Anda di halaman 1dari 43

A.

Kepribadian Rabbani
1. Pengertian Kepribadian Rabbani
Istilah Rabbani berasal dari kata rabb yang dalam Bahasa Indonesia berarti
“Tuhan”, yaitu Tuhan yang memiliki, memperbaiki, mengatur, menambah, menunaikan,
menumbuhkan, mengembangkan, memelihara, dan mematangkan sikap mental.
Kepribadian Rabbani atau kepribadian ilahi adalah kepribadian individu yang didapat
setelah mentransformasikan asma’ dan sifat-sifat Tuhan ke dalam dirinya untuk
kemudian diinternalisasikan dalam kehidupan nyata. Atau dalam Bahasa sederhana,
kepibadian Rabbani adalah kepribadian individu yang mencerminkan sifat-sifat
ketuhanan (rabbaniyah).
2. Kerangka Dasar Kepribadian Rabbani
Struktur kepribadian manusia tidak hanya tersusun dari unsur-unsur jasmani,
tetapi juga unsur-unsur rohani. Roh yang berada di dalam diri manusia diciptakan dan
diberikan secara langsung oleh Allah swt., tanpa melalui proses graduasi seperti jasad.
Menurut sabda Nabi SAW., roh itu diberikan pada jasad manusia setelah jasad
mengalami kesempurnaan, yakni ketika empat bulan dalam kandungan.
Roh yang berada di dalam diri manusia merupakan ciptaan Allah swt., yang
memiliki Sunnah (hukum) rohaniah. Sunnah rohaniah merupakan Sunnah yang
dikehendaki oleh-Nya, sehingga aktualisasi Sunnah rohaniah itu menjadikan citra
manusia seperti citra-Nya. Citra inilah yang menunjukkan kepribadian Rabbani, satu
kepribadian yang seiring dengan ‘kepribadian-Nya’.
3. Pola Kepribadian Rabbani
Terdapat dua pola untuk menuju pada kepribadian rabbani. Pertama, pola yang
merujuk pada asma’ (nama-nama) atau sifat-sifat-Nya. Kedua, pola yang merujuk pada
implikasi psikologis setelah seseorang beriman kepada Allah Swt. Pola pertama, yang
mengacu pada al-asma al-husna, lebih mudah dikembangkan dari pada pola kedua. Selain
menjadi fitrah manusia, bagian-bagian dari al-asma’ al-husna telah tersistematisasi dan
dijabarkan penjelasannya secara panjang lebar dalam beberapa literatur. Sementara pola
kedua perlu pengkajian dan penelitian terlebih dahulu terhadap ayat Al-Qur’an maupun
hadis, untuk kemudian hasilnya dipergunakan mengkonstrukkepribadian Rabbani.
4. Dimensi-dimensi Kepribadian Rabbani
Dimensi-dimensi kepribadian rabbani, dengan menggunakan pola asma al-husna,
sebagaimana yang dinyatakan oleh Laleh Bakhtiar memiliki tiga bagian, yaitu teotika,
psikoetika dan sosioetika. Teotika, disebut juga kepribadian berketahuan (al-
syakhshiyyah al-ilahiyyah), adalah bagian kepribadian rabbani yang mendorong individu
untuk berketuhanan secara baik dan benar. Psikoetika, disebut juga kepribadian
berkemanusiaan, adalah bagian kepribadian rabbani yang mendorong individu untuk
pembentukan diri yang berkepribadian baik. Kategori psikoetika, masih menurut Laleh
Bakhtiar, memuat tiga bagian, yaitu:
a. Terapi kepribadian dalam menarik kenikmatan sehingga meraih keseimbangan.
b. Terapi kepribadian dalam menghindari bahaya sehingga meraih keberanian
c. Terapi kepribadian kognitif untuk meraih kearifan.
5. Pemusatan Jiwa Dengan Keadilan
Sosietika, disebut juga kepribadian bersosial (al-syakhshiyah al-ijtimâiyyah),
adalah bagian dari kepribadian rabbani yang mendorong individu untuk hidup
berkepribadian sosial secara baik. Sebagai makhluk sosial, ia hidup bukan hanya untuk
kepentingan pribadi, melainkan untuk ramah bagi sesamanya. Kategori sosioetika, masih
menurut Laleh Bakhtiar, memuat sepuluh bagian, yaitu:
a. Kebangkitan sosial dengan mengosongkan hati dari segala sesuatu kecuali hasrat
mendekatkan diri kepada Allah.
b. Memasuki proses kreatif
c. Mengajak ke arah positif dan mencoba mencegah perkembangan yang negative
d. Membina kepantasan kepribadian seorang monoteis yang berbudaya religius,
e. Menggunakan kekuatan spiritual untuk menolong sesama,
f. Pengemban amanat Allah, al-Wakîl, al-Qawî, al-Matîn, al-Walî, al-Hamîd, al-Muhshî,
al-Mubdi', dan al-Mu'id.
g. Menyempurnakan persepsi naluriah melalui pembinaan kepribadian mulia,
h. Menyempurnakan motivasi naluriah melalui tindakan mulia,
i. Menuju pengabdian dengan mengabdikan diri kepada ciptaan Allah,
j. Mengabdi sebagai penunjuk atau guru bagi sesama.
Dengan meminjam tipologi kebudayaan Eduard Spranger, al-asma', al-husna juga dapat
diklasifikasikan menjadi enam tipe, meskipun klasifikasi ini tidak terlalu konstan, yaitu:

a. Tipe Teoritikus (pemikir),


b. Tipe Ekonom (pekerja
c. Tipe Estetis (seniman),
d. Tipe bersosial (pekerja sosial),
e. Tipe Agamawan (pemuja),
f. Tipe politikus atau negarawan (penguasa)
6. Bentuk-bentuk Kepribadian Rabbani
Seluruh karakter, sifat dan tipologi manusia dapat dilihat di dalam satuan-satuan
al-asma' aI-husna. Dengan merujuk pada bilangan asmaul husna, maka tipe manusia
seharusnya dibedakan menjadi 99 tipe. Tak satu pun tipe manusia keluar dari satuan-
satuannya, sebab jika tidak terkover di dalamnya berarti penciptaan manusia tidak
beraturan atau terencana, dan hal itu menyalahi sunnah Allah. Sunnah Allah senantiasa
tetap dan konsisten menurut kadar, ukuran, dan aturan yang telah ditetapkan sebelumnya
temasuk masalah tipologisasi manusia berdasarkan al-asma' al-husna.
7. Cara Transinternalisasi Kepribadian Rabbani
Oleh karena al-asma’ al-husna merupakan bagian dari fitrah manusia, maka upaya
mentransinternalisasikan dalam kehidupan sehari-sehari tidak terlalu sulit. Upaya yang
harus dilakkukan adalah:
a. Menjaga dan memelihara potensi fitriah al-asma’ al-husna pada dirinya
b. Berzikir dengan al-asma’ al-husna, baik dengan ucapan lisan maupun dengan
mengingat dalam hati, sebab hal itu akan mengingatkan manusia pada potensi
fitrahnya
c. Berdoa (memohon) dengan al-asma’ al-husna, karena hal itu meningkatkan auto-
sugesti untuk berkepribadian baik
8. Teknik Atau Upaya Pembentukan Kepribadian Mukmin Pada Remaja
Upaya yang dapat dilakukan untuk membentuk kepribadian mukmin pada remaja di
antaranya:
a. Membentuk kepribadian Rabbani pada diri remaja, yaitu: Meneladani Akhlak sang
khaliq berupa Asmaul Husna, mengajarkan kepada remaja untuk meneladani sifat-sifat
Allah untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
b. Membentuk kepribadian Malaki pada diri remaja, yaitu: Menjelaskan sifat-sifat
malaikat dan hikmah beriman kepada malaikat. Serta mencontoh sifat-sifat yang
dimiliki malaikat.
c. Membentuk kepribadian Qurani pada diri remaja, yaitu: Memastikan remaja bisa
membaca Al-Qur’an dan mengajarkan remaja yang belum terlalu lancar membaca Al-
Qur’an, menerangkan kepada remaja Al-Qur’an adalah pedoman hidup dan petunjuk
bagi umat manusia agar remaja senantiasa menggunakan akal pikirannya dalam
melakukan segala hal dan menghindari hal-hal yang merusak, menanamkan nilai-nilai
Al-qur’an pada diri remaja agar remaja bisa memiliki kepribadian yang baik dan
menjadi pribadi yang selamat dunia dan akhirat, dan menjadikan remaja generasi
Qurani yang mencintai Al-Qur’an. Remaja yang memiliki kepribadian Qurani
senantiasa melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an dan memahami makna yang terkandung
dalam Al-Qur’an. Serta senantiasa menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-
Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.
d. Membentuk kepribadian Rasuli pada diri remaja, yaitu: Menanamkan sifat-sifat yang
dimiliki rasul pada diri remaja, agar remaja memiliki kepribadian yang baik dan
mencerminkan sifat-sifat yang dimiliki rasul, menanamkan sifat-sifat terpuji agar
remaja menjadi pribadi yang baik dan bisa menjadi contoh yang baik untuk yang
lainnya, menanamkan Akidah yang kuat pada diri remaja. Tujuan utama menanamkan
Akidah pada diri remaja agar bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah
serta untuk menghindari pengaruh-pengaruh yang buruk dalam kehidupan,
mengajarkan Akhlakul karimah. Akhlakul karimah sangat perlu untuk diajarkan
kepada remaja, Akhlak tercipta dari kebiasaan-kebiasan yang sering dilakukan.
e. Membentuk kepribadian Yawm Akhiri pada diri remaja, yaitu: Menerangkan kepada
remaja bahwa kehidupan dunia hanya sementara akan ada kehidupan yang kekal yaitu
akhirat, Menerangkan kepada remaja bahwa kehidupan yang sebenarnya adalah
diakhirat kelak, yaitu tempat dimana kita mempertanggung jawabkan semua perbuatan
yang pernah kita lakukan, Menjelaskan kepada remaja untuk berhati-hati dalam segala
perbuatan. menjelaskan kepada siswa hendaklah memperbanyak melaksanakan ibadah
dan amal saleh karena semua perbuatan yang dilakukan akan mendapat pertanggung
jawabannya diakhirat kelak, dan Menanamkan kepada remaja perilaku selalu berusaha
menjadi lebih baik.
f. Membentuk kepribadian Taqdiri pada diri remaja, yaitu: Menjelaskan kepada remaja
kita hidup dimuka bumi ini sudah ditetapkan Allah dengan ketetapan dan takdirnya
masing-masing. Sebagai hamba Allah kita hendaknya patuh terhadap takdir Allah
tersebut, dan Menjelaskan dan memberi contoh ketetapan Allah kepada remaja,
misalnya remaja diharuskan memiliki jiwa yang optimis dan diharapkan remaja dapat
menerapkannya dalam lingkungan seharai-hari.
g. Membentuk kepribadian Syahadatain pada diri remaja, yaitu: Menanamkan karakter
Syahadatain pada diri remaja. Menjadikan remaja memiliki karakter yang bertauhid
yang mengakui akan ke-Esaan Allah dan meyakini nabi Muhammad adalah Rasul
yang terakhir, dan Menjelaskan kepada remaja hanya Allah yang patut disembah dan
dipatuhi, Allah merupakan zat segala-galanya, tempat meminta dan memohon
pertolongan. Hendaklah kita melaksanakan semua perintahnya dan menjauhi semua
larangannya.
h. Membentuk kepribadian Mushalli pada diri remaja, yaitu: Mengajarkan kepada remaja
cara berkomunikasi dengan Allah melalui takbir dalam sholat, melaksanakan sholat
dengan baik agar komunikasi yang dilakukan manusia dengan Allah melalui sholat
dapat terlaksana dengan baik, Menjelaskan tata cara sholat kepada remaja agar remaja
dapat memahami apa saja yang menjadi rukun, sunnah, yang membatalkan sholat serta
dapat melaksanakan sholat dengan baik, dan Menyarankan kepada remaja untuk
melaksanakan sholat karena dengan sholat jiwa menjadi tentram dan damai serta kita
bisa lebih dekat dengan Allah, serta sholat merupakan kewajiban yang tidak dapat
dibatalkan oleh kepentingan sesaat.
i. Membentuk kepribadian Sha’im pada diri remaja, yaitu: Mengajarkan kepada remaja
untuk melaksanakan puasa, bahwa dengan melaksanakan puasa kita bisa merasakan
penderitaan orang lain dan kita juga bisa merasakan kebaikan-kebaikan yang kita
peroleh selama melaksanakan puasa, dan Mengajarkan kepada remaja selama
melaksanakan puasa hendaklah melakukan perbuatan yang baik agar puasa yang
dilakukan mendapat keberkahan dari Allah.
j. Membentuk kepribadian Muzakki pada diri remaja, yaitu dengan mengajarkan sikap
rela berkorban kepada remaja,bisa dimulai dari hal-hal kecil seperti bersedekah dan
menolong yang membutuhkan. Agar kita bisa membantu dan meringankan beban
orang-orang yang fakir.
k. Membentuk kepribadian Hajji pada diri remaja, yaitu: Mengajarkan kepada remaja tata
cara berhaji, agar remaja mengetahui tahapan- tahapan dalam pelaksanaan haji, hal ini
diharapkan juga untuk memotivasi remaja agar lebih giat lagi dalam melaksanakan
ibadah, dan Membentuk remaja yang memiliki kepribadian yang mengharamkan atau
menahan diri terhadap perilaku yang dilarang, membentuk remaja yang memiliki
kepribadian yang selalu bekerja keras, kepribadian yang selalu melakukan hal-hal
yang baik, kepribadian yang mandiri dan kepribadian yang pemaaf.

B. Kepribadian Malaki
1. Pengertian Kepribadian Malaki
Istilah malaki berasal dari akar kata malaka yang berarti memiliki, mempunyai
atau menguasai. Istilah malaki kemudian dinisbatkan dengan salah satu makhluk Allah
yang disebut dengan malaikat (bentuk jama’ dari malak). Kepribadian malaki adalah
kepribadian individu yang mencerminkan sifat-sifat kemalaikatan (malakiyyah). Pada
definisi di atas mengandung tiga unsur utama, yaitu transformasi sifat-sifat mulia
malaikat; ke dalam diri individu yang berusaha berkepribadian malaki; untuk kemudian
menginternalisasikannya dalam kehidupan nyata.
2. Kerangka Dasar Kepribadian Malaki
Sebagaimana dalam QS Al-A’raf ayat 16, Al-Hijr ayat 39-40 dan Shad ayat 82-83
bahwa iblis selalu menghalangi manusia untuk menempuh jalan yang lurus, menyesatkan
semuanya, dan membisikkan buruk (was-was) ke jalan maksiat. Namun di pihak lain,
Allah SWT juga menciptakan malaikat untuk menjaga manusia. Apabila keberadaan
malaikat menjaga dan memelihara manusia maka ia memiliki beberapa sifat yang patut
dicontoh dan diteladani, sebab dengan menteladaninya maka manusia akan terhindar dari
tipu daya syetan dan membentuk apa yang disebut dengan kepribadian malaki.
3. Pola Dan Bentuk-Bentuk Kepribadian Malaki
Terdapat dua pola untuk menuju kepribadian malaki: Pertama, pola yang merujuk
pada tugas-tugas malaikat khusus. Kedua, pola yang merujuk pada sifat-sifat dan
kegiatan-kegiatan (wadha’if) malaikat.
Berdasarkan pola pertama, bentuk-bentuk kepribadian malaki adalah:
a. Kepribadian Jibrili
b. Kepribadian Mika’ili
c. Kepribadian Israfili
d. Kepribadian Izraili
e. Kepribadian Raqibi
f. Kepribadian Atidii
g. Kepribadian Munkari
h. Kepribadian Nakiri
i. Kepribadian Maliki
Berdasarkan pola kedua, maka bentuk-bentuk kepribadian malaki adalah:

a. Menjaga diri dan tidak melupakan pada tugas-tugasnya.


b. Membawa berita gembira sambil mengucapkan salam dan menghindarkan ketakutan
bagi yang lain.
c. Takut terhadap murka atau siksa Allah SWT, sehingga perbuatannya hanya
memenuhi perintah-Nya dan tidak bermaksiat.
d. Selalu bersujud (tunduk) kepada Allah SWT serta tidak menyombongkan diri.
e. Menjaga kemuliaan diri dan berbakti.
f. Patut menjadi utusan, duta dan delegasi untuk mengurus segala keperluan yang lain
dengan modal sayap (jangkauan dan wawasan) dua, tiga atau empat (yang luas).
g. Mampu membentuk barisan (kesatuan dan persatuan) yang rapi, lurus dan kokoh
sehingga tidak ada musuh yang mampu menerobosnya.
h. Senantiasa bertasbih (mensucikan) Allah SWT dan memohonkan ampun orang-orang
yang baik.
i. Mendoakan rezekinya bertambah bagi orang-orang yang senantiasa infaq dan
rezekinya mengurang bagi yang pelit.
j. Mencatat dan meninventarisir data dengan baik.
k. Membantu orang-orang mukmin yang berperang melawan orang-orang kafir,
l. Menegakkan keadilan.

C. Kepribadian Qur’ani
1. Pengertian kepribadian qur’ani
Istilah qur’ani memiliki akar yang sama dengan qarinah (indikator, bukti,
petunjuk), qarana (menggabungkan), qur’u (menghimpun), dan qur’a (membaca)
yang secara bahasa berarti mengumpulkan (jam’u) dan menghimpun (dhamm). Istilah
qur’ani kemudian dinisbatkan dengan salah satu kitab Allah Swt., yaitu kitab Allah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Waw. Melalui Malaikat Jibril yang
terkumpul dalam satu mushhaf diawali dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri surat An-
Nas yang membacanya termasuk ibadah dan memiliki makna tantangan bagi mereka
yang mengingkarinya.
Kepribadian qur’ani adalah kepribadian individu yang didapat setelah
mentransformasikan isi kandungan Al-Qur’an ke dalam dirinya untuk kemudian
diinternalisasikan dalam kehidupan nyata. Atau dalam bahasa yang sederhana,
kepribadian qur’ani adalah kepribadian individu yang yang mencerminkan nilai-nilai
Al-Qur’an (qur;aniyyah). Pada definisi diatas mengandung tiga unsur utama, yaitu
transformasi nilai-nilai Al-Qur’an; ke dalam diri individu yang berusaha
berkepribadian qur’ani; untuk kemudian menginternalisasikannya dalam kehidupan
nyata.
2. Kerangka Dasar Kepribadian Qur’ani
Manusia diberi potensi nafsani oleh Allah Swt. Untuk mengetahui segala sesuatu,
agar dengan pengetahuannya ia dapat berbuat baik. Namun karena kemampuan akal
manusia terbatas, sehingga pengetahuan yang diperoleh oleh manusia yaitu: belum
menjangkau seluruh fenomena kehidupan; tidak akan mampu mengetahui yang gaib
atau masalah-masalah sam’iyyat, seperti fenomena yang terjadi pada hari kiamat;
kekuatan pikir manusia kadang-kadang dihalangi oleh hawa nafsu, sehingga ia tidak
mampu berpikir jernih; dan sebagai produk budaya, pengetahuan manusia mengalami
kondisi seperti itu, petunjuk (hidayah) dari Allah Swt. Sangat diperlukan, untuk
melengkapi bahkan menyempurnakan pengetahuan akliah manusia. Seluruh petunjuk-
Nya terhimpun dalam kitab suci Al-Qur’an, meskipun muatannya masih bersifat
global yang rinciannya diserahkan penuh pada ijtihat (kreativitas berpikir) manusia.
Dalam QS. Al-Baqarah ayat 30-39 disebutkan bahwa Nabi Adam As. sebagai
bapak manusia memiliki pengetahuan yang luar biasa, sehingga malaikat tunduk
padanya. Namun pengetahuan yang dimiliki tidak mampu menjamin keselaman
hidupnya, sehingga ia tergelincir. Hanya dengan petunjuk Allah SWT. Adam
kemudian dapat menemukan jati dirinya. Peristiwa itu menjadi pelajaran bagi anak
cucunya, bahwa keselamatan hidup tidak semata-mata bergantung pada kekuatan ilmu
pengetahuan, melainkan pada hidayah-Nya yang hal itu dapat dipelajari melalui kitab
suci. Meneladani dan mempraktikkan nilai-nilai Al-Qur’an melahirkan kepribadian
Qur’ani. Kepribadian Qur’ani tidak berarti menghindari atau melupakan kekuatan ilmu
pengetahuan, melainkan telah melampauinya.
Fungsi Al-Qur’an di antaranya adalah:
1) Menjadi petunjuk, penjelas dan pembeda yang haq dan bathil (QS:Al-Baqarah:
185, Al-Isra’: 41, Al-Naml: 92)
2) Memperingatkan manusia yang lupa (QS: Al-An’am: 19, Al-Syura: 7, Al-
Qamar: 17)
3) Satu bacaan yang patut didengar agar mendapatkan rahmat dari Allah (QS: Al-
A’raf: 204)
4) Mengajak manusia untuk berpikir (QS: Yusuf: 2, Al-Zukhruf: 3, Muhammad:
24)
5) Terapi yang penuh rahmat (QS: Al-Isra’: 82)
6) Menjadi petunjuk manusia agar berkepribadian shalih (QS: Al-Isra’: 9).
3. Pola dan Bentuk-Bentuk Kepribadian Qur’ani
Agak sulit menentukan pola dan bentuk-bentuk kepribadian qur’ani sebab ruang
lingkupnya terlalu luas, seluas tema-tema yang ada dalam Al-Qur’an atau seluas
dimensi-dimensi kehidupan manusia. Dalam QS: Al-An’am ayat 38 disebutkan: “Dan
tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan
kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpalakan
sesuatupun di dalam al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”. Hal
itu mengandung arti bahwa seluruh fenomena makhluk, biotik maupun abiotik, gaib
maupun syahadah, semuanya tercakup dalam Al-Qur’an. Namun pada intinya,
kepribadian qur’an adalah kepribadian yang melaksanakan sepenuh hati nilai-nilai Al-
Qur’an, baik pada dimensi:
a. I’tiqadiyyah, yang berkaitan dengan nilai-nilai keimanan, seperti percaya kepada
Allah, Malaikat, Rasul, Kitab, Hari Akhir dan Kaqdir, yang bertujuan untuk
menata kepercayaan individu.
b. Khuluqiyyah, yang berkaitan dengan nilai-nilai etika, yang bertujuan untuk
membersihkan diri dari perilaku rendah dan menghiasi diri dengan perilaku
terpuji.
c. Amaliyyah, yang berkaitan dengan nilai-nilai tinkah laku sehari-hari, baik yang
berhubungan dengan:
1) Ibadah, yang memuat hubungan antara manusia dengan Tuhannya, seperti
shalat, puasa, zakat, haji, dan nadzar, yang bertujuan untuk aktualisasi nilai-
nilai ubudiyah.
2) Mu’amalah, yang memuat hubungan antara antara manusia, baik secara
individual maupun institusional. Bagian ini terdiri atas ahwan syakhshiyah,
ahkam madaniyah, ahkam jana’iyah, ahkam murafa’at, ahkam dusturiyah,
ahkam duwaliyah dan ahkam iqtishadiyah.

Atau berdasarkan dimensi-dimensi kehidupan manusia, seperti dimensi kehidupan


primer (dharuriyyah), sekunder (hajiyyah), maupun pelengkap untuk mempercantik
diri (tahsiniyyah/takmiliyyah), sebab Al-Qur’an merupakan petunjuk, rahmat, terapi
dan mengandung kemaslahatan bagi yang mau melaksanakannya. Dimensi primer
merupakan dimensi esensial dalam kehidupan manusia yang apabila diabaikan maka
hilang eksistensi kemanusiaan. Dimensi ini meliputi:

1. Menjaga agama, satu kepribadian qur’ani yang mampu menjaga eksistensi


agamanya; memahami dan melaksanakan ajaran agama secara konsekuen dan
konsisten; mengembangkan, meramaikan, mendakwahkan dan mensyiarkan
agama. Perhatikan QS: Al-Muntahanah: 12, A-Furqan: 52.
2. Menjaga jiwa, satu kepribadian qur’ani yang memenuhi hak dan kelangsungan
hidup diri sendiri dan masing-masing anggota masyarakat, karenanya perlu
diterapkan hukum qishash (pidana Islam) bagi yang melanggarnya, seperti hukum
mati. Perhatikan QS: Al-Maidah:32, Al-Nisa’: 93.
3. Menjaga akal pikiran, satu kepribadian qur’an yang menggunakan akal pikirannya
untuk memahami tanda-tanda kebesaran Allah dan hukum-hukum-Nya;
menghindari perbuatan yang merusak akalnya dengan minum khamr atau zat
adiktif, yang karenanya diberlakukan had (sanksi), seperti cambuk. Perhatikan
QS: Al-Yusuf: 109, Yunus: 16.
4. Menjaga keturunan, satu kepribadian qur’ani yang mampu menjaga dan
melestarikan generasi Muslim yang tangguh dan berkualitas; menghindari
perilaku seks menyimpang, seperti free sex, kumpul kebo, homoseksual, lesbian,
sodomi, yang karenanya diundang-undangkan hukum rajam (lempar batu) atau
cambuk. Perhatikan QS Al-Nisa’: 3-4,9,25, Al-Nur: 2-9.
5. Menjaga kehormatan dan harta benda, satu kepribadian qur’ani yang mampu
mempertahankan hidup melalui pencarian rizqi, yang halal; menjaga kehormatan
diri dari pencurian, penipuan, perampokan, pencekalan, riba dan kezaliman.
Perhatikan QS: Ali Imran: 130, Al-Baqarah: 188,275-284.

Dimensi sekunder merupakan dimensi yang penting dalam kehidupan sekalipun


tidak seasasi dimensi primer. Tujuan dimensi ini adalah untuk menghilangkan
kesulitan dan menarik kemashlahatan dalam kehdupan manusia. Para dimensi ini,
manusia dituntut berkepribadian yang tangguh dalam menjalankan nilai-nilai qur’ani,
betapapun berat hambatan, rintangan dan ancamannya. Atas dasar itu, maka nilai Al-
Qur’an dan mempermudah cara-cara individu dalam beribadah, seperti adanya shalat
jama’ dan qashar bagi yang berpergian (QS Al-Nisa’: 101), tata cara shalat khawf
(takut) yang khusus sewaktu perang (QS Al-Nisa’: 102, Al-Baqarah: 239),
diperbolehkan transaksi pesanan (salam) meskipun barang dagangannya tidak
diketahui.

Dimensi pelengkap atau penyempurna merupakan dimensi kehidupan manusia


yang digunakan untuk mempercantik diri, sehingga perilaku keislamannya menjadi
lebih indah. Pada dimensi ini, manusia dituntut berkepribadian yang cantik dan indah,
baik perilaku luar maupun dalam, seperti dalam berpakaian, makan-minum, bergaul
dan sebaginya. Menutup aurat dalam berpakaian merupakan masalah primer, sedang
keserasian dan keindahan merupakan masalah pelengkap. Bukankah Allah itu al-jamil
(Zat yang Indah) yang senang pada keindahan (al-jamal). (HR Muslim, al-Turmidzi,
Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad dari ‘Abd Allah ibn Mas’ud). Dengan demikian,
bentuk-bentuk kepribadian qur’ani adalah seluruh tingkah laku individu, baik
berkaitan dengan kepercayaan, peribadatan dan mu’amalah, atau berkaitan dengan
kehidupan primer, sekunder maupun pelengkap, yang didarsarkan nilai-nilai
berdasarkan Al-Qur’an.

4. Cara Transinternalisasi Kepribadian Qur’ani


Terdapat lima cara transinternalisasi kepribadian qur’ani, yaitu:
a. Tahsin al-tilawah; memperbaiki bacaan sesuai kaidah ilmu Tajwid dan ilmu Qira’ah,
sebab bacaan Al-Qur’an yang tartil, dan indah yang disertai suara merdu dapat
menggetarkan syaraf dan menyentuh nurani individu yang paling dalam, sebagaimana
Umar ibn al-Khattab masuk Islam karena mendengarkan bacaan indah adiknya.
b. al-Tahfidh; menghafal seluruh atau sebagian ayat-ayat ayat-ayat atau surat-surat
dalam Al-Qur’an, terutama surat yang wajib dalam shalat, seperti surat Al-Fatihah.
Dengan menghafal surah Al-Fatihah, dan surah atau ayat lainnya, maka keutuhan
kepribadian qur’ani tetap terjaga dan kandungannya dapat diimplementasikan kemana
dan di mana saja ia berada.
c. al-Tafsir; menafsirkan dan menjelaskan isi kandungan Al-Qur’an yang dimulai
dengan pemahaman terjemah ayat. Upaya tafsir diperlukan untuk memperjelas dan
perluasan diri dalam melaksanakan kepribadian qur’ani.
d. al-Amal; mengaplikasikan nilai-nilai qur’ani dalam kehidupan sehari-hari, sebab
dengan cara ini kepribadian individu menjadi baik, selamat dan bahaga di dunia
maupun kahirat.
e. al-Da’wah; menyebarluaskan atau mendakwahkan ajaran-ajaran Al-Qur’an kepada
masyarakat luas, sehingga di sekitar kita tumbuh dan berkembang masyarakat
qur’ani. Seluruh sistem kehidupan berhaluan pada Al-Qur’an,baik dalam aspek
ideologi, ekonomi, politik, sosial, seni, budaya, dan sebagainya.
5. Kepribadian Manusia
Menurut Usman Najati (dalam Suparlan, 2011), pola kepribadian manusia
berdasarkan al-Qur'an, dikelornpokkan sebagai berikut :
a. Kepribadian Orang Beriman (Mu'minun)
Kepribadian orang beriman akan dapat tercapai bila diawali dengan
percaya pada rukun iman yang terdiri atas iman kepada Allah swt., iman kepada
para malaikat-Nya, iman kepada Kitab-kitab Nya, iman kepada para rasul-Nya,
percaya pada Hari Akhir, dan percayapadaketentuan Allah (qadlalqadar).
Keimanan yang kuat terhadap rukun iman tersebut akan membentuk nilai-nilai
yang melandasi seluruh aktivitasnya. Dengan nilai-nilai itu, setiap individu akan
dapat memiliki kepribadian yang lurus dan sehat. Orang yang memiliki
kepribadian lurus dan sehat ini memiliki ciri-ciri antara lain: Akan bersikap
moderat dalam segala aspek kehidupan, rendah hati di hadapan Allah dan juga
terhadap sesama manusia, senang menuntut ilmu, sabar,dan jujur.
b. Kepribadian Orang Kafir (Kafirun)
Ciri-ciri orang kafir yang diungkapkan dalam al-Qur'an antara lain: Suka
putus asa, tidak menikmati kedamaian dan ketenteraman dalam kehidupannya,
tidak percaya pada rukun iman yang selama ini menjadi pedoman keyakinan umat
Islam, tidak mau mendengar dan berpikir tentang kebenaran yang diyakini kaum
Muslimin, sering tidak setia pada .janji, bersikap sombong, suka dengki,
cenderung memusuhi orang-orang beriman, suka kehidupan hedonis atau
kehidupan yang berlandaskan hal-hal bersifat matelial. Tujuan hidup mereka
hanya kesuksesan duniawi, sehingga sering kali berakibat ketidakseimbangan
pada kepribadian. Mereka pun tertutup pada pengetahua ketauhidan.
Ciri-ciri orang kafir sebagairnana yang tergambar dalam Al-Qur'an tersebut
menyebabkan mereka kehilangan keseimbangan kepribadian, yang akibatnya
mereka mengalami penyimpangan ke arah pemuasan syahwat serta kesenangan
lahiriah dan duniawi. Hal ini membuat mereka kehilangan satu tujuan tertentu
dalam kehidupan yaitu beribadah kepada Allah dan mengharap ridha-Nya untuk
mengharap magfirah dan pahala-Nya di dunia dan akhirat.
c. Kepribadian Orang Munafik (Munafiqun)
Munafik adalah segolongan orang yang berkepribadian sangat lemah dan
bimbang. Di antara sifat atau watak orang munafik yang tergambar dalam al-Qur'a
antara lain: Mereka "lupa" dan menuhankan sesuatu atau seseorang selain Allah
SWT. Dalam berbicara mereka suka berdusta, mereka menutup pendengaran,
penglihatan, dan perasaannya dari kebenaran. Orang-orang munafik ialah
kelompok manusia dengan kepribadian yang lemah, peragu, dan tidak rnempunyai
sikap yang tegas dalam masalah keimanan. Mereka bersifat hipokrit, yakni
sombong, angkuh. dan cepat berputus asa. Ciri kepribadian orang rnunafik yang
paling mendasar adalah kebimbangannya antara keimanan dan kekafiran serta
ketidakmampuannya membuat sikap yang tega dan jelas berkaitan dengan
keyakinan bertauhid.

D. Kepribadian Rasuli
1. Pengertian Kepribadian Rasuli
Istilah rasuli berasal dari akar kata “rasala” yang berarti mengirim dan mengutus.
Istilah rasulikemudian dinisbatkan dengan sala satu status makhluk Allah SWT, yang
disebut dengan rasul (utusan). Kepribadian rasuli adalah kepribadian individu yang
didapat setelah menstransformasikan sifat-sifat dan kelebihan-kelebihan rasul ke dalam
dirinya untuk kemudian di internalisasikan dalam kehidupan nyata. Atau dalam bahasa
arab yang sederhana, kepribadian rasuli adalah kepribadian individu yang mencerminkan
sifat-sifat kerasulan (rasuliyyah). Pada definisi diatas mengandung tiga unsur utama,
yaitu transformasi sifat-sifat dan kelebihan-kelebihan rasul, ke dalam diri individu yang
berusaha berkepribadian rasulii, untuk kemudian menginternalisasikannya dalam
kehidupan nyata.
2. Kerangka Dasar Kepribadian Rasuli
Allah SWT, menciptakan manusia berikut potensi-potensi nafsaniahnya. Dengan
potensi itu, manusia dituntut untuk mengenal diri, lingkungan dan Tuhannya, serta tugas-
tugas dan kewajiban-kewajibannya. Oleh karena keterbatasan manusia, maka Allah SWT
mengangkat dan mengurus berapa rasul pada umatnya yang bertujuan untuk, sebagai
berikut :
a. Menyampaikan risalah ketuhanan (ilahiyyah) kepada umatnya, agar mereka
berkepribadian sebagaimana yang dikehendaki oleh penciptanya. Firman Allah
SWT : Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada rasul (Nya) dan
berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya
kewajiban Rasul kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. (QS.
Al-Maidah [5]:92).
b. Menjadi duta Tuhan yang membimbing, menjadi saksi, pembawa berita gembira dan
mengingatkan umatnya agar selalu berman dan berbakti pada tuhannya, Friman
Allah SWT : Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita
gembira dan pemberi peringatan. (QS. Al-Fath [48]:8).
c. Menjadi suri tauladan (uswah al-hasanah) dalam berkepribadian, agar umatnya
mudah dan gampang berkepribadian baik. Firman Allah SWT : Sesungguhnya telah
ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang menghadap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab [33]:21).

3. Pola dan Bentuk-bentuk Kepribadian Rasuli


Terdapat dua pola dalam menuju kepribadian rasuli, yaitu :
a. Pola yang merujuk pada sifat-sifat khas seorang rasul. Sebagai manusia pilihan (al-
mushthafala), rasul memiliki beberapa sifat utama, yang mana sifat-sifat utama itu
disederhanakan dalam empat bentuk, yaitu :
1) Jujur (Shidiq), suatu kepribadian rasuli yang jujur dan benar serta terhindar dari
kedustaan dan kebohongan. Segala apa yang diucapkan patut didengar dan
dibenarkan.
2) Terpercaya (amanah), suatu kerpibadian rasuli yang terpercaya dan dipercaya
dalam mengemban amanat atau kepercayaan orang lain. Ia tidak berusaha
khianat atau megingkari janjinya, sebab jika demikian maka tergolog munafik.
3) Menyampaikan perintah (tabligh), suatu kepribadian rasuli yang
menyampaikan dan menyebarluaskan informasi atau suatu perintah yang baik,
bukan menyembunyikan untuk diri sendiri.
4) Cerdas (fathanah), suatu kepribadian rasuli yang cerdas dalam mengemban
amanat, baik secara intelektual, emosional, moral bahkan spiritual. Ketololan
dan kedunguan merupakan awal dari kesalahpahaman yang pada akhirnya
mendatangkan perpecahan dan kehancuran.
b. Pola yang merujuk pada kelebihan-kelebihan atau mu’jizat para rasul. Jumlah rasul
banyak sekali, tetapi yang wajib diiketahui hanya 25 orang, muali Nabi Adam sampai
Nabi Muhammad SAW. Para rasul itu memiliki kelebihan dan mu’jizat, yaitu satu
kelebihan dan anugrah yang diberikan oleh Allah SWT, untuk melemakan musuh-
musuhnya yang ingkar atau yang membangkang.
Bentuk-bentuk kepribadian rasuli berdasarkan mu’jizat para rasul adalah :
a. Kepribadian Adami, satu kepribadian rasuli yang memiliki keluasan ilmu
pengetahuan, jika bersala karena mengikuti perilaku setan maka cepat-cepat bertaubat
(QS. Al-Baqarah [2]:36-37), menjadi bapak manusia, sehingga seluruh manusia
disebut ibnu Adam (anak Adam).
b. Kepribadian Idrisi, satu kepribadian rasuli yang memiliki kemampuan melihat alam
gaib, berhitung secaa cepat dan tepat, menguasai astronomi, dan strategis berperang.
Perhatikan QS. Maryam [19]:57 dan Al-Anbiya’[21]:85-86.
c. Kepribadian Nuhi, satu kepribadian rasuli yang mampu mengentaskan masyarakat
dari banjir kemaksiatan melalui perahu keimanan, tidak membabi buta kepada
keluarga yang salah, menjadi pemula dalam mengembangkan teknologi perkapalan.
Perhatikan QS. Hud [11]:25-32, 40-48, dan Al-Ankabut [29]:14.
d. Kepribadian Hudi, satu kepribadian rasuli yang mampu memberantas para penyamun,
perampok, pencuri, dan koruptor, melarang penyiksaan terhadap tawanan perang,
karena bagaimanapun mereka adalah manusia makhluk Allah. Perhatikan QS. Hud
[11]:50-54, Al-Syu’ara [26]:123-139, Al-A’raf [7]: 65-72, Fushshilat [41]:15-16, Al-
Haqqah [69]:6-8.
e. Kepribadian Shalihi, satu kepribadian rasuli yang shalih, cerdas dan tubuhnya kuat,
mampu memfungsian batu seperti fungsi hewan unta, mendayagunakan teknologi
listrik (petir) untuk menghancurkan orang-orang yang durhaka. Perhatikan QS. Hud
[11]:61-63, Al-Syu’ara [26]:141-159, Al-A’raf [7]:73-79.
f. Kepribadian Ibrahimi, satu kepribadian rasuli yang memiliki kepribadian ketuhanan
yang tangguh meskipun hidup pada keluarga dan lingkungan yang korup, mampu
bertahan hidup meskipun dibuang kehutan belantara, perintis metode induktif dalam
mencari kebenaran, sebagaimana ketika ia mencari Tuhan, memiliki kekuatan
diplomatk yang baik ketika menghadapi penguasa yang zalim (Namrudz),
menghancurkan sistem pemberhalaan kejidupan dalam segala hal, mampu
mendinginkan kobaran api yang panas, melerai panasnya amarah, menjadi pemula
dalam mengembangkan teknologi AC (air conditioning), mau menyembelih jiwa
kebinatangan anaknya, mampu menyembuhkan (menghidupkan) yang sakit (mati),
dan menjadi bapak agama (millah ibrahim) yang hanif bagi seluruh umat manusia,
sehingga dibangunkan tempat kiblat ang disebut dengan ka’bah. Perhatikan QS. Al-
An’am [6]: 76-79, Al-Anbiya’ [21]: 51-69, Maryam [19]: 41-49, Al-Shaffat [37]:100-
111, Al-Baqarah[2]:126-128,260, Ali-Imran[3]: 96-97.
g. Kepribadian Luthi, satu kepribadian rasuli yang mencegah perilaku seks
menyimpang, seperti homoseksual dan lesbian, karena hal itu merusak fitrah dan
kepribadian manusia, tidak membela istri yang salah dan membabi buta. Perhatikan
QS. Al-Ankabut[29]: 28-33, Hud [11]: 77-83.
h. Kepribadian Ismaili, satu kepribadian yang mampu bertahan hidup pada situasi dan
kondisi yang serba sulit, gersang dan tanpa bergantung pada orang lain meskipun
ayah sendiri. Berkepribadian sebagai ana yang saleh yang siap menjadi korban
penyembelihan jiwa kebinatangan dalam rangka mencapai keridhaan Allah SWT.
Dengan injakan kakinya maka muncullah air zamzam, sehingga jad bapak pemula
bagi penggalian tambang air mineral, minyak, emas, dan sebagainya. Perhatikan QS.
Ibrahim [14]: 7, Al-Baqarah [2]: 125-129, Al-Shaffat[37]: 102.
i. Kepribadian Ishaqi, satu kepribadian rasuli yang yang saleh dan tertawa gembira
tatkala mendapatkan anugrah dari Allah SWt. (Ishaqi berarti tertawa gembira),
memiliki keturunan yang baik semacam Nabi Ya’qub. Perhatikan QS. Al-Shaffat[37]:
112-113, Hud [11]: 71-73, Shad[38]: 45-47, Al-Anbiya;[21]:72-73.
j. Kepribadian Ya’qubi, satu kepribadian rasuli yang berani berperang melawan raja
yang sombong meskipun tanpa pasukan yang banyak, senantiasa menasehati
keluarganya agar selalu menyembah kepada Allah SWT. Perhatikan QS. Al-Nisa’[4]:
23, Al-Baqarah[2]: 133.
k. Kepribadian Yusufi, satu kepribadian rasuli yang tetap eksis meskipun dikucilkan
atau dibuang oleh yang lain, kuat menghadapi fitnah cinta, yang dengan kegantengan
tidak untuk berbuat mesum, meskipun dengan para selebiritis, mampu memprediksi
masa depan melalui interpretasi mimpi, dan tidak membalas pada siapapun yang
pernah menyakitinya. Perhatikan QS. Yusuf [12]: 1-111.
l. Kepribadian Ayyubi, satu kepribadian rasuli yang tabah, sabar dan tawakal terhadap
musibah yang diberikan oleh Allah SWT, berusaha mencari hikmah yang terkandung
dalam musibah, baik serupa penyakit, kemiskinan, maupun penghinaan dari orang
lain. Perhatikan QS. Al-Baqarah [2]155-156, Shad[38]:41-44, Al-Anbiya’[21]: 83-84.
m. Kepribadian Dzu al-kifli, satu kepribadian yang karena puasa, beribadah malam dan
tidak suka marah dapat menghantarkannya menjadi raja dan kemuliaan. Perhatikan
QS. Al-anbiya’[21]:85-86.
n. Kepribadian Syu’aibi, satu kepribadian rasuli yang membantu sesama saudara dalam
menegakkan kebenaran. Perhatikan QS. Al-A’raf[7]:85-93, Hud[11]:84-95, Al-
Syu’ara[26]:33-35.
o. Kepribadian Haruni, satu kepribadian rasuli yang membantu sesama saudara dalam
menegakkan kebenaran. Perhatikan QS. Al-Qashash[28]:3-35.
p. Kepribadian musawi, satu kepribadian rasuli yang berani menentang penguasa yang
zalim, tetap eksis walaupun terbuang oleh musuhnya, bapak kedokteran yang karena
ilmunya dapat menghidupkan (menyembuhkan) orang yang mati (sakit), memerangi
Qarun yang tamak, memberantas penyembahan terhadap hal-hal yang ganjil seperti
patung sapi, berguru pada orang yang mengetahui masa depan seperti Nabi Khidir,
bapak pemula dalam pengembangan teknologi jembatan melalui tongkat (beton) yang
kokoh. Perhatikan QS. Al-Baqarah[2]: 49-82, Al-Qashash[28]:7-35, Thaha[20]:57-97,
Al-Maidah[5]: 21-26, Al-Kahfi[18]: 60-82.
q. Kepribadian Dawudi, satu kepribadian rasuli yang memiliki suara yang mrdu, yang
dengan kemerduannya itu untuk membaca kitab suci, sehingga dapat digunakan
kebutuhan tank dan baju besi. Perhatikan QS. Al-Baqarah[2]: 246-251, Al-Isra’[17]:
55, Saba’[34]: 10-11, Shad[38]:17-25.
r. Kepribadian Sulaimani, satu kepribadian rasuli yang kaya dan berkuasa, dimana
dengan kekayaan dan kekuasaan itu tidak untuk menindas atau menjajah yang lemah,
melainkan untuk mengayomi dan memberi kesejahteraan pada yang lain., baik lahir
maupun batin, mampu menjadi hakim yang adil dan tidak merugikan salah satu pihak,
tidak tunduk pada pada bujukan atau tipu daya jin melainkan mampu menguasainya,
sebab kodrat manusia merupakan makluk Allah yang paling mulia, mendayagunakan
alam semesta untuk kesejahteraan, seperti angin untuk kendaraan dan binatang,
mampu berkomunikasi dengan berbagai bahasa, termasuk bahasa hewan,
memanfaatkan sumber daya laut yang isinya mutiara dan permata, mampu
memindahkan atau mengubah singgasan dari yang buruk menjadi baik. Perhatikan
QS. Al-Anbiya’[21]: 78-82, Saba’[34]: 12-14, al-Naml[27]: 16-44.
s. Kepribadian Ilyasi, satu kepribadian rasuli yang mampu menebar rezeki, sehingga
lingkungannya tidak menjadi kelaparan. Perhatikan QS. Al-Shaffat[37]:123-132.
t. Kepribadian Ilyasa’i, satu kepribadian rasuli yang mampu menebar kemakmuran atas
dasar keimanan kepada Allah SWT. Perhatikan QS. Al-An’am[6]:86.
u. Kepribadian yunusi, satu kepribadian rasuli yang jujur meskipun hal itu berakibat
buruk bagi dirinya, sebab dengan kejujuran individu menjadi selamat, sekalipun
dibuang ditengah laut yang ditolong ikan hiu. Perhatikan QS. Yunus[10]: 98, Al-
Anbiya’[21]:87-88, Al-Shaffat[37]: 139-146.
v. Kepribadian Zakariawi, satu kepribadian rasuli yang senantiasa memohon kepada
Allah SWT, meskipun secara rasional tidak ada pengaruh apa-apa, seperti masalah
memohon anak pada usia tua, memiliki santri atau anak didik wanita yang shalihah
yang bernama Maryam, yang karena pendidikannya Maryam memiliki keistimewaan
khusus dari-Nya, seperti memperoleh makanan secara langsung dari Tuhan melalui
malaikat Jibril dan mempunyai anak tanpa bapak. Perhatikan QS. Ali-Imran[3]:35-39,
Maryam[19]: 2-11.
w. Kepribadian Yahyawi, satu kepribadian yang berani menyatakan dihadapan penguasa,
meskipun dengan taruhan dipotong lehernya. Perhatikan QS. Maryam [19]:12-15.
x. Kepribadian Isawi, satu kepribadian rasuli yang kehidupannya bersejarah, sehingga
tercipta tahun masehi, mampu mengobati yang sakit, seperti buta, kusta bahkan
menghidupkan (memotivasi) orang yang mati (pesimis), bapak pemula dalam ilmu
kedokteran. Perhatikan QS. Maryam [19]: 17-34, Al-Maidah[5]: 110-114, Al-
Nisa’[4]:157.
y. Kepribadian Muhammadi, satu kepribadian rasuli yang kehadirannya membawa
berkah dan kesejahteraan keluarga dan umat baik jasmani maupun ruhani,
kehidupannya sederhana, jujur dalam berdagang dan dapat dipercaya, perlikaunya
qruani, hatinya bersih karena sering dioperasi oleh malaikat, tabah dalam menghadapi
berbagai ejekan, cemooh dan siksaan, tidak memiliki dendam kusumat pada orang
yang menyakiti, seperti kaum Thaif, mampu mengendalikan diri dalam berperang,
seperti tidak membunuh orang tua, wanita, anak-anak, yang telah menyerah, mampu
memperbanyak makanan atau minuman, melaluin ujung jarinya, keluar mata air kasih
sayang, bapak pemula bagi penjelajah ruang angkasa dalam peristiwa Isra’ dan
Mi’raj, menjangkau masa lalu dan masa depan, melakukan imigrasi untuk
menyebaran agama, jiwa raganya bersih sehingga lalatpun tidak pernah hinggap
ditubuhnya, tidak pernah memiliki imajinasi yang buruk, sehingga tidak pernah
mimpi mengeluarkan mani (ikhtilam), biarpun matanya terpejam tetapi hatnya tetap
terjaga untuk berzikir kepada Allah.

E. Kepribadian Yawm Akhiri


1. Pengertian Kepribadian Yawm Akhiri
Istilah yawm akhiri berasal dari kata yawm (hari) dan akhir (akhir) yang berarti hari
penghabisan atau penghujung. Istilah yawm akhiri kemudian dinisbatkan dengan salah
satu masa, yaitu masa yang paling akhir dari kehidupan manusia. Kepribadian yawm
akhiri adalah kepribadian individu yang didapat setelah mengimani, memahami dan
mempersiapkan diri untuk memasuki hari akhir di mana seluurh perilaku manusia
dimintai pertanggungjawaban. Kepribadian ini menuju pada satu konsekuensi perilaku
manusia, di mana yang amalnya baik akan mendapatkan kenikmatan syurga, sementara
bagi yang amalnya buruk akan mendapatkan kesengsaraan neraka.
2. Kerangka Dasar Kepribadian Yawm Akhiri
Kehidupan pra-kehidupan dunia (‘alam mitsaq ) merupakan alam perjanjian antara roh
manusia dengan Tuhan yang bertujuan untuk memotivasi kehidupan manusia di dunia
kelak; kehidupan dunia ( ‘alam dunya ) merupakan alam realisasi atau aktualisasi
perjanjian untuk menjadi hamba dan khalifah Allah SWT di muka bumi; dan kehidupan
akhirat ( ‘alam akhirat ) merupakan alam pembalasan atau pertanggungjawaban atas apa
yang telah diperbuat manusia.
3. Pola dan Bentuk-bentuk Kepribadian Yawm Akhiri
Oleh karena hari kiamat berkaitan dengan unsur-unsur keimanan yang bersifat
sam’iyyah, maka pola kepribadian yawm akhiri hanya dapat dicapai setelah penelaahan
ayat-ayat Al-Qur’an atau hadis yang berkaitan dengan hari tersebut, baik berhubungan
dengan kejadian-kejadian penting maupun konsekuensi atas keimanan padanya.
Bentuk-bentuk kepribadian yawm akhiri sebagai berikut:
a. Berkepribadian shalih, baik terhadap diri sendiri, sesama manusia, makhluk lain,
bahkan kepada Allah SWT dengan tidak menyekutukanNya. (QS Al-Kahfi: 110, Al-
Baqarah: 62, Al-An’am: 150).
b. Berkepribadian taqwa, waspada dan senantiasa takut kepada Allah SWT, (Al-
Baqarah: 2-3. Al-An’am: 32, Al-Hajj: 1).
c. Belajar sejarah masa lalu untuk meneropong masa depan (QS Al-Hasyer: 18),
d. Taat kepada Allah, taat kepada rasul-Nya dan ulil amri, serta mengembalikan seluruh
problem dan perselisihan kepada-Nya. (QS Al-Nisa’: 59).
e. Berkepribadian ilmiah (rasikh) yang dengan ilmunya itu dapat melaksanakan perintah
Allah, sehingga dirinya mendapatkan pahala. (QS Al-Nisa’: 162).
f. Menjauhi perilaku syetan (QS Al-An’am: 113), menghindari maksiat (QS Al-An’am:
15).
g. Meramaikan masjid, mendirikan shalat, membayar zakat, dan tidak takut kecuali pada
Allah (QS Al-Taubah: 18, Al-Naml: 3).
h. Berkepribadian seperti kepribadian para rasul, sebab para rasul merupakan suri
tauladan, (QS Al-Ahzab: 21).
i. Menginfaqkan sebagain hartanya untuk saham hari akhir (QS Al-Baqarah: 254, Al-
Munafiqun: 10), mencari karunia untuk bekal hari akhirat (QS Al-Qashsah: 77).
j. Berbuat kebajikan dan menghindari kemadharatan (QS Al-A’raf: 188).
k. Mempersiapkan diri untuk mati, karena kematian merupakan pintu menuju akhirat
(QS Ali-Imran: 185)
l. Melakukan muhasabah (introspeksi) dan mempersiapkan diri untuk dihisab, sebab
jika amal baiknya lebih banyak maka ia dalam kehidupan yang diridhai, tetapi jika
amal buruknya lebih berat, maka neraka Hawiyah tempatnya (QS Al-Qari’ah: 6-11).

F. Kepribadian Taqdiri
1. Pengertian Kepribadian Taqdiri
Istilah taqdiri berasal dari akar kata qadara yang berarti ketetapan, aturan, hukum,
kepastian dan keharusan universal. Istilah taqdiri kemudian dinisbatkan dengan salah satu
ketetapan dan aturan Allah SWT, yang berlaku secara konstan pada seluruh makhluknya.
Kepribadian taqdiri adalah kepribadian individu yang di dapat setelah mengimani,
memahami, mengaplikasikan ketetentuan dan aturan Allah SWT, dalam kehidupan ini
sehingga ia mendapatkan rahasia dan hikmah hidupnya menuju keselamatan di dunia dan
di akhirat.
2. Kerangka dasar kepribadian taqdiri
Allah Swt, telah menciptakan manusia dan seluruh potensi manusiawinya. Agar
potensi tersebut dapat mengaktual secara benar dan baik, maka ia menciptakan hukum-
hukum, aturan –aturan, ketetapan-ketetapan, ketetentuan-ketentuan, atau keharusan
universal itu lazim disebut dengan takdir. Kepribadian taqdiri tidak berarti mengubah
ketentuan atau aturan tuhan, melainkan memahami bahwa seluruh alam ciptaan-Nya,
termasuk manusia tak terlepas dari aturannya, serta menempuh aturan itu sebagaimana
mestinya. Manusia mampu berlari dari satu takdir, tetapi sesungguh ia menuju pada suatu
takdir yang lain. Firman Allah SWT: “sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu
menurut akuran.”

3. Pola Dan Bentuk-Bentuk Kepribadian Taqdiri


Pola kepribadian taqdiri dapat beranjak dari firman Allah Swt, dalam QS
Fushshilat ayat 53: “kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan)
kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri (anfus), sehingga jelaslah bagi mereka
bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah tuhanmu tak cukup (bagi mu) bahwa
sesungguhnya dia menyaksikan segala sesuatu ? (QS Fushshilat : 53). Ayat tersebut
menyebutkan tiga objek, yang masing-masing memiliki takdir sendiri-sendiri, yaitu :
Pertama, objek afaqi, yang berkaitan dengan alam fisik (baik di langit maupun dibumi).
Prinsip utama taqdir objek ini adalah :
a. Adanya hukum kausalitas (QS. Surat Al-Kahfi: 84-85, 92). Hukum ini menurut pribadi
untuk mencari sebab-sebab sesuatu untuk memperoleh suatu hasil (akibat).
b. Berproses secara bertahap menurut pola-pola pertumbuhan dan perkembangannya (QS
Al-Anbiya’:30). Hukum ini menuntut pribadi untuk berorientasi pada proses dan hasil,
bukan semata-mata hasil akhir.
c. Memiliki ukuran tertentu (QS Al-Qamar : 49). Hukum ini menuntut pribadi yang cermat
dalam menimbang dan menakar sesuatu.
d. Memiliki hukum keseimbangan (QS Ar- Rahman: 8). Hukum ini menuntut pribadi untuk
seimbang dalam menggunakan sesuatu tampa kurang atau lebih.
e. Senantiasa tunduk dan patuh secara reserve kepada aturan Allah Swt. (QS Al- Nahl: 49,
Al- Hajj: 8, Hadid :1), dan tidak memiliki perubahan kecuali adanya campur tangan Ar-
Rahman untuk kepentingan dan kebaikan manusia. Hukum ini menuntut pribadi yang
teosentris dalam mengelola dan memanfaatkan alam, bukan untuk kepentigan atau
kecintaan pada ega pribadi (narcissism).
Kedua objek unfusi, yang berkaitan dengan alam psikis (kejiwaan atau
batiniah).Prinsip prinsip takdir anfusi adalah bahwa seluruh aktivitasnya di orientasikan
menuju kehidupan psikis yang :
a. Al- sakinah (kemapanan), yaitu ketetapan atau ketenangan jiwa dari segala
kecemasan dan kesulitanatau kesepian bathin. Sakinah juga memiliki arti
meninggalkan permusuhan atau peperangan, rasa aman, hilangnya ketakutan dan
kesedihan dari jiwa. Pada jiwa orang-orang mukmin yang takut, resah dan gelisah,
agar keimanan dan keyakinan bertambah. Firman Allah Swt : “dialah yang
menurunkan ketengan ke dalam hati orang-orang mukmin, supaya keimanan mereka
bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).” (QS Al- Fath:4).
b. Al-rahah (rileks) yaitu keadaan bathin yang santai, tenang dan tampa adanya tekanan
emosi yang kuat, meskipun mengerjakan pekerjaan yang amat berat.
c. Al- Aman (keamanan) dan Al- Hudu’ (ketentraman) yaitu keadaan bathin yang aman
dan tentram karna terhindar dari ancaman, gangguan dan kegagalan.
d. Al- Shulh atau as- salam (perdamaian) yaitu keadaan bathin yang damai tampa ada
permusuhan dan perlawanan.
e. Al- Rafahiyah (kesejahtraan) yaitu keadaan bathin yang merasa berkecukupan tampa
ada kurang.
f. Al- Isyba’ (kepuasan) yaitu perasaan yang menyertai seseorang setelah iya
memuaskan satu motif, atau perasaan dan sikap individu tentang menyenangkan atau
tidaknya suatu aktifitas yang bersumber dari seperangkat keinginan, kebutuhan,
hasrat, dan pengalaman masa lalu yang membentuk harapan.
g. Al- Sa’adah (kebahagiaan) yaitu perasaan yang bahagia karna terhidari dari celaka
(al-saqawah).
Ketiga objek haqqf atau qur’ani, yang berkaitan dengan sistem nilai yang untuk
mengarahkan kehidupan spiritual manusia. Prinsip utama taqdir objek ini adalah
mengutamakan nilai ketauhidan (QS Al- A’raf: 172, Ali-Imran: 64, Al- Ikhlas: 1, Al-
Anbiya’: 21-22), kemaslahatan (QS- Hud: 177), keadilan (QS Al- Maidah: 2), kesatuan (QS
Al- Hujurat: 10), tolong menolong (QS Al- Maidah: 2), kesamaan (QS Al- Baqarah: 139),
keseimbangan (QS Al- Baqarah: 143), musyawarah dan kesepakatan (QS Ali- Imran: 159),
kemerdekaan (QS Al- Kahfi: 29), dan amar makruf nabi mungkar (QS Ali- Imran: 104).

Bentuk-bentuk kepribadian Taqdiri menurut pola di atas :

a. Bertingkah laku berdasarkan hukum dan aturan tuhan, sehingga tidak semena-mena dan
sewenang-wenang menurut keinginan hawa nafsu.
b. Membangun jiwa yang optimis dalam mencapai tujuan hidup tertentu. Sebab seluruhnya
telah ada hukum dan aturan yang jelas, sehingga individu di tuntut menempuh prosedur
sebagaimana yang telah di tetapkan.
c. Tidak sombong dan angkuh ketika mendapatkan suatu kesuksesan hidup, sebab
semuanya anugrah dan karunia Allah Swt, melalui sunnah-sunnahnya, sombong
merupakan awal dari sifat sembrono dan gegabah dalam mencapai sesuatu, yang nantinya
akan merugikan aktifitas berikutnya.
d. Tidak pesimis, dan stress atau depresi ketika mendapatkan kegagalan.
e. Senantiasa beraktifitas dan berkreasi untuk mendapatkan sesuatu, untuk kemudian
menyerahkan seluruhnya (tawakal) kepadaNya agar ia mendapatkan keseimbangan diri.
f. Memanfaatkan ada memfungsikan seluruh potensi, kesempatan dan peluang yang ada
untuk menggapai sesuatu yang adil melalui aturan-aturan tuhan yang telah di tetapkan.

G. Kepribadian Syahadatain
1. Pengertian Kepribadian Syahadatain
Syahadatain berasal dari kata “Syahida” yang berarti bersaksi, menghadiri,
melihat, mengetahui, dan bersumpah. Istilah syahadatain kemudian dinisbatkan pada
satu momen dimana individu mengucapkan dua kalimat syahadat. Kalimat syahadat
terdiri dari dua kesaksian. Kesaksian pertama berkaitan dengan keyakinan bahwa
tiada tuhan selain allah, sedangkan kesaksian kedua berkaitan dengan kepercayaan
bahwa Muhammad adalah utusan allah. Bacaan tiada tuhan selain allah memiliki arti
tiada tuhan (ilah) yang ada (mawjud) kecuali allah. Syahada pertama merupakan
aktualisasi dan tauhid uluhiyyah (ketuhan ) sedang syahadah rasul memiliki atri
bahwa Muhammad Saw merupakan rasul allah terakhir atau penutup (khatim).
Kepribadian syahadatain adalah kepribadian individu yang didapat setelah
mengucapkan dua kalimat syahadat, memahami hakikat dari ucapannya serta
menyadari akan segala konsekuensi persaksianya tersebut.kepribaddian meliputi
domain kognitif dengan pengucapan dua kalimat secara verbal, domain efektif
dengan kesadran hati yang tulus, dam domain psikomotorik dengan melakukan
perbuatan sebagai konsepkuensi dari persaksiannya itu.
2. Bentuk - bentuk kepribadian syahadatain
a. Kepribadian yang bebas, merdeka dan tidak tebelanggu oleh tuhan- tuhan yang
nisbi dan temporer, untuk menuju pada lindungan dan naungan tuhan yang mutlak
lagi sampurna.
b. Kepribadian yang berpengatahuan secara pasti, karena kepercayaan terhadap
tuhan merupakan ssuatu yang hakiki dalam kehidupan manusia.
c. Kepribadian yang yakin dan menghilangkan segala bentuk keraguan keraguan.
d. Kepribadian yang menerima (qabul) segala konsekuensi akibat dari persaksian
dan ucapannya.
e. Kepribadian yang tunduk dan patuh (inqiyud) terdapat penciptanya.
f. Kepribadian yang jujur (shitidq), sebab kesaksian menuntut pada ucapan dan
tindakan sesuai apa adanya.
g. Kepribadian yang tulus ( ikhlash), dimana ia berprilaku bukan semata mata
karena pengawasan orang lain atau sekedar mencari perhatian.
h. Kepribadian yang penuh cinta (mahabbah), dimana cinta kepada tuhannya berarti
cinta pada diri sendiri, juga cinta pada orang yang cinta kepadanya.

H. Kepribadian Mushalli
1. Pengertian Kepribadian Mushalli
Mushalli adalah orang yang sholat. Sholat secara etimologi berarti memohon
(do’a) dengan baik, yaitu permohonan keselamatan, kesejahteraan san kedamaian
hidup didunia dan diakhirat kepada Allah swt. Menurut istilah, sholat adalah suatu
perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam beserta mengerjakan
syarat-syarat dan rukun-rukun. Kepribadian mushalli adalah kepribadian individu yang
didapat setelah melaksanakan sholat dengan baik, konsisten, tertib dan khusyu’,
sehingga ia mendapatkan hikmah dari apa yang dikerjakan.
2. Kerangka Dasar Kepribadian Mushalli
Ibadah merupakan bentuk aktualisasi diri yang fitri dan hakiki,sebab penciptaan
manusia didesain untuk beribadah kepada Tuhannya (QS Al-Dzariyat; 56) ibadah
dalam islam banyak jenis dan bentuknya, namun ibadah yang merepresentasikan
seluruh kepribadian manusia adalah shalat, karena ia yang membedakan hamba yang
Muslim dan khafir. Sholat dinilai sebagai mi’raj al-salikin, yaitu pendakian diri dari
orang-orang yang menempuh jalan spiritual, sehingga dalam shalat terjadi komunikasi
aktif antara hamba dan tuhannya.
3. Dimensi-dimensi Kepribadian Mushalli
Jika dilihat dari domain yang terdapat pada rukun-rukun shalat, maka kepribadian
mushalilli meliki tiga dimensi, yaitu: Pertama, dimensi afektif (infi’ali), satu
kepribadian mushalli yang di bentuk dari pengalaman afektif (affective experience)
shalat, sehingga menimbulkan persamaan-persamaan dan daya emosi yang khas dan
kuat. Kepribadian ini didapat dari rukun qalbiyyah shalat seperti niat dan
kekhususnya; kedua, dimensi kognifin (cognitive experience) shalat, sehingga
menimbulkan efek pengenalan, pikiran dan daya cipta yang luar biasa. Kepribadian
ini didapat dari rukun qawliyyah shalat seperti mengucapkan takbir, surat Al-Fatiha,
tasyahuddan shalawat Nabi pada tasyahud akhir, dan salam pertama; ketiga, dimensi
psikomotorik (nafsi haraki), suatu kepribadian mushalli yang dibentuk dari
pengalaman psikomotorik (psychomotor experience) shalat,sehingga menimbulkan
kemauan, gerak dan daya keras yang mantap. Kepribadian ini didapat dari rukun
fi’liyyah shalat, seperti berdiri, ruku’, sujud, dan duduk dalam sholat.
Kepribadian ini didapat dari pelaksanaan sholat sunnat, Misalnya:
a. Sholat Hajad, didorong oleh keinginan tercapai hajad atau kebutuhannya.
b. Sholat Tahajjud, didorong oleh keinginan memperoleh kedudukan yang tinggi, baik di
dunia maupun akhirat. Jika ia berdoa maka dikabulkan, jika ia meminta maka di beri, dan
jika ia meminta ampun maka di ampuni (HR al-bukhori dari Abu Hurairah).
c. Sholat istikhara, didorong oleh keinginan memilih salah satu yang terbaik atau
menentukan kepastian sesuatu, seperti memilih jodoh, tempat kerja, sekolah atau kuliah,
dan sebagainya.
d. Sholat Taubat, didorong oleh keinginan pengampunan dari Allah atas segala dosa yang
diperbuat.
e. Sholat Dhuha, didorong oleh keinginan memperoleh rezeki yang banyak, sebab sholat
Dhuha dikerjakan pada saat jam kerja yang efektif.
f. Sholat Istisqa, didorong oleh keinginan mendapatkan hujan dari kemarau panjang.
g. Sholat Tarawih, didorong oleh keinginan untuk rileks dengan mengendorkan syaraf dan
obat yang ada pada tubuh serta mendapatkan ampunan, sehingga diri seperti baru
dilahirkan.
h. Sholat ‘Idain, didorong oleh keinginan merayakan dua hari raya yang
menyenangkan( (Idul Fitri dan Idul Adha).
Dilihat dari sudut pelaksanaan sholat maka kepribadian mushalli memiliki empat
dimensi, yaitu : Pertama : sholat harian (yaumiyyah), seperti sholat wajib lima waktu.
Kedua : sholat mingguan (usbu’iyyah) seperti sholat Jum’at; Ketiga : Sholat tahunan
(‘amiyyah) seperti Idul Adha dan Idul Fitri.Keempat : sholat seumur hidup sekali, seperti
sholat sunnah Tasbih yang setidaknya-tidaknyaseumur hidup sekali.
4. Pola dan Bentuk-bentuk Kepribadian Muashalli
Berdasarkan isyarat ayat Al-qur’an atau hadits yang berkaitan dengan shalat,
indikator kepribadian mushalli adalah sebagai berikut :
a. Kalimat mendirikan sholat (iqam alshalah) diikuti kalimat membayar zakat terulang 26
kali dan diikuti kalimat menafkahkan rizqi terulang delapan kali dan diikuti kalimat
berkorban terulang kali dalam ayat Al-quran .
b. Pemerintah kewajiban sholat menggunakan kata iqamah (menunaikan) bukan ‘adaa
(melaksanakan). Hal itu berarti bahwa kepribadian mushalli tidak hanya dibentuk secara
jadi-jadian atau asal-asalan.
c. Sholat disebut pertama kali dalam urutan aktivitas manusia (QS.Al-An’am;162,
Thaha:14) dan perilaku pertama kali yang dihitung diakhirat kelak. Hal ini mengandung
isyarat bahwa kepribadian mushalli dapat menjadi acuan pokok dalam rekrutmen
pegawai.
d. Sholat selayaknya dilakukan dimesjid, sebab mesjid merupakan markas atau pusat
kegiatan peribadatan. Hal ini mengandung isyarat bahwa kepribadian mushalli
merupakan kepribadian yang memiliki markas atau institusi yang kokoh dalam
melakukan aktivitasnya.
e. Sebelum sholat dilakukan terlebih dahulu membersihkan diri dari segala zat yang
berbahaya, seperti minuman keras, napza dan zat adiktif lainnya.
f. Sholat merupakan wahana berdzikir dan berpikir, bahkan zikir terbaik ada di dalam
sholat.

Pola berdasarkan syarat-syarat shalat, citra kepribadian mushalli dapat


digambarkan sebagai berikut: Pertama : suci dan hadas, tempat dan pakaian. Salah satu
syarat sholat adalah mensucikan diri dari hadas besar dengan mandi dan hadas kecil
dengan berwudhu serta kesucian pakaian dan tempat shalat. Kedua : menghadap kiblat;
satu kepribadian mushalli yang memiliki wawasan dan orientasi hidup yang menyatu
pada satu kiblat, yakni Ka’bah. Ketiga : berdiri (qiyam), membungkuk, berdiri tegak
kembali, sujud, dan duduk. Satu kepribadian mushalli yang dinamik, luwes dan mampu
menempatkan diri sesuai dengan situasi dan kondisi dimana ia bertingkah laku. Keempat:
Membaca surat Al-fatihah: satu kepribadian mushalli yang menjadi pioner atau pelopor
dalam setiap event kehidupan. Bacaan Al-fatihah dalam shalat dalam membentuk pribadi
yang senantiasa berkomunikasi dan berinteraksi secara ilahiah. Kelima : thuma’ninnah :
satu kepribadian yang tenang, rileks dan santai setelah jedah sejenak dalam mengarungi
semua dimensi kehidupan. Keenam: Tasyahud akhir, satu kepribadian yang selalu
member penghormatan pada sesuatu yang pantas diberi penghormatan. Penghormatan
pertama kepada Tuhan. Ketujuh: Shalawat nabi : satu kepribadian yang tunduk dan patuh
serta mengikuti sunnah-sunnah rasulnya, yang disimbolkan dengan mengucapkan
shalawat (doa keselamatan) kepadanya dalam shalat.
Keutamaan itu berdasarkan atas implikasi positif yang menyertai individu dalam
pembentukan kepribadian mushalli :
a. Kepribadian yang senang berorganisasi yang mana setiap tindak tanduknya terorganisir
dengan baik.
b. Kepribadian yang tanduk dan patuh satu komando pemimpin (imam), sehingga pola
hiduppnya teratur, sistematik, terkontrol dan terbimbing yang didasarkan atas sikap saling
percaya dan gotong royong.
c. Kepribadian yang memiliki keserasian, keselarasan, dan keharmonisan antara pemimpin
dan rakyat, baik pada aspek nada suara maupun gerakan.
d. Kepribadian yang apabila terjadi pergantian kepempinan, maka tidak berarti melupakan
jasa, presentasi atau program yang pernah dicapai atau dijalankan pada
kepempinansebelumnya.
e. Kepribadian yang senantiasa taat pada pemimpin, sebab pemimpin telah dipilih
berdasarkan kompetensinya.
f. Kepribadian yang meluruskan pemimpinnya yang salah, dan sebaliknya, pemimpin yang
mau diperingatkan ileh penganutnya jika melakukan kesalahan.

I. Kepribadian Shaim
1. Pengertian Kepribadian Shaim
Shaim adalah orang yang berpuasa. Puasa secara etimologi berarti menahan
terhadap sesuatu, baik yang bersifat materi maupun non-materi. Menurut istilah, puasa
adalah menahan diri di waktu siang dari segala membatalkan yang dilakukan (makan,
minum dan hubungan seksual ) dengan niat dimulai terbitnya fajar sampai terbenanam
matahari. Kepribadian Shaim adalah kepribadian individu didapat setelah
melaksanakan puasa dengan penuh keimanan dan ketaqwaan, sehingga ia dapat
mengendalikan diri dengan baik. Pengertian ini didasarkan atas asumsi bahwa orang
yang mampu menahan diri dari sesuatu yang membatalkan puasa memiliki
kepribadian lebih kokoh, tahan uji, dan stabil ketimbang orang yang tidak
mengerjakannya, sebab ia mendapat kan hikmah dari perbuatannya.
2. Kerangka Dasar Kepribadian Shaim.
Manusia memiliki potensi yang saling berlawanan dan tarik manarik, yaitu
potensi baik dengan daya qalbu dan potensi buruk dengan daya nafsu. Agar daya nafsu
tidak berkembang maka diperlukan pertahanannya. Salah satunya pertahanan yang
baik adalah dengan puasa. Dengan menahan lapar, minum dan menghindar seksual di
waktu siang, dari individu mengalami perubahan. Persoalannya apakah perubahan itu
menuju perilaku yang positif ataukah mengarahkan kepada perilaku yang negatrif?
Sepintas puasa itu mengarah pada perilaku negatif, seperti malas bekerja,
berkurangnya gairah dan daya produksi serta cenderung menuju pada pola, hidup
kemunduran(regression).
3. Dimensi-dimensi Kepribadian Shaim
Ada banyak pendapat mengenai dimensi-dimensi puasa, namun dalam hal ini
penulis membaginya dalam dua kategori. Pertama, puasa fisik, yaitu menahan
lapar,haus dan berhubungan seks. Kedua, puasa psikis, yaitu menahan hawa nafsu dari
segala perbuatan maksiat, seperti menahan marah (Ghadhap), sombong, takabur.
4. Pola dan bentuk-bentuk Kepribadian Shaim
Indikator kepribadian shaim adalah sebagai berikut :
a. Puasa sebagai pembentukan kepribadian yang sabar, tabah, tahan uji dan
mengendalikan diri yang baik dalam mengarungi kehidupan,terutama sabar dalam
menjalankan perintah Tuhan.
b. Puasa dapat mendapatkan menyebabkan karakter ‘ayd (orang yang kembali ke
fitrah asal) dan fa’iz (orang yang beruntung).
c. Puasa sebagai pembentukan kepribadian yang sehat, baik jasmani maupun rohani.
Secara rohani puasa memiliki empat aspek kesehatan :
d. Pola Simptomatis ; pola yang berkaitan dengan gejala (simptom) dan keluhan
(Complians), gangguan atau penyakit nafsaniyah, seperti berpuasa untuk
mengendalikan nafsu birahi yang berkelebihan: menghindari penyakit hati
(amradha, alqulub,) seperti menceritakan keburukan oranglain.
Menurut Al-Ghazali terdapat 5 macam fungsi puasa yaitu :

1. Mata senantiasa menunduk dan menahan daeri pandangan yang dicela dan
dibenci.
2. Lisan senantiasa terhindar dari pembicaraan yang sia-sia, dusta, menceritakan
keburukan oranglain, menggunjing, kejoi, perkataan kasar, pertengkaran dan
perdebatan.
3. Telinga senantiasa terhindar dari suara-suara yang dibenci.
4. Anggota tubuh yang lain, seperti tangan dan kaki terhindar dari aktivitas yang
buruk dan perut dari maknanah yang syubhatatau haram.
a. Pola penyesuaian diri : kemampuan individu untuk meyesuaikan diri secara
aktif terhadap lingkungan sosialnya, seperti memberi makanan dan minuman
pada oranglain ketika berbuka atau sahur: sholat terawih secara
berjamaah:semaraknya aktivitas sosial seperti zakat.
b. Pola pengembangan diri : pola yang berkaitan dengan kualitas khas insani
(human Qualities) seperti kreatifitas, produktifitas, kecerdasan, tanggungjwab
dan sebagainya.
Puasa juga dapat meningkatkan kecerdasan, baik kecerdasan intelektual (IQ)
puasa dapat merangsang syaraf-syaraf kecerdasan untuk berfikir aktif dinamis
dan konstruktif , kecerdasan emosional (EQ) puasa dapat mendorong individu
untuk mengenali emosi dan aktivitas-aktivitasnya dan mngelola dan
mngekspresikan jenis-jenis emosi secara benar., Kecerdasan Moral (MQ)
puasa memotivasi individu untuk membina hubungan moralitas dengan
orannglain sperti sufel, elegan, ramah, bekerjasama, tolong menolong,
inklusif. maupun kecerdasan Spiritual (SQ) puasa untuk mendorong individu
lebih dekat pada Tuhannya. Untuk menjalankan kewajiban dan menjauhkan
larangannya..
c. Pola spiritual atau religius: kemampuan individu untuk melaksanakan ajaran
agama secara benar dan baik dengan landasan keimanan dan ketakwaan.

J. Kepribadian Muzakki
1. Pengertian kepribadian Muzakki
Muzakki adalah orang yang telah membayar zakat. Zakat secara etimologi berarti
berkembang (al-namw) dan bertambah (al-ziyadah), baik secara kualitas (keberkahan)
maupun kuantitas. Orang yang membayar zakat hartanya cenderung bertambah bukan
semakin mengurang. Menurut istilah, zakat adalah mengeluarkan sebagian hartanya
kepada orang yang berhak menerimanya ketika telah mencapai batasnya (Nishab).
Kepribadian muzakki adalah kepribadian individu yang didapat setelah membayar zakat
dengan penuh keikhlasan, sehingga ia mendapatkan hikmah dari apa yang ia lakukan.
2. Kerangka dasar kepribadian muzakki
Salah satu fitrah hidup manusia adalah berkelompok. Ia tidak dapat hidup tanpa
berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain. Dalam kelompok itu tentu terdapat
yang lemah dan yang kuat, ada yang miskin dan ada yang kaya, ada yang sakit dan
seterusnya. Sekalipun status atau strata sosialnya berbeda, masing-masing individu pada
prinsipnya saling membutuhkan. Zakat selain untuk pembersihan harta (QS.Al-
Taubah:103) juga sebagai media interaksi antara kaum yang kuat dengan yang lemah
yang nantinya akan berimplikasi pada kehidupan yang seimbang merata dan sejahtera
dalam hidup bermasyarakat.
3. Pola dan bentuk-bentuk kepribadian muzakki
a. Kepribadian yang suci dan menjadi anmuzakki pada citra awalnya (fitrah) yang tanpa
dosa.
b. Kepribadian yang seimbang, dimana individu menyelaraskan aktivitas yang berdimensi
vertical dan horizontal
c. Kepribadian yang penuh empati terhadap penderitaan pribadi lain, sehingga
mengakibatkan kepekaan social (social sensitivity).
d. Kepribadian yang selamat dari petaka dan fitnah, sebab zakat, infaq dan sedekah dapat
menolak balak.
e. Kepribadian yang kretaif dan produktif untuk memperoleh harta benda yang halal dan
mendistribusikannya dengan cara yang halal pula.

K. Kepribadian Haji
1. Pengertian kepribadian haji
Haji adalah orang telah melaksanakan haji. Haji secara etimologi berarti
menyengaja (al-qashd) pada sesuatu yang diagungkan. Orang yang melaksanakan haji
berarti hatinya selalu menuju pada zat yang Maha Tinggi. Menurut istilah haji adalah
menyengaja pergi ke Baitullah (Ka’bah) untuk melaksanakan syarat (islam, baligh,
berakal, merdeka dan mampu), rukun (niat ihram dari miqad, wuquf di Arafah, Tawaf
Ifadha, Sa’i, cukur dan tertib) dan wajibnya (Ihram di miqad, menginap di Muzdalifah,
menginap di Mina, melontar jumrah, dan tawaf wada’) pada bulan yang ditentukan
(Syawal, Dzulqaidah, Dzul al-Hijjah).
2. Kerangka dasar kepribadian haji
Haji merupakan wisata spiritual yang menuju taman rohani bagi individu yang
merindukan akan kehadiran sang Maha Kekasih, yakni Allah SWT. Dalam perjalanan
haji, individu diundang oleh sang Maha Kasih untuk menikmati perjamuan spiritual
seperti berdekat-dekatan, mencurahkan isi hati dan bencengkrama. Segala fasilitas
rohaniah disediakan, agar tidak ada jarak antara yang merindukan dan yang dirindukan.
Begitu sang kekasih mengundangnya, dengan tanpa mempertimbangkan aspek-aspek
material, sang kekasihpun langsung mengucapkan “labbaykaAllahummalabbayk” (aku
penuhi panggilan-Mu ya Allah). Nilai dan hikmah haji sangat tergantung pada
kesanggupan bagi orang yang melaksanakannya, mulai dari pembayaran ongkos naik haji
yang halal, melaksanakan rukun islam yang lain seperti shalat, zakat dan puasa; persiapan
mental yang utuh dan tangguh sampai pada penyerahan nyawa.
3. Pola dan bentuk-bentuk kepribadian haji
Bentuk-bentuk kepribadian haji dari pola umum diantaranya adalah :
a. Kepribadian tawhidi, yaitu kepribadian yang utuh dalam memenuhi panggilan Allah
swt, yang diwujudkan dalam bacaan talbiyah dan menyengaja menuju ke Ka’bah.
b. Kepribadian mujahid, yaitu orang-orang yang berjihad dengan cara berperang dan
bekorban secara sungguh-sungguh demi mendapatkan ridha Allah SWT.
c. Kepribadian yang suci dan fitri, karena dalam ibadah tersebut menghapus nuktah
(titik hitam) dalam jiwanya.
d. Kepribadian yang sukses karena telah melewati rintangan, tantangan dan resiko yang
berat dalam mensyiarkan agama Allah.
Bentuk-bentuk kepribadian haji dari pola khusus, yang bersumber dari rukun wajib dan
Sunnah diantaranya:

a. Kepribadian muhrim (yang ihram), yaitu kepribadian yang mengharamkan atau


menahan diri terhadap perilaku yang dilarang.
b. Kepribadian Thawf (yang thawaf), yaitu kepribadian yang hanya menuju kepada
Allah SWT.
c. Kepribadian waqif (yang wuquf), yaitu kepribadian yang menghentikan seluruh
kegiatan duniawi dalam waktu sesaat, kecuali hanya menunaikan shalat, berzikir dan
berdoa kepada Allah, dengan harapan agar mereka terbebas dari belenggu hawa nafsu
materi.
d. Kepribadian sa’i kepribadian yang selalu bekerja keras, dengan lari-lari kecil dalam
mencapai suatu tujuan.
e. Kepribadian yang tahallul, yaitu kepribadian yang tidak melakukan sesuatu kecuali
yang dihalalkan melakukannya
f. Kepribadian yang mandiri dan siap susah dengan cara mabit (bermalam) baik di
Muzdalifah maupun di Mina.
g. Kepribadian yang selalu membuang dan memerangi syetan, baik syetan yang ada
dalam dirinya, maupun setan melalui melempar jumrah
h. Kepribadi yang sadar akan kesalahannya dengan cara menebusnya dengan
mengalirkan darah (dam) kambing, unta atau sapi di tanah haram, dalam rangka
memenuhi ketentuan haji.
i. Kepribadian yang menginap dan berkunjung (ziarah) pada tempat-tempat suci, yang
dapat , mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Tempat yang dimaksud selain tempat-tempat yang ditentukan dalam haji, juga tempat-
tempat lain yang bersejarah seperti :

a. Masjid Nabawi, masjid ini menjadi sentral aktivitas Nabi Muhammad SAW
b. Gunung Jabal Nurdan Gua Hira, yaitu gua yang mana Nabi SAW pertama kali
menerima wahyu QS. Al-alaq 1-5
c. Gunung Tsurya itu tempat nabi Muhammad SAW berlindung bersama Abu Bakar
ketika mau hijrah ke Madina dari kejaran kafir Quraisy.
d. Gunung Rahmah, di Arafah terlihat bukit yang diatasnya terdapat tugu
e. Masjid Jin, dimana jin berbiat mengakui kerasulan Muhammad, sehingga turunlah
Al-Jin.
f. Makam rasul, letaknya disebelah sudut Timur masjid Nabawi.
g. Rawdah (taman rumah) yang letaknya diantara rumah nabi (sekarang makam) dan
mimbar
h. Makam Baqi’ tempat pemakaman orang Madinah, terletak disebelah timur masjid
Nabawi.
i. Masjid Quba, yaitu masjid yang pertama kali didirikan olehNabi Muhammad SAW.
j. Gunung Uhud, bukit terbesar di Madinah yang terletak 5 KM dari pusat kota
k. Masjid Qiblatain, disebut juga masjid Bani Salamah

L. Kepribadian Muhsin
1. Pengertian Kepribadian Muhsin
Muhsin berarti orang yang berbuat ihsan. Kata “ihsan” berasal dari kata “
Hasuna” yang berarti baik atau bagus. Seluruh perilaku yang mendatangkan manfaat dan
menghindarkan kemudharatan merupakan perilaku yang ihsan. Namun, karena ukuran
ihsan bagi manusia sangat relatif dan temporal, maka kriteria ihsan yang sesungguhnya
berasal dari Allah SWT. Karena itu, hadis Nabi SAW. Menyebutkan bahwa ihsan
bermuara pada peribadatan dan muwajahah, dimana ketika sang hamba mengabdikan
diri pada-Nya, seakan-akan bertatap muka dan hidup bersama (ma’iyah) dengan-Nya,
sehigga seluruh perilakunya menjadi baik dan bagus. Sang budak tidak akan berbuat
buruk dihadapan majikannya, apalagi sang hamba dihadapan Tuhannya. Dengan
demikian, yang dimaksud dengan kepribadian muhsin adalah kepribadian dapat
memperbaiki dan mempercantik individu, bik berhubungan dengan diri sendiri,
sesamanya, alam semesta dan kepada Tuhan yang diniatkan hanya untuk mencari ridha-
Nya.
Di dalam Al-quran ditemukan beberapa pengertian dan indikator ihsan, tetapi
yang dimaksudkan ihsan di sini adalah seluruh perilaku baik, selain masalah keimanan
dan keislaman, yang dilakukan dalam rangka mencari ridha Allah SWT. Ihsan ini terkait
dengan perilaku bathin yang dapat menghiasi diri manusia untuk menyempurnakan
keimanan dan peribadatannya.
2. Pola Pembentukan Kepribadian Muhsin
Kepribadian muhsin dapat dibentuk dengan dua pola :
a. Pola umum, Yaitu segala perilaku baik, yang dapat mempercantik diri manusia
yang objeknya tidak terbatas pada subyek tertentu. Pola umum ini antara perilaku
syukur, sabar, tawakal, pemaaf, iffah dan sebagainya. Perilaku syukur misalnya,
dapat ditunjukkan kepada Tuhan dengan memuji karunia-Nya dengan ucapan al-
hamdu li Allah dan mempergunakan karunia itu sebagaimana yang diperintahkan-
Nya.
b. Pola khusus, Yaitu segala perilaku baik, yang dapat mempercantik diri manusia
yang objeknya ditunjukkan pada subjek tertentu. Misalnya, perilaku baik khusus
kepada Allah Swt; perilaku hormat anak kepada kedua orangtua; perilaku sayang
orang tua kepada yang lebih muda; perilaku taat istri kepada suami dan sebaliknya
; perilaku santun guru pada muridnya ; perilaku baik majikan kepada pembantu ;
berbuat baik kepada tetangga ; berbuat baik kepada sesama manusia, sesama
agama, sesama hamba Allah (flora dan fauna), dan seterusnya.

Dalam pencapaian kepribadian muhsin ini, terdapat 3 (tiga) pola yang dapat diterapkan,
yaitu:

1. Pola hierarki, Yang mana masing-masing karakter memiliki tata urut dan tahapan.
Artinya, masing-masing karakter memiliki tangga yang harus dilalui dari tahap
pertama menuju tahap berikutnya.
2. Pola proporsional, Yang mana individu dapat memiliki bagian-bagian dari
kepribadian muhsin menurut keadaan yang dialami, tidak menuntut adanya tata
urut. Bagi individu yang memiliki sifat-sifat agresif dan pemarah maka sabar
merupakan karakter yang harus ditanamkan pada diri.
3. Pola Eklektis, Yaitu menggunakan semua bentuk-bentuk kepribadian muhsin
secara campuran dan simultan, sebab masing-masing bentuk kepribadian muhsin
merupakan satu kesatuan yang utuh.
4. Bentuk Bentuk Kepribadian Muhsin
Bentuk-bentuk kepribadian muhsin banyak sekali, dalam pemabahasan ini hanya
diambil 20 macam, yang telah mewakili bentuk-bentuk kepribadian muhsin secara
keseluruhan.
a. Karakter Ta’ib (Yang Bertaubat)Karakter Ta’ib yaitu karakter yang menyesal (al-
nadm) karena melakukan dosa, melepaskan (al-iqla’) seluruh perilaku yang
mengandung dosa seketika itu juga dan bertekad bulat (al-‘azam) untuk tidak
mengulangi lagi perbuatan dosanya itu, baik dosa kepada Allah maupun dosa-dosa
sosial. Beberapa karakter ta’ib yaitu sebagai berikut :
1) Secara kognitif, ia membaca istighfar seperti astagfirullah (aku mohon
ampunan kepada Allah)
2) Secara afektif, ia menyesal dan senantiasa menghapus dosa atau kesalahan
masa lalu agar tidak diulangi kembali
3) Secara Pssikomotorik, ia takut kepada Allah dengan jalan menjalankan
perintah dan menjauhi larangan-Nya.
b. Karakter zahid (yang Zuhud)
Karakter zahid yaitu karakter yang berpaling, menganggap hina dan kecil, serta
tidak merasa butuh pada sesuatu yang bersifat material. Seseorang dianggap meiliki
karakter zahid apabila memiliki karakter sebagai berikut.
1) Meninggalkan perbuatan yang tidak bermanfaat bagi kehidupan akhirat (Ibn
Taimiyah)
2) Meredam berangan-anagn (‘amal) yang panjang (Ahmad ibn Hambal dan
Sufyan al-Tsauri)
3) Tidak merasa gembira dengan kehadiran dunia, serta tdak merasa menyesal
apabila kehilangannya (al-junaid)
4) Adanya kelapangan jika terlepas dari jeratan kepemilikan dunia
danmenghindari dunia tanpa terpaksa (Ibn Khafifi)
5) Kalbu berupaya keluar dari belenggu materi untuk menuju pada akhirat
6) Tidak sekedar meninggalkan dunia, melainkan tidak merasa memiliki sesuatu
dan tidak merasa dimiliki sesuatu, sehingga hidupnya merdeka dan bebas
tanpa diikat oleh kehidupan material
7) Berderma dengan yang ada (Yahya ibn Mu’adz)
c. Karakter Wari’ (yang wara’)
Karekter wari’ yaitu karakter yang menjaga diri dari perbuatan yang tidak patut
(ghayr ma’ruf), yang dapat menurunkan derajat dan kewibawaan diri seseorang.
Kriteria wara’ diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Membersihkan kalbu dari segala kotoran dan najis maupun psikis
2) Meninggalkan perbuatan yang sia-sia dan tidak ada gunanya
3) Menjauhkan kalbu dari segala perbuatan yang masih diragukan.
d. Karakter Kha’if (yang khawf)
Karakter kha’if yaitu karakter yang takut akan kebencian, kemurkaan dan siksa
Allah Swt., akibat melanggar larangan-larangan-Nya. Atau, takut akan kebesaran-
Nya (QS Nuh [71] : 13). Takut disini memiliki konotasi positif, yang
mengarahkan individu untuk hidup hati-hati, prihatin dan waspada pada
keburukan yang akan dilakukan.Karakter kha’if mengarahkan pada individu
untuk selalu instropeksi terhadap perilaku yang diperbuat, apakah perilakunya
telah menyenangkan atau memuaskan Tuhannya.
e. Karakter raji’ (yang raja’)
Karakter raji’ yaitu karakter yang berharap terhadap sesuatu kebaikan kepada
Allah Swt. Dengan disertai usaha yang sungguh-sungguh dan tawakal. Menurut
Ibn Qayyim, karakter raji’ memiliki 3 (tiga) tingkatan yaitu sebagai berikut
1) Harapan yang mendorong seseorang untuk berusaha dengan sungguh-sungguh.
Sehingga melahirkan pengabdian, kenikmatan bathin dan meninggalkan
larangannya
2) Harapan orang-orang yang mengadakan latihan (riayadhah) , agar ia dapat
membersihkan hasrat buruknya dan terhindar dari kemudaratan masa depan
3) Harapan kalbu seseorang untuk bertemu kepada Tuhan-nya dan kehidupannya
dimotivasi oleh kerinduan kepada-Nya.

f. Karakter Mukhlash (yang ikhlas)


Karekter mukhlash yaitu karakter yang murni dan taat yang seluruh perilakunya
hanya ditujukan kepada Allah semata, dengan cara membersihkan perbuatan, baik
lahir maupun batin, dari perhatian makhluk. Menurut Ibn Qayyim, karakter
mukhlish dibagi dalam tiga tingkatan :
1) Tidak menganggap bernilai lebih terhadap perbuatan yang dilakukan, sehingga
ia tidak menghendaki imbalan dan tidak puas berhenti disitu aja
2) Merasa malu terhadap perbuatan yang telah dilakukan sambil berusaha sekuat
tenaga untuk memperbaikinya dan berharap agar perbuatannya dalam cahaya
tawfiq (pertolongan)-Nya
3) Berbuat dengan ikhlas melalui keikhlasan dalam berbuat yang didasarkan atas
ilmu dan hukum-hukum-Nya.
g. Karakter Mustaqim (yang istiqamah)
Karakter mustaqim yaitu karakter yang melakukan suatu pekerjaan yang lurus
secara kontinue dan abadi. Ibn Qayyim membagi karakter mustaqim dengan 3
(tiga) tingkatan :
1) Istiqamah dalam arti kesederhanaan (al-istishad) dalam bersungguh-sungguh,
sehingga tidak melampaui batas pengetahuan, ikhlas, dan sunnah
2) Istiqamah keadaan (al-ahwal), dengan menyaksikan hakikat sesuatu
berdasarkan ilmu dan cahaya kesadaran. Hakikat ini meliputi hakikat kauniyah
(hukum-hukum Allah tentang alam dan isinya) dan hakikat diniyah (hukum-
hukum atau aturan-aturan Allah tentang perilaku kehidupan baik-buruk di
dunia dan akhirat
3) Istiqamah dengan cara tidak menganggap berarti istiqamah yang pernah
dilakukan, sehingga ia terus berusaha untuk beristiqamah pada jalan yang
benar.
h. Karakter shabir (yang sabar)
Karakter shabir (yang sabar) yaitu menahan (al-habs) diri atau yang lebih
tepatnya mengendalikan diri atau lebih tepatnya mengendalikan diri baik itu dari
hal yang dibenci dan menahan lisan. Karakter shabir dapat menghindarkan
seseorang dari perasaan ras cemas, marah dan kekacauan. Karakter shabir juga
menuntut sikap yang tenang untuk menghindari maksiat, melaksanakan perintah
dan menerima cobaan.
i. Karakter mutawakkil
Karakter mutawakkil menghindarkkan individu dari sifat materialis,karena
tawakkal menuntut individu untuk menggunakan harta benda secukupnya,
meskipun batas kecukupan itu relatif. Tawakkal menghindarkan orang dari stress,
sebab sesorang dapat menggantungkan kesuksesan hidupnya kepada zat yang
maha mutlak.
j. Karakter qani’ (yang qana’ah)
Karakter qani’ (yang qana’ah) yaitu dalam menerima apa adanya atau seadanya.
Karakter ini menuntut individu untuk mengarahkan segala daya upayanya
seoptimal mungkin, kemudian menerima hasil dari hasil jerih payahnya, tetapi iya
belum mencapai puncak keinginannya. Tidak merasa gagal, frustasi melainkan
tetap tegar dan berusaha menerima apa adanya.
k. Karakter radhi (yang ridha)
Karakter radhi (yang ridha)rela terhadap apa yang dimiliki dan diberikan.
Karakter radhi dimiliki individu setelah iamelaksanakan tawakkal, karena ridha
menjadi puncak (nihayah) dari tawakkal. Karakter radhi diberikan oleh allah
kepada jiwa hamba-Nya yang tidak menjatuhkan diri dalam kesakitan atau
membenci sesuatu, melanggar hukum Allah, membuat permusuhan dengan orang
lain. Karakter ini hanya terkait pada kelapangan dan kebesaran jiwa atas apa yang
diberikan oleh Allah Swt tanpa rasa mengeluh atau menderita selamanya.
l. Karakter syakir (yang bersyukur)
Karakter syakir (yang bersyukur) yaitu menampakkan nikmat Allah Swt yang
diberikan kepada-Nya. Syukur lisan artinya menampakkan dengan pujian dan
pengakuan, syukur hati artinya penyaksian dan merasa senang dan syukur badan
artinya tunduk dan patuh terhadap peerintah-Nya. Karakter syakir dilakukan dengan
tiga tahap:
1) Mengetahui nikmat dengan cara memasukkan dalam ingatan bahwa nikmat
yang diberikan oleh pemberi telah sampai pada penerima.
2) Menerima nikmat, dengan menampakkan pada pemberi bahwa ia sangat butuh
terhadap pemberian-Nya dan tidak minta berlebih
3) Memuji pemberiannya dengan cara membaca hamdalah, menggunakannya
sebaik mungkin seperti untik kepentingan dermawan dan kebaikan, serta
menceritakan pada orang lainagar ia mendapatkan nikmat seperti dirinya.
m. Karakter malu (al-hayai)
Karakter malu (al-hayai), yaitu pekekaan diri yang mendorong untuk
meninggalkan keburukan dan menunaikan kewajiban. Malu merupakan pertanda
bagi kehidupan qalbu seseorang. Karakter malu menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah
terbagi atas tiga tingkatan: pertama, malu yang timbul dari pengetahuan seseorang
akan hakikat dirinya, sehinga memotivasi dirinya untuk terus beribadah dan
mencela keburukannya; kedua, malu yang timbul dari kedekatan kepada-nya,
sehingga melahirkan kecintaan, kerinduan, dan membenci akan tergantungan
dengan makhluk; ketiga, malu yang ditimbulkan dari kesaksian akan kehadiran-nya.
n. Karakter Shadiq (yang jujur)
Karakter shadiq (yang jujur), yaitu kesesuaian antara yang diucapkan dengan
kejadian yang sesungguhnya, kesesuaian antara yang di hati dengan yang
ditampakkan, dan perkataan yang benar ketika berhadapan pada orang yang ditakuti
atau yang diharapkan. Ibn Qayyim membagi karakter shidiq dalam tiga tingkatan:
1) Jujur dalam tujuan (al-qashad) dengan menyempurnakan hasrat dan
menguatkan keinginan, agar hati termotivasi untuk selalu jujur dalam
menempuh jalan spiritual.
2) Jujur dengan tidak mengharap sesuatu kecuali hanya kebenaran, tidak
memerhatikan dirinya kecuali banyak kekurangan, dan tidak merasa senang
jika diberi keringanan (dispensasi)
3) Jujur dalam mengetahui kejujuran (ma’rifah al-shidiq), sebab hakikat jujur
hanya diperoleh ketika seseorang telah mengetahui kakikatnya jujur itu
sendiri. Hakikat jujur adalah bahwa ridha Allah Swt. Bersamaan dengan amal,
keyakinan, tujuan, dan kondisi seorang hamba.
o. Karakter mu’tsir (yang itsar)
Karakter mu’tsir (yang itsar),yaitu karakter yang mementingkan atau
mendahulukan kepentingan orang lain (altruism). Mendahulukan orang lain disini
bukan berkaitan dengan ibadah mahdah, tetapi berkaitan dengan mu’amalah.
Dalam soal ibadah, setiap hamba harus berloma ( istibaq al-khayrat) untuk
mencapai derajat yang tinggi dihadapan Allah, tetapi dalam soal mu’amalah,
mendahulukan kepentingan orang lain dari pada kepentingan pribadi merupakan
karakter yang baik.
p. Karakter mutawadhi ( yang tawadhu)
Karakter mutawadhi ( yang tawadhu), yaitu sikap qalbu yang tenang,
berwibawa, rendah hati, lemah lembut, tanpa disertai rasa jahat, congkak dan
sombong. Pengertian tersebut dikutip dari firman Allah: Dan hamba-hamba
Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan diatas bumi
dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka
mengucapkan kata-kata yang baik.
q. Karakter mu’ri (yang muru’ah)
Karakter mu’ri (yang muru’ah),yaitu karakter keperwiraan yang menjunjung
tinggi sifat-sifat kemanusiaan yang agung. Karakter mu’ri meliputi pengalaman
perilaku yang baik dan meninggalkan perilaku yang buruk dan menhindarkan diri
dari perbuatan hina dan rendah. Muru’ah lisan berbentuk perkataan yang baik,
lembut, dan menyenangkan. Muru’ah perilaku berbentuk sikap inklusifitas dalam
menghadapi orang yang disenangi atau orang yang dibenci. Muru’ah dalam
kekayaan berarti menggunakan kekayaan untuk kepentingan yang bermanfaat.
Muru’ah dalam kedudukan artinya menggunakan kedudukan itu secara
professional, sehingga mampu melayani orang yang membutuhkan. Muru’ah
dalam kebaikan (ihsan) berupa mendahulukan dan mempermudah orang lain.
Muru’ah dalam menghindar (al-tark) berupa menghindarkan diri dari permusuhan,
amarah, dan sombong.
r. Karakter muhibb (yang mahabbah)
Karakter muhibb (yang mahabbah),yaitu kelekatan jiwa individu pada individu
lainyang ditopang oleh perasaan saling memerhatikan, mempercayai dan
mendekat, sehingga keduanya ingin tetap bersatu, baik lahir maupun batin. Ketika
ingin mendefinisikan cinta, al-Ghazali mengaitkannya dengan dengan lawan kata,
yaitu benci (al-baghdh). Cinta adalah tedensi itu menguat maka disebut dengan
keasikan (isyq). Sedangkan benci adalah menghindarnya karakter dari segala
sesuatu yang menyakitkan dan mengesalkan. Jika rasa benci itu menguat maka
disebut maqt (sangat benci).
s. Karakter mukhbit
Karakter mukhbit,yaitu karakter yang memiliki kerendahan dan kelembutan
hati, merasa tenang dan khusyuk dihadapan Allah, dan tidak menganiaya pada
orang lain. Karakter mukhbit juga diartikan sebagai karakter yang kembali dan
mengabdi dengan kerendahan hati kepada Allah, merasa tenang jika berzikir
kepada-nya, tunduk dan dekat kepada-nya. Karakter mukhbit merupakan dasar
bagi terciptanya kondisi jiwa yang tenang, yakin, dan percaya kepada-nya.
t. Karakter muttaqi (yang taqwa
Karakter muttaqi (yang taqwa), yaitu takut terhadap murka atau siksaan Allah
Swt. Ibn Katsir ketika menafsirkan QS Al-Baqarah ayat 183, menyebutkan arti
taqwa dengan melemahkan daya-daya syahwat agar diri tidak berbuat maksiat.
Sedangkan Al-Qurthubi memaknainya dengan mempersempit diri untuk
menempuh jalan yang dilalui syetan.

Anda mungkin juga menyukai