Kepribadian Rabbani
1. Pengertian Kepribadian Rabbani
Istilah Rabbani berasal dari kata rabb yang dalam Bahasa Indonesia berarti
“Tuhan”, yaitu Tuhan yang memiliki, memperbaiki, mengatur, menambah, menunaikan,
menumbuhkan, mengembangkan, memelihara, dan mematangkan sikap mental.
Kepribadian Rabbani atau kepribadian ilahi adalah kepribadian individu yang didapat
setelah mentransformasikan asma’ dan sifat-sifat Tuhan ke dalam dirinya untuk
kemudian diinternalisasikan dalam kehidupan nyata. Atau dalam Bahasa sederhana,
kepibadian Rabbani adalah kepribadian individu yang mencerminkan sifat-sifat
ketuhanan (rabbaniyah).
2. Kerangka Dasar Kepribadian Rabbani
Struktur kepribadian manusia tidak hanya tersusun dari unsur-unsur jasmani,
tetapi juga unsur-unsur rohani. Roh yang berada di dalam diri manusia diciptakan dan
diberikan secara langsung oleh Allah swt., tanpa melalui proses graduasi seperti jasad.
Menurut sabda Nabi SAW., roh itu diberikan pada jasad manusia setelah jasad
mengalami kesempurnaan, yakni ketika empat bulan dalam kandungan.
Roh yang berada di dalam diri manusia merupakan ciptaan Allah swt., yang
memiliki Sunnah (hukum) rohaniah. Sunnah rohaniah merupakan Sunnah yang
dikehendaki oleh-Nya, sehingga aktualisasi Sunnah rohaniah itu menjadikan citra
manusia seperti citra-Nya. Citra inilah yang menunjukkan kepribadian Rabbani, satu
kepribadian yang seiring dengan ‘kepribadian-Nya’.
3. Pola Kepribadian Rabbani
Terdapat dua pola untuk menuju pada kepribadian rabbani. Pertama, pola yang
merujuk pada asma’ (nama-nama) atau sifat-sifat-Nya. Kedua, pola yang merujuk pada
implikasi psikologis setelah seseorang beriman kepada Allah Swt. Pola pertama, yang
mengacu pada al-asma al-husna, lebih mudah dikembangkan dari pada pola kedua. Selain
menjadi fitrah manusia, bagian-bagian dari al-asma’ al-husna telah tersistematisasi dan
dijabarkan penjelasannya secara panjang lebar dalam beberapa literatur. Sementara pola
kedua perlu pengkajian dan penelitian terlebih dahulu terhadap ayat Al-Qur’an maupun
hadis, untuk kemudian hasilnya dipergunakan mengkonstrukkepribadian Rabbani.
4. Dimensi-dimensi Kepribadian Rabbani
Dimensi-dimensi kepribadian rabbani, dengan menggunakan pola asma al-husna,
sebagaimana yang dinyatakan oleh Laleh Bakhtiar memiliki tiga bagian, yaitu teotika,
psikoetika dan sosioetika. Teotika, disebut juga kepribadian berketahuan (al-
syakhshiyyah al-ilahiyyah), adalah bagian kepribadian rabbani yang mendorong individu
untuk berketuhanan secara baik dan benar. Psikoetika, disebut juga kepribadian
berkemanusiaan, adalah bagian kepribadian rabbani yang mendorong individu untuk
pembentukan diri yang berkepribadian baik. Kategori psikoetika, masih menurut Laleh
Bakhtiar, memuat tiga bagian, yaitu:
a. Terapi kepribadian dalam menarik kenikmatan sehingga meraih keseimbangan.
b. Terapi kepribadian dalam menghindari bahaya sehingga meraih keberanian
c. Terapi kepribadian kognitif untuk meraih kearifan.
5. Pemusatan Jiwa Dengan Keadilan
Sosietika, disebut juga kepribadian bersosial (al-syakhshiyah al-ijtimâiyyah),
adalah bagian dari kepribadian rabbani yang mendorong individu untuk hidup
berkepribadian sosial secara baik. Sebagai makhluk sosial, ia hidup bukan hanya untuk
kepentingan pribadi, melainkan untuk ramah bagi sesamanya. Kategori sosioetika, masih
menurut Laleh Bakhtiar, memuat sepuluh bagian, yaitu:
a. Kebangkitan sosial dengan mengosongkan hati dari segala sesuatu kecuali hasrat
mendekatkan diri kepada Allah.
b. Memasuki proses kreatif
c. Mengajak ke arah positif dan mencoba mencegah perkembangan yang negative
d. Membina kepantasan kepribadian seorang monoteis yang berbudaya religius,
e. Menggunakan kekuatan spiritual untuk menolong sesama,
f. Pengemban amanat Allah, al-Wakîl, al-Qawî, al-Matîn, al-Walî, al-Hamîd, al-Muhshî,
al-Mubdi', dan al-Mu'id.
g. Menyempurnakan persepsi naluriah melalui pembinaan kepribadian mulia,
h. Menyempurnakan motivasi naluriah melalui tindakan mulia,
i. Menuju pengabdian dengan mengabdikan diri kepada ciptaan Allah,
j. Mengabdi sebagai penunjuk atau guru bagi sesama.
Dengan meminjam tipologi kebudayaan Eduard Spranger, al-asma', al-husna juga dapat
diklasifikasikan menjadi enam tipe, meskipun klasifikasi ini tidak terlalu konstan, yaitu:
B. Kepribadian Malaki
1. Pengertian Kepribadian Malaki
Istilah malaki berasal dari akar kata malaka yang berarti memiliki, mempunyai
atau menguasai. Istilah malaki kemudian dinisbatkan dengan salah satu makhluk Allah
yang disebut dengan malaikat (bentuk jama’ dari malak). Kepribadian malaki adalah
kepribadian individu yang mencerminkan sifat-sifat kemalaikatan (malakiyyah). Pada
definisi di atas mengandung tiga unsur utama, yaitu transformasi sifat-sifat mulia
malaikat; ke dalam diri individu yang berusaha berkepribadian malaki; untuk kemudian
menginternalisasikannya dalam kehidupan nyata.
2. Kerangka Dasar Kepribadian Malaki
Sebagaimana dalam QS Al-A’raf ayat 16, Al-Hijr ayat 39-40 dan Shad ayat 82-83
bahwa iblis selalu menghalangi manusia untuk menempuh jalan yang lurus, menyesatkan
semuanya, dan membisikkan buruk (was-was) ke jalan maksiat. Namun di pihak lain,
Allah SWT juga menciptakan malaikat untuk menjaga manusia. Apabila keberadaan
malaikat menjaga dan memelihara manusia maka ia memiliki beberapa sifat yang patut
dicontoh dan diteladani, sebab dengan menteladaninya maka manusia akan terhindar dari
tipu daya syetan dan membentuk apa yang disebut dengan kepribadian malaki.
3. Pola Dan Bentuk-Bentuk Kepribadian Malaki
Terdapat dua pola untuk menuju kepribadian malaki: Pertama, pola yang merujuk
pada tugas-tugas malaikat khusus. Kedua, pola yang merujuk pada sifat-sifat dan
kegiatan-kegiatan (wadha’if) malaikat.
Berdasarkan pola pertama, bentuk-bentuk kepribadian malaki adalah:
a. Kepribadian Jibrili
b. Kepribadian Mika’ili
c. Kepribadian Israfili
d. Kepribadian Izraili
e. Kepribadian Raqibi
f. Kepribadian Atidii
g. Kepribadian Munkari
h. Kepribadian Nakiri
i. Kepribadian Maliki
Berdasarkan pola kedua, maka bentuk-bentuk kepribadian malaki adalah:
C. Kepribadian Qur’ani
1. Pengertian kepribadian qur’ani
Istilah qur’ani memiliki akar yang sama dengan qarinah (indikator, bukti,
petunjuk), qarana (menggabungkan), qur’u (menghimpun), dan qur’a (membaca)
yang secara bahasa berarti mengumpulkan (jam’u) dan menghimpun (dhamm). Istilah
qur’ani kemudian dinisbatkan dengan salah satu kitab Allah Swt., yaitu kitab Allah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Waw. Melalui Malaikat Jibril yang
terkumpul dalam satu mushhaf diawali dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri surat An-
Nas yang membacanya termasuk ibadah dan memiliki makna tantangan bagi mereka
yang mengingkarinya.
Kepribadian qur’ani adalah kepribadian individu yang didapat setelah
mentransformasikan isi kandungan Al-Qur’an ke dalam dirinya untuk kemudian
diinternalisasikan dalam kehidupan nyata. Atau dalam bahasa yang sederhana,
kepribadian qur’ani adalah kepribadian individu yang yang mencerminkan nilai-nilai
Al-Qur’an (qur;aniyyah). Pada definisi diatas mengandung tiga unsur utama, yaitu
transformasi nilai-nilai Al-Qur’an; ke dalam diri individu yang berusaha
berkepribadian qur’ani; untuk kemudian menginternalisasikannya dalam kehidupan
nyata.
2. Kerangka Dasar Kepribadian Qur’ani
Manusia diberi potensi nafsani oleh Allah Swt. Untuk mengetahui segala sesuatu,
agar dengan pengetahuannya ia dapat berbuat baik. Namun karena kemampuan akal
manusia terbatas, sehingga pengetahuan yang diperoleh oleh manusia yaitu: belum
menjangkau seluruh fenomena kehidupan; tidak akan mampu mengetahui yang gaib
atau masalah-masalah sam’iyyat, seperti fenomena yang terjadi pada hari kiamat;
kekuatan pikir manusia kadang-kadang dihalangi oleh hawa nafsu, sehingga ia tidak
mampu berpikir jernih; dan sebagai produk budaya, pengetahuan manusia mengalami
kondisi seperti itu, petunjuk (hidayah) dari Allah Swt. Sangat diperlukan, untuk
melengkapi bahkan menyempurnakan pengetahuan akliah manusia. Seluruh petunjuk-
Nya terhimpun dalam kitab suci Al-Qur’an, meskipun muatannya masih bersifat
global yang rinciannya diserahkan penuh pada ijtihat (kreativitas berpikir) manusia.
Dalam QS. Al-Baqarah ayat 30-39 disebutkan bahwa Nabi Adam As. sebagai
bapak manusia memiliki pengetahuan yang luar biasa, sehingga malaikat tunduk
padanya. Namun pengetahuan yang dimiliki tidak mampu menjamin keselaman
hidupnya, sehingga ia tergelincir. Hanya dengan petunjuk Allah SWT. Adam
kemudian dapat menemukan jati dirinya. Peristiwa itu menjadi pelajaran bagi anak
cucunya, bahwa keselamatan hidup tidak semata-mata bergantung pada kekuatan ilmu
pengetahuan, melainkan pada hidayah-Nya yang hal itu dapat dipelajari melalui kitab
suci. Meneladani dan mempraktikkan nilai-nilai Al-Qur’an melahirkan kepribadian
Qur’ani. Kepribadian Qur’ani tidak berarti menghindari atau melupakan kekuatan ilmu
pengetahuan, melainkan telah melampauinya.
Fungsi Al-Qur’an di antaranya adalah:
1) Menjadi petunjuk, penjelas dan pembeda yang haq dan bathil (QS:Al-Baqarah:
185, Al-Isra’: 41, Al-Naml: 92)
2) Memperingatkan manusia yang lupa (QS: Al-An’am: 19, Al-Syura: 7, Al-
Qamar: 17)
3) Satu bacaan yang patut didengar agar mendapatkan rahmat dari Allah (QS: Al-
A’raf: 204)
4) Mengajak manusia untuk berpikir (QS: Yusuf: 2, Al-Zukhruf: 3, Muhammad:
24)
5) Terapi yang penuh rahmat (QS: Al-Isra’: 82)
6) Menjadi petunjuk manusia agar berkepribadian shalih (QS: Al-Isra’: 9).
3. Pola dan Bentuk-Bentuk Kepribadian Qur’ani
Agak sulit menentukan pola dan bentuk-bentuk kepribadian qur’ani sebab ruang
lingkupnya terlalu luas, seluas tema-tema yang ada dalam Al-Qur’an atau seluas
dimensi-dimensi kehidupan manusia. Dalam QS: Al-An’am ayat 38 disebutkan: “Dan
tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan
kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpalakan
sesuatupun di dalam al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”. Hal
itu mengandung arti bahwa seluruh fenomena makhluk, biotik maupun abiotik, gaib
maupun syahadah, semuanya tercakup dalam Al-Qur’an. Namun pada intinya,
kepribadian qur’an adalah kepribadian yang melaksanakan sepenuh hati nilai-nilai Al-
Qur’an, baik pada dimensi:
a. I’tiqadiyyah, yang berkaitan dengan nilai-nilai keimanan, seperti percaya kepada
Allah, Malaikat, Rasul, Kitab, Hari Akhir dan Kaqdir, yang bertujuan untuk
menata kepercayaan individu.
b. Khuluqiyyah, yang berkaitan dengan nilai-nilai etika, yang bertujuan untuk
membersihkan diri dari perilaku rendah dan menghiasi diri dengan perilaku
terpuji.
c. Amaliyyah, yang berkaitan dengan nilai-nilai tinkah laku sehari-hari, baik yang
berhubungan dengan:
1) Ibadah, yang memuat hubungan antara manusia dengan Tuhannya, seperti
shalat, puasa, zakat, haji, dan nadzar, yang bertujuan untuk aktualisasi nilai-
nilai ubudiyah.
2) Mu’amalah, yang memuat hubungan antara antara manusia, baik secara
individual maupun institusional. Bagian ini terdiri atas ahwan syakhshiyah,
ahkam madaniyah, ahkam jana’iyah, ahkam murafa’at, ahkam dusturiyah,
ahkam duwaliyah dan ahkam iqtishadiyah.
D. Kepribadian Rasuli
1. Pengertian Kepribadian Rasuli
Istilah rasuli berasal dari akar kata “rasala” yang berarti mengirim dan mengutus.
Istilah rasulikemudian dinisbatkan dengan sala satu status makhluk Allah SWT, yang
disebut dengan rasul (utusan). Kepribadian rasuli adalah kepribadian individu yang
didapat setelah menstransformasikan sifat-sifat dan kelebihan-kelebihan rasul ke dalam
dirinya untuk kemudian di internalisasikan dalam kehidupan nyata. Atau dalam bahasa
arab yang sederhana, kepribadian rasuli adalah kepribadian individu yang mencerminkan
sifat-sifat kerasulan (rasuliyyah). Pada definisi diatas mengandung tiga unsur utama,
yaitu transformasi sifat-sifat dan kelebihan-kelebihan rasul, ke dalam diri individu yang
berusaha berkepribadian rasulii, untuk kemudian menginternalisasikannya dalam
kehidupan nyata.
2. Kerangka Dasar Kepribadian Rasuli
Allah SWT, menciptakan manusia berikut potensi-potensi nafsaniahnya. Dengan
potensi itu, manusia dituntut untuk mengenal diri, lingkungan dan Tuhannya, serta tugas-
tugas dan kewajiban-kewajibannya. Oleh karena keterbatasan manusia, maka Allah SWT
mengangkat dan mengurus berapa rasul pada umatnya yang bertujuan untuk, sebagai
berikut :
a. Menyampaikan risalah ketuhanan (ilahiyyah) kepada umatnya, agar mereka
berkepribadian sebagaimana yang dikehendaki oleh penciptanya. Firman Allah
SWT : Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada rasul (Nya) dan
berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya
kewajiban Rasul kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. (QS.
Al-Maidah [5]:92).
b. Menjadi duta Tuhan yang membimbing, menjadi saksi, pembawa berita gembira dan
mengingatkan umatnya agar selalu berman dan berbakti pada tuhannya, Friman
Allah SWT : Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita
gembira dan pemberi peringatan. (QS. Al-Fath [48]:8).
c. Menjadi suri tauladan (uswah al-hasanah) dalam berkepribadian, agar umatnya
mudah dan gampang berkepribadian baik. Firman Allah SWT : Sesungguhnya telah
ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang menghadap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab [33]:21).
F. Kepribadian Taqdiri
1. Pengertian Kepribadian Taqdiri
Istilah taqdiri berasal dari akar kata qadara yang berarti ketetapan, aturan, hukum,
kepastian dan keharusan universal. Istilah taqdiri kemudian dinisbatkan dengan salah satu
ketetapan dan aturan Allah SWT, yang berlaku secara konstan pada seluruh makhluknya.
Kepribadian taqdiri adalah kepribadian individu yang di dapat setelah mengimani,
memahami, mengaplikasikan ketetentuan dan aturan Allah SWT, dalam kehidupan ini
sehingga ia mendapatkan rahasia dan hikmah hidupnya menuju keselamatan di dunia dan
di akhirat.
2. Kerangka dasar kepribadian taqdiri
Allah Swt, telah menciptakan manusia dan seluruh potensi manusiawinya. Agar
potensi tersebut dapat mengaktual secara benar dan baik, maka ia menciptakan hukum-
hukum, aturan –aturan, ketetapan-ketetapan, ketetentuan-ketentuan, atau keharusan
universal itu lazim disebut dengan takdir. Kepribadian taqdiri tidak berarti mengubah
ketentuan atau aturan tuhan, melainkan memahami bahwa seluruh alam ciptaan-Nya,
termasuk manusia tak terlepas dari aturannya, serta menempuh aturan itu sebagaimana
mestinya. Manusia mampu berlari dari satu takdir, tetapi sesungguh ia menuju pada suatu
takdir yang lain. Firman Allah SWT: “sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu
menurut akuran.”
a. Bertingkah laku berdasarkan hukum dan aturan tuhan, sehingga tidak semena-mena dan
sewenang-wenang menurut keinginan hawa nafsu.
b. Membangun jiwa yang optimis dalam mencapai tujuan hidup tertentu. Sebab seluruhnya
telah ada hukum dan aturan yang jelas, sehingga individu di tuntut menempuh prosedur
sebagaimana yang telah di tetapkan.
c. Tidak sombong dan angkuh ketika mendapatkan suatu kesuksesan hidup, sebab
semuanya anugrah dan karunia Allah Swt, melalui sunnah-sunnahnya, sombong
merupakan awal dari sifat sembrono dan gegabah dalam mencapai sesuatu, yang nantinya
akan merugikan aktifitas berikutnya.
d. Tidak pesimis, dan stress atau depresi ketika mendapatkan kegagalan.
e. Senantiasa beraktifitas dan berkreasi untuk mendapatkan sesuatu, untuk kemudian
menyerahkan seluruhnya (tawakal) kepadaNya agar ia mendapatkan keseimbangan diri.
f. Memanfaatkan ada memfungsikan seluruh potensi, kesempatan dan peluang yang ada
untuk menggapai sesuatu yang adil melalui aturan-aturan tuhan yang telah di tetapkan.
G. Kepribadian Syahadatain
1. Pengertian Kepribadian Syahadatain
Syahadatain berasal dari kata “Syahida” yang berarti bersaksi, menghadiri,
melihat, mengetahui, dan bersumpah. Istilah syahadatain kemudian dinisbatkan pada
satu momen dimana individu mengucapkan dua kalimat syahadat. Kalimat syahadat
terdiri dari dua kesaksian. Kesaksian pertama berkaitan dengan keyakinan bahwa
tiada tuhan selain allah, sedangkan kesaksian kedua berkaitan dengan kepercayaan
bahwa Muhammad adalah utusan allah. Bacaan tiada tuhan selain allah memiliki arti
tiada tuhan (ilah) yang ada (mawjud) kecuali allah. Syahada pertama merupakan
aktualisasi dan tauhid uluhiyyah (ketuhan ) sedang syahadah rasul memiliki atri
bahwa Muhammad Saw merupakan rasul allah terakhir atau penutup (khatim).
Kepribadian syahadatain adalah kepribadian individu yang didapat setelah
mengucapkan dua kalimat syahadat, memahami hakikat dari ucapannya serta
menyadari akan segala konsekuensi persaksianya tersebut.kepribaddian meliputi
domain kognitif dengan pengucapan dua kalimat secara verbal, domain efektif
dengan kesadran hati yang tulus, dam domain psikomotorik dengan melakukan
perbuatan sebagai konsepkuensi dari persaksiannya itu.
2. Bentuk - bentuk kepribadian syahadatain
a. Kepribadian yang bebas, merdeka dan tidak tebelanggu oleh tuhan- tuhan yang
nisbi dan temporer, untuk menuju pada lindungan dan naungan tuhan yang mutlak
lagi sampurna.
b. Kepribadian yang berpengatahuan secara pasti, karena kepercayaan terhadap
tuhan merupakan ssuatu yang hakiki dalam kehidupan manusia.
c. Kepribadian yang yakin dan menghilangkan segala bentuk keraguan keraguan.
d. Kepribadian yang menerima (qabul) segala konsekuensi akibat dari persaksian
dan ucapannya.
e. Kepribadian yang tunduk dan patuh (inqiyud) terdapat penciptanya.
f. Kepribadian yang jujur (shitidq), sebab kesaksian menuntut pada ucapan dan
tindakan sesuai apa adanya.
g. Kepribadian yang tulus ( ikhlash), dimana ia berprilaku bukan semata mata
karena pengawasan orang lain atau sekedar mencari perhatian.
h. Kepribadian yang penuh cinta (mahabbah), dimana cinta kepada tuhannya berarti
cinta pada diri sendiri, juga cinta pada orang yang cinta kepadanya.
H. Kepribadian Mushalli
1. Pengertian Kepribadian Mushalli
Mushalli adalah orang yang sholat. Sholat secara etimologi berarti memohon
(do’a) dengan baik, yaitu permohonan keselamatan, kesejahteraan san kedamaian
hidup didunia dan diakhirat kepada Allah swt. Menurut istilah, sholat adalah suatu
perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam beserta mengerjakan
syarat-syarat dan rukun-rukun. Kepribadian mushalli adalah kepribadian individu yang
didapat setelah melaksanakan sholat dengan baik, konsisten, tertib dan khusyu’,
sehingga ia mendapatkan hikmah dari apa yang dikerjakan.
2. Kerangka Dasar Kepribadian Mushalli
Ibadah merupakan bentuk aktualisasi diri yang fitri dan hakiki,sebab penciptaan
manusia didesain untuk beribadah kepada Tuhannya (QS Al-Dzariyat; 56) ibadah
dalam islam banyak jenis dan bentuknya, namun ibadah yang merepresentasikan
seluruh kepribadian manusia adalah shalat, karena ia yang membedakan hamba yang
Muslim dan khafir. Sholat dinilai sebagai mi’raj al-salikin, yaitu pendakian diri dari
orang-orang yang menempuh jalan spiritual, sehingga dalam shalat terjadi komunikasi
aktif antara hamba dan tuhannya.
3. Dimensi-dimensi Kepribadian Mushalli
Jika dilihat dari domain yang terdapat pada rukun-rukun shalat, maka kepribadian
mushalilli meliki tiga dimensi, yaitu: Pertama, dimensi afektif (infi’ali), satu
kepribadian mushalli yang di bentuk dari pengalaman afektif (affective experience)
shalat, sehingga menimbulkan persamaan-persamaan dan daya emosi yang khas dan
kuat. Kepribadian ini didapat dari rukun qalbiyyah shalat seperti niat dan
kekhususnya; kedua, dimensi kognifin (cognitive experience) shalat, sehingga
menimbulkan efek pengenalan, pikiran dan daya cipta yang luar biasa. Kepribadian
ini didapat dari rukun qawliyyah shalat seperti mengucapkan takbir, surat Al-Fatiha,
tasyahuddan shalawat Nabi pada tasyahud akhir, dan salam pertama; ketiga, dimensi
psikomotorik (nafsi haraki), suatu kepribadian mushalli yang dibentuk dari
pengalaman psikomotorik (psychomotor experience) shalat,sehingga menimbulkan
kemauan, gerak dan daya keras yang mantap. Kepribadian ini didapat dari rukun
fi’liyyah shalat, seperti berdiri, ruku’, sujud, dan duduk dalam sholat.
Kepribadian ini didapat dari pelaksanaan sholat sunnat, Misalnya:
a. Sholat Hajad, didorong oleh keinginan tercapai hajad atau kebutuhannya.
b. Sholat Tahajjud, didorong oleh keinginan memperoleh kedudukan yang tinggi, baik di
dunia maupun akhirat. Jika ia berdoa maka dikabulkan, jika ia meminta maka di beri, dan
jika ia meminta ampun maka di ampuni (HR al-bukhori dari Abu Hurairah).
c. Sholat istikhara, didorong oleh keinginan memilih salah satu yang terbaik atau
menentukan kepastian sesuatu, seperti memilih jodoh, tempat kerja, sekolah atau kuliah,
dan sebagainya.
d. Sholat Taubat, didorong oleh keinginan pengampunan dari Allah atas segala dosa yang
diperbuat.
e. Sholat Dhuha, didorong oleh keinginan memperoleh rezeki yang banyak, sebab sholat
Dhuha dikerjakan pada saat jam kerja yang efektif.
f. Sholat Istisqa, didorong oleh keinginan mendapatkan hujan dari kemarau panjang.
g. Sholat Tarawih, didorong oleh keinginan untuk rileks dengan mengendorkan syaraf dan
obat yang ada pada tubuh serta mendapatkan ampunan, sehingga diri seperti baru
dilahirkan.
h. Sholat ‘Idain, didorong oleh keinginan merayakan dua hari raya yang
menyenangkan( (Idul Fitri dan Idul Adha).
Dilihat dari sudut pelaksanaan sholat maka kepribadian mushalli memiliki empat
dimensi, yaitu : Pertama : sholat harian (yaumiyyah), seperti sholat wajib lima waktu.
Kedua : sholat mingguan (usbu’iyyah) seperti sholat Jum’at; Ketiga : Sholat tahunan
(‘amiyyah) seperti Idul Adha dan Idul Fitri.Keempat : sholat seumur hidup sekali, seperti
sholat sunnah Tasbih yang setidaknya-tidaknyaseumur hidup sekali.
4. Pola dan Bentuk-bentuk Kepribadian Muashalli
Berdasarkan isyarat ayat Al-qur’an atau hadits yang berkaitan dengan shalat,
indikator kepribadian mushalli adalah sebagai berikut :
a. Kalimat mendirikan sholat (iqam alshalah) diikuti kalimat membayar zakat terulang 26
kali dan diikuti kalimat menafkahkan rizqi terulang delapan kali dan diikuti kalimat
berkorban terulang kali dalam ayat Al-quran .
b. Pemerintah kewajiban sholat menggunakan kata iqamah (menunaikan) bukan ‘adaa
(melaksanakan). Hal itu berarti bahwa kepribadian mushalli tidak hanya dibentuk secara
jadi-jadian atau asal-asalan.
c. Sholat disebut pertama kali dalam urutan aktivitas manusia (QS.Al-An’am;162,
Thaha:14) dan perilaku pertama kali yang dihitung diakhirat kelak. Hal ini mengandung
isyarat bahwa kepribadian mushalli dapat menjadi acuan pokok dalam rekrutmen
pegawai.
d. Sholat selayaknya dilakukan dimesjid, sebab mesjid merupakan markas atau pusat
kegiatan peribadatan. Hal ini mengandung isyarat bahwa kepribadian mushalli
merupakan kepribadian yang memiliki markas atau institusi yang kokoh dalam
melakukan aktivitasnya.
e. Sebelum sholat dilakukan terlebih dahulu membersihkan diri dari segala zat yang
berbahaya, seperti minuman keras, napza dan zat adiktif lainnya.
f. Sholat merupakan wahana berdzikir dan berpikir, bahkan zikir terbaik ada di dalam
sholat.
I. Kepribadian Shaim
1. Pengertian Kepribadian Shaim
Shaim adalah orang yang berpuasa. Puasa secara etimologi berarti menahan
terhadap sesuatu, baik yang bersifat materi maupun non-materi. Menurut istilah, puasa
adalah menahan diri di waktu siang dari segala membatalkan yang dilakukan (makan,
minum dan hubungan seksual ) dengan niat dimulai terbitnya fajar sampai terbenanam
matahari. Kepribadian Shaim adalah kepribadian individu didapat setelah
melaksanakan puasa dengan penuh keimanan dan ketaqwaan, sehingga ia dapat
mengendalikan diri dengan baik. Pengertian ini didasarkan atas asumsi bahwa orang
yang mampu menahan diri dari sesuatu yang membatalkan puasa memiliki
kepribadian lebih kokoh, tahan uji, dan stabil ketimbang orang yang tidak
mengerjakannya, sebab ia mendapat kan hikmah dari perbuatannya.
2. Kerangka Dasar Kepribadian Shaim.
Manusia memiliki potensi yang saling berlawanan dan tarik manarik, yaitu
potensi baik dengan daya qalbu dan potensi buruk dengan daya nafsu. Agar daya nafsu
tidak berkembang maka diperlukan pertahanannya. Salah satunya pertahanan yang
baik adalah dengan puasa. Dengan menahan lapar, minum dan menghindar seksual di
waktu siang, dari individu mengalami perubahan. Persoalannya apakah perubahan itu
menuju perilaku yang positif ataukah mengarahkan kepada perilaku yang negatrif?
Sepintas puasa itu mengarah pada perilaku negatif, seperti malas bekerja,
berkurangnya gairah dan daya produksi serta cenderung menuju pada pola, hidup
kemunduran(regression).
3. Dimensi-dimensi Kepribadian Shaim
Ada banyak pendapat mengenai dimensi-dimensi puasa, namun dalam hal ini
penulis membaginya dalam dua kategori. Pertama, puasa fisik, yaitu menahan
lapar,haus dan berhubungan seks. Kedua, puasa psikis, yaitu menahan hawa nafsu dari
segala perbuatan maksiat, seperti menahan marah (Ghadhap), sombong, takabur.
4. Pola dan bentuk-bentuk Kepribadian Shaim
Indikator kepribadian shaim adalah sebagai berikut :
a. Puasa sebagai pembentukan kepribadian yang sabar, tabah, tahan uji dan
mengendalikan diri yang baik dalam mengarungi kehidupan,terutama sabar dalam
menjalankan perintah Tuhan.
b. Puasa dapat mendapatkan menyebabkan karakter ‘ayd (orang yang kembali ke
fitrah asal) dan fa’iz (orang yang beruntung).
c. Puasa sebagai pembentukan kepribadian yang sehat, baik jasmani maupun rohani.
Secara rohani puasa memiliki empat aspek kesehatan :
d. Pola Simptomatis ; pola yang berkaitan dengan gejala (simptom) dan keluhan
(Complians), gangguan atau penyakit nafsaniyah, seperti berpuasa untuk
mengendalikan nafsu birahi yang berkelebihan: menghindari penyakit hati
(amradha, alqulub,) seperti menceritakan keburukan oranglain.
Menurut Al-Ghazali terdapat 5 macam fungsi puasa yaitu :
1. Mata senantiasa menunduk dan menahan daeri pandangan yang dicela dan
dibenci.
2. Lisan senantiasa terhindar dari pembicaraan yang sia-sia, dusta, menceritakan
keburukan oranglain, menggunjing, kejoi, perkataan kasar, pertengkaran dan
perdebatan.
3. Telinga senantiasa terhindar dari suara-suara yang dibenci.
4. Anggota tubuh yang lain, seperti tangan dan kaki terhindar dari aktivitas yang
buruk dan perut dari maknanah yang syubhatatau haram.
a. Pola penyesuaian diri : kemampuan individu untuk meyesuaikan diri secara
aktif terhadap lingkungan sosialnya, seperti memberi makanan dan minuman
pada oranglain ketika berbuka atau sahur: sholat terawih secara
berjamaah:semaraknya aktivitas sosial seperti zakat.
b. Pola pengembangan diri : pola yang berkaitan dengan kualitas khas insani
(human Qualities) seperti kreatifitas, produktifitas, kecerdasan, tanggungjwab
dan sebagainya.
Puasa juga dapat meningkatkan kecerdasan, baik kecerdasan intelektual (IQ)
puasa dapat merangsang syaraf-syaraf kecerdasan untuk berfikir aktif dinamis
dan konstruktif , kecerdasan emosional (EQ) puasa dapat mendorong individu
untuk mengenali emosi dan aktivitas-aktivitasnya dan mngelola dan
mngekspresikan jenis-jenis emosi secara benar., Kecerdasan Moral (MQ)
puasa memotivasi individu untuk membina hubungan moralitas dengan
orannglain sperti sufel, elegan, ramah, bekerjasama, tolong menolong,
inklusif. maupun kecerdasan Spiritual (SQ) puasa untuk mendorong individu
lebih dekat pada Tuhannya. Untuk menjalankan kewajiban dan menjauhkan
larangannya..
c. Pola spiritual atau religius: kemampuan individu untuk melaksanakan ajaran
agama secara benar dan baik dengan landasan keimanan dan ketakwaan.
J. Kepribadian Muzakki
1. Pengertian kepribadian Muzakki
Muzakki adalah orang yang telah membayar zakat. Zakat secara etimologi berarti
berkembang (al-namw) dan bertambah (al-ziyadah), baik secara kualitas (keberkahan)
maupun kuantitas. Orang yang membayar zakat hartanya cenderung bertambah bukan
semakin mengurang. Menurut istilah, zakat adalah mengeluarkan sebagian hartanya
kepada orang yang berhak menerimanya ketika telah mencapai batasnya (Nishab).
Kepribadian muzakki adalah kepribadian individu yang didapat setelah membayar zakat
dengan penuh keikhlasan, sehingga ia mendapatkan hikmah dari apa yang ia lakukan.
2. Kerangka dasar kepribadian muzakki
Salah satu fitrah hidup manusia adalah berkelompok. Ia tidak dapat hidup tanpa
berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain. Dalam kelompok itu tentu terdapat
yang lemah dan yang kuat, ada yang miskin dan ada yang kaya, ada yang sakit dan
seterusnya. Sekalipun status atau strata sosialnya berbeda, masing-masing individu pada
prinsipnya saling membutuhkan. Zakat selain untuk pembersihan harta (QS.Al-
Taubah:103) juga sebagai media interaksi antara kaum yang kuat dengan yang lemah
yang nantinya akan berimplikasi pada kehidupan yang seimbang merata dan sejahtera
dalam hidup bermasyarakat.
3. Pola dan bentuk-bentuk kepribadian muzakki
a. Kepribadian yang suci dan menjadi anmuzakki pada citra awalnya (fitrah) yang tanpa
dosa.
b. Kepribadian yang seimbang, dimana individu menyelaraskan aktivitas yang berdimensi
vertical dan horizontal
c. Kepribadian yang penuh empati terhadap penderitaan pribadi lain, sehingga
mengakibatkan kepekaan social (social sensitivity).
d. Kepribadian yang selamat dari petaka dan fitnah, sebab zakat, infaq dan sedekah dapat
menolak balak.
e. Kepribadian yang kretaif dan produktif untuk memperoleh harta benda yang halal dan
mendistribusikannya dengan cara yang halal pula.
K. Kepribadian Haji
1. Pengertian kepribadian haji
Haji adalah orang telah melaksanakan haji. Haji secara etimologi berarti
menyengaja (al-qashd) pada sesuatu yang diagungkan. Orang yang melaksanakan haji
berarti hatinya selalu menuju pada zat yang Maha Tinggi. Menurut istilah haji adalah
menyengaja pergi ke Baitullah (Ka’bah) untuk melaksanakan syarat (islam, baligh,
berakal, merdeka dan mampu), rukun (niat ihram dari miqad, wuquf di Arafah, Tawaf
Ifadha, Sa’i, cukur dan tertib) dan wajibnya (Ihram di miqad, menginap di Muzdalifah,
menginap di Mina, melontar jumrah, dan tawaf wada’) pada bulan yang ditentukan
(Syawal, Dzulqaidah, Dzul al-Hijjah).
2. Kerangka dasar kepribadian haji
Haji merupakan wisata spiritual yang menuju taman rohani bagi individu yang
merindukan akan kehadiran sang Maha Kekasih, yakni Allah SWT. Dalam perjalanan
haji, individu diundang oleh sang Maha Kasih untuk menikmati perjamuan spiritual
seperti berdekat-dekatan, mencurahkan isi hati dan bencengkrama. Segala fasilitas
rohaniah disediakan, agar tidak ada jarak antara yang merindukan dan yang dirindukan.
Begitu sang kekasih mengundangnya, dengan tanpa mempertimbangkan aspek-aspek
material, sang kekasihpun langsung mengucapkan “labbaykaAllahummalabbayk” (aku
penuhi panggilan-Mu ya Allah). Nilai dan hikmah haji sangat tergantung pada
kesanggupan bagi orang yang melaksanakannya, mulai dari pembayaran ongkos naik haji
yang halal, melaksanakan rukun islam yang lain seperti shalat, zakat dan puasa; persiapan
mental yang utuh dan tangguh sampai pada penyerahan nyawa.
3. Pola dan bentuk-bentuk kepribadian haji
Bentuk-bentuk kepribadian haji dari pola umum diantaranya adalah :
a. Kepribadian tawhidi, yaitu kepribadian yang utuh dalam memenuhi panggilan Allah
swt, yang diwujudkan dalam bacaan talbiyah dan menyengaja menuju ke Ka’bah.
b. Kepribadian mujahid, yaitu orang-orang yang berjihad dengan cara berperang dan
bekorban secara sungguh-sungguh demi mendapatkan ridha Allah SWT.
c. Kepribadian yang suci dan fitri, karena dalam ibadah tersebut menghapus nuktah
(titik hitam) dalam jiwanya.
d. Kepribadian yang sukses karena telah melewati rintangan, tantangan dan resiko yang
berat dalam mensyiarkan agama Allah.
Bentuk-bentuk kepribadian haji dari pola khusus, yang bersumber dari rukun wajib dan
Sunnah diantaranya:
Tempat yang dimaksud selain tempat-tempat yang ditentukan dalam haji, juga tempat-
tempat lain yang bersejarah seperti :
a. Masjid Nabawi, masjid ini menjadi sentral aktivitas Nabi Muhammad SAW
b. Gunung Jabal Nurdan Gua Hira, yaitu gua yang mana Nabi SAW pertama kali
menerima wahyu QS. Al-alaq 1-5
c. Gunung Tsurya itu tempat nabi Muhammad SAW berlindung bersama Abu Bakar
ketika mau hijrah ke Madina dari kejaran kafir Quraisy.
d. Gunung Rahmah, di Arafah terlihat bukit yang diatasnya terdapat tugu
e. Masjid Jin, dimana jin berbiat mengakui kerasulan Muhammad, sehingga turunlah
Al-Jin.
f. Makam rasul, letaknya disebelah sudut Timur masjid Nabawi.
g. Rawdah (taman rumah) yang letaknya diantara rumah nabi (sekarang makam) dan
mimbar
h. Makam Baqi’ tempat pemakaman orang Madinah, terletak disebelah timur masjid
Nabawi.
i. Masjid Quba, yaitu masjid yang pertama kali didirikan olehNabi Muhammad SAW.
j. Gunung Uhud, bukit terbesar di Madinah yang terletak 5 KM dari pusat kota
k. Masjid Qiblatain, disebut juga masjid Bani Salamah
L. Kepribadian Muhsin
1. Pengertian Kepribadian Muhsin
Muhsin berarti orang yang berbuat ihsan. Kata “ihsan” berasal dari kata “
Hasuna” yang berarti baik atau bagus. Seluruh perilaku yang mendatangkan manfaat dan
menghindarkan kemudharatan merupakan perilaku yang ihsan. Namun, karena ukuran
ihsan bagi manusia sangat relatif dan temporal, maka kriteria ihsan yang sesungguhnya
berasal dari Allah SWT. Karena itu, hadis Nabi SAW. Menyebutkan bahwa ihsan
bermuara pada peribadatan dan muwajahah, dimana ketika sang hamba mengabdikan
diri pada-Nya, seakan-akan bertatap muka dan hidup bersama (ma’iyah) dengan-Nya,
sehigga seluruh perilakunya menjadi baik dan bagus. Sang budak tidak akan berbuat
buruk dihadapan majikannya, apalagi sang hamba dihadapan Tuhannya. Dengan
demikian, yang dimaksud dengan kepribadian muhsin adalah kepribadian dapat
memperbaiki dan mempercantik individu, bik berhubungan dengan diri sendiri,
sesamanya, alam semesta dan kepada Tuhan yang diniatkan hanya untuk mencari ridha-
Nya.
Di dalam Al-quran ditemukan beberapa pengertian dan indikator ihsan, tetapi
yang dimaksudkan ihsan di sini adalah seluruh perilaku baik, selain masalah keimanan
dan keislaman, yang dilakukan dalam rangka mencari ridha Allah SWT. Ihsan ini terkait
dengan perilaku bathin yang dapat menghiasi diri manusia untuk menyempurnakan
keimanan dan peribadatannya.
2. Pola Pembentukan Kepribadian Muhsin
Kepribadian muhsin dapat dibentuk dengan dua pola :
a. Pola umum, Yaitu segala perilaku baik, yang dapat mempercantik diri manusia
yang objeknya tidak terbatas pada subyek tertentu. Pola umum ini antara perilaku
syukur, sabar, tawakal, pemaaf, iffah dan sebagainya. Perilaku syukur misalnya,
dapat ditunjukkan kepada Tuhan dengan memuji karunia-Nya dengan ucapan al-
hamdu li Allah dan mempergunakan karunia itu sebagaimana yang diperintahkan-
Nya.
b. Pola khusus, Yaitu segala perilaku baik, yang dapat mempercantik diri manusia
yang objeknya ditunjukkan pada subjek tertentu. Misalnya, perilaku baik khusus
kepada Allah Swt; perilaku hormat anak kepada kedua orangtua; perilaku sayang
orang tua kepada yang lebih muda; perilaku taat istri kepada suami dan sebaliknya
; perilaku santun guru pada muridnya ; perilaku baik majikan kepada pembantu ;
berbuat baik kepada tetangga ; berbuat baik kepada sesama manusia, sesama
agama, sesama hamba Allah (flora dan fauna), dan seterusnya.
Dalam pencapaian kepribadian muhsin ini, terdapat 3 (tiga) pola yang dapat diterapkan,
yaitu:
1. Pola hierarki, Yang mana masing-masing karakter memiliki tata urut dan tahapan.
Artinya, masing-masing karakter memiliki tangga yang harus dilalui dari tahap
pertama menuju tahap berikutnya.
2. Pola proporsional, Yang mana individu dapat memiliki bagian-bagian dari
kepribadian muhsin menurut keadaan yang dialami, tidak menuntut adanya tata
urut. Bagi individu yang memiliki sifat-sifat agresif dan pemarah maka sabar
merupakan karakter yang harus ditanamkan pada diri.
3. Pola Eklektis, Yaitu menggunakan semua bentuk-bentuk kepribadian muhsin
secara campuran dan simultan, sebab masing-masing bentuk kepribadian muhsin
merupakan satu kesatuan yang utuh.
4. Bentuk Bentuk Kepribadian Muhsin
Bentuk-bentuk kepribadian muhsin banyak sekali, dalam pemabahasan ini hanya
diambil 20 macam, yang telah mewakili bentuk-bentuk kepribadian muhsin secara
keseluruhan.
a. Karakter Ta’ib (Yang Bertaubat)Karakter Ta’ib yaitu karakter yang menyesal (al-
nadm) karena melakukan dosa, melepaskan (al-iqla’) seluruh perilaku yang
mengandung dosa seketika itu juga dan bertekad bulat (al-‘azam) untuk tidak
mengulangi lagi perbuatan dosanya itu, baik dosa kepada Allah maupun dosa-dosa
sosial. Beberapa karakter ta’ib yaitu sebagai berikut :
1) Secara kognitif, ia membaca istighfar seperti astagfirullah (aku mohon
ampunan kepada Allah)
2) Secara afektif, ia menyesal dan senantiasa menghapus dosa atau kesalahan
masa lalu agar tidak diulangi kembali
3) Secara Pssikomotorik, ia takut kepada Allah dengan jalan menjalankan
perintah dan menjauhi larangan-Nya.
b. Karakter zahid (yang Zuhud)
Karakter zahid yaitu karakter yang berpaling, menganggap hina dan kecil, serta
tidak merasa butuh pada sesuatu yang bersifat material. Seseorang dianggap meiliki
karakter zahid apabila memiliki karakter sebagai berikut.
1) Meninggalkan perbuatan yang tidak bermanfaat bagi kehidupan akhirat (Ibn
Taimiyah)
2) Meredam berangan-anagn (‘amal) yang panjang (Ahmad ibn Hambal dan
Sufyan al-Tsauri)
3) Tidak merasa gembira dengan kehadiran dunia, serta tdak merasa menyesal
apabila kehilangannya (al-junaid)
4) Adanya kelapangan jika terlepas dari jeratan kepemilikan dunia
danmenghindari dunia tanpa terpaksa (Ibn Khafifi)
5) Kalbu berupaya keluar dari belenggu materi untuk menuju pada akhirat
6) Tidak sekedar meninggalkan dunia, melainkan tidak merasa memiliki sesuatu
dan tidak merasa dimiliki sesuatu, sehingga hidupnya merdeka dan bebas
tanpa diikat oleh kehidupan material
7) Berderma dengan yang ada (Yahya ibn Mu’adz)
c. Karakter Wari’ (yang wara’)
Karekter wari’ yaitu karakter yang menjaga diri dari perbuatan yang tidak patut
(ghayr ma’ruf), yang dapat menurunkan derajat dan kewibawaan diri seseorang.
Kriteria wara’ diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Membersihkan kalbu dari segala kotoran dan najis maupun psikis
2) Meninggalkan perbuatan yang sia-sia dan tidak ada gunanya
3) Menjauhkan kalbu dari segala perbuatan yang masih diragukan.
d. Karakter Kha’if (yang khawf)
Karakter kha’if yaitu karakter yang takut akan kebencian, kemurkaan dan siksa
Allah Swt., akibat melanggar larangan-larangan-Nya. Atau, takut akan kebesaran-
Nya (QS Nuh [71] : 13). Takut disini memiliki konotasi positif, yang
mengarahkan individu untuk hidup hati-hati, prihatin dan waspada pada
keburukan yang akan dilakukan.Karakter kha’if mengarahkan pada individu
untuk selalu instropeksi terhadap perilaku yang diperbuat, apakah perilakunya
telah menyenangkan atau memuaskan Tuhannya.
e. Karakter raji’ (yang raja’)
Karakter raji’ yaitu karakter yang berharap terhadap sesuatu kebaikan kepada
Allah Swt. Dengan disertai usaha yang sungguh-sungguh dan tawakal. Menurut
Ibn Qayyim, karakter raji’ memiliki 3 (tiga) tingkatan yaitu sebagai berikut
1) Harapan yang mendorong seseorang untuk berusaha dengan sungguh-sungguh.
Sehingga melahirkan pengabdian, kenikmatan bathin dan meninggalkan
larangannya
2) Harapan orang-orang yang mengadakan latihan (riayadhah) , agar ia dapat
membersihkan hasrat buruknya dan terhindar dari kemudaratan masa depan
3) Harapan kalbu seseorang untuk bertemu kepada Tuhan-nya dan kehidupannya
dimotivasi oleh kerinduan kepada-Nya.