Anda di halaman 1dari 13

BAB II

LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Turnover Intention

Teori yang mendasari penelitian ini adalah teori turnover intention.

Handoko (2000) turnover merupakan tantangan khusus bagi pengembangan

sumber daya manusia. Widodo (2010) menyatakan turnover intention adalah

keinginan untuk keluar dari perusahaan, yang dimana alasan seseorang untuk

melakukan hal ini adalah karena ingin mencari pekerjaan lain yang lebih baik dari

pekerjaan sebelumnya. Robbins dan Timothy (2008) menyatakan pendapat yang

sama bahwa turnover dapat terjadi secara sukarela (voluntary turnover) maupun

secara tidak sukarela (involuntary turnover).

Voluntary turnover merupakan keputusan karyawan untuk meninggalkan

organisasi secara sukarela yang disebabkan oleh faktor seberapa menarik

pekerjaan yang ada saat ini, sedangkan involuntary turnover atau pemecatan

merupakan keputusan para pemberi kerja untuk memutuskan hubungan kerja dan

keputusan ini bersifat tidak dapat dikontrol bagi karyawan yang mengalaminya

(Robbins dan Timothy, 2008).

Turnover intention merupakan masalah yang sering timbul pada sebuah

organiasasi yang menyangkut keinginan keluarnya karyawan dalam sebuah

organisasi. Lucas (2012) menyatakan Turnover intention menjadi masalah penting

karena biaya untuk mengganti Individu yang keluar akan berdampak pada

10
pendapatan perusahaan. Turnover intention dikatakan mahal karena menimbulkan

biaya perekrutan, biaya pelatihan,dan biaya lainnya (Boushey dan Glynn, 2012).

Itulah sebabnya organisasi harus berusaha untuk mengurangi turnover semaksimal

mungkin karena secara langsung akan berpengaruh terhadap kualitas dan

profitabilitas perusahaan. Detienne et al. (2012) menyatakan Turnover intention

merupakan sebuah konsep yang telah menarik minat dari para praktisi dan

peneliti, yang akhirnya banyak mendefinisikan sebagai "hasrat keinginan sadar

dan terencana untuk meninggalkan organisasi". Pendapat yang sama dikemukakan

oleh Harnoto (2002) turnover intention pada dasarnya adalah sama, keinginan

berpindahnya karyawan dari satu tempat kerja ke tempat kerja lainnya walaupun

banyak hal mendasar yang membuat karyawan ingin berpindah.

Witasari (2009) menyatakan terdapat beberapa indikator yang dapat

digunakan untuk mengukur keinginan karyawan untuk keluar dari sebuah

organisasi. Indikator tesebut adalah sebagai berikut:

1) Individu berfikir untuk meninggalkan organisasi.

Individu berfikir untuk meninggalkan organisasi dapat didefinisikan

sebagai keinginan keluarnya individu yang didasari oleh berfikirnya

individu untuk pindah pada organisasi lain.

2) Individu ingin memperoleh pekerjaan baru pada organisasi lain.

Individu ingin memperoleh pekerjaan baru dapat didefinisikan sebagai

bagaimana seorang individu menilai organisasi pesaing dengan

organisasinya sekarang.

11
3) Individu ingin meninggalkan organisasi dalam waktu dekat.

Individu meninggalkan organisasi dalam waktu dekat merupakan

keinginan karyawan untuk berpindah organisasi yang didasari keinginan

karyawan karena masalah saat ini.

4) Individu ingin meninggalkan organisasi bila ada kesempatan.

Individu ingin meninggalkan organisasi bila ada kesempatan merupakan

keinginan karyawan untuk berpindah bila terdapat kesempatan atau

peluang untuk pindah ke organiasasi lain.

Kesimpulan dari penjelasan yang sudah dijelaskan dapat diperoleh bahwa

turnover intention merupakan keinginan seseorang untuk berpindah kerja ke satu

perusahaan ke perusahaan lainnya, dikarenakan ingin memperoleh pekerjaan yang

lebih baik dari sebelumnya.

2.2 Landasan Konsep

2.2.1 Leader-Member Exchange

Berrin dan Talya (2015) berpendapat teori Leader-Member Exchange

terletak pada asumsi bahwa pemimpin mempengaruhi karyawan dalam kelompok

mereka (disebut sebagai anggota) melalui kualitas hubungan yang baik, hubungan

kualitas tinggi yang ditandai dengan kepercayaan, keinginan, rasa hormat,

profesional, dan loyalitas. Teori LMX adalah gagasan bahwa pemimpin

memperlakukan bawahan mereka berbeda dengan kualitas pertukaran sosial di

antara mereka (Yimo Shen et al., 2014). Liden dan Graen (1980) berpendapat

mengenai teori leader-member exchange yaitu para pemimpin mengembangkan

hubungan dari berbagai kualitas dan diferensiasi dengan bawahan mereka.

12
Foa dan Foa (1974) menyatakan teori LMX ini terintegrasi dengan teori

sumber daya dan berpendapat bahwa semua jenis sumber daya (uang, barang,

jasa, status, informasi, dan afiliasi) yang diidentifikasi dapat dipertukarkan dalam

konteks hubungan antara pemimpin dan anggota. Graen dan Cashman (1975)

menyatakan bahwa para pemimpin mengembangkan jenis diferensial hubungan

dengan masing-masing bawahan mereka melalui serangkaian pertukaran yang

berhubungan dengan kualitas pertukaran Leader-Member Exchange (LMX),

hubungan ini diasumsikan untuk mencerminkan sejauh mana pemimpin dan

bawahan saling tukar sumber daya dan dukungan. Yukl (2004:119) menyatakan

dasar pemikiran dari teori LMX adalah bahwa para pemimpin mengembangkan

hubungan atasan dan bawahan yang berbeda dengan masing-masing bawahan.

Dalam leader-member exchange terdapat 2 aspek yang menjadi perhatian setiap

penelitian dimana terdapat aspek in-group dan out-group. Graen dan Mary (1995)

berpendapat mengenai aspek in-group dan out-group seperti :

1) jika anggota tim membuktikan diri setia, dapat dipercaya menghormati

dan berkewajiban, mereka dimasukkan ke dalam In-Group. Kelompok ini

terdiri dari anggota tim bahwa manajer saling percaya. Manajer

memberikan kelompok ini sebagian besar perhatian mereka, memberikan

pekerjaan yang menantang dan menarik, dan menawarkan kesempatan

untuk pelatihan tambahan dan kemajuan. Kelompok ini juga mendapat

lebih banyak waktu dengan manajer. Seringkali, orang-orang dalam

kelompok ini memiliki kepribadian yang sama dan bekerja dengan etika

yang baik kepada manajer mereka.

13
2) jika anggota tim mengkhianati kepercayaan dari manajer, atau

membuktikan bahwa mereka tidak termotivasi atau tidak kompeten,

mereka dimasukkan ke dalam Out-Group. pekerjaan ini kelompok ini

sering dibatasi dan tidak menantang. Out-Group anggota cenderung

kurang memiliki akses kepada manajer, dan sering tidak menerima

kesempatan untuk pertumbuhan atau kemajuan.

Liden dan Maslyn (1998) menyatakan dimensi yang menjadi tolak ukur

pengukuran leader-member exchange (LMX) adalah sebagai berikut :

1) Loyalitas merupakan kesetiaan atasan kepada bawahan dalam situasi

apapun.

2) Afeksi merupakan bentuk kepedulian antara atasan dan bawahan karena

sikap kepribadian yang dimiliki.

3) Professional Respect yaitu persepsi sejauh mana setiap hubungan timbal

balik telah memiliki dan membangun reputasi di dalam atau luar

organisasi, sehingga menjadi unggul di bidang kerjanya.

4) Contribution yaitu persepsi jumlah, arah, dan kualitas aktifitas yang

berorientasi pada tugas di tingkat tertentu untuk mencapai tujuan bersama

yang saling menguntungkan.

Kesimpulan dari penjelasan yang sudah dijelaskan dapat diperoleh bahwa

Leader-member exchange merupakan pertukaran sosial antara pemimpin dan

anggota yang dapat meliputi Sumber daya seperti uang, barang, jasa, status,

informasi, dan afiliasi untuk memperoleh hubungan dan dukungan yang baik

diantara keduanya.

14
2.2.2 Role Stress

Goolsby (1992) menyatakan teori Role Stress menunjukkan bahwa stres

terdiri dari beberapa dimensi termasuk konflik peran, peran yang berlebihan, dan

ambiguitas peran, karyawan yang menderita role stress dapat secara emosional

mengalami kelelahan, tidak mau menanggapi pelanggan, merasa terlepas dari

pekerjaan mereka, dan jika tidak ditanggapi akan berdampak pada kinerja dan

keinginan keluar karyawan tersebut. Kahn dan Quinn (1970) menyatakan dalam

teori role stress, ketika pekerja mengalami stres di tempat kerja, mereka berusaha

untuk mengatasi peran stres mereka di perusahaan dan hal ini akan dapat

menimbukan penurunan kinerja bagi perusahaan. Role Stress yang parah akan

menyebabkan karyawan menderita konsekuensi yang lebih serius seperti

kelelahan kerja, yang akan menyebabkan keinginan untuk berpindah (Yefei Yang

et al., 2015).

Kim dan Stoner (2008) menyatakan beberapa dimensi yang dapat

dijadikan pengukuran dalam variabel role stress seperti :

1) Role overload merupakan kurangnya sumber daya memadai yang

diperlukan untuk memenuhi harapan dan tuntutan pekerjaan

2) Konflik peran merupakan tuntutan atau permintaan yang kurang tepat

pada seseorang, hal ini berarti adanya konflik antara tuntutan dari

organisasi dengan nilai-nilai yang dimiliki seorang pegawai atau konflik

karena menerima serangkaian penugasan yang sulit .

15
3) Ambiguitas peran merupakan tingkat ambiguitas terhadap tuntutan,

kriteria, dan peran yang berkaitan dengan tugas-tugas lain diluar

tanggung jawab pekerja.

Kesimpulan dari penjelasan yang sudah dijelaskan dapat diperoleh bahwa

Role stress merupakan konflik peran yang dapat mengakibatkan stres

berkepanjangan, dan pada akhirnya akan mengakibatkan karyawan tersebut

merasa terlepas dari pekerjaan dan tanggung jawab tugas mereka sebagai

karyawan pada suatu perusahaan.

2.2.3 Perceived Organizational Support

Caesens (2014) berpendapat sebuah teori dukungan organisasi atau

percevied organiasional support disimpulkan dari pendekatan pertukaran sosial

untuk menggambarkan hubungan karyawan dan organisasi. Perceived

organizational support biasanya menghasilkan kewajiban pada karyawan untuk

memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan organisasi dan membantu organisasi

untuk mencapai tujuannya (Dhar, 2012). Perceived organizational support

menentukan keyakinan mengenai sejauh mana organisasi menghargai kontribusi

mereka dan peduli tentang kesejahteraan mereka yang dalam hal ini individu

dalam organisasi (Eisenberger et al., 1986).

Karyawan mengakui dukungan yang mereka peroleh dari organisasi,

mereka merasa bahwa mereka memiliki kewajiban untuk itu, dan mengakui

perlakuan menguntungkan ini dengan menunjukkan komitmen yang berharga

(Eisenberger, Fasolo, dan Davis-LaMastro, 1990). Beberapa studi empiris telah

mengidentifikasi proses yang mendasari pengaruh positif perceived

16
organizational support pada kesejahteraan karyawan dan turnover (Baran dan

Miller 2012). Eisenberger dan Stinglhamber (2011) menyatakan perceived

organizational support akan meningkatkan minat karyawan untuk tugas-tugas

mereka dalam beberapa cara seperti:

1) Dengan menciptakan antara keyakinan karyawan dan harapan, organisasi

mereka akan menyediakan bantuan dan sumber daya emosional ketika

diperlukan.

2) Dengan menciptakan antara kinerja dengan harapan karyawan bahwa

mereka akan mendapatkan timbal balik untuk kinerja tinggi.

3) Dengan memenuhi kebutuhan Sosial hingga emosional mereka seperti

kebutuhan mereka, harga diri, dan memperkuat diri mereka dengan

pendekatan motivasi.

Allen dan Brady (1997) mengemukakan tiga dimensi yang menjadi

perhatian dalam pengukuran perceived organizational support sebagai berikut:

1) Sikap organisasi terhadap ide karyawan.

Sikap organiasasi terhadap ide karyawan didefinisikan sebagai sebuah

keadaan dimana organisasi mau dan dapat menanggapi atau menerima

pendapat karyawannya.

2) Respon terhadap karyawan yang mengalami masalah.

Respon terhadap karyawan yang mengalami masalah dapat didefinisikan

sebagai komitmen yang diambil organiasi untuk membantu karyawan yang

sedang tertimpa masalah pekerjaan.

17
3) Respon terhadap kesejahteraan karyawan

Respon terhadap kesejahteraan karyawan merupakan sebuah dukungan

yang diberikan organisasi kepada karyawan untuk mengoptimalkan

kinerjanya. Pemberian reward oleh organisasi sebagai salah satu bentuk

kepedulian kesejahteraan karyawan.

Kesimpulan dari penjelasan yang sudah dijelaskan dapat diperoleh bahwa

Perceived organizational support adalah sebuah persepesi dukungan organisasi

yang dapat membantu para karyawan untuk memenuhi kebutuhan mereka

ditempat kerja.

2.3 Kerangka Konsep

Yimo Shen et al. (2014) Leader-member exchange tinggi ditandai dengan

adanya pertukaran sumber daya yang dalam hal ini, para pemimpin memberikan

dukungan, peluang perkembangan, mentoring dan manfaat lainnya kepada

karyawan. Kekuatan hubungan dari leader-member exchange membuat para

karyawan merasa bahwa mereka adalah bagian dari kelompok, hal ini yang akan

menghasilkan pencegahan untuk niat karyawan untuk keluar.

Eisenberger et al. (1986) menyatakan bahwa persepsi dukungan organisasi

yang dirasakan menciptakan kewajiban, dimana karyawan tidak hanya merasa

bahwa mereka seharusnya berkomitmen untuk pimpinan mereka, tetapi juga

merasakan suatu kewajiban untuk membalas budi dengan menempatkan diri

dalam upaya lebih ke pekerjaan mereka. Lum et al. (1998) menjelaskan turnover

intention merupakan keinginan individu untuk keluar dari organisasi yang

18
disebabkan oleh hal-hal yang menyangkut kepentingan perusahaan dengan

individu.

Berdasarkan penjabaran teori-teori yang sudah dijelaskan, maka untuk

memperjelas pengaruh antara variabel leader-member exchange, role stress,

perceived organizational support dan turnover intention, dibuatkanlah kerangka

berfikir penelitian pada gambar 2.1 :

Gambar 2.1 Kerangka Berfikir Penelitian

Leader-Member Exchange
(X1)

H1
Role Stress Turnover
(X2) Intention
H2 (Y)

Perceived H3
Organizational Support
(X3)

Sumber :

Hı: Gouldner (1960), Blau (1964), Kim dan Michàlle (2014), Yimo Shen et al.
(2014).

H2: Hopkins et al. (2010), Firth et al. (2004), Desiana dan Soetjipto (2006).

Hз : Ariani (2011), Dhar (2012), Aulia (2012), Newman et al. (2012).

Gambar 2.1 menunjukkan bahwa Hı adalah hipotesis yang menjelaskan

Leader-Member Exchange berpengaruh negatif terhadap Turnover Intention pada

karyawan hotel Griya Santrian. H2 adalah hipotesis yang menjelaskan Role Stress

19
secara positif berpengaruh terhadap Turnover intention pada karyawan hotel Griya

Santrian. H3 adalah Perceived Organizational Support berpengaruh negatif

terhadap Turnover intention pada karyawan hotel Griya Santrian.

2.4 Rumusan Hipotesis

2.4.1 Pengaruh Leader-Member Exchange terhadap Turnover Intention pada

karyawan hotel Griya Santrian.

Menurut teori pertukaran sosial, ketika seseorang melakukan kebaikan

untuk orang lain, orang yang memberikan kebaikan mengharapkan perilaku yang

sama di masa depan dari orang yang menerima bantuan (Gouldner, 1960). Sikap

atau perilaku pekerja tergantung pada sejauh mana mereka merasakan

keseimbangan dalam pertukaran sosial yang terjadi di tempat kerja (Blau, 1964).

Penelitian sebelumnya telah menunjukkan secara empiris peran penting

dalam hasil LMX, (Kim dan Michàlle, 2014) ketika seorang pekerja merasakan

hubungan yang seimbang antara mereka dengan pemimpin atau supervisor,

pekerja akan lebih menikmati pekerjaan mereka dan akan mengurangi turnover

intention. Namun dukungan pengawasan lebih bergantung pada hubungan

emosional sedangkan leader-member exchange lebih bergantung pada kualitas

hubungan interaktif (Yimo Shen et al., 2014).

H1 : Leader-Member Exchange berpengaruh negatif signifikan terhadap

Turnover Intention pada karyawan hotel Griya Santrian.

20
2.4.2 Pengaruh Role Stress terhadap Turnover Intention pada karyawan hotel

Griya Santrian.

Role Stress dalam hal ini menyangkut dukungan yang tidak cukup,

penghasilan yang rendah, pelatihan yang tidak memadai, dan target yang tidak

tercapai dapat menyebaban karyawan merasakan role stress yang sangat tinggi

dalam organisasi mereka, penelitian sebelumnya mengemukakan bahwa, ketika

pekerja mengalami stres di tempat kerja mereka, mereka akan berusaha mengatasi

stres tersebut dengan melakukan turnover (Kim dan Michàlle, 2014). Hopkins et

al. (2010) dalam penelitiannya menyatakan lingkungan kerja merupakan faktor

utama yang secara signifikan mempengaruhi stres antar pekerja.

Pendapat berbeda dikemukakan oleh Penelitian yang dilakukan oleh Firth

et al. (2004) yang menyatakan bahwa role stress tidak hanya berpengaruh pada

pengurangan rasa puas terhadap pekerjaan, tetapi juga merupakan variabel

penyumbang terbesar terhadap turnover intention dari organisasi. Penelitian yang

dilakukan oleh Desiana dan Soetjipto (2006), menemukan bahwa role stressor

yang terdiri dari role ambiguity, role conflict, dan role overload berkaitan dengan

ketidakpuasan dan turnover intention pada karyawan.

Dengan kata lain tingkat stres yang tinggi akan mengakibatkan turnover

yang tinggi. Pengaruh antara role stres dan turnover masih belum sepenuhnya

dieksplorasi, maka dengan demikian, akan dikemukakan hipotesis berikut.

H2 : Role Stress berpengaruh positif signifikan terhadap Turnover Intention pada

karyawan hotel Griya Santrian.

21
2.4.3 Pengaruh Perceived Organizational Support terhadap Turnover Intention

pada karyawan hotel Griya Santrian

Pada dasarnya perceived organizational support yang tinggi cenderung

menurunkan keinginan karyawan untuk meninggalkan organisasinya (Ariani,

2011). Dhar (2012) menyatakan perceived organizational support didasarkan

pada hubungan timbal balik antara pekerja dan organisasi, ketika para pekerja

merasakan timbal balik yang baik dari organisasi, mereka akan cenderung untuk

membalas kebaikan tersebut ke organisasi, termasuk upaya dalam mengurangi

tingkat turnover intention. Penelitian yang dilakukan Aulia (2012) menyatakan

bahwa perceived organizational support memiliki pengaruh yang signifikan

terhadap turnover intention pada karyawan hotel.

Penelitian yang dilakukan oleh Newman et al. (2012) dengan

menggunakan alat uji SEM (Structured Equation Modeling) menemukan bahwa

POS (Perceived Organizational Support) berpengaruh negatif signifikan terhadap

keinginan untuk meninggalkan organisasi. Maka dalam hal ini peneliti ingin

meneliti hubungan antara perceived organizational support dengan turnover

intention dalam organisasi yang terdapat pada perusahaan jasa yaitu hotel Griya

Santrian.

H3: Perceived Organizational Support berpengaruh negatif signifikan

terhadap Turnover Intention pada karyawan hotel Griya Santrian.

22

Anda mungkin juga menyukai