Anda di halaman 1dari 30

Laporan Hasil Kelompok Hari : Kamis

MK. Teknologi Pengembangan Produk Tanggal : 4 Februari 2021


Pangan
PENGARUH PENGGUNAAN PEMANIS LEBIH
RENDAH ENERGI DALAM PEMBUATAN BISKUIT

Disusun oleh:
DIII Gizi Tingkat 2A Kelompok 8
Ayu Antasya P031913411007
Chory Alief Rusdi P031913411008
Djushandra Venni Maulinda P031913411012
Laily Syahirah P031913411018
Laras Safira P031913411019
Meldisa Rafitri P031913411020
Meutia Khansah P031913411022
Nadia Angela Wardana P031913411023
Sefira Rahayu Yunarsa S. P031913411035

Dosen pengampu:
Esthy Rahman Asih, S. TP, M. Sc
Sri Mulyani, S. TP, M. Si

JURUSAN GIZI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN RIAU
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penyusunan Laporan Akhir
Bahan Tambahan Pangan Pemanis (Sweetener) dengan judul Pengaruh
Penggunaan Pemanis Lebih Rendah Energi Dalam Pembuatan Biskuit ini dapat
terselesaikan dengan baik tanpa kendala. Maksud dan tujuan penyusunan ini
adalah untuk melengkapi tugas dalam mata kuliah Teknologi Pengembangan
Produk Pangan. Kami berharap semoga proposal ini membantu menambah
pengetahuan bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki diri untuk
dapat lebih baik.
Adapun penyusunan Laporan Akhir Pengaruh Penggunaan Pemanis Lebih
Rendah Energi Dalam Pembuatan Biskuit ini berdasarkan hasil yang dilakukan
dalam kelompok. Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan
ini masih banyak kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan,
untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi
kesempurnaan laporan ini.
Demikian kata pengantar ini kami buat, semoga dapat bermanfaat,
khususnya bagi diri pribadi kami sendiri dan pembaca pada umumnya. Akhir kata,
kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan laporan akhir ini.

Pekanbaru, 27 Januari 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iv
DAFTAR TABEL...................................................................................................v
DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................3
1.3 Tujuan Umum & Khusus.............................................................................4
1.3.1 Tujuan Umum....................................................................................4
1.3.2 Tujuan Khusus...................................................................................4
1.4 Manfaat.........................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................5
2.1 Bahan Tambahan Pangan.............................................................................5
2.2 Bahan Tambahan Pangan Pemanis...............................................................6
2.2.1 Pengertian Zat Pemanis......................................................................6
2.2.2 Jenis Zat Pemanis...............................................................................6
2.2.3 Tujuan dan Fungsi Penambahan Zat Pemanis Pada Pangan..............8
2.3 Biskuit..........................................................................................................9
2.3.1 Definisi Biskuit..................................................................................9
2.3.2 Bahan-bahan Pembuatan Biskuit.......................................................9
2.3.3 Proses Pembuatan Biskuit................................................................12
2.4 Batas Maksimal Penggunaan Pemanis Alami dan Pemanis Buatan untuk
Produk Pangan Biskuit.......................................................................................13
BAB III METODE PENELITIAN.....................................................................15
3.1 Alat dan Bahan...........................................................................................15
3.1.1 Alat...................................................................................................15
3.1.2 Bahan...............................................................................................15
3.2 Waktu dan Tempat.....................................................................................15

ii
3.3 Prosedur......................................................................................................16
3.3.1 Pembuatan Biskuit...........................................................................16
3.3.2 Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis..............................16
BAB IV PEMBAHASAN.....................................................................................17
BAB V PENUTUP................................................................................................18
5.1 Kesimpulan.................................................................................................18
5.2 Saran...........................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................19
LAMPIRAN..........................................................................................................22

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar. 1.1. Pemanis Daun Stevia..........................................................................6


Gambar. 1.2. Pemanis Madu....................................................................................6
Gambar 1.3. Gula Aren............................................................................................6
Gambar 1.4. Gula Jagung.........................................................................................6

iv
DAFTAR TABEL

Tabel. 1.1. Batas Maksimal Pemanis Alami pada Biskuit.......................................8


Tabel. 1.2. Batas Maksimal Pemanis Buatan pada Biskuit......................................8

v
DAFTAR LAMPIRAN

vi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk
pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air, baik
yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau
minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan
dan/atau pembuatan makanan atau minuman. (UU No. 18 tahun 2012 tentang
Pangan).
Sejak pertengahan abad ke-20 ini, peranan bahan tambahan pangan
semakin penting sejalan dengan kemajuan teknologi produksi bahan tambahan
pangan sintetis. Banyaknya bahan tambahan pangan dalam bentuk lebih murni
dan tersedia secara komersil dengan harga yang relatif murah akan mendorong
meningkatnya pemakaian bahan tambahan pangan yang berarti meningkatkan
konsumsi bahan tersebut bagi setiap individu.
Namun demikian perlu kita sadari bahwa sering kali makanan hasil buatan
industri rumah tangga mengandung bahan tambahan makanan yang berbahaya,
salah satunya adalah pemanis buatan yang dilarang ataupun pemanis buatan yang
diizinkan, tetapi dalam jumlah yang berlebihan. Dalam mengkonsumsi makanan
yang mengandung pemanis buatan dalam jumlah kadar yang berlebihan maka
akan menyebabkan keracunan (Yuliarti, 2007).
Pemanis merupakan zat yang dapat menimbulkan rasa manis atau dapat
membantu mempertajam penerimaan terhadap rasa manis terhadap suatu pangan,
tujuan penambahan pemanis pada pengolahan suatu pangan yaitu untuk
mempertajam rasa manis terhadap olahan pangan tersebut. Dalam Handayani dan
Agustina (2015), Pemanis merupakan senyawa kimia yang sering ditambahkan
dan digunakan untuk keperluan produk olahan pangan, industri, serta minuman
dan makanan kesehatan.

1
Bahan pemanis juga terdiri dari alami dan buatan (sintetis) bahan pemanis
alami adalah menurut peraturan Menteri Kesehatan tahun 2012 yaitu, Pemanis
alami (natural sweetener) adalah pemanis yang dapat ditemukan dalam bahan
alam meskipun prosesnya secara sintetik ataupun fermentasi, sedangkan pemanis
sintesis yaitu, pemanis sintetis (artificial sweetener) adalah pemanis yang diproses
secara kimiawi, dan senyawa tersebut tidak terdapat dialam.
Penggunaan bahan pemanis di dalam bahan makanan dan minuman sudah
dimulai sejak berabad-abad yang lalu. Bahan pemanis alami yang sangat umum
digunakan adalah gula pasir (sukrosa) dan gula jawa (glukosa dan fruktosa).
Selain pemanis alami, dikenal juga bahan pemanis buatan. Pemanis buatan adalah
bahan tambahan makanan yang dapat menyebabkan rasa manis pada makanan dan
tidak atau hampir tidak mempunyai nilai gizi. Bahan pemanis buatan yang sangat
dikenal masyarakat adalah sakarin dan siklamat.
Biskuit merupakan salah satu produk olahan pangan berbahan dasar
tepung terigu dan dalam proses pembuatannya ditambahkan dengan lemak atau
minyak. Salah satu bahan yang mempengaruhi besarnya energi pada biskuit
adalah bahan pemanis yang digunakan. Bahan pemanis yang sering digunakan
dalam pembuatan biskuit adalah sukrosa. Sukrosa yang ditambahkan dalam
pembuatan biskuit akan berdampak pada meningkatnya nilai kalori dari biskuit
(Aini, dkk., 2016). Konsumsi sukrosa yang terlalu tinggi dapat menyebabkan
tingginya kadar gula dalam tubuh sehingga dapat memicu penyakit degeneratif.
Oleh sebab itu, diperlukan pemanis yang lebih rendah kalori.
Pemanis Lebih Rendah Energi yang dijual secara komersial memiliki
komposisi yang terdiri dari pemanis alami sorbitol dan glikosida steviol, serta
pemanis buatan sukralosa (sebanyak 15mg/2.5g). Sorbitol merupakan gula
alkohol yang paling banyak digunakan sebagai pengganti sukrosa di Indonesia
(Soesilo, dkk. 2005). Sorbitol memiliki tingkat kemanisan lebih rendah jika
dibandingkan dengan sukrosa dan tidak menimbulkan efek toksik, sehingga aman
dikonsumsi manusia.
Beberapa penelitian telah menyebutkan bahwa steviosida mengandung
kalori yang rendah sampai dengan nol kalori (Thomas dan Glade, 2010). Stevia

2
memiliki beberapa keunggulan antara lain tingkat kemanisannya yang mencapai
300 kali kemanisan sukrosa (0.4% larutan) serta tingkat kalorinya yang rendah
sehingga aman dikonsumsi oleh penderita diabetes dan obesitas. Selain itu, stevia
juga bersifat non-karsinogenik (Limanto, 2017).
Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No. 4
tahun 2014 tentang batas maksimum penggunaan bahan tambahan pemanis buatan
yang diperbolehkan dengan Acceptable Daily Intake, pada penggunaan pemanis
buatan sukralosa memiliki ambang batas 0-15mg/kgBB. Dan dalam produk
komersial pemanis lebih rendah energi yang digunakan dalam pembuatan biskuit
memiliki kandungan sukralosa sebanyak 15mg/saji, dimana dalam 1 sachet sajian
memiliki berat bersih 2.5 g. Dalam Rianto, dkk. (2018) dikatakan bahwa,
Sukralosa memiliki tingkat kemanisan 600 kali lebih manis dari sukrosa. Sebuah
studi menunjukan bahwa sukralosa tidak menimbulkan efek rasa pahit seperti
pemanis buatan lainnya. Sukralosa sangat stabil pada temperatur yang panas dan
pH yang rendah. Sukralosa banyak digunakan untuk industri makanan dan
minuman karena kestabilannya tersebut.
Penggunaan pemanis lebih rendah energi sebagai subtitusi sukrosa dalam
pembuatan biskuit diharapkan dapat menjadi zat pemanis pangan yang
menurunkan nilai kalori biskuit. Pembuatan biskuit rendah energi ini dapat
dimanfaatkan untuk dikonsumsi oleh penderita diabetes, obesitas dan diet rendah
kalori. Klaim yang diberikan oleh produk komersial pemanis ini menunjukkan
bahwa dalam 1 sachet produk (2.5 g) mengandung kalori sebesar 5 kkal dan setara
dengan 10 g gula pasir (40 kkal).
Oleh karena itu, pada percobaan ini dilakukan 2 jenis perlakuan (subtitusi
dan kontrol), dimana perlakuan 1 sebagai kontrol menggunakan sukrosa 100%
dan perlakuan 2 menggunakan pemanis lebih rendah energi 25%. Uji yang
dilakukan untuk menentukan kualitas biskuit adalah uji organoleptik dengan
parameter aroma, rasa, warna, tekstur, dan keseluruhan dari biskuit.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian bahan tambahan pangan?

3
2. Apa yang dimaksud dengan bahan tambahan pangan pemanis?
3. Bagaimana pembuatan suatu produk pangan dengan penggunaan
bahan tambahan pangan pemanis?
4. Bagaimana batas maksimal penggunaan pemanis alami dan pemanis
buatan untuk produk pangan?

1.3 Tujuan Umum & Khusus


1.3.1 Tujuan Umum
Dapat memahami penggunaan bahan tambahan pangan

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Dapat memahami pengertian bahan tambahan pangan
2. Dapat memahami jenis, tujuan dan fungsi penambahan bahan
tambahan pangan pemanis
3. Dapat memahami batas maksimal penggunaan pemanis alami
dan pemanis buatan untuk suatu produk pangan
4. Mampu menghasilkan produk pangan dengan menggunakan
bahan tambahan pangan sesuai dengan batas maksimal yang
diizinkan

1.4 Manfaat
Dengan mengetahui penggunaan bahan tambahan pangan maka menyadari
pentingnya keamanan dari makanan atau minuman serta mampu menghasilkan
produk pangan dengan menggunakan bahan tambahan pangan sesuai dengan batas
maksimal yang diizinkan.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bahan Tambahan Pangan


Bahan tambahan pangan secara umum adalah bahan yang biasanya tidak
digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas
makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja
ditambahkan kedalam makanan untuk teknologi pada pembuatan, pengolahan
penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, dan penyimpanan (Cahyadi,
2006). Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan
Gizi Pangan pada Bab 1 pasal 1 menyebutkan, yang dimaksud dengan bahan
tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan kedalam makanan untuk
mempengaruhi sifat atau bentuk pangan atau produk pangan.
Tujuan penggunaan bahan tambahan pangan adalah untuk meningkatkan
atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat bahan pangan
lebih mudah dihidangkan, serta mempermudah preparasi bahan pangan. Bahan
tambahan pangan yang digunakan hanya dapat dibenarkan apabila dimaksudkan
untuk mencapai masing-masing tujuan penggunaan dalam pengolahan, tidak
digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau yang tidak
memenuhi persyaratan, tidak digunakan untuk menyembunyikan cara kerja yang
bertentangan dengan cara produksi yang baik untuk pangan, dan tidak digunakan
untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan (Cahyadi, 2009).
Pada umumnya bahan tambahan pangan dapat dibagi menjadi dua
golongan besar, yaitu bahan tambahan pangan yang ditambahkan dengan sengaja
kedalam makanan, dengan mengetahui komposisi bahan tersebut dan maksud
penambahan itu dapat mempertahankan kesegaran, cita rasa dan membantu
pengolahan, sebagai contoh pengawet, pewarna dan pengeras. Bahan tambahan
pangan yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu bahan yang tidak mempunyai
fungsi dalam makanan tersebut, terdapat secara tidak sengaja, baik dalam jumlah
sedikit atau cukup banyak akibat perlakuan selama proses produksi, pengolahan,
hingga pengemasan. Bahan ini dapat pula merupakan residu atau kontaminan dari

5
bahan yang sengaja ditambahkan untuk tujuan produksi bahan mentah atau
penanganannya yang masih terus terbawa kedalam makanan yang akan
dikonsumsi (Romayanti, 2010).

2.2 Bahan Tambahan Pangan Pemanis


2.2.1 Pengertian Zat Pemanis
Pemanis adalah senyawa kimia yang memiliki rasa manis dan sengaja di
tambahkan untuk keperluan pengolahan produk makanan, kebutuhan industri non
makanan, serta untuk pembuatan berbagai produk kesehatan. Dalam bidang
makanan, pemanis digunakan untuk memberikan cita rasa manis pada produk
pangan, mengawetkan bahan makanan, serta memperbaiki sifat-sifat fisik dan
kimia (Alsuhendra dan Ridawati, 2013).
Pemanis yang digunakan dapat berupa pemanis alami atau pemanis buatan
(sintetis). Pemanis alami banyak digunakan dalam pembuatan produk makanan
oleh industri skala kecil dan menengah. Sementara itu penggunaan pemanis
sintetis oleh industri makanan telah berkembang dengan pesat karena pemanis
sintetis dianggap memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan pemanis
alami, seperti lebih murah dan lebih hemat (Alsuhendra dan Ridawati, 2013).

2.2.2 Jenis Zat Pemanis


Dilihat dari sumber pemanis dapat dikelompokkan menjadi pemanis alami
dan pemanis buatan/sintesis (Cahyadi, 2006):
a. Pemanis Alami
Pemanis alami biasanya berasal dari tanaman. Tanaman penghasil pemanis
yang utama adalah tebu (Saccharum officanarum L.) dan bit (Beta
vulgaris L.) bahan pemanis yang dihasilkan dari kedua tanaman tersebut
sebagai gula alam atau sukrosa. Beberapa jenis gula dan berbagai produk
terkait: gula granulasi (gula pasir): kristal-kristal gula berukuran kecil
yang pada umum nya dijumpai dan digunakan dirumah, gula batu: gula
batu tidak semanis gula granulasi biasa, gula batu diperoleh dari kristal
bening berukuran besar berwarna putih atau kuning kecoklatan, gula batu

6
putih memiliki rekahan-rekahan kecil yang memantulkan cahaya, kristal
berwarna kuning kecoklatan mengandung berbagai caramel, gula ini
kurang manis karena adanya air dalam kristal. Rumus kimia sukrosa:
C12H22O11 merupakan suatu disakarida yang dibentuk dari monomer-
monomernya yang berupa unit glukosa dan fruktosa. Senyawa ini dikenal
sebagai sumber nutrisi serta dibentuk oleh tumbuhan, tidak oleh organisme
lain seperti tumbuhan. Sukrosa atau gula dapur diperoleh dari gula tebu
atau bit (Cahyadi, 2006). Contoh pemanis alami yaitu, madu, gula aren,
stevia, gula kelapa dan gula jagung.

Gambar 1.1. Pemanis Stevia Gambar 1.2. Pemanis Madu

Gambar 1.3. Gula Aren Gambar 1.4. Gula Jagung

b. Pemanis Buatan
Pemanis buatan (sintesis) merupakan bahan tambahan yang dapat
memberikan rasa manis dalam makanan, tetapi tidak memiliki nilai gizi.
Sekalipun penggunaannya diizinkan, pemanis buatan dan juga bahan
kimia lain sesuai peraturan penggunaannya harus dibatasi, meskipun
pemanis buatan tersebut aman dikonsumsi dalam kadar kecil, tetap saja

7
dalam batas-batas tertentu akan menimbulkan bahaya bagi kesehatan
manusia (Yuliarti, 2007). Di Indonesia masih banyak permasalahan terkait
dengan penggunaan pemanis buatan. Meski sudah ada ketentuan batas
maksimum yang diizinkan, penggunaan pemanis buatan masih sering
dilakukan melebihi batas maksimum yang diperbolehkan. Produk-produk
yang melanggar ketentuan ini umumnya dibuat oleh produsen/industri
rumah tangga yang belum mendapat pembinaan atau penyuluhan (BPOM,
2009).

2.2.3 Tujuan dan Fungsi Penambahan Zat Pemanis Pada Pangan


Penambahan pemanis pada makanan dan minuman merupakan
penampakan yang menarik untuk menggugah selera adalah alasan
ditambahkannya pemanis pada makanan dan minuman. Pada makanan dan
minuman misalnya, penambahan pemanis agar dapat menjaga tetap tahan lama
memiliki manis yang lebih stabil. Pemanis berfungsi untuk meningkatkan cita rasa
dan aroma, memperbaiki sifat-sifat fisik, sebagai pengawet dan untuk
memperbaiki sifat-sifat kimia sekaligus merupakan sumber kalori bagi tubuh.
(Rismana, 2002). Pemanis berfungsi untuk meningkatkan cita rasa dan aroma,
memperbaiki sifat-sifat fisik. Tujuan pemanis sebagai pengawet adalah
memperbaiki sifat-sifat kimia sekaligus merupakan sumber kalori bagi tubuh
(Eriawan R, & Imam P, 2002).
Secara umum, tujuan dari penambahan pemanis sintetis ke dalam bahan
makanan adalah untuk menurunkan biaya produksi karena pemanis sintetis selain
memiliki tingkat kemanisan yang lebih tinggi, harganya juga relatif murah
dibandingkan dengan pemanis alami, sebagai pemanis untuk golongan seperti
penderita diabetes mellitus karena tidak meningkatkan atau menyebabkan
tingginya kadar gula dalam darah, untuk tujuan diet khusus, terutama memenuhi
kebutuhan energi yang rendah, khususnya bagi penderita obesitas atau
kegemukan, untuk menghindari kerusakan gigi karena pemanis sintesis digunakan
dalam jumlah sedikit untuk mendapatkan rasa manis yang kuat, misalnya dalam
pembuatan permen (Alsuhendra dan Ridawati, 2013).

8
2.3 Biskuit
2.3.1 Definisi Biskuit
Menurut SNI 2973-2011, biskuit merupakan salah satu produk makanan
kering yang dibuat dengan cara memanggang adonan yang terbuat dari bahan
dasar tepung terigu atau substitusinya, minyak atau lemak dengan atau tanpa
penambahan bahan pangan lain yang diizinkan. Biskuit terbuat dari bahan dasar
tepung terigu yang ditambahkan dengan bahan-bahan tambahan lain, seperti gula,
telur, margarin, emulsifier, shortening, dan bahan citarasa. Biskuit mempunyai
kadar air kurang dari 5% sehingga membuat umur simpan biskuit lebih panjang,
terlindung dari kelembapan, dan menjadikan biskuit bahan pangan yang praktis
bagi masyarakat.
Biskuit dapat digolongkan menjadi beberapa macam berdasarkan tekstur
dari biskuit, metode pembentukan adonan, dan penambahan bahan. Biskuit dapat
dikelompokkan menjadi crackers, cookies, wafer, dan pie. Biskuit merupakan
makanan ringan yang memiliki standar mutu kadar air kurang dari 5% sehingga
bertekstur renyah.

2.3.2 Bahan-bahan Pembuatan Biskuit


a. Tepung terigu
Tepung terigu merupakan bahan dasar biskuit yang berfungsi untuk
membentuk adonan selama proses pencampuran, membentuk struktur
biskuit, mengikat bahan lainnya, dan memberikan cita rasa. Tepung terigu
yang biasa digunakan untuk pembuatan biskuit adalah tepung terigu
berprotein rendah, sehingga akan menghasilkan biskuit dengan tekstur
yang renyah dan lebih tipis. Tepung terigu protein rendah memiliki sifat
yang lebih mudah terdispersi dan berdaya serap air rendah sehingga
membutuhkan air yang lebih sedikit dalam pengolahan adonan. Protein
gluten yang ada didalam tepung terigu bersifat elastis, menggumpal, dan
akan mengembang pada saat terigu dibasahi dengan air. Sifat tersebut yang

9
akan menentukan kualitas dari produk biskuit yang dihasilkan. (Viani,
dkk., 2017)

b. Margarin
Lemak merupakan komponen penting dalam pembuatan biskuit. Jenis
lemak yang biasa digunakan untuk pembuatan biskuit dapat berasal dari
lemak hewani ataupun lemak nabati, namun dalam pembuatan biskuit ini
menggunakan margarin. Saat pengadonan, lemak akan mengelilingi
tepung terigu dan akan memutus ikatan gluten yang terbentuk didalamnya,
sehingga karakteristik hasil biskuit yang tidak keras. (Manley, 2001)

c. Susu skim
Penambahan susu pada pembuatan biskuit akan menghasilkan cita rasa
yang baik dan menambah nilai gizi biskuit. Susu yang ditambahkan akan
membentuk aroma, mengikat air, bahan pengisi, membentuk struktur yang
kuat akibat adanya protein berupa kasein (Sundari, 2011). Susu skim
memiliki aroma khas kuat dan sering digunakan pada pembuatan cookies.
Susu skim merupakan bagian susu yang mengandung protein paling tinggi
yaitu sebesar 36,4%. Susu skim berfungsi memberikan aroma,
memperbaiki tekstur dan warna pada pembuatan biskuit. Laktosa yang
terkandung di dalam susu skim merupakan disakarida pereduksi, yang jika
berkombinasi dengan protein melalui reaksi maillard dan adanya proses
pemanasan akan memberikan warna coklat menarik pada permukaan
biskuit setelah dipanggang. (Faridah, dkk., 2008)

d. Telur
Penambahan telur pada pembuatan biskuit berfungsi sebagai emulsifier
yang akan menghasilkan tekstur renyah pada biskuit. Salah satu emulsifier
yang biasa digunakan adalah kuning telur. Penambahan kuning telur
berfungsi dalam memperbaiki tekstur biskuit menjadi lebih empuk. Hal

10
tersebut dikarenakan adanya kandungan lesitin sebagai emulsifier sehingga
biskuit yang dihasilkan lebih renyah. (Hui, 1992)

e. Gula
Gula pada pembuatan biskuit berfungsi sebagai bahan pemanis yang dapat
menghasilkan cita rasa manis dan mempengaruhi tekstur biskuit. Selain
itu, penambahan gula juga dapat menghaluskan tekstur serta membuat
warna biskuit menjadi warna coklat yang menarik. Warna coklat yang
terbentuk pada biskuit dihasilkan akibat adanya reaksi antara karbohidrat
dan protein yang terdapat pada bahan. (Viani, dkk., 2017)

f. Baking powder
Baking powder sebagai leaving agent (bahan pengembang) dipakai secara
luas dalam produksi kue kering. Baking powder merupakan bahan
pengembang hasil reaksi asam dengan natrium bikarbonat (Ainurrohma,
2017). Baking powder (Na2CO3) merupakan senyawa yang berperan dalam
melepaskan gas CO2 agar adonan dapat mengembang dengan sempurna,
menjaga penyusutan, dan untuk menyeragamkan remah (crumb). Baking
powder juga berperan dalam mengatur aroma, membentuk volume, dan
mengontrol penyebaran sehingga produk yang dihasilkan menjadi ringan.
Selain itu, semakin banyak penambahan baking powder akan membuat
kadar air biskuit semakin menurun. (Setyowati dan Fithri, 2014)

g. Vanili
Flavor dan aroma unik vanili berasal dari senyawa fenolik vanilin serta
dari senyawa lainnya. Vanili yang merupakan komponen utama senyawa
aromatik volatil dari buah vanili, salah satu flavoring agent yang
penggunaannya cukup luas. Vanili hanya dapat memberikan aroma.
Penggunaan vanili dengan konsentrasi yang tinggi dapat menimbulkan
rasa pahit pada makanan. (Ainurrohma, 2017)

11
h. Garam
Garam (NaCl) yang ditambahkan ke dalam adonan biskuit berfungsi untuk
menguatkan flavor biskuit dan mempengaruhi warna serta tingkat
keremahan biskuit yang dihasilkan. Jumlah garam yang ditambahkan
kedalam adonan umumnya sebanyak 1%-2,5% dari berat tepung terigu.
(Matz, 1992)

2.3.3 Proses Pembuatan Biskuit


Prinsip pembuatan biskuit dan pembentukan kerangka biskuit dibagi
menjadi 3 tahap yaitu pembuatan adonan, pencetakan dan pemanggangan.
Pembentukan kerangka biskuit diawali pada pembuatan adonan. Selama
pencampuran terjadi penyerapan air oleh protein terigu sehingga terbentuk gluten
yang akan membentuk struktur biskuit sampai terbentuk adonan yang homogen,
tahapan yang kedua pencetakan dan terakhir adalah pemanggangan. (Pertiwi,
2006)
Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pencampuran adalah jumlah
adonan, lama pencampuran, dan kecepatan pengadukan. Pengadukan yang
berlebihan akan merusak susunan gluten dan membuat adonan rusak serta
menyebabkan retak pada permukaan biskuit saat pemanggangan. Sebaliknya jika
waktu pengadukan kurang maka adonan akan kurang menyerap air sehingga
adonan kurang elastis. Ukuran biskuit yang dicetak haruslah sama, agar ketika
dioven biskuit matang secara merata dan tidak hangus. Untuk mencegah
lengketnya biskuit pada loyang, biasanya pada dioleskan sedikit lemak atau
dilapisi dengan kertas roti. (Asmoro, 2013)
Pada tahap awal pemanggangan terjadi kenaikan suhu yang menyebabkan
melelehnya lemak sehingga konsistensi adonan menurun dan adonan biskuit
mengalami penyebaran ditandai dengan perubahan diameter dan ketebalan biskuit.
Ketika suhu mendekati titik didih air, protein dalam susu dan telur terkoagulasi
dan diikuti gelatinisasi pati sebagian karena kandungan airnya yang rendah. Pada
saat suhu didih air tercapai pembentukan uap air meningkat diikuti kenaikan

12
volume biskuit. Pemantapan struktur biskuit diakhiri dengan gelatinisasi pati,
koagulasi protein dan penurunan kadar air. (Indiyah, 1992)

2.4 Batas Maksimal Penggunaan Pemanis Alami dan Pemanis Buatan


untuk Produk Pangan Biskuit
Penggunaan pemanis alami dan pemanis buatan pada produk pangan diatur
dalam Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 11 Tahun 2019
Tentang Bahan Tambahan Pangan. Batas maksimal penggunaan pemanis tersebut
tergantung pada jenis produk pangan yang akan dibuat. Pada pembuatan biskuit,
batas maksimal bahan tambahan pangan pemanis alami terdapat pada Tabel 1.1
dan pemanis buatan ditunjukkan pada Tabel 1.2.

Tabel 1.1. Batas Maksimal Pemanis Alami pada Biskuit (BPOM, 2019)
No Batas Maksimal
Jenis BTP Pemanis Alami
. (mg/kg produk)
1. Sorbitol (sorbitol) dan Sorbitol sirup
(sorbitol syrup)
2. Manitol (mannitol)
3. Isomalt/isomaltitol
(isomalt/isomaltitol)
CPPB
4. Thaumatin (thaumatin)
(Cara Produksi Pangan
5. Glikosida steviol (Steviol glycosides)
yang Baik)
6. Maltitol (maltitol) dan Maltitol sirup
(Maltitol syrup)
7. Laktitol (lactitol)
8. Silitol (xylitol)
9. Eritritol (erythritol)

Tabel. 1.2. Batas Maksimal Pemanis Buatan pada Biskuit (BPOM, 2019)
No Batas Maksimal
Jenis BTP Pemanis Buatan
. (mg/kg produk)
1. Asesulfam-K (Acesulfame potassium) 500
2. Aspartam (aspartame) -
3. Asam siklamat (cyclamic acid);
kalsium siklamat (calcium cyclamate);
600
dan natrium siklamat (sodium
cyclamate)
4. Sakarin (saccharin); kalsium sakarin 170

13
(calcium saccharin); kalium sakarin
(potassium saccharin); dan natrium
sakarin (sodium saccharin)
5. Sukralosa (sucralose atau
700
trichlorogalactosucrose)
6. Neotam (neotame) -

14
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
- Neraca analitik
- Mixer
- Cetakan biskuit
- Loyang
- Oven

3.1.2 Bahan
- Margarin
- Susu skim
- Telur
- Gula
- Pemanis lebih rendah energi
- Tepung terigu
- Baking powder
- Vanili
- Garam

3.2 Waktu dan Tempat


Hari/Tanggal : Selasa, 2 Februari 2021
Waktu : 09.00 – selesai
Tempat : Rumah

15
3.3 Prosedur
3.3.1 Pembuatan Biskuit

Campurkan margarin, susu skim, kuning telur, gula/pemanis lebih


rendah energi, lalu mixer selama kurang lebih 10 menit hingga homogen

Setelah homogen, tambahkan tepung terigu beserta baking


powder, vanili, dan garam

Kemudian lakukan pencampuran dengan diaduk manual


hingga adonan menjadi rata dan kalis

Setelah adonan kalis, cetak menggunakan cetakan biskuit

Adonan yang telah dicetak, dipanggang menggunakan oven


dengan suhu 160-170oC selama 15-20 menit

3.3.2 Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis


Konsentrasi penggunaan pemanis lebih rendah energi yang mengandung sorbitol,
glikosida steviol, dan sukralosa sebagai subtitusi sukrosa dilakukan sebesar 25%.
Dengan uji kontrol menggunakan sukrosa (gula) sebanyak 100%. Hal ini
didasarkan pada klaim produk komersial pemanis lebih rendah energi yang
mengatakan bahwa 2.5 g produk setara dengan 10 g gula. Selanjutnya dilakukan
uji organoleptik dengan melihat aroma, rasa, warna, tekstur, dan keseluruhan dari
biskuit untuk menentukan kualitas biskuit yang lebih baik.

16
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Bahan Tambahan pangan
Bahan tambahan pangan yang digunakan adalah pemanis alami (gula) dan
bahan pemanis yang rendah energi yang mengandung sorbitol dan glikosida
steviol ( Tropicana slim).

4.2. Karakteristik Biskuit


Karakteristik biskuit ada 2 yaitu , karakteristik biskuit yang menggunakan
gula bertekstur lembut, sehingga panelis lebih menyukai tekstur biskuit yang
diberikan gula. Karakteristik biskuit yang diberikan pemanis rendah energi yang
mengandung sorbitol dan glikosida steviol bertekstur keras dan kurang menyatu,
pada saat berada di suhu tinggi(oven) tidak mengalami pengembangan yang
sempurna. Pada pemanis rendah energi yang diberikan untuk biskuit terdapat
sorbitol, sorbitol merupakan gula alkohol tidak mempunyai gugus karbonil dalam
rantainya sehingga membuat gula alkohol kurang reaktif secara kimiawi daripada
gula yang mempunyai ikatan aldosa dan ketosa.

4.3. Warna
Pada praktek pembuatan biskuit menggunakan bahan tambahan pemanis
ini kami melakukannya dengan 2 kali perlakuan. Dimana pada perlakuan 1 kami
menggunakan gula alami dan pada perlakukan 2 menggunakan pemanis yang
rendah energi yang mengandung sorbitol dan glikosida steviol ( Tropicana slim).
Warna yang dihasilkan pada biskuit yang diberikan gula lebih berwarna
agak pucat, sedangkan biskuit yang diberikan pemanis rendah energi yang
mengandung sorbitol dan glikosida steviol berwarna kekuningan dan agak cerah.
Gula yang terdapat pada biskuit jika dipanaskan hingga suhu 300F atau 149C,
gula mengalami Maillard yakni reaksi yang terjadi antara asam amino, protein,
dan penyusutan gula. Reaksi ini menghasilkan warna kecokelatan, yang
membentuk pinggiran renyah pada hasil biskuit.

17
4.4. Tekstur
Pada paramater tekstur, subtitusi penggunaan pemanis yang rendah energi
yang mengandung sorbitol dan glikosida steviol ( Tropicana slim),
memberikan pengaruh terhadap tingkat kesukaan panelis. Dimana rata-rata
penelis lebih menyukai tekstur biskuit yang menggunakan pemanis alami
daripada pemanis yang rendah energi. Dikarenakan pada biskuit yang
menggunakan pemanis alami dihasilkan tekstur yang lembut dan renyah.
Berbeda pada biskuit yang menggunakan pamanis rendah energi, yang
tekstur nya agak keras dan kurang menyatu. Hal tersebut dikarenakan adanya
kandungan sorbitol didalam pemanis rendah energi yang digunakan. Sorbitol
merupakan pemanis yang bersifat sangat higroskopis dan memiliki
kemampuan mengikat air bebas. Semakin tinggi penambahan sorbitol, maka
semakin banyak air bebas yang ditahan (Zubaidah, 2002). Sehingga semakin
banyak air yang terikat pada suatu bahan pangan, akan memberikan tekstur
yang kurang renyah/agak keras pada biskuit.
4.5. Aroma
Pada parameter aroma, subtitusi penggunaan pemanis rendah energi tidak
memberikan pengaruh terhadap tingkat kesukaan panelis. Hal ini disebabkan
karena sorbitol memiliki aroma yang netral (SNI, 1996), sehingga dalam
pembuatan produk biskuit tersebut, menghasilkan aroma yang tidak terlalu
khas.

18
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

5.2 Saran

19
DAFTAR PUSTAKA

- Aini, F. Y., Affandi, D. R., dan Basito. (2016). Kajian Penggunaan Pemanis
Sorbitol Sebagai Pengganti Sukrosa Terhadap Karakteristik Fisik Dan Kimia
Biskuit Berbasis Tepung Jagung (Zea mays) Dan Tepung Kacang Merah
(Phaseoulus vulgaris L.). Jurnal Teknologi Hasil Pertanian, Vol. IX, No. 2,
Agustus 2016.
- Ainurrohma, D. (2017). Pengaruh Penambahan Tepung Cangkang Kerang
Hijau (Perna Viridis) Terhadap Karakteristik Cookies Kaya Kalsium. Sarjana
thesis, Universitas Brawijaya.
- Alsuhendra., dan Ridawati. (2013). Bahan Toksik Dalam Makanan. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
- Asmoro, L. C. (2013). Karakteristik Organoleptik Biskuit Dengan
Penambahan Tepung Ikan Teri Nasi (Stolephorus spp.). Sarjana thesis,
Universitas Brawijaya.
- BPOM. 2008. Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis
Buatan dalam Produk Pangan. Pusat Pengujian Obat dan Makanan Badan
Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta.
- Badan Pengawas Makanan Dan Obat. (2019). Bahan Tambahan Pangan.
Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 11 Tahun 2019
Tentang Bahan Tambahan Pangan.
- Cahyadi, W. (2009). Analisis & Aspek Kesehatan Bahan Tambahan
Makanan: Edisi Ke-2. Bandung: Bumi Aksara.
- Cahyadi, W. (2006). Bahan Tambahan Pangan. Jakarta: Bumi Aksara.
- Chatsudthipong, C & C Muanprasat (2009) Stevioside and related
compounds: therapeutic
- benefits beyond sweetness. Pharmacology & Therapeutics,121: 41–54.
- Eriawan, R., dan Imam, P. (2002). Analisa Dan Aspek Kesehatan Bahan
Tambahan Pangan. Jakarta: Bumi Aksara
- Faridah, A., Kasmita, S. P., Yulastri, Y., dan Yusuf, L. (2008). Patiseri: Jilid
3. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan.

20
- Handayani, T., dan Agustina, A. (2015). Penetapan Kadar Pemanis Buatan
(Na-Siklamat) Pada Minuman Serbuk Instan Dengan Metode Alkalimetri.
Jurnal Farmasi Sains dan Praktis, Vol. 1, No. 1, September 2015.
- Hui, Y. H. (1992). Dictionary of Food Science and Technology. New York:
Wiley And Sons Inc.
- Indiyah, S. U. (1992). Bahan Ajaran Pengolahan Roti. PAU Pangan dan Gizi.
Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
- Limanto, A. (2017). Stevia, Pemanis Pengganti Gula Dari Tanaman Stevia
Rebaudiana. J. Kedokt Meditek, Volumae 23, No. 61 Jan-Maret 2017.
- Manley, D. (2001). Biscuit, Cracker and Cookie Recipes for The Industry.
England: Woodhead Publishing Ltd.
- Matz. (1992). Cookies and Creackers Technology. 2rd ed. The AVI Pub. Co.
Inc. Westport. Conecticut.
- Pertiwi, D. (2006). Pengaruh Perbandingan Tepung Kacang Koro dan
Tepung Terigu Dengan Pemanggangan Terhadap Karakteristik Biskuit
Kacang Koro. Tugas Akhir. Jurusan Teknologi Pangan. Fakultas Teknik,
Universitas Pasundan.
- Rianto, J., Handoko, W., dan Novianry, V. (2018). Pengaruh Konsumsi
Produk yang Mengandung Pemanis Buatan Rendah Kalori terhadap Kadar
Glukosa Darah Puasa dan Gangguan Toleransi Glukosa pada Tikus Galur
Wistar. Jurnal Kesehatan Khatulistiwa, Volume 4, Nomor 1, Januari 2018.
- Romayanti, S. (2010). Analisa Jenis dan Kadar Pemanis Buatan pada
Permen Karet yang Beredar Di Kota Medan. Fakultas Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Universitas Sumatera Utara, Medan.
- Setyowati, W.T., dan Fithri, C. N. (2014). Formulasi Biskuit Tinggi Serat
(Kajian Proporsi Bekatul Jagung: Tepung Terigu Dan Penambahan Baking
Powder). Jurnal Pangan dan Agroindustri, Vol. 2, No. (3): 224 –231.
- SNI (Standarisasi Nasional Indonesia) 01-2973-2011 tentang Biskuit. (2011).
Jakarta: Dewan Standarisasi Nasional.

21
- Soesilo, D., dkk. (2005). Peranan Sorbitol dalam Mempertahankan
Kestabilan pH Saliva pada Proses Pencegahan Karies. Maj. Ked. Gigi.
(Dent. J.) 38 (1): 25-28.
- Sundari, T. (2011). Formulasi Biskuit Dengan Tepung Komposit Berbasis
Labu Kuning (Cucurbita Moschata) Sebagai Alternatif Makanan
Pendamping ASI. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
- Thomas, E. J., dan Glade, J. M. (2010). Stevia: It’s Not Just About Calories.
The Open Obesity Journal, No.2, Hal 101-109. USA: Montclair State
University.
- Viani, D. H., Nurwantoro., dan Baarri, A. N. A. (2017). Karakteristik Fisik
Dan Mutu Hedonik Biskuit Hasil Substitusi Tepung Terigu Dengan Tepung
Pati Koro Pedang. Undergraduate thesis, Fakultas Peternakan dan Pertanian
UNDIP.
- Yadav, SK & P Guleria (2012) Steviol glycoside from stevia: biosynthesis
pathway review and their application in food and medicine. Critical Rev Food
Sci Nutrition, 52: 988998.
- Yuliarti, N. (2007). Awas! Bahaya Di Balik Lezatnya Makanan. Yogyakarta:
Penerbit Andi.

22
LAMPIRAN

23

Anda mungkin juga menyukai