Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN

DIAGNOSA RESPIRATORY FAILURE

OLEH :

NI KADEK DWI NITA PURNAMAYANTI 17.321.2728

NI KETUT NOPIA ANTARI 17.321.2731

NI LUH AYU LISTYAWATI 17.321.2735

NI LUH DESY PURWANINGSIH 17.321.2737

NI LUH JULIANTARI 17.321.2740

NI LUH PUTU WIDHI ASTITI RAHAYU 17.321.2742

NI PUTU HEPINA TRESNAYANTI 17.321.2749

NI WAYAN AYU FEBRIYANI 17.321.2753

PUTU KOLA INDRIANI 17.321.2760

A11-B

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI

TAHUN 2020
Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Dengan Diagnosa Respiratory
Failure

I. Konsep Dasar Penyakit


A. Definisi
Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk
mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon
dioksida (PaCO2) dan pH yang adekuat disebabkan oleh masalah
ventilasi difusi atau perfusi (Susan, 2007). Gagal nafas adalah
ketidakmampuan tubuh dalam mempertahankan tekanan parsial
normal O2 dan atau CO2 didalam darah. Gagal nafas adalah suatu
kegawatan yang disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigen dan
karbondioksida, sehingga sistem pernafasan tidak mampu memenuhi
metabolisme tubuh. Gagal nafas adalah suatu kegawatan yang
disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigen dan karbondioksida,
sehingga sistem pernafasan tidak mampu memenuhi metabolisme
tubuh. Kegagalan pernafasan adalah pertukaran gas yang tidak adekuat
sehingga terjadi hipoksia, hiperkapnia (peningkatan konsentrasi karbon
dioksida arteri), dan asidosis. Ventilator adalah suatu alat yang
digunakan untuk membantu sebagian atau seluruh proses ventilasi
untuk mempetahankan oksigenasi.
Gagal nafas adalah kegagalan sistem pernafasan untuk
mempertahankan pertukaran oksigen dan karbondioksida yang dapat
mengakibatkan gangguan pada kehidupan (RS Jantung “Harapan
Kita”, 2009). Gagal napas merupakan kondisi di mana kadar oksigen
yang masuk ke dalam darah melalui paru sangat rendah. Sementara itu,
untuk bekerja dengan baik, organ tubuh seperti jantung dan otak
memerlukan darah yang kaya oksigen. Tak hanya itu, gagal napas juga
terjadi lantaran kadar karbon dioksida dalam darah lebih tinggi dari
pada kadar oksigen. Gagal napas terjadi karena adanya kegagalan
dalam proses pertukaran oksigen dan karbon dioksida di kantung-
kantung udara kecil di paru-paru (alveoli), atau ketidakmampuan paru-
paru untuk melakukan tugas dalam proses pertukaran gas. Pertukaran
gas yang dimaksud adalah mengirim oksigen dari udara yang dihirup
ke dalam darah dan menyingkirkan karbon dioksida dari darah ketika
mengembuskan napas. Gagal napas juga dapat disebabkan oleh
gangguan pada pusat pernapasan di otak, atau pun kegagalan otot-otot
pernapasan untuk mengembangkan paru-paru.
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap
karbondioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju
komsumsi oksigen dan pembentukan karbon dioksida dalam sel-sel
tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50
mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih
besar dari 45 mmHg (hiperkapnia) (Brunner & Sudarth, 2010).

B. Klasifikasi
1. Gagal nafas akut
Gagal nafas yang timbul pada pasien yang paru-parunya normal
secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit
timbul. 
2. Gagal nafas kronis
Terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti bronkitis
kronik, emfisema dan penyakit paru hitam.

C. Etiologi
1. Kelainan di luar paru-paru
a. Penekanan pusat pernapasan
1) Takar lajak obat (sedative, narkotik)
2) Trauma atau infark selebral
3) Poliomyelitis bulbar
4) Ensefalitis
b. Kelainan neuromuscular
1) Trauma medulaspinalis servikalis
2) Sindroma guilainbar
3) Sklerosis amiotropik lateral
4) Miastenia gravis
5) Distrofi otot
c. Kelainan Pleura dan Dinding Dada
1) Cedera dada (fraktur iga multiple)
2) Pneumotoraks tension
3) Efusi Pleura
4) Kifoskoliosis (paru-paru abnormal)
5) Obesitas: sindrom Pickwick
6) Kelainan Intrinsic Paru-Paru
d. Kelainan Obstruksi Difus
1) Emfisema, Bronchitis Kronis (PPOM)
2) Asma, Status asmatikus
3) Fibrosis kistik
e. Kelainan Restriktif Difus
1) Fibrosis interstisial akibat berbagai penyebab (seperti silica,
debu batu barah)
2) Sarkoidosis
3) Scleroderma
4) Edema paru-paru
5) Kardiogenik
6) Nonkardiogenik (ARDS)
7) Atelektasis
8) Pneumoni yang terkonsolidasi
f. Kelainan Vaskuler Paru-Paru
1) Emboli paru-paru
D. Manifestasi Klinis
1. Manifestasi klinis dari gagal nafas sebagai berikut :
a. Gagal nafas total
b. Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat didengar/dirasakan
c. Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikula dan
sela iga serta tidak ada pengembangan dada pada inspirasi
d.  Adanya kesulitan inflasi paru dalam usaha memberikan
ventilasi buatan
e. Gagal nafas parsial
f. Terdenganr suara nafas tambahan gurgling, snoring, dan
wheezing
g. Ada retraksi dada
h. Hiperkapnia, yaitu penurunan kesadaran (PCO2)
i. Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis
(PO2 menurun)

E. Patofisiologi
Indikator gagal nafas adalah frekuensi pernafasan dan kapasitas
vital, frekuensi penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari
20x/mnt tindakan yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena
“kerja pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan.
Kapasitas vital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).
Penyebab terpenting dari gagal nafas adalah ventilasi yang tidak
adekuat dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan
yang mengendalikan pernapasan terletak di bawah batang otak (pons
dan medulla). Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepala, stroke,
tumor otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia
mempunyai kemampuan menekan pusat pernafasan. Sehingga
pernafasan menjadi lambat dan dangkal. Pada periode postoperatif
dengan anestesi bisa terjadi pernafasan tidak adekuat karena terdapat
agen menekan pernafasan dengan efek yang dikeluarkan atau dengan
meningkatkan efek dari analgetik opiod. Penemonia atau dengan
penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas akut.
Sumber : ((harsono, 1996)

PATHWAY

- Trauma
- depresi system saraf pusat
- penyakit akut paru
- kelainan neurologis
- efusi pleura,hemotokrat dan pneumotorka

Gg saraf pernafasan dan otot pernafasan

↑ permeabilitas membrane alveolan kafiler

Gg evitalium slveolar gg endothalium


↓ kapiler

Hipervolemia Odema paru→ ↓


↓ cairan masuk ke intertisial
↓comlain paru ↓
↓ ↑ tahanan jalan nafas
↓ cairan surfaktan ↓
↓ kehilangan fungsi siliasal pernafsan
Gg pengembangan paru ↓
Kolap alveoli bersihan jalan nafas tidak efektif
↓ ekspansi paru tidak efektif

Ventilasi dan perfusi


pola nafas tidak efektif
Tidak seimbang

Terjadi hipoksemia/hiperkapnia gg pertukaran gas


Resiko Cedera
↓O2 dan CO2→ Hipoksia ke otak → Penurunan tingkat kesadaran →
F. Komplikasi
1. Paru: emboli paru, fibrosis dan komplikasi sekunder penggunaan
ventilator (seperti, emfisema kutis dan pneumothoraks).
2. Jantung: cor pulmonale, hipotensi, penurunan kardiak output,
aritmia, perikarditis dan infark miokard akut.
3. Gastrointestinal: perdarahan, distensi lambung, ileus paralitik ,
diare dan pneumoperitoneum. Stress ulcer sering timbul pada gagal
napas.
4. Polisitemia (dikarenakan hipoksemia yang lama sehingga sumsum
tulang memproduksi eritrosit, dan terjadilah peningkatan eritrosit
yang usianya kurang dari normal).
5. Infeksi nosokomial: pneumonia, infeksi saluran kemih, sepsis.
6. Ginjal: gagal ginjal akut dan ketidaknormalan elektrolit asam basa.
7. Nutrisi: malnutrisi dan komplikasi yang berhubungan dengan
pemberian nutrisi enteral dan parenteral (Alvin Kosasih, 2008).

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Analisis gas darah (pH meningkat, HCO 3- meningkat, PaCO2
meningkat, PaO2 menurun) dan kadar elektrolit (kalium).
b. Pemeriksaan darah lengkap : anemia bisa menyebabkan
hipoksia jaringan, polisitemia bisa trejadi bila hipoksia tidak
diobati dengan cepat.
c. Fungsi ginjal dan hati: untuk mencari etiologi atau identifikasi
komplikasi yang berhubungan dengan gagal napas.
d. Serum kreatininin kinase dan troponin1: untuk menyingkirkan
infark miokard akut.
2. Radiologi:
a. Rontgen toraks membantu mengidentifikasi kemungkinan
penyebab gagal nafas seperti atelektasis dan pneumoni.
b. EKG dan Ekokardiografi : Jika gagal napas akut disebabkan
oleh cardiac.
c. Uji faal paru : sangat berguna untuk evaluasi gagal napas
kronik (volume tidal < 500ml, FVC (kapasitas vital paksa)
menurun,ventilasi semenit (Ve) menurun (Lewis, 2011).

H. Penatalaksanaan Medis
1. Pemberian O2 yang adekuat dengan meningkatkan fraksi O2 akan
memperbaiki PaO2, sampai sekitar  60-80 mmHg cukup untuk
oksigenasi jaringan dan pecegahan hipertensi pulmonal akibat
hipoksemia yang terjadi. Pemberian FiO2<40% menggunakan
kanul nasal atau masker. Pemberian O2 yang berlebihan akan
memperberat keadaan hiperkapnia.Menurunkan kebutuhan oksigen
dengan memperbaiki dan mengobati febris, agitasi, infeksi, sepsis
dll usahakan Hb sekitar 10-12g/dl.
2. Dapat digunakan tekanan positif  seperti CPAP, BiPAP, dan PEEP.
Perbaiki elektrolit, balance pH, barotrauma, infeksi dan
komplikasi iatrogenik. Ganguan pH dikoreksi pada hiperkapnia
akut dengan asidosis, perbaiki ventilasi alveolar dengan
memberikan bantuan ventilasi mekanis, memasang dan
mempertahankan jalan nafas yang adekuat, mengatasi
bronkospasme dan mengontrol gagal jantung, demam dan sepsis.
3. Atasi atau cegah terjadinya atelektasis, overload cairan,
bronkospasme, sekret trakeobronkial yang meningkat, dan infeksi.
4. Kortikosteroid jangan digunakan secara rutin. Kortikosteroid
Metilpretmisolon bisa digunakan bersamaan dengan bronkodilator
ketika terjadi bronkospasme dan inflamasi. Ketika penggunaan IV
kortikoteroid mempunyai  reaksi onset cepat. Kortikosteroid
dengan inhalasi memerlukan 4-5 hari untuk efek optimal terapy
dan tidak digunakan untuk gagal napas akut. Hal yang perlu
diperhatikan dalam penggunaan IV kortikosteroid, Monitor tingkat
kalium yang memperburuk hipokalemia yang disebabkan diuretik.
Penggunaan jangka panjang menyebabkan insufisiensi adrenalin.
5. Perubahan posisi dari posisi tiduran menjadi posisi tegak
meningkatkan volume paru yang ekuivalan dengan 5-12 cm H 2O
PEEP.
6. Drainase sekret trakeobronkial yang kental dilakukan dengan
pemberian mukolitik, hidrasi cukup, humidifikasi udara yang
dihirup, perkusi, vibrasi dada dan latihan batuk yang efektif.
7. Pemberian antibiotika untuk mengatasi infeksi.
8. Bronkodilator diberikan apabila timbul bronkospasme.
9. Penggunaan intubasi dan ventilator apabila terjadi asidemia,
hipoksemia dan disfungsi sirkulasi yang prospektif (Lewis, 2011).
II. Konsep Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Airway
a. Peningkatan sekresi pernapasan
b. Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi
2. Breathing
a. Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung,
takipneu/bradipneu, retraksi.
b. Menggunakan otot aksesori pernapasan
c. Kesulitan bernafas : lapar udara, diaforesis, sianosis
3. Circulation
a. Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia
b. Sakit kepala
c. Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental,
mengantuk
4. Papiledema
Penurunan haluaran urine

B. Pemeriksaan fisik
1. System pernafasaan
a. Inpeksi : kembang kembis dada dan jalan nafasnya
b. Palpasi : simetris tidaknya dada saat paru ekspansi dan
pernafasaan tertinggal
c. Perkusi : suara nafas ( sonor, hipersonor atau pekak)
d. Auskultasi : suara abnormal (wheezing dan ronchi)
2. System Kardiovaskuler
a. Inspeksi : adakah perdarahan aktif atau pasif yang keluar dari
daerah trauma
b. Palpasi : bagaimana mengenai kulit, suhu daerah akral
c. Auskultasi : suara detak jantung menjauh atau menurun dan
adakah denyut jantung paradok
3. System neurologi
a. Inpeksi : gelisah atau tidak gelisah, adakah jejas di kepala
b. Palpasi : kelumpuhan atau laterarisasi pada anggota gerak.
C. Pemeriksaan sekunder
1. Aktifitas
Gejala : kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, pola hidup
menetap.
Tanda : takikardi, dispnea pada istirahat atau aktifitas
2. Sirkulasi
Gejala : riwayat IMA sebelumnya, penyakit arteri koroner,
masalah tekanan darah, diabetes mellitus, gagal nafas.
Tanda : tekanan darah dapat normal / naik / turun, perubahan
postural dicatat dari tidur sampai duduk atau berdiri, nadi dapat
normal , penuh atau tidak kuat atau lemah / kuat kualitasnya
dengan pengisian kapiler lambat, tidak teratus (disritmia), bunyi
jantung ekstra S3 atau S4 mungkin menunjukkan gagal jantung
atau penurunan kontraktilits atau komplain ventrikel, bila ada
menunjukkan gagal katup atau disfungsi otot jantung, irama
jantung dapat teratur atau tidak teratur, edema, pucat atau sianosis,
kuku datar , pada membran mukossa atau bibir.
3. Eliminasi
Tanda : bunyi usus menurun.
4. Integritas ego
Gejala : menyangkal gejala penting atau adanya kondisi takut mati,
perasaan ajal sudah dekat, marah pada penyakit atau perawatan,
khawatir tentang keuangan , kerja , keluarga.
Tanda : menoleh, menyangkal, cemas, kurang kontak mata,
gelisah, marah, perilaku menyerang, focus pada diri sendiri, koma
nyeri.
5. Makanan atau cairan
Gejala : mual, anoreksia, bersendawa, nyeri ulu hati atau terbakar\
Tanda : penurunan turgor kulit, kulit kering, berkeringat, muntah,
perubahan berat badan
6. Hygiene
Gejala atau tanda : kesulitan melakukan tugas perawatan
7. Neurosensori
Gejala : pusing, berdenyut selama tidur atau saat bangun (duduk
atau istrahat
Tanda : perubahan mental, kelemahan
8. Nyeri atau ketidaknyamanan
Gejala : nyeri dada yang timbulnya mendadak (dapat atau tidak
berhubungan dengan aktifitas ), tidak hilang dengan istirahat atau
nitrogliserin (meskipun kebanyakan nyeri dalam dan viseral)
9. Pernafasan
Gejala : dispnea tanpa atau dengan kerja, dispnea nocturnal, batuk
dengan atau tanpa produksi sputum, riwayat merokok, penyakit
pernafasan kronis
Tanda : peningkatan frekuensi pernafasan, nafas sesak / kuat,
pucat, sianosis, bunyi nafas ( bersih, krekles, mengi ), sputum.
10. Interkasi social
Gejala : stress, kesulitan koping dengan stressor yang ada missal :
penyakit, perawatan di RS
Tanda : kesulitan istirahat dengan tenang, respon terlalu emosi
( marah terus-menerus, takut ), menarik diri. (Doengoes, E.
Marylinn. 2000)
D. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi ditandai dengan dipnea, PCO2 menurun, PO2
menurun, takikardia
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan spasme
jalan nafas ditandai dengan terdapat suara nafas tambahan
wheezing
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan depresi pusat
pernafasan ditandai dengan pasien dipnea, penggunaan otot bantu
pernafasan, pola nafas abnormal (takipnea)
4. Hipervolemia berhubungan dengan Ganguan aliran balik vena
ditandai dengan dipnea, edema paru
5. Resiko Cedera berhubungan dengan hipoksia jaringan
E. Intervensi

No Diagnose Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional


Keperawata Hasil
n
1 Gangguan Setelah diberikan asuhan SIKI: Pemantauan Respirasi 1. Mengetahui
pertukaran keperawatan selama …x… 1. Monitor frekuensi, irama, perkembangan status
gas jam diharapkan pasien kedalaman dan upaya kesehatan pasien
tidak mengalami gangguan pernafasan 2. Suara nafas abnormal
pertukaran gas dengan KH: 2. Auskultasi bunyi nafas menggambarkan adanya
SLKI: Pertukaran Gas 3. Monitor Saturasi oksigen sumbatan dalam jalan
1. Pasien tidak 4. Monitor nilai AGD nafas
mengalamin 5. Dokumentasikan hasil 3. Pengukuran gas darah
dipsnea pemantauan arteri adalah cara terbaik
2. PCO2 dalam batas untuk menilai perubahan
normal (38-42 gas
mmHg) 4. AGD adalah prosedur
3. PO2 dalam batas informasikan hasil pemantauan pemeriksaan yang
normal (75-100 bertujuan untuk
mmHg) mewngukur jumlah
4. Tidak mengalami oksigen dan karbon
takikardia dioksida dalam darah
5. tidak terdapat suara 5. Memantau
nafas tambahan perkembangan pasien
agar memudahkan untuk
memberikan tindakan
6. Keluarga dan pasien
dapat mengetahui
perkembangan penyakit
yang dialami pasien

2 Bersihan Setelah diberikan asuhan SIKI : Manajemen Jalan 1. Mengetahui


jalan nafas keperawatan selama …x… Nafas perkembangan status
tidak efektif jam diharapkan bersihan 1. Monitor pola nafas kesehatan pasien
jalan nafas pasien efektif (frekuensi, kedalaman, 2. suara nafas abnormal
dengan KH: usaha nafas) menggambarkan adanya
SLKI: Bersihan Jalan 2. Monitor bunyi nafas sputum dalam jalan
Nafas tambahan (mengi, nafas
1. Pasien tidak dipsnea wheezing, Ronkhi)
3. Posisi ini dapat
2. Tidak terdapat suara 3. Posisikan semi fowler
nafas tambahan atau fowler membantu
( whezzing) 4. Lakukan penghisapan mempermudah
3. Bibir pasien tidak lendir kurang dari 15 pernafasan
sianosis detik 4. Selama dilakukan
4. Pasien tidak gelisah 5. Lakukan hiperoksigenasi suction oksigen tidak
sebelum penghisapan sampai pada paru-paru
endotrakeal 5. Menghindari hipoksemi
akibat suction
6. Kolaborasi pemberian
6. Memperlebar luas
bronkodilator
permukaan bronkus dan
bronkiolus pada paru-
paru, dan membuat
kapasitas serapan
oksigen paru-paru
meningkat
3 Pola nafas Setelah diberikan asuhan SLKI: Pemantauan Respirasi 1. Mengetahui keadaan
tidak efektif keperawatan selama …x… 1. Monitor frekuensi, irama, umum pasien
jam diharapkan pola nafas kedalaman dan upaya 2. Menunjukan
pasien efektif dengan KH: nafas keadekuatan oksigen dan
SLKI: Pola Nafas 2. Monitor saturasi oksigen perfusi jarimngan pasien
1. Pasien tidak dipsnea 3. Monitor nilai AGD 3. AGD memberi informasi
2. tidak menggunakan 4. Monitor hasil X-ray langsung mengenai
otot bantu toraks pungsi paru
pernafasan 5. Dokumentasikan hasil 4. Melihat apakah masih
3. tekanan ekspirasi pemantauan terdapat cairan atau tidak
dan insfirasi normal 6. informasikan hasil 5. Dokumentasi dapat
4. ventilasi dalam pemantauan membantu melihat
semenit dalam perkebangan pasien hari
rentang normal ke hari
5. frkuensi nafas 6. Menginformasikan hasil
normal pengamatan kepada
6. kedalaman nafas dokter maupun keluarga
normal tentang perkembangan
pasien

4 Hipervolemi Setelah diberikan asuhan SIKI: Manajemen 1. Mengidentifikasi


a keperawatan selama …x… Hipervolemia perubahan status
jam diharapkan pasien 1. Monitor status dinamik secara dini
tidak mengalami kelebihan hemodinamik (frekuensi sehingga dapat
ciran dengan KH: jantung, tekanan darah, dilakukan intervensi
SLKI: Keseimbangan MAP,CVP, PAP, PCWP) segera
Cairan 2. Monitor intake dan 2. Mengetahui jumlah
1. Asupan cairan output cairan cairan masuk dan keluar
dalam jumlah 3. Monitor tanda pasien
normal hemokonsentrasi 3. Melihat apakah ada
2. Keluar urin dalam 4. Monitor kecepatan infus peningkatan hematocrit
batas normal secara ketat atau penumpukan cairan
3. pasien tidak 5. Tinggikanan kepala 4. jika infus diberikan
mengalami edema tempat tidur 30-400 kecepatan yang sudah
6. Kolaborasi pemberian ditentukan maka tidak
deuretik akan mengalami
kelebihan/ kekurangan
cairan
5. Dapat meningkatkan
perfusi serebral
6. Obat deuretik dapat
membantu pengeluaran
cairan
5 Resiko Setelah diberikan asuhan SIKI : Manajemen
Cedera keperawatan selama …x… Keselamatan Lingkungan A. Memonitor keselamatan
jam diharapkan pasien 1. Identifikasi kebutuhan pasien
tidak mengalami Cedera keselamatan (mis. Kondisi B. Perubahan lingkungan
dengan KH: fisik, fungsi kognitif dan sangat mempengaruhi
SLKI: Tingkat Cedera riwayat perilaku) keselamatan pasien
1. Kejadian C. Meminimalkan resiko
2. Monitor perubahan status
cedera dan bahaya
keselamatan lingkungan
menurun D. Sebagai media untuk
terapeutik
2. Tekanan darah mencegah terjadinya
dalam batas normal 3. Modifikasi lingkungan untuk rsiko cedera
(100-130/60-90 meminimalkan bahaya dan E. Dapat
mmHg) resiko menhindari bahanya
3. Frekuensi nadi 4. Sediakan alat bantu lingkungan yang dapat
dalam batas normal keamanan lingkungan (mis. memicu cedera pada
(60-100x/menit) Commode chair dan pasien
4. Frekuensi napas pegangan tangan)
dalam batas normal
5. Ajarkan individu,
(16-24x/menit)
keluarga, dan kelompok
5. Pola
resiko tinggi bahaya
lingkungan
istirahat/tidur
membaik
F. Implementasi

Implementasi merukan tindakan yang sudah direncanakan dalam rencana


tindakan keperawatan
a. Mandiri: aktivitas perawat yang didasarkan pada kemampuan sendiri
dan bukan merupakan petunjuk atau perintah dari petugas kesehatan
b. Delegatif: tindakan keperawatan atas instruksi yang diberikan oleh
petugas kesehatan yang berwenang.
c. Kolaboratif: tindakan perawat dan petugas kesehatan yang lain dimana
didasarkan pada keputusan bersama.

G. Evaluasi

Evaluasi merupakan tahap akhir dari suatu proses keperawatan yang


merupakan perbandingan yang sistematis dan yang terencanakan
kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan, dengan
cara melibatkan pasen yang nantinya diharapkan dapat memperoleh
evaluasi disetiap diagnosa sebagai berikut.

a. DX 1:

1. Pasien tidak mengalamin dipsnea


2. PCO2 dalam batas normal (38-42 mmHg)
3. PO2 dalam batas normal (75-100 mmHg)
4. Tidak mengalami takikardia
5. tidak terdapat suara nafas tambahan

b. DX 2:

1. Pasien tidak dipsnea


2. Tidak terdapat suara nafas tambahan ( whezzing)
3. Bibir pasien tidak sianosis
4. Pasien tidak gelisah
c. DX 3:
1. Pasien tidak dipsnea
2. tidak menggunakan otot bantu pernafasan
3. tekanan ekspirasi dan insfirasi normal
4. ventilasi dalam semenit dalam rentang normal
5. frkuensi nafas normal
6. kedalaman nafas normal

d. DX 4:
1. Asupan cairan dalam jumlah normal
2. Keluar urin dalam batas normal
3. pasien tidak mengalami edema

e. DX 5:
1. Kejadian cedera menurun
2. Tekanan darah dalam batas normal (100-130/60-90 mmHg)
3. Frekuensi nadi dalam batas normal (60-100x/menit)
4. Frekuensi napas dalam batas normal (16-24x/menit)
5. Pola istirahat/tidur membaik
DAFTAR PUSTAKA

Morton, Patricia Gonce. 2011. Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan Kep.


Holistic, Ed. 8. EGC: Jakarta.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI

Anda mungkin juga menyukai