Seperti telah diketahui bahwa lemak ikan lebih banyak mengandung asam-asam
lemak tidak jenuh terutama C16:1, C18:1, C20:1, dan C21:1 daripada yang ada pada lemak
hewan darat, sehingga lemak-lemak ikan akan mudah mengalami oksidasi. Oksidasi
merupakan faktor penyebab kerusakan dan kebusukan utama pada ikan pelagik seperti
mackarel dan ikan haring, berkaitan dengan tingginya kadar minyak atau lemak yang
tersimpan di dalam daging ikan tersebut. Oksidasi lemak meliputi tiga tahapan
mekanisme radikal bebas, yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi. Inisiasi meliputi
pembentukan radikal bebas dari lemak melalui katalis, seperti panas, ion logam, dan
iradiasi. Radikal bebas yang terbentuk ini kemudian bereaksi dengan oksigen dan
membentuk radikal peroksil. Selama proses propagasi, radikal peroksil tersebut bereaksi
dengan molekul lemak lain untuk membentuk hidroperoksida dan radikal bebas yang
baru. Terminasi akan terjadi ketika pembentukan radikal bebas tersebut saling
berinteraksi membentuk produk non-radikal. Secara umum, oksidasi adalah reaksi yang
terjadi antara oksigen dengan ikatan ganda pada asam lemak. Oleh karena itu, lemak pada
tubuh ikan yang terdiri atas asam lemak tak jenuh (PUFA) mempunyai resiko yang tinggi
untuk terjadinya oksidasi.
Peristiwa oksidasi dapat berlangsung secara oto-oksidasi yang disebabkan oleh masih
aktifnya beberapa enzim selama pembekuan, atau dapat berlangsung karena kontak dengan
oksigen yang ada dalam ruang penyimpanan dingin. Hasil-hasil oksidasi adalah senyawa-
senyawa radikal bebas yang merupakan hasil antara kemudian berlanjut menghasilkan
senyawa-senyawa peroksida, aldehida, dan karbonil. Peroksida adalah senyawa pertama yang
terjadi pada oksidasi tetapi biasanya jumlahnya sangat kecil sehingga sukar dideteksi.
Kemudian disusul timbulnya aldehida terutama malonaldehida dan yang terakhir adalah
terjadinya senyawa-senyawa karbonil. Oleh karena itu kerusakan lemak dapat dideteksi
dengan menganalisa senyawa-senyawa tersebut. Angka peroksida dinyatakan sebagai
miliekivalen tiap satuan berat daging ikan, meq/kg, sementara kandungan malonaldehidanya
dapat dinyatakan sebagai angka TBA (tribarbituric acid = asam tribarbiturat). TBA dengan
malonaldehida akan membentuk senyawa berwarna merah jambu yang stabil yang pada
kalorimeter atau spektrofotometer menunjukkan puncak tertinggi pada panjang gelombang
antara 528-535. Kandungan karbonil dinyatakan dalam mol/gram bahan atau μ mol/gram
bahan. Dari ketiga cara tersebut, analisa TBA merupakan cara yang diketahui paling baik dan
mudah dikerjakan daripada kedua cara lainnya, terutama untuk produk-produk hasil
perikanan. Namun jika analisa TBA diikuti dengan analisa peroksida dan/atau analisa
karbonil hasilnya akan lebih mencerminkan keadaan kerusakan lemak.
Oksidasi lemak pada ikan dapat terjadi secara enzimatis maupun non-enzimatis.
Hidrolisis enzimatis lemak oleh lipase biasa disebut dengan lipolisis (kerusakan lemak).
Dalam proses ini, lipase memecah gliserida dan membentuk asam-asam lemak bebas yang
mengakibatkan:
- hilangnya flavor,
- mempercepat ketengikan, dan
- menurunkan kualitas minyaknya.
Enzim lipase yang berperan dalam proses ini adalah lipase yang terdapat pada kulit,
darah, serta jaringan dalam tubuh ikan. Enzim utama dalam hidrolisis lemak ikan
adalah triacyl lipase, phospholipase A2 dan phospholipase B. Sedangkan oksidasi non-
enzimatis terjadi karena katalisis senyawa hematin (hemoglobin, myoglobin, dan
cytochrome) yang menghasilkan hidroperoksida. Asam lemak yang terbentuk selama
proses hidrolisis lemak ikan akan berinterkasi dengan protein myofibrillar dan
sarkoplasma yang menyebabkan denaturasi. Oksidasi lemak dapat terjadi pada otot
ikan sehubungan dengan tingginya hemoglobin yang mendukung terjadinya oksidasi,
khususnya ketika terjadi deoksigenasi hemoglobin. Pada penambahan asam yang akan
menurunkan pH, dapat mempercepat oksidasi lemak melalui Hb yang telah terdeoksigenasi.
Selama pendinginan dan pembekuan, lemak yang ada pada daging ikan dapat
mengalami oksidasi. Macam dan besarnya oksidasi lemak tergantung dari:
- rendahnya suhu,
- lamanya pendinginan atau pembekuan,
- perlakuan pendahuluan yang dikerjakan pada ikan,
- besarnya kandungan lemak ikan,
- ada tidaknya penggunaan bahan pengawet dan antioksidan,
Pengaruh suhu penyimpanan terhadap oksidasi lemak telah diketahui bahwa oksidasi
lemak masih dapat berlangsung pada suhu yang sangat rendah, -18˚C. Dibawah suhu tersebut
oksidasi berjalan sangat lambat. Dari berbagai kajian perubahan angka TBA dan peroksida
pada daging ikan yang disimpan dibawah suhu -18˚C adalah sangat kecil. Beberapa contoh
dapat dikemukakan disini adalah pengamatan terhadap ikan herring dan ikan salem yang
disimpan pada suhu -28˚C (menurut Hadiwiyoto, 1993) menunjukkan bahwa angka peroksida
meningkat sangat kecil selama penyimpanan beku. Pembebasan asam lemak juga tidak terjadi
pada suhu yang sangat rendah, tetapi penyimpanan pada suhu diatas -18˚C dapat
mempercepat oksidasi lemak.
Lamanya penyimpanan dingin juga mempunyai peranan penting. Seperti
dikemukakan diatas, meski pun waktu penyimpanan diperpanjang tetapi kerusakan lemak
karena oksidasi praktis berjalan sangat lambat dibawah -18˚C. Sebaliknya penyimpanan
diatas suhu tersebut menyebabkan oksidasi masih berlangsung dengan baik. Makin lama
penyimpanan, oksidasi makin banyak terjadi yang ditunjukkan dengan meningkatnya angka
TBA, karbonil, maupun pembebasan asam-asam lemak.
Perlakuan pendahuluan, misalnya penyayatan, penghilangan sisik, atau pemotongan,
menunjukkan pengaruh yang nyata sekali pada oksidasi lemak selama penyimpanan.
Lamanya pendinginan pada campuran es dan air sebelum hasil perikanan dibekukan juga
memegang peranan pada kerusakan lemak. Semua itu disebabkan karena kerusakan pada sel
dan jaringan daging ikan sehingga menyebabkan lemak dapat lebih banya berhubungan
dengan udara.
Pemberian antioksidan pada air dingin atau campuran air dan es yang digunakan
untuk mendinginkan hasil perikanan sebelum dibekukan atau yang digunakan untuk
pelapisan es (glazing) dapat menghambat berlangsungnya oksidasi lemak. Diketahui
pemberian tokoferol 40-600 mg/kg daging ikan pada air yang akan digunakan untuk
pelapisan es dapat menghambat oksidasi lemak kurang lebih separuhnya. Antioksidan TBHQ
(monotertiarybuthylhydroquinone) dan asam askorbat masing-masing sebanyak 0,25% dan
2% dapat digunkan pula sebagai antioksidan. Demikian pula dengan jenis-jenis antioksidan
lainnya, misalnya antioksidan gallat dapat mengurangi oksidasi lemak.
Peranan enzim pemecah lemak pada pembebasan asam-asam lemak adalah besar
sekali meskipun ikan disimpan pada keadaan beku. Pembebasan asam-asam lemak juga
pertanda kerusakan lemak. Meskipun demikian dibawah suhu -18˚V kebanyakan enzim
aktifitasnya sudah terhenti, hanya beberapa enzim yang masih dapat aktif pada suhu yang
sangat rendah, misalnya enzim-enzim yang dapat menghidrolisa fosfolipida yaitu fosfolipase
-A, -B, -C, enzim lisolestinase yang dapat menghidrolisa lesitin dan fosfatidilkolin, lesitinase,
dan sebagian kecil lipase.
Oksidasi lemak selain dapat dihambat dengan pelapisan es pasa hasil perikanan yang
dibekukan dan pemberian antioksidan, juga dapat dilakukan dengan pembekuan dalam
keadaan hampa atau pembekuan dibawah kondisi gas nitrogen, namun kedua cara ini jarang
dikerjakan karena biaya yang mahal. Pengepakan produk perikanan dengan bahan pengepak
yang kedap air dan udara yang juga dapat menghambat oksidasi lemak.
Ikan segar mempunyai pH sekitar 6,8 -7,0. Selama pendinginan dan pembekuan pH
daging ikan akan berubah. Perubahan ini terjadi dalam dua tahap. Pada awal pendinginan
atau pembekuan, pH daging ikan akan turun kemudian pada tahap selanjutnya pH akan naik
lagi. Terjadinya penurunan dan penaikan pH ini banyak dikaitkan dengan keadaan fisiologik
daging ikan, komposisi senyawa-senyawa garam yang ada pada daging ikan, dan aktifitas
enzim. Daging ikan dalam keadaan prerigor akan mengalami penurunan pH lebih banyak
pada waktu didinginkan atau dibekukan karena proses glikolisa anaerobik yang menyebabkan
terbentuknya asam laktat masih berlangsung. Penurunan pH pada tahap awal juga disebabkan
terjadinya peristiwa presipitasi garam-garam yang bersifat alkalis misalnya garam-garam
magnesium fosfat, kalsium fosfat, dan natrium fosfat, sedangkan kenaikan pH pada tahap
kedua disebabkan karena terjadinya pengendapan garam-garam yang bersifat asam, misalnya
garam kalium sitrat dan natrium sitrat. Tetapi daging ikan dalam keadaan postrigor
menyebabkan peristiwa pengendapan garam-garam tersebut berjalan lambat sehingga
penurunan pH-nya juga lambat. Kenaikan pH mungkin juga disebabkan karena
berkembangnya bakteri psikrofil yang dapat menyebabkan terbentuknya basa-basa volatil
makin banyak.
Lamanya pendinginan atau pembekuan dan rendahnya suhu juga mempunyai peranan
penting pada perubahan pH daging ikan. pH daging ikan akan menurun secara lambat dengan
makin rendahnya suatu penyimpanan. Sebaliknya suhu tinggi menyebabkan perubahan pH
yang cepat.. Pada suhu tinggi pH daging menurun kemudian akan naik lagi selama
penyimpanan.