatan 6 bulan terakhir atau terapi paliatif) 1
Kelumpuhan, mati rasa, atau gangguan imobilisasi pada ekstremitas bawah 1
Imobilisasi 4 hari sebelumnya atau operasi besar ± 4 minggu sebelumnya 1
Localized tenderness sepanjang distribusi sistem vena 1
Bengkak pada seluruh kaki 1
Pembengkakan betis > 3 cm 1
Pitting edema 1
Vena superfisial kolateral (non varises) 1
Kemungkinan diagnosis lain -2
Risiko tinggi DVT = ≥ 3
Risiko DVT Sedang = 1-2
Risiko DVT rendah = ≤ 0

3
Algoritma terapi pada Deep Vein Thrombosis (DVT)

Diagnosis
DVT

Komplikasi dari
Ya tromboemboli vena dan
penyulit

Tidak

Antikoagulan inisiasi
Low Molecular Weight Heparin (LMWH) /
Unfractionated Heparin (UPH) /
Fondaparinux/
Rivaroxaban

Antikoagulan maintenance
Warfarin/rivaroxaban

Cocokkah terapi pada Ya


Protokol terapi pada
pasien rawat jalan?
pasien rawat jalan
Tidak

Intervensi lain yang


memungkinkan antara lain : Terapi rawat inap Edukasi pasien
IVC Filter
USG serial pada betis
Terapi heparin induced Ya Komplikasi
thrombocytopenia
selama terapi ?
Operasi
Tidak

Ya
Kegagalan terapi
Lanjutkan antikoagulasi antikoagulan?
dengan follow-up dan
Tidak
4
pecegahan sekunder
Pengobatan trombosis vena diberikan pada kasus-kasus yang diagnosisnya sudah pasti
dengan menggunakan pemeriksaan yang objektif, oleh karena obat-obatan yang diberikan
mempunyai efek samping yang kadang-kadang serius.
Berbeda dengan trombosis arteri, trombosis vena dalam adalah suatu keadaan yang jarang
menimbulkan kematian.

Oleh karena itu tujuan pengobatan adalah :


1. Mencegah meluasnya trombosis dan timbulnya emboli paru.
2. Mengurangi morbiditas pada serangan akut.
3. Mengurangi keluhan post flebitis
4. Mengobati hipertensi pulmonal yang terjadi karena proses trombo emboli.

Mencegah meluasnya trombosis dan timbulnya emboli paru


Meluasnya proses trombosis dan timbulnya emboli paru dapat di cegah dengan pemberian
anti koagulan dan obat-obatan fibrinolitik. Pada pemberian obat-obatan ini di usahakan
biaya serendah mungkin dan efek samping seminimal mungkin. Pemberian anti koagulan
sangat efektif untuk mencegah terjadinya emboli paru, obat yang biasa di pakai adalah
heparin.
Prinsip pemberian anti koagulan adalah Save dan Efektif. Save artinya anti koagulan tidak
menyebabkan perdarahan. Efektif artinya dapat menghancurkan trombus dan mencegah
timbulnya trombus baru dan emboli. Pada pemberian heparin perlu dipantau waktu trombo
plastin parsial atau di daerah yang fasilitasnya terbatas, sekurang-kurangnya waktu
pembekuan.

Pemberian Heparin standar


 Heparin 5000 ini bolus (80 iu/KgBB), bolus dilanjutkan dengan drips konsitnus 1000 –
1400 iu/jam (18 iu/KgBB), drips selanjutnya tergantung hasil APTT. 6 jam kemudian di
periksa APTT untuk menentukan dosis dengan target 1,5 – 2,5 kontrol.
1. Bila APTT 1,5 – 2,5 x kontrol dosis tetap.
2. Bila APTT < 1,5 x kontrol dosis dinaikkan 100 – 150 iu/jam.

5
3. Bila APTT > 2,5 x kontrol dosis diturunkan 100 iu/jam.
 Penyesuaian dosis untuk mencapai target dilakukan pada hari ke 1 tiap 6 jam, hari ke 2
tiap 2 - 4 jam. Hal ini di lakukan karena biasanya pada 6 jam pertama hanya 38% yang
mencapai nilai target dan sesudah dari ke 1 baru 84%.
 Heparin dapat diberikan 7–10 hari yang kemudian dilanjutkan dengan pemberian
heparin dosis rendah yaitu 5000 iu/subkutan, 2 kali sehari atau pemberian anti koagulan
oral, selama minimal 3 bulan.
 Pemberian anti koagulan oral harus diberikan 48 jam sebelum rencana penghentian
heparin karena anti koagulan oral efektif sesudah 48 jam.

Pemberian Low Molecular Weight Heparin (LMWH)


Pemberian obat ini lebih di sukai dari heparin karena tidak memerlukan
pemantauan yang ketat, sayangnya harganya relatif mahal dibandingkan heparin.
Saat ini preparat yang tersedia di Indonesia adalah Enoxaparin (Lovenox) dan
(Nandroparin Fraxiparin). Pada pemberian heparin standar maupun LMWH bisa
terjadi efek samping yang cukup serius yaitu Heparin Induced Thormbocytopenia
(HIT).

Pemberian Oral Anti koagulan oral


Obat yang biasa di pakai adalah Warfarin Cara. Pemberian Warfarin di mulai
dengan dosis 6 – 8 mg (single dose) pada malam hari. Dosis dapat dinaikan atau di
kurangi tergantung dari hasil INR (International Normolized Ratio). Target INR :
adalah 2,0 – 3,0

Cara penyesuaian dosis


INR
Penyesuaian
1,1 – 1,4 hari 1, naikkan 10%-20% dari total dosis mingguan.
Kembali : 1 minggu
1,5 – 1,9 hari 1, naikkan 5% – 10% dari total dosis mingguan.
Kembali : 2 minggu
2,0 – 3,0 tidak ada perubahan.

6
Kembali : 1 minggu
3,1 – 3,9 hari : kurang 5% – 10% dari dosis total mingguan.
Mingguan : kurang 5 – 150 dari dosis total mingguan
Kembali : 2 minggu
4,0 – 5,0 hari 1: tidak dapat obat
mingguan : kurang 10%-20% TDM
kembali : 1 minggu
> 50 :
 Stop pemberian warfarin.
 Pantau sampai INR : 3,0
 Mulai dengan dosis kurangi 20%-50%.
 kembali tiap hari.

Lama pemberian anti koagulan oral adalah 6 minggu sampai 3 bulan apabila
trombosis vena dalam timbul disebabkan oleh faktor resiko yang reversible.
Sedangkan kalau trombosis vena adalah idiopatik di anjurkan pemberian anti
koagulan oral selama 3-6 bulan, bahkan biasa lebih lama lagi apabila ditemukan
abnormal inherited mileculer.
Kontra indikasi pemberian anti koagulan adalah :
1. Hipertensi : sistilik > 200 mmHg, diastolik > 120 mmHg.
2. Perdarahan yang baru di otak.
3. Alkoholisme.
4. Lesi perdarahan traktus digestif.

Pemberian trombolitik selama 12-14 jam dan kemudian di ikuti dengan heparin,
akan memberikan hasil lebih baik bila dibandingkan dengan hanya pemberian
heparin tunggal. Peranan terapi trombolitik berkembang dengan pesat pada akhir
abad ini, terutama sesudah dipasarkannya streptiknase, urokinase dan tissue
plasminogen activator (TPA).
TPA bekerja secara selektif pada tempat yang ada plasminon dan fibrin, sehingga
efek samping perdarahan relatif kurang. Brenner menganjurkn pemberian TPA
dengan dosis 4 ugr/kgBB/menit, secara intra vena selama 4 jam dan Streptokinase
diberikan 1,5 x 106 unit intra vena kontiniu selama 60 menit. Kedua jenis

7
trombolitik ini memberikan hasil yang cukup memuaskan. Efek samping utama
pemberian heparin dan obat-obatan trombolitik adalah perdarahan dan akan bersifat
fatal kalau terjadi perdarahan serebral. Untuk mencegah terjadinya efek samping
perdarahan, maka diperlukan monitor yang ketat terhadap waktu trombo plastin
parsial dan waktu protombin, jangan melebihi 2,5 kali nilai kontrol.

1. Mengurangi Morbiditas pada serangan akut.


Untuk mengurangi keluhan dan gejala trombosis vena dilakukan.
- Istirahat di tempat tidur.
- Posisi kaki ditinggikan.
- Pemberian heparin atau trombolitik.
- Analgesik untuk mengurangi rasa nyeri.
- Pemasangan stoking yang tekananya kira-kira 40 mmHg.

Nyeri dan pembengkakan biasanya akan berkurang sesudah 24 – 48 jam serangan


trombosis. Apabila nyeri sangat hebat atau timbul flagmasia alba dolens di anjurkan
tindakan embolektomi.
Pada keadaan biasa, tindakan pembedahan pengangkatan thrombus atau emboli,
biasanya tidak di anjurkan.

2. Pencegahan Sindroma post-flebitis.


Sindroma post flebitis disebabkan oleh inkompeten katup vena sebagai akibat proses
trombosis. Biasanya terjadi pada trombosis di daerah proksimal yang eksistensif seperti
vena-vena di daerah poplitea, femoral dan illiaca. Keluhan biasanya panas, edema dan
nyeri terjadinya trombosis. Sindroma ini akan berkurang derajatnya kalau terjadi lisis
atau pengangkatan trombosis.

3. Pencegahan terhadap adanya hipertensi pulmonal.


Hipertensi pulmonal merupakan komplikasi yang tidak sering dari emboli paru.
Keadaan ini terjadi pada trombosis vena yang bersamaan dengan adanya emboli paru,
akan tetapi dengan pemberian anti koagulan dan obat-obatan trombolitik, terjadinya
hipertensi pulmonal ini dapat di cegah.

8
Tujuan terapi jangka pendek DVT adalah mencegah pembentukan trombus yang makin
luas dan emboli paru. Tujuan jangka panjangnya adalah mencegah kekambuhan dan
terjadinya sindrom post trombotik. Kombinasi heparin dan antikoagulan oral merupakan
terapi inisial dan drug of choice DVT (Key, 2010; Scarvelis , 2006; Ramzi, 2004; Bates,
2004).

Unfractionated Heparin (UFH)
Unfractionated heparin (UFH) memiliki waktu mula kerja yang cepat tapi
harus diberikan secara intravena. UFH berikatan dengan antitrombin dan
meningkatkan kemampuannya untuk menginaktivasi faktor Xa dan trombin
(Mackman, 2010; Deitcher, 2009). Dosis Unfractionated heparin berdasarkan berat
badan dan dititrasi sesuai kadar activated partial-thromboplastin time (APTT).
Dosis heparin yang disesuaikan berdasarkan berat badan dan APTT dapat dilihat
pada tabel-2. Target APTT yang diinginkan adalah antara 1,5 sampai 2,3 kali
kontrol. Respon antikoagulan dari UFH berbeda pada tiap-tiap individu karena obat
ini berikatan secara nonspesifik dengan plasma dan protein sel. Efek samping
meliputi perdarahan dan trombositopeni. Pada terapi inisial resiko terjadinya
perdarahan kurang lebih 7%, hal ini tergantung pada dosis, usia, penggunaan
bersama dengan antitrombotik atau trombolitik. Trombositopeni transien terjadi
pada 10-20% pasien. Pemberian heparin dapat dihentikan 4-5 hari setelah
penggunaanya bersama warfarin jika target  International Normalized Ratio (INR) 
dari prothrombin clotting time lebih dari 2,0 (Ramzi, 2004; Bates, 2004).

Low Molecular Weight heparin (LMWH)


Low Molecular Weight Heparin (LMWH)   bekerja dengan cara
menghambat faktor Xa melalui ikatan dengan antitrombin (Mackman, 2011).
LMWH merupakan antikoagulan yang memiliki beberapa keuntungan dibanding
UFH antara lain respon antikoagulan yang lebih dapat diprediksi, waktu paruh yang
lebih panjang, dapat diberikan sub kutan satu sampai dua kali sehari, dosis yang
tetap, tidak memerlukan monitoring laboratorium. LMWH banyak menggantikan
peranan UFH sebagai antikoagulan (Deitcher, 2009; Hirsh, 2002).

9
Tabel-2. Dosis heparin berdasarkan berat badan dan APTT
                                 (Ramzi, 2004)

Efek samping trombositopeni dan osteoporosis LMWH lebih jarang terjadi


dibanding penggunaan UFH. Kontraindikasi terapi antikoagulan antara lain

10
kelainan darah, riwayat stroke perdarahan, metastase ke central nervous
system (CNS), kehamilan peripartum, operasi abdomen atau ortopedi dalam tujuh
hari dan perdarahan gastrointestinal. Penggunaan LMWH pada pasien rawat jalan
aman dan efektif terutama jika pasien edukatif serta ada sarana untuk memonitor.
Penggunaan LMWH pada pasien rawat jalan sebaiknya tidak dilakukan pada pasien
dengan trombosis masif, memiliki kecenderungan perdarahan yang tinggi seperti
usia tua, baru saja menjalani pembedahan, riwayat penyakit ginjal dan liver  serta
memiliki penyakit penyerta yang berat (Hirsh, 2002; Bates, 2004; Ramzi, 2004).
LMWH diekskresikan melalui ginjal, oleh karena itu pada penderita ganguan
fungsi ginjal perannya dapat digantikan oleh UFH (Mackman, 2011; Key, 2010).
Seperti UFH pemberian LMWH juga dikombinasikan dengan warfarin
selama empat sampai lima hari dan dihentikan jika kadar INR setelah
penggunaanya bersama warfarin mencapai 2 atau lebih. Enoxaparin (lovenox)
adalah LMWH pertama yang dikeluarkan oleh U.S. Food and Drug
Administration (FDA) untuk terapi DVT dengan dosis 1 mg/kgBB, dua kali sehari.
Dalteparin (Fragmin) hanya digunakan untuk terapi profilaksis dengan dosis 200
IU/kgBB/hari  dalam dosis terbagi dua kali sehari. Tinzaparin (Innohep) diberikan
dengan dosis 175 IU/kgBB/hari (Ramzi, 2004). Pilihan lain adalah penggunaan
fondaparinux (Arixtra). Fondaparinux adalah pentasakarida sintetik yang bekerja
menghambat faktor Xa dan trombin (Mackman, 2011). Dapat digunakan sebagai
profilaksis dan terapi pada kondisi akut dengan dosis 5 mg (BB <50 kg), 7,5 mg
(BB 50-100 kg),  atau 10 mg (BB >100 kg) secara subkutan, satu kali perhari
(Mackman, 2011; Buller, 2004).
  
TERAPI JANGKA PANJANG
Setelah terapi inisial dengan UFH atau LMWH, terapi antikoagulan
dilanjutkan dengan pemberian derivat kumarin sebagai profilaksis sekunder untuk
mencegah kekambuhan (Bates, 2004). Warfarin adalah obat yang paling sering
diberikan. Warfarin adalah antagonis vitamin K yang menghambat vitamin K-
dependent clotting factor(faktor II, VII, IX, X) melalui hambatan terhadap
enzim vitamin K epoxide reductase(Dietrich, 2009). Dosis awal yang diberikan
adalah 5 mg pada hari pertama sampai hari keempat, dosis dititrasi tiap 3 sampai 7

11
hari dengan target kadar INR berkisar 2,0 sampai 3,0. Dosis yang lebih kecil (2-4
mg) diberikan pada usia tua, BB rendah dan kondisi malnutrisi (Bates, 2004; Hirsh,
2002).
Therapeutic window warfarin sangat sempit sehingga monitoring INR
secara berkala diperlukan untuk mencegah trombosis rekuren dan efek samping
perdarahan. INR sebaiknya diperiksa 2 kali per minggu selama 1 sampai 2 minggu
awal penggunaan, diikuti 1 kali perminggu untuk 4 minggu berikutnya, lalu tiap 2
minggu sekali untuk 1 bulan berikutnya dan akhirnya tiap sebulan sekali jika target
INR tercapai dan pasien dalam kondisi optimal (Bates, 2004; Hirsh, 2002).
Penggunaan LMWH sebagai terapi alternatif jangka panjang sedang dievaluasi.
LMWH memiliki beberapa keuntungan dibanding warfarin yaitu tidak memerlukan
monitoring INR sehingga cost effective dan dapat digunakan jika ada kesulitan
akses laboratorium, LMWH juga memiliki onset dan offset of action yang lebih
cepat daripada warfarin, lebih efektif pada trombosis pasien kanker dan kasus
rekurensi trombosis pada penggunaan warfarin jangka lama. Akan tetapi kelemahan
LMWH adalah penggunaannya yang tidak nyaman bagi pasien karena harus
diberikan subkutan disamping harganya yang mahal (Hirsh, 2002: Bates, 2004).
Warfarin sebagai terapi jangka panjang DVT memiliki banyak kelemahan
antara lain onset of action yang lambat, dosis yang bervariasi antar individu,
interaksi dengan banyak jenis obat dan makanan, therapeutic window yang sempit
sehingga membutuhkan monitoring ketat. Oleh karenanya dibutuhkan agen
antikoagulan oral yang baru dan lebih baik untuk menggantikannya. Ada beberapa
macam antikoagulan baru yang telah banyak dipakai sebagai profilaksis DVT
seperti rivaroxaban (inhibitor faktor Xa), apixaban (inhibitor faktor Xa) dan
dabigatran etexilate (inhibitor trombin) tetapi belum ada yang digunakan sebagai
terapi pada DVT akut. Secara teori obat antikoagulan baru memiliki kelebihan
dibanding warfarin antara lain onset of action yang cepat dan tidak membutuhkan
terapi inisial dengan antikoagulan parenteral, tapi belum ada penelitian tentang hal
ini. Kekurangan obat antikoagulan baru adalah tidak adanya antidotum yang
spesifik terehadap efek samping perdarahan sehingga penggunaan obat-obat ini
masih memerlukan penelitian lebih lanjut, selain itu harganya jauh lebih mahal dari
warfarin (Key, 2010; Garcia, 2010; Mackman, 2010).

12
Obat antikoagulan baru dapat dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan target tempat
bekerja
1. Inhibitor langsung thrombin (atau
faktor lIa) , seperti dabigatran etexilate (Pradaxa ®) dan AZD0837;
2. Oral inhibitor faktor Xa 
Mmeliputi Rivaroxaban (Xarelto ®), apixaban, betrixaban , edoxabandan eribaxaban,
dan
3. Inhibitor faktor Xa parenteral, yang
meliputi idrabiotaparinux (idraparinux terbiotinilasi, turunan darifondaparinux)
dan semuloparin.

DURASI PENGGUNAAN ANTIKOAGULAN


Durasi penggunaan antikoagulan tergantung pada resiko terjadinya
perdarahan dan rekurensi dari trombosis. Resiko perdarahan selama terapi inisial
dengan UFH atau LMWH kurang lebih 2-5%, sedangkan pada penggunaan
warfarin kurang lebih 3% pertahun. Annual case fatality rate pada penggunaan
antikoagulan adalah 0,6%. Case fatality rate rekurensi DVT kurang lebih 5%
(Hirsh, 2002). Banyak studi membandingkan keuntungan dan kekurangan
pemberian oral vitamin K antagonis jangka panjang (>3 bulan) karena adanya fakta
bahwa kejadian DVT sebenarnya merupakan kasus kronik dengan angka rekurensi
jangka panjang yang cukup signifikan (<50% setelah 10 tahun penghentian
antikoagulan) (Key, 2010; Zhu, 2009). Terapi antikoagulan yang inadekuat dapat
meningkatkan resiko terjadinya rekurensi dan sindroma post trombotik (Zhu,
2009).
Secara umum antikoagulan diberikan selama minimal 3 bulan. Pasien
dengan faktor resiko reversibel memiliki resiko rekurensi yang rendah setelah
terapi antikoagulan selama 3 bulan, sebaliknya pada pasien DVT
idiopatik/unprovoked yang hanya diterapi selama 3 bulan memiliki resiko rekurensi
sekitar 10-27%. Berdasarkan hasil penelitian prospektif dan ekstrapolasi dari
penelitian terhadap resiko rekurensi setelah episode awal trombosis, pasien dapat

13
diklasifikasikan menjadi kelompok resiko rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi
(Bates, 2004; Hirsh, 2002)

Tabel-4. Kategori resiko rekurensi dan rekomendasi durasi terapi (Hirsh, 2002)

TERAPI TROMBOLITIK
Trombolitik memecah bekuan darah yang baru terbentuk dan
mengembalikan patensi vena lebih cepat daripada antikoagulan (Bates, 2004).
Trombolitik dapat diberikan secara sistemik atau lokal dengan catheter-directed
thrombolysis (CDT). Terapi trombolitik pada episode akut DVT dapat menurunkan
resiko terjadinya rekurensi dan post thrombotic syndrome (PTS) (Key, 2010; Kahn,
2009). Serine protease inhibitor endogen seperti urokinase dan rekombinan tissue
plasminogen activator (r-TPA) menggantikan fungsi streptokinase sebagai obat
pilihan pada terapi trombolitik sistemik dengan efek samping yang lebih minimal,
akan tetapi banyak pusat-pusat kesehatan lebih memilih menggunakan alteplase
(Patterson, 2010). Trombolitik sistemik dapat menghancurkan bekuan secara cepat
tapi resiko perdarahan juga tinggi. Penggunaan trombolitik dengan CDT akan
menghasilkan konsentrasi lokal yang lebih tinggi daripada secara sistemik dan
secara teori seharusnya dapat meningkatkan efikasinya dan menurunkan resiko
perdarahan (Patterson, 2010; Scarvelis, 2006; Bates, 2004).
Resiko terjadinya perdarahan pada penggunaan trombolitik lebih besar
dibanding penggunaan heparin (Bates, 2004; Patterson, 2010). Indikasi dilakukan
trombolisis antara lain trombosis luas dengan resiko tinggi terjadi emboli paru,

14
DVT proksimal,threatened limb viability, adanya predisposisi kelainan anatomi,
kondisi fisiologis yang baik (usia 18-75 tahun), harapan hidup lebih dari 6 bulan,
onset gejala <14 hari, tidak ada kontraindikasi dilakukan trombolisis (Patterson,
2010; Scarvelis, 2006). Kontraindikasi trombolisis antara lain bleeding
diathesis/trombositopeni, resiko perdaraham spesifik organ (infark miokard akut,
trauma serebrovaskular, perdarahan gastrointestinal, pembedahan, trauma), gagal
hati atau gagal ginjal, keganasan (metastase otak), kehamilan, stroke iskemi dalam
waktu 2 bulan, hipertensi berat yang tidak terkontrol (SBP>180 mmHg, DBP>110
mmHg) (JCS Guiedelines, 2011; Patterson, 2010).
CDT dilakukan dengan tuntunan ultrasound sehingga dapat meminimalkan
terjadinya komplikasi dan punksi multipel pembuluh darah (Patterson, 2010).
Protokol tindakan trombolisis dapat dilihat pada tabel 3.
Pemilihan untuk dilakukan trombolisis atau tidak, pemilihan agen
trombolitik, penggunaan venous stenting tambahan dan inferior vena cava
filter (IVC) berbeda-beda pada tiap pusat kesehatan. IVC tidak rutin dilakukan dan
umumnya hanya dipakai sementara, penggunaannya dilakukan pada kondisi
tertentu seperti adanya kontraindikasi penggunaan antikoagulan dan timbulnya
DVT pada penggunaan rutin antikoagulan. Penggunaanya harus melalui diskusi tim
multidisiplin dan kasus per kasus (Patterson, 2010; Scarvelis, 2006; Bates, 2004).
Pemasangan stent endovaskular  pada saat dilakukan CDT dapat dilakukan pada
kasus tertentu seperti adanya kelainan anatomi yang mendasari timbulnya DVT
(May-Thurner syndrome). Pada sindrom ini vena iliaka komunis ditekan oleh arteri
iliaca komunis sehingga terjadi tekanan dan kerusakan pembuluh darah. Penyebab
lain yaitu kompresi oleh tumor daerah pelvis, osteofit, retensi urin kronik,
aneurisma arteri iliaka, endometriosis, kehamilan, tumor uterus (Patterson,
2010). Aspiration thrombectomy juga dapat dilakukan bersama CDT pada kasus
tertentu. Terapi antikoagulan tetap harus dilakukan setelah tindakan trombolisis
untuk mencegah progresivitas dan munculnya kembali trombus (JCS Guidelines,
2011; Patterson, 2010).

15
Tabel-3. Protokol  trombolisis pada DVT (Patterson, 2010)

TERAPI NON FARMAKOLOGIS


Terapi non farmakologis/physical therapy  hanya sedikit evidence based nya.
Latihan dan compression  dapat mengurangi pembengkakan, nyeri serta
mengurangi insiden terjadinya post thrombotic syndrome (PTS).
Penggunaan compression stockings selama kurang lebih 2 tahun dimulai 2-3
minggu ketika diagnosa DVT ditegakkan menurunkan resiko timbulnya PTS.

16
Peranan compression stockings atau intermitten pneumatic
compression (IPC) dalam mencegah PTS belum sepenuhnya dimengerti, namun
penggunaannya telah digunakan secara luas. Compression stockingssebaiknya
digunakan pada pasien dengan gejala berat dan mereka yang memiliki fungsi vena
yang jelek (JCS Guidelines, 2011; Kahn, 2009; Bates, 2004).

TROMBEKTOMI
Indikasi open surgical thrombectomy antara lain DVT iliofemoral akut tetapi
terdapat kontraindikasi trombolitik atau gagal dengan trombolitik
maupun mechanical thrombectomy, lesi yang tidak dapat diakses oleh kateter, lesi
dimana trombus sukar dipecah dan pasien yang dikontraindikasikan untuk
penggunaan antikoagulan. Trombus divena iliaka komunis dipecah dengan kateter
embolektomi fogarty dengan anestesi lokal. Trombus pada daerah perifer harus
dihilangkan dengan cara antegrade menggunakan teknik milking dan esmarch
bandage.  Kompresi vena iliaka harus diatasi dengan dilatasi balon dan atau
stenting. Setelah tindakan pembedahan, heparin diberikan selama 5 hari dan
pemberian warfarin harus dimulai 1 hari setelah operasi dan dilanjutkan selama 6
bulan setelah pembedahan. Untuk hasil yang maksimal tindakan pembedahan
sebaiknya dilakukan kurang dari 7 hari setelah onset DVT. Pasien dengan
phlegmasia cerulea dolens harus difasiotomi untuk tujuan dekompresi
kompartemen dan perbaikan sirkulasi (JCS Guidelines, 2011).

17

Anda mungkin juga menyukai